Disusun oleh:
Aditya Rizki Darmawan 41191396100065
Andi Asri Ainun Panggeleng 41191396100034
Dalam kesempatan kali ini, kami mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang
telah membimbing kami dalam penyusunan dan penyelesaian makalah ini, terutama kepada:
1. Pembimbing presentasi kasus dr. Agatha Citrawati Anom, Sp.An yang telah
mengajarkan dan meluangkan waktu untuk mengarahkan dalam penyusunan makalah
presentasi kasus ini.
2. Semua dokter dan staf KSM Anestesi RSUP Fatmawati.
3. Teman-teman Kepaniteraan Klinik di KSM Anestesi RSUP Fatmawati atas bantuan dan
dukungannya dalam penyusunan makalah presentasi kasus ini.
Makalah yang berjudul “Manajemen syok hipovolemik pada pasien perdarahan late
hemorrrhage postpartum” ini kami sadari masih banyak kekurangan. Oleh karena itu, kami
memohon maaf jika terdapat beberapa kesalahan dalam makalah ini.
Demikian makalah presentasi kasus ini kami tulis, semoga dapat memberikan manfaat bagi
penulis khususnya dan para pembaca pada umumnya.
Tim Penulis
2
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR....................................................................................................2
DAFTAR ISI..................................................................................................................3
BAB I..............................................................................................................................4
BAB II.............................................................................................................................6
BAB III............................................................................................................................25
BAB IV...........................................................................................................................32
BAB V.............................................................................................................................35
DAFTAR PUSTAKA.....................................................................................................36
3
BAB I
PENDAHULUAN
Syok adalah suatu sindroma klinis yang terjadi akibat gangguan hemodinamik dan
metabolik ditandai dengan kegagalan sistem sirkulasi untuk mempertahankan perfusi yang
adekuat ke organ-organ vital tubuh. Kegagalan dari sirkulasi ini akan menyebabkan
oxygen delivery ke mitokondria sel di seluruh tubuh manusia tidak mampu memenuhi
oxygen consumption. Sebagai respon terhadap pasokan oksigen yang tidak cukup ini,
metabolisme energi sel menjadi anaerob sehingga menghasilkan asam laktat yang dapat
merusak membran sel. Tubuh juga akan melepaskan mediator inflamasi yang nanti akan
mengkompensasi perfusi melalui perubahan fungsional dan struktural mikrovaskular. Hal
ini hanya dapat dikompensasi dalam waktu yang terbatas, dan bila hal ini berlangsung terus
menerus selanjutnya dapat timbul kerusakan irreversible pada organ vital dan
menyebabkan kematian.
Berbagai macam penyakit dapat menjadi penyebab dari syok itu sendiri. Salah satu
contoh garis besar yang dapat menyebabkan syok adalah karena akibat terjadinya infeksi
yang terlalu tinggi ataupun dapat juga terjadi akibat perdarahan yang dibuktikan dengan
adanya sumber dari perdarahan tersebut. Pada pasien dengan kasus-kasus trauma,
perdarahan merupakan penyebab paling sering dijumpai menjadi penyebab syok. Pada
makalah kali ini akan membahas mengenai syok yang disebabkan karena hemorrhage
postpartum (HPP). Perdarahan postpartum jika dilihat dari segi Bahasa, post memeliki arti
setelah dan partum sendiri berarti melahirkan. Jika kita artikan dari segi Bahasa adalah
perdarahan yang terjadi setelah melahirkan. Secara definisi hemorrhage postpartum (HPP)
adalah perdarahan yang masif yang berasal dari tempat implantasi plasenta, robekan pada
jalan lahir dan jaringan sekitarnya dan merupakan salah satu penyebab kematian ibu di
samping perdarahan karena kehamilan ektopik dan abortus.
Terjadinya perdarahan berarti banyak darah yang akan keluar dari dalam tubuh
yang menyebabkan volume cairan dalam tubuh kita juga akan berkurang. Volume yang
berkurang tersebut sering dikenal dengan istilah penurunan stroke volume tubuh. Stroke
volume sejajar dengan cardiac output yang berarti jika stroke volume terjadi penurunan
otomatis cardiac output pun akan mengalami penurunan. Penurunan cardiac output
tersebut berarti ketika volume darah berkurang, jantung yang akan memompa darah yang
sedikit itu akan berpengaruh terhadap perfusi jaringan. Akibat hal tersebut perfusi jaringan
4
ke organ serta oksigenasinya pun tidak adekuat. Hal tersebutlah yang mendasari terjadinya
syok akibat dari perdarahan. Maka dari itu kami merasa penting untuk mengetahui
bagaimana dampak syok hipovolemik dan manajemen syok agar dapat dilakukan
manjamen dengan baik dan benar.
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Seluruh cairan tubuh tersebut secara garis besar terbagi ke dalam 2 kompartemen, yaitu
6
intraselular dan ekstraselular.
a. Cairan Intraselular
Cairan yang terkandung di dalam sel disebut cairan intraselular. Pada orang dewasa, sekitar
2/3 dari cairan dalam tubuhnya terdapat di intraselular, sebaliknya pada bayi hanya setengah
dari berat badannya merupakan cairan intraselular.
b. Cairan Ekstraselular
Jumlah relative cairan ekstraselular menurun seiring dengan bertambahnya usia, yaitu
sampai sekitar sepertiga dari volume total pada dewasa. Cairan ekstraseluler terbagi menjadi
cairan interstitial dan cairan intravascular. Cairan interstitial adalah cairan di ruang antar sel,
cairan yang mengelilingi sel dan termasuk cairan yang terkandung diantara rongga tubuh
(transseluler) seperti serebrospinal, pericardial, pleura, sendi synovial, intraocular, dan sekresi
saluran pencernaan. Sementara, cairan intravascular merupakan cairan yang terkandung dalam
pembuluh darah, dalam hal ini plasma darah.
