Anda di halaman 1dari 4

1.

Reaksi hipersensitivitas Tipe I


Reaksi ini disebut juga sebagai reaksi hipersensitivitas tipe cepat atau anafilaktik yang dimediasi
oleh IgE. Sel mast dan basofil memiliki peranan penting pada inflamasi alergi tipe cepat melalui
pelepasan mediator kimia seperti histamin dan leukotrin, sitokin dan kemokin.
Reaksi yang terjadi akan melibatkan kulit (eksim), mata (konjungtivitis), nasofaring (rinitis),
jaringan bronkopulmoner (asma) dan traktus gastrointestinal (gastroenteritis).
Urutan kejadian reaksi Tipe I adalah sebagai berikut: (Baratawidjaja, 2000)
a. Fase sensitisasi yaitu waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan IgE sampai diikatnya oleh
reseptor spesifik pada permukaan sel mast dan basofil.
b. Fase aktivasi yaitu waktu selama terjadi pajanan ulang dengan antigen yang spesifik, sel mast
melepaskan isinya yang berisikan granul yang menimbulkan reaksi.
c. Fase efektor yaitu waktu terjadinya respon yang kompleks (anafilaksis) sebagai efek bahan-
bahan yang dilepas sel mast dengan aktivitas farmakologik.
Rhinitis : Pada paparan berulang alergen tersebut menyebabkan degranulasi basofil dan sel mast yang
diperantarai oleh IgE, melepaskan mediator-mediator inflamasi diantaranya histamin. Histamin
berikatan dengan reseptornya pada sel endotel dan otot polos pembuluh darah menyebabkan
terjadinya vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas, sehingga pasien akan mengalami keluhan
hidung berair, bersinbersin dan hidung tersumbat. IL-5 dan leukotrien akan mencetuskan reaksi
inflamasi fase lambat. Reaksi inflamasi tersebut akan dibatasi oleh IL-10 dan sel T regulator (O‟Neil
et al., 2014; Min, 2010).
2. Reaksi hipersensitivitas Tipe II
Reaksi ini dikenal sebagai sitotoksik terkait antibodi yang dimediasi oleh antibodi dari kelas IgM
atau IgG dan komplemen. Antibodi akan secara langsung berikatan dengan antigen pada
permukaan sel yang menyebabkan kerusakan sel seperti pada penyakit hemolisis pada bayi baru
lahir (Rh disease) dan miastenia gravis.
Patofisiologi MG (miastenia gravis) terbagi menjadi 4 jalur mekanisme, yaitu:
A. Defek transmisi neuromuskular Kelemahan otot rangka timbul akibat menurunnya faktor
keselamatan pada proses transmisi neuromuskular. Faktor keselamatan adalah perbedaan
potensial pada motor endplate dan potential threshold yang dibutuhkan untuk menimbulkan
potensial aksi dan akhirnya merangsang kontraksi serabut otot. Menurunnya potensial pada motor
endplate timbul akibat menurunnya reseptor asetilkolin.11
B. Autoantibodi Autoantibodi yang paling sering ditemukan pada MG adalah antibodi terhadap
reseptor asetilkolin (AChR) nikotinik pada otot rangka. Antibodi AChR akan mengaktifkan
rangkaian komplemen yang menyebabkan trauma pada post-sinaps permukaan otot. Selanjutnya
antibody AChR akan bereaksi silang dengan AChR sehingga meningkatkan endositosis dan
degradasi. Lalu antibody AChR akan menghambat aktivasi AChR dengan cara memblokade
binding site-nya AChR atau menghambat pembukaan kanal ion.11
C. Patologi timus Abnormalitas timus sering ditemukan pada pasien MG. Sekitar 10% pasien MG
terkait dengan timoma. Sebagian besar timoma memiliki kemampuan untuk memilih sel T yang
mengenali AChR dan antigen otot lainnya. Selain timoma, ditemukan juga hyperplasia timus
folikular pada pasien MG tipe awitan dini dan atropi timus pada pasien MG dengan awitan
lambat.11
D. Defek pada sistem imun MG adalah gangguan autoimun terkait sel T dan diperantarai selB.
Produksi autoantibodi pada AChR MG membutuhkan bantuan dari sel T CD4+ (Sel T helper).
Mereka akan menyekresikan sitokin inflamasi yang menginduksi reaksi autoimun terhadap self-
antigen dan akhirnya mengaktifkan sel B
MG secara klinis memiliki ciri kelelahan dan kelemahan pada otot. Gejala yang paling serius
adalah gangguan pernapasan karena kelemahan otot diafragma dan interkostal. Gejala pernapasan
ini, bersama dengan gejala bulbar berat, dapat memuncak dan disebut krisis miastenik dan
membutuhkan ventilasi mekanik
3. Reaksi hipersensitivitas tipe III

1. reaksi lokal atau sistemik.

