Hasanah1
Abstrak
Hakikat manusia sejak zaman Nabi Muhammad saw sampai saat ini, tetap terus menarik untuk
dibahas sampai kapan. Berbagai macam pendekatan yang telah dilakukan untuk mengkaji hakikat
manusia itu sendiri. Mulai dari pendektan filosofis sampai pendekatan multi disiplin-interkonektif.
Akan tetapi pembahasan tentang manusia tidak pernah selesai dengan tuntas kerena terkait peran dan
mamfaat manusia itu sendiri sebagai subjek dan sekaligus objek dalam kehidupan di dunia ini.
Sebagai subjek, manusia selalu menjadi actor utama dalam setiap dimensi kehidupan manusia itu
sendiri, dan sebagai objek manusia merupakan target dalam setiap aktivitas kehidupan yang pada
akhirnya bermuaran kepada terwujudnya kebahagiaan hidup manusia itu sendiri.Salah satu dimensi
kehidupan manusia adalah tentang pendidikan. Manusia merupakan pemeran utama dan menempati
peranstrategis dalam proses pendidikan, baik sebagai subjek maupun objek. Oleh sebab itu,
pembahasan tentang hakikat manusia dalam konteks pendidikan adalah suatu keniscayaan yang
bersifat fundamental yang akan menentukan system pendidikan itu sendiri, mulai dari tujuan
pendidikan, materi atau kurikuum,metode, media, evluasi pendidikan dan lainnya.
ISSN 2086 – 1397 Volume VII Nomor 2. Juli – Desember 2016 |103
Hasanah, Manusia dalam Pandangan...
ISSN 2086 – 1397 Volume VII Nomor 2. Juli – Desember 2016 |104
Hasanah, Manusia dalam Pandangan...
kaya akan khasanah dan nilai-nilai luhur 2008). Bahkan di kalangan ilmuan sekuler
kemanusiaan yang dibangun di atas fondasi (Barat), belakangan muncul upaya
nilai-nilai religius. Fenomena ”degradasi mendialogkan, atau mengintegrasikan antara
moral” terutama di kalangan remaja sejak agama dan sains.
beberapa tahun terakhir seperti, perkelahian Selain itu, upaya pengembangan
antar pelajar, tawuran antar pelajar, terlibat pendidikan Islam tidak bisa terlepas dari sikap
dalam pergaulan bebas, dan penggunaan obat- keterbukaan dan akomodatif terhadap sistem
obat terlarang serta berbagai tindak pendidikan dari luar (Barat) yang notabene
kriminalitas lainnya. Semua ini hampir setiap mampu memproduk manusia yang handal di
hari mengisi berita-berita baik di media cetak bidang iptek. Namun perlu dilakukan secara
maupun media elektronik, dan telah selektif dan cermat karena akan berhadapan
mengunggah keprihatinan yang mendalam dengan persoalan normatif-ideologis yang
terhadap semakin terpuruknya moral dan juga perlu direkonstruksi. Oleh sebab itu,
krakter generasi bangsa ini. dalam makalah ini penulis mencoba
Sehubungan dengan uraian di atas, mengetengahkan hakikat manusia menurut
perlu untuk dilakukan upaya rekonseptualisasi perspektif al-Ghazali seorang filosofis muslim
tentang hakikat manusia dalam perspektif yang sangat berpengaruh tidak hanya pada
filsafat pendidikan Islam terutama untuk zamannya, bahkan sampai ke Indoneia hingga
konteks keindonesiaan sebagai saat ini. Salah satu karya beliau yang dinilai
upaya solutif khususnya bagi problematika komprehensif dan fenomenal yang banyak
pendidikan Islam dalam membangun krakter dipelajari dan menjadi rujukan dalam dunia
bangsa. Upaya membangun pendidikan pendidikan Islam adalah kitab Ihya
berwawasan global adalah suatu keniscayaan, ‟Ulumudin. Namun sayang, menurut penulis,
namun harus dilandasi oleh konstruksi ada indikasi kesalahan memaknai pemikiran-
paradigma yang kokoh berdasarkan keyakinan pemikiran cemerlang beliau terutama pada
terhadap nilai-nilai tradisi dan religius. level grass root . Bahkan untuk saat ini ada
Pembinaan dan penanaman nilai-nilai kecenderungan menjadi teraliminasi oleh
religius tetap relevan, bahkan tetap dibutuhkan pemikiran-pemikiran filsafat Barat
dan harus dilakukan sebagai “kapital spritual” sebagaimana uraian di atas. Karena itu penulis
untuk masyarakat dan bangsa Indonesia merasa perlu mengangkat masalah ini
dalam menghadapi tantangan global menuju sekaligus melihat implikasi dan relevansinya
masyarakat madani Indonesia. Meskipun para terhadap sistem pendidikan Islam pada era
sosiolog dan ilmuan Barat pernah meramalkan gobalisasi dalam konteks keindonesiaan.
