PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Stroke termasuk penyakit serebrovaskuler yang terjadi karena pembuluh darah. Penyakit
stroke (cerebrovascular accident) tidak hanya menyerang kelompok usia di atas 50 tahum,
melainkan juga terjadi pada kelompok usia produktif di bawah 45 tahun yang menjadi tulang
punggung keluarganya. Bahkan dalam sejumlah kasus, penderita penyakit itu masih berusia di
bawah 30 tahun (Muttaqin , 2018). Stroke terjadi karena adanya gangguan pada perfusi jaringan
serebral. Hal ini terjadi karena adanya stimulus infark diperiventrikel lateralis kiri, lobus
frontalis, akibat adanya oklusi serebral. Bila aliran darah jaringan otak berhenti maka oksigen
dan glukosa yang diperlukan untuk pembentukan energi akan menurun dan menyebabkan
permukaan sel menjadi lebih negatif sehingga terjadi membran depolarisasi.Saat awal
depolarisasi membran sel masih reversibel, tetapi bila menetap terjadi perubahan struktural ruang
menyebabkan kematian jaringan otak, (Pujiarto, 2019).
Aliran darah ke otak dipengaruhi oleh beberapa hal, seperti keadaan pembuluh darah, keadaan
darah (viskositas darah meningkat, jematokrit meningkat,aliran darah menjadi lebih
lambat,anemia berat, oksigenasi ke otak menjadi menurun), tekanan darah iskemik memegang
peranan perfusi otak, kelainan jantung menyebabkan menurunnya curah jantung dan karena
lepasnya embolus sehingga menimbulkan iskemia otak. Selain itu, pada pasien stroke biasanya
didapatkan peningkatan intrakranial dengan tanda klinis berupa nyeri yang tidak hilang dan
semakin meningkat, peningkatan intrakranial salah satunya seperti peningkatan pada tekanan
darah sistole, tekanan darah diastole, peningkatan rate respiration dan nadi. Selain itu, termasuk
kasus gawat darurat dimana cedera otak irreversible atau kematian dapat dihindari dengan
intervensi tepat pada waktunya, (Pujiarto, 2019). Berdasarkan laporan World Health
Organization (2019) secara global, penyakit degenerative penyebab kematian yang diperkirakan
mengalami peningkatan terus-menerus yakni stroke dan menjadi urutan kedua tertinggi setelah
penyakit jantung. Setiap tahun, hampir 700.000 orang Amerikamengalami stroke, dan stroke
mengakibatkan hampir 150.000 kematian. Di Amerika Serikat tercatat hampir setiap 45 detik
terjadi kasus stroke, dan setiap 4 detik terjadi kematian akibat stroke. Secara nasional di
indonesia berdasarkan diagnosis dokter indonesia sebesar 10,9% atau diperkirakan sebanyak
2.120.362 orang dengan kasus stroke, (Kementrian Kesehatan RI, 2018). Prevalensi stroke di
Indonesia berdasarkan diagnosis tenaga kesehatan sebesar 7 per mil dan yang terdiagnosis tenaga
kesehatan atau gejala sebesar 12,1 per mil. Prevalensi Stroke berdasarkan diagnosis tenaga
kesehatan tertinggi di Sulawesi Utara (10,8%/1000), diikuti DI Yogyakarta (10,3%/1000),
Bangka Belitung dan DKI Jakarta masing-masing 9,7 per mil. Prevalensi Stroke berdasarkan 92
terdiagnosis tenaga kesehatan dan gejala tertinggi terdapat di Sulawesi Selatan (17,9%/1000), DI
Yogyakarta (16,9%/1000), Sulawesi Tengah (16,6%/1000), diikuti Jawa Timur sebesar 16 per
mil (Kementrian Kesehatan RI, 2018). Stroke merupakan penyebab utama kematian pada semua
umur di Indonesia. Setiap 1000 orang, 8 orang diantaranya terkena stroke serta 7 orang yang
meninggal dunia di Indonesia, 1 diantaranya terkena stroke. Menurut Yayasan Stroke Indonesia
(YASTROKI, 2018) stroke merupakan penyebab kematian dan kecacatan utama di hampir
seluruh rumah sakit di Indonesia yaitu sebesar 15,14% dengan angka kejadian stroke meningkat
dari tahun ke tahun.
