Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

SEJARAH PERADABAN ISLAM

“PERADABAN ISLAM INDONESIA PASCA KEMERDEKAAN”

Dosen Pembimbing : HASNATUN NADIA M.Pd.I

Disusun oleh kelompok 13 :

1. Maya Alfitri Wijaya NIM (220.03.003)

PENDIDIKAN ISLAM ANAK USIA DINI (PIAUD)


SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM (STAI)
DARUL ULUM SAROLANGUN
TAHUN 2020/2021
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh


Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberi penulis kesempatan
serta kemudahan sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini sesuai
dengan waktu yang di tentukan. Tanpa pertolongan-Nya tentunya penulis
tidak akan bisa menyelesaikan makalah ini dengan baik. Tidak lupa
Shalawat serta salam semoga terlimpah curahkan kepada Nabi Muhammad
SAW yang kita nanti-natikan syafa’atnya di dunia dan akhirat nanti.
Penulis mengucapkan syukur kepada Allah SWT atas limpahan
nikmat sehat-Nya, sehingga penulis mampu untuk menyelesaikan
pembuatan makalah ini dengan judul “Peradaban islam Indonesia pasca
kemerdekaan”.
Penulis juga mengucapkan banyak terima kasih kepada ibuk Hasnatun
Nadia M.Pd.I selaku dosen mata kuliah sejarah peradaban islam.
Penulis tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata
sempurna. Untuk itu, penulis mengharapkan kritik serta saran dari
pembaca makalah ini, agar makalah ini nantinya bisa menjadi makalah
yang lebih baik lagi. Demikian makalah ini dibuat semoga bisa bermanfaat
bagi kita semua pembaca. Apabila ada kesalahan pada makalah ini penulis
mohon maaf yang sebesar-besarnya.
Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarokatuh.

Sarolangun, 23 Desember 2021

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.......................................................................................................i
DAFTAR ISI.....................................................................................................................ii
BAB I................................................................................................................................1
PENDAHULUAN.............................................................................................................1
A. LATAR BELAKANG..........................................................................................1
B. RUMUSAN MASALAH......................................................................................1
C. TUJUAN...............................................................................................................1
BAB II...............................................................................................................................2
PEMBAHASAN...............................................................................................................2
A. ISLAM INDONESIA PADA MASA REVOLUSI.............................................2
B. PERAN ISLAM DALAM KEMERDEKAAN.................................................10
BAB III...........................................................................................................................14
PENUTUP.......................................................................................................................14
KESIMPULAN...........................................................................................................14
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................................15

ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Di zaman modern ini masyarakat Indonesia telah banyak yang
melupakan sejarah-sejarah terutama sejarah peradaban Islam di Indonesia.
Setelah kemerdekaan bangsa Indonesia telah mencapai puncaknya dengan
diproklamirkannya proklamasi oleh Ir.Soekarno, sesungguhnya perjuangan
bangsa ini masih banyak yang harus disempurnakan. Sejak awal kebangkitan
Nasional, posisi agama sudah mulai di bicarakan dalam kaitannya dengan
politik atau Negara. Ada dua pendapat yang didukung oleh dua golongan
yang bertentangan tentang hal itu. Satu golongan berpendapat, negara
Indonesia merdeka hendaknya merupakan sebuah negara “sekuler”, negara
yang dengan jelas memisahkan persoalan agama dan politik, sebagaimana
diterapkan di negara turki oleh mustafa kamal. Golongan lainnya bependapat,
negara Indonesia merdeka adalah “Negara Islam”.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana islam Indonesia pada masa revolusi?
2. Bagaimana peran islam dalam kemerdekaan?
3. Bagaimana peradaban islam dan Negara pancasila?

