Anda di halaman 1dari 21

A.

IMPLIKASI KEADILAN ATAS PENETAPAN HARTA BERSAMA DALAM

PERKAWINAN POLIGAMI DI PENGADILAN AGAMA BLITAR

( Studi Kasus Perkara No.2307/pdt.G/2016/PA.BL)

B. Latar Belakang Masalah

Dalam pandangan Hukum Islam perkawinan merupakan perbuatan  ibadah dan

juga merupakan sunnatullah dan sunnah Nabi. Al-Quran menggambarkan suatu

perkawinan adalah suatu ikatan yang  kokoh. Perkawinan merupakan fitrah

kemanusiaan, maka dari itu islam menganjurkan untuk menikah karena menikah

merupakan gharizah insaniyah (naluri kemanusiaan).Bila gharizah ini tidak dipenuhi

dengan jalan yang sah yaitu perkawinan, maka ia akan mencari jalan syetan yang

banyak menjerumuskan ke lembah hitam.1 Sebagaimana firman Allah Ta’ala :

َ ِ‫ق ٱهَّلل ِ ۚ ٰ َذل‬


"‫ك ٱلدِّينُ ْٱلقَيِّ ُم‬ ِ ‫اس َعلَ ْيهَا ۚ اَل تَ ْب ِدي َل لِخَ ْل‬ ْ ِ‫م َوجْ هَكَ لِلدِّي ِن َحنِيفًا ۚ ف‬Uْ ِ‫فََأق‬
َ َّ‫ط َرتَ ٱهَّلل ِ ٱلَّتِى فَطَ َر ٱلن‬
ٰ
ِ َّ‫"ولَ ِك َّن َأ ْكثَ َر ٱلن‬
َ‫اس اَل يَ ْعلَ ُمون‬ َ

Artinya :”Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah);

(tetaplah atas ) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak

ada perubahan pada fitrah Allah. ( itulah ) agama yang lurus;tetapi kebanyakan

manusia tidak mengetahui”.

(Ar-Ruum : 30).

Demikian juga halnya Undang-Undang Perkawinan No.1 Tahun 1974  tentang

Perkawinan yang menggambarkan Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang

pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga

(rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.2 Dan

1
Djamaludin arra’uf, Aturan pernikahan dalam islam (Jakarta: JAL Publishing, 2011), 11.
2
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam,
Gramedia Press, 362

1
berdasarkan UU No.1 tahun 1974 indonesia menganut asas perkawinan monogami,

hanya bila di kehendaki karena hukum dari agama yang bersangkutan

memperbolehkan dan mengijinkan seorang suami untuk dapat memiliki istri lebih dari

seorang dengan syarat-syarat tertentu dan adanya putusan dari pengadilan yang

mengijinkan untuk berpoligami.

Secara etimologi poligami berasal dari bahasa yunani, yaitu polus yang berarti

banyak dan gamos yang berarti perkawinan. Bila pengertian kata ini digabungkan,

maka poligami akan berarti suatu perkawinan yang banyak atau lebih dari seorang.

Pengertian poligami menurut bahasa Indonesia adalah sistem perkawinan yang mana

salah satu pihak memiliki/mengawini beberapa lawan jenisnya dalam waktu yang

bersamaan3

Poligami merupakan suatu realitas hukum dalam masyarakat yang akhir-akhir ini

menjadi suatu perbincangan hangat serta menimbulkan pro dan kontra. Poligami

sendiri mempunyai arti suatu sistem perkawinan antara satu orang pria dengan lebih

dari seorang istri. Islam membolehkan poligami untuk tujuan kemaslahatan

hambanya, Kedatangan Islam memberikan landasan dan dasar yang kuat untuk

mengatur serta membatasi keburukan dan mudhoratnya yang terdapat dalam

masyarakat yang melakukan poligami. Tujuan semua itu adalah untuk memelihara

hak-hak wanita, memelihara kemuliaan mereka yang terdahulu terabaikan karena

poligami yang tanpa ikatan, pesyaratan dan jumlah tertentu.

Hal-hal yang telah difahami oleh Rosulullah, sahabat-sahabatnya, tabi’in dan

jumhur ulama muslimin tentang batasan julah isteri dalam berpoligami adalah paling

banyak hingga empat orang isteri, sebagaimana di jelaskan dalam firman Allah dalam

surah An-Nisa: 3

3
Tihami, sohari sahrani. Fiqih Munakahat. (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), 351.

2
َ َ‫ٓا ِء َم ْثن َٰى َوثُ ٰل‬U‫اب لَ ُكم ِّمنَ ٱلنِّ َس‬
‫ِإ ْن ِخ ْفتُ ْم‬Uَ‫ َع ۖ ف‬Uَ‫ث َو ُر ٰب‬ ۟ ‫وا فِى ْٱليَ ٰتَم ٰى فَٱن ِكح‬
َ َ‫ُوا َما ط‬ َ
۟ ُ‫َوِإ ْن ِخ ْفتُ ْم َأاَّل تُ ْق ِسط‬

U۟ ُ‫ت َأ ْي ٰ َمنُ ُك ْم ۚ ٰ َذلِكَ َأ ْدن ٰ َٓى َأاَّل تَعُول‬


‫وا‬ ۟ ُ‫َأاَّل تَ ْع ِدل‬
ْ ‫وا فَ ٰ َو ِح َدةً َأوْ َما َملَ َك‬

“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan

yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain)

yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat

berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki.

Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.” (an-nisa’:3)

Shaykh Musatafā al-‘Adawī membedakan adil yang pertama adalah dalam

konteks materi dan nafkah lahiriyah. Maka dalam hal ini seorang suami yang

berpoligami memang dituntut untuk berlaku adil dan itu sesuatu yang bisa dan

mungkin dilakukan. Sementara keadilan kedua adalah keadilan dalam bentuk perasaan

dan termasuk perlakukan seksual yang sudah dipastikan tidak seorang suamipun yang

bisa membagi perasaan dan perlakuan seksual yang sama terhadap isteri-

isterinya.Maka keadilan kedua ini bukanlah keadilan yang dituntut yang menjadi

syarat boleh atau tidaknya berpoligami. Seorang suami boleh saja lebih mencintai satu

isterinya dari yang lain asalkan tidak terlalu mencolok dan berlebihan sehingga

mengabaikan isteri yang lain.4

Dalam hal seorang laki-laki yang memiliki istri lebih dari seorang maka akan

timbul suatu sengketa mengenai harta bersama apabila pasangan suami istri bercerai

sehingga diperlukanlah suatu aturan yang jelas mengenai pembagian harta tersebut.

Harta bersama merupakan konsekuensi hukum dari perkawinan. Menurut Undang-

Undang Perkawinan Nomor 75 Pasal 35 ayat (1), harta benda yang diperoleh selama

perkawinan menjadi harta bersama. Ini berarti harta bersama mutlak ada dan tidak

4
Yufni faisol, “konsep keadilan dalam poligami,”dalam
http://www.academia.edu/34504768/Konsep_Adil_dalam_Poligami_Telaah_Pemikiran_Mushthofa_Al-Adawi/
,(di akses pada tanggal 30 januari 2019, jam 15:17)

3
boleh ditiadakan oleh para pihak. Sumber dari harta bersama perkawinan adalah

seluruh harta atau kekayaan yang diperoleh selama perkawinan.

Dalam UU No.1 tahun 1974 pembagian harta bersama dalam perkawinan

poligami tidak diatur secara khusus. berdasarkan Undang-undang yang ada

penyelenggaraan kekuasaan kehakiman diserahkan kepada badan-badan peradilan

yang ditetapkan dengan Undang-undang. Peradilan adalah kekuasan Negara dalam

menerima, memeriksa, mengadili, memutus dan menyelesaikan perkara untuk

menegakkan hukum dan keadilan5 Meskipun demikian, hal itu tidak mengurangi

makna dan penerapan hukum yang berkenaan dengan harta yang diperoleh suami istri

selama perkawinan. Harta tersebut melembaga menjadi harta bersama antara suami

istri, selama ikatan perkawinan masih berlangsung tanpa mempersoalkan suku dan

stelsel keluarga suami istri.6

Berdasarkan latar belakang di atas penulis merasa tertarik untuk membahas

tentang keadilan pembagian harta bersama dalam perkawinan poligami dan penulis

menemukan fakta bahwa bila seorang suami tidak dapat menerapkan prinsip adil

maka akan menimbulkan pergesekan dan perselisihan-perselisihan dan salah satunya

adalah mengenai perebutan harta bersama dari masing-masing istri yang mereka

peroleh selama perkawinan mereka. salah satu hal yang menarik untuk dikaji adalah

penetapan harta bersama dalam perkawinan poligami, mengingat dalam perkawinan

poligami ada kemungkinan bercampurnya harta kekayaan antara istri pertama dengan

istri ke dua dan PP No.9 tahun 1975 sebagai penentu pelaksanaannya maupun

Kompilasi Hukum Islam tidak mengatur tentang penetapan harta bersama dalam

perkawinan poligami.

5
Cak Hasan Bisri, Pengadilan Agama di Indonesia (Jakarta, PT Raja Grafindo Persada 1998)
6
Yahya harahap, Kedudukan dan kewenagan dan acara peradilan agama (Jakarta, sinar Grafika, 2009), hal.272.