bahwa agama akan tergusur, bahkan lenyap
oleh kemajuan sains dan teknologi, namun
ternyata agama tak pernah lenyap dari
panggung sejarah. (Komaruddin Hidayat,
ISSN 2086 – 1397 Volume VII Nomor 2. Juli – Desember 2016 |105
Hasanah, Manusia dalam Pandangan...
ISSN 2086 – 1397 Volume VII Nomor 2. Juli – Desember 2016 |106
Hasanah, Manusia dalam Pandangan...
ISSN 2086 – 1397 Volume VII Nomor 2. Juli – Desember 2016 |107
Hasanah, Manusia dalam Pandangan...
kesabaran). Hanya orang yang sabar saja yang Dari pandangan al Ghazali diatas ,
mau mengendalikan nafsunya. dapat dinyatakan bahwa nafs sebagai suatu
d. An-Nafs substansi badani berpotensi ke arah tingkah
Sedangkan menurut al-Ghazali nafsu laku lahiriah yang bersifat menyenangkan.
diartikan “perpaduan kekuatan marah (gadlab) Kecenderungan negatif ini agaknya sejalan
dan syahwat dalam diri manusia”. Kekuatan dengan pemahaman “nafsu” dalam persepsi
gadlab pada awalnya tentu untuk sesuatu yang psikologi, yang cenderung jahat dan
positif seperti untuk mempertahankan diri, berpotensi mengabaikan pertimbangan akal
mempertahankan agama dan sebagainya. dan hati nurani. Sementara nafs sebagai
Dengan adanya gadlab itulah jihad substansi ruhani lebih cenderung mendorong
diperintahkan dan kehormatan diri terjaga. ke arah tingkah laku lahiriah yang baik dan
Dengan kekuatan marah seorang wanita beradab.
menolak untuk dinodahi agama dan Potensi nafs yang cenderung positif ini
kehormatannya. Dengan kekuatan marah , bila dikembangkan terus hingga sampai batas
seseorang dapat menumpas kedzaliman dan maksimal, maka tidak mustahil potensi ini
kemungkaran. Namun ketika gadlab tidak dapat berfungsi sebagai media pengembangan
terkendali maka yang terjadi adalah tingkah laku lahiriah yang mengarah pada
kehancuran dan akhlak tercela. ( Nasiruddin, sifat-sifat keutamaan dan kesempurnaan
Pendidikan Tasawuf, (Semarang: Rasail Media moral. (Abdullah Hadziq, Rekonsiliasi
Group, 2010) Psikologi Sufistik dan Humanistik, (Semarang:
Konsep al nafs dalam psikologi Rasail, 2005)
sufistik al Ghazali, dibedakan dalam dua arti. Tesis ini dibangun atas dasar suatu
Dalam pengertian pertama, al nafs dipandang pandangan yang menyatakan, bahwa tingkah
sebagai daya hawa nafsu yang memiliki daya laku lahiriah seseorang berbasis jiwa yang
kekuatan yang bersifat gadlabiyah dan amat matang, cenderung memiliki kemauan
syahwaniyah. Gadlabiyah adalah hilangnya yang berciri baik dan luhur seperti: (a)
kesadaran akal, karena dorongan kejahatan kemauan yang selalu cenderung melaksanakan
setan. Oleh karena itu, kata al Ghazali, orang kebaikan, (b) kemauan yang cendeung pada
yang sedang emosi/marah berarti orang yang sikap ikhlas tanpa mengharapan pjian, (c)
dipermainkan oleh setan, seperti halnya bola Kemauan yang cenderung kepada
yang dipermainkan oleh anak. Sedang keharmonisan, (d) kemauan yang mengarah
syahwaniyah adalah daya yang berpotensi pada tingkat kesempurnaan, (e) kemauan yang
untuk menginduksi diri dalam segala aspek memiliki keutamaan dalam bertindak dan
yang menyenangkan. Sementara dalam menjauhi prbuatan yang mengarah
pengertian keua, al nafs dimaksudkan sebagai kemaksiatan.
