Anda di halaman 1dari 14

Hasanah, Manusia dalam Pandangan...

Manusia dalam Pandangan Imam AL-Ghazali

Hasanah1

Abstrak

Hakikat manusia sejak zaman Nabi Muhammad saw sampai saat ini, tetap terus menarik untuk
dibahas sampai kapan. Berbagai macam pendekatan yang telah dilakukan untuk mengkaji hakikat
manusia itu sendiri. Mulai dari pendektan filosofis sampai pendekatan multi disiplin-interkonektif.
Akan tetapi pembahasan tentang manusia tidak pernah selesai dengan tuntas kerena terkait peran dan
mamfaat manusia itu sendiri sebagai subjek dan sekaligus objek dalam kehidupan di dunia ini.
Sebagai subjek, manusia selalu menjadi actor utama dalam setiap dimensi kehidupan manusia itu
sendiri, dan sebagai objek manusia merupakan target dalam setiap aktivitas kehidupan yang pada
akhirnya bermuaran kepada terwujudnya kebahagiaan hidup manusia itu sendiri.Salah satu dimensi
kehidupan manusia adalah tentang pendidikan. Manusia merupakan pemeran utama dan menempati
peranstrategis dalam proses pendidikan, baik sebagai subjek maupun objek. Oleh sebab itu,
pembahasan tentang hakikat manusia dalam konteks pendidikan adalah suatu keniscayaan yang
bersifat fundamental yang akan menentukan system pendidikan itu sendiri, mulai dari tujuan
pendidikan, materi atau kurikuum,metode, media, evluasi pendidikan dan lainnya.

Kata Kunci: Manusia, Imam AL-Ghazali

1 Hasanah, dosen FKIP Universitas Abulyatama

ISSN 2086 – 1397 Volume VII Nomor 2. Juli – Desember 2016 |103
Hasanah, Manusia dalam Pandangan...

PENDAHULUAN mengadakan pembaharuan, rekonstruksi dan


Dewasa ini sangat banyak kita jumpai reorganisasi. (Abdullah Rachman, 2006)
kajian-kjian tentang manusia dalam perspektif Berdasarkan filsafat liberalisme ini, muncullah
pendidikan yang dilatarbelakangi oleh berbagai paradigma tentang manusia, di
pemikiran-pemikiran filsafat, terutama yang antaranya yang dikembangkan oleh para
berasal dari filsafat umum (filosof-filosof psikolog Barat, seperti; aliran psikoanalisa
Islam). Pemikiran filsafat tersebut memiliki Preud yang memandang dasar manusia
stressing yang berbeda dalam mengkaji ditentukan “libido sex dan dorongan kematian
tentang hakikat manusia. Penganut paham atau agresi”. Aliran Behavioristik yang
liberalism misalnya yang lebih menekankan dipelopori oleh Skinner dan Watson,
kepada kebebasan manusia. Paham liberalism memandang bahwa tingkah laku manusia tidak
ini memandang manusia sebagai makhluk lain hanyalah respon terhadap perangsang luar,
yang bebas, manusia bisa melakukan apa saja ganjaran atau peneguhan.(Holmes Rostom,
yang disukainya yang tidak terikat oleh aturan- 2006) Kesadaran, berpikir dan perasaan yang
aturan atau moral agama. Menurut Ali merupakan bagian dari afektif, tidak ada
Syari‟ati, pemikiran ini dibangun atas dasar hubungannya dengan tingkah laku manusia.
mitologi Yunani Kuno yang memandang Kedua aliran psikologi ini sangat mendominasi
bahwa antara alam dewa dalam alam manusia pemahaman dasar tentang manusia di kalangan
terdapat pertentangan dan pertarungan hingga masyarakat Barat hingga akhir abad ke 20 dan
muncul kebencian dan kedengkian antara ikut mewarnai konstruksi sistem pendidikan
keduanya. Oleh karena itu, manusia dengan Barat. Konsekwensinya pendidikan modern
kecerdasannya berusaha membebaskan diri yang dikembangkan oleh Barat lebih
dari cengkraman kekuasaan dewa tersebut. menitikberatkan pada psikomotorik manusia,
(Ali Syari‟ati: 1992). sedangkan aspek sesnse yang terkait dengan
Salah satu tokoh aliran liberalisme, pembentukan sikap dan perilaku manusia tidak
John Dewey memandang manusia secara mendapatkan perhatian yang cukup. Hal ini
prinsipil yaitu manusia sebagai makhluk didasarkan pada paradigma tentang konsepsi
liberal-individualis, rasional, sosio- manusia oleh masyarakat Barat yang
antroposentris, progresif-aktif dan etico- memandang aspek sesnse bukan hal yang
religius. Liberal artinya melepaskan diri dari prinsip.
kekangan-kekangan yang dialaminya. Kenyataan tersebut juga telah ikut
Sedangkan individualistis merupakan hasil mewarnai sistem pendidikan nasional yang
dari usaha melepaskan diri dari kekangan adat telah terhegemoni oleh arus globalisasi
dan tradisi karena dorongan dari sifat terutama sejak beberapa dekade terakhir ini.
mementingkan diri sendiri. Sebagai makhluk pada dunia pendidikan kita di satu sisi telah
rasional (berpikir) manusia mampu membuat generasi bangsa ini menjadi
kehilangan jati dirinya sebagai bangsa yang