Terdapat dua jenis bahan yang terkandung di dalam cairan tubuh, yaitu elektrolit dan non-
elektrolit.
a. Elektrolit
Elektrolit adalah zat yang terdisosiasi dalam cairan, dibedakan menjadi ion positif (kation)
dan ion negative (anion). Kation utama dalam cairan ekstraseluler adalah sodium (Na +),
sedangkan kation utama dalam cairan intraseluler adalah potassium (K +). Anion utama dalam
cairan ekstraseluler adalah klorida (Cl -) dan bikarbonat (HCO3-), sedangkan anion utama dalam
cairan ntraselular adalah ion fosfat (PO 43-). Kandungan elektrolit dalam plasma dan cairan
interstitial kurang lebih sama, sehingga nilai elektrolit plasma mencerminkan komposisi cairan
ekstraseluler.
b. Non Elektrolit
Zat-zat yang termasuk ke dalam non-elektrolit adalah glukosa, urea, kreatinin, dan bilirubin
yang tidak terdisosiasi dalam cairan.
7
Gambar 2.1 Komposisi Ion dan Kompartemen-Kompartemen Cairan Tubuh Utama
2.2 Syok
2.2.1 Definisi Syok
Dalam pengertian yang lebih luas, syok juga meliputi ketidakseimbangan delivery oxygen
(DO2) dan penggunaan oksigen/ Oxygen consumtion (VO 2) yang diawali dengan tidak adekuatnya
perfusi ke organ dan oksigensai jaringan yang tidak memadai. Terganggunya perfusi organ serta
oksigenasi ke jaringan merupakan dua hal yang mendasari terjadinya kegagalan organ pada pasien
syok. Ketidakcukupan oksigenasi pada sel dan jaringan membuat tubuh kita merespon dengan
mengubah metabolisme sel menjadi anaerobik yang mengakibatkan terjadinya asidosis laktat. Jika
oksigenasi jaringan terus berkurang seiring jalannya wakta maka respon inflmasi seluler dan
sistemik, metabolisme akan muncul yang membuat pasien menjadi semakin tidak stabil.
Syok merupakan sindroma klinis yang terjadi akibat gangguan hemodinamik dan
metabolic ditandai dengan kegagalan sistem sirkulasi untuk mempertahankan perfusi yang adekuar
ke organ-organ vital tubuh.
9
Gambar 2.2 Jenis-jenis syok
2.2.3 Syok Hipovolemik
Syok hipovolemik merupakan kondisi medis atau bedah dimana terjadi kehilangan cairan
dengan cepat yang berakhir pada kegagalan beberapa organ, disebabkan oleh volume sirkulasi yang
tidak adekuat dan berakibat pada perfusi yang tidak adekuat. Perdarahan adalah penyebab syok
paling umum setelah trauma dan hampir semua penderita dengan trauma multipel ada komponen
hipovolemia.
Syok hipovolemik terdiri atas 2 macam, syok hemoragik dan syok non hemoragik. Paling
sering, syok hipovolemik merupakan akibat kehilangan darah yang cepat (syok hemoragik).
Kehilangan darah yang akut akibat trauma tembus dan perdarahan gastrointestinal yang berat
merupakan dua penyebab tersering pada syok hemoragik. Syok hemoragik juga dapat merupakan
akibat dari kehilangan darah yang akut secara signifikan dalam rongga dada dan rongga abdomen.
Dua penyebab utama kehilangan darah dari dalam yang cepat adalah cedera pada organ padat dan
rupturnya aneurisma aorta abdominalis. Syok hipovolemik dapat merupakan akibat dari kehilangan
cairan yang signifikan (selain darah) seperti pada gastroenteritis refrakter dan luka bakar yang luas.
Perdarahan merupakan penyebab tersering dari syok pada pasien-pasien trauma, baik oleh
karena perdarahan terlihat maupun perdarahan yang tidak terlihat. Perdarahan yang terlihat,
perdarahan dari luka, atau hematemesis dari tukak lambung. Perdarahan tidak terlihat, misalnya
perdarahan dari saluran cerna, seperti tukak duodenum, cedera limpa, kehamilan ektopik, fraktur
pelvis dan fraktur tulang besar atau majemuk.
10
Syok hipovolemik juga dapat terjadi karena kehilangan cairan tubuh yang lain. Pada luka
bakar yang luas, terjadi kehilangan cairan melalui permukaan kulit yang terbakar. Muntah hebat
atau diare juga dapat mengakibatkan kehilangan banyak cairan intravaskuler. Pada obstruksi ileus
dapat terakumulasi beberapa liter cairan di dalam usus. Pada diabetes atau penggunaan diuretic
kuat dapat terjadi kehilangan cairan karena diuresis yang berlebihan. Kehilangan cairan juga dapat
ditemukan pada sepsis berat, pankreatitis akut, atau peritonitis purulenta difus.
12
merupakan kelas yang membutuhkan manajemen segera yaitu seperti butuh trnasfusi darah secara
cepat ataupun operasi yang segera jika dibutuhkan.