4
Dengan melihat putusan hakim dan berangkat dari latar belakang yang telah

diuraikan di atas penulis ingin mengkaji lebih dalam putusan PA. Blitar sebagai

objeknya yaitu putusan perkara no.2307/Pdt.G/2016/PA.BL hal ini terkait dengan

seorang suami melakukan poligami. Majelis hakim dalam putusannya mengabulkan

ijin poligami dan menetapkan harta bersama7. Oleh karena itu penulis tertarik untuk

mengkajinya dengan judul skripsi

” IMPLIKASI KEADILAN ATAS PENETAPAN HARTA BERSAMA DALAM

PERKAWINAN POLIGAMI DI PENGADILAN AGAMA BLITAR( Studi Kasus

Perkara No.2307/pdt.G/2016/PA.BL)”

C. Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah dari judul diatas adalah :

1. Apa pertimbangan hukum majelis hakim menetapkan harta bersama dalam

perkara izin poligami Perkara No.2307/pdt.G/2016/PA.Blitar.

2. Apa implikasi pembagian harta bersama poligami pada pemeliharaan keadilan

dalam perkawinan poligami di indonesia.

D. Tujuan Penulisan

Adapun tujuan dari penulisan ini adalah sebagai berikut:

a. Untuk mengetahui dasar hukum yang digunakan majelis hakim dalam

menetapkan harta bersama dalam perkara izin poligami.

b. Untuk mengetahui implikasi pembagian harta bersama poligami pada

pemeliharaan keadilan dalam perkawinan poligami di indonesia.

E. Manfaat Penulisan
7
Hasil penelitian pada tanggal 2 november di PA.Blitar Studi kasus Perkara No. 2307/pdt.G/2016/PA.Blitar.

5
1. Secara Teoritis

Hasil penulisan diharapkan berguna bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan

ilmu hukum, yakni memperkaya dan memperluas ḥasanah ilmu tentang

implikasi penetapkan harta bersama dalam perkara izin poligami. Di Pengadilan

Agama Kabupaten Blitar.

2. Secara Praktis

Dari hasil penulisan ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran,

memberikan pengetahuan kepada masyarakat dan memberikan informasi

khususnya bagi mereka yang sedang menjalani perkara izin poligami. Mereka

dapat memahami tentang adanya penetapakan harta bersama dalam perkara izin

poligami.

F. Telaah pustaka

Disamping memanfaatkan teori yang relevan untuk menjelaskan fenomena

yang terjadi, Penulis juga melakukan telaah hasil penulisan terdahulu yang ada

relevansinya dengan fokus penulisan. Untuk bahan telaah pustaka pada penulisan ini

penulis menggunakan beberapa skripsi terdahulu. Berikut ini dapat penulis

paparkan:

1. Karya ilmiah dari AFIFATUZ ZAHROH, IAIN Ponorogo 2017. yang

berjudul “Penarikan kembali harta bersama yang telah berada di pihak ketiga

(Analisis putusan No. 1663/Pdt.G/2016/PA.Ngj).” Pada skripsi ini membahas

tentang harta bersama yang telah berada di pihak ketiga, persamaan dari

penulisan ini adalah sama-sama membahas perkara harta bersama, sedangkan

perbedaannya adalah penulis membahas harta bersama pada pernikahan

poligami.

6
2. Karya ilmiah dari AGUNG NUGROHO, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

(2009). Yang berjudul “pembagian harta bersama (studi putusan Pengadilan

Agama Kebumen no:13/Pdt.G/2005/PA.Kbm). Pada skripsi ini membahas tentang

pembagian harta bersamaa yang mana dalam perara ini terdapat persengketaan

pada harta bersama yang ada persamaan dari penulisan ini adalah sama-sama

membahas perkara harta bersama, sedangkan perbedaannya adalah penulis

membahas penetapan, kedudukan dan pembagian harta bersama dalam

pernikahan poligami.

3. Karya ilmiah dari NUR ISMIHAYATI, UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

2010, yang berjudul “Pandangan masyarakat tentang pembagian harta bersama

berdasarkan besaran kontribusi dalam perkawinan(studi pada desa Mlaras

kecamatan Sumobito kabupaten Jombang)” Pada skripsi ini membahas

pandangan masyarakat atas pembagian harta bersama dengan dasar besaran

kontribusi pada perkawinan yang mana seharusnya pembagian harta bersama di

bagi dua sama rata untuk kedua belah pihak, persamaan dari penulisan ini adalah

sama-sama membahas perkara harta bersama, sedangkan perbedaannya adalah

harta bersama yang dibahas pada tulisan ini adalah harta bersama dalam

perkawinan poligami.

4. Karya ilmiah dari INGGIR DEVIANDARI, Unversitas Andalas, 2017 yang

berjudul “Pembagian harta bersama antara suami dan istri kedua setelah terjadi

perceraian (berdasarkan putusan nomor 785/Pgt.G/2012/PA.Bpp)” pada skripsi

ini menjelaskan bagaimanakah pelaksanaan pembagian harta bersama antara

suami dengan istri kedua setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun

1974 tentang perkawinan dan kendala-kendala yang terdapat dalam pembagian

harta bersama dalam perkawinan poligami dan upaya penyelesaiannya.