ISSN 2086 – 1397 Volume VII Nomor 2. Juli – Desember 2016 |104
Hasanah, Manusia dalam Pandangan...

kaya akan khasanah dan nilai-nilai luhur 2008). Bahkan di kalangan ilmuan sekuler
kemanusiaan yang dibangun di atas fondasi (Barat), belakangan muncul upaya
nilai-nilai religius. Fenomena ”degradasi mendialogkan, atau mengintegrasikan antara
moral” terutama di kalangan remaja sejak agama dan sains.
beberapa tahun terakhir seperti, perkelahian Selain itu, upaya pengembangan
antar pelajar, tawuran antar pelajar, terlibat pendidikan Islam tidak bisa terlepas dari sikap
dalam pergaulan bebas, dan penggunaan obat- keterbukaan dan akomodatif terhadap sistem
obat terlarang serta berbagai tindak pendidikan dari luar (Barat) yang notabene
kriminalitas lainnya. Semua ini hampir setiap mampu memproduk manusia yang handal di
hari mengisi berita-berita baik di media cetak bidang iptek. Namun perlu dilakukan secara
maupun media elektronik, dan telah selektif dan cermat karena akan berhadapan
mengunggah keprihatinan yang mendalam dengan persoalan normatif-ideologis yang
terhadap semakin terpuruknya moral dan juga perlu direkonstruksi. Oleh sebab itu,
krakter generasi bangsa ini. dalam makalah ini penulis mencoba
Sehubungan dengan uraian di atas, mengetengahkan hakikat manusia menurut
perlu untuk dilakukan upaya rekonseptualisasi perspektif al-Ghazali seorang filosofis muslim
tentang hakikat manusia dalam perspektif yang sangat berpengaruh tidak hanya pada
filsafat pendidikan Islam terutama untuk zamannya, bahkan sampai ke Indoneia hingga
konteks keindonesiaan sebagai saat ini. Salah satu karya beliau yang dinilai
upaya solutif khususnya bagi problematika komprehensif dan fenomenal yang banyak
pendidikan Islam dalam membangun krakter dipelajari dan menjadi rujukan dalam dunia
bangsa. Upaya membangun pendidikan pendidikan Islam adalah kitab Ihya
berwawasan global adalah suatu keniscayaan, ‟Ulumudin. Namun sayang, menurut penulis,
namun harus dilandasi oleh konstruksi ada indikasi kesalahan memaknai pemikiran-
paradigma yang kokoh berdasarkan keyakinan pemikiran cemerlang beliau terutama pada
terhadap nilai-nilai tradisi dan religius. level grass root . Bahkan untuk saat ini ada
Pembinaan dan penanaman nilai-nilai kecenderungan menjadi teraliminasi oleh
religius tetap relevan, bahkan tetap dibutuhkan pemikiran-pemikiran filsafat Barat
dan harus dilakukan sebagai “kapital spritual” sebagaimana uraian di atas. Karena itu penulis
untuk masyarakat dan bangsa Indonesia merasa perlu mengangkat masalah ini
dalam menghadapi tantangan global menuju sekaligus melihat implikasi dan relevansinya
masyarakat madani Indonesia. Meskipun para terhadap sistem pendidikan Islam pada era
sosiolog dan ilmuan Barat pernah meramalkan gobalisasi dalam konteks keindonesiaan.
bahwa agama akan tergusur, bahkan lenyap
oleh kemajuan sains dan teknologi, namun
ternyata agama tak pernah lenyap dari
panggung sejarah. (Komaruddin Hidayat,

ISSN 2086 – 1397 Volume VII Nomor 2. Juli – Desember 2016 |105
Hasanah, Manusia dalam Pandangan...