jiwa ruhani yang bersifat terpuji dan halus
yang merupakan hakikat manusia.
ISSN 2086 – 1397 Volume VII Nomor 2. Juli – Desember 2016 |108
Hasanah, Manusia dalam Pandangan...
Pandangan tersebut sejalan dengan pemikiran bahwa menurut al-Ghazali, unsur rohani
psikologi al-Ghazali, bahwa tingkah laku merupakan penghormatan kepada manusia
lahiriah yang berbasis al-nafs al muthmainnah, kerana unsur inilah yang mengangkat manusia
memiliki kecenderungan ke arah kepada darajat kesempurnaan penciptaan
kesempurnaan akhlak dan budi pekerti, karena manusia. Ia juga menjadi faktor penggerak
di dalamnya terdapat nilai-nilai motivasi yang kepada manusia. Rohani "menyimpan" nilai-
bermuatan potensi ketuhanan (alquwwah al nilai moral yang memimpin perilaku manusia
ilahiyyah). Sebaliknya tingkah laku lahiriah sehingga tidak menyimpang. Tanpanya
yang berbasis al-nafs al ammarah, mempunyai manusia akan hilang keseimbangan dan
kecenderungan yang bersifat kebinatangan akhirnya tergelincir ke dalam kehinaan.
(bahimiyyah) dan kejahatan (syaithaniyah). Pandangan al-Ghazali ini dapat dianalogikan
(Abdullah Hadziq, 2005) seperti mobil dan sopirnya. Jika manusia itu
Semua empat sifat alami disebutkan di diibaratkan seperti mobil, maka unsur rohani
atas, ditempatkan pada jiwa (aspek rohaniyah). sebagai sopirnya dan struktur tubuh atau
Al-Ghazali secara metafora mendeskripsikan biologis manusia sebagai mobil dan mesinnya.
jiwa manusia sebagai satu cermin yang Lalu yang berhubungan dengan aturan lalu
menunjukkan kualitas manusia secara lintas ialah sopir, bukan mobil.
personality yang baik atau jahat. Perbuatan Dalam hal ini, sopirlah yang
yang baik akan membuat jiwa (al-qalb al- semestinya diberikan bimbingan dan nasehat.
ruhaniyah) menjadi bersinar, gilang gemilang Seperti halnya jasmani, aspek rohani manusia
dan terang, sementara perbuatan jahat dan harus diberi santapan rohani spiritual
maksiat seseorang akan membuat keadaan nourishment dengan tujuan agar manusia tetap
jiwanya menjadi gelap dan tidak bercahaya. menyadari akan eksistensi dirinya sebagai “
Tindakan yang mulia menyucikan serta hamba Allah” yang senantiasa tunduk dan
membawa cahaya (nur) pada jiwa sementara patuh terhadap peraturan- peraturan syar‟i.
