Anda di halaman 1dari 6

Nama : Cucu Sintawati

NIM : 21030802211145
Kelas : A5 PAI semester 2
Matkul : Filsafat

RESUME:

Manfaat Filsafat untuk Publik di Tengah Zaman yang Mulai Malas Berpikir dan Lebih
Suka Browsing dan Googling

Filsafat sudah berakhir, yaitu mati. Demikian kesalahfahaman yang terjadi setelah Heidegger
dan Lord menulis hal itu. Beberapa kematian dan akhir lain juga sempat diberitakan. Seperti
kematian pengarang, kesudahan seni (Danto), dan akhir manusia (Vugo). Sudah jauh
sebelumnya nabi sekuler (vribinice) mengumumkan kematian Alah dan mungkin awalnya
dari situ kesalahfahaman terjadi karena akhir atau kematian yang dimaksud para filsuf
kontemporer itu sebetulnya cara-cara berfilsafat yang sudah kadaluarsa. Banyak yang ingin
melayat filsafat, tetapi tidak melihat mayat di dalam peti matinya. Penjelasannya sederhana,
selama manusia berpikir selama itu filsafat masih hidup bahkan dilahirkan kembali. Namun
disini kita pun menghadapi masalah yang lebih pelik daripada wacana-wacana tentang
kematian filsafat. Apakah manusia masih berpikir di era komunikasi digital? Apakah arti
berpikir di jaman kita? Pertanyaan itu sulit di jawab. Tapi ketika mengharuskan tugas filsafat,
kita sedang di paksa untuk menemukan jawabannya. Jaman kita di sebut dengan berbagai
nama seperti: Postmodernisme, Revolusi Industri 4.0, Era Komunikasi Digital. Apa yang
menyamakan isi semua nama itu adalah luapan informasi yang diakibatkan pemakaian
teknologi komunikasi digital.

Di akhir abad ke-20 filsuf dan sosioloprancis Jean Baudrillard telah bicara tentang simulakra.
Yaitu tentang kondisi kita saat ini, ketika realitas telah diganti dengan simbol. Menurutnya,
pengalaman kita, politis, ekonomis, psikologis, erotis, tidak lebih dari simulasi kenyataan.
Teks, vidio, gambar, di internet membingkai atau merekayasa peristiwa seolah-olah terjadi
kita sedang berada di dalamnya. Saat ini, ketika sebagian besar orang menundukkan kepala
melihat layar ponselnya, analisis Baudrillard tampak semakin terbukti. Zoom, whatsapp,
tiktok, twitter, terasa lebih real daripada orang yang duduk di depan kita, kita menjadi gagap
menghadapi kelangsungan. Efeknya untuk demokrasi cukup menggelisahkan. Dengan
telepon cerdas ideal-ideal demokrasi seolah dapat diraih. Inilah era ketika siapa saja bisa
bicara seolah dapat mengakses kekuasaan. Dalam komunikasi digital tidak ada Hierarki yang
membatasinya. Setiap orang bisa menjadi produsen, sutradara, sekaligus eksper bagi orang
lain. Tetapi persis pada saat ini pula ketika akses langsung ada dalam genggaman cita-cita
demokrasi terancam luput dari genggaman. Alih-alih mengupayakan saling pemahaman,
kerap kali media-media sosial menjadi sarana menyebarkan hoaks, berita palsu, dan berbagai
kecohan lain dalam bentuk teks, vidio, poster, chat, atau foto yang mendistorsi kenyataan.
Industri kebohongan telah sampai ke ruang privat kita untuk mengkhianati akal sehat dan
memancing kebencian timbal balik.

Apakah bisa di sebut komunikasi jika kita tidak saling mengerti? Apakah bisa di sebut
kebohongan jika demokrasi merusak komunikasi?
Dalam komunikasi digital tidak ada Hierarki yang membatasinya. Setiap orang bisa menjadi
produsen, sutradara, sekaligus eksper bagi orang lain. Tetapi persis pada saat ini pula ketika
akses langsung ada dalam genggaman cita-cita demokrasi terancam luput dari genggaman.
Efeknya untuk demokrasi cukup menggelisahkan. Dengan telepon cerdas ideal-ideal
demokrasi seolah dapat diraih. Inilah era ketika siapa saja bisa bicara seolah dapat
mengakses kekuasaan.

Filsafat telah mengemban tugas sejak kelahirannya di jaman Yunani Kuno. Tugasnya adalah
mengajak berpikir, berpikir adalah mempersoalkan. Sejak awal filsafat hidup dengan
beritanya, dahulu ia mempersoalkan mitos dalam buku ke tujuh dari publik Plato bercerita
tentang para tawanan di dalam gua yang sejak kecil hanya melihat bayang-bayang pada
dinding. Mereka percaya bahwa bayang-bayang adalah realitas, mitos di kritik sebagai
realitas semu seperti itu. Di jaman modern filsafat mempersoalkan ideologi dan bahkan
agama sebagai bentuk lain mitos. Saat itu fiksi masih relatif mudah di bedakan dari realitas.

