Barthes berpendapat bahwa sastra tidak mengandung makna tertentu, dan lebih jauh lagi,
kritik tidak harus dipahami sebagai pernyataan proposisi tentang makna.
Alasan Barthes untuk menegaskan bahwa interpretasi adalah kebutuhan simbolik mengikuti
langsung dari konsepsinya tentang karya sastra sebagai model.
Objektivitas
Keabsahan interpretasi memastikan bahwa interpretasi itu memiliki hubungan objektif
dengan karya sastra. Tetapi objektivitas total, terlepas dari situasi historis penafsir, tidak
mungkin dan tidak diinginkan. Barthes mengatakan bahwa interpretasi dapat menciptakan
simulacrum (interpretasi) yang menyandang hubungan yang sahih dengan sebuah model
(karya). Hubungan ini akan terlihat; interpretasi adalah "gambar" (dalam hal ini anamorphic)
dari karya tersebut.
Interpretasi yang valid bersifat sirkular
Mengandalkan analisis interpretasi Barthes, kita dapat menjawab argumen para ahli teori
hermeneutik yang mengatakan bahwa interpretasi yang valid bersifat sirkular.
a. Interpretasi yang valid menghasilkan sebuah struktur daripada struktur sebuah karya, itu
harus menurut definisi melingkar, karena berbagai asumsi akan memberikan hasil yang
sama-sama memuaskan.
b. Interpretasi yang valid tidak sepenuhnya kongruen dengan objeknya.
c. Deduksi yang sah tidak memberi tahu kita apa pun yang belum ada di tempat mereka.
Kritik interpretatif, seperti yang dipraktikkan saat ini, adalah bentuk retorika. Akan tetapi,
mengatakan bahwa kritik itu retoris, tidak berarti bahwa kritik itu tidak menggunakan nalar.
Aristoteles memperlakukan satu bagian dari retorika (bukti eksternal) dalam tulisannya
tentang logika. Melalui teori yang ketat, interpretasi mencapai koherensi, presisi, dan ruang
lingkup-tiga argumen paling kuat yang mendukungnya.