Anda di halaman 1dari 17

A.

Definisi

Acute Decompensated Heart Failure (ADHF) merupakan gagal jantung akut

yang didefinisikan sebagai serangan yang cepat (rapid onset) dari gejala – gejala atau

tanda – tanda akibat fungsi jantung yang abnormal. Disfungsi ini dapat berupa

disfungsi sistolik maupun diastolik, abnormalitas irama jantung, atau

ketidakseimbangan preload dan afterload. ADHF dapat merupakan serangan baru

tanpa kelainan jantung sebelumnya, atau dapat merupakan dekompensasi dari gagal

jantung kronik (chronic heart failure) yang telah dialami sebelumnya. ADHF muncul

bila cardiac output tidak dapat memenuhi kebutuhan metabolisme tubuh. (Hanafiah,

2006).

Gagal jantung merupakan gejala – gejala dimana pasien memenuhi ciri

berikut: gejala – gejala gagal jantung, nafas pendek yang khas selama istirahat atau

saat melakukan aktifitas, dan atau kelelahan; tanda – tanda retensi cairan seperti

kongestif pulmonal atau pembengkakan tungkai (Crouch MA, DiDomenico RJ,

Rodgers Jo E, 2006).

B. Etiologi

Ada beberapa keadaan yang mempengaruhi fungsi jantung. Penyebab yang

paling umum adalah kerusakan fungsional jantung dimana terjadi kerusakan atau

hilangnya otot jantung, iskemik akut dan kronik, peningkatan tahanan vaskuler

dengan hipertensi, atau berkembangnya takiaritmia seperti atrial fibrilasi (AF).

Penyakit jantung koroner yang merupakan penyebab penyakit miokard, menjadi

penyebab gagal jantung pada 70% dari pasien gagal jantung. Penyakit katup sekitar

10% dan kardiomiopati sebanyak 10% (Dickstein K, Cohen SA, Filippatos G,

McMurray JJV, Ponikowski P, Atar D et al, 2011).


Kardiomiopati merupakan gangguan pada miokard dimana otot jantung secara

struktur dan fungsionalnya menjadi abnormal dengan ketiadaan penyakit jantung

koroner, hipertensi, penyakit katup, atau penyakit jantung kongenital lainnya] yang

berperan terjadinya abormalitas miokard (Dickstein K, Cohen SA, Filippatos G,

McMurray JJV, Ponikowski P, Atar D et al, 2008).

Menurut Joseph (2009) penyebab umum ADHF biasaya berasal dari ventrikel

kiri, disfungsi diastolik, dengan atau tanpa Coronary Artery Disease (CAD), dan

abnormalitas valvular. Meskipun sebagian pasien ADHF adalah pasien dengan

riwayat Heart Failure (HF) dan jatuh pada kondisi yang buruk, 20% pasien lainnya

yang dinyatakan ADHF tidak memiliki diagnosa HF sebelumnya.

Menurut ESC Guidelines for the diagnosis and treatment of acute and chronic

heart failure tahun 2008, penyebab umum gagal jantung karena penyakit otot jantung

adalah sebagai berikut :

Penyakit Jantung Koroner Banyak Manifestasi


Hipertensi Hipertensi Sering dikaitkan dengan hipertrofi ventrikel
kanan dan fraks injeksi
Kardiomiopati Kardiomiopati Faktor genetik dan non – genetik (termasuk
yang didapat seperti myocarditis)
Hypertrophic (HCM), dilated (DCM), restrictive (RCM),
arrhythmogenic right ventricular (ARVC), yang tidak
terklasifikasikan.
Obat – obatan β - Blocker, calcium antagonists, antiarrhythmics,
cytotoxic agent.
Toksin Alkohol, cocaine, trace elements (mercury, cobalt, arsenik)
Endokrin Diabetes mellitus, hypo/hyperthyroidism, Cushing
syndrome, adrenal insufficiency, excessive growth
hormone, phaeochromocytoma.
Nutrisional Defisiensi thiamine, selenium, carnitine. Obesitas, kaheksia
Infiltrative Sarcoidosis, amyloidosis, haemochromatosis, penyakit
jaringan ikat
Lainnya Penyakit Chagas, infeksi HIV, peripartum cardiomyopathy,
gagal ginjal tahap akhir
Faktor risiko :

Faktor presipitasi kardiovaskular


I. Dekompensasi pada gagal jantung kronik yang sudah ada (kardiomiopati).

II. Sindroma koroner akut

 Infark miokardial/unstable angina pektoris dengan iskemia yang bertambah

luas dan disfungsi sistemik.