7
Persamaan dari penulisan ini adalah sama-sama membahas harta bersama dalam

pernikahan poligami dan sama-sama membahas putusann hakim, sedangkan

perbedaannya penulis membahas mengapa harta bersama di tentukan pada saat

pengajuan izin poligami.

5. Karya ilmiah dari M RIZA SYAFE’I, IAIN Ponorogo 2015, yang berjudul

“Pembagian harta bersama dalam kasus perceraian di desa Jogorogo Kabupaten

Ngawi perspektif hukum islam” Pada skripsi ini membahas harta bersama dengan

perspektif hukum islam, persamaan dari penulisan ini adalah sama-sama

membahas harta bersama, sedangkan perbedaannya adalah selain m embahas

harta bersama penulis juga membahas poligami dan perpektif yang di gunakan

secara yuridis.

Dari beberapa literatur diatas ada persamaannya dengan perihal yang penulis

teliti yaitu membahas harta bersama pada umumnya, penulis juga mengkaji secara

tinjauan yuridis terhadap penetapan harta bersama dalam perkawinan poligami.

G. Kajian teori

Hukum Islam maupun hukum positif mengenal perkawinan poligami. Dalam

al-qur’an surat Annisa’ ayat 3 memberikan kebebasan kepada laki-laki (suami) untuk

menikah lebih dari seorang istri, manakala telah terpenuhi syarat keadilan. Dalam

implementasinya nabi Muhammad dan para sahabat juga melakukan poligami.

Sudah barang tentu praktik poligami yang dilakukan baginda Nabi Muhammad dan

para sahabatnya didasari oleh i’tikat baik dan tujuan yang tulus. Undang-undang

Perkawinan sebagai hukum positif yang berlaku di Indonesia mengatur tentang syarat

seseorang dapat beristri lebih dari seorang (poligami) sebagaimana dalam Pasal 4 ayat

(1) dan pasal 4 ayat (2) UU no.1 Tahun 1974. Seseorang yang hendak mengajukan

8
ijin poligami ke pengadilan harus terlebih dahulu menyebutkan alasan-alasan yang

dibenarkan oleh peraturan perundang undangan tersebut.

Di samping adanya alasan yang dibenarkan undang-undang, pengadilan

sebelum mengabulkan permohonan poligami, terlebih dahulu memeriksa syarat-syarat

yang diwajibkan oleh undang-undang sebagaimana yang tertera dalam Undang-

undang no.1 tahun 1974 dalam pasal 5 ayat (1). Alasan pertama yang ada dalam pasal

4 ayat 2 disebut dengan syarat alternatif, karena untuk mengajukan permohonan ke

pengadilan tidak mengharuskan terpenuhinya keseluruhan yang disebutkan undang-

undang, dalam arti terpenuhinya salah satu syarat telah memberi hak kepada suami

untuk mengajukan permohonan ke pengadilan. Sedangkan syarat yang kedua yang

ada dalam pasak 5 ayat 1 disebut dengan syarat komulatif karena untuk dapat ijin

poligami oleh pengadilan, keseluruhan syarat tersebut harus dipenuhi.

Walaupun Islam telah mengenal perkawinan poligami dan secara normatif

memungkinkan adanya harta bersama dalam perkawinan poligami sebagaimana

tersurat dalam surat annisa’ ayat 32 dimungkinkan adanya harta bersama baik dalam

perkawinan monogami maupun poligami karena ayat tersebut menjelaskan setiap

lelaki dan perempuan memiliki bagian dengan apa yang ia kerjakan(prestasi yang

dilakukan). Akan tetapi dalam beberapa kitab fiqh klasik tidak didapati pembahasan

harta bersama. Hal ini karena kuatnya struktur sosial masyarakat Timur Tengah yang

bercorak patriarkhi, sehingga tidak memberi peluang bagi perempuan in casu istri

untuk menuntut pengakuan dalam harta bersama. Sedangkan dalm hukum positif,

undang-undang memberi pengakuan secara tegas bahwa suami istri masing masing

pihak memiliki kecakapan berbuat hukum. Artinya suami istri dipandang sebagai

subyek hukum yang sempurna, istri menjadi cakap hukum dengan terikatnya dia pada

lembaga perkawinan. Karena sebagai subyek hukum yang sempuran, suami maupun

9
istri dapat melakukan perbuatan hukum atas harta yang menjadi kekuasaan masin-

masing, seperti harta yang diperoleh dari warisan, hibah dan lain-lain. Sedangkan

terhadap harta bersama suami atau istri dalam melakukan perbuatan hukum atas

persetujuan pihak lain (suami atau istri).

Pengaturan harta bersama dalam perkawianan diatur sebagai berikut:

1. Dalam perkawinan monogami pada dasarnya tidak terjadi pemisahan harta

bersama, kecuali apabila ditentukan dalam perjanjian perkawinan (pasal 29 uu

no.1 1974).