PEMBAHASAN sanubari), yaitu daging khusus yang berbentuk


1. Manusia dalam Persepektif Al- jantung pisang yang terletak di dalam rongga
Ghazali dada sebelah kiri dan berisi darah hitam
Konsep manusia menurut al-Ghazali kental. Qalb dalam arti ini erat hubungannya
tidak berbeda dengan konsep ajaran Islam, dengan ilmu kedokteran, dan tidak banyak
karena ia mendasarkan pemikirannya kepada menyangkut maksud-maksud agama dan
al-Qur'an dan al-Sunnah. Dalam perspektif kemanusiaan, karena hewan dan orang mati
filsafat pendidikan Islam, cara yang terbaik pun mempunyai qalb seperti ini. Sebangkan
dalam rangka mengenali hakikat manusia qalb dalam arti kedua adalah sebagai luthf
adalah melalui penjelasan dari Yang rabbani ruhiy (bersifat spiritual). Al-qalb
Menciptakannya yaitu Allah swt, yang merupakan alat untuk mengetahui hakikat
termaktub dalam kitab suci al-Quran.(Ahmad sesuatu.(Nasiruddin, Pendidikan Tasawuf,
Tafsir, 1992) (Semarang: Rasail Media Group, 2010).
Menurut al-Ghazali, manusia tersusun Sebagian dari persoalan yang patut di
dari unsur jasmani dan rohani, sejalan dengan perhatikan di sini adalah bahwa kalimat qalb
firman Allah dalam al-Qur‟an surat al-Shaad di sebut dalam Alquran al-karim. Hanya saja
ayat 71-72. (Ali KhalilAbu al„Ainain, 1980), penyebutan ini tidak secara mutlak
Namun dalam uraiannya al-Ghazali lebih menunjukan bahwa kata qalb di artikan dalam
menekankan unsur rohani. Hakikat manusia konteks anatomi kedokteran (yaitu, hati yang
adalah jiwanya (aspek rohani). Unsur melekat dalam badan), melainkan di maksud
rohanilah yang membedakan manusia dengan sebagai “instrumen persepsi ma‟rifah yang
makhluk-rnakhluk Allah lainnya. Oleh karena sangat kompleks”. (Muhammad Abdullah asy-
itu dibebankan kepada manusia amanah atau Syarqawi, Sufisme dan Akal, Bandung:
al-taklif, dan diberikan pula kebebasan dan Pustaka Hidayah, 2003)
tanggung jawab memiliki serta memelihara b. Al-Ruh
nilai-nilai ilahiyah. Para ulama berbeda dalam
Menurut al-Ghazali, aspek rohaniyah mengartikan kata ruh. Menurut al Qusyairi,
manusia meliputi al-qalb, al-ruh, al-nafs dan ruh adalah jisim yang halus bentuknya
al-’aql . Keempat aspek inilah yang menjadi (sebagaimana malaikat, setan) yang
motor penggerak dalam diri manusia. Abul merupakan tempat akhlak terpuji. Dengan
Quasem menegaskan manusia menurut al- demikian ruh berbeda dengan nafs dari sisi
Ghazali adalah: potensi positif dan negatif. Nafsu sebagai usat
a. Al-Qalb akhlak tercela sementara ruh sebagai puasat
Menurut abu hamid al-ghazali, qalb akhlak terpuji. Ruh juga merupakan tempat
mempunyai dua pengertian. Pengertian mahabbah pada Allah.
pertama adalah hati jasmani (Al-qalbal-
jasmani) atau daging sanubari (al-lahm al-

ISSN 2086 – 1397 Volume VII Nomor 2. Juli – Desember 2016 |106
Hasanah, Manusia dalam Pandangan...

Para ulama berbeda–beda dalam c. Al - Aql


mengartikan ruh. Sebagaian mengartikan Ada beberapa pengertian tentang aql.
kehidupan (al-hayah). Sementara menurut al- Pertama, aql adalah potensi yang siap
Qusyairi, ruh adalah jisim yang halus menerima pengetahuan teoritis. Kedua,
bentuknya (sebagaimana malaikat, setan) yang aqladalah pengetahuan tentang kemungkinan
merupakan tempat akhlak terpuji. Dengan sesuatu yang mungkin dan kemuhalan sesuatu
demikian ruh berbeda dengan al-nafs dari sisi yang mustahil yang muncul pada anak usia
potensi positif dan negatif. Nafsu sebagai tamyiz, seperti pengetahuan bahwa dua itu
pusat akhlak tercela sementara ruh sebagai lebih banyak dari pada satu dan kemustahilan
pusat akhlak terpuji. Ruh juga merupakan seseorang dalam waktu yang bersamaan
tempat mahabbah pada Allah. Dengan Ruh berada di dua tempat. Ketiga, aql adalah
itulah Allah menciptakan manusia menjadi pengetahuan yang diperoleh melalui
hidup dan kehidupan manusia tumbuh pengalaman empirik dalam berbagai kondisi.
berkembang karena adanya cahaya ilahi yang Keempat, aql adalah potensi untuk mengetahui
memudahkan kita sebut dengan Hubb atau akibat sesuatu dan memukul syahwat yang
Cinta. Dengan cinta itulah seluruh alam mendorong pada kelezatan sesaat. Dengan
semesta termasuk manusia di ciptakan demikian orang yang berakal adalah orang
sehingga seluruh kepribadian manusia pada yang di dalam melakukanperbuatan didasarkan
awalnya di gerakkan oleh energi cahaya pada akibat yang akan muncul bukan
tersebut mengisi seluruh pori-pori dan syaraf didasarkan pada syahwat yang mendatangkan
qalbu dengan cinta yang meng-Ilah. (Toto kelezatan sesaat.
Tasmara, Kecerdasan Ruhaniyah Di dalam Al-Qur‟an, kata Aql dalam
(TranscendentalIntelligence), Jakarta: Gem bentuk kata benda tidak ditemukan di dalam
Insani 2001). al-Qur‟an adalah kata kerjanya yakni ya’qilun,
Ruh yang merrupakan subtansi ta’qilun dan seterusnya. Aqala (fi’il Madli,
psikologis ini, menurut al-Ghazali merupakan kata kerja lampau) berarti menahan atau
lathifah (sesuatu yang abstrak,tidak kasat mengikat. Dengan demikian al-A’qil(isim fail)
mata) yang memiliki potensi untuk brfikir, berarti orang yang menahan atau mengikat
mengingat, dan mengetahui. Sementara ruh nafsunya sehingga nafsunya terkendali karena
sebagai subtansi ruhani,dalam pandangan al- diikat atau ditahan. Sedangkan orang yang
Ghazali merupakan al qudrah al ilahiyyah tidak mempunyai aql tidak mengikat nafsunya
(daya ketuhanan) yang tercipta dari alam sehingga nafsunya liar tak terkendali. Itulah
urusan Tuhan („alam al „amr), dan bukan dari sebabnya orang berakal kadang disebut dengan
alam penciptaan („alam al khalq). Sehingga uli al-nuha (yang mempunyai daya cegah)
sifatnya bukan jasmaniah dan tidak dibatasi kadang disebut dengan dzi hijr (yang
oleh ruang dan waktu. mempunyai daya cegah), dan kadang disebut
dengan uli al-ahlam(yang mempunyai