13
Gambar 2.3 Skema Patofisiologi Syok Hipovolemia (Stick JA, et al; 2012)
b. Merangsang kemoreseptor perifer, peningkatan osmolalitas serum akan
merangsang kemoreseptor untuk selanjutnya diteruskan ke hipotalamus.
Aktivasi hipotalamus akan menghasilkan sekresi ACTH yang kemudian
akan merangsang medulla kelenjar adrenal untuk menghasilkan
vasopressin, aldosterone, dan kortisol yang akan merangsang
vasokonstriksi dan retensi Na serta menghasilkan epinefrin untuk
merangsang kontraktilitas jantung.
Selain itu, jaringan yang hipoksia akan mengalami apoptosis dan juga merangsang
inflamasi sehingga dapat menimbulkan kerusakan jaringan hingga disfungsi organ
(seperti gagal ginjal karena nekrosis tubulus akut) hingga tubuh akan mengalami syok
akibat tidak mampu melakukan kompensasi terhadap kerusakan yang ada.
Delivery Oxygen (DO2) adalah jumlah total oksigen yang dialirkan darah ke jaringan
setiap menit. Kadar DO2 tergantung dari cardiac output (CO) dan oxygen content of the
arterial blood (CaO2). Komponen dari cardiac output (CO) meliputi preload,
kontraktilitas, dan afterload. Komponen dari CaO2 adalah oksigen yang berikatan dalam
serum (2-3% yang dapat ditelusuri dengan kadar PaO2 dan oksigen yang berikatan dengan
hemoglobin (97-98%) yang dapat ditelusuri dengan SaO 2 (saturasi oksigen pada pembuluh
darah arteri). Dari definisi ini dapat dijabarkan sebuah rumus:
DO2 = CO x ( Hb x 1,34 x SaO2) + (PaO2 x 0,0031)
Nilai normal DO2 adalah 1000 ml O2/menit. Dari rumus di atas dapat dilihat bahwa
hemoglobin (Hb) dan saturasi oksigen (SaO2) adalah penentu utama pada pengaliran
oksigen dalam darah ke seluruh jaringan tubuh termasuk otak. Sekitar 250 ml oksigen yang
digunakan setiap menit oleh orang istirahat sadar (konsumsi oksigen istirahat) dan oleh
karena itu sekitar 25% dari kandungan oksigen arteri digunakan setiap menit. Hemoglobin
dalam darah vena campuran adalah sekitar 73% jenuh (98%minus 25%). Pada saat
istirahat, pengiriman oksigen ke sel-sel tubuh melebihi konsumsi oksigen. Selama latihan,
oksigen meningkatkan konsumsi. Peningkatan kebutuhan oksigen biasanya disediakan oleh
peningkatan cardiac output (seperti yang ditunjukkan pada rumus di atas). Sebuah jantung
yang output nya rendah, rendah kadar hemoglobin (anemia) atau oksigen rendah saturasi
akan mengakibatkan berkurangnya pengiriman oksigen jaringan, kecuali ada perubahan
kompensasi dalam salah satu faktor lainnya.
15
dan laktatasi dosis. Situasi ini dikenal sebagai oksigenasi supply-dependent.
2. Sistem Hematologi
Sistem hematologi berespon terhadap kehilangan darah yang
berat dan akut dengan mengaktivasi kaskade koagulasi dan
vasokonstriksi pembuluh darah (melalui pelepasan tromboksan A2
lokal). Selain itu, platelet diaktivasi (juga melalui pelepasan tromboksan
A2 lokal) dan membentuk bekuan darah immatur pada sumber
pendarahan. Pembuluh darah yang rusak menghasilkan kolagen, yang
selanjutnya menyebabkan penumpukan fibrin dan menstabilkan bekuan
darah. Dibutuhkan waktu sekitar 24 jam untuk menyempurnakan
fibrinasi dari bekuan darah dan menjadi bentuk yang sempurna.
3. Sistem Kardiovaskular
Tubuh akan melakukan kompensasi dengan merangsang
baroreseptor yang ada di badan aorta dan (pusat kardiovaskular)
dengan meningkatkan rangsangan tonus simpatis menyebabkan
16
peningkatan frekuensi nadi, kontraktilitas jantug, dan vasokonstriksi
perifer. Perubahan ini termasuk didalamnya peningkatan tekanan darah
diastolic sehingga merperkecil nilai tekanan nadi. Ketika tekanan darah
sistolik mengalami penurunan, maka penghantaran oksigen ke organ
vital tidak terpenuhi. Hal ini menyebabkan terjadinya perubahan
metabolism sel yang awalnya berupa metabolism aerobik berubah
menjadi metabolism anerobik yang menghasilkan laktat, sehingga tubuh
dapat jatuh ke dalam asidosis laktat.
Perfusi darah akan terfokus pada organ vital yaitu jantung dan
otak, namun disisi lain organ lain akan mengalami iskemia jaringan, hal
ini juga akan memperburuk asidosis. Oleh karena itu apabila tidak
dikoreksi dengan cepat, hemodinamik pasien semakin tidak stabil dan
menyebabkan kematian.
4. Sistem Respirasi
Hipoperfusi akan merangsang kemoreseptor perifer dan sentral
untuk merangsang otot-otot bantu napas sehingga meningkatkan
kemampuan ventilasi sehingga meningkaykan minute volume (takipnea
dan hiperpnea), hipokapnia, dan alkalosis respiratorik primer. Namun,
pada kasus syok berat proses metabolism berubah menjadi metabolisme
anerob yang menghasilkan sejumlah laktat dimana metabolism anaerob
menghasilkan jumlah ATP yang lebih sedikit sehingga akan menganggu
kerja sel. Asam laktat ini akan terakumulasi pada sel dan kompartemen
ekstraseluler. Pola pernapasan pasien juga mengalami perubahan
menjadi cepat dan dalam (pernapasan kussmaull), hal ini guna untuk
17
mengambil oksigen sebanyak-banyak dan mengeluarkan laktat.
