Anda di halaman 1dari 31

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN KEJANG DEMAM

OLEH :

NI LUH DIANI UTARI

NIM : 209012435

PROGRAM STUDI PROFESI NERS

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN WIRA MEDIKA BALI

DENPASAR

2020
LAPORAN PENDAHULUAN
ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN KEJANG DEMAM

A. KONSEP DASAR PENYAKIT


1. Definisi
Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu
tubuh (suhu mencapai >38C). Kejang demam dapat terjadi karena proses
intracranial maupun ekstrakranial. Kejang demam terjadi pada 2-4% populasi
anak berumur 6 bulan sampai dengan 5 tahun. Paling sering pada anak usia 17 –
23 bulan (Amid dan Hardhi, NANDA NIC-NOC, 2015).

Kejang demam adalah ganguan neurologis yang paling sering ditemukan pada
anak, hal ini terutama pada rentang usia 4 bulan sampai 4 tahun. Berbagai
kesimpulan telah dibuat oleh para peneliti bahwa kejang demam bisa berhubungan
dengan usia, tingkatan suhu tubuh serta kecepatan peningkatan suhu tubuh,
termasuk faktor hereditas juga berperan terhadap bangkitan kejang demam lebih
banyak dibandingkan dengan anak normal (Sodikin, 2012).

2. Etiologi
Kejang terjadi akibat lepas muatan paroksismal yang berlebihan dari suatu
populasi neuron yang sangat mudah terpicu sehingga menganggu fungsi normal
otak dan juga dapat terjadi karena keseimbangan asam basa atau elektrolit yang
terganggu. Kejang itu sendiri dapat juga menjadi manifestasi dari suatu penyakit
mendasar yang membahayakan (Sylvia A.price dalam NANDA NIC NOC,
2015).
Kejang demam disebabkan oleh hipertermia yang muncul secara cepat yang
berkaitan dengan infeksi virus atau bakteri. Umumnya berlangsung singkat dan
mungkin terdapat predisposisi familia. Dan beberapa kejadian kejang dapat
berlanjut melewati masa anak – anak dan mungkin dapat mengalamikejang non
demam pada kehidupan selanjutnya.
Beberapa faktor resiko berulangnya kejang yaitu :
a. Riwayat kejang dalam keluarga
b. Usia kurang dari 18 bulan
c. Tingginya suhu badan sebelum kejang. Makin tinggi suhu sebelum kejang
demam, semakin kecil kemungkinan kejang demam akan terulang.
d. Lamanya demam sebelum kejang. Semakin pendek jarak antara mulainya
demam dengan kejang , maka semakin besar resiko kejang demam terulang.

Menurut Suryanti (2011), penyebab dari kejang demam yaitu :

a. Demam itu sendiri yang disebabkan oleh infeksi saluran pernafasan atas,

otitis media, pneumonia, gastroentritis, dan infeksi saluran kemih.

b. Efek produk toksik dari pada mikroorganisme.

c. Respon alergik atau keadaan umum yang abnormal oleh infeksi.

d. Perubahan keseimbangan cairan dan elektrolit.

e. Ensefalitis viral (radang otak akibat virus)

3. Patofisiologis terjadinya penyakit


Infeksi bakteri, virus dan parasit dapat mengakibatkan reaksi inflamasi lalu
proses demam dan suhu tubuh meningkat kemudian muncul masalah
keperawatan yaitu Hipertermi. Ketika terjadi proses demam terdapat
keseimbangan potensi membrane ATP dan ASE, difusis Na+ dan K+
kemudian muncul kejang. Durasi kejang dapat dibagi menjadi 2 yaitu kurang
dari 15 menit dan lebih dari 15 menit kedua durasi ini dapat mengakibatkan
penurunan kesadaran, penurunan refleks menelan dan muncul masalah
keperawatan yaitu Risiko Aspirasi. Kejang yang berlangsung selama kurang
dari 15 menit mengakibatkan kontraksi pada otot meningkat, metabolisme
meningkat, kebutuhan O2 meningkat, pola pernapasan meningkat/takipneu
dan muncul masalah keperawatan pola napas tidak efektif. Kejang yang
berlangsung selama lebih dari 15 menit mengakibatkan perubahan suplai
darah ke otak, risiko kerusakan sel neuron otak dan muncul masalah
keperawatan risiko perfusi serebral tidak efektif. Risiko kejang berulang
dapat menimbulkan kurangnya informasi pengobatan serta perawatan yang
akan menimbulkan masalah keperawatan defisit pengetahuan.
4. Pathway ( bagan)

Infeksi bakteri, Rangsang mekanik


virus & parasit & biokimia

Reaksi inflamasi Perubahan konsentrasi ion


di ruang ekstraseluler

Proses demam
Keseimbangan potensi
Suhu tubuh membrane ATP, ASE
meningkat

Difusi Na+ & K+


Hipertermi

Resiko kejang Kejang


berulang
Penurunan Kesadaran

Kurang dari Lebih dari 15


Kurang informasi 15 menit menit Penurunan refleks menelan
pengobatan
perawatan :
kondisi, prognosis Kontraksi otot
dan diet Perubahan
meningkat Risiko Aspirasi
suplai darah
ke otak
Defisit Metabolisme
pengetahuan meningkat Risiko kerusakan
sel neuron otak
Inkordinasi Kebutuhan O2
konstraksi otot mulut meningkat
Risiko perfusi
& lidah
serebral tidak
efektif
Pernafasan
meningkat / takipneu

Pola nafas tidak efektif

Resiko
cidera
5.
6. Klasifikasi
Kejang yang merupakan pergerakan abnormal atau perubahan tonus badan
dan tungkai dapat diklasifikasikan menjadi 2 bagian yaitu; kejang parsial
sederhana dan kejang parsial kompleks.

