Anda di halaman 1dari 8

Seperti yang pernah kujanjikan di tulisan beberapa pekan lalu usai memborong buku Api

Sejarah 1 & 2 karya Prof. Ahmad Mansur Suryanegara, aku akan membuat resensi untuk
kedua buku super tebal itu. Alhamdulillah, dengan izin Allah kedua buku tersebut akhirnya
selesai kubaca setelah meluangkan waktu sebelum tidur. Sebuah buku yang cukup bagus
untuk menawarkan cara pandang baru terhadap sejarah bangsa kita yang terlalu lama
menjadi dongeng yang monoton dengan segala tanda tanyanya.

Buku yang halaman referensinya sekitar 13 halaman, artinya ada ratusan referensi yang
beliau gunakan untuk menulis sejarah Indonesia ini memberikan cara pandang baru bagi
kita, khususnya kaum muslimin. Ini bukan soal bahwa karena beliau digelari Sejarawan
Muslim maka tulisan beliau membela kepentingan umat Islam. Tetapi bukti-bukti sejarah
yang selama ini membisu dan sejarawannya ikut membisu membuat orang Indonesia tidak
pernah mengerti tentang realitas sejarah kita sendiri.

Tidak dapat dipungkiri bahwa di mana pun, penulisan sejarah tidak lepas dari subyektivitas
penulis berdasarkan kepentingan dan keluasan kajiannya terhadap bukti-bukti sejarah dan
sumber referensinya. Begitu pun dengan Api Sejarah 1 & 2, boleh jadi kita akan
berpendapat bahwa ada banyak subyektivitas di dalamnya sehingga terkesan
menyudutkan salah satu pihak. Tetapi, jika kita mau adil melihat konstruksi logika yang
ditawarkan oleh penulis kepada pembaca dalam memahami sejarah bangsa Indonesia,
nyatalah bahwa kita diberi pancing yang sangat ampuh untuk kembali menyusuri sejarah
bangsa kita yang telah didistorsi oleh orang-orang yang ingin menghancurkan NKRI.

Apalagi di tengah iklim kebebasan berpendapat dan liberalisasi berbagai aspek kehidupan
di negeri ini membuat setiap orang saling berupaya untuk menghancurkan eksistensi
lainnya, baik dengan cara yang sangat halus dan licik, maupun dengan kekuatan yang
nyata. Hal yang berusaha dikikis oleh para perusak bangsa adalah menjauhkan generasi
bangsa ini kembali pada sejarahnya dan membangun peradaban negerinya untuk
menunaikan janji kemerdekaan yang telah diwariskan para pahlawan pendahulu.

Banyak fakta yang tidak pernah kita jumpai di buku-buku sejarah yang telah kita pelajari
sejak SD hingga SMA. Banyak hal yang tidak dimengerti para siswa yang tertidur ketika
belajar sejarah karena guru-gurunya mendongeng dengan lembut. Sejarah adalah kobar
perjuangan di masa lalu yang seharusnya membuat kita selalu waspada bahwa di balik
kejayaan nusantara ini, selalu ada orang-orang yang ingin menghancurkan keutuhannya.
Sejarah juga mengatakan bahwa akan banyak pengkhianat yang terus berkeliaran
menghembuskan perpecahan di hati-hati kita sampai kapan pun. Dalam kejayaan Islam,
tercatat dua orang yang namanya mulia namun perilakunya jauh dari namanya (Abdullah
bin Ubay dan Abdullah bin Saba‘). Begitu pun di negeri kita, banyak yang namanya mulia,
kedudukannya mulia tetapi memilih mengabdi kepada kaum imperialis dari pada membela
rakyatnya yang tertindas.

Buku Api Sejarah 1 & 2 memberi peringatan kepada kita bahwa sejarah akan selalu
berulang. Akan ada pahlawan yang hadir, akan ada pula pengkhianat yang hadir. Pahlawan
adalah manusia biasa yang tak lepas dari kesalahannya. Tetapi kemuliaan perjuangannya
harus dihargai. Kesalahannya adalah catatan yang tidak boleh diulangi generasi
sesudahnya, tidak perlu dicela, apalagi dicaci maki. Adapun pengkhianat, dia adalah
catatan yang akan mengingatkan kita agar tidak menjadi bagian dari mereka di masa kini.
Karena sejarah itu selalu berulang, hanya berbeda bentuk dan saranya, tetapi konsepnya
tetap sama.