ISSN 2086 – 1397 Volume VII Nomor 2. Juli – Desember 2016 |107
Hasanah, Manusia dalam Pandangan...

kesabaran). Hanya orang yang sabar saja yang Dari pandangan al Ghazali diatas ,
mau mengendalikan nafsunya. dapat dinyatakan bahwa nafs sebagai suatu
d. An-Nafs substansi badani berpotensi ke arah tingkah
Sedangkan menurut al-Ghazali nafsu laku lahiriah yang bersifat menyenangkan.
diartikan “perpaduan kekuatan marah (gadlab) Kecenderungan negatif ini agaknya sejalan
dan syahwat dalam diri manusia”. Kekuatan dengan pemahaman “nafsu” dalam persepsi
gadlab pada awalnya tentu untuk sesuatu yang psikologi, yang cenderung jahat dan
positif seperti untuk mempertahankan diri, berpotensi mengabaikan pertimbangan akal
mempertahankan agama dan sebagainya. dan hati nurani. Sementara nafs sebagai
Dengan adanya gadlab itulah jihad substansi ruhani lebih cenderung mendorong
diperintahkan dan kehormatan diri terjaga. ke arah tingkah laku lahiriah yang baik dan
Dengan kekuatan marah seorang wanita beradab.
menolak untuk dinodahi agama dan Potensi nafs yang cenderung positif ini
kehormatannya. Dengan kekuatan marah , bila dikembangkan terus hingga sampai batas
seseorang dapat menumpas kedzaliman dan maksimal, maka tidak mustahil potensi ini
kemungkaran. Namun ketika gadlab tidak dapat berfungsi sebagai media pengembangan
terkendali maka yang terjadi adalah tingkah laku lahiriah yang mengarah pada
kehancuran dan akhlak tercela. ( Nasiruddin, sifat-sifat keutamaan dan kesempurnaan
Pendidikan Tasawuf, (Semarang: Rasail Media moral. (Abdullah Hadziq, Rekonsiliasi
Group, 2010) Psikologi Sufistik dan Humanistik, (Semarang:
Konsep al nafs dalam psikologi Rasail, 2005)
sufistik al Ghazali, dibedakan dalam dua arti. Tesis ini dibangun atas dasar suatu
Dalam pengertian pertama, al nafs dipandang pandangan yang menyatakan, bahwa tingkah
sebagai daya hawa nafsu yang memiliki daya laku lahiriah seseorang berbasis jiwa yang
kekuatan yang bersifat gadlabiyah dan amat matang, cenderung memiliki kemauan
syahwaniyah. Gadlabiyah adalah hilangnya yang berciri baik dan luhur seperti: (a)
kesadaran akal, karena dorongan kejahatan kemauan yang selalu cenderung melaksanakan
setan. Oleh karena itu, kata al Ghazali, orang kebaikan, (b) kemauan yang cendeung pada
yang sedang emosi/marah berarti orang yang sikap ikhlas tanpa mengharapan pjian, (c)
dipermainkan oleh setan, seperti halnya bola Kemauan yang cenderung kepada
yang dipermainkan oleh anak. Sedang keharmonisan, (d) kemauan yang mengarah
syahwaniyah adalah daya yang berpotensi pada tingkat kesempurnaan, (e) kemauan yang
untuk menginduksi diri dalam segala aspek memiliki keutamaan dalam bertindak dan
yang menyenangkan. Sementara dalam menjauhi prbuatan yang mengarah
pengertian keua, al nafs dimaksudkan sebagai kemaksiatan.
jiwa ruhani yang bersifat terpuji dan halus
yang merupakan hakikat manusia.

ISSN 2086 – 1397 Volume VII Nomor 2. Juli – Desember 2016 |108
Hasanah, Manusia dalam Pandangan...