5. Sistem Renal
Respon ginjal terhadap syok hipovolemik akan meningkatkan
sekresi renin dari apparatus juxtraglomerular, renin akn mengkonversi
angiotensinogen menjadi angiotensin I yang selanjutkan oleh paru dan
hepar diubah menjadi angiotensin II, kemudian angiotensin II akan
menyebabkan vasokonstriksi arteior dan stimulasi sekresi aldosteron
oleh korteks adrenal. Aldosteron nantinya akan berperean dalam
reabsorpsi natrium dan konservasi air sehingga akan terjadi retensi
cairan, manifestasi klinis pada pasien berupa edema perifer. Namun,
apabila ginjal sudah tidak mampu mengkompensasi kembali akibat syok
perkepanjangan, maka akan jatuh ke dalam gagal ginjal akut pre renal.
Perfusi ke ginjal yang menurun menyebabkan penurunan filtrasi ginjal
(GFR ↓) yang menyebabkan penurunan jumlah urin (<0.5
cc/KgBB/jam), gangguan elektrolit seperti kegagalan ekskresi kalium
(hiperkalemia), kegagalan ekskresi fosfat (hiperfosfatemia), kegagalan
aktivasi vitamin D sehingga kalsium menurun (hipokalsemia),
kegagalan reabsorpsi natrium (hiponatremia). Selain itu, dapat terjadi
asidosis metabolik akibat kegagalan ginjal untuk sekresi ion hidrogen
(asam) melalui urin dan kegagalan untuk menyimpan bikarbonat (basa).
Gagal ginjal Akut didefinisikan sebagai penurunan mendadak
faal ginjal dalam 43 jam yang ditandai denagn kenaikan kadar kreatinin
serum ≥ 0,3 mg/dl, presentasi kenaikan kreatinin serum ≥ 50% (1,5 x
kenaikan dari nilai dasar) atau pengurangan produksi urin (oliguria yang
18
tercatat <0,5 cc/kgBB/jam dalam waktu > 6 jam).
6. Sistem Integumen
Pada keadaan syok, perfusi ke darah ke jaringan akan
difokuskan pada organ yang vital seperti jantung dan otak, sehingga
pada sistem integumen akan mengalami penurunan perfusi. Oleh karena
itu, gejala yang dirasakan berupa pasien pucat dan dingin serta gejala
yang terjadi yaitu hipotermia, akral dingin, CRT > 2 detik, sianosis.
7. Sistem Gastrointestinal
Perfusi darah ke jaringan gastrointestinal yang menurun
menyebabkan gangguan motilitas usus, sehingga terjadi konstipasi,
mual, muntah, perdarahan gastrointestinal. Selain itu, perfusi ke organ
hepar yang menurun menyebabkan fungsi sel Kupffer seabagai
fgositosis berkurang menyebabkan risiko infeksi meningkat.
19
Patofisiologi Perubahan Tubuh terhadap Syok Hipovolemia.
20
Gambar 2.2 Derajat Syok Hipovolemia (Stick JA, et al; 2012)
21
2. Anamnesis, hal yang perlu ditanyakan adalah memastikan keadaan syok saat ini
karena adanya perdarahan atau ada sebab lain seperti muntah atau diare hebat,
kelainan jantung, hingga infeksi berat (sepsis). Jika terdapat perdarahan perlu
ditanyakan adalah durasi, asal, tipe, dan jumlah perdarahan yang terjadi.
3. Pemeriksaan Fisik, berupa pemeriksaan ABCDE untuk melihat adanya
kegawatdaruratan lain yang mungkin memperburuk keadaan pasien, yaitu
a. Airway, pastikan tidak ada hambatan jalan napas pasien baik adanya edema
maupun adanya darah yang mungkin menjadi sumber syoknya.
b. Breathing, pastikan pola pernapasan baik termasuk suara napas dan paru
mengembang dengan baik.
c. Circulation, menilai perfusi jaringan dan juga mengidentifikasi sumber
perdarahan eksternal.
d. Disability, melakukan pemeriksaan neurologi berulang untuk memastikan tidak
ada cedera serebral ataupun perfusi otak yang tidak adekuat.
e. Exposure, melakukan pemeriksaan fisik menyeluruh pada pasien, meliputi pemeriksaan
tanda anemia dan dehidrasi, atau adakah kelainan organ tertentu. Pemeriksaan diiringi
dengan mengidentifikasi sumber perdarahan seperti pada perdarahan saluran cerna
perlu diidentifikasi warna darah yang keluar dari mulut melalui muntah ataupun dari
rectum, kemudian inspeksi area wajah, hidung, mulut, hingga faring untuk menilai
adanya darah atau tidak. Selain itu, lakukan auskultasi dan perkusi paru untuk
menyingkirkan kemungkinan hemotoraks (suara napas ronkhi dan perkusi redup).
Kemudian periksa abdomen ataupun panggul apakah terdapat nyeri tekan pada area
tertentu. Kemudian, jika pasien mengeluh perdarahan dari vagina perlu dipastikan darah
tersebut berasal dari mana, sesuai dengan siklus mentstruasi atau tidak, sudah
menopause atau belum, dapat menggunakan berapa pembalut, dan harus dilakukan
pemeriksaan kehamilan dan juga USG untuk memastikan penyebab perdarahannya.