Dalam revolusi digital ketika luapan informasi mengacaukan persepsi distingsi antara fiksi
dan realitas mulai kabur dan agaknya tidak lagi menarik untuk di persoalkan. Para pengguna
gawai tidak peduli lagi bahwa mereka telah menjadi tawanan dalam cerita Plato itu. Bukan
dinding gua melainkan layar, bukan bayang-bayang melainkan simulakra sedang menjebak
mereka. Namun, mereka mengajak berpikir untuk: menemukan kebenaran, memaknai
keindahan, dan tampaknya menikmati bayang-bayang itu.

Apakah filsafat masih dapat menunaikan tigas klasiknya? Masih perlukah tugas itu juga
berfikir dianggap sama saja dengan menikmati suasana gua-gua masing-masing?
Jawabannya adalah filsafat harus tetap menjalankan tugas klasiknya. Yaitu, menilai
kebaikan.

Tugas ini diperlukan justru di jaman kita ketika komunikasi digital menjadi mute of being
kita semua yang baru. Khususnya di Indonesia sebuah negara dengan pengguna internet yang
mencapai sekitar 126 juta orang. Tugas ini mendesak untuk dilakukan.
Sebagai persoalan komunikasi, dunia adalah segala sesuatu yang relevan bagi kita untuk kita
bicarakan. Istilah dunia digital mengacu pada pengertian ini: "Aliran silih berganti pesan-
pesan, gambar-gambar, vidio-vidio atau singkatnya komunikasi-komunikasi membentuk satu
kesatuan yang kita sebut dunia digital. Dunia seperti ini becirimuistik jika kita menyalakan
ponsel dan mulai terlibat dalam komunikasi, kita menjadi aktor dalam dunia itu. Dunia itu
membedakan diri dari sesuatu di luarnya yang juga relevan bagi kita dalam komunikasi yakni
dunia korporeal atau dunia fisik. Gabungan antara dunia digital dan dunia korporeal dapat
kita sebut kompleksitas baru. Dalam kondisi ideal dunia digital dan dunia korporeal menjaga
batas-batasnya dan saling menafsirkan satu sama lain. Kita tahu bahwa isi dunia digital bukan
seluruh kenyataan melainkan kenyataan sejauh dibicarakan. Akal sehat mempertahankan
distingsi itu. Namun distingsi antara realitas dan realitas sejauh dibicarakan itu menjadi sulit
dijaga ketika luapan informasi mekooktasi kesadaran dan mengacau persepsi pengguna gawai
dalam situasi ini dunia digital menjadi dunia korporeal. Mengganti korporeal alih-alih kepada
realitas orang-orang lebih percaya kepada realitas sejauh dibicarakan yakni simulakra.
Namun tiap hal punya akhir.

Bukankah jika ponsel mati atau habis, realitas sejauh dibicarakan itu berhenti?
Jawabannya, Jeda hening itu memberi tempat kepada realitas di luar pembicaraan untuk
menampakkan diri.

Komunikasi tidak dapat menghabisinya, transparansi digital malah telah


menyembunyikannya dibalik kata-kata. Filsafat menghadapi kompleksitas baru itu sebagai
tantangan. Dahulu ketika dunia hanya korporeal, renungan-renungan tertuju pada dunia
korporeal itu. Dikak menemukan kesadaran modern dengan mengacu kepada dirinya subjek
yang bertubuh. Kesadaran dibayangkan sebagai substansi -> res cogitans. Namun sekarang
dalam kompleksitas baru filsafat tidak lagi membayangkan si Aku sebagai substansi karena si
Aku dalam komunikasi digital terdiri atas gumpalan relasi-relasi yang memantulkan kembali
pesan-pesan yang dibacanya. Hal-hal termasuk si Aku dalam komunikasi digital bukanlah
mirror of miger seperti yang dikatakan oleh lordhi mulai seperti mirror of communication,
diri bukan substansi melainkan gumpalan relasi-relasi atau seperti dikatakan oleh gimel
masyarakat dalam masyarakat. Seperti bawang tidak ada nukleus di dalamnya hanya lapisan-
lapisan kontigensi yang berujung pada bukan apa-apa.