tindakan jahat dan membawa dosa Karena, jika manusia mulai meninggalkan
mengotorkan jiwa sehingga hilang cahayanya. tuntunan Allah dan berbuat menurut hawa
Sifat dan perilaku manusia tergantung pada nafsunya, maka ibarat kendaraan atau mobil
jenis jiwa yang berkuasa atas dirinya. yang dikendarai oleh sopir yang tanpa rambu-
Sebagaimana dalam hadits dijelaskan rambub, traffic lights maupun zebra cross,
“sesungguhnya dalam jasad itu artinya hidup manusia menjadi tidak terkendali
terdapat segumpal darah, apabila ia baik, maka dan bisa menimbulkan bahaya bagi dirinya
baik pula seluruh jasad. Dan apabila segumpal sendiri orang lain maupun lingkungan
darah itu rusak, maka rusaklah seluruh jasad. sekitarnya. Menurut Umaruddin, dalam
Ketahuilah, sesungguhnya segumpal darah itu mengupas sifat manusia, al-Ghazali
adalah hati (al-qalb ruhaniyah insaniyah). menegaskan bahwa manusia mempunyai
Berdasarkan uraian di atas dapat dikatakan peluang untuk mencapai derajat malaikat
ISSN 2086 – 1397 Volume VII Nomor 2. Juli – Desember 2016 |109
Hasanah, Manusia dalam Pandangan...
ISSN 2086 – 1397 Volume VII Nomor 2. Juli – Desember 2016 |110
Hasanah, Manusia dalam Pandangan...
Min al-Dhalal, yang ditulisnya setelah ia semulia-mulianya segala sesuatu adalah yang
melakukan dialog panjang selama krisis bisa mengantarkan seseorang dekat dengan
kejiwaan dan mampu mengatasinya setelah Allah. Untuk bisadekat dengan Allah,
kurang lebih sepuluh tahun. (Muhammad seseorang perlu beramal dan seseorang tidak
Jawwad Ridha, 2002) bisa beramal dengan baik kecuali dengan ilmu
Oleh sebab itu pemikiran al-Ghazali pengetahuan mengenai bagaimana cara
tentang hakikat manusia lebih mengedepankan ber‟amal. Jadi, pangkal kebahagiaan hidup di
dimensi rohani sebagaimana uraian di atas. dunia dan akherat adalah ilmu, sehingga
Konsekwensinya pemikiran pendidikan al- merupakan amal yang terbaik(Muhammad
Ghazali lebih berorientasi pada upaya Jawwad Ridha, 2002). Di sinilah letak
“pembersihan jiwa (rohani) dari noda-noda kemuliaan dan keutamaan ilmu pengetahuan
akhlak dan sifat-sifat tercela”. Pandangan al- menurut al-Ghazali. Menurut beliau, ilmu
Ghazali tentang hakikat manusia berimplikasi yang tiada dapat memberikan manfaat untuk
pada konsep pendidikan “Akhlaq al-Ghazali". mendekatkan diri kepada Allah adalah sia-sia.
Bagaimana konsepnya tentang hakikat Berdasarkan pandangan ini, al-Ghazali
manusia begitulah konsep pendidikan yang mengklasifikasikan ilmu pengetahuan secara
diinginkannya. Al-Ghazali menyeru pada garis besar ke dalam kategori ilmu fardhu „ain
tasawuf, zuhud dan tawakkal, tetapi beliau dan ilmu fardhu kifayah. Yang termasuk
tidak menyeru untuk mengabaikan kehidupan dalam kategori pertama adalah ilmu-ilmu
dunia, seperti bertani, industry, kedokteran dan agama atau al- ‟ulum al –diniyah yang
sebagainya. berasaskan prinsip-prinsip ketuhanan (wahyu)
Karena itu, pendidikan akhlak dalam dan kenabian (sunnah) tanpa harus
perspektif al-Ghazali adalah hal yang sangat mempertimbangkan potensi akal dalam
“urgen” dalam mengembangkan sifat-sifat implementasinya, dan yang kedua ilmu-ilmu
ketuhanan yang ada pada diri manusia, agar umum atau al- „ulum al -„aqliyah (ilmu-ilmu
manusia dapat hidup bahagia di dunia dan intelektual) adalah ilmu yang diperoleh
akhirat. Hal ini bisa dicermati dari formulasi melalui pemikiran manusia semata seperti,
teori pendidikannya yang tertuang dalam matematika, logika, fisika dan ilmu
karyanya Ayyuha al-Walad yang berkisar alam(Armai Arief, 2005). Dalam dunia
pada tiga hal pokok, yaitu: pendidikan Islam, pengklasifikasian ilmu oleh
1. Keutamaan ilmu-pengetahuan al-Ghazali berkembang menjadi dasar
2. Pengklasifikasian ilmu-pengetahuan konstruksi paradigma dikhotomik. Kenyataan
3. Kode etik bagi pendidik (guru) dan ini telah melanda hampir di seluruh dunia
peserta didik. Islam, sehingga menjadi salah satu penyebab
Menurut al-Ghazali, ilmu pengetahuan keterpurukan peradaban Islam. Dalam
merupakan “jalan” utama yang mengantarkan perspektif historis, kondisi ini
seseorang dekat dengan Allah. Menurutnya, ditumbuhsuburkan oleh kalangan klonialisme
ISSN 2086 – 1397 Volume VII Nomor 2. Juli – Desember 2016 |111
Hasanah, Manusia dalam Pandangan...