22
2.5 Tatalaksana
Prinsip penatalaksanaan syok khususnya syok hipovolemik adalah mengembalikan
status hemodinamik dalam batas normal dan mempertahakannya tetap stabil. Hal tersebut
dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut:
a. Pemberian Terapi Cairan
Pemberian cairan merupakan terapi utama pada syok hipovolemik dengan
tujuan untuk menggantikan cairan ataupun darah yang hilang. Pemberian terapi
cairan dilakukan setelah oksigenasi telah adekuat karena khawatir pada pemberian
cairan resusitasi dalam jumlah besar akan menimbulkan edema pada trakea yang
dapat menghambat jalan napas dan mempersulit intubasi.
Prinsip pemberian cairan pada syok hipovolemik adalah mengembalikan
ekspansi volume intravaskuler secepat mungkin sehingga perfusi pada target organ
kembali menjadi optimal. Cairan yang diberikan pada resusitasi awal dalam keadaan
hangat dengan dosis sebanyak 1-2 L pada orang dewasa atau 20 mL/KgBB pada anak
dengan berat badan kurang dari 40 Kg dalam 30-60 menit petama dengan tetes cepat
sebagai bolus.
Pilihan cairan yang diberikan pada resusitasi awal adalah cairan kristaloid
yang bersifat memberikan ekspansi vaskular dengan lebih cepat dan mengganti
kehilangan sementara cairan di interstisial dan intraseluler. Pilihan utama kristaloid
yang diberikan adalah ringer laktat atau ringer asetat karena kedua cairan tersebut
memiliki profil isotonis yang paling menyerupai cairan ekstraseluler, namun kedua
cairan tersebut tidak boleh diberikan pada pasien gangguan hepar. Pilihan kedua
adalah NaCl 0,9% yang merupakan larutan salin isotonis namun berpotensi tinggi
menyebabkan asidosis hiperkloremik sehingga cocok pada pasien dengan keadaan
hipokloremik.
Secara umum, kristaloid memiliki karakteristik yang baik untuk resusitasi
pada kasus syok hipovolemik karena memiliki molekul berukuran kecil dengan waktu
paruh intravaskular 11-30 menit sehingga dapat mengalami ekspansi cairan ke
intersstisial dalam 30-60 menit untuk kemudian di-ekskresi di urin setelah 24- 48
jam. Berdasarkan waktu kerja cairan kristaloid, maka pemberian 3 mL cairan
kristaolid ekuivalen dengan 1 mL darah yang hilang.
Pemberian kristaloid dapat berbarengan dengan koloid atau diikuti oleh
koloid setelahnya terutama pada resusitasi cairan pada keadaan penurunan cairan
intravaskular masif, pada pasien dengan hipoalbuminemia berat atau kehilangan
23
protein dalam jumlah besar, atau pada keadaan pasien yang membutuhkan resusitasi
cairan >3 L. Koloid memiliki karakteristik sebagai intravascular expander karena
memiliki ukuran molekul yang lebih besar sehingga cenderung menetap di dalam
vaskular dalam waktu yang lebih lama namun lebih berpotensi menimbulkan reaksi
alergi. Cairan koloid yang diberikan adalah albumin 5%.
Setelah pemberian cairan resusitasi awal, perlu dilakukan pemantauan
hemodinamik meliputi tekanan darah, denyut dan tekanan nadi menunjukkan perfusi
mulai kembali normal, peningkatan kesadaran juga dapat menjadi indicator pulih
perfusi organ. Target khusus dalam pemantauan hemodinamik meliputi CRT <2
detik, MAP stabil pada nilai 65-70 mmHg, Saturasi O2 >95%, Urin output >0,5
mL/KgBB/jam pada dewasa; >1 mL/KgBB/jam pada anak, dan >2 mL/KgBB/jam
pada bayi (<1 tahun), dengan nilai indeks syok (nadi dibagi tekanan darah sistolik)
0,5-0,7. Pemantauan hemodinamik juga dinilai beradasarkan estimasi volume darah
(7% dari BB pada orang dewasa dan 9 mL/KgBB pada anak), apabila hemodinamik
memburuk maka diulangi pemberian cairan dengan 2x estimasi kehilangan darah.
Jika, telah membaik namun Hb <8 atau HT <25% maka indikasi transfusi
b. Pemberian Terapi Transfusi
Transfusi darah adalah proses menyalurkan darah atau produk berbasis darah dari
satu orang ke sistem peredaran orang lainnya. Indikasi transfusi darah yaitu perdarahan
akut hingga hemoglobin < 8 g/dL atau hematokrit <30 %, pada bedah mayor yang
kehilngan darah > 20 % volume total, pasien anemia akut dengan hematokrit <21 %,
pasien anemia kronis yang tidak dapat menoleransi kadar hemoglobin <7 g/dL.
American Society of Anesthesiologists menyatakan bahwa indikasi transfusi darah
sebagai berikut :
24
Tingkat Hb ≤7 mg / dl dengan target 7-9 g / dl, kecuali jika ada morbiditas
spesifik atau faktor terkait penyakit akut yang memodifikasi pengambilan
keputusan klinis.
Selama fase resusitasi awal sepsis berat jika ada bukti pemberian oksigen yang
tidak memadai ke jaringan (saturasi oksigen vena sentral <70%, saturasi oksigen
vena campuran <65% atau konsentrasi laktat> 4 mmol / L), transfusi darah
dipertimbangkan. Mencapai target Hb 9-10 g / dl.