Bagi umat Islam Indonesia yang kini kembali menyemai kebangkitannya akan kembali
menemui kemanisan sekiranya melihat kembali sejarah bangsanya, bukan hidup dalam
egoisme dan persaingan yang tidak sehat. Jika bisa kembali bersatu untuk perbaikan
bangsa, alangkah luar biasanya. Karena setiap pergerakan yang tumbuh hendaknya
menjadi penyadar pergerakan yang lain untuk melakukan upaya perbaikan dan
mengembalikan kemerdekaan bangsa ini yang telah terampas oleh pejabat yang korup dan
perusahaan asing yang telah mengeksploitasi negeri ini.

Maka hal yang terpenting hari ini adalah bukan soal kita yang paling benar, tetapi mari kita
menjadi benar bersama-sama. Mengingatkan dengan santun dan saling mendukung untuk
menguatkan kembali bangunan ukhuwah yang telah tercerai berai ini. Dengan segala
kekurangan yang masih kita miliki.

Dr Amir Faishol Fath, [18.08.16 21:17]


Sekedar Meneruskan, biar tersebar luas

Selingan Penting: jas merah, jangan lupa sejarah 👇�👇�👇

PARA PEJUANG ITU ADALAH SANTRI


(Nukilan patriotik berdasarkan penuturan Mbah Maimun Zubair di Krapyak)

Santri pondok pesantren itu ampuh. Di tanah Jawa ini, yang paling ditakuti (penjajah) Belanda adalah
santri dan tarekat (thariqah).

Ada seorang santri yang juga penganut thariqah, namanya Abdul Hamid. Ia lahir di Dusun Tegalrejo,
Kecamatan Tegalrejo, Yogyakarta. Mondok pertama kali di Tegalsari, Jetis, Ponorogo kepada KH. Hasan
Besari. Abdul Hamid ngaji kitab kuning kepada Kyai Taftazani Kertosuro.

Ngaji Tafsir Jalalain kepada KH. Baidlowi Bagelen yang dikebumikan di Glodegan, Bantul, Jogjakarta.
Terakhir Abdul Hamid ngaji ilmu hikmah kepada KH. Nur Muhammad Ngadiwongso, Salaman, Magelang.

Di daerah eks-Karesidenan Kedu (Temanggung, Magelang, Wonosobo, Purworejo, Kebumen), nama KH.
Nur Muhammad yang masyhur ada dua, yang satu KH. Nur Muhammad Ngadiwongso, Salaman,
Magelang dan satunya lagi KH. Nur Muhammad Alang-alang Ombo, Pituruh, yang banyak menurunkan
kyai di Purworejo.

Abdul Hamid sangat berani dalam berperang melawan penjajah Belanda selama 5 tahun, 1825-1830 M.

Abdul Hamid wafat dan dikebumikan di Makassar, dekat Pantai Losari. Abdul Hamid adalah putra Sultan
Hamengkubuwono ke-III dari istri Pacitan, Jawa Timur.

Abdul Hamid patungnya memakai jubah dipasang di Alun-alun kota Magelang. Menjadi nama Kodam
dan Universitas di Jawa Tengah. Terkenal dengan nama Pangeran Diponegoro.

Belanda resah menghadapi perang Diponegoro. Dalam kurun 5 tahun itu, uang kas Hindia Belanda habis,
bahkan punya banyak hutang luar negeri.

Nama aslinya Abdul Hamid. Nama populernya Diponegoro.


Adapun nama lengkapnya adalah Kyai Haji (KH) Bendoro Raden Mas Abdul Hamid Ontowiryo Mustahar
Herucokro Senopati Ing Alogo Sayyidin Pranotogomo Amirul Mu’minin Khalifatullah Tanah Jawi
Pangeran Diponegoro Pahlawan Goa Selarong.

Maka jika Anda pergi ke Magelang dan melihat kamar Diponegoro di eks-Karesidenan Kedu, istilah
sekarang di Bakorwil, ada 3 peningalan Diponegoro: al-Quran, tasbeh dan Taqrib (kitab Fath al-Qarib).