1.      Kejang parsial sederhana, lama kejang 15 menit

Kesadaran tidak terganggu dapat mencakup satu atau dua hal sebagai
berikut;

a. Tanda-tanda motoris; kedutan pada wajah, tangan atau salah satu sisi
tubuh; umumnya gerakan setiap kejang sama.
b. Tanda atau gejala otonomik; muntah, berkeringat, muka merah, dilatasi
pupil.
c. Gejala sematosensoris atau sensoris khusus; mendengar musik, merasa
seakan jatuh dari udara, parestesia.
d. Gejala psikik; dejavu, rasa takut, visi panoramik.
2.      Kejang parsial kompleks, lama kejang > 15 menit
Terdapat gangguan kesadaran, walaupun pada awalnya sebagai kejang
parsial simpleks. Dapat mencangkup otomatisme atau gerakan otomatik;
mengecap ngecapkan bibir, mengunyah, gerakan mencongkel yang
berulang-ulang pada tangan, dan gerakan tangan lainnya. Dapat tanpa
otomatisme tatapan terpaku (Cecily L.Betz dan Linda A.Sowden, 2012).

7. Gejala Klinis
Gejala umum kejang demam :
a. Kejang umum biasanya diawali kejang tonik kemudian klonik
berlangsung 10 sampai dengan 15 menit, bisa juga lebih.
b. Takikardia ; pada bayi frekuensi sering diatas 150 sampai 200 per menit.
c. Pulsasi arteri melemah dan tekanan nadi mengecil yang terjadi sebagai
akibat menurunnya curah jantung.
d. Gejala bendungan sistem vena : hepatomegali dan peningkatan tekanan
vena jugularis.
Gejala sesuai klasifikasi :
Kejang Karakteristik
Pasial Kesadaran utuh walaupun mungkin berubah, fokus disatu
bagian tetapi dapat menyebar kebagian lain.
1. Parsial a. Dapat bersifat motorik (gerakan abnormal unilateral),
sederhana sensorik (merasakan, membaui, mendengar sesuatu
yang abnormal), automik (takikardia, bradikardia,
takipneu, kemerahan, rasa tidak enak diepigatrium),
psikik (disfagia, gangguan daya ingat).
b. Biasanya berlangsung kurang dari 1 menit.
2. Parsial Dimulai sebagai kejang parsial sederhana ; berkembang
kompleks menjadi perubahan kesadaran yang disertai oleh :
a. Gejala motorik, gejala sensorik, otomatisme
(mengecap ngecapkan bibir, mengunyah, menarik –
narik baju).
b. Beberapa kejang parsial kompleks mungkin
berkembang menjadi kejang generalisata.
c. Biasanya berlangsung 1 – 3 menit.

Generalisata Hilangnya kessadaran; tidak ada awitan fokal, bilateral dan


simetrik; tidak ada aura.
1. Tonik – Spasme tonik – klonik, inkontinensia urin dan alvi;
klonik menggigit lidah; fase pascaiktus.
2. Absence Sering salah didiagnosa sebagai melamun.
a. Menatap kosong, ekpala sedikit lunglai, kelopak mata
bergetar atau berkedip secara cepat, tonus postural
tidak hilang.
b. Berlangsung beberapa detik.
3. Miokloni Kontraksi mirip syok mendadak yang terbatas di beberapa
k otot atau tungkai, cenderung singkat.
Hilangnya secara mendadak tonus otot disertai lenyapnya
4. Atonik postur tubuh (drop attacks).
Gerakan menyentak, repetitif, tajam, lambat dan tungkai
5. Klonik atau multiple di legan, tungkai atau torso.
Peningkatan mendadak tonus otot (menjadi kaku,
6. Tonik kontraksi) wajah dan tubuh bagian atas ; fleksi lengan dan
ekstensi tungkai
a. Mata, kepala mungkin berputar ke satu sisi.
b. Dapat menyebabkan henti nafas.
Sumber : Sylvia A.price dalam NANDA NIC NOC (2015)
Menurut Djamaludin (2010), tanda dan gejala anak yang mengalami kejang
demam adalah sebagai berikut :
1. Demam
2. Saat kejang, anak kehilangan kesadaran, kadang – kadang nafas dapat
berhenti beberapa saat.
3. Tubuh, termasuk tangan dan kaki menjadi kaku, kepala terkulai
kebelakang, disusul gerakan kejut yang kuat.
4. Warna kulit berubah pucat, bahkan dapat membiru dan bola mata naik
ke atas.
5. Gigi terkatup dan kadang disertai muntah.
6. Nafas dapat berhenti beberapa saat.
7. Anak tidak dapat mengontrol buang air besar dan kecil.