Pada fase sepsis berat, pedomannya serupa dengan pasien kritis lainnya dengan
target Hb 7-9 g / dl.
Transfusi darah tidak boleh digunakan untuk membantu penyapihan dari
ventilasi mekanis jika Hb> 7 g / dl.
c. Penggunaan Obat
Penggunaan obat dapat diberikan apabila setelah penggantian volume tidak
ada perbaikan. Maka, dapat digunakan agen inotropic dan vasopresor dengan pilihan
utama adalah dopamine dengan dosis 1-3 µg/kg/menit.
25
BAB III
ILUSTRASI KASUS
2.1 Identitas Pasien
No RM : 01809096
Nama : Ny. DH
Usia : 27 tahun 5 bulan
Alamat : Ciracas, Jakarta Timur
Jenis Kelamin : Perempuan
Status Perkawinan : Kawin
Agama : Islam
2.2 Anamnesis
2.2.1 Keluhan Utama
Penurunan kesadaran sejak 1 hari SMRS. OS lemas P1 post partus spontan di luar 8 hari
yang lalu, nyeri perut, perdarahan pervaginam ± 3 softex/hari
2.2.2 Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien mengeluhkan menggigil kemarin pagi, penurunan kesadaran, pasien sulit diajak
bicara. 8 hari yang lalu pasien melahirkan spontan di bidan. Lahir bayi dengan berat 3,5 kg.
Pasien perdarahan banyak sejak melahirkan, 3 pembalut per hari. Pasien sulit makan. Sesak
napas dirasakan sejak 1 hari SMRS. Pagi tadi pasien ke RS Asyifa Depok, dikatakan perdarahan
pervaginam (late HPP, hematuria ec susp laserasi vesical urinaria dd rupture uteri).
2.2.3 Riwayat Penyakit Dahulu
Keluhan serupa di masa lampau disangkal. Pasien memiliki penyakit Asma. Riwayat darah
tinggi, kencing manis, dan sakit jantung pada pasien disangkal. Pasien tidak pernah memiliki
riwayat operasi sebelumnya.
2.2.4 Riwayat Penyakit Keluarga
Keluhan serupa pada keluarga disangkal. Riwayat alergi makanan dan obat serta asma pada
keluarga disangkal
2.2.5 Riwayat Personal dan Sosial
Pasien merupakan seorang ibu rumah tangga. Pasien menyangkal adanya konsumsi obat
terlarang, merokok dan minum alkohol.
2.2.6 Riwayat Antenatal Care
Riwayat hamil sekarang disangkal
26
2.2.7 Riwayat Pernikahan
Pasien menikah satu kali dengan Tn. MD pada tahun 2021 dan ini merupakan kehamilan
anak pertama.
2.2.8 Riwayat Ginekologi
Menarche pada usia 11 tahun. Siklus haid teratur, panjang siklus 28-30 hari dengan durasi 7
hari dan frekuensi ganti pembalut 2-3 x/hari. Nyeri haid disangkal.
2.2.9 Riwayat Obstetrik
HPHT : Lupa
Persalinan terakhir : 4 November 2021
Gravida : G1P1A0
Hematologi
Hematokrit 23.2 40 – 52 %
Indeks Eritrosit
Hitung Jenis
Basofil 1 0-1 %
Eosinofil 0 1-3 %
Netrofil 92 50-70 %
Limfosit 1 20-40 %
Monosit 3 2-8 %
Luc 3 <5
Hemostasis
Kontrol PT 15,7
INR 1,78
Fungsi Hati
Elektrolit Darah
BP 732,5 mmHg
2.9 Perjalanan
Pasien masuk IGD pada tanggal 12 November 2021 pukul 12.00 WIB dengan keluhan
penurunan kesadaran sejak 1 hari SMRS. OS lemas P1 post partus spontan di luar 8 hari yang lalu,
31
nyeri perut, perdarahan pervaginam ± 3 softex/hari. Lalu pasien ditatalaksana di IGD. Konsultasi
IPD: Acc ICU. ICU dihubungi penuh. Alternatif: Acc HCU. HCU IGD lantai 2 Acc. Pasien
dipindahkan ke HCU IGD lantai 2 pada tanggal 13 November 2021 pukul 01.00 WIB.
Pasien di HCU belum mengalami perbaikan, dan dipindahkan ke ICU pada tanggal 14
November. Di ICU tetap tidak stabil dan meninggal pada tanggal 8 Desember 2021.
BAB IV
ANALISA MASALAH
32
Pasien datang ke IGD RS Fatmawati pada 12 November 2021 pukul 13.20. Berdasarkan
hasil anamnesis, pasien mengeluh perdarahan per vaginam sejak 8 hari yang lalu sebanyak ± 3
pembalut penuh dengan kondisi pasien mengalami penurunan sejak 3 hari ini, pasien mengalami
penurunan kesadaran, sulit berbicara, pucat dan lemas, sesak napas sejak 1 hari SMRS, badan dingin
disertai mengigil, kencing terakhir 8 jam yang lalu. Jumlah perdarahan 1 pembalut ±30 -40 cc, bila
3 x 30 - 40 cc = 90 – 120 cc yang terjadi selama ±8 hari, maka jumlah perdarahan total sebanyak ±
700 – 1000 cc dari Total Blood Volume 4.550 atau sekitar 15 – 30 % dari Estimasi Blood Volume
(EBV).