Berapa banyak aku jika kumiliki jika Aku adalah mirror of communication? Adakah uang
lebih misterius daripada diri dalam komunikasi digital? Masih adakah subjek moral?
Jawabannya, diri bukan substansi melainkan gumpalan relasi-relasi atau seperti dikatakan
oleh gimel masyarakat dalam masyarakat. Seperti bawang tidak ada nukleus di dalamnya
hanya lapisan-lapisan kontigensi yang berujung pada bukan apa-apa.
Di samping gambaran manusia secara praktis, cara-cara pencarian kebenaran, keindahan, dan
kebaikan juga berubah. Mereka tidak di cari dengan refleksi diri di dalam benak pada daya
cerap atau dalam lubuk hati sendiri, melainkan dicari dengan klik ke dalam belantara
informasi arahan Google atau Youtube. Akal tidak lagi herois seperti di jaman pencerahan.
Akal harus bernegosiasi dengan sentimen dan imajinasi yang berseliweran di dunia maya.
Selama dua perang dunia di abad lalu, filsafat makin menyadari kontigensi akal budi dan
mulai bicara tentang paktisitasi keberuntungan, anugerah, Akal membantu untuk mengenal
dunia tetapi ia tidak punya akses langsung ke dunia karena akal pun adalah inpetasi yang
merangkul kekosongan. Kondisi ini makin benar dalam komunikasi digital. Isi gawai kita
tidak mengakhiri malah menyingkap misteri kehidupan dengan tafsir tanpa ujung
kompleksitas baru itu tidak terpisahkan dari kebaruan komunikasi digital. Ada tiga ciri
kebaruannya: Dekorporelisasi Deteritorialisasi Banalisasi Ketiga ciri kebaruan itu ikut
mengaburkan kriteria efisimologis, estetis, dan etis jaman kita.

Apakah filsafat cukup puas hanya dengan mempersoalkan kriteria-kriteria itu?


Jawabannya, filsafat tidak bertugas untuk membiarkan relativisme, apalagi untuk
menghasilkannya. Melainkan untuk mengurangi absolutelitas, jika tidak filsafat tidak kurang
daripada sofisme.

Ada tiga tugas filsafat di era komunikasi digital:


1. Menyingkap ambivalensi komunikasi digital

Dewasa ini perluasan kapasitas kemanusiaan kita berjalan seiring kekuasaan besar
robitisasi yang mendegradasi berfikir menjadi sekedar proses ‘teknis’ seperti
browsing dan googling.
Radikalisme religius sangat diuntungkan oleh thoughtlessness mereka yang berpikir
robotik.
Kita tidak hanya dilatih menjadi kosmopolitan tetapi juga sekaligus menjadi cyborg.

2. Kritik ideologi dan refleksi nasional


Sejauh mana digitalisasi telah menjelma menjadi pengawasan panoptis? Marginalisasi
baru mana yang ditimbulkannya di antara kelas-kelas sosial?

3. Etika komunikasi digital


Meski tetap chatting, orang tetap merasa sendirian dan terisolasi dari yang lain.

Hidup ini terberi secara bebas tetapi pemberian ini sekaligus mengandung tugas.
Kita hanya perlu mengasihi orang lain dengan tiap kata yang kita ketik di layar.
Filsafat

Apakah bisa di sebut komunikasi jika kita tidak saling mengerti? Apakah bisa di sebut
kebohongan jika demokrasi merusak komunikasi?
Dalam komunikasi digital tidak ada Hierarki yang membatasinya. Setiap orang bisa menjadi
produsen, sutradara, sekaligus eksper bagi orang lain. Tetapi persis pada saat ini pula ketika
akses langsung ada dalam genggaman cita-cita demokrasi terancam luput dari genggaman.
Efeknya untuk demokrasi cukup menggelisahkan. Dengan telepon cerdas ideal-ideal
demokrasi seolah dapat diraih. Inilah era ketika siapa saja bisa bicara seolah dapat
mengakses kekuas

Apakah filsafat masih dapat menunaikan tigas klasiknya? Masih perlukah tugas itu juga
berfikir dianggap sama saja dengan menikmati suasana gua-gua masing-masing?
Jawabannya adalah filsafat harus tetap menjalankan tugas klasiknya. Yaitu, menilai
kebaikan.

Bukankah jika ponsel mati atau habis, realitas sejauh dibicarakan itu berhenti?
Jawabannya, Jeda hening itu memberi tempat kepada realitas di luar pembicaraan untuk
menampakkan diri.

Berapa banyak aku jika kumiliki jika Aku adalah mirror of communication? Adakah uang
lebih misterius daripada diri dalam komunikasi digital? Masih adakah subjek moral?
Jawabannya, diri bukan substansi melainkan gumpalan relasi-relasi atau seperti dikatakan
oleh gimel masyarakat dalam masyarakat. Seperti bawang tidak ada nukleus di dalamnya
hanya lapisan-lapisan kontigensi yang berujung pada bukan apa-apa.

Apakah filsafat cukup puas hanya dengan mempersoalkan kriteria-kriteria itu?


Jawabannya, filsafat tidak bertugas untuk membiarkan relativisme, apalagi untuk
menghasilkannya. Melainkan untuk mengurangi absolutelitas, jika tidak filsafat tidak kurang
daripada sofisme.

Anda mungkin juga menyukai