Penanganan kegawatan pada pasien stroke salah yaitu memberikan terapi oksigenasi,
pemasangan intubasi, melakukan tindakan suction, melakukan tindakan CPAP (Continuous
Positife Airway Pressure) memberikan posisi head up 30o , bertujuan untuk mempertahankan
oksigenasi jaringan tetap adekuat dan dapat menurunkan kerja miokard akibat kekurangan suplai
oksigen. Pemberian toksigenasi pada pasien stroke untuk mencegah dan memperbaiki hipoksia
jaringan dan dapat meningkatkan fraksi inspirasi oksigen lebih dari 90% (Harahap, 2018).
Berdasarkan hasil penelitian dari (Nurfitriyani, 2019) menyatakan 4 bahwa pada pasien stroke
hemoragik mengalami masalah ketidakefektfan bersihan jalan napas berhubungan dengan
akumukasi sekret yang berlebihan sehingga perlu dilakukan penghisapan lendir agar tidak terjadi
kerusakan perfusi jaringan serebral. Berdasarkan hasil penelitian dari (Retna, 2019) menyatakan
bahwa dalam melakukan penatalaksanaan ditemukan ada perubahan yang signifikan dalam
mepertahankan kepatenan jalan napas sehingga suplai oksigen pada pasien stroke hemoragik
didukung dengan salah satu intervensi yaitu posisi kepala pasien 30o. Beberapa peneliti
sebelumnya telah melakukan penelitian mengenai efektifitas manajemen jalan napas pada pasien
stroke hemoragik, oleh karna itu peneliti ingin merangkum literature yang bertujuan untuk
mengidentifikasi semua yang terkait tindakan manajemen jalan napas pada pasien stroke
hemoragik.
B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah untuk jurnal review ini adalah “bagaimana efektifitas manajemen
jalan napas pada pasien stroke hemoragik”?.
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Adapun tujuan umum pada literature review ini adalah diketahuinya efektifitas
manajemen jalan napas pada pasien stroke hemoragik.
2. Tujuan Khusus
Adapun tujuan khusus pada literature review ini adalah :
a. Diketahuinya penatalaksanaan jalan napas pada pasien stroke hemoragik
b. Diketahuinya efektifitas manajemen jalan napas pada pasien stroke sebelum dan
sesudah dilakukan penatalaksanaan jalan napas.
D. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat pada literature review ini adalah :
1. Manfaat teoritis
a. Bagi Peneliti
Literature review ini diharapkan dapat memberikan informasi ilmiah tentang
efektifitas manajemen jalan nafas pada pasien stroke hemoragik.
b. Bagi Institusi Pendidikan
Literature review ini diharapkan dapat bermanfaat sehingga bisa menambah
kepustakaan mengenai efektifitas manajemen jalan nafas pada pasien stroke
hemoragik.
2. Manfaat Praktis.
a. Bagi profesi keperawatan Sebagai bahan masukan bagi tenaga keperawatan
khususnya yang bekerja di instansi pelayanan untuk meningkatkan pengetahuan
pasien tentang efektifitas manajemen jalan nafas pada pasien stroke hemoragik.
b. Bagi Masyarakat Sebagai bahan referensi tambahan pemikiran dalam perkembangan
pengetahuan sehingga dapat mengembangkan penelitian tentang efektifitas
manajemen jalan nafas pada pasien stroke hemoragik.