Pada pemeriksaan fisik yaitu pasien datang dengan GCS 13 (E4M5V6) dengan kasadaran
apatis, tekanan darah 82/45 mmHg (hipotensi), nadi 110x/menit (takikardia), frekuensi pernasapan
24x/menit (takipnue), suhu 35,4oC (hipotermia). Didapatkan pada status generalis didapatkan
adanya pasien nampak pucat, konjungtiva anemis (+/+), mukosa bibir dan mulut kering, akral dingin
dan CRT > 2 detik, edema pretibia +/+, urin output 0,5 cc/kgBB/jam.
Dari hasil pemeriksaan laboratorium didapatkan berupa Hb 7,9 g/dl, Ht 23,3%, Leukosit
27.500, trombosit 36.000, PT : 24.8, aPTT 53.4, fibrinogen : 653, D-dimer : 5224, serum ureum
274.4, serum kreatinin 5.81, Na/K/Cl/Ca : 104/5/67/6, GDS:30, asam laktat : 2.7, pada AGD pH
7.31, pCO2 : 25.5, HCO3- : 13, SaO2 : 89%.
Dari hasil pemeriksaan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang pasien
didiagnosis dengan syok hipovolemik grade II e.c late HPP ec subinvolusi uteri dd/ metritis. Oleh
karena itu, dapat disumpulkan bahwa permasalahan yang terjadi pada pasien ini adalah sebagai
berikut :
1. Syok hipovolemik grade II
2. Acute Kidney Injury
3. Anemia e.c blood loss, leukositosis, trombositopenia
4. Imbalance electrolyte (hiponatremia, hipokloremia, hipokalsemia)
5. Hipoglikemia
6. Hiperkoagubilitas
7. Asidosis metabolik tidak terkompensasi
Pada pasien ini saat di IGD (12/11/201), pasien mendapatkan manajemen tatalaksana berupa
pemberian Non Rebreathing Mask 15 liter per menit, manajemen sirkulasi dengan pemberian
resusitasi cairan kristaloid (Ringer Laktat) sebesar 1000 cc bolus + koloid (Gelofusin) 500 cc,
pemasangan kateter urin untuk memantau output cairan. Setelah diberikan resusitasi cairan,
kemudian kondisi pasien dievaluasi kembali setelah 3 jam didapatkan hasil yaitu kesadaran :apatis,
TD : 80/50 mmHg, FN : 110x/menit, RR: 24/menit, SaO2: 99%, urin output 1,2 cc/KgBB/jam.
33
Berdasarkan pertimbangan tersebut, kondisi klinis pasien belum membaik setelah diberikan
resusitasi cairan, sehingga diputuskan untuk memberikan tranfusi darah.
Pasien diberikan transfusi PRC 1000 cc dengan target Hb ≥ 10 g/dl dan FFP sebesar 500 cc.
Selain itu, pemberian tatalaksana yang lain merupakan tatalaksana etiologi untuk menghentikan
perdarahan berupa pemberian oxytocin 20 IU dalam 500 cc NaCl 0,9%, methergin 3 x 1 (i.v), dan
asam traneksamat (i.v) 3 x 1 gram.
Setelah diberikan transfusi (13/11/2012) didapatkan kondisi klinis pasien yaitu kesadaran :
apatis, TD : 117/67 mmHg, FN : 90x/menit, RR 20x/menit, SaO 2 : 99% on nRM 15 liter/menit, urin
output : 0,8 cc/KgBB/jam. Didapatkan dari hasil pemeriksaan laboratorium (15/11/2021) didapatkan
Hb : 9 g/dL, Ht: 26 %, Leukosit 28.8 ribu/uL, trombosit 75 ribu/uL. Dari hasil tersebut belum di
dapatkan adanya perbaikan tanda vital klinis, namun pada pemeriksaan laboratorium tidak
didapatkan adanya perbaikan. Oleh karena itu, karena adanya penurunan kesadaran, ketidakstabilan
hemodinamik, risiko untuk terjadinya sepsis sangat tinggi, pasien dipindahkan ke ICU pada
(15/11/2021).
Berdasarkan landasan teori, pemberian pertolongan pertama berdasarkan prinsip airway,
Breathing, dan Circulation. Jalan napas harus bebas bila perlu dilakukan pemasangan pipa
endrotrakeal, pernapasan juga harus terjamin, bila perlu untuk memberikan ventilasi buatan dengan
oksigen 100%, pada sirkulasi dilakukan pemasangan iv line 2 jalur dan bila perlu dengan
menggunakan kateter vena sentral, kemudian memberikan cairan intravena dan bila perlu
ditambahkan dengan obat-obatan inotropik dan vasopressor.
Pemberian resusitasi awal pada pasien syok hipovolemik untuk memnuhi kebutuhan perfusi
organ target dengan cairan kristaloid sebesar 1-2 L untuk dewasa dan 20 cc/KgBB untuk pasien
anak (<40 kg) diberikan secara cepat dengan perbendingan 3:1. Pemberian kristaloid dapat diikuti
dengan pemberian koloid mengingat koloid memiliki karakteristik intravascular expander karena
berat jenis molekular yang tinggi sehingga cairan akan lebih menetap di dalam intravaskular,
pemberian koloid diberikan dengan perbandingan 1:1.