Efek fisiologik kejang :


Awal (kurang dari 15 Lanjut (15 – 30 Berkepanjangan
menit) menit) (lebih dari 1 jam)
a. Meningkatnya a. Menurunnya a. Hipotensi disertai
kecepatan denyut tekanan darah. berkurangnya
jantung. b. Menurunnya gula aliran darah
b. Meningkatnya darah. serebrum sehingga
tekanan darah. c. Disritmia. terjadi hipotensi
c. Meningkatnya d. Edema paru non serebrum.
kadar glukosa. jantung. b. Gangguan sawar
d. Meningkatnya darah otak yang
suhu pusat tubuh. menyebabkan
e. Meningkatnya sel edema serebrum.
darah putih.
Sumber : Sylvia A.price dalam NANDA NIC NOC (2015)

8. Pemeriksaan Fisik
1. Kepala
Inspeksi : kepala pasien tampak normocepalus, amati rambut pasien
(warna, kelebatan, distribusi dan adakah tanda kerontokan). Pasein
dengan malnutrisi energi protein mempunyai rambut yang jarang, dengan
warna rambut kemerahan seperti rambut jagung dan mudah dicabut tanpa
menyebabkan rasa sakit.
Palpasi : tidak ada nyeri tekan pada kepala pasien, raba adakah adakah
tanda - tanda kenaikan tekanan intrakranial seperti ubun – ubun besar
cembung, dan raba ubun – ubun besar apakah sudah menutup atau belum.
2. Wajah
Inspeksi : pada pasien dengan paralisis fasialis menyebabkan asimetris
wajah, sisi wajah yang paresis tertinggal bila anak menangis atau tertawa,
sehingga tertarik ke sisi sehat.
Palpasi : tidak ada nyeri tekan, tidak teraba adanya benjolan.
3. Mata
Inspeksi : saat serangan kejang terjadi dilatasi pupil, amati adakah
perdarahan pada mata pasien.
Palpasi : raba area mata pasien adakah peningkatan tekanan intra okular,
tidak teraba adanya nyeri tekan.
4. Telinga
Inspeksi : bentuk telinga simetris, tidak ada kelainan aurikula, tidak
tampak adanya lessi atau nodul pada area aurikula, tidak ada seruman,
cairan ataupun darah dari lubang telinga
Palpasi : Pinna lunak, ujung pinna sejajar dengan kantus mata, tidak ada
nyeri tekan pada area arikula.
5. Hidung
Inspeksi : pada pasien dengan gangguan pernafasan, akan tampak
mengguankan otot bantu pernafasan, penggunaan nafas cuping hidung,
adanya sekret.
Palpasi : tidak adanya pembengkokan sinus, tidak teraba adanya polip,
ataupun nyeri tekan, tidak adanya lesi
6. Mulut
Inspeksi : amati jumlah gigi pasien yang telah tumbuh, amati juga jika
sudah ada gigi pasien yang tanggal. Mukosa bibir pasien lembab, tidak
ada stomatitis, lidah tampak bersih, tidak ada labiosisis, labiopalatosisis,
labiogenatosisis.
7. Leher
Inspeksi : bentuk leher normal, tidak ada tampak adanya nodul, tidak
tampak adanya pembesaran kelenjar tiroid.
Palpasi : nadi carotis teraba kuat dan irreguler, tidak adanya pembesaran
kelenjar tiroid ataupun pembesaran vena jugularis, tidak adanya nyeri
tekan, tidak teraba adanya nodul.
8. Dada & punggung
Inspeksi : bentuk dada simteris, tidak ada kelainan bentuk dada, bentuk
payudara simetris tidak ada kerutan pada area payudara/ tanda – tanda Ca
Mamae.
Palpasi : tidak teraba adanya nodul, ataupun pembesaran kelenjar limfa,
sternum utuh, tidak adanya celah pada sternum, tidak ada kelainan pada
costa, costa lengkap tidak ada celah, tidak ada nyeri tekan.
1. Patu – paru
Inspeksi : tidak tampak adanya pembesaran paru – paru, tidak adanya
penggunaan otot bantu nafas, tidak ada peningkatan diameter thoraks.
Palpasi : tidak teraba adanya pembesaran paru –paru, lapang paru
teraba pada ICS II – VIII, tidak ada nyeri tekan, tidak ada takipnea.
Pekusi : terdengar suara sonor diseluruh lapang paru.
Auskultasi : Terdengar vesikuler pada ICS II,IV,VI kuat irreguler.
2. Jantung
Inspeksi : tidak tampak adanya hematomegali.
Palpasi : tidak teraba adanya hematomegali, letak jantung pada ICS II
lateral dekstra, pulpasi ictus kordis teraba pada line midclacula ICS V
sinistra dengan luas 3cm teraba kuat dan irreguler.
Perkusi : terdengar dullnes pada ICS II lateral dextra – line
midclavicula ICS V
Auskultasi : S1 terdengar kuat dan irreguler dan S2 terengar kuat,
tidak ada suara tambahan
Punggung :
.......................Inspeksi : tidak ada kelainan bentuk punggung atau tulang belakang,
tidak ada skoliosis, lordosis dan kifosis, tidak tampak adanya ruam.
Palpasi : tidak teraba adanya celah pada spina, tidak teraba kelainan
pada vertebra posterior ataupun costa pada area posterior, tidak teraba
adanya benjolanAbdomen
Inspeeksi : bentuk abdomen datar, umilikal mendelep, tidak adanya
lessi ataupun luka bekas post op.
Auskultasi : suara bising usus 30x/menit.
9. Abdomen
Inspeksi: bentuk abdomen datar, tidak adanya pembengkakakan, umbilikal
tampak menonjol, tidak adanya lessi ataupun bekas luka .
Auskultasi: Bising usus hiperaktif 30x/menit
Perkusi: terdengar suara tympani pada abdomen, tidak adanya suara pekak
pada area abdomen
Palpasi: tidak adanya pembesaran hepatomegali, ginjal teraba simitris
anatara kanan kiri, tidak adanya nyeri tekan.
10. Ekstremitas
Atas :
Inspeksi : Bentuk tangan kanan dan kiri simetris, tidak ada edema, nadi
radialis teraba kuat irreguler dan nadi brachialis teraba, tidak adanya
kelainana jari yaitu polidaktili atau sidaktili, tidaka danya cllubing fingers,
tidak adanya sianosis pada perifer.
Palpasi : Nadi Radialis dan Brachialis teraba turgor kulit elastis, akral
teraba hangat, CRT <2detik.
Bawah :
Inspeksi : betuk kaki simetris kanan dan kiri, tidak adanya kelainan bentuk
kaki atau tulang kaki, tidak adanya sianosis perifer, tidak adanya
polidaktili atau sindaktili.
Palpasi: turgor kulit kurang elastis, akral teraba hangat, CRT<2 detik.
11. Genetalia
Pada pasien pada umunya tidak menggunakan kateter urine.

9. Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan diagnostik yang dapat dilakukan pada anak dengan kejang
demam yaitu sebagai berikut (Pudjiaji, 2010) :
1). Elektro encephalograft (EEG)

Untuk pemeriksaan ini dirasa kurang mempunyai nilai prognostik. EEG

abnormal tidak dapat digunakan untuk menduga kemungkinan terjadinya epilepsi

atau kejang demam yang berulang dikemudian hari. Saat ini pemeriksaan EEG

tidak lagi dianjurkan untuk pasien kejang demam yang sederhana. Pemeriksaan

laboratorium rutin tidak dianjurkan dan dikerjakan untuk mengevaluasi sumber

infeksi.

2). Pemeriksaan cairan cerebrospinal

Hal ini dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan adanya

meningitis, terutama pada pasien kejang demam yang pertama. Pada bayi yang

masih kecil seringkali gejala meningitis tidak jelas sehingga harus dilakukan

lumbal pungsi pada bayi yang berumur kurang dari 6 bulan dan dianjurkan

untuk yang berumur kurang dari 18 bulan. Jika yakin bukan meningitis secara

klinis tidak perlu dilakukan fungsi lumbal, fungsi lumbal dilakukan pada:

a. Bayi usia kurang dari 12 bulan sangat dianjurkan


b. Bayi berusia 12 – 18 bulan dianjurkan

c. Bayi lebih usia dari 18 bulan tidak perlu dilakukan

3). Darah

a.  Glukosa Darah : Hipoglikemia merupakan predisposisi kejang  (N <

200 mq/dl)

b. BUN: Peningkatan BUN mempunyai potensi kejang dan merupakan

indikasi nepro toksik akibat dari pemberian obat.

c.  Elektrolit : K, Na

d. Ketidakseimbangan elektrolit merupakan predisposisi kejang

e. Kalium ( N 3,80 – 5,00 meq/dl )

f. Natrium ( N 135 – 144 meq/dl )

4). Cairan Cerebo Spinal   : Mendeteksi tekanan abnormal dari CCS tanda

infeksi, pendarahan penyebab kejang.

5). Skull Ray : Untuk mengidentifikasi adanya proses desak ruang dan adanya

lesi.

6). Tansiluminasi    : Suatu cara yang dikerjakan pada bayi dengan UUB

masih terbuka (di bawah 2 tahun) di kamar gelap dengan lampu khusus

untuk transiluminasi kepala.

10. Therapy/Tindakan Penanganan


1). Pemeriksaan neurologis yang pertama kali dilakukan secara inspeksi

dengan dilakukam adanya kelainan pada neurologis seperti kejang,

gemeteran, gerakan halus yang konstan, gerakan spasmodik yang

berlangsung singkat seperti otot lelah, gerakan involumer kasar tanpa


tujuan, kelumpuhan pada anggota gerak.