2. Dalam perkawinan poligami harta bersama dari masing-masing istri berdiri secara

terpisah (pasal 94 ayat 1 KHI)

Ketentuan hukum tersebut dipahami sebagai hukum yang tertulis dalam

perundang-undangan (law in book) sebagaimana yang menjadi pandangan madzab

sosiological yurisprudensi, positivasi hukum dalam bentuk kodifikasi membuat

hukum kaku dan ketinggalan zaman sejak hukum tersebut dinyatakan berlaku (pasal 5

ayat (1) undang-undang Nomor 48 tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman). Oleh

karena itu, hukum membutuhkan pelenturan makna agar tidak tertinggal ketika

berhadapan dengan suatu kasus. Dalam konteks yang demikian, hukum membutuhkan

sentuhan nilai agar hukum dapat menjawab secara aktual dalam sebuah kasus (case

law) dalam bentuk law in action. Disinilah arti penting penemuan hukum oleh hakim

dalam putusan.

Hukum yang baik harus memenuhi tiga asas atau cita hukum yaitu asas

keadilan, asas kepastian dan asas kemanfaatan. Ketiga asas tersebut penulis gunakan

sebagai kerangka teori untuk menilai putusan Pengadilan Agama Blitar Nomor 2307

tahun 2016. Penulis menggunakan teori tersebut karena teori tersebut dikenal dalam

hukum konvensional dan hukum Islam. Asas keadilan dikenal dalam teori hukum

10
Islam, bahkan inti dari ajaran Islam adalah keadilan itu sendiri. Asas kepastian hukum

juga dikenal dalam hukum Islam sebagaimana dalam surat Al qasas ayat 59

"‫ى‬ ۟ ُ‫ث فِ ٓى ُأ ِّمهَا َر ُسواًل يَ ْتل‬


ٓ ٰ ‫وا َعلَ ْي ِه ْم َءا ٰيَتِنَا ۚ َو َما ُكنَّا ُم ْهلِ ِكى ْٱلقُ َر‬ َ ‫ك ْٱلقُ َر ٰى َحتَّ ٰى يَ ْب َع‬ َ ُّ‫َو َما َكانَ َرب‬
َ ِ‫ك ُم ْهل‬

َ‫"ِإاَّل َوَأ ْهلُهَا ٰظَلِ ُمون‬

Artinya: ”Dan tidak adalah Tuhanmu membinasakan kota-kota, sebelum Dia


mengutus di ibukota itu seorang rasul yang membacakan ayat-ayat Kami kepada
mereka; dan tidak pernah (pula) Kami membinasakan kota-kota; kecuali penduduknya
dalam keadaan melakukan kezaliman”.(Al-qasas 59)

Berangkat dari ayat ini, Allah tidak akan memberatkan hukuman pada suatu

kaum/bangsa sehingga terlebih dahulu turun hukum melalui Rasul Nya. Untuk

jelasnya ketiga asas tersebut akan diurai sebagai berikut:

1. Asas keadilan, keadilan merupakan salah satu tujuan hukum yang paling banyak

dibicarakan sepanjang perjalanan sejarah filsafat hukum. Asas keadilan juga

merupakan asas yang digunakan dalam hukum Islam, seperti dijelaskan dalam

surat An nahal ayat 90 :

"ۚ ‫ر َو ْٱلبَ ْغ ِى‬Uِ ‫ِإ َّن ٱهَّلل َ يَْأ ُم ُر بِ ْٱل َع ْد ِل َوٱِإْل حْ ٰ َس ِن َوِإيتَٓاِئ ِذى ْٱلقُرْ بَ ٰى َويَ ْنهَ ٰى َع ِن ْٱلفَحْ َشٓا ِء َو ْٱل ُمن َك‬

َ‫"يَ ِعظُ ُك ْم لَ َعلَّ ُك ْم تَ َذ َّكرُون‬

Artinya: ” Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat

kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji,

kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu

dapat mengambil pelajaran”.

Tujuan hukum bukan hanya keadilan tetapi juga kepastian hukum dan

kemanfaatan hukum. Pengertian keadilan adalah keseimbangan antara yang patut

diperoleh pihak-pihak, baik berupa keuntungan maupun berupa kerugiaan. Dalam

bahasa praktisnya, keadilan dapat diartikan memberikan hak yang setara dengan

kepastian seseorang atau pemberlakuan kepada tiap orang secara proporsional,

11
tetapi juga bisa berarti memberi sama banyak kepada setiap orang apa yang

menjadi jatahnya berdasarkan prinsip keseimbangan. Hukum tanpa keadilan

tidaklah ada artinya sama sekali.