Pandangan tersebut sejalan dengan pemikiran bahwa menurut al-Ghazali, unsur rohani
psikologi al-Ghazali, bahwa tingkah laku merupakan penghormatan kepada manusia
lahiriah yang berbasis al-nafs al muthmainnah, kerana unsur inilah yang mengangkat manusia
memiliki kecenderungan ke arah kepada darajat kesempurnaan penciptaan
kesempurnaan akhlak dan budi pekerti, karena manusia. Ia juga menjadi faktor penggerak
di dalamnya terdapat nilai-nilai motivasi yang kepada manusia. Rohani "menyimpan" nilai-
bermuatan potensi ketuhanan (alquwwah al nilai moral yang memimpin perilaku manusia
ilahiyyah). Sebaliknya tingkah laku lahiriah sehingga tidak menyimpang. Tanpanya
yang berbasis al-nafs al ammarah, mempunyai manusia akan hilang keseimbangan dan
kecenderungan yang bersifat kebinatangan akhirnya tergelincir ke dalam kehinaan.
(bahimiyyah) dan kejahatan (syaithaniyah). Pandangan al-Ghazali ini dapat dianalogikan
(Abdullah Hadziq, 2005) seperti mobil dan sopirnya. Jika manusia itu
Semua empat sifat alami disebutkan di diibaratkan seperti mobil, maka unsur rohani
atas, ditempatkan pada jiwa (aspek rohaniyah). sebagai sopirnya dan struktur tubuh atau
Al-Ghazali secara metafora mendeskripsikan biologis manusia sebagai mobil dan mesinnya.
jiwa manusia sebagai satu cermin yang Lalu yang berhubungan dengan aturan lalu
menunjukkan kualitas manusia secara lintas ialah sopir, bukan mobil.
personality yang baik atau jahat. Perbuatan Dalam hal ini, sopirlah yang
yang baik akan membuat jiwa (al-qalb al- semestinya diberikan bimbingan dan nasehat.
ruhaniyah) menjadi bersinar, gilang gemilang Seperti halnya jasmani, aspek rohani manusia
dan terang, sementara perbuatan jahat dan harus diberi santapan rohani spiritual
maksiat seseorang akan membuat keadaan nourishment dengan tujuan agar manusia tetap
jiwanya menjadi gelap dan tidak bercahaya. menyadari akan eksistensi dirinya sebagai “
Tindakan yang mulia menyucikan serta hamba Allah” yang senantiasa tunduk dan
membawa cahaya (nur) pada jiwa sementara patuh terhadap peraturan- peraturan syar‟i.
tindakan jahat dan membawa dosa Karena, jika manusia mulai meninggalkan
mengotorkan jiwa sehingga hilang cahayanya. tuntunan Allah dan berbuat menurut hawa
Sifat dan perilaku manusia tergantung pada nafsunya, maka ibarat kendaraan atau mobil
jenis jiwa yang berkuasa atas dirinya. yang dikendarai oleh sopir yang tanpa rambu-
Sebagaimana dalam hadits dijelaskan rambub, traffic lights maupun zebra cross,
“sesungguhnya dalam jasad itu artinya hidup manusia menjadi tidak terkendali
terdapat segumpal darah, apabila ia baik, maka dan bisa menimbulkan bahaya bagi dirinya
baik pula seluruh jasad. Dan apabila segumpal sendiri orang lain maupun lingkungan
darah itu rusak, maka rusaklah seluruh jasad. sekitarnya. Menurut Umaruddin, dalam
Ketahuilah, sesungguhnya segumpal darah itu mengupas sifat manusia, al-Ghazali
adalah hati (al-qalb ruhaniyah insaniyah). menegaskan bahwa manusia mempunyai
Berdasarkan uraian di atas dapat dikatakan peluang untuk mencapai derajat malaikat

ISSN 2086 – 1397 Volume VII Nomor 2. Juli – Desember 2016 |109
Hasanah, Manusia dalam Pandangan...

bahkan lebih tinggi dengan ilmu pengetahuan 2. Implikasi dan Relevansinya


dan juga berpeluang jatuh tersungkur lebih Terhadap Sistem Pendidikan Islam
rendah dari derajat binatang jika terpengaruh Pengaruh pemikiran al-Ghazali
dengan kemewahan duniawi dan menurutkan khususnya dalam dunia pendidikan Islam yang
nafsu amarah. pada gilirannya terajut dengan formulasi
Semarah-marahnya binatang tidak murni keagamaan dan menjadikannya sebagai
sampai memakan atau membunuh anaknya kekuatan utama konservatisme dan taqlidisme.
sendiri, tetapi manusia bisa lebih dari itu Seperti yang terjadi pada lembaga pendidikan
tatkala nafsu amarah telah menguasai jiwanya. pesantren di Indonesia.
Oleh sebab itu al-Ghazali sangat menekankan Dalam hal ini, pesantren secara
pentingnya ilmu pengetahuan dalam fundamental menanamkan nilai-nilai akidah
membantu memberi kesadaran tentang hakikat dan akhlak yang kokoh bagi anak didik. Para
diri manusia yang tinggi, suci dan murni. santri tidak hanya diajarkan tentang ilmu-ilmu
Pandangan al-Ghazali di atas, berbeda keislaman secara teoritis, tapi juga dilatih dan
dengan aliran Materialisme yang dibiasakan untuk mempratekkannya dalam
berpendapat bahwa hakikat manusia adalah kehidupan sehari-hari di lingkungan pesantren
materi semata (jasmani). Materi menurut termasuk pola hidup sederhana.
mereka, adalah "realitas" dan satu-satunya hal Sebagaimana yang digambarkan oleh
yang nyata. (Louis O. Kattsof, Pengantar Karel A. Steenbrink bahwa untuk meresapkan
Filsafat) 1992. Dalam ajaran materialisme, jiwa keislaman, pesantren lebih ditekankan
eksistensi ruhaniah manusia sesungguhnya sebagai tempat tinggal yang seluruhnya
masih diakui, tapi ia bukanlah bagian dari diresapi nilai-nilai agama, di mana shalat
hakikat manusia itu sendiri.(Ahmad Tafsir, didirikan secara berjamaah, selalu
Filsafat Umum, 1995). Oleh sebab itu aliran diperdengarkan bacaan al Qur‟an dengan
ini berpendapat bahwa hal-hal yang bersifat suara merdu, baik itu untuk memperbaiki
metafisika, terlebih "agama", harus ditolak. bacaan dengan tajwid, atau hanya sekedar
(Harun Hdiwijoyo, 1991). Begitu juga dengan ingin mendapatkan pahala, dan mendirikan
pandangan filosof muslim lainnya, seperti al- shalat ditengah keheningan malam. Begitu
Farabi, Ibnu Sina dan lain-lain. Perbedaan ini juga dalam pergaulan sehari-hari, para santri
terjadi khususnya di kalangan pemikir muslim dituntut untuk menerapkan dan membiasakan
karena didasari oleh pendekatan yang berbeda akhlak al karimah.(Karel A Steenbrink, 1986)
dalam mengkaji hakikat manusia. Dalam hal Namun hal yang perlu digaris bawahi
ini al-Ghazali lebih didominasi oleh dalam rangka memahami pemikiran al-Ghazali
pendekatan falsafati-sufiestik. tersebut adalah memahami kondisi psikologis
dirinya di mana ia telah mengalami krisis
kejiwaan yang akut. Sebagaimana yang
didokumentasikannya dalam karya al-Munqidz

