Anda di halaman 1dari 17

33

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada tanggal 24 Maret 2018 di Pusat Rekam Medis

Rumah Sakit Panti Rahayu Purwodadi. Sampel yang didapatkan adalah 100

rekam medis balita, dan yang memenuhi kriteria inklusi adalah sebanyak 70

rekam medis. Rekam medis yang tidak dimasukkan ada 30 karena data usia diatas

59 bulan dan tidak memenuhi kelengkapan variabel.

Alur pencatatan dimulai dari pencatatan data pribadi seperti usia dalam

bulan, berat badan dan jenis kelamin. Selanjutnya dilakukan pencatatan dari

variabel bebas, variabel terikat, dan juga variabel perancu. Variabel bebas yang

diteliti adalah status gizi. Variabel terikat yang diteliti yaitu derajat pneumonia.

Derajat pneumonia pasien dilihat dari keluhan, pemeriksaan fisik dan diagnosis

dokter yang menangani. Variabel yang diteliti adalah penyakit yang menyertai

diagnosis pneumonia pada pasien, riwayat imunisasi campak, riwayat pemberian

ASI eksklusif, dan juga berat bayi saat lahir. Variabel bebas dan variabel perancu

akan dilihat hubungannya masing-masing dengan variabel terikat.


34

4.1.1 Karakteristik Sampel

Gambar 4.1 distribusi Sampel Berdasarkan Usia

Berdasarkan gambar 4.1 dilampirkan distribusi sampel berdasar usia didapatkan

jumlah sampel yang usianya kurang dari atau sama dengan 2 tahun (1-24 bulan)

sebanyak 46 balita (66,7%) sedangkan jumlah sampel dengan usia diatas 2 tahun

(25-59 bulan) sebanyak 24 balita (34,3%).

Gambar 4.2 distribusi Sampel Berdasarkan Jenis Kelamin

Berdasarkan gambar 4.2 dilampirkan distribusi sampel berdasar jenis kelamin

didapatkan jumlah sampel yang berjenis kelamin laki-laki sebanyak 47 balita

(67,1%) sedangkan jumlah sampel dengan jenis kelamin perempuan sebanyak 23

balita (32,9%).
35

Gambar 4.3 distribusi Sampel Berdasarkan Status Gizi Buruk

Berdasarkan gambar 4.3 dilampirkan distribusi sampel berdasar status gizi didapatkan
jumlah sampel dengan status gizi buruk sebanyak 21 balita (30%) sedangkan jumlah
sampel dengan status gizi baik sebanyak 49 balita (70%).

Gambar 4.4 ditribusi Sampel Berdasarkan yang Belum Diberi


Vaksin Campak

Berdasarkan gambar 4.4 dilampirkan distribusi sampel berdasar riwayat imunisasi

campak didapatkan jumlah sampel yang tidak diberikan vaksin campak sebanyak

31 balita (44,3%) sedangkan jumlah sampel yang sudah diberikan vaksin campak

39 balita (55,7%).
36

Gambar 4.5 distribusi Sampel Berdasarkan Diagnosis Sekunder

Berdasarkan gambar 4.5 dilampirkan distribusi sampel berdasar diagnosis

sekunder didapatkan jumlah sampel yang didiagnosis dengan adanya diagnosis

sekunder sebanyak 30 balita (42,8%) sedangkan jumlah sampel yang didiagnosis

tanpa diagnosis sekunder sebanyak 40 balita (57,2%).

Gambar 4.6 distribusi Sampel Berdasarkan yang Tidak Diberi ASI


Eksklusif

Berdasarkan gambar 4.6 dilampirkan distribusi sampel berdasar riwayat

pemberian ASI eksklusif didapatkan jumlah sampel yang tidak diberi ASI

eksklusif sebanyak 22 balita (31,4%) sedangkan jumlah sampel yang sudah diberi

ASI eksklusif sebanyak 48 balita (68,6%).


37

Gambar 4.7 ditribusi Sampel Berdasarkan BBLR

Berdasarkan gambar 4.7 dilampirkan distribusi sampel berdasar berat bayi saat

lahir didapatkan jumlah sampel balita yang lahir dengan berat rendah sebanyak 19

balita (27,1%) sedangkan jumlah sampel balita yang lahir dengan berat normal

sebanyak 51 balita (72,9%).