2. Asas kepastian, adanya asas kepastian merupakan harapan bagi pencari keadilan

terhadap tindakn sewenang wenang dari aparat penegak hukum yang terkadang

arogansi dalam menjalankan tugasnya sebagai penegak hukum.Karena dengan

adanya kepastian hukum masyarakat akan tahu kejelasan akan hak dan

kewajibannya menurut hukum. Tanpa adanya kepastian hukum maka orang akan

tidak tahu apa yang harus diperbuat, tidak mengetahui perbuatannya benar atau

salah, dilarang atau tidak dilarang oleh hukum. kepastian hukum ini dapat

diwujudkan melalui penormaan yang baik dan jelas dalam suatu undang undang

dan akan jelas pula penerapannya.

3. Asas kemanfaatan, kemanfaatan hukum perlu diperhatikan karena semua orang

mengharapkan adanya manfaat dalam pelaksanaan penegakan hukum, jangan

sampai penegakan hukum justru menimbulkabn keresahan masyarakat. Hukum

sendiri menerapkan bahwa suatu hukum selain berasas kepastian dan keadilan juga

harus menjaga suatu kemanfaatan, hal ini dijelaskan dalam surat Almaidah ayat

119

ٌ َّ‫م ۚ لَهُ ْم َج ٰن‬Uُْ‫ص ْدقُه‬


"ۚ ‫ت تَجْ ِرى ِمن تَحْ تِهَا ٱَأْل ْن ٰهَ ُر ٰخَ لِ ِدينَ فِيهَٓا َأبَدًا‬ َّ ٰ ‫قَا َل ٱهَّلل ُ ٰهَ َذا يَوْ ُم يَنفَ ُع ٱل‬
ِ َ‫ص ِدقِين‬

‫ُوا َع ْنهُ ۚ ٰ َذلِكَ ْٱلفَوْ ُز ْٱل َع ِظي ُم‬


۟ ‫ضى ٱهَّلل ُ َع ْنهُ ْم َو َرض‬
َ ِ ‫" َّر‬
Artinya: Allah berfirman: "Ini adalah suatu hari yang bermanfaat bagi orang-orang
yang benar kebenaran mereka. Bagi mereka surga yang dibawahnya mengalir
sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya; Allah ridha terhadap-
Nya. Itulah keberuntungan yang paling besar".

12
Ketiga cita hukum tersebut harus ada secara proporsional dalam sebuah putusan

hakim. Bahwa putusan majelis hakim harus mengandung ketiga asas tersebut. Jika

tiga asas tersebut dapat diwujudkan secara selaras dalam sebuah putusan hakim maka

keteraturan dan ketentraman hidup masyarakat akan terjamin.

Berpijak pada kerangka teori diatas, penulis ingin mengkaji apakah putusan

hakim PA Blitar Nomor 2307 tahun 2016 yang menetapkan harta bersama dalam

perkara ijin poligami telah dapat mencerminkan ketiga asas hukum tersebut.

H. Metode penulisan

Adapun yang dikemukakan dalam bagian ini meliputi :jenis dan pendekatan

penulisan, kehadiran Penulis, lokasi penulisan, sumber data, teknik pengumpulan data,

analisis data, pengecekan keabsahan data, dan tahapan-tahapan penulisan.

1. Jenis dan Pendekatan Penulisan

Penulisan ini merupakan penulisan kepustakaan (library research), yaitu

suatu penulisan dengan mengumpulkan data kepustakaan untuk dijadikan bahan

kajian. Dalam penulisan ini digunakan metodologi dengan pendekatan kualitatif

yang bersifat naturalistik, fungsi paradigma dan teori bukan dalam rangka

membentuk fakta, melakukan prediksi dan menunjukkan hubungan dua fariabel

melainkan lebih banyak untuk mengembangkan konsep dan pemahaman serta

kepekaan penulis.8 Dalam hal ini adalah harta bersama dalam izin poligami.

2. Kehadiran penulis

Dalam penulisan kualitatif, penulis akan melakukan pengamatan dan

berperan langsung dalam mengumpulkan data. Maka dari itu, dalam penulisan ini

penulis bertindak sebagai instrument kunci/ aktor sentral, sedangkan instrument

lainnya hanya sebagai penunjang.

8
Imam Suprayogo, Metodologi Penelitian Sosial-Agama, (Bandung: PT RosadaKarya, 2001), 91.

13
a. Lokasi Penulisan

Dalam hal ini yang menjadi lokasi penulisan adalah Pengadilan Agama

Kabupaten Blitar.

b. Sumber Data

Dalam penulisan ini, Penulis menggunakan dua jenis data, yaitu data primer

dan data sekunder.

1) Data primer

Adapun yang dimaksud dengan data primer adalah data-data yang

diperoleh secara langsung dari sumber pertama, yaitu dokumen putusan

perkara nomor 2307/Pdt.G/2016/PA.Blitar.