Barat yang sejak beberapa abad menjajah emosional. Pandangan al-Ghazali ini,
negara-negara Islam. Sampai saat ini, masih berimplikasi sangat luas dan membumi dalam
banyak dijumpai lembaga-lembaga pendidikan dunia pendidikan Islam. Kenyataan ini
Islam yang masih menggunakan paradigma tercermin dari praktek pendidikan Islam
dikhotomik. Walau pun, sejak abad ke 19 seperti pesantren. Taradisi salaman dengan
sudah ada upaya dalam rangka “mencium tangan” sang kiyai atau ustadz
mengintegrasikan ilmu-ilmu agama dan ilmu- merupakan salah satu bentuk kepatuhan dan
ilmu umum seperti konsep “Islamisasi Ilmu” penghormatan seorang murid kepada guru.
yang didengungkan oleh Isma‟il Rozi al- Menurut Abdullah Syafi‟ie
Faruqi dan Naquib al-Atas, namun semua itu (2005) seorang guru bukan hanya mentransfer
masih dalam dataran “wacana”, belum action. ilmu, tetapi juga pembentuk watak, krakter
Al-Ghazali telah menetapkan suatu prinsip dan kepribadian anak didik. Guru beraqidah
penting yang mengatakan bahwa dari segi yang kokoh, berilmu serta berusaha
teoritis, akal dan syara‟ tidak akan meningkatkan ilmunya, memiliki jiwa yang
bertentangan secara hakiki, karena keduanya ikhlas, dan bersikap bijak. Hal ini terbukti dari
adalah cahaya petunjuk dari Allah swt. kebijakan beliau yang memberikan
Demikian juga jika dilihat dari segi praktis, kesempatan kepada guru untuk meningkatkan
tidak ada hakikat agama yang bertentangan wawasan dan memperdalam ilmunya dengan
dengan hakikat ilmiah, bahkan antara mengikuti kuliah di perguruan tinggi termasuk
keduanya saling mendukung. perguruan tinggi al-Azhar di Mesir dengan
Terkait dengan pendidik, al-Ghazali menanggung semua pembiayaannya. (Abdulah
sebagai seorang guru telah memberikan Syafi‟ie: 2005)
perhatian yang penuh terhadap murid Menurut Al-Abrasyi, seorang ahli
mengasihi dan menyangi murid-muridnya pendidikan Islam abad modern, bahwa guru
Menurutnya, guru harus menjadi tauladan dalam pendidikan Islam harus memiliki sifat-
yang baik dan meniru sifat nabi, sederhana sifat, yaitu; Zuhud, bersih lahir-batin, ikhlas,
dalam bertindak, tidak pemarah, ikhlas dan pemaaf, sabar, tidak pemarah, berkepribadian
selalu menanamkan sifat ikhlas kepada anak dan mempunyai harga diri, kebapakan,
didik, berusaha untuk taqarrub ilallah dan berusaha mengetahui watak muridnya dan
mengupayakan anak didik untuk ber taqarrub selalu memikirkannya (Muhammad „Athiyah
ilallah. al-Abrasyi, 1975)
Konsep manusia dalam pemikiran al- Beberapa pendapat yang dikemukakan
Ghazali, selaras dengan pemikiran beliau di atas, terkait dengan pemikiran tentang
tentang bagaimana sikap dan perilaku seorang pendidik dalam perspektif pendidikan Islam,
guru dan murid. Begitu juga hubungan yang menunjukkan adanya kesamaan persepsi dan
terjalin antara keduanya, beliau menekankan pandangan dengan pemikiran al-Ghazali. Hal
perlunya dibangun hubungan yang bersifat ini bisa jadi mengindikasikan bahwa betapa
ISSN 2086 – 1397 Volume VII Nomor 2. Juli – Desember 2016 |112
Hasanah, Manusia dalam Pandangan...