C. TUJUAN
1. Untuk mengetahui bagaimana islam Indonesia pada masa revolusi
2. Untuk mengetahui peran islam dalam kemerdekaan
3. Untuk mengetahui bagaimana peradaban islam dan Negara pancasila

1
BAB II
PEMBAHASAN
A. ISLAM INDONESIA PADA MASA REVOLUSI
Pada awal kemerdekannya, Indonesia menghadapi sebuah pertanyaan
besar, apakah pemerintahan akan dijalankan berlandaskan ajaran agama Islam
ataukah secara sekuler? Hal ini dipicu oleh tindakan dimentahkannya kembali
Piagam Jakarta. Kedudukan golongan Islam merosot dan dianggap tidak bisa
mewakili jumlah keseluruhan umat Islam yang merupakan mayoritas.
Misalnya saja, dalam KNIP dari 137 anggotanya, umat islam hanya diwakili
oleh 20 orang, di BPKNIP yang beranggotakan 15 orang hanya 2 orang tokoh
Islam yang dilibatkan. Belum lagi dalam kabinet, hanya Menteri Pekerjaan
umun dan Menteri Negara yang di percayakan kepada tokoh Islam, padahal
Umat Islam mencapai 90% di Indonesia.
Dalam usaha untuk menyelesaikan masalah perdebatan ideologi
diambilah beberapa keputusan. Mereka menganjurkan suatu negara yang
mempunyai dasar keagamaan secara umum dan pemerintah mengakui nilai
keagamaan yang positif, karena itu akan memajukan kegiatan keagamaan.
Dalam kerangka itulah, Departemen Agama didirikan.
1. Departemen Agama
Departemen Agama (dulu namanya Kementerian Agama) didirikan
pada masa Kabinet Syahrir pada tanggal 3 Januari 1946. Menteri Agama
yang pertama adalah M.Rasyidi yang diangkat pada tanggal 12 Maret
1946. Usaha untuk mendirikan departemen itu mulanya mendapat
halangan dari para perumus UUD 1945, ketika PPKI mengadakan rapat
pada tanggal 19 Agustus 1945. Akan tetapi Komite Nasional pusat
(KNIP), pada tanggal 11 November 1945 mengusulkan pendiriannya.
Usul itu diprakarsai oleh K.H. Abudardiri, K.H. Saleh Su’aidi, dan M.
Sukoso Wirjosaputro, kesemuannya adalah anggota KNIP dari daerah
Banyumas. Usul itu mendapat dukungan dari M. Natsir, Dr. Muwardi,
Dr. Marzuki Mahdi, dan M Kartusodarmo (semuannya anggota KNIP)

2
dan disetujui oleh badan legislatif tersebut.1 Dapat dikatakan, bahwa
berdirinya Departemen Agama merupakan penyesuaian pihak pemerintah
kala itu dengan keinginan mayoritas Muslim.
Sebelum terbentuknya kementerian ini, ada pembahasan mengenai
apakah kmenterian ini akan dinamakan Kementerian Agama Islam atau
Kementerian Agama. Akhirnya, diputuskan menjadi Kementerian
Agama, yang pertama-tama mempunyai tiga seksi dan kemudian empat
seksi, masing-masing untuk kaum Muslimin, umat Prostetan, umat
Katolik Roma, dan umat Hindu-Budha (dulu disebut agama Hindu Bali).
Karena ia tidak mengatur hanya satu agama, tetapi lima agama yang
diakui Indonesia, maka, pemimpin politik Indonesia mengatakan, bahwa
Indonesia bukahlah negara sekuler dan bukan juga negara agama. Dasar
pertama dari Pancasila, “Ketuhanan Yang Maha Esa”, dianggap memadai
untuk mrmbenarkan adanya Departemen Agama ini.
Tujuan dan Fungsi Departemen Agama (dirumuskan pada 1967)
adalah sebagai berikut:2
a. Mengurus serta mengatur pendidikan agama di sekolah-sekolah serta
membimbing perguruan-perguruan agama.
b. Mengikuti dan memperhatikan hal yang bersangkutan dengan
Agama dan keagamaan.
c. Memberi penerangan dan penyuluhan agama.
d. Mengurus dan mengatur peradilan agama serta menyelesaikan
masalah yang berhubungan dengan hukum agama.
e. Mengurus dan mengembangkan IAIN, perguruan tinggi agama
swasta dan pesantren luhur, serta mengurus dan mengawasi
pendidikan agama pada perguruan-perguruan tinggi.
f. Mengatur, mengurus dan mengawasi penyelenggaraan ibadah haji.

1
Deliar Noer, Administrasi Islam di Indonesia, (Jakarta:Rajawali, 1983), hlm. 14.
2
B.J. Boland, Pergumulan Islan di Indonesia, (Jakarta: Grafitipers, cetakan pertama), hlm. 113.

3
Sesuai dengan perkembangan Departemen ini, strukturnya
berkembang, yang awalnya hanya terdiri dari empat seksi, sekarang terdiri
dari lima direktorat jenderal, yaitu : Direktorat Jenderal Bimbingan
Masyarakat Islam dan Urusan Haji, Direktorat Jenderal Pembinaan
Kelembagaan Agama Islam, Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat
Katolik, Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Protestan, dan
Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Hindu Budha. Menteri agama
juga dibantu oleh loembaga Inspektorat Jenderal, Sekretariat Jenderal,
Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Agama serta Pusat
Pendidikan dan Latihan (Pusdiklat) Pegawai.

2. Pendidikan
Setelah Indonesia merdeka, terutama setelah berdirinya
Departemen Agama, persoalan pendidikan agama Islam mulai mendapat
perhatian lebih serius. Badan Pekerja Komite Nasional Pusat dalam bulan
desember 1945 menganjurkan agar pendidikan madrasah diteruskan.
Badan ini juga mendesak pemerintah agar memberikan bantuan pada
madrasah. Departemen agama dengan segera membentuk seksi khusus
yang bertugas menyusun pelajaran dan pendidikan agama Islam,
mengawasi pengangkatan guru-guru agama, dan mengawasi pendidikan
agama. Pada tahun 1946, Departemen Agama mengadakan latihan 90 guru
agama, 45 orang diantaranya kemudian diangkat sebagai guru agama. Pada
tahun 1948, didirikanlah sekolah guru dan hakim Islam di Solo.3
Haji Mahmud Yunus, seorang lulusan Kairo yang di zaman
Belanda memimpin Sekolah Normal Islam di Padang, menyusun rencana
pembangunan pendidikan Islam. Dalam rencananya, ibtidaiyah selama 6
tahun, tsanawiyah pertama 4 tahun dan tsanawiyah atas 4 tahun. Mahmud
Yunus juga menyarankan agar pelajaran agama diberikan di sekolah-

3
Sunanto, Musyrifah. Sejarah Islam Klasik Perkembangan Ilmu Pengetahuan Islam, Jakarta :
Kencana.2007. Hlm 76

4
sekolah umum yang disetujui oleh konferensi pendidikan se-Sumatera di
Padang Pajang, 2-10 Maret 1947.
Akan tetapi, semua yang sudah dirintis itu, mengalami kemandegan
karena terjadi aksi militer Belanda kedua. Setelah revolusi selesai, usaha
untuk mengkoordinasikan sekolah-sekolah agam dimulai kembali, bukan
saja untuk Jawa dan Sumatera, melainkan seluruh Indonesia. Lembaga-
lembaga yang didirikan seperti : Madrasah Ibtidaiyah (6 tahun),
Tsanawiyah (4 tahun), Aliyah (3 tahun), Sekolah Guru Agama Islam (5
tahun bagi lulusan sekolah dasar baik umum maupun agama, 2 tahun
lulusan SMP atau tsanawiyah), Sekolah Guru, dan Hakim Agama Islam/
SGHA (4 tahun bagi lulusan SMP atau tsanawiyah). Dua sekolah yang
terakhir mengalami perubahan pada tahun 1953. PGA menjadi 6 tahun, 4
tahun bagian pertama dan 2 tahun bagian atas, Sedangkan, SGHA
dihapuskan tahun 1954 dan digantikan dengan Pendidikan Hakim Islam
Negeri/PHIN (4 tahun bagi lulusan PGA 4 tahun).
Berkenaan dengan perguruan tinggi Islam, kaum muslimin di
Indonesia sejak awal sudah berfikir untuk membangunnya. Mahmud
Yunus membuka Islamic College petama tanggal 9 Desember 1945 di
Padang, yang terdiri dari Fakultas Syari’ah dan Fakultas Pendidikan dan
Bahasa Arab.4
Perguruan Tinggi Islam yang khusus terdiri dari fakultas-fakultas
keagamaan mulai mendapat perhatian kementrian Agama pada tahun
1950. Pada tanggal 12 Agustus 1950, Fakultas Agama di UII dipisahkan
dan diambil alih oleh pemerintah dan pada tangal 26 September 1951
secara resmi dbuka perguruan Tinggi baru dengan nama Perguruan Tinggi
Agama Islam Negeri (PTAIN) di bawah pengawasan Kementerian Agama.
Pada tahun 1957, di Jakarta didirikan Akademi Dinas Ilmu Agama
(ADIA). Akademi ini dimaksudkan sebagai sekolah latihan bagi para
pejabat yang berdinas dalam pemerintahan dan untuk pengajaran agama di

4
Ibid Hlm 77

5
sekolah. Pada tahun 1960, PTAIN dan ADIA disatukan menjadi Institut
Agama Islam Negeri (IAIN), juga dibawah Kementerian Agama.
IAIN ini terus berkembang pesat. Pada tahun 1992, ada 14 buah
IAIN di seluruh Indonesia dengan fakultas lebih dari seratus, Juga bermula
dari Jakarta dan Yogyakarta, pada awal tahun1980-an, dibuka Program
Pascasarjana IAIN dan beberapa tahun kemudian IAIN Alauddin Ujung
Pandang dan IAIN Syiah Kuala, Aceh, juga membuka program yang
sama. Sampai tahun 1992, Program Pascasarjana IAIN Jakarta sudah
mengeluarkan puluhan orang doktor.

3. Hukum Islam
Lembaga Islam yang penting yang ditangani oleh Departemen
Agama adalah hukum atau syariat. Pengadilan Islam di Indonesia
membatasi dirinya pada soal-soal hukum muamalat yang bersifat
pribadi.Hukum muamalat pun terbatas pada masalah nikah, cerai dan rujuk
(faraidh), wakaf, hibah, dan sangat baitul mal. Keberadaan lembaga
peradilan agama di masa Indonesia merdeka adalah kelanjutan dari masa
kolonial Belanda.
Kemantapan posisi hukum Islam dalam sistem hukum nasional
semakin meningkat setelah Undang-Undang Peradialan Agama ditetapkan
tahun 1989.Undang-Undang Peradilan Agama ini merupakan kelengkapan
dari UU No. 14/1970 tentang ketentuan-ketentuan pokok kekuasaan
kehakiman. Dalam pasal 10 ayat (1) UU No. 14/1970 disebutkan:
“kekuasaan kehakiman dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan: (a)
Peradilan Umum, (b) Peradilan Agama, (c) Peradilan Militer, (d) Peradilan
Tata Usaha Negara. Sebagai suatu undang-undang lain untuk mengatur
empat lingkungan peradilan yang diundangkan dalam UU itu, antara lain
UU tentang Peradilan Agama.
Berkenaan dengan itu, Ismail Suny mengatakan bahwa selama
Orde Baru ada tiga undang-undang yang merupakan tonggak-tonggak
penting bagi umat Islam, yaitu UU no. 14/1970, UU no.I/1974,

6
dan UU no. 7/1989. Dengan tiga undang-undang tersebut, berlakulah
hukum Islam dalam tata Hukum Nasional di bidang perkawinan,
kewarisan, wasiat, hibah, wakaf dan sedekah.5

4. Haji
Indonesia termasuk negeri yang banyak mengirim jamaah haji.Di
masa penjajahan tahun kemuncak ialah tahun 1926/1927 ketika sekitar
52.000 orang pergi ke Mekah.Sungguhpun angka itu baru pada tahun-
tahun terakhir terlewati, tetapi umumnya dalam keadaan biasa jumlah
jamaah meningkat cepat karena memang keinginan menunaikan ibadah
haji semakin kuat.Angka tertinggi sampai tahun 1992, yaitu sekitar
107.000 orang jamaah haji Indonesia diberangkatkan.
Sejak awal tahun 1970-an, banyak para pejabat tinggi pemerintah,
termasuk menteri, yang tidak ketinggalan berangkat ke tanah suci.Bahkan
dari kalangan merekalah amir al-hajj (pemimpin jamaah haji) Indonesia
ditunjuk.
Semenjak zaman penjajahan Belanda, umat islam Indonesia ingin
mempunyai kapal laut untuk dipergunakan dalam penyelenggraan
perjalanan haji. Iuran dikumpulkan, saham diedarkan, tetapi selama zaman
jajahan keinginan ini tidak terwujud.Setelah Indonesia merdeka, usaha ini
dilanjutkan.Pada tahun 1950 sebuah yayasan, yaitu Yayasan Perjalanan
Haji Indonesia, didirikan di Jakarta.Pemerintah memberikan kuasa kepada
Yayasan itu untuk menyelenggarakan perjalanan haji. Sebuah bank, Bank
Haji Indonesia, dan sebuah perusahan kapal, Perlayaran Muslimin
Indonesia (MUSI) didirikan. Tetapi sepuluh tahun kemudian perusahaan
MUSI ini masih saja bertindak sebagai agen dalam mencarter kapal dari
perusahaan asing; MUSI tidak mempunyai kapal sendiri. Cara ini
ditempuh sampai tahun 1962, ketika MUSI dibekukan oleh pemerintah,
mungkin sekali karena pertimbangan politik.Setahun sebelumnya, pada
tahun 1961, Petugas Haji Indonesia (PHI) yang bertugas memberikan

5
Ibid Hlm 82-83

7
kemudahan-kemudahan naik haji, juga dibubarkan karena banyak anggota
PHI adalah anggota Masyumi, partai yang telah dibubarkan.
Dalam tahun 1961 itu juga, suatu perusahaan pelayaran baru,
Perseroan Terbatas “ Arafat” didirikan dengan modal dari para jemah haji
atau calon jemaah itu sendiri. Dan pada tahun 1964, panitia perbaikan haji
diganti dengan badan baru, Dewan Urusan Haji. Dewan ini mengajak PHI
untuk kembali mengurus jemaah haji, tetapi campur tangan pemirintah di
dalamnya semakin besar, karena tanggung jawab penyelenggaraan haji
terletak pada pemerintah setempat. Namun semua usaha yang dilakukan
tidak ada yang berhasil baik. Setelah Soekarno jatuh, tahu 1966,
organisasi-organisasi swasta mulai lagi melakukan kegiatan
penyelenggaraan perjalanan haji. Banyak umat Islam yang menjadi korban
dari kegiatan ini, ada jamaah yang tidak dapat berangkat atau dibiarkan
tanpa layanan dalam perjalanan. Ini merupakan salah satu sebab mengapa
pemerintah pada tahun 1970 memegang monopoli perjalanan haji.
Alasan mengapa pemerintah melakukan monopoli dalam
perjalanan penyelenggaraan haji adalah sebagai berikut: Pertama,
pemerintah merasa bertanggung jawab atas penyelenggaraan perjalanan
haji agar masyarakat merasa tenteram dan terjamin. Kedua, kemungkinan
faktor laba juga menjadi perhatian pemerintah. Kalau pun hal ini tidak
dimaksudkan untuk dikejar, tetapi sekurang-kurangnya uang masuk secara
ekstra dapat juga dicatat. Uang ini, karena tiap jamaah dibebankan
tambahan biaya untuk berbagai dana, mempermudah usaha pemerintah
memberikan bantuan ke berbagai proyek yang bermanfaat bagi umat
Islam, seperti penyelesaian pembagunan Masjid Istiqlal di Jakarta.
Untuk meningkatkan mutu pelayanan, pemerintah menyediakan
Tim Pembimbing Haji Indonesia (TPHI), Tim Pembimbing Haji Daerah
(TPHD), Tim Kesehatan Haji Daerah (TKHD). Di samping itu, pemerintah
masih perlu untuk mengangkat Tim Pembimbing Ibadah Haji (TPIH).
Sesuai dengan aspirasi sebagian masyarakat, sejak awal tahun 1980-an,
dikenal adanya Ongkos Naik Haji (ONH) Plus, yang tentu berbeda dengan

8
ONH biasa dalam hal pelayanan. Karena “kelebihan” pelayanan itu, maka
biayanya juga lebih mahal dari ONH biasa.6

5. Majelis Ulama Indonesia (MUI)


Disamping Departemen Agama, cara lain pemerintah Indonesia
dalam menyelenggarakan administrasi Islam ialah mendirikan Majelis
Ulama. Suatu program pemerintah, apalagi yang berkenaan dengan agama
hanya bisa berhasil dengan baik bila disokong oleh ulama.Karena itu
kerjasama antara pemerintah dan ulama perlu terjalin dengan baik.Pertama
kali majelis ulama didirikan pada masa pemerintahan SMajelis ini
pertama-tama berdiri di daerah-daerah karena diperlukan untoekarno.uk
menjamin keamanan. Di jawa barat berdiri pada tanggal 12 Juli 1958,
diketuai oleh seorang panglima militer. Setelah keamanan sudah pulih dari
pemberontakan DI-TII tahun 1961,Majelis Ulama ini bergerak dalam
kegiatan-kegiatan di luar persoalan keamanan, seperti dakwah dan
pendidikan.
Dalam Pedoman Dasar Majelis Ulama Indonesia yang disah kan
dalam kongres tersebut, disebutkan bahwa Majelis Ulama Indonesia
berfungsi:
1. Memberi fatwa dan nasihat mengenai masalah keagamaan dan
kepadapemerintah dan umat Islam umumnya sebagai amar ma’ruf
nahi mungkar, dalam usaha meningkatkan ketahanan nasional.
2. Mempererat ukhuwah islamiyah dan memelihara serta meningkatkan
suasana kerukunan antar umat beragama dalam mewujudkan
persatuan dan kesatuan bangsa.
3. Mewakili islam dalam konsultasi antar umat beragama.
4. Penghubung antra ulama dan umara (pemerintah) serta menjadi
penerjemah timbal balik antara pemerintah dan umat guna
menyukseskan pembangunan nasional.

6
Ibid Hlm 88-89

9
Dalam periode pertama (1975-1980), jabatan ketua umum Majelis
Ulama ini dipegang oleh Prof. Dr. Hamka yang terpilih kembali untuk
masa jabatan 1980-1985. Tidak lama setelah itu, ia mengundurkan diri.
Dia digantikan oleh K.H. Syukri Ghozali. Namun, yang disebut terakhir
ini meninggal dunia pada tanggal 20 September 1984, sebelum masa
jabatannya berakhir. Dia kemudian digantikan oleh K.H.E.Z. Muttaqin.
Jabatan ketua MUI periode 1985-1990 dan periode 1990-1995 dipegang
oleh K.H. Hasan Basri.7

B. PERAN ISLAM DALAM KEMERDEKAAN


Ajaran Islam yang dipeluk oleh sebagaian besar rakyat Indonesia telah
memberikan kontribusi besar, serta dorongan semangat, dan sikap mental
dalam perjuangan kemerdekaan. Tertanamnya “RUHUL ISLAM” yang di
dalamnya memuat antara lain :8
1. Jihad fi Sabilillah, telah memperkuat semangat rakyat untuk berjuang
melawan penjajah ( Sartono Kartodirdjo, 1982). Dengan semangat Jihad,
umat akan melawan penjajah yang zhalim, termasuk perang suci, bila
wafat syahid, surga imbalannya.
2. Ijin Berperang Dari Allah SWT. (Q.S. Al Haj : 39) “ Telah diijinkan
berperang bagi orang-orang yang diperangi, sesungguhnya mereka itu
dijajah/ditindas, maka Allah akan membela mereka (yang diperangi dan
ditindas)”.
3. Symbolbegrijpen (Simbol kalimat yang dapat menggerakkan rakyat),
yaitu “TAKBIR” Allahu Akbar, selalu berkumandang dalam era
perjuangan umat Islam di Indonesia.
4. “Khubul Wathon minal Iman”, cinta tanah air sebagian dari Iman,
menjadikan semangat Partiotik bagi umat Islam dalam melawan
penjajahan.