Kenapa al-Quran? Diponegoro adalah seorang Muslim. Kenapa tasbih? Diponegoro seorang ahli dzikir,
dan bahkan penganut thariqah.

Habib Luthfi bin Ali bin Yahya Pekalongan mengatakan bahwa Diponegoro seorang mursyid Thariqah
Qadiriyyah. Peninggalan yang ketiga, Taqrib matan Abu Syuja’, yaitu kitab kuning yang dipakai di
pesantren bermadzhab Syafi'i.

Jadi Pangeran Diponegoro bermadzhab Syafi’i. Maka, karena bermadhab Syafi’i, Diponegoro shalat
Tarawih 20 rakaat, shalat Shubuh memakai doa Qunut, Jum’atan adzan dua kali, termasuk shalat Ied-nya
di Masjid, bukan di Tegalan (lapangan).

Saya sangat menghormati dan menghargai orang yang berbeda madzhab dan pendapat. Akan tetapi,
tolong, sejarah sampaikan apa adanya.

Jangan ditutup-tutupi bahwa Pangeran Diponegoro bermadzhab Syafi’i. Maka 3 tinggalan Pangeran
Diponegoro ini tercermin dalam pondok-pondok pesantren.

Dulu ada tokoh pendidikan nasional bernama Douwes Dekker. Siapa itu Douwes Dekker? Danudirja
Setiabudi.

Mereka yang belajar sejarah, semuanya kenal. (Leluhur) Douwes Dekker itu seorang Belanda yang
dikirim ke Indonesia untuk merusak bangsa kita.

Namun ketika Douwes Dekker berhubungan dengan para kyai dan santri, mindset-nya berubah, yang
semula ingin merusak kita justeru bergabung dengan pergerakan bangsa kita.
Bahkan kadang-kadang Douwes Dekker, semangat kebangsaannya melebihi bangsa kita sendiri. Douwes
Dekker pernah berkata dalam bukunya: “Kalau tidak ada kyai dan pondok pesantren, maka patriotisme
bangsa Indonesia sudah hancur berantakan.”

Siapa yang berbicara? Douwes Dekker, orang yang belum pernah nyantri di pondok pesantren. Seumpa
yang berbicara saya, pasti ada yang berkomentar: "Hanya biar pondok pesantren laku."

Tapi kalau yang berbicara orang “luar”, ini temuan apa adanya, tidak dibuat-buat. Maka, kembalilah ke
pesantren.

Ki Hajar Dewantara (Suwardi Suryaningrat) itu adalah santri.


Tidak hanya Diponegoro anak bangsa yang dididik para ulama menjadi tokoh b

Dr Amir Faishol Fath, [18.08.16 21:17]


angsa.

Di antaranya, di Jogjakarta ada seorang kyai bernama Romo Kyai Sulaiman Zainudin di Kalasan
Prambanan.
Punya santri banyak, salah satunya bernama Suwardi Suryaningrat.

Suwardi Suryaningrat ini kemudian oleh pemerintah diangkat menjadi Bapak Pendidikan Nasional yang
terkenal dengan nama Ki Hajar Dewantara.

Jadi, Ki Hajar Dewantara itu santri, ngaji, murid seorang kyai. Sayangnya, sejarah Ki Hajar mengaji kitab
kuning ke kiyai Onggamaya Bagelan, tidak pernah diterangkan di sekolah-sekolah, yang diterangkan
hanya Ing Ngarso Sun Tulodo, Ing Madyo Mangun Karso, Tut Wuri Handayani. Itu sudah baik, namun
belum komplit. Belum utuh.

Maka nantinya, untuk rekan-rekan guru, mohon diterangkan bahwa Ki Hajar Dewantara selain punya
ajaran Tut Wuri Handayani, juga punya ajaran kitab kuning, shahih bukhari dan tafsir al-Quran al-Karim.

Sayyid Husein al-Mutahhar adalah cucu nabi yang patriotis. Malah-malah, ketika Indonesia merdeka, ada
sayyid warga Kauman Semarang yang mengajak bangsa kita untuk bersyukur.
Sang Sayyid tersebut menyusun lagu Syukur. Dalam pelajaran Sekolah Dasar disebutkan Habib Husein al-
Mutahar yang menciptakan lagu Syukur.