2). Pemeriksaan refleks, pada pemeriksaan ini yang dilakukan adalah:

a. Refleks supervisial, dengan cara menggores kulit abdomen

dengan empat goresan yang membentuk segi empat dibawah

xifoid.

b. Refleks tendon, dengan mengetuk menggunakan hammer pada

tendon, biseps, trisep, pattela, achiles dengan penilaian pada

bisep (terjadi fleksi sendi siku), trisep (terjadi ekstensi sendi siku),

patella (terjadi ekstensi sendi lutut), achiles (terjadi fleksi plantar

kaki), apabila hiper refleks berarti ada kelainan pada upper motor

neuron dan apabila hiporefleks maka ada kelainan pada lower

motor neuron.

c. Refleks patologis dapat menilai adanya refleks babinski dengan

cara mengompreskan plantar kaki dengan alat yang sedikit

runcing, hasilnya positif apabila terjadi ekstensi ibu jari.

3). Pemeriksaan tanda meningeal antara lain kaku kuduk dengan cara
pasien diatur posisi terlentang kemudian leher ditekuk apabila
terdapat tekanan dagu dan tidak menempel atau mengenai bagian
dada maka terjadi kaku kuduk.
4). Pemeriksaan keempat adalah pemeriksaan kekuatan dan tonus otot
dengan menilai pada bagian ekstremitas, dengan cara memberi
tahanan atau menggerakan bagian otot yang akan dinilai. (Hidayat,
2019).

Pengobatan saat terjadi kejang :

1). Pemberian diazepam supositoria pada saat kejang sangat efektif dalam

menghentikan kejang. Dosis pemberian :


a. 5 mg untuk anak <3 tahun atau dosis 7,5 mg untuk anak >3 tahun,

b. Atau 5 mg untuk BB <10 jg dan dosis 7,5 mg untuk anak >3 mg,

c. 0,5 – 0,7 mg/kbBB/kali

2). Diazepam intravena juga dapat diberikan dengan dosis sebesar 0,2 –

0,5 mg/kgBB. Pemberian secara perlahan – lahan dengan kecepatan 0,5

– 1 mg per menit untuk menghindari depresi pernafasan. Bila kejang

berhenti sebelum obat habis, hentikan penyuntikan. Diazepam dapat

diberikan 2 kali dengan jarak 5 menit bila anak masih kejang.

Diazepam tidak dianjurkan diberikan per IM karena tidak diabsorbsi

dengan baik.

3). Bila tetap masih kejang, berikan fenitoin per IV sebanyak 15 mg/kgBB

perlahan – lahan. Kejang yang berlanjut dapat diberikan pentobarbital

50 mg IM dan pasang ventilator bila perlu.

Pengobatan setelah kejang berhenti :

Bila kejang berhenti dan tidak berlanjut, pengobatan cukup dilanjutkan

dengan pengobatan intermitten yang diberikan pada anak demam untuk

mencegah terjadinya kejang demam. Obat yang diberikan berupa:

1). Antipiretik

a. Parasetamol atau asetaminofen 10 – 15 mg/kgBB/kali diberikan 4

kali atau tiap 6 jam. Berikan dosis rendah dan pertimbangkan efek

samping berupa hiperhidrosis.

b. Ibuprofen 10 mg/kgBB/kali berikan 3 kali.

2). Antikonvulsan
a. Berikan diazepam oral dosis 0,3 – 0,5 mg/kgBB setiap 8 jam pada

saat demam menurunkan risiko berulangnya kejang, atau

b. Diazepam rektal dosis 0,5 mg/kgBB/hari sebanyak 3 kali perhari.

Bila kejang berulang :

Berikan pengobatan rumatan dengan fenobarbital atau asam valproat

dengan dosis asam valproat 15 – 40 mg/kgBB/hari dibagi 2 – 3 dosis,

sedangkan fenobarbital 3 – 5 mgkgBB/hari dibagi dalam 2 dosis. Indikasi

untuk diberikan pengobatan rumatan adalah :

a. Kejang lamanya >15 menit

b. Anak mengalami kelainan neurologis yang nyata sebelum atau sesudah

kejang misalnya hemiparese, cerebral palsy, hidrocefalus.

c. Kejang lokal

d. Bila ada keluarga sekandung yang mengalami epilepsi.

Disamping itu, terapi rumatan dapat dipertimbangkan untuk :

a. Kejang berulang 2 kali atau lebih dalm 24 jam

b. Kejang demam terjadi pada bayi <12 bulan

11. Komplikasi
Menurut Betz & Sowden (2012), komplikasi kejang demam yaitu :

a. Pneumonia

b. Asfiksia

c. Retardasi mental

d. Cedera fisik, khususnya laterasi dahi dan dagu.


B. KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian
1.  Anamnesa

a. Aktivitas atau Istirahat

Keletihan, kelemahan umum

Keterbatasan dalam beraktivitas, bekerja, dan lain-lain

b. Sirkulasi

Iktal : Hipertensi, peningkatan nadi sinosis

Posiktal : Tanda-tanda vital normal atau depresi dengan penurunan nadi dan

pernafasan

c. Intergritas Ego

Stressor eksternal atau internal yang berhubungan dengan keadaan dan atau

penanganan

Peka rangsangan : pernafasan tidak ada harapan atau tidak berdaya

d. Eliminasi

1). Inkontinensia epirodik

2). Makanan atau cairan

3). Sensitivitas terhadap makanan, mual atau muntah yang berhubungan

dengan aktivitas kejang

e. Neurosensori

1). Riwayat sakit kepala, aktivitas kejang berulang, pinsan, pusing riwayat

trauma kepala, anoreksia, dan infeksi serebal

2). Adanya area (rasangan visual, auditoris, area halusinasi)

