Anda di halaman 1dari 27

REFERAT

ABORTUS

Dibuat oleh:

Edi Santoso (12075369)

Izzav Carina Lailatun H (30101607666)

Muhammad Husni Mubarok (30101607686)

Rafidah Salma Najah (30101607721)

Sultan Jhorgi (30101607742)

Kepaniteraan Klinik Ilmu Obstetri dan Ginekologi

Rumah Sakit Islam Sultan Agung Semarang

Fakultas Kedokteran Universitas Islam Sultan Agung

2021
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI............................................................................................................1

BAB 1......................................................................................................................2

1.1 Latar Belakang...............................................................................................2


BAB II......................................................................................................................4

2.1 Abortus...........................................................................................................4
2.1.1 Definisi....................................................................................................4
2.1.2 Etiologi....................................................................................................4
2.1.4 Klasifikasi dan Manifestasi Klinis Abortus...........................................6
2.2 Inkompetensi Serviks dengan Abortus..........................................................8
2.2.1 Definisi....................................................................................................8
2.2.2 Etiologi....................................................................................................9
2.2.3 Patofisiologi Terjadinya Perlunakan Serviks Premature........................9
2.2.4 Diagnosis...............................................................................................10
2.2.5 Tatalaksana...........................................................................................12
2.2.6 Komplikasi............................................................................................16
2.3 Mola Hidatidosa...........................................................................................16
2.3.1 Definisi..................................................................................................16
2.3.2 Klasifikasi.............................................................................................16
2.3.3 Manifestasi Klinis.................................................................................17
2.3.4 Koriokarsinoma.....................................................................................17
2.4 Tatalaksana Abortus.....................................................................................19
2.5 Konseling dan Edukasi................................................................................23
BAB III..................................................................................................................24

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................25

1
2

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indikator keberhasilan pembangunan kesehatan adalah penurunan dan


peningkatan derajat kesehatan, salah satu indikator derajat kesehatan adalah
Angka Kematian Ibu (AKI). Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun
2012 menunjukkan peningkatan AKI yang signifikan menjadi 359 per 100.000
kelahiran hidup. Berdasarkan Survei Penduduk Antar Sensus tahun 2015, AKI
kembali menunjukan penurunan menjadi 305 kematian ibu per 100.000 kelahiran
hidup (KEMENKES RI, 2016). Penyebab terbesar kematian ibu disebabkan oleh
perdarahan 30,2%, hipertensi 27,1%, aborsi 13% dan infeksi 7,3% semua kondisi
tersebut tidak perlu terjadi jika Pelayanan Obstetri Neonatal Esensial Dasar
(PONED) dapat diakses secara cepat dan tepat (Myers et.al, 2015). Abortus
adalah kondisi dimana janin belum mampu hidup di luar rahim (Viable) pada saat
kehamilan berakhir, yaitu sebelum usia kehamilan 20 minggu atau berat janin
belum mencapai 500 g.
Angka abortus di seluruh dunia adalah sekitar 35 per 1000 wanita yang
berusia 15-44 tahun, abortus merupakan salah satu penyebab tingginya angka
kematian ibu di Indonesia dari seluruh kehamilan (selain keguguran dan lahir
mati), 26% diantaranya berakhir dengan abortus. Sekitar 44% abortus di dunia
adalah ilegal, 64% abortus legal dan hampir 95% abortus ilegal terjadi di negara
berkembang. sekitar 25% kematian ibu di Asia yang disebabkan karena abortus
masih tinggi. Abortus yang tidak aman bertanggung jawab terhadap 11%
kematian ibu di Indonesia (rata-rata dunia 13%) (Kuntari, 2010).
Data SDKI 2017 menunjukkan bahwa sekitar 15% kelahiran pada
perempuan usia 15-49 tahun tidak diinginkan pada saat itu, dan 12% perempuan
belum kawin usia 15-24 tahun pernah mengalami kehamilan yang tidak
3

diinginkan. Saat ini diperkirakan ada 25 juta kejadian induksi keguguran yang
tidak aman yang terjadi di dunia setiap tahunnya, dan berujung pada kematian
lebih kurang 44.000 perempuan (Ganata et.al, 2017). Di Indonesia, belum ada
data epidemiologis yang akurat untuk menggambarkan kondisi terkini di
masyarakat, namun penelitian di tahun 2000 memperkirakan bahwa angkanya
mencapai 2 juta per tahun. Lebih lanjut, data Riskesdas tahun 2010 menyebutkan
bahwa 49,4% upaya induksi keguguran dilakukan oleh diri sendiri, dan metode
yang paling sering digunakan meliputi pil (39,7%), jamu (39%), dan pijat
(16,3%). Induksi keguguran yang tidak aman dapat menyebabkan berbagai
komplikasi, termasuk perdarahan, sepsis, peritonitis, dan trauma pada serviks,
vagina, uterus, dan organ perut. Satu dari empat perempuan yang melakukan
induksi keguguran yang tidak aman berisiko mengalami disabilitas sementara
maupun permanen yang membutuhkan pelayanan medis (RISKESDAS, 2010).
Kejadian abortus diduga mempunyai efek terhadap kehamilan berikutnya,
baik pada timbulnya penyulit kehamilan maupun pada hasil kehamilan itu sendiri.
Abortus dapat terjadi akibat 2 faktor, yaitu faktor janin (kelainan genetik) dan
faktor Ibu (umur, anemia, kelainan endoktrin (hormonal), faktor kekebalan
(imunologi), kelemahan otot leher rahim, kelainan bentuk rahim, dan infeksi yang
diduga akibat beberapa virus seperti campak, cacar air, herpes, dan klamidia)
(Muchtar, 2012).
Berbagai data di atas menekankan pentingnya asuhan pasca keguguran
yang komprehensif dan berkualitas bagi semua perempuan yang mengalami
keguguran. Asuhan tersebut meliputi tatalaksana medis untuk mengeluarkan sisa
hasil konsepsi dari uterus, di mana penelitian menunjukkan bahwa pada sekitar
28% kasus keguguran spontan, jaringan hasil konsepsi tidak keluar secara lengkap
dan membutuhkan tatalaksana lebih lanjut.
BAB II

LANDASAN TEORI

2.1 Abortus

2.1.1 Definisi
Abortus adalah penghentian atau berakhirnya suatu kehamilan pada usia
20 minggu dan berat janin masih kurang dari 500 gram.
2.1.2 Etiologi
Penyebab abortus (early pregnanqt loss) bervariasi dan sering
diperdebatkan. Umumnya lebih dari satu penyebab. Penyebab terbanyak di
anraranya adalah sebagai berikut.
2.1.2.1 Penyebab Genetik

Sebagian besar abortus spontan disebabkan oleh


kelainan kariotip embrio. Paling sedikit 50 % kejadian
abortus pada trimester pertama merupakan kelainan
sitogenetik. Bagaimanapun, gambaran ini belum termasuk
kelainan yang disebabkan oleh gangguan gen tunggal
(misalnya kelainan Mendelian) atau mutasi pada beberapa
lokus (misalnya gangguan poligenik atau multifaktor) yang
tidak terdeteksi dengan pemeriksaan kariotip. Kelainan
sering juga berupa gen yang abnormal, mungkin karena
adanya mutasi gen yang bisa mengganggu proses
implantasi bahkan menyebabkan abortus. Contoh untuk
kelainan gen tunggal yang sering menyebabkan abortus
berulang adalah myotonic dystroplry, yang berupa autosom
dominar-r dengan penetrasi yang tinggi, kelainan ini
progresif, dan penyebab abortusnya mungkin karena
kombinasi gen yang abnormal dan gangguan fungsi uterus.

4
5

Kemungkinan juga karena adanya mosaik gonad pada


ovarium atau testis.

2.1.2.2 Penyebab Anatomik

Defek anatomik uterus diketahui sebagai penyebab


komplikasi obstetrik, sepeni abortus berulang, prematuritas,
serta malpresentasi janin. Insiden kelainan bentuk uterus
berkisar 1/200 sampai 1/600 perempuan. Pada perempuan
dengan ri:wayat abortus, ditemukan anomali uterus pada 27
% pasien.
Studi oleh Acien (1996) terhadap 170 pasien hamil
dengan malformasi uterus, mendapatkan hasil hanya 18,8
% yang bisa bertahan sampai melahirkan cukup bulan,
sedangkan 36,5 %mengalami persalinan abnormal
(prematur, sungsang). Penyebab terbanyak abortus karena
kelainan anatomik uterus adalah seprum uterus (40 - 80 %),
kemudian uterus bikornis atau uterus didelfis atau unikornis
(10 - 30 %). Mioma uteri bisa menyebabkan baik infertilitas
maupun abortus berulang. Risiko kejadiannya antara 10 -
30 % pada perempuan usia reproduksi. Sebagian besar
mioma tidak memberikan gejala, hanya yang berukuran
besar atav yang memasuki kavum uteri (submukosum)
yang akan menimbulkan gangguan.
Sindroma Asherman bisa menyebabkan gangguan
tempat implantasi serta pasokan darah pada permukaan
endometrium. Risiko abortus antara 25 - 80 % bergantung
pada berat ringann,va gangguan. Untuk mendiagnosis
kelainan ini bisa digunakan histerosalpingografi (HSG) dan
ultrasonografi.
6

2.1.4 Klasifikasi dan Manifestasi Klinis Abortus


Berdasarkan proses terjadinya, