Anda di halaman 1dari 3

Nama : Kaspar Indar Cahayadi Waruwu

NPM : 170510036
Tingkat : III (Tiga)
Semester : V (Lima)
Mata Kuliah : Pastoral Stasioner
Dosen : Largus Nadeak, Lic.S.Th.

MENSYUKURI HIDUP SEBAGAI ANUGERAH TUHAN

Hari : Minggu Biasa XVII


Tanggal : 13 Oktober 2019
Bacaan 1 :  2 Raja-raja 5:1–3;7–15c 
Bacaan 2 :  2 Timotius 2:8–13
Bacaan Injil :  Lukas 17:11–19

            Setiap manusia harus menjalin relasi yang baik dengan orang lain, orang yang berlatar
belakang berbeda dari dirinya. Dalam berelasi dengan orang lain, manusia harus terbuka (inklusif).
Seseorang harus memandang orang lain dengan positif sekalipun dalam relasi itu didapati situasi
yang menekan. Namun, manusia dipanggil untuk mampu menjalin hubungan yang baik dengan
orang lain, karena Allah mampu berkarya bagi yang lain dan dalam diri orang lain tentu ada hal
positif yang dapat dipetik. 

Para saudara terkasih, sepuluh orang kusta datang kepada Yesus dan ia memohon untuk
disembuhkan. Yesus tidak menyentuh dan menjamah mereka, tetapi menyuruh mereka pergi
memperlihatkan diri kepada imam-imam yang tinggal di Bait Allah di Yerusalem yang berhak
menentukan apakah seseorang sudah tahir. Di tengah jalan, mereka semua sembuh, tetapi hanya
satu orang yang kembali kepada Yesus untuk mengucap syukur, dan itu pun orang Samaria, bangsa
yang dianggap murtad. Kisah ini hendak menunjukkan bagaimana orang beriman harus menata
kehidupan dalam sikap syukur atas anugerah yang diterima dari Allah.

Kesadaran bahwa hidup ini adalah anugerah dari Allah, akan mendorong kita untuk selalu
bersyukur. Rasa syukur dan terima kasih sering sulit muncul dari dalam diri kita karena kita
beranggapan bahwa yang ada pada kita adalah hak atau hasil jerih payah kita. Manusia lebih suka
dan cenderung menuntut daripada mensyukuri apa yang ada. Hidup dengan penuh syukur masih

1
perlu kita olah. Orang yang sulit bersyukur juga akan sulit menikmati hidup, sebab ia selalu melihat
ada yang belum dia peroleh. Orang yang mampu mensyukuri apa yang terjadi, ia juga akan dengan
sukarela dan dengan sukacita memberi dan berbagi.

Orang Samaria dalam bacaan Injil kali ini, juga tidak mendapatkan perhatian yang cukup di
kalangan masyarakat Yahudi. Terlebih lagi orang Samaria tersebut mengalami sakit kusta. Pada
pandangan masyarakat saat itu, orang yang sedang menderita sakit kusta dianggap sebagai orang
yang najis. Orang kusta menjadi bagian masyarakat kelas bawah dan termarginalkan atau
terpinggirkan. Dalam kondisi yang demikian sebagai penderita kusta, mereka pasti akan merasakan
betapa menyedihkan dan kehilangan harapan untuk hidup normal seperti layaknya orang pada
umumnya yang terjadi di masyarakat. Sehingga dapat dipahami bahwa orang kusta yang berasal
dari Samaria itu tentu juga mengalami konotasi yang negatif dari masyarakat.

Para penyandang sakit kusta ternyata mampu berelasi dengan orang lain. Para orang kusta
yang berkelompok memiliki latarbelakang yang berbeda. Mereka berasal dari orang Yahudi baik
dari Galilea maupun Samaria. Sejatinya antara masyarakat Galilea dan masyarakat Samaria
seringkali berseberangan dan sulit berelasi. Namun kumpulan orang kusta dari latar belakang
berbeda ini ternyata bisa hidup bersama. Kebersamaan itu didorongan perasaan senasib, keadaan
yang menjadikan mereka terpinggirkan dan dikonotasikan najis. Mereka juga hidup saling
bergantung antara penderita kusta yang satu dengan penderita kusta yang lainnya. Kehidupan yang
saling membutuhkan, saling menopang dan saling ketergantungan inilah yang menjadi kunci
pengikatnya antara orang yang berbeda latarbelakang. Bukankah, kita pun juga seharusnya
demikian?

Para saudara terkasih, keteladanan berelasi juga diajarkan oleh Tuhan kita Yesus Kristus.
Ketika Tuhan Yesus dalam perjalanan ke Yerusalem, Dia mendengar teriakan orang kusta yang
berteriak memohon belas kasihan. Yesus memperagakan kepedulian terhadap mereka yang
terkonotasikan negatif, terpinggirkan dan najis. Yesus berinteraksi dengan mereka yang menderita
kusta. Ada keterbukaan dari Yesus untuk mendengar apa yang menjadi jeritan masyarakat yang
terpinggirkan itu. Bahkan Yesus memberikan jalan kesembuhan bagi penderita kusta yang sudah
putus harapan. Yesus memiliki kesediaan mendengar dan memberikan jawaban atas kebutuhan
yang dirindukan. Keteladanan inilah yang perlu kita kembangkan dalam laku kehidupan kita.
Dengan keberanian untuk menembus batas-batas relasi, kesediaan mendengar akan menjadikan kita
mampu merawat hubungan dengan sesama yang berbeda latarbelakang.

2
Menjalin hubungan dengan sesama, pada realitanya kita harus berhadapan dengan hal-hal
yang kurang menggembirakan. Bisa saja kita seperti Naaman yang harus merelakan diri untuk
mandi di Sungai Yordan yang kualitas airnya berlumpur, dalam bacaan pertama tadi. Naaman harus
merendahkan diri dan percaya pada Elisa nabi Allah di Israel. Begitu pula, pengalaman yang
menyedihkan bisa saja terjadi seperti yang dialami Paulus dan jemaat yang digembalakan oleh
Timotius (bacaan II). Ketika memberitakan Injil justru Paulus harus merasakan tekanan dan
dipenjara. Semua tantangan itu, menjadi bagian yang tidak dapat dielakkan begitu saja. Kita harus
bisa menerima kenyataan dengan sabar seraya menyerahkan hidup pada penyertaan Tuhan. Bagian
penting dalam berelasi, juga dapat pula kita jumpai pada kisah pasca penyembuhan orang kusta itu.
Ketika sepuluh penderita kusta telah mengalami kesembuhan, namun yang berterima kasih
hanyalah seorang yang berlatar belakang Samaria. Hal ini sangat mengejutkan, karena Samaria
merupakan orang yang tidak dianggap bahkan dimusuhi oleh orang Yahudi. Tetapi dialah yang
justru orang asing mampu berterimakasih, sementara orang Galilea justru tidak berterimakasih. Hal
ini memiliki makna bahwa orang asing pun yang selama ini dianggap tidak baik namun justru
memiliki sikap hidup yang baik dan patut untuk diteladani setiap saat.

Di dalam realitas kehidupan ini, selalu diwarnai dengan relasi yang dibayang-bayangi
dengan sesuatu konotasi negatif. Realitas kehidupan yang juga penuh tekanan. Tetapi sebagai
pengikut Yesus Kristus yang terpanggil untuk berelasi dengan umat beriman, hendaknya
mengembangkan kesadaran bahwa setiap manusia membutuhkan dan bergantung satu sama lain.
Kesadaran akan kesamaan dalam perbedaan itu juga harus senantiasa dihayati dalam kehidupan ini.
Kita dipanggil untuk berani menembus zona kenyamanan dan batasan-batasan relasi yang
memisahkan seperti teladan Yesus. Mari berjuang untuk meneladani hidup Yesus sendiri yang
menerima orang-orang yang menderita dan terpinggirkan. Semoga. Amin. 

Mengetahui:
KDS Santo Petrus Tiga Bolon

__________________________

Anda mungkin juga menyukai