ISSN 2086 – 1397 Volume VII Nomor 2. Juli – Desember 2016 |110
Hasanah, Manusia dalam Pandangan...

Min al-Dhalal, yang ditulisnya setelah ia semulia-mulianya segala sesuatu adalah yang
melakukan dialog panjang selama krisis bisa mengantarkan seseorang dekat dengan
kejiwaan dan mampu mengatasinya setelah Allah. Untuk bisadekat dengan Allah,
kurang lebih sepuluh tahun. (Muhammad seseorang perlu beramal dan seseorang tidak
Jawwad Ridha, 2002) bisa beramal dengan baik kecuali dengan ilmu
Oleh sebab itu pemikiran al-Ghazali pengetahuan mengenai bagaimana cara
tentang hakikat manusia lebih mengedepankan ber‟amal. Jadi, pangkal kebahagiaan hidup di
dimensi rohani sebagaimana uraian di atas. dunia dan akherat adalah ilmu, sehingga
Konsekwensinya pemikiran pendidikan al- merupakan amal yang terbaik(Muhammad
Ghazali lebih berorientasi pada upaya Jawwad Ridha, 2002). Di sinilah letak
“pembersihan jiwa (rohani) dari noda-noda kemuliaan dan keutamaan ilmu pengetahuan
akhlak dan sifat-sifat tercela”. Pandangan al- menurut al-Ghazali. Menurut beliau, ilmu
Ghazali tentang hakikat manusia berimplikasi yang tiada dapat memberikan manfaat untuk
pada konsep pendidikan “Akhlaq al-Ghazali". mendekatkan diri kepada Allah adalah sia-sia.
Bagaimana konsepnya tentang hakikat Berdasarkan pandangan ini, al-Ghazali
manusia begitulah konsep pendidikan yang mengklasifikasikan ilmu pengetahuan secara
diinginkannya. Al-Ghazali menyeru pada garis besar ke dalam kategori ilmu fardhu „ain
tasawuf, zuhud dan tawakkal, tetapi beliau dan ilmu fardhu kifayah. Yang termasuk
tidak menyeru untuk mengabaikan kehidupan dalam kategori pertama adalah ilmu-ilmu
dunia, seperti bertani, industry, kedokteran dan agama atau al- ‟ulum al –diniyah yang
sebagainya. berasaskan prinsip-prinsip ketuhanan (wahyu)
Karena itu, pendidikan akhlak dalam dan kenabian (sunnah) tanpa harus
perspektif al-Ghazali adalah hal yang sangat mempertimbangkan potensi akal dalam
“urgen” dalam mengembangkan sifat-sifat implementasinya, dan yang kedua ilmu-ilmu
ketuhanan yang ada pada diri manusia, agar umum atau al- „ulum al -„aqliyah (ilmu-ilmu
manusia dapat hidup bahagia di dunia dan intelektual) adalah ilmu yang diperoleh
akhirat. Hal ini bisa dicermati dari formulasi melalui pemikiran manusia semata seperti,
teori pendidikannya yang tertuang dalam matematika, logika, fisika dan ilmu
karyanya Ayyuha al-Walad yang berkisar alam(Armai Arief, 2005). Dalam dunia
pada tiga hal pokok, yaitu: pendidikan Islam, pengklasifikasian ilmu oleh
1. Keutamaan ilmu-pengetahuan al-Ghazali berkembang menjadi dasar
2. Pengklasifikasian ilmu-pengetahuan konstruksi paradigma dikhotomik. Kenyataan
3. Kode etik bagi pendidik (guru) dan ini telah melanda hampir di seluruh dunia
peserta didik. Islam, sehingga menjadi salah satu penyebab
Menurut al-Ghazali, ilmu pengetahuan keterpurukan peradaban Islam. Dalam
merupakan “jalan” utama yang mengantarkan perspektif historis, kondisi ini
seseorang dekat dengan Allah. Menurutnya, ditumbuhsuburkan oleh kalangan klonialisme

ISSN 2086 – 1397 Volume VII Nomor 2. Juli – Desember 2016 |111
Hasanah, Manusia dalam Pandangan...