7
Ibid Hlm 92-93
8
Yatim, Badri.Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.2005.Hlm 123

10
Pada kesimpulannya Dr. Douwwes Dekker ( Setyabudi Danudirdja)
menyatakan bahwa :“Apabila Tidak ada semangat Islam di Indonesia, sudah
lama kebangsaan yang sebenarnya lenyap dari Indonesia”
Dengan demikian ajaran Islam yang sudah merakyat di Indonesia ini,
punya peranan yang sangat penting, berjasa, dan tidak dapat diabaikan dalam
perjuangan di Indonesia.
Dan ternyata agama islam tertanam begitu kokoh dalam nurani
bangsa Indonesia, sehingga semangat perjuangan mereka, khususnya para
pahlawan kita tidak pernah pudar sedikitpun sampai titik darah penghabisan.
Islam telah mendidik karakter bangsa Indonesia menjunjung tinggi
kebenaran, kejujuran dan kesucian. Karena itu jika kaum penjajah berani
menghancurkan kebenaran dan kejujuran, serta berani menodai kesucian,
mereka akan membelanya pantang menyerah. Islam juga mendidik karakter
bangsa Indonesia kayakinan akan adanya hidup di balik maqam, keyakinan
dan adanya ancaman keburukan serta balasan atas kebaikan. Maka untuk
membela kebenaran mereka bersedia berjihad di jalan Allah. Demikian pula
Islam juga mendidik karakter. Perlu diketahui bahwa perjuangan membela
kebenaran, menegakkan perikemanusiaan dan perikeadilan termasuk
menolong agama Allah. Sungguh, begitu besar jasa Islam di masa lalu, maka
kepada para penulis sejarah hendaklah tidak mengecilkan peran umat Islam di
nusantara ini, sehingga para generasi penerus tidak buta terhadap peran Islam
dan umatnya tersebut.
Setelah 66 tahun kemerdekaan negeri ini, adalah sebuah kepatutan
bagi umat Islam Indonesia untuk mengambil peran besar dalam pembangunan
ini seperti besarnya umat Islam di masa lalu. Sebab jika peran kita lebih
besar, kita akan mampu menentukan arah pembangunan yang lebih
manusiawi, hingga insyaallah dapat melepaskan diri dari penyakit peradaban
kita yakni KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepostisme).9

9
Ibid hlm 124

11
C. PERADABAN ISLAM DAN NEGARA PANCASILA
Nasionalisme merupakan tali pengikat yang kuat, yakni paham yang
menyatakan bahwa kesetiaan individu harus diserahkan kepada negara
kebangsaan, sebagai ikatan yang erat terhadap tumpah darahnya. Keinginan
untuk bersatu, persamaan nasib akan melahirkan rasa nasionalitas yang
berdampak pada munculnya kepercayaan diri, rasa yang amat diperlukan
untuk mempertahankan diri dalam perjuangan menempuh suatu keadaan yang
lebih baik. Dua faktor penyebab munculnya nasionalisme, yaitu faktor intern
dan ekstern. Faktor pertama sebagai bentuk ketidakpuasan terhadap penjajah
yang menimbulkan perlawanan rakyat dalam bentuk pemberontakan atau
peperangan. Sedang faktor kedua sebagai renaissance yang dianggap simbol
kepercayaan atas kemampuan diri sendiri.
Selain kondisi bangsa Indonesia berada dalam dominasi politik,
militer dan ekonomi bangsa-bangsa asing, nasionalisme Natsir muncul atas
dorongan ajaran agama yang diyakininya yang mewajibkan kepada setiap
Muslim untuk mencintai tanah airnya. Karena itu, nasionalisme merupakan
bagian dari Islam yang selalu mengajarkan agar mengenal kebudayaan dan
bangsa-bangsa lain tanpa menanggalkan pribadinya sebagai Muslim. Inilah
yang dimaksud nasionalisme Islami, yaitu orang-orang yang tetap komitmen
pada pandangan bahwa negara dan masyarakat harus diatur oleh Islam
sebagai agama yang, -dalam arti luas-, bukan hanya mengatur hubungan
manusia dengan Tuhan, melainkan juga hubungan antara sesama manusia,
sikap manusia terhadap lingkungannya, alam dan lain-lain sebagainya.
Sementara nasilonalis sekuler sebaliknya, yakni tanpa perhatian melihat
keterpautannya dengan agama.10
Wajar jika nasionalisme dan Islamisme selalu hadir berdampingan
dalam sejarah bangsa Indonesia, bahkan selama masa penjajahan, agama
menjadi aspek yang menegaskan perjuangan nasional. Selain organisasi-
organisasi nasional, seperti Jong Java, Jong Islamieten Bond, Jong Batak,
Jong Ambon dan lainnya, tidak sedikit gerakan-gerakan yang berasaskan ke-

