BAB IV
Penelitian ini dilakukan pada tanggal 24 Maret 2018 di Pusat Rekam Medis
Rumah Sakit Panti Rahayu Purwodadi. Sampel yang didapatkan adalah 100
rekam medis balita, dan yang memenuhi kriteria inklusi adalah sebanyak 70
rekam medis. Rekam medis yang tidak dimasukkan ada 30 karena data usia diatas
Alur pencatatan dimulai dari pencatatan data pribadi seperti usia dalam
bulan, berat badan dan jenis kelamin. Selanjutnya dilakukan pencatatan dari
variabel bebas, variabel terikat, dan juga variabel perancu. Variabel bebas yang
diteliti adalah status gizi. Variabel terikat yang diteliti yaitu derajat pneumonia.
Derajat pneumonia pasien dilihat dari keluhan, pemeriksaan fisik dan diagnosis
dokter yang menangani. Variabel yang diteliti adalah penyakit yang menyertai
ASI eksklusif, dan juga berat bayi saat lahir. Variabel bebas dan variabel perancu
jumlah sampel yang usianya kurang dari atau sama dengan 2 tahun (1-24 bulan)
sebanyak 46 balita (66,7%) sedangkan jumlah sampel dengan usia diatas 2 tahun
balita (32,9%).
35
Berdasarkan gambar 4.3 dilampirkan distribusi sampel berdasar status gizi didapatkan
jumlah sampel dengan status gizi buruk sebanyak 21 balita (30%) sedangkan jumlah
sampel dengan status gizi baik sebanyak 49 balita (70%).
campak didapatkan jumlah sampel yang tidak diberikan vaksin campak sebanyak
31 balita (44,3%) sedangkan jumlah sampel yang sudah diberikan vaksin campak
39 balita (55,7%).
36
pemberian ASI eksklusif didapatkan jumlah sampel yang tidak diberi ASI
eksklusif sebanyak 22 balita (31,4%) sedangkan jumlah sampel yang sudah diberi
Berdasarkan gambar 4.7 dilampirkan distribusi sampel berdasar berat bayi saat
lahir didapatkan jumlah sampel balita yang lahir dengan berat rendah sebanyak 19
balita (27,1%) sedangkan jumlah sampel balita yang lahir dengan berat normal
Kasus pneumonia lebih banyak dari pada pneumonia berat. Pneumonia pada balita
(37,1%).
38
status gizi baik dengan pneumonia berat ada 9 sampel (12,9%), sedangkan yang
menggunakan fisher didapatkan p value sebesar 0,000, dimana nilai tersebut lebih
kecil dari nilai p = 0,05 sehingga H1 diterima. Hal tersebut menjelaskan bahwa
terdapat hubungan yang signifikan antara status gizi dengan derajat pneumonia.
Prevalence Ratio (PR) status gizi buruk dengan derajat pneumonia sebesar 18,9
Berdasarkan tabel di atas didapatkan hasil dari sampel yang tidak diberi
campak dengan pneumonia berat ada 8 sampel (11,4%), sedangkan yang dengan
terdapat balita dibawah usia 9 bulan sebanyak 3 sampel dan yang diatas 9 bulan
sebanyak 67. Dari hasil analisis menggunakan chi square didapatkan p value
sebesar 0,001, dimana nilai tersebut lebih kecil dari nilai p = 0,05 sehingga H1
antara tidak diberi vaksin campak dengan derajat pneumonia. Prevalence Ratio
(PR) vaksin campak dengan derajat pneumonia sebesar 5,365 dengan interval
Total 44 26 70
(62,8%) (37,2%) (100%)
Berdasarkan tabel di atas didapatkan hasil dari sampel yang disertai
penyakit yang menyertai adalah diare sebanyak 25, campak sebanyak 3, dan
value sebesar 0,153, dimana nilai tersebut lebih besar dari nilai p = 0,05 sehingga
(PR) diagnosis sekunder dengan derajat pneumonia sebesar 0,49 dengan interval
Berdasarkan tabel di atas didapatkan hasil dari sampel balita yang tidak
diberi ASI eksklusif dengan pneumonia berat ada 13 sampel (18,6%), sedangkan
yang dengan pneumonia sebanyak 35 sampel (50%). Dari jumlah sampel yang
didapatkan, balita dengan usia kurang dari 6 bulan sebanyak 3 dan yang diatas 6
bulan sebanyak 67. Dari hasil analisis menggunakan chi square didapatkan p
value sebesar 0,020, dimana nilai tersebut lebih kecil dari nilai p = 0,05 sehingga
antara tidak diberi ASI eksklusif dengan derajat pneumonia. Prevalence Ratio
(PR) ASI eksklusif dengan derajat pneumonia sebesar 3,9 dengan interval
Berdasarkan tabel di atas didapatkan hasil dari sampel balita yang berat
dengan pneumonia sebanyak 7 sampel (10%). Sampel balita yang berat lahir
normal dengan pneumonia berat ada 14 sampel (10%), sedangkan yang dengan
square didapatkan p value sebesar 0,006, dimana nilai tersebut lebih kecil dari
Ratio (PR) BBLR dengan derajat pneumonia sebesar 4,531 dengan interval
CI 95% P
Variabel PR Min max
Status gizi buruk 17,491 3,583 85,383 0,000
‘
Berdasarkan analisis regresi logistik ganda didapatkan dua variabel yang
terbukti berhubungan signifikan secara statistik, yaitu status gizi dan vaksin
Panti Rahayu Purwodadi. Status gizi dengan p=0,000 dan PR=17,491 dengan
4.2 Pembahasan
kelompok sampel < 2 tahun dan > 2 tahun sehingga didapatkan jumlah sampel
berusia 1-24 bulan (< 2 tahun) sebanyak 46 balita (66,7%) sedangkan jumlah
sampel dengan usia diatas 25-59 bulan (2 tahun) sebanyak 24 balita (34,3%).