Barat yang sejak beberapa abad menjajah emosional. Pandangan al-Ghazali ini,
negara-negara Islam. Sampai saat ini, masih berimplikasi sangat luas dan membumi dalam
banyak dijumpai lembaga-lembaga pendidikan dunia pendidikan Islam. Kenyataan ini
Islam yang masih menggunakan paradigma tercermin dari praktek pendidikan Islam
dikhotomik. Walau pun, sejak abad ke 19 seperti pesantren. Taradisi salaman dengan
sudah ada upaya dalam rangka “mencium tangan” sang kiyai atau ustadz
mengintegrasikan ilmu-ilmu agama dan ilmu- merupakan salah satu bentuk kepatuhan dan
ilmu umum seperti konsep “Islamisasi Ilmu” penghormatan seorang murid kepada guru.
yang didengungkan oleh Isma‟il Rozi al- Menurut Abdullah Syafi‟ie
Faruqi dan Naquib al-Atas, namun semua itu (2005) seorang guru bukan hanya mentransfer
masih dalam dataran “wacana”, belum action. ilmu, tetapi juga pembentuk watak, krakter
Al-Ghazali telah menetapkan suatu prinsip dan kepribadian anak didik. Guru beraqidah
penting yang mengatakan bahwa dari segi yang kokoh, berilmu serta berusaha
teoritis, akal dan syara‟ tidak akan meningkatkan ilmunya, memiliki jiwa yang
bertentangan secara hakiki, karena keduanya ikhlas, dan bersikap bijak. Hal ini terbukti dari
adalah cahaya petunjuk dari Allah swt. kebijakan beliau yang memberikan
Demikian juga jika dilihat dari segi praktis, kesempatan kepada guru untuk meningkatkan
tidak ada hakikat agama yang bertentangan wawasan dan memperdalam ilmunya dengan
dengan hakikat ilmiah, bahkan antara mengikuti kuliah di perguruan tinggi termasuk
keduanya saling mendukung. perguruan tinggi al-Azhar di Mesir dengan
Terkait dengan pendidik, al-Ghazali menanggung semua pembiayaannya. (Abdulah
sebagai seorang guru telah memberikan Syafi‟ie: 2005)
perhatian yang penuh terhadap murid Menurut Al-Abrasyi, seorang ahli
mengasihi dan menyangi murid-muridnya pendidikan Islam abad modern, bahwa guru
Menurutnya, guru harus menjadi tauladan dalam pendidikan Islam harus memiliki sifat-
yang baik dan meniru sifat nabi, sederhana sifat, yaitu; Zuhud, bersih lahir-batin, ikhlas,
dalam bertindak, tidak pemarah, ikhlas dan pemaaf, sabar, tidak pemarah, berkepribadian
selalu menanamkan sifat ikhlas kepada anak dan mempunyai harga diri, kebapakan,
didik, berusaha untuk taqarrub ilallah dan berusaha mengetahui watak muridnya dan
mengupayakan anak didik untuk ber taqarrub selalu memikirkannya (Muhammad „Athiyah
ilallah. al-Abrasyi, 1975)
Konsep manusia dalam pemikiran al- Beberapa pendapat yang dikemukakan
Ghazali, selaras dengan pemikiran beliau di atas, terkait dengan pemikiran tentang
tentang bagaimana sikap dan perilaku seorang pendidik dalam perspektif pendidikan Islam,
guru dan murid. Begitu juga hubungan yang menunjukkan adanya kesamaan persepsi dan
terjalin antara keduanya, beliau menekankan pandangan dengan pemikiran al-Ghazali. Hal
perlunya dibangun hubungan yang bersifat ini bisa jadi mengindikasikan bahwa betapa

ISSN 2086 – 1397 Volume VII Nomor 2. Juli – Desember 2016 |112
Hasanah, Manusia dalam Pandangan...

pemikiran al-Ghazali sangat berkontribusi menjadi lebih mulia kedudukkannya dibanding


besar terhadap perkembangan pendidikan makhluk lain, bahkan malaikat sekalipun.
Islam baik dalam dataran teoritis maupun Namun juga bisa menyebabkan manusia
praktis. Begitu juga, bahwa pandangan al- menjadi lebih rendah posisinya dari hewan
Ghazali di atas sangat relevan dengan konteks ternak.
pembaharuan sistem pendidikan Islam dewasa Beliau membagi rohani manusia ke
ini yang merupakan bagian integral dalam dalam 4 bagian, yaitu; al-„aql , al-qalb, al-nafs,
sistem pendidikan nasional, terutama terkait dan al-ruh. Selain itu manusia juga
perannya sebagai instrumen strategis dalam mempunyai watak yang bersifat alami
membangun moral dan karakter bangsa yang (bawaan) seperti, sifat baik, sifat jahat, sifat
saat ini telah diluluhlantakkan oleh sistem dan syaithan, dan sifat kebinatangan. Namun
tata nilai yang dikonstruksi oleh peradaban semua sifat-sifat tersebut sangat bergantung
Barat melalui globalisasi. pada manajemen hati (jiwa) yang berkuasa
Perembangan peradaban Barat sekarang atas semua itu. Oleh sebab itu pendidikan
memang lebih maju dibandingkan dengan dalam perspektif al-Ghazali lebih menekankan
peradaban Islam, terutama apabila indikator pada upaya pembersihan hati (jiwa). Melaui
yang dipakai untuk mengukur kemajuan pencarian terhadap ilmu-ilmu yang
tersebut berupa perkembangan ekonomi, bermanfaat, pembiasaan akhlak mulia,
teknologi, dan stabilitas kehidupan sosial- ibadah-ibadah sunah, membiasakan pola hidup
politik yang dicapai dunia Barat sekarang. sederhana, zuhud dan sikap ikhlas.
Namun apabila dikaji lebih dalam lagi, Selain itu, pandangan al-Ghazali
kemajuan sains dan teknologi yang menjadi tersebut juga sangat relevan untuk diterapkan
basis fundamental bangunan peradaban Barat, dalam sistem pendidikan Islam sebagai bagian
justeru di sisi lain menelantarkan dunia di yang integral dalam sistem pendidikan
ambang pintu krisis global yang semakin nasional, terutama dalam konteks menghadapi
menghawatirkan. Krisis global yang dihadapi tantangan masa depan dalam lingkup global.
umat manusia di planet bumi ini telah Sebagaimana yang tertuang dalam UU. No. 14
menyentuh hampir seluruh dimensi kehidupan, Tahaun 2005 tentang guru dan dosen. Terdapat
seperti pada bidang kesehatan, lingkungan kesamaan persepsi dan pandangan al-Ghazali,
hidup, teknologi, politik, ekonomi, dan sosial- di mana dalam undang-undang tersebut secara
budaya. Krisis yang terjadi di dunia sekarang tegas dinyatakan bahwa tenaga pendidik (guru
juga melanda dimensi-dimensi intelektual, dan dosen) merupakan suatu profesi yang
moral dan spiritual harus melaksanakan tugasnya secara
PENUTUP profesional yang bertujuan untuk
Hakikat manusia dalam perspektif al- melaksanakan sistem pendidikan nasional dan
Ghazali lebih ditentukan oleh unsur rohani mewujudkan tujuan pendidikan nasional, yaitu
manusia. Unsur inilah yang membuat manusia berkembangnya potensi peserta didik agar