Pada pemeriksaan mikroskopis, terlihat neutrofil menempel pada endotel vaskuler dan bermigrasi
ke jaringan tempat kompleks imun diendapkan. Reaksi yang timbul berupa kerusakan jaringan
lokal dan vaskuler akibat akumulasi cairan (edem) dan eritem sampai nekrosis. Reaksi tipe Arthus
dapat terjadi intrapulmoner yang diinduksi kuman, spora jamur atau protein fekal kering yang
dapat menimbulkan alveolitis atau farmers lung.
C3a dan C5a (anafilatoksin) yang terbentuk pada aktivasi komplemen, meningkatkan
permiabilitas pembuluh darah yang dapat menimbulkan edema. C3a dan C5a berfungsi juga
sebagai faktor kemotaktik. Neutrofil dan trombosit mulai diarahkan ke tempat reaksi dan
menimbulkan stasis dan obstruksi total aliran darah. Sasaran anafilatoksin adalah pembuluh darah
kecil, sel mast, otot polos dan leukositperifer yang menimbulkan kontraksi otot polos, degranulasi
sel mast, peningkatan permiabilitas vaskular dan respon tripel terhadap kulit. Neutrofil yang
diaktifkan memakan kompleks imun dan bersama dengan trombosit yang digumpalkan
melepaskan berbagai bahan seperti protease, kolagenase dan bahan vasoaktif.
Dengan pemeriksaan imunoflouresen, antigen, antibodi dan berbagai komponen-komplemen dapat
ditemukan di tempat kerusakan pada dinding pembuluh darah. Bila kadar komplemen atau granulosit
menurun maka kerusakan khas dari arthus tidak terjadi. Reaksi arthus pada klinis dapat berupa
vaskulitis.
2. Reaksi Tipe III sistemik-serum sickness
Serum sickness adalah merupakan reaksi hipersensitivitas tipe III, yang berasal dari injeksi
heterologus protein asing atau serum. Ataupun merupakan reaksi sekunder dari obat-obatan non
protein. Serum sickness pertama kali diperkenalkan oleh Von Pirquet dan Shick pada tahun 1905.
Serum sickness merupakan sindrom yang terdiri dari : demam, erupsi kulit (urtikaria), nyeri sendi dan
limpadenopati pada regio yang diinjeksi. Pemberian obat-obatan seperti penisilin, NSAID
(Nonsteroidal anti inflammatory drugs) juga berhubungan dengan penyakit yang mirip dengan serum
sickness.
Beberapa penyebab dari serum sickness yaitu :
obat-obatan yang mengandung protein tertentu :

 Antitoksin, hormon, streptokinase, vaksin : antibodi monoklonal dan poliklonal dari kuda,
kelinci, tikus contohnya antithymocyte globulin.
 Beberapa antibiotik yaitu : sefalosporin, ciprofloxacin, furazolidone, griseofulvin, lincomycin,
metronidazole, paraaminosalicylic acid, penisilin, streptomicin, sulfonamide, tetrasiklin.
 Beberapa obat lainnya : alupurinol, barbiturat, bupropion, captopril, karbamazepin,
fluoxetine, halotan, hidantoin, hidralazin, indometasin, iodida, iron dextran, metimazole,
metildopa, procainamide, procarbazine, propanolol dan thiouacil.
Serum sickness muncul setelah 1-3 minggu terpapar dengan agen penyebab. Waktu yang paling
singkat untuk muncul yaitu 12-36 jam.
Gejala klinis dapat berupa :

 Demam, malaise (100%), demam dengan suhu tinggi dalam beberapa haari
 Erupsi kulit (93%) berupa urtikaria, muncul pada anteror badan bagian bawah,
periumbilikalis, aksila dan menyebar ke bagian atas badan dan ekstremitas. Dapat pula
muncul rash seperti morbili, palpabel purpura, eritema simplex, eritema multiform,pruritus
dan edema.
 Atralgia (77%) biasanya pada metacarpophalangeal atau knee joint.
 Gastrointestinal (67%)
 Sakit kepala (57%)
 Pandangan kabur (37%)
 Mialgia (37%)
 Dipsneu (20%)
 Limpadenopati (17%)
 Renal impairment : proteinuri, hematuri mikroskopi, oliguri.
 Neurologi imparement : neuropati perifer, neuritis pleksus brachial, neuritis optik, Guillain
Barre Syndrome, encephalomyelitis.