ISSN 2086 – 1397 Volume VII Nomor 2. Juli – Desember 2016 |113
Hasanah, Manusia dalam Pandangan...
menjadi manusia yang beriman dan bertakwa serta menjadi warga negara yang demokratis
kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak dan bertanggung jawab.
mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri,
ISSN 2086 – 1397 Volume VII Nomor 2. Juli – Desember 2016 |114
Hasanah, Manusia dalam Pandangan...
DAFTAR PUASTAKA
Abd. Rachman Assegaf, Filsafat Pendidikan Islam, Paradigma Baru Pendidikan Hadhari Berbasis
Integratifinterkonektif , (Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2010).
_________, Konfigurasi Teori pendidikan John dewey dan Al-Abrasyy, dalam Pendidikan Islam
dalam Konsepsi dan Realitas, ed. Abd. Rachman Assegaf (Yogyakarta: Lemlit UIN Suka,
2006).
Abul Uasem, The Ethics of al-Ghazzali : A Composite Ethics in Islam, (Kuala Lumpur: Universiti
Malaya, 1975).
Ahmad Farid, Tazkiyat al-Nafs, diterjemahkan oleh Nabhani Idris dengan judul: Pembersih Jiwa
(Bandung: Pustaka, 1996).
Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Islam Perspektif Islam, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1992).
Ali Syari‟ati, al-Insan wa al-Madaris al-Gharb. Terj. Arif Muhammad. (Jakarta: Pustaka Hidayah,
1992).
Holmes Roston III dalam Ilmu dan Agama, (Pusat Bahasa UIN Sunan kalijaga, 2006).
Ali Khalil Abu al - Ainain, Falsafah al-Tarbiyah fi al- Qur‟an al -Karim, (Daar al Fikri al-„Arabiy,
1980)
As‟aril Muhajir dalam Ilmu Pendidikan Perspektif Kontekstual , (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media,
2011).
E. Mulyasa, Standar Kompetensi Sertifikasi Guru, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2007)
Fasli Jalal, Reformasi Pendidikan dalam Konteks Otonomi Daerah, (Yogyakarta: Adicita, 2001).
Ian G Barbour, Isu dalam Sains dan Agama, (Yogyakarta: UIN Sunan kalijaga, 2006).
Jalaluddin Rahmat (Pengantar), dalam Ali Abdul Azhim, Epistemologi dan Aksiologi Ilmu,
Perspektif al Qur‟an (Bandung: Rosda,1989)
Kadar Muhammad Yusuf, Analisis Qur‟ani terhadap Pemikiran Ibnu Sina dan al -Ghazali,
(Pekanbaru: Suska Press, 2008).
Komaruddin Hidayat, Pendidikan dan Krakter Kebangsaan, dalam Paradigma Baru Pendidikan, ed.
Kusmana dan JM Muslimin, (Jakarta: IISEP bekerja sama dengan Diktis Depag RI, 2008).
ISSN 2086 – 1397 Volume VII Nomor 2. Juli – Desember 2016 |115
Hasanah, Manusia dalam Pandangan...
Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat, Tradisi-Tradisi Islam diIndonesia
(Bandung: Mizan, 1995)
M. Dawam Rahardjo, “Nafs”, dalam Jurnal Ilmu dan Kebudayaan Ulumul Qur‟an, No. 8, Volume II,
Tahun 1991
ISSN 2086 – 1397 Volume VII Nomor 2. Juli – Desember 2016 |116