 Komplikasi kronik IMA.

 Infark ventrikel kanan.

III. Krisis Hipertensi

IV. Aritmia akut (takikardia ventrikuler, fibrilasi ventrikular, fibrilasi atrial, takikardia

supraventrikuler, dll).

V. Regurgitasi valvular/endokarditis/ruptur korda tendinae, perburukan regurgitasi

katup yang sudah ada.

VI. Stenosis katup aorta berat.

VII. Tamponade jantung h. Diseksi aorta.

VIII. Kardiomiopati pasca melahirkan

Faktor presipitasi non kardiovaskuler

i. Volume overload

ii. Infeksi terutama pneumonia atau septikemia

iii. Severe brain insult

iv. Pasca operasi besar

v. Penurunan fungsi ginjal

vi. Asma

vii. Penyalahgunaan obat, penggunaan alkohol

viii. Feokromositoma

(Putra, 2012)

C. Patofisiologi
ADHF dapat muncul pada orang yang sebelumnya menderita gagal jantung

kronik asimptomatik yang mengalami dekompensasi akut atau dapat juga terjadi pada

mereka yang tidak pernah mengalami gagal jantung sebelumnya. Etiologi ADHF

dapat bersumber dari kardiovaskuler maupun non kardiovaskuler. Etiologi ini beserta

dengan faktor presipitasi lainnya akan menimbulkan kelainan atau kerusakan pada

jantung yang diakibatkan oleh proses iskemia miokard atau hipertropi remodeling otot

jantung atau kerusakan katup jantung yang dapat menyebabkan disfungsi ventrikel

sehingga terjadi gangguan preload maupun afterload sehingga menurunkan curah

jantung (Price, 2005).

Bila curah jantung menurun, maka tubuh akan mengeluarkan mekanisme

neurohormonal untuk mengkompensasi penurunan curah jantung. Mekanisme ini

melibatkan sistem adrenergik, renin angiotensin dan aldosteron sehingga terjadi

peningkatan tekanan darah akibat vasokonstriksi arteriol dan retensi natrium dan air.

Pada individu dengan remodeling pada jantungnya, mekanisme kompensasi akan

menempatkannya pada keadaan gagal jantung asimptomatik dimana jantungnya telah

mengalami disfungsi terutama ventrikel tetapi masih bisa dikompensasi agar tetap

dapat mempertahankan metabolisme dalam tubuh. Tetapi bila telah mencapai ambang

batas kompensasi, maka mekanisme ini akan terdekompensasi sehingga muncul gejala

klinis tergantung dari ventrikel yang terkena sehingga muncul ADHF (Price, 2005).

Proses remodeling maupun iskemia miokard akan menyebabkan kontraksi

miokard menurun dan tidak efektif untuk memompa darah. Hal ini akan menimbulkan

penurunan stroke volume dan akhirnya terjadi penurunan curah jantung. Penurunan

kontraktilitas miokard pada ventrikel kiri (apabila terjadi infark di daerah ventrikel

kiri) akan menyebabkan peningkatan beban ventrikel kiri. Hal ini disebabkan karena

penurnan kontraktilitas miokard disertai dengan peningkatan venous return (aliran


balik vena). Hal ini tentunya akan meningkatkan bendungan darah di paru – paru.

Bendungan ini akan menimbulkan transudasi cairan ke jaringan dan alveolus paru

sehingga terjadilah oedema paru. Oedema ini tentunya akan menimbulkan gangguan

pertukaran gas di paru – paru (Price, 2005).

Sedangkan apabila curah jantung menurun, maka secara fisiologis tubuh akan

melakukan kompensasi melalui perangsangan sistem adrenergik dan RAA untuk

mempertahankan curah jantung ke arah normal. Sedangkan apabila tubuh tidak

mampu lagi melakukan kompensasi, maka penurunan curah jantung akan memicu

penurunan aliran darah ke jaringan berlanjut. Apabila terjadi penurunan aliran darah

ke ginjal, akan memicu retensi garam dan air oleh sistem renin angiotensin aldosteron.

Retensi ini akan menjadi lebih progresif karena tidak diimbangi dengan peningkatan

tekanan atrium kanan akibat proses dekompensasi, sehingga terjadi kelebihan volume

cairan yang berujung pada oedema perifer (Price, 2005).