ISSN 2086 – 1397 Volume VII Nomor 2. Juli – Desember 2016 |113
Hasanah, Manusia dalam Pandangan...

menjadi manusia yang beriman dan bertakwa serta menjadi warga negara yang demokratis
kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak dan bertanggung jawab.
mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri,

ISSN 2086 – 1397 Volume VII Nomor 2. Juli – Desember 2016 |114
Hasanah, Manusia dalam Pandangan...

DAFTAR PUASTAKA

Abd. Rachman Assegaf, Filsafat Pendidikan Islam, Paradigma Baru Pendidikan Hadhari Berbasis
Integratifinterkonektif , (Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2010).

_________, Konfigurasi Teori pendidikan John dewey dan Al-Abrasyy, dalam Pendidikan Islam
dalam Konsepsi dan Realitas, ed. Abd. Rachman Assegaf (Yogyakarta: Lemlit UIN Suka,
2006).

Abul Uasem, The Ethics of al-Ghazzali : A Composite Ethics in Islam, (Kuala Lumpur: Universiti
Malaya, 1975).

Ahmad Farid, Tazkiyat al-Nafs, diterjemahkan oleh Nabhani Idris dengan judul: Pembersih Jiwa
(Bandung: Pustaka, 1996).

Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Islam Perspektif Islam, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1992).

Ali Syari‟ati, al-Insan wa al-Madaris al-Gharb. Terj. Arif Muhammad. (Jakarta: Pustaka Hidayah,
1992).

Holmes Roston III dalam Ilmu dan Agama, (Pusat Bahasa UIN Sunan kalijaga, 2006).

Ali Khalil Abu al - Ainain, Falsafah al-Tarbiyah fi al- Qur‟an al -Karim, (Daar al Fikri al-„Arabiy,
1980)

Armai Arief, Reformulasi Pendidikan Islam, (Jakarta: CRSD PRESS, 2005).

As‟aril Muhajir dalam Ilmu Pendidikan Perspektif Kontekstual , (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media,
2011).

E. Mulyasa, Standar Kompetensi Sertifikasi Guru, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2007)

Fasli Jalal, Reformasi Pendidikan dalam Konteks Otonomi Daerah, (Yogyakarta: Adicita, 2001).

Harun Hadiwijoyo, Seri Sejarah Filsafat Barat II , (Yogyakarta: Kanisius, 1991).

Hasbi Indra, Pesantren dan Transformasi Sosial , (Jakarta: Penamadani, 2005).

Ian G Barbour, Isu dalam Sains dan Agama, (Yogyakarta: UIN Sunan kalijaga, 2006).

Jalaluddin Rahmat (Pengantar), dalam Ali Abdul Azhim, Epistemologi dan Aksiologi Ilmu,
Perspektif al Qur‟an (Bandung: Rosda,1989)

Kadar Muhammad Yusuf, Analisis Qur‟ani terhadap Pemikiran Ibnu Sina dan al -Ghazali,
(Pekanbaru: Suska Press, 2008).

Karel A Steenbrink, Pesantren, Madrasah dan Sekolah (Jakarta: LP3ES, 1986).

Komaruddin Hidayat, Pendidikan dan Krakter Kebangsaan, dalam Paradigma Baru Pendidikan, ed.
Kusmana dan JM Muslimin, (Jakarta: IISEP bekerja sama dengan Diktis Depag RI, 2008).

Louis O. Kattsof, Pengantar Filsafat , (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1992).

ISSN 2086 – 1397 Volume VII Nomor 2. Juli – Desember 2016 |115
Hasanah, Manusia dalam Pandangan...

Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat, Tradisi-Tradisi Islam diIndonesia
(Bandung: Mizan, 1995)

M. Dawam Rahardjo, “Nafs”, dalam Jurnal Ilmu dan Kebudayaan Ulumul Qur‟an, No. 8, Volume II,
Tahun 1991

ISSN 2086 – 1397 Volume VII Nomor 2. Juli – Desember 2016 |116

Anda mungkin juga menyukai