3). Posiktal : Kelamaan, nyeri otot, area paratise atau paralisis


f. Kenyamanan

1). Sakit kepala, nyeri otot, (punggung pada periode posiktal)

2). Nyeri abnormal proksimal  selama fase iktal

g. Pernafasan

1). Fase iktal : Gigi menyetup, sinosis, pernafasan menurun cepat

peningkatan sekresi mulus

2). Fase posektal : Apnea

h. Interaksi Sosial

Masalah dalam hubungan interpersonal dalam keluarga lingkungan

sosialnya

2. Pemeriksaan Fisik

a. Aktivitas

1). Perubahan tonus otot atau kekuatan otot

2). Gerakan involanter atau kontraksi otot atau sekelompok otot

b. Eleminasi

Iktal : penurunan tekanan kandung kemih dan tonus spinter

Posiktal : otot relaksasi yang mengakibatkan inkonmesia

c. Makanan atau cairan

1). Kerusakan jaringan lunak (cedera selama kejang)

2). Hyperplasia ginginal

d. Neurosensori (karakteristik kejang)

1). Fase prodomal : Adanya perubahan pada reaksi emosi atau respon

efektifitas yang tidak menentu yang mengarah pada fase area.

2). Kejang umum


3). Tonik – klonik : kekakuan dan postur menjejak, mengenag peningkatan

keadaan, pupil dilatasi, inkontineusia urine

4). Fosiktal : pasien tertidur selama 30 menit sampai beberapa jam, lemah

kalau mental dan anesia

5). Absen (patitmal) : periode gangguan kesadaran dan atau makanan

6). Kejang parsial

7). Jaksomia atau motorik fokal : sering didahului dengan aura, berakhir 15

menit tdak ada penurunan kesadaran gerakan ersifat konvulsif

e. Kenyamanan

Sikap atau tingkah laku yang berhati-hati

Perubahan pada tonus otot

Tingkah laku distraksi atau gelisah 

f. Keamanan

Trauma pada jaringan lunak

Penurunan kekuatan atau tonus otot secara menyeluruh

2. Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul


a. Hipertermi berhubungan dengan dehidrasi, terpapar lingkungan panas,
proses penyakit (misalnya infeksi, kanker), ketidaksesuaian pakaian
dengan suhu lingkungan, peningkatan laju metabolisme, respon trauma,
aktivitas berlebih, penggunaan inkubator.
b. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan depresi pusat pernafasan,
hambatan upaya nafas, deformitas dinding dada, deformitas tulang dada,
gangguan neurologis, imaturitas neurologis, penurunan energi, obesitas,
posisi tubuh yang menghambat ekspansi paru, sindrom hipoventilasi,
kerusakan inervansi diafragma, cedera pada medula spinalis, efek agen
farmakologis, kecemasan.
c. Risiko perfusi serebral tidak efektif berhubungan dengan kerusakan sel
neuron otak.
d. Defisit pengetahuan berhubungan dengan keterbatasan kognitif, gangguan
fungsi kognitif, kekeliruan mengikuti anjuran, kurang terpapar informasi,
kurang minat dalam belajar, kurang mampu mengingat, ketidaktahuan
menentukan sumber informasi.
e. Resiko cedera berhubungan dengan kegagalan mekanisme pertahanan
tubuh.
f. Risiko Aspirasi berhubungan dengan penurunan kesadaran
3. Rencana Tindakan
No Diagnosa Tujuan & Kriteria Hasil Intervensi
1. Hipertermi berhubungan dengan Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama Observasi :
dehidrasi, terpapar lingkungan … x …. jam, diharapkan suhu tubuh pasien 1. Identifikasi penyebab hipertermia
panas, proses penyakit (misalnya berada pada rentang normal. Dengan kriteria 2. Monitor suhu tubuh
infeksi, kanker), ketidaksesuaian hasil: 3. Monitor komplikasi akibat
pakaian dengan suhu lingkungan, a. Suhu tubuh dalam rentan normal (36,5- hipertermia
peningkatan laju metabolisme, 37,5oC) 4. Monitor tekanan darah, nadi dan
respon trauma, aktivitas berlebih, b. Frekuensi ejang mengalami penurunan RR
penggunaan inkubator. dengan skor 5 5. Monitor penurunan tingkat
c. Nadi dalam rentan normal 80-120x/menit kesadaran
d. RR dalam rentan normal 18-24x/menit 6. Monitor terjadinya kejang berulang
e. Tidak ada perubahan warna kulit dan tidak Terapeutik :
ada pusing. 7. Longgarkan atau lepaskan pakaian
8. Berikan cairan oral
9. Lakukan pendinginan eksternal