Gambar 4.8 ditribusi Sampel Berdasarkan Derajat Pneumonia

Kasus pneumonia lebih banyak dari pada pneumonia berat. Pneumonia pada balita

sebanyak 44 (62,9%), sedangkan pada pneumonia berat sebanyak 26 balita

(37,1%).
38

4.1.2 Analisis Bivariat

Tabel 4.1 Status gizi dan derajat pneumonia

Derajat pneumonia Prevalence


Pneumonia Pneumonia Total Nilai p Ratio
Berat CI 95%
Status gizi Ya 17 4 21
buruk (24,3%) (5,7%) (30%)
Tidak 9 40 49 0,000 18,9 (5,1-
(12,9%) (57,1%) (70%) 69,8)
Total 26 44 70
(37,2%) (62,8%) (100%)

Berdasarkan tabel di atas didapatkan hasil dari sampel yang memiliki

status gizi buruk dengan pneumonia berat sebanyak 17 sampel (24,3%),

sedangkan dengan pneumonia sebanyak 4 sampel (5,7%). Sampel yang memiliki

status gizi baik dengan pneumonia berat ada 9 sampel (12,9%), sedangkan yang

dengan pneumonia sebanyak 40 sampel (57,1%). Dari hasil analisis

menggunakan fisher didapatkan p value sebesar 0,000, dimana nilai tersebut lebih

kecil dari nilai p = 0,05 sehingga H1 diterima. Hal tersebut menjelaskan bahwa

terdapat hubungan yang signifikan antara status gizi dengan derajat pneumonia.

Prevalence Ratio (PR) status gizi buruk dengan derajat pneumonia sebesar 18,9

dengan interval konfidensi 95% 5,1-69,8.


39

Tabel 4.2 Vaksin campak dan derajat pneumonia

Derajat pneumonia Prevalence


Pneumonia Pneumonia Total Nilai p Ratio
Berat CI 95%
Tidak Ya 18 13 31
divaksin (25,7%) (18,6%) (44,3%)
campak Tidak 8 31 39 0,001 5,365
(11,4%) (44,3%) (55,7%) (1,8-15,4)
Total 44 26 70
(62,8%) (37,2%) (100%)

Berdasarkan tabel di atas didapatkan hasil dari sampel yang tidak diberi

vaksin dengan pneumonia berat sebanyak 18 sampel (25,7%), sedangkan dengan

pneumonia sebanyak 13 sampel (18,6%). Sampel yang sudah diberi vaksin

campak dengan pneumonia berat ada 8 sampel (11,4%), sedangkan yang dengan

pneumonia sebanyak 31 sampel (44,3%). Dari jumlah sampel yang didapatkan,

terdapat balita dibawah usia 9 bulan sebanyak 3 sampel dan yang diatas 9 bulan

sebanyak 67. Dari hasil analisis menggunakan chi square didapatkan p value

sebesar 0,001, dimana nilai tersebut lebih kecil dari nilai p = 0,05 sehingga H1

diterima. Hal tersebut menjelaskan bahwa terdapat hubungan yang signifikan

antara tidak diberi vaksin campak dengan derajat pneumonia. Prevalence Ratio

(PR) vaksin campak dengan derajat pneumonia sebesar 5,365 dengan interval

konfidensi 95% 1,8-15,4.

Tabel 4.3 diagnosis sekunder dan derajat pneumonia

Derajat pneumonia Prevalence


Pneumonia Pneumonia Total Nilai p Ratio
Berat CI 95%
Adanya Ya 14 16 30 0,49
diagnosis (20%) (22,8%) (42,8%) (0,183-
sekunder Tidak 12 28 40 0,153 1,313)
(17,2%) (40%) (57,2%)
40

Total 44 26 70
(62,8%) (37,2%) (100%)
Berdasarkan tabel di atas didapatkan hasil dari sampel yang disertai

diagnosis sekunder dengan pneumonia beart sebanyak 14 sampel (20%),

sedangkan dengan pneumonia sebanyak 16 sampel (22,8%). Sampel yang tidak

disertai diagnosis sekunder dengan pneumonia berat ada 12 sampel (17,2%),

sedangkan yang dengan pneumonia sebanyak 28 sampel (40%). Beberapa

penyakit yang menyertai adalah diare sebanyak 25, campak sebanyak 3, dan

anemia sebanyak 2. Dari hasil analisis menggunakan chi square didapatkan p

value sebesar 0,153, dimana nilai tersebut lebih besar dari nilai p = 0,05 sehingga

H0 diterima. Hal tersebut menjelaskan bahwa tidak terdapat hubungan yang

signifikan antara diagnosis sekunder dengan derajat pneumonia. Prevalence Risk

(PR) diagnosis sekunder dengan derajat pneumonia sebesar 0,49 dengan interval

konfidensi 95% 0,183-1,313.