Sedangkan menurut Mc.Bride BF, White M, dalam Acute Decompensated

Heart Failure: Pathophysiology tahun 2010 patofisiologi ADHF yakni

Ketidakmampuan dan kegagalan jantung memompa darah secara langsung

menciptakan suatu keadaan hipovolemik relatif yang lebih dikenal dengan arterial

underfilling. Selain itu respon terhadap faktor – faktor neurohormonal (seperti sistem

saraf simpatis, renin – angiotensin – aldosterone system, arginine vasopressin dan

endotelin – 1) menjadi teraktivasi untuk mempertahankan euvolemia yang

menyebabkan retensi cairan, vasokonstriksi, atau keduanya. Pada pasien tanpa gagal

jantung, respon ini untuk mengakhiri volume cairan yang telah dipertahakan

(Mc.Bride BF, White M, 2010).

Aktivasi neurohormonal juga menstimulasi aktivasi sitokin proinflamasi dan

mediator – mediator apoptosis miosit. Elevasi neurohormonal dan imunomodulator


yang diamati pada pasien dengan ADHF yang dikaitkan dengan perburukan gejala

gagal jantung dan perburukan prognosis pasien . Pada pasien dengan gagal jantung,

aktivasi sistem saraf simpatik mencegah terjadinya arterial underfilling yang

meningkatkan arter sampai toleransi berkembang dengan dua mekanisme. Pertama,

myocardial 1 – receptor terpisah dari second messenger protein, yang mengurangi

jumlah cyclic adenosine 5¸-monophosphate (cAMP) yang dibentuk untuk sejumlah

interaksi reseptor ligan tertentu. Kedua, mekanisme dephosphorylation

menginternalisasi 1-reseptor dalam vesikula sitoplasma di miosit tersebut.

Bahkan dengan latar belakang tingkat toleransi., peningkatan marker akut

pada katekolamin diamati di antara pasien dengan ADHF masih mengangkat cAMP

miokard, meningkatkan konsentrasi kalsium intraseluler dan tingkat metabolisme

anaerobik. Hal ini dapat meningkatkan risiko tachyarrhythmias ventrikel dan

kematian sel terprogram. Selain itu, overdrive simbol-menyedihkan menyebabkan

ditingkatkan 1-reseptor rangsangan tidak mengakibatkan toleransi dan meningkatkan

derajat vasokonstriksi sistemik, meningkatkan stres dinding miokard. Selanjutnya,

peningkatan vasokonstriksi sistemik mengurangi tingkat filtrasi glomerulus, sehingga

memberikan kontribusi bagi aktivasi sistem renin angiotensin aldosterone (Mc.Bride

BF, White M, 2010).

D. Manifestasi Klinis

Gejala utama ADHF antara lain sesak napas, konngesti, dan kelelahan yang

sering tidak spesifik untuk gagal jantung dan sirkulasi. Gejala – gejala ini juga dapat

disebabkan pleh kondisi lain yang mirip dengan gejala gagal jantung, komplikasi yang

diidentifikasikan pada pasien dengan gejala ini. variasi bentuk penyakit pulmonal

termasuk pneumonia, penyakit paru reaktif dan emboli pulmonal, mungkin sangat

sulit untuk dibedakan secara klinis dengan gagal jantung (Lindenfeld J, 2010).
Menurut ESC Guidelines for the diagnosis and treatment of acute and chronic

heart failure tahun 2008, manifestasi klinis acute decompensated heart failure antara

lain tertera dalam tabel berikut:

Gambaran Klinis yang Gejala Tanda


Dominan
Edema perifer/ kongesti Sesak napas,kelelahan, Edema Perifer, peningkatan
Anoreksia. vena jugularis, edema
pulmonal, hepatomegaly,
asites, overload cairan
(kongesti), kaheksia
Edema pulmonal Sesak napas yang berat saat Crackles atau rales pada
istirahat. paru-paru bagian atas, efusi,
Takikardia, takipnea
Syok kardiogenik (low Konfusi, kelemahan, Perfusi perifer yang buruk,
output syndrome) dingin pada perifer. Systolic Blood Pressure
(SBP) < 90mmHg, anuria
atau oliguria
Tekanan darah tinggi (gagal Sesak napas Biasanya terjadi peningkatan
jantung hipertensif) tekanan darah, hipertrofi
ventrikel kiri.
Gagal jantung kanan Sesak napas, kelelahan Bukti disfungsi ventrikel
kanan, peningkatan JVP,
edema perifer,
hepatomegaly, kongesti
usus.
Menurut The Consensus Guideline in The Management of Acute Decompensated

Heart Failure tahun 2006, manifestasi klinis acute decompensated heart failure antara lain

tertera dalam tabel berikut :

Volume Overload
1) Dspneu saat melakukan kegiatan.
2) Orthopnea.
3) Paroxysmal nocturnal dyspnea (PND).
4) Ronchi.
5) Cepat kenyang.
6) Mual dan muntah.
7) Hepatosplenomegali, hepatomegali, atau splenomegaly.
8) Distensi vena jugular.
9) Reflex hepatojugular.
10) Asites.
11) Edema perifer.