Pemberian transfusi pada umumnya diberikan pada perdarahan akut yang masif dengan
gangguan hemodinamik yang tidak stabil setelah gagal saat bolus kristaloid dimana kadar Hb < 8
gr/dl dan Ht < 25,5 % serta pada Tindakan bedah dengan estimasi kehilangan darah > 30% dari total
volume darah. Pemberian transfusi diutamakan dengan menggunakan PRC pada pasien anemia
akibat perdarahan akut dengan target Hb > 10 g/dl dengan rumus pemberian ΔHb x 3-4 x BB
(kg).Pada pasien perdarahan akut dengan kadar platelet < 50.000 sel/mm3 maka peberian FFP
(Fresh Frozen Plasma) harus diberikan segera ketika PT > 1,5 kali dan aPTT meningkat lebih dari 2
kali normal. Pasien ini mendapatkan cairan kristaloid sebesar 1000 cc bolus dan koloid 500 cc,
34
transfusi PRC 2 unit, dan FFP 500 cc. Pemberian terapi awal ini sudah sesuai dengan landasan teori.
Pada pemeriksaan serum kreatinin dan ureum menunjukan pasien mengalami Acute Kidney
Injury (AKI). AKI pada pasien masuk ke dalam RIFLE 3 ( kreatini serum meningkat > 3x normal)
dan urin ourput < 0,3 cc/kgBB/jam selama 24 jam dan anuria selama 12 jam). Etiologi Aki pada
pasien ini mungkin disebabkan oleh etiologi pre renal dimana terjadi syok hipovolemik yang
menyebabkan pefusi ke renal berkurang. Oleh karena itu, gagal ginjal yang dialami oleh pasien ini
juga mempengaruhi fungsi ginjal itu sendiri dalam melakukan ekskresi asam urat sehingga kadar
asam urat pasien meningkat (15 mg/dl), kegagalan filtrasi protein seperti albumin menyebabkan
pasien mengalami hipoalbuminemia (2.22 g/dl) dan edema pretibia +/+, gangguan keseimbangan
elektrolit hiponatremia, hipokalsemia, hipokloridemia. Selain itu, ginjal pasien juga tidak mampu
lagi mengkompensasi asidosis metabolik yang terjadi akibat kegagalan untuk sekresi hidrogen dan
reabsorpsi bikarbonat, maka pasien jatuh ke dalam asidosis metabolik tidak terkompensasi.
Pemantauan yang dilakukan pada fase stabilisasi dengan pengobatan adalah kesadaran,
denyut jantung, frekuensi pernapasan, tekanan darah, perubahan EKG, tekanan vena sentral (CVP)
dan pengeluaran urin. Pengeluaran urin yang kurang dari 30 ml/jam (atau 0.5 ml/kg/jam)
menunjukkan perfusi ginjal yang tidak adekuat.
BAB V
KESIMPULAN
35
Keadaan syok merupakan suatu kondisi yang sering kali kita akan temui bagi dokter umum.
Terutama syok yang disebabkan karena perdarahan atau yang disebut syok hemoragik. Perdarahan
postpartum ini merupakan keadaan yang sering kali dijumpai menjadi penyebab dari seseorng akan
bisa jatuh ke dalam kondisi syok. Mengetahui tanda-tanda syok, klasifikasi syok serta tatalaksana
yang harus diberikan merupakan hal yang penting untuk dapat kita ketahui. Keadaan syok
merupakan suatu keadaan yang membutuhkan pengenalan tanda-tanda klinis yang cepat agar segera
dapat diberikan tataksana yang tepat pula. Hal itu dikarenakan kondisi syok ini sangatlah dekat
dengan kematian seseorang. Kekurangan darah tersebutlah yang nantinya akan sangat
membahayakan jika tidak segera ditangani dan diselesaikan penyebabnya.
36
DAFTAR PUSTAKA
1. Martel MJ. Hemorrhagic Shock. SOGC Clicinal Practine Guideline [Internet]. 2012
[Diakses 28 November 2021]; 115
2. Hooper N, Armstrong TJ. Hemorrhagic Shock. [Updated 2020 Nov 21]. In: StatPearls
[Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2021 Jan-. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK470382/
3. Sharon H, Basel K, dkk. (2018). ATLS (Advanced Trauma Life Support) tenth edition. US
: American college of surgeon.
4. Jeremy B. Richards, MD, M., & Susan R. Wilcox, M. (2015). Diagnosis And Management
Of Shock In The Emergency. Emergency Medicine Practice, 16(3), 1–24.
5. Yaddanapudi S, Yaddanapudi LN. Indications For Blood And Blood Product Transfusion.
Indian J Anaesth. 2014 Sep-Oct, 58(5): 538-542.
6. Kellum Ja, romagnani P, Ashuntantang G, et al. Acute Kidney injury. Nature Reviews
2021; 7(52): p. 1-5
7. Sherwood L. Blood Vessel and Blood Pressure: In Human Physiology from Sel to Sel.
Boston : Cengage Leraning; 2016.
8. American Collage of Surgeon. Shock In: Advance Tauma Life Support. Amerika:
Dragonfly Media Group; 2018.
9. Shagana JA, Dhanraj M, Ashish RJ, Osa NT. Hypovolemic Shock – A review. Drug
Invention Today 2018; 10(7): p. 1102 – 05.
10. Monira T, Elbaih A. Pathophysiology of management of different types of shock. Narayana
Medical Journal 2017; 6(1): p. 1-35.
11. Rahardjo s, Uyun Y, Budianti N. Manajemen Preopertaif Kehamilan Ektopik Terganggu
dengan Syok Hipovolemia. Jurnal Komplikasi Anestesi 2017; 5(1): 31-42.
37