2) Data Sekunder

Data sekunder adalah data yang diperoleh atau dikumpulkan dan

disatukan oleh studi-studi sebelumnya atau yang diterbitkan oleh berbagai

instansi lain. Data sekunder merupakan data yang diperoleh melalui kajian

bahan pustaka dengan menggunakan bahan-bahan sebagai berikut:

a) Bahan Hukum Primer

Yaitu bahan-bahan hukum yang berhubungan erat dengan

permasalahan yang akan diteliti, meliputi:

1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

2. Undang-undang No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

3. Yurisprudensi

14
b) Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder dalam penulisan ini berupa literatur dalam

tinjauan pustaka yang berkaitan dengan penulisan ini serta artikel-artikel,

makalah dan salinan dokumen yang berkaitan dengan permasalahan

tentang harta bersama dalam izin poligami

c) Bahan Hukum Tersier

Yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun penjelasan

terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti:

1. Kamus Hukum

2. Ensiklopedia

3. Teknik pengumpulan data

Penulis dapat melaksanakan penulisan untuk mengumpulkan data agar tidak

terjadi kerancauan, maka Penulis menggunakan metode :

a. Studi kepustakaan

Metode studi kepustakaan ini dilakukan dengan cara mencari, mencatat,

menginventarisasi, menganalisis serta mempelajari data-data sekunder yang

terdiri dari 3 bahan hukum yang tersebut diatas.

b. Wawancara

Wawancara merupakan metode dimana langsung bertatap muka dengan

responden untuk melakukan tanya jawab menanyakan perihal fakta-fakta hukum

yang akan diteliti, pendapat maupun persepsi dari responden, serta saran-saran

dari responden yang berkaitan dengan objek penulisan.9 Dalam hal ini penulis

bertindak sebagai interviewer dan yang menjadi responden atau narasumbernya

adalah hakim Pengadilan Agama Kabupaten Blitar.

c. Teknik Dokumentasi
9
Suratman dan Philips Dillah, Metode Penelitian Hukum (Bandung: Alfabeta, 2002), 127.

15
Dokumentasi merupakan proses pengumpulan dan penganalisasian data yang

diperoleh dari lapangan.

d. Analisis Data

Metode analisis data yang digunakan adalah melalui pendekatan

kualitatif,yaitu suatu tata cara penulisan yang menghasilkan data deskriptif

analisis, yaitu apa yang dinyatakan responden tertulis atau lisan dan juga

perilaku nyata yang diteliti dan dipelajari sebagai tujuan yang utuh. Metode

kualitatif dilakukan dengan menganalisis data yang meliputi peraturan

perundang-undangan, buku-buku kepustakaan, yurisprudensi dan literatur lainya

yang berkaitan dengan harta bersama dalam izin poligami yang kemudian akan

dihubungkan dengan data-data yang diperoleh penulis dari studi lapangan yang

berupa hasil wawancara dengan responden sebagai narasumber yang

bersangkutan, untuk kemudian dilakukan pengumpulan dan penyusunan data

secara menuraikannya dengan kalimat yang teratur sehingga dapat ditarik suatu

kesimpulan.

e. Pengecekan Keabsahan Data

Pengecekan keabsahan data diperlukan dalam penulisan sebagai bentuk

pertanggungjawaban kepercayaan data. Pengecekan keabsahan data pada

penulisan ini menggunakan beberapa kriteria yang meliputi kredibilitas,

kepastian, dan kebergantungan. Derajat kepercayaan keabsahan data dapat

diadakan pengecekan dengan teknik pengamatan yang tekun. Ketekunan

pengamatan yang di maksud adalah melakukan ciri-ciri dan unsur-unsur dalam

situasi yang sangat relevan dengan persoalan atau isu yang sedang dicari.10

I. Sistematika Pembahasan

10
Iskandar, Metodologi Penelitian Kualitatif (Jakarta: GP Press, 2009), 15.

16
Agar lebih mudah dalam penyajian skripsi ini, maka penulis akan mebagi lima

bab dan beberapa sub bab, dalam garis besarnya dapat penulis gambarkan sebagai

berikut:

BAB I : Pendahuluan

Merupakan pola dasar yang memberikan gambaran secara

umum dari seluruh isi skripsi ini, yang meliputi latar belakang

masalah, penegasan istilah, rumusan masalah, tujuan penulisan,

kegunaan penulisan, telaah pustaka, metode penulisan,

sistematika pembahasan.

BAB II : Landasan Teori

Membahas mengenai landasan teori yang digunakan, Berisi

tentang keadilan dalam pembagian harta bersama dalam izin

poligami yang meliputi pengertian harta bersama, pengertian

poligami, dan bagaimana undang-undang mengatur tentang hal

tersebut. Serta bagaimana nilai-nilai keadilan dalam

perkawinan poligami Dalam bab ini menerangkan landasan

teori yang digunakan untuk menganalisa data yang ada

hubungannya dengan implikasi keadilan atas penetapan harta

bersama dalam izin poligami, serta dasar hukum yang mengatur

hal tersebut.