Hipoperfusi
1) Kelelahan.
2) Perubahan status mental.
3) Penyempitan tekanan nadi.
4) Hipotensi.
5) Ekstremitas dingin.
6) Perburukan fungsi ginjal.
Decompensasi cordis akut dapat dimanifestasikan oleh penurunan curah jantung

dan/atau pembendungan darah di vena sebelum jantung kiri atau kanan, meskipun curah

jantung mungkin normal atau kadang-kadang di atas normal.Tanda dominan gagal jantung

adalah meningkatnya volume intravaskuler. Kongesti jaringan terjadi akibat tekanan arteri

dan vena yang meningkat akibat turunnya curah jantung dan kegagalan jantung. Peningkatan

tekanan vena pulmonalis dapat menyebakan cairan mengalir dari kapiler ke alveoli, akibatnya

terjadi edema paru yang dimanifestasikan dengan batuk dan nafas pendek. Meningkatnya

tekanan vena sistemik dapat mengakibatkan edema perifer umum dan penambahan berat

badan. Turunnya curah jantung pada gagal jantung dimanifestasikan secara luas karena darah

tidak dapat mencapai jaringan dan organ (perfusi rendah) untuk menyampaikan oksigen yang

dibutuhkan. Beberapa efek yang biasanya timbul akibat perfusi rendah adalah pusing,

konfusi, kelelahan, tidak toleran terhadap aktivitas dan panas, ektremitas dingin, dan haluaran

urin berkurang (oliguri). Tekanan perfusi ginjal menurun, mengakibatkan pelepasan renin

dari ginjal, yang pada gilirannya akan menyebabkan sekresi aldosteron, retensi natrium dan

cairan serta peningkatan volume intravaskuler.


Dampak dari cardiac output dan kongesti yang terjadi pada sistem vena atau sistem pulmonal

antara lain:

 Lelah.

 Angina.

 Cemas.

 penurunan aktifitas GI.

 Kulit dingin dan pucat.

Tanda dan gejala yang disebakan oleh kongesti balik dari ventrikel kiri, antara lain :

 Dyspnea.

 Batuk.

 Orthopnea.

 Rales paru.

 Hasil x-ray memperlihatkan kongesti paru.

Tanda-tanda dan gejala kongesti balik ventrikel kanan :

 Edema perifer

 Distensi vena leher

 Hati membesar (hepatomegali)

 Peningkatan central venous pressure (CPV).

Respon terhadap kegagalan jantung :

a. Peningkatan tonus simpatis >> Peningkatan sistem saraf simpatis yang

mempengaruhi arteri dan vena jantung. Akibatnya meningkatkan aliran balik

vena ke jantung dan peningkatan kontraksi. Tonus simpatis membantu

mempertahankan tekanan darah normal


b. Retensi air dan natrium >> Bila ginjal mendeteksi adanya penurunan volume

darah yang ada untuk filtrasi, ginjal merespon dengan menahan natrium dan

air dengan cara demikian mencoba untuk meningkatkan volume darah central

dan aliran balik vena.

E. Klasifikasi

Klasifikasi ADHF dapat dilihat melalui tabel Forrester Hemodynamic Subsets

Gagal jantung diklasifikasikan menurut American College of Cardiology (ACC) dan

American Heart Association (AHA) 2008 :

i. Stage A : Risiko tinggi gagal jantung, tetapi tanpa penyakit jantung struktural

atau tanda dan gejala gagal jantung. Pasien dalam stadium ini termasuk mereka

yang mengidap hipertensi, DM, sindroma metabolik, penyakit aterosklerosis

atau obesitas.

ii. Stage B : penyakit jantung struktural dengan disfungsi ventrikel kiri yang

asimptomatis. Pasien dalam stadium ini dapat mengalami LV remodeling,

fraksi ejeksi LV rendah, riwayat IMA sebelumnya, atau penyakit katup jantung

asimptomatik.

iii. Stage C : Gagal jantung simptomatis dengan tanda dan gejala gagal jantung

saat ini atau sebelumnya. Ditandai dengan penyakit jantung struktural, dyspnea,

fatigue, dan penurunan toleransi aktivitas.

iv. Stage D : Gagal jantung simptomatis berat atau refrakter. Gejala dapat muncul

saat istirahat meski dengan terapi maksimal dan pasien memerlukan rawat inap.