Tabel 4.4 ASI eksklusif dan derajat pneumonia

Derajat pneumonia Prevalence


Pneumonia Pneumonia Total Nilai p Ratio
Berat CI 95%
Tidak Ya 13 9 22
diberi ASI (18,6%) (12,8%) (31,4%)
eksklusif Tidak 13 35 48 0,010 3,9 (1,3-
(18,6%) (50%) (68,6%) 11,2)
Total 26 44 70
(37,2%) (62,8%) (100%)

Berdasarkan tabel di atas didapatkan hasil dari sampel balita yang tidak

diberi ASI eksklusif dengan pneumonia berat sebanyak 13 sampel (18,6%),

sedangkan dengan pneumonia sebanyak 9 sampel (12,8%). Sampel balita yang


41

diberi ASI eksklusif dengan pneumonia berat ada 13 sampel (18,6%), sedangkan

yang dengan pneumonia sebanyak 35 sampel (50%). Dari jumlah sampel yang

didapatkan, balita dengan usia kurang dari 6 bulan sebanyak 3 dan yang diatas 6

bulan sebanyak 67. Dari hasil analisis menggunakan chi square didapatkan p

value sebesar 0,020, dimana nilai tersebut lebih kecil dari nilai p = 0,05 sehingga

H1 diterima. Hal tersebut menjelaskan bahwa terdapat hubungan yang signifikan

antara tidak diberi ASI eksklusif dengan derajat pneumonia. Prevalence Ratio

(PR) ASI eksklusif dengan derajat pneumonia sebesar 3,9 dengan interval

konfidensi 95% 1,3-11,2.

Tabel 4.5 BBLR dan derajat pneumonia

Derajat pneumonia Prevalence


Pneumonia Pneumonia Total Nilai p Ratio
Berat CI 95%
BBLR Ya 12 7 19
(17,2%) (10%) (27,2%)
Tidak 14 37 51 0,006 4,531 (1,4-
(20%) (52,8%) (72,8%) 13,8)
Total 44 26 70
(62,8%) (37,2%) (100%)

Berdasarkan tabel di atas didapatkan hasil dari sampel balita yang berat

lahir rendah dengan pneumonia berat sebanyak 12 sampel (17,2%), sedangkan

dengan pneumonia sebanyak 7 sampel (10%). Sampel balita yang berat lahir

normal dengan pneumonia berat ada 14 sampel (10%), sedangkan yang dengan

pneumonia sebanyak 37 sampel (52,8%). Dari hasil analisis menggunakan chi

square didapatkan p value sebesar 0,006, dimana nilai tersebut lebih kecil dari

nilai p = 0,05 sehingga H1 diterima. Hal tersebut menjelaskan bahwa terdapat


42

hubungan yang signifikan antara BBLR dengan derajat pneumonia. Prevalence

Ratio (PR) BBLR dengan derajat pneumonia sebesar 4,531 dengan interval

konfidensi 95% 1,4-13,8.

4.1.3 Anaisis Multivariat

Tabel 4.6 analisis multivariat

CI 95% P
Variabel PR Min max
Status gizi buruk 17,491 3,583 85,383 0,000

Tidak diberi Vaksin campak 5,980 1,448 24,701 0,013

Adanya diagnosis sekunder 1,125 0,279 4,529 0,868

Tidak diberi ASI eksklusif 4,180 0,942 18,555 0,060

BBLR 3,446 0,694 17,106 0,130


Berdasarkan analisis regresi logistik ganda didapatkan dua variabel yang

terbukti berhubungan signifikan secara statistik, yaitu status gizi dan vaksin

campak, yang mempengaruhi derajat pneumonia pasien pneumonia balita di RS

Panti Rahayu Purwodadi. Status gizi dengan p=0,000 dan PR=17,491 dengan

interval konfidensi 95% 3,583-85,383. Vaksin campak memiliki p=0,013 dan

PR=5,980 dengan interval konfidensi 95% 1,448-24,701.