BAB III : Data Penulisan

Pandangan serta metode yang sesuai menurut undang undang

ataupun hukum yang berlaku tentang adanya harta bersama

dalam izin poligami.serta pendapat majelis hakim atas

ditetapkannya harta bersama dalam perkara izin poligami.

17
BAB IV : Analisis Hasil Penulisan

a. Untuk mengetahui dasar hukum yang digunakan majelis

hakim dalam menetapkan harta bersama dalam perkara izin

poligami.

b. Untuk mengetahui implikasi pembagian harta bersama

poligami pada pemeliharaan keadilan dalam perkawinan

poligami di indonesia.

Bab ini merupakan inti pembahasan yang meliputi analisa

terhadap pandangan Majelis hakim Pengadilan Agama Blitar

tentang adanya penetapan harta bersama dalam perkara

implikasi keadilan dalam pembagian harta bersama dalam

perkawinan poligami.

BAB V : Penutup

Bab ini merupakan kesimpulan akhir dari pembahasan

penulisan ini yang berisikan kesimpulan sebagai jawaban,

saran-saran penulis dan penutup.

J. Daftar Pustaka Sementara

Iskandar, Metodologi Penulisan Kualitatif Jakarta: GP Press, 2009

Imam Suprayogo, Metodologi Penulisan Sosial-Agama, Bandung: PT RosadaKarya,

2001

Masjfuk zuhdi,masail fiqhiyah Jakarta:PT midas surya grafindo,1997

Mustofa hasan.pengantar hukum keluarga bandung:CV Pustaka Setia,2011

Mahjuddin,masail al-fiqh jakarta:radar jaya offset,2014

Abdul manan.aneka masalah hukum perdata islam di Indonesia.Jakarta:Fajar

interpratama Offset,2008

18
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan

Kompilasi Hukum Islam, Gramedia Press

Djamaludin arra’uf, Aturan pernikahan dalam islam Jakarta: JAL Publishing, 2011

Tihami, sohari sahrani. Fiqih Munakahat. Jakarta: Rajawali Pers, 2009

Peuboh daly. Hukum perkawinan islam.jakarta:PT bulan bintang,1988

Roihan A. rasyid. Hukum acar peradilan agama.jakarta: PT grafindo persada, 2006

Mohammad daud ali.hukum islam.jakarta: PT grafindo persada, 2000

Miftahul huda.hukum keluarga.malang :setara press,2018

K. Rancangan Daftar Isi

Rancangan daftar isi yang akan penulis teliti meliputi:

HALAMAN JUDUL

HALAMAN NOTA PEMBIMBING

HALAMAN PENGESAHAN

HALAMAN MOTTO

HALAMAN PERSEMBAHAN

KATA PENGANTAR

ABSTRAK

PEDOMAN TRANSLITERASI

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

B. Rumusan Masalah

C. Tujuan Penulisan

D. Manfaat Penulisan

E. Telaah Pustaka

F. Metode Penulisan

19
G. Sistematika Pembahasan

BAB II KEADILAN HARTA BERSAMA POLIGAMI DALAM TEORI

MAQASID SYARI’AH

A. Gambaran teori maqasid syari’ah

1. Pengertian maqasid syari’ah

2. Pembagian maqasid syari’ah

3. Pemikiran Jasser Auda pada maqasid syari’ah kontemporer

B. Keadilan dalam poligami berdasarkan kajian teori maqasid

syari’ah

1. Pengertian keadilan dalam poligami

2. Syarat-syarat poligami

3. Pendapat tokoh mengenai keadilan dalam poligami

4. Korelasi keadilan pada pembagian harta bersama dalam

poligami

BAB III PELAKSANAAN DAN ARGUMENTASI ATAS PENETAPAN

HARTA BERSAMA PADA PERKARA IZIN POLIGAMI

NO.2307/Pdt.G/2016/PA.BL

A. Profil Pengadilan Agama Blitar

B. Hukum acara yang berlaku di Pengadilan Agama Blitar

C. pertimbangan hukum majelis hakim dalam menetapkan harta

bersama dalam perkara izin poligami Perkara

No.2307/Pdt.G/2016/PA.Blitar.

BAB IV ANALISIS MAQASID SYARI’AH PADA ARGUMENTASI MAJELIS

HAKIM PENGADILAN AGAMA BLITAR DALAM PENETAPAN

HARTA BERSAMA DALAM PERKARA IZIN POLIGAMI

20
A. Analisis maqasid syari’ah pada penetapan harta bersama dalam

perkara izin poligami Pengadilan Agama Blitar

B. Implikasi pembagian harta bersama poligami pada pemeliharaan

keadilan dalam perkawinan poligami di Indonesia

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan

B. Saran

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN-LAMPIRAN

21

Anda mungkin juga menyukai