Sedangkan menurut New York Heart Association (NYHA) dibagi menjadi 4 kelas

berdasarkan tanda dan gejala pasien, respon terapi dan status fungsional yaitu :

i. Functional Class I ( FC I ) : asimptomatik tanpa hambatan aktivitas fisik.


ii. Functional Class II ( FC II ) : hambatan aktivitas fisik ringan, pasien merasa

nyaman saat istirahat tetapi mengalami gejala dyspnea, fatigue, palpitasi atau

angina dengan aktivitas biasa.

iii. Functional Class III ( FC III ) : hambatan aktivitas fisik nyata, pasien merasa

nyaman saat istirahat tetapi mengalami gejala dyspnea, fatigue, palpitasi atau

angina dengan aktivitas biasa ringan.

iv. Functional Class IV ( FC IV ) : ketidaknnyamanan saat melakukan aktivitas fisik

apapun, dan timbul gejala sesak pada aktivitas saat istirahat.

F. Pemeriksaan Diagnostik

Pemeriksaan penunjang untuk kasus ADHF menurut Hanafiah (2006):

i. Laboraturium

 Hematologi : Hb, Ht, Leukosit.

 Elektrolit : K, Na, Cl, Mg.

 Enzim Jantung (CK-MB , Troponin, LDH).

 Gangguan fungsi ginjal dan hati : B UN, Creatinin, Urine Lengkap,

SGOT, SGPT.

 Gula darah.

 Kolesterol, trigliserida.

 Analisa Gas Darah

ii. Elektrokardiografi, untuk melihat adanya :

 Penyakit jantung koroner : iskemik, infark.

 Pembesaran jantung (LVH : Left Ventricular Hypertrophy).

 Aritmia.

 Perikarditis
iii. Foto Rontgen Thoraks, untuk melihat adanya :

 Edema alveolar.

 Edema interstitials.

 Efusi pleura.

 Pelebaran vena pulmonalis.

 Pembesaran jantung.

 Echocardiogram menggambarkan ruang –ruang dan katup jantung

 Radionuklir.

 Mengevaluasi fungsi ventrikel kiri.

 Mengidentifikasi kelainan fungsi miokard.

iv. Pemantauan Hemodinamika (Kateterisasi Arteri Pulmonal Multilumen)

bertujuan untuk :

 Mengetahui tekanan dalam sirkulasi jantung dan paru.

 Mengetahui saturasi O2 di ruang-ruang jantung

 Biopsi endomiokarditis pada kelainan otot jantung.

 Meneliti elektrofisiologis pada aritmia ventrikel berat recurrent.

 Mengetahui beratnya lesi katup jantung.

 Mengidentifikasi penyempitan arteri koroner.

 Angiografi ventrikel kiri (identifikasi hipokinetik, aneurisma ventrikel,

fungsi ventrikel kiri).

 Arteriografi koroner (identifikasi lokasi stenosis arteri coroner)

v. Echocardiogram - Menggambarkan ruang –ruang dan katup jantung.


G. Penatalaksanaan Medis

1. Tirah Baring

Kebutuhan pemompaan jantung diturunkan, untuk gagal jantung kongesti tahap

akut dan sulit disembuhkan.

2. Pemberian diuretic

Pemberian terapi diuretik bertujuan untuk memacu ekskresi natrium dan air

melalui ginjal. Obat ini tidak diperlukan bila pasien bersedia merespon pembatasan

aktivitas, digitalis dan diet rendah natrium

3. Pemberian morphin

Untuk mengatasi edema pulmonal akut, vasodilatasi perifer, menurunkan aliran

balik vena dan kerja jantung, menghilangkan ansietas karena dispnea berat.

4. Terapi vasodilator

Obat-obat vasoaktif merupakan pengobatan utama pada penatalaksanaan gagal

jantung. Obat ini berfungsi untuk memperbaiki pengosongan ventrikel dan

peningkatan kapasitas vena sehingga tekanan pengisian ventrikel kiri dapat

diturunkan dan dapat dicapai penurunan dramatis kongesti paru dengan cepat.