4. Reaksi hipersensitivitas Tipe IV


Reaksi ini dikenal sebagai hipersensitivitas tipe lambat atau cell mediated. Reaksi yang terjadi
akan dimediasi oleh CD4+ sel T, dan terlibat pada patogenesis beberapa penyakit autoimun
(multiple sclerosis). Bentuk lain dari hipersensitivitas tipe lambat yaitu dermatitis kontak (poison
ivy)
Fase sensitisasi

Alergen atau hapten diaplikasikan pada kulit dan diambil oleh sel Langerhans. Antigen akan
terdegradasi atau diproses dan terikat pada Human Leucocyte Antigen-DR (HLA- DR), dan kompleks
yang diekspresikan pada permukaan sel Langerhans. Sel 5 Langerhans akan bergerak melalui jalur
limfatik ke kelenjar regional, dimana akan terdapat kompleks yang spesifik terhadap sel T dengan
CD4-positif. Kompleks antigen- HLA-DR ini berinteraksi dengan reseptor T-sel tertentu (TCR) dan
kompleks CD3. Sel Langerhans juga akan mengeluarkan Interleukin-1 (IL-1). Interaksi antigen dan
IL-1 mengaktifkan sel T. Sel T mensekresi IL-2 dan mengekspresikan reseptor IL-2 pada
permukaannya. Hal ini menyebabkan stimulasi autokrin dan proliferasi sel T spesifik yang beredar di
seluruh tubuh dan kembali ke kulit.2
Tahap elisitasi

Setelah seorang individu tersensitisasi oleh antigen, sel T primer atau memori dengan antigen-TCR
spesifik meningkat dalam jumlah dan beredar melalui pembuluh darah kemudian masuk ke kulit.
Ketika antigen kontak pada kulit, antigen akan diproses dan dipresentasikan dengan HLA-DR pada
permukaan sel Langerhans. Kompleks akan dipresentasikan kepada sel T4 spesifik dalam kulit (atau
kelenjar, atau keduanya), dan elisitasi dimulai. Kompleks HLA-DR-antigen berinteraksi dengan
kompleks CD3-TCR spesifik untuk mengaktifkan baik sel Langerhans maupun sel T. Ini akan
menginduksi sekresi IL-1 oleh sel Langerhans dan menghasilkan IL-2 dan produksi IL-2R oleh sel T.
Hal ini menyebabkan proliferasi sel T. Sel T yang teraktivasi akan mensekresi IL-3, IL- 4, interferon-
gamma, dan granulocyte macrophage colony-stimulating factor (GMCSF). Kemudian sitokin akan
mengaktifkan sel Langerhans dan keratinosit. Keratinosit yang teraktivasi akan mensekresi IL-1,
kemudian IL-1 mengaktifkan phospolipase. Hal ini melepaskan asam arakidonik untuk produksi
prostaglandin (PG) dan leukotrin (LT). PG dan LT menginduksi aktivasi sel mast dan pelebaran
pembuluh darah secara langsung dan pelepasan histamin yang melalui sel mast. Karena produk
vasoaktif dan chemoattractant, sel-sel dan protein dilepaskan dari pembuluh darah. Keratinosit yang 6
teraktivasi juga mengungkapkan intercellular adhesion molecule-1 (ICAM-1) dan HLA-DR, yang
memungkinkan interaksi seluler langsung dengan sel-sel darah.

(sumber : Syifa’ MEDIKA, Vol.10 (No. 1), September 2019 63 TINJAUAN PUSTAKA: MIASTENIA GRAVIS
Salma Kamarudin1 , Liza Chairani1 1) Departemen Ilmu Kesehatan Anak, Fakultas Kedokteran
Universitas Muhammadiyah Palembang)

Anda mungkin juga menyukai