43

4.2 Pembahasan

Penelitian ini dilakukan pada 70 pasien pneumonia balita di RS Panti

Rahayu, Purwodadi, pada periode tahun 2014-2016 dengan karakteristik sampel

dikelompokkan berdasarkan usia, dengan batasan 2 tahun, sehingga terbentuk

kelompok sampel < 2 tahun dan > 2 tahun sehingga didapatkan jumlah sampel

berusia 1-24 bulan (< 2 tahun) sebanyak 46 balita (66,7%) sedangkan jumlah

sampel dengan usia diatas 25-59 bulan (2 tahun) sebanyak 24 balita (34,3%).

Pengelompokan pasien berdasarkan usia < 2 tahun dan > 2 tahun sejalan dengan

penelitian yang dilakukan oleh Roux pada tahun 2015 dimana insiden pneumonia

balita didapatkan lebih tinggi pada usia < 2 tahun dibandingkan dengan usia > 2

tahun. Depkes RI juga menjelaskan bahwa balita memiliki mekanisme pertahanan

tubuh yang masih rendah dibanding orang dewasa, sehingga rentan terhadap

infeksi pneumonia. Dijelaskan juga bahwa balita yang berusia 1-24 bulan lebih

rentan terhadap penyakit pneumonia dibandingkan dengan balita yang berusia 25-

59 bulan. Hal ini disebabkan imunitas yang belum sempurna dan saluran

pernapasan yang relatif kecil (Depkes RI, 2004).

Hasil penelitian mengenai distribusi sampel berdasarkan jenis kelamin

menunjukkan bahwa sampel berjenis kelamin laki-laki lebih banyak dibanding

dengan sampel yang berjenis kelamin perempuan. Hal tersebut sejalan dengan

penelitian yang dilakukan oleh Hartati S, dkk (2012) dimana insiden pneumonia

balita didapatkan lebih banyak sampel berjenis kelamin laki-laki dibandingkan

dengan sampel yang berjenis kelamin perempuan. Menurut Sunyataningkamto


44

(2004) balita laki-laki merupakan faktor resiko dari pneumonia balita. Hal

tersebut karena perbedaan struktur morfologi dari saluran pernapasan dan juga

karena pengaruh hormon. Secara khusus testosteron yang telah terbukti memiliki

efek imunosupresif keseluruhan yang mengurangi jumlah interferon (IFN) γ, dan

interleukin 4. Estrogen dapat meningkatkan respon imun seluler Th1 pada dosis

rendah dan meningkatkan respon Th2 pada dosis tinggi.

Dari hasil uji analisis menggunakan fisher hubungan status gizi dengan

derajat pneumonia didapatkan nilai p = 0,000 dan Prevalence Ratio (PR) status

gizi dengan derajat pneumonia sebesar 18,9 dengan interval konfidensi 95% 5,1-

69,8. Dari data tersebut menunjukkan adanya hubungan antara status gizi dengan

derajat pneumonia dimana balita dengan gizi buruk memiliki resiko mengalami

derajat pneumonia yang lebih berat dibandingkan dengan balita yang memiliki

gizi baik. Dari hasil prevalence ratio dapat disimpulkan bahwa balita dengan gizi

buruk memiliki nilai resiko 18,9 kali lipat mengalami derajat pneumonia berat

daripada balita dengan gizi baik. Hal ini sejalan dengan penelitian Susi Hartati

(2012), yang menyatakan bahwa terdapat hubungan antara status gizi dengan

derajat pneumonia, dimana pasien pneumonia balita dengan gizi <-2 SD akan

mengalami gejala yang lebih parah jika dibandingkan dengan balita dengan status

gizi baik. Menurut Achmad Gozali (2010), status gizi mengakibatkan menurunnya

kekebalan tubuh terhadap infeksi yaitu melalui gangguan imunitas hormonal yang

disebabkan oleh menurunnya komplemen protein, dan menurunnya aktivitas

leukosit untuk memfagosit maupun membunuh kuman. Menurut Pudjiadi (2001),

malnutrisi akan menurunkan imunitas seluler, kelenjar timus dan tonsil menjadi
45

atrofik dan jumlah sel T-limfosit berkurang sehingga tubuh menjadi lebih rentan

terhadap infeksi. Pasien dengan malnutrisi mengalami masalah dengan sistem

imunitas, khususnya IgA. Malnutrisi menyebabkan terjadi penurunan level IgA,

IgA pada sistem imun berfungsi untuk melindungi saluran nafas atas dari infeksi

organisme patogenik. Oleh karena itu, penurunan level IgA mengakibatkan

penurunan sistem imun saluran nafas sehingga akan memperparah derajat infeksi

sistem saluran nafas, Artawan (2016).