5. Terapi digitalis Digitalis adalah obat utama yang diberikan untuk

meningkatkan kontraktilitas (inotropik) jantung dan memperlambat frekuensi

ventrikel serta peningkatam efisiensi jantung. Ada beberapa efek yang dihasilkan

seperti : peningkatan curah jantung, penurunan tekanan vena dan volume darah,

dan peningkatan diuresis yang mengeluarkan cairan dan mengurangi edema.

6. Inotropik positif

 Dopamin >> Pada dosis kecil 2,5 s/d 5 mg/kg akan merangsang alpha-

adrenergik beta-adrenergik dan reseptor dopamine ini mengakibatkan

keluarnya katekolamin dari sisi penyimpanan saraf. Memperbaiki


kontraktilitas curah jantung dan isi sekuncup. Dilatasi ginjal-serebral dan

pembuluh koroner. Pada dosis maximal 10-20 mg/kg BB akan

menyebabkan vasokonstriksi dan meningkatkan beban kerja jantung.

 Dobutamin >> Merangsang hanya betha adrenergik. Dosis mirip dopamine

memperbaiki isi sekuncup, curah jantung dengan sedikit vasokonstriksi dan

tachicardi.

7. Dukungan diet (pembatasan natrium)

Pembatasan natrium ditujukan untuk mencegah, mengatur, atau mengurangi

edema, seperti pada hipertensi atau gagal jantung. Dalam menentukan ukuran

sumber natrium harus spesifik dan jumlahnya perlu diukur dalam milligram.

Tindakan-tindakan mekanis

 Dukungan mekanis ventrikel kiri (mulai 1967) dengan komterpulasi balon

intra aortic / pompa PBIA. Berfungsi untuk meningkatkan aliran koroner,

memperbaiki isi sekuncup dan mengurangi preload dan afterload ventrikel

kiri.

 Tahun 1970, dengan extracorporeal membrane oxygenation (ECMO). Alat

ini menggantikan fungsi jantung paru. Mengakibatkan aliran darah dan

pertukaran gas. Oksigenasi membrane extrakorporeal dapat digunakan

untuk memberi waktu sampai tindakan pasti seperti bedah by pass arteri

koroner, perbaikan septum atau transplantasi jantung dapat dilakukan

(Nasution, 2006).
Menurut Heart Failure Society of America tahun 2010, terapi untuk pasien ADHF dapat

berangkat dari goal treatment di bawah ini :

Discharge Planning pada pasien ADHF dapat dilakukan jika pasien dapat memenuhi kriteria

di bawah ini :

 Faktor eksaserbasi dapat ditangani.

 Pemberian obat oral stabil dalam 24 jam

 Pasien dan keluarga sudah di KIE

 Fraksi ejeksi ventrikel kiri terdokumentasi.

 Adanya konseling smoking cessation.

 Kontrol ulang selama 7-10 hari setelah KRS.

 Sudah menerima semua terapi.

 Dokumentasi discharge planning sudah dibuat.

Terapi farmakologis meliputi :

a. Digitalis, untuk meningkatkan kekuatan kontraksi jantung dan memperlambat

frekuensi jantung. Misal : digoxin.

b. Diuretik, untuk memacu ekskresi natrium dan air melalui ginjal serta mengurangi

edema paru. Misal : furosemide ( lasix ).

c. Vasodilator, untuk mengurangi impedansi ( tekanan ) terhadap penyemburan darah

oleh ventrikel. Misal : natrium nitropusida, nitrogliserin.

d. Angiotensin Converting Enzyme inhibitor ( ACE inhibitor ) adalah agen yang

menghambat pembentukan angiotensin II sehingga menurunkan tekanan darah. Obat

ini juga menurunkan beban awal ( preload ) dan beban akhir ( afterload ). Misal :

captopril, quinapril, ramipril, enalapril, fosinopril, dll.


e. Inotropik ( Dopamin dan Dobutamin )

 Dopamin digunakan untuk meningkatkan tekanan darah , curah jantung dan

produksi urine pada syok kardiogenik.

 Dobutamin menstimulasi adrenoreseptor di jantung sehingga meningkatkan

kontraktilitas dan juga menyebabkan vasodilatasi sehingga mengakibatkan

penurunan tekanan darah. Dopamin dan dobutamin sering digunakan bersamaan.


Pathways

Anda mungkin juga menyukai