(kompres dingin pad dari, leher,
dada, abdomen, aksila)
10. Baringkan pasien agar tidak jatuh
11. Pertahankan kepatenan jalan nafas
12. Dampingi selama periode kejang
dan catat durasi kejang
Edukasi :
13. Anjurkan tirah baring
14. Anjurkan keluarga menghindari
memasukkan apapun ke dalam
mulut pasien selama periode kejang
Kolaborasi :
15. Kolaborasi dengan dokter dalam
pemberian cairan & elektrolit
intravena, jika perlu
16. Kolaborasi dengan dokter dalam
pemberian antikonvulsan, jika perlu
2. Pola nafas tidak efektif Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama Observasi :
berhubungan dengan depresi pusat … x …. jam, diharapkan ventilasi pasien 1. Monitor pola nafas (frekuensi,
pernafasan, hambatan upaya adekuat. Dengan kriteria hasil: keddalaman, usaha nafas)
nafas, deformitas dinding dada, a. Pasien mampu bernafas tanpa bantuan otot 2. Monitor adanya bunyi nafas
deformitas tulang dada, gangguan bantu nafas. tambahan
neurologis, imaturitas neurologis, b. Pasien tidak bernafas menggunakan cuping 3. Monitor adanya sputum pada jalan
penurunan energi, obesitas, posisi hidung. nafas
tubuh yang menghambat ekspansi c. Frekuensi nafas pasein pada rentaang 4. Monitor pola nafas
paru, sindrom hipoventilasi, normal (18-24x/menit). Terapeutik :
kerusakan inervansi diafragma, 5. Pertahankan kepatenan jalan nafas
cedera pada medula spinalis, efek dengan head-tilt & chin- lift , jika
agen farmakologis, kecemasan. perlu
6. Posisikan semi-fowler atau fowler
7. Beri minuman hangat
8. Berikan oksigen sesuai indikasi
Edukasi :
9. Ajarkan batuk efektif
Kolaborasi :
10. Kolaborasi dengan dokter terkait
pemberian terapi oksigen sesuai
indikasi.
3. Risiko perfusi serebral tidak Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama Observasi :
efektif berhubungan dengan … x …. jam, diharapkan aliran darah ke otak 1. Monitor staus pernafasan
kerusakan sel neuron otak. dapat secara adekuat. Dengan kriteria hasil: 2. Monitor tanda gejala peningkatan
a. Demam pasien dapat menurun pada TIK
rentang suhu 36,5° - 37,5°C 3. Monitor tingkat kesadaran
b. TD sistole dan diastole dalam batas 4. Monitor tanda – tanda vital
Terapeutik :
normal 80-100/60 mmHg
5. Berikan posisi semi fowler
c. RR normal 20-30 x/menit 6. Cegah terjadinya kejang
d. Nadi normal 80-90 x/menit 7. Tingkatkan frekuensi pemantauan
neurologis, jika perlu
e. Mempertahankan tingkat kesadaran
Edukasi :
(komposmentis)
8. Jelaskan prosedur dan tujuan
pemantauan
9. Informasikan hasil pemantauan
Kolaborasi :
10. Kolaborasi dengan dokter dalam
pemberian sedasi dan anti
konvulsan, jika perlu
4. Defisit pengetahuan berhubungan Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama Observasi :
dengan keterbatasan kognitif, … x …. jam, diharapkan keluarga mengerti 1. Identifikasi kesiapan dan
gangguan fungsi kognitif, maksud dan tujuan dilakukan tindakan kemampuan menerima informasi
kekeliruan mengikuti anjuran, perawatan selama kejang. Dengan kriteria hasil: 2. Kaji kemampuan keluarga terhadap
kurang terpapar informasi, kurang a. Keluarga mengerti cara penanganan kejang penanganan kejang
minat dalam belajar, kurang Terapeutik :
b. Keluarga tanggap dan dapat melaksanakan
mampu mengingat, ketidaktahuan 3. Sediakan lingkungan yang nyaman
perawatan kejang.
menentukan sumber informasi. untuk keluarga untuk menerima
c. Keluarga mengerti penyebab tanda yang informasi
4. Beri informasi atau pendidikan
dapat menimbulkan kejang.
kesehatan terkait penyakit kejang
demam
5. Berikan kesempatan keluarga untuk
bertanya
Edukasi :
6. Informasikan juga tentang bahaya

yang dapat terjadi akibat

pertolongan yang salah

7. Ajarkan kepada keluarga untuk

memantau perkembangan yang


terjadi akibat kejang

Kolaborasi :

8. Kolaborasi dengan dokter dan


tenaga kesehatan lain yang terkait
untuk memberikan informasi
tambahan kepada keluarga untuk
mambah pengetahuan tentang
penyakit kejang demam.