10
Yatim, Badri. Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.2005. Hlm 156

12
Islam-an banyak yang tampil menjadi pelopor dan penggerak bangkitnya
nasionalisme. Artinya kekuatan nasionalisme dan Islamisme melebur menjadi
satu dalam memerangi segala bentuk penjajahan.
Bahkan pergerakan organisasi keagamaan sejak awal telah memiliki
kesadaran kebangsaan dan nasionalisme.Wadah-wadah seperti Nahdhatul
Ulama, Muhammadiyah, Persis, al-Wasliyah, dan lainnya telah berhasil
menyingkirkan sifat kepulauan dan keprovinsian. Organisasi ini memulai
gerakannya dengan menanamkan persaudaraan antar sesama rakyat yang
berada di luar batas Indonesia dengan ikatan ke-Islam-an. Karena itu, ikatan
persaudaraan yang melewati lintas etnik, budaya, politik tersebut terus
dipertahankan secara konsisten.Sebab, persaudaraan yang diikat oleh
kesadaran keagamaan ini menjadi benih-benih tumbuhnya sikap nasionalsime
dan kesadaran mempertahankan NKRI.
Kaitannya hubungan antara Islam dan negara, pemikiran Natsir
berorientasi pada paradigma integralistik; yaitu penyatuan antara agama dan
negara secara utuh. Artinya, dirinya menentang gagasan yang lebih menyukai
pemisahan antara agama dan negara (sekularistik). Uraian kenegaraan
menurutnya menjadi satu bagian yang tidak dapat dipisahkan dari Islam.
Karena itu, tujuan terbentuknya suatu negara adalah untuk melaksanakan
undang-undang Ilahi, baik yang berkenaan dengan kehidupan individu
maupun sosial. Natsir tidak menentukan model negara yang dikehendaki oleh
Islam, sebab bentuk negara menurutnya merupakan urusan keduniaan. Karena
itu, manusia memiliki kebebasan menentukan model suatu negara yang
hendak dibentuknya. Monarki boleh, republik pun tidak dilarang. Ia lebih
menekankan pada sisi aplikasi penyelenggaraan suatu negara. Namun ketika
mengusulkan ide-idenya, kelihatannya ia lebih cenderung pada bentuk negara
republik ketimbang monarki. Hal ini dapat dilihat dari pemikirannya
mengenai demokrasi, penekanannya terhadap sistem syura (musyawarah)
dalam proses pengambilan keputusan, yang tampak lebih dominan.11

11
Ibid Hlm 157-158

13
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN

Dari pembahasan makalah diatas, maka dapat kami simpulkan bahwa


Peradaban Islam sesudah kemerdekaan ditandai dengan dibentuknya :

1. Departemen Agama dalam pemerintahan


2. Pendidikan
3. Hukum Islam
4. Haji
5. Majelis Ulama Indonesia (MUI)

Islam telah mendidik karakter bangsa Indonesia menjunjung tinggi


kebenaran, kejujuran dan kesucian. Apabila Tidak ada semangat Islam di
Indonesia, sudah lama kebangsaan yang sebenarnya lenyap dari
Indonesia. Nasionalisme merupakan tali pengikat yang kuat, yakni paham
yang menyatakan bahwa kesetiaan individu harus diserahkan kepada
negara kebangsaan, sebagai ikatan yang erat terhadap tumpah darahnya.

14
DAFTAR PUSTAKA

B.J. Boland, Pergumulan Islan di Indonesia, (Jakarta: Grafitipers, cetakan


pertama),

Deliar Noer, Administrasi Islam di Indonesia, (Jakarta:Rajawali, 1983)

Sunanto, Musyrifah. (2007). Sejarah Islam Klasik Perkembangan Ilmu


Pengetahuan Islam, Jakarta : Kencana

Yatim, Badri. (2005). Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: PT RajaGrafindo


Persada.

15

Anda mungkin juga menyukai