Dari hasil uji analisis menggunakan chi square hubungan vaksin campak

dengan derajat pneumonia didapatkan nilai p = 0,001 dan Prevalence Ratio (PR)

vaksin campak dengan derajat pneumonia sebesar 5,365 dengan interval

konfidensi 95% 1,8-15,4. Dari data tersebut menunjukkan adanya hubungan

antara vaksin campak dengan derajat pneumonia dimana balita belum diberikan

vaksin campak memiliki resiko mengalami derajat pneumonia yang lebih berat

dibandingkan dengan balita yang sudah dicaksin campak. Dari hasil prevalence

ratio dapat disimpulkan bahwa balita yang belum mendapatkan vaksin campak

memiliki nilai resiko 5,365 kali lipat mengalami derajat pneumonia berat daripada

balita yang sudah mendapatkan vaksin campak. Hal ini sejalan dengan Agus

Salim (2012), yang menyatakan bahwa terdapat hubungan antara riwayat

pemberian vaksin campak dengan derajat pneumonia, menurutnya pemberian

vaksin campak akan memberikan peranan yang berarti mencegah terjadinya

pneumonia dan juga penyakit menular lainnya. Pneumonia dapat disebabkan

karena adanya paparan virus maupun bakteri. Balita yang belum diberikan vaksin

campak akan memiliki faktor risiko terjadinya pneumonia. Imunisasi dasar


46

lengkap merupaka tujuan untuk meningkatkan daya tahan tubuh terhadap infeksi.

Jadi, balita yang belum mendapatkan vaksin campak akan memiliki risiko

menderita pneumonia yang lebih parah dibandingkan dengan yang sudah

mendapatkan vaksin campak, Presilya (2014).

Dari hasil uji analisis menggunakan chi square tidak terdapat hubungan

yang signifikan antara diagnosis sekunder dengan derajat pneumonia pasien

pneumonia balita di RS Panti Rahayu Purwodadi. Didapatkan nilai p = 0,153

Prevalence Ratio (PR) diagnosis sekunder dengan derajat pneumonia sebesar 0,49

dengan interval konfidensi 95% 0,183-1,313. Menurut Sulaiman (2011) penyakit

yang paling sering menyertai penyakit pneumonia adalah diare. Pasien balita yang

terkena pneumonia akan mengalami penurunan kekebalan tubuh dan memicu

bakteri menyebabkan penyakit diare. Dengan penyakit diare yang paling banyak

menjadi diagnosis sekunder. Penyakit diare merupakan penyakit self limiting

disease atau penyakit yang bisa sembuh dengan sendiri, sehingga tidak terlalu

mengganggu dari pengobatan penyakit pneumonia (Christa et al., 2013). Yang

perlu dilakukan jika terjadi diare sebagai diagnosis sekunder dari pneumonia,

harus segera dilakukan rehidrasi secepatnya (Wijaya, 2012).

Dari hasil uji analisis menggunakan chi square hubungan ASI eksklusif

dengan derajat pneumonia didapatkan nilai p = 0,010 dan Prevalence Ratio (PR)

ASI eksklusif dengan derajat pneumonia sebesar 3,9 dengan interval konfidensi

95% 1,3-11,2. Dari data tersebut menunjukkan adanya hubungan antara ASI
47

eksklusif dengan derajat pneumonia dimana balita yang tidak mendapat ASI

eksklusif memiliki resiko mengalami derajat pneumonia yang lebih berat

dibandingkan dengan balita yang mendapatkan ASI eksklusif. Dari hasil odds

ratio dapat disimpulkan bahwa balita yang tidak diberi ASI eksklusif memiliki

nilai resiko 3,9 kali lipat mengalami derajat pneumonia berat daripada balita yang