Beliau adalah Pakdenya Habib Umar Muthahar SH Semarang. Jadi, yang menciptakan lagu Syukur yang
kita semua hafal adalah seorang sayyid, cucu baginda Nabi Saw. Mari kita nyanyikan bersama-sama:

Dari yakinku teguh


Hati ikhlasku penuh
Akan karuniaMu
Tanah air pusaka
Indonesia merdeka
Syukur aku sembahkan
Ke hadiratMu tuhan.

Itu yang menyusun cucu Nabi, Sayyid Husein Muthahar, warga Kauman Semarang. Akhirnya oleh
pemerintah waktu itu diangkat menjadi Dirjen Pemuda dan Olahraga.

Terakhir oleh pemerintah dipercaya menjadi Duta Besar di Vatikan, negara yang berpenduduk Katholik.

Di Vatikan, Habib Husein tidak larut dengan kondisi, malah justeru membangun masjid. Hebat.

Malah-malah, Habib Husein Muthahar menyusun lagu yang hampir se-Indonesia hafal semua.

Suatu ketika Habib Husein Muthahar sedang duduk, lalu mendengar adzan shalat Dzuhur. Sampai pada
kalimat hayya 'alasshalâh, terngiang suara adzan. Sampai sehabis shalat berjamaah, masih juga
terngiang.

Akhirnya hatinya terdorong untuk membuat lagu yang cengkoknya mirip adzan, ada “S”nya, “A”nya,
“H”nya. Kemudian pena berjalan, tertulislah:

17 Agustus tahun 45
Itulah hari kemerdekaan kita
Hari merdeka Nusa dan Bangsa
Hari lahirnya Bangsa Indonesia
Merdeka
Sekali merdeka tertap merdeka
Selama hayat masih dikandung badan
Kita tetap setia, tetap setia
Mempertahankan Indonesia
Kita tetap setia, tetap setia
Membela Negara kita.

Maka peran para kyai dan para sayyid tidak sedikit dalam pembinaan patriotisme bangsa.

Jadi, Anda jangan ragu jika hendak mengirim anak-anaknya ke pondok pesantren.

Malahan, Bung Karno, ketika mau membaca teks proklamasi di Pegangsaan Timur Jakarta, minta
didampingi putra kyai.

Tampillah putra seorang kyai, dari kampung Batuampar, Mayakumbung, Sumatera Barat. Siapa beliau?

H. Mohammad Hatta putra seorang kyai. Bung Hatta adalah putra Ustadz Kiai Haji Jamil, Guru Thariqah
Naqsyabandiyyah Kholidiyyah.

Sayang, sejarah Bung Hatta adalah putra kyai dan putra penganut thariqah tidak pernah dijelaskan di
sekolah, yang diterangkan hanya Bapak Koperasi.

Mulai sekarang, mari kita terangkan sejarah dengan utuh. Jangan sekali-kali memotong sejarah. Jika
Anda memotong sejarah, suatu saat, sejarah Anda akan dipotong oleh Allah Swt.

Akhirnya, Bung Hatta menjadi wakil presiden pertama.

Pesan Penting Bagi Santri, Belajar dari Mbah Mahrus Aly. Maka, jangan berkecil hati mengirim putra-
putri Anda di pondok-pesantren.
Santri-santri An-Nawawi di tempat saya, saya nasehati begini: “Kamu mondok di sini nggak usah
berpikir macam-macam, yang penting ngaji dan sekolah. Tak usah berpikir besok jadi apa, yang akan
menjadikan Gusti Allah."

Ketika saya dulu nyantri di Lirboyo, tak berpikir mau jadi apa, yang penting ngaji, nderes (baca al-Quran),
menghafalkan nadzaman kitab dan shalat jamaah.

Ternyata saya juga jadi manusia, malahan bisa melenggang ke gedung MPR di Senayan. Tidak usah
dipikir, yang menjadikan Gusti Allah.

Tugas kita ialah melaksanakan kewajiban dari Allah Swt. Allah mewajibkan kita untuk menuntut ilmu,
kita menuntut ilmu.

Jika kewajiban dari Allah sudah dilaksanakan, maka Allah yang akan menata. Jika Allah yang menata
sudah pasti baik.

Anda mungkin juga menyukai