Pengelompokan pasien berdasarkan usia < 2 tahun dan > 2 tahun sejalan dengan
penelitian yang dilakukan oleh Roux pada tahun 2015 dimana insiden pneumonia
balita didapatkan lebih tinggi pada usia < 2 tahun dibandingkan dengan usia > 2
tubuh yang masih rendah dibanding orang dewasa, sehingga rentan terhadap
infeksi pneumonia. Dijelaskan juga bahwa balita yang berusia 1-24 bulan lebih
rentan terhadap penyakit pneumonia dibandingkan dengan balita yang berusia 25-
59 bulan. Hal ini disebabkan imunitas yang belum sempurna dan saluran
dengan sampel yang berjenis kelamin perempuan. Hal tersebut sejalan dengan
penelitian yang dilakukan oleh Hartati S, dkk (2012) dimana insiden pneumonia
(2004) balita laki-laki merupakan faktor resiko dari pneumonia balita. Hal
tersebut karena perbedaan struktur morfologi dari saluran pernapasan dan juga
karena pengaruh hormon. Secara khusus testosteron yang telah terbukti memiliki
interleukin 4. Estrogen dapat meningkatkan respon imun seluler Th1 pada dosis
Dari hasil uji analisis menggunakan fisher hubungan status gizi dengan
derajat pneumonia didapatkan nilai p = 0,000 dan Prevalence Ratio (PR) status
gizi dengan derajat pneumonia sebesar 18,9 dengan interval konfidensi 95% 5,1-
69,8. Dari data tersebut menunjukkan adanya hubungan antara status gizi dengan
derajat pneumonia dimana balita dengan gizi buruk memiliki resiko mengalami
derajat pneumonia yang lebih berat dibandingkan dengan balita yang memiliki
gizi baik. Dari hasil prevalence ratio dapat disimpulkan bahwa balita dengan gizi
buruk memiliki nilai resiko 18,9 kali lipat mengalami derajat pneumonia berat
daripada balita dengan gizi baik. Hal ini sejalan dengan penelitian Susi Hartati
(2012), yang menyatakan bahwa terdapat hubungan antara status gizi dengan
derajat pneumonia, dimana pasien pneumonia balita dengan gizi <-2 SD akan
mengalami gejala yang lebih parah jika dibandingkan dengan balita dengan status
gizi baik. Menurut Achmad Gozali (2010), status gizi mengakibatkan menurunnya
kekebalan tubuh terhadap infeksi yaitu melalui gangguan imunitas hormonal yang
malnutrisi akan menurunkan imunitas seluler, kelenjar timus dan tonsil menjadi
45
atrofik dan jumlah sel T-limfosit berkurang sehingga tubuh menjadi lebih rentan
IgA pada sistem imun berfungsi untuk melindungi saluran nafas atas dari infeksi
penurunan sistem imun saluran nafas sehingga akan memperparah derajat infeksi
Dari hasil uji analisis menggunakan chi square hubungan vaksin campak
dengan derajat pneumonia didapatkan nilai p = 0,001 dan Prevalence Ratio (PR)
antara vaksin campak dengan derajat pneumonia dimana balita belum diberikan
vaksin campak memiliki resiko mengalami derajat pneumonia yang lebih berat
dibandingkan dengan balita yang sudah dicaksin campak. Dari hasil prevalence
ratio dapat disimpulkan bahwa balita yang belum mendapatkan vaksin campak
memiliki nilai resiko 5,365 kali lipat mengalami derajat pneumonia berat daripada
balita yang sudah mendapatkan vaksin campak. Hal ini sejalan dengan Agus
karena adanya paparan virus maupun bakteri. Balita yang belum diberikan vaksin
lengkap merupaka tujuan untuk meningkatkan daya tahan tubuh terhadap infeksi.