diberi ASI eksklusif. Hal ini sejalan dengan penelitian Inayati (2016), yang

menyatakan bahwa terdapat hubungan antara ASI eksklusif dengan derajat

pneumonia. Balita yang tidak mendapatkan ASI eksklusif lebih berisiko

mengalami penyakit karena tidak mendapatkan manfaat ASI eksklusif secara

penuh yang lebih berpengaruh dengan pembentukan antibodi sebagai tahanan dari

penyakit. Balita dengan ASI eksklusif akan mendapatkan zat-zat yang sangat

bermanfaat seperti zat protektif (laktobifidus, laktoferin, lizosim, komplemen C3

dan C4, ASI mengandung antistreptokokus yang melindungi bayi terhadap anti

kuman), antibody, imunitas seluler dan zat anti alergi yang melindungi tubuh anak

balita dari masuknya kuman dalam tubuh. Balita yang tidak mendapatkan zat-zat

tersebut salah satunya akan mengakibatkan penurunan sistem imun saluran nafas

sehingga akan memperparah derajat infeksi sitem saluran nafas (Lisa, 2016).

Dari hasil uji analisis menggunakan chi square hubungan BBLR dengan

derajat pneumonia didapatkan nilai p = 0,006 dan Prevalence Ratio (PR) BBLR

dengan derajat pneumonia sebesar 4,531 dengan interval konfidensi 95% 1,4-

13,8. Dari data tersebut menunjukkan adanya hubungan antara BBLR dengan

derajat pneumonia dimana balita dengan riwayat lahir rendah memiliki resiko

mengalami derajat pneumonia yang lebih berat dibandingkan dengan balita yang
48

memiliki riwayat lahir normal. Dari hasil odds ratio dapat disimpulkan bahwa

balita yang lahir rendah memiliki nilai resiko 4,531 kali lipat mengalami derajat

pneumonia berat daripada balita yang lahir normal. Hal ini sejalan dengan

penelitian Pertiwi (2014), yang menyatakan bahwa terdapat hubungan antara

BBLR dengan derajat pneumonia. Berat badan lahir menentukan tumbuh

kembang fisik dan mental pada masa balita. Bayi dengan BBLR sering mengalami

gangguan pernapasan. Hal ini disebabkan oleh pertumbuhan dan perkembangan

paru yang belum sempurna dan otot pernapasan yang masih lemah. Bayi BBLR

memiliki sistem pertahanan tubuh yang rendah terhadap mikroorganisme

pathogen, dengan infeksi ringan saja sudah cukup membuat sakit, sehingga bayi

BBLR rentan terhadap penyakit terutama ISPA. Akibat infeksi virus tersebut dan

juga menurunnya pertahanan tubuh maka derajat yang dialami balita akan

semakin berat.

Pada uji multivariat didapatkan dua variabel yang berhubungan secara

signifikan dengan derajat pneumonia pasien pneumonia balita di RS Panti Rahayu

Purwodadi yaitu status gizi dan vaksin campak. Dimana kedua variabel tersebut

juga memiliki hubungan yang signifikan dengan derajat pneumonia saat diuji

dengan uji chi square. Pada uji regresi ganda didapatkan bahwa status gizi

memiliki pengaruh yang paling besar terhadap derajat pneumonia berat. Pada

penelitian Pada penelitian yang dilakukan Achmad (2010), status gizi merupakan

faktor yang paling berpengaruh dengan derajat pneumonia pasien pneumonia

balita. Pasien pneumonia dengan gizi buruk sangat berdampak pada seluruh

sistem yang ada di tubuh pasien, karena nutrisi yang dibutuhkan oleh tubuh tidak
49

tercukupi. Kurangnya asupan gizi yang dibutuhkan oleh tubuh, akan menurunkan

imunitas seluler, kelenjar timus dan tonsil menjadi atrofik dan jumlah sel T-

limfosit berkurang sehinnga tubuh menjadi lebih rentan terhadap infeksi (Pertiwi,

2014).

4.3 Kelemahan Penelitian

Data dalam penelitian ini merupakan data sekunder yang diambil dari

rekam medis pasien dari bagian Rekam Medis Rumah Sakit Panti Rahayu Pur-

wodadi. Penelitian dengan desain cross sectional sulit untuk mengukur faktor re-

siko secara akurat karena penelitian langsung dilakukan dalam satu waktu yang

singkat. Walaupun begitu, penelitian ini dirasa sudah cukup untuk menguji hubun-

gan antar variabel. Kesulitan yang lainnya adalah ada beberapa rekam medis yang

sulit untuk dibaca.

Anda mungkin juga menyukai