5. Risiko cedera berhubungan Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama Observasi :


dengan kegagalan mekanisme … x …. jam, diharapkan masalah resiko cidera 1. Identifikasi kebutuhan keselamatan
pertahanan tubuh. tidak menjadi aktual. Dengan kriteria hasil: 2. Identifikasi kebutuhan dan
a. Tidak terjadi kejang
keamanan pasien
b. Tidak terjadi cedera
Terapeutik :

3. Modifikasi lingkungan untuk


meminimalkan bahaya dan resiko
4. Pasang side rail pada tempat tidur
5. Menyediakan tempat tidur yang
nyaman dan bersih
Edukasi :
6. Ajarkan individu, keluarga dan
pengunjung risiko tinggi bahaya
lingkungan
Kolaborasi :
7. Kolaborasi dengan keluarga untuk
tetap menjaga dan memperhatikan
keselamatan pasien dengan tetap
melakukan pendampingan selama
perawatan
6. Risiko aspirasi berhubungan Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama Observasi :
dengan penurunan kesadaran … x …. jam, diharapkan masalah resiko aspirasi 1. Monitor pola napas (frekuensi,
tidak menjadi aktual. Dengan kriteria hasil: kedalaman, usaha napas)
1. Tingkat kesadaran meningkat 2. Monitor bunyi napas tambahan
2. Kemampuan menelan meningkat (mis : gurgling, mengi, wheezing,
3. Kelemahan otot menurun ronkhi)
3. Monitor sputum (jumlah, warna,
4. Akumulasi sekret menurun aroma)
Terapeutik :
1. Pertahankan kepatenan jalan napas
dengan head-lift dan chin-lift (jaw
thrust jika curiga trauma servikal)
2. Posisikan semi fowler atau fowler
3. Lakukan fisioterapi dada k/p
4. Berikan oksigen k/p
Edukasi:
1. Anjurkan asupan cairan 2000
ml/hari, jika tidak kontraindikasi
2. Ajarkan teknik batuk efektif
Kolaborasi:
1. Kolaborasi pemberian
bronkodilator, ekspektoran,
mukolitik, jika perlu
4. Implementasi
Implementasi keperawatan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh
perawat, untuk membantu klien dari masalah status kesehatan yang menghadapi
ke status kesehatan yang baik yang menggambarkan kriteria hasil yang
diharapkan (Gordon, 1994 dalam Potter & Parry, 2011).

5. Evaluasi
Diagnosa 1 : Hipertermi berhubungan dengan dehidrasi, terpapar lingkungan
panas, proses penyakit (misalnya infeksi, kanker), ketidaksesuaian pakaian dengan
suhu lingkungan, peningkatan laju metabolisme, respon trauma, aktivitas berlebih,
penggunaan inkubator.
a. Suhu tubuh dalam rentan normal (36,5-37,5oC)
b. Frekuensi ejang mengalami penurunan dengan skor 5
c. Nadi dalam rentan normal 80-120x/menit
d. RR dalam rentan normal 18-24x/menit
e. Tidak ada perubahan warna kulit dan tidak ada pusing.

Diagnosa 2 : Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan depresi pusat


pernafasan, hambatan upaya nafas, deformitas dinding dada, deformitas tulang
dada, gangguan neurologis, imaturitas neurologis, penurunan energi, obesitas,
posisi tubuh yang menghambat ekspansi paru, sindrom hipoventilasi, kerusakan
inervansi diafragma, cedera pada medula spinalis, efek agen farmakologis,
kecemasan.
a. Pasien mampu bernafas tanpa bantuan otot bantu nafas.
b. Pasien tidak bernafas menggunakan cuping hidung.
c. Frekuensi nafas pasein pada rentaang normal (18-24x/menit).

Diagnosa 3 : Risiko perfusi serebral tidak efektif berhubungan dengan kerusakan


sel neuron otak.
a. Demam pasien dapat menurun pada rentang suhu 36,5° - 37,5°C
b. TD sistole dan diastole dalam batas normal 80-100/60 mmHg

c. RR normal 20-30 x/menit

d. Nadi normal 80-90 x/menit


e. Mempertahankan tingkat kesadaran (komposmentis)

Diagnosa 4 : Defisit pengetahuan berhubungan dengan keterbatasan kognitif,


gangguan fungsi kognitif, kekeliruan mengikuti anjuran, kurang terpapar
informasi, kurang minat dalam belajar, kurang mampu mengingat, ketidaktahuan
menentukan sumber informasi.
a. Keluarga mengerti cara penanganan kejang

b. Keluarga tanggap dan dapat melaksanakan perawatan kejang.

c. Keluarga mengerti penyebab tanda yang dapat menimbulkan kejang.

Diagnosa 5 : Resiko cedera berhubungan dengan kegagalan mekanisme


pertahanan tubuh.
a. Tidak terjadi kejang
b. Tidak terjadi cedera
Diagnosa 6 : Risiko Aspirasi berhubungan dengan penurunan kesadaran
a. Tingkat kesadaran meningkat
b. Kemampuan menelan meningkat
c. Kelemahan otot menurun
d. Akumulasi sekret menurun

DAFTAR PUSTAKA
Amid dan Hardhi. 2015. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa
Medis & NANDA NIC-NOC. Jakarta : MediAction

Hidayat, Azis Alimul. 2015. Pengantar Ilmu Keperawatan Anak I. Edisi:1.


Jakarta: Salemba Medika

NANDA Internasional. 2012. Diagnosa Keperawatan Definisi & Klasifikasi.


Jakarta : EGC

Tim Pokja SIKI DPP PPNI. 2018. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia.
Jakarta : PPNI
Tim Pokja SIKI DPP PPNI. 2018. Standar Luaran Keperawatan Indonesia.
Jakarta : PPNI

Anda mungkin juga menyukai