Jadi, balita yang belum mendapatkan vaksin campak akan memiliki risiko
Dari hasil uji analisis menggunakan chi square tidak terdapat hubungan
Prevalence Ratio (PR) diagnosis sekunder dengan derajat pneumonia sebesar 0,49
yang paling sering menyertai penyakit pneumonia adalah diare. Pasien balita yang
bakteri menyebabkan penyakit diare. Dengan penyakit diare yang paling banyak
disease atau penyakit yang bisa sembuh dengan sendiri, sehingga tidak terlalu
perlu dilakukan jika terjadi diare sebagai diagnosis sekunder dari pneumonia,
Dari hasil uji analisis menggunakan chi square hubungan ASI eksklusif
dengan derajat pneumonia didapatkan nilai p = 0,010 dan Prevalence Ratio (PR)
ASI eksklusif dengan derajat pneumonia sebesar 3,9 dengan interval konfidensi
95% 1,3-11,2. Dari data tersebut menunjukkan adanya hubungan antara ASI
47
eksklusif dengan derajat pneumonia dimana balita yang tidak mendapat ASI
dibandingkan dengan balita yang mendapatkan ASI eksklusif. Dari hasil odds
ratio dapat disimpulkan bahwa balita yang tidak diberi ASI eksklusif memiliki
nilai resiko 3,9 kali lipat mengalami derajat pneumonia berat daripada balita yang
diberi ASI eksklusif. Hal ini sejalan dengan penelitian Inayati (2016), yang
penuh yang lebih berpengaruh dengan pembentukan antibodi sebagai tahanan dari
penyakit. Balita dengan ASI eksklusif akan mendapatkan zat-zat yang sangat
dan C4, ASI mengandung antistreptokokus yang melindungi bayi terhadap anti
kuman), antibody, imunitas seluler dan zat anti alergi yang melindungi tubuh anak
balita dari masuknya kuman dalam tubuh. Balita yang tidak mendapatkan zat-zat
tersebut salah satunya akan mengakibatkan penurunan sistem imun saluran nafas
sehingga akan memperparah derajat infeksi sitem saluran nafas (Lisa, 2016).
Dari hasil uji analisis menggunakan chi square hubungan BBLR dengan
derajat pneumonia didapatkan nilai p = 0,006 dan Prevalence Ratio (PR) BBLR
dengan derajat pneumonia sebesar 4,531 dengan interval konfidensi 95% 1,4-
13,8. Dari data tersebut menunjukkan adanya hubungan antara BBLR dengan
derajat pneumonia dimana balita dengan riwayat lahir rendah memiliki resiko
mengalami derajat pneumonia yang lebih berat dibandingkan dengan balita yang
48
memiliki riwayat lahir normal. Dari hasil odds ratio dapat disimpulkan bahwa
balita yang lahir rendah memiliki nilai resiko 4,531 kali lipat mengalami derajat
pneumonia berat daripada balita yang lahir normal. Hal ini sejalan dengan
kembang fisik dan mental pada masa balita. Bayi dengan BBLR sering mengalami
paru yang belum sempurna dan otot pernapasan yang masih lemah. Bayi BBLR
pathogen, dengan infeksi ringan saja sudah cukup membuat sakit, sehingga bayi
BBLR rentan terhadap penyakit terutama ISPA. Akibat infeksi virus tersebut dan
juga menurunnya pertahanan tubuh maka derajat yang dialami balita akan
semakin berat.
Purwodadi yaitu status gizi dan vaksin campak. Dimana kedua variabel tersebut
juga memiliki hubungan yang signifikan dengan derajat pneumonia saat diuji
dengan uji chi square. Pada uji regresi ganda didapatkan bahwa status gizi
memiliki pengaruh yang paling besar terhadap derajat pneumonia berat. Pada
penelitian Pada penelitian yang dilakukan Achmad (2010), status gizi merupakan
balita. Pasien pneumonia dengan gizi buruk sangat berdampak pada seluruh
sistem yang ada di tubuh pasien, karena nutrisi yang dibutuhkan oleh tubuh tidak
49
tercukupi. Kurangnya asupan gizi yang dibutuhkan oleh tubuh, akan menurunkan
imunitas seluler, kelenjar timus dan tonsil menjadi atrofik dan jumlah sel T-
limfosit berkurang sehinnga tubuh menjadi lebih rentan terhadap infeksi (Pertiwi,
2014).
Data dalam penelitian ini merupakan data sekunder yang diambil dari
rekam medis pasien dari bagian Rekam Medis Rumah Sakit Panti Rahayu Pur-
wodadi. Penelitian dengan desain cross sectional sulit untuk mengukur faktor re-
siko secara akurat karena penelitian langsung dilakukan dalam satu waktu yang
singkat. Walaupun begitu, penelitian ini dirasa sudah cukup untuk menguji hubun-
gan antar variabel. Kesulitan yang lainnya adalah ada beberapa rekam medis yang