BAB II
PEMBAHASAN
a. Suction
Suction atau penghisapan merupakan tindakan untuk mempertahankan jalan
nafas sehingga memungkinkan terjadinya proses pertukaran gas yang adekuat
dengan cara mengeluarkan secret pada klien yang tidak mampu
mengeluarkannya sendiri. Sebagian pasien mempunyai permasalahan di
pernafasan yang memerlukan bantuan ventilator mekanik dan pemasangan
ETT (Endo Trakeal Tube), dimana pemasangan ETT (Endo Trakeal Tube)
masuk sampai percabangan bronkus pada saluran nafas. Pasien yang
terpasang ETT (Endo Trakeal Tube) dan ventilator maka respon tubuh pasien
untuk mengeluarkan benda asing adalah mengeluarkan sekret yang mana
perlu dilakukan tindakan suction. Suction adalah suatu tindakan untuk
membersihkan jalan nafas dengan memakai kateter penghisap melalui
nasotrakeal tube (NTT), orotraceal tube (OTT), traceostomy tube (TT) pada
saluran pernafasan bagian atas. Bertujuan untuk membebaskan jalan nafas,
mengurangi retensi sputum, merangsang batuk, mencegah terjadinya infeksi
paru. Prosedur ini dikontraindikasikan pada klien yang mengalami kelainan
yang dapat menimbulkan 22 spasme laring terutama sebagai akibat
penghisapan melalui trakea gangguan perdarahan, edema laring, varises
esophagus, perdarahan gaster, infark miokard (Arif, 2019)
b. Intubasi
Intubasi adalah memasukkan pipa kedalam rongga tubuh melalui mulut atau
hidung. Intubasi terbagi menjadi 2 yaitu endotrakeal dan nasotrakeal, intubasi
endotrakeal adalah memasukkan sehingga ujung kira- kira berada
dipertengahan trakea antara pita suara dan bifurkasio trakea, (Brunner &
Suddarth, 2018). Data yang diperoleh di Instalasi Bedah Sentral RSUP
Sanglah, Denpasar tahun 2016 menunjukkan sebagian besar operasi atau
tindakan bedah dilakukan dengan anestesi umum. Dengan keterangan dari
tindakan bedah, sebanyak 4.582 (68,18%) dilakukan intubasi endotrakeal
dengan anestesi umum. Walaupun rutin dilakukan, tindakan ini bukan tanpa
risiko dan tidak semua pasien dengan anestesi umum membutuhkan tindakan
ini. 24 Pada umumnya pemasangan pipa endotrakeal (ET) diindikasikan
untuk pasien dengan risiko aspirasi dan pada pasien yang sedang menjalani
operasi. Tindakan intubasi endotrakeal dapat menimbulkan berbagai
komplikasi atau trauma seperti komplikasi sistem respirasi (bronkospasme),
juga menimbulkan komplikasi kardiovaskuler berupa peningkatan tekanan
darah, peningkatan laju jantung, dan disritmia. Selain itu terdapat beberapa
komplikasi lainnya yaitu nyeri tenggorokan, suara serak, paralisa pita suara,
edema laring, laring granuloma, dan ulcer, glotis dan subglotis, granulasi
jaringan,stenosis trakea. Komplikasi tersebut dapat terjadi secara cepat atau
lambat, (Brunner & Suddarth, 2018)
c. Terapi Oksigen
Oksigen atau O2 diisolasi pertama kali oleh Joseph Priestley. Pada tahun
1794, Thomas Beddoes pertama kalinya menggunakan O2 sebagai obat.
Dalam penggunaan O2 sebagai obat, beberapa hal yang perlu diperhatikan
yaitu indikasi, pengaturan dosis, cara pemberian, dan efek sampingnya. Sejak
ditetapkan suatu konsep bahwa oksigen dapat digunakan sebagai terapi, efek
hipoksia menjadi lebih dimengerti dan pemberian oksigen pada pasien
dengan penyakit paru membawa dampak meningkatnya jumlah perawatan
pasien. Dalam keadaan normal, sistem respirasi manusia menghirup 21% O2
di udara atmosfer dengan tekanan-parsial 150 mmHg. 26 Tekanan parsial I50
mmHg ini sesampainya di alveoli akan berubah menjadi 103 mmHg. Ini
diakibatkan pengaruh tekanan uap air pada jalan nafas. Pada alveoli, O2 akan
berdifusi ke dalam aliran darah paru. O2 akan terikat dengan hemoglobin di
dalam darah dan kemudian akan di edarkan ke seluruh tubuh untuk keperluan
metabolism, (Perry & Potter, 2019). Terapi oksigen adalah upaya-upaya
meningkatkan masukan oksigen ke dalam sistem respirasi, meningkatkan
daya angkut hemodinamik dan meningkatkan daya ekstraksi O2 jaringan.
Dalam pemberiannya sebagai obat, O2 dikemas dalam tabung bertekanan
tinggi dalam bentuk gas, tidak berwarna, tidak berbau, tidak berasa, tidak
mudah terbakar namun menunjang proses kebakaran. Sebelum O2 dalam
tabung digunakan dalam terapi oksigen, mutlak diperlukan asesoris berupa
regulator, sistem perpipaan oksigen sentral, meter aliran, alat humidifikasi,
alat terapi aerosol, dan pipa/kanul/kateter serta alat pemberinya, (Perry &
Potter, 2019).
d. Posisi Head Up 30o
Head up 30 derajat yaitu suatu bentuk tindakan keperawatan yang rutin
dilakukan pada pasien,cedera kepala,stroke dengan hipertensi intracranial.
Teori yang mendasari elevasi kepala ini adalah peninggian anggota tubuh
diatas jantung dengan vertical axis, akan menyebabkan cairan serebro spinal
(CSS) terdistribusi dari kranial ke ruang subarachnoid spinal dan
memfasilitasi venous return serebral (Perry & Potter, 2019). Head up 300
merupakan suatu posisi menaikkan kepala 300 dari tempat tidur dan posisi
tubuh dalam kondisi sejajar. Manfaat head up 30 derajat yaitu menyebabkan
cairan serebro spinal (CSS) terdistribusi dari kranial ke ruang subarachnoid
spinal, memfasilitasi venous return serebral, dapat menurunkan TIK,
memberikan kenyamanan pada pasien, memfasilitasi venous drainage dari
kepala. Dalam buku penulis (Srikandi waluyo) dengan judul 100 Q & A
Stroke, (dr. Salim Harris) yang saat itumenjabatsebagai ketuaPerhimpunan
Dokter Spesialis Saraf Indonesia cabang Jakarta bahwa pemberian posisi
head up 30° 29 yaitu mula-mula orang yang terserang stroke dibaringkan
terlentang, kepala diganjal bantal membentuk sudut elevasi 30 derajat, posisi
ini membuat aliran darah balik kearah bawah, yaitu sekitar 30 menit. Hindari
pasien duduk atau disuruh bergerak karena setiap gerakan membutuhkan
oksigen. Berdasarkan sumber diatas maka pemberian posisi kepala 30 derajat
efektif dilakukan sekitar 30menit.
e. Continuous Positive Airway
Continuos Positive Airway Pressure (CPAP) adalah merupakan suatu alat
untuk mempertahankan tekanan positif pada saluran napas pasien stroke
selama pernafasan spontan. CPAP merupakan suatu alat yang sederhana dan
efektif untuk tatalaksana respiratory distress pada pasien stroke hemoragik.
Mesin CPAP bekerja dengan cara meniupkan tekanan udara ringan untuk
menjaga saluran udara terbuka, sehingga jalan napas tetap terbuka. (Brunner
& Suddarth, 2018) Selain mencegah kesulitan bernapas, CPAP dapat
meningkatkan kadar oksigen diparu-paru dan menghilangkan gas karbon
dioksida. CPAP adalah pilihan non-operasi yang paling efektif untuk pasien
stroke hemoragik yang mengalami ketidakefektifan bersihan jalan napas.
Kebanyakan pasien yang menggunakan teknik terapi CPAP mengalami
sedikit rasa ngantuk disiang hari, serta penurunan resiko tekanan darah
rendah, stroke, penyakit jantung dan depresi (Brunner & Suddarth, 2018).\
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
a. Profesi Keperawatan
Saran peneliti kepada tenaga kesehatan yang bertugas di ruangan perawatan gawat
darurat agar kiranya memberikan edukasi sebelum memberikan tindakan manajemen
jalan napas pada pasien stroke hemoragik yang mudah dipahami sehingga bisa
menghadapi komplikasi yang mungkin terjadi.
b.Peneliti selanjutnya
Perlu adanya penelitian lebih lanjut terkait penyusunan intervensi secara menyeluruh
terhadap efektifitas manajemen jalan napas pada pasien stroke agar memudahkan
mengurangi komplikasi yang akan terjad.
DAFTAR PUSTAKA
Arora, Nexsi. (2019). Asuhan Keperawatan gangguan oksigenasi pada pasien stroke
hemoragik. Diakses Desember 2020. Google Schoolar.
Asih, Maryani. (2019) Asuhan keperawatan pada pasien stroke hemoragik dengan
masalah keperawatan ketidakefektifan pola napas. Diakses desember 2020. Google
Schoolar
Anupama, Gupta (2019) The role of positive airway pressure therapy fos obstructive
sleep apnea in hemorraghic stroke patient. Diakses Desember 2020.
Harahap, S., & Siringoringo, E. (2018) Aktifitas sehari-hari pasien stroke hemoragik
di RSUD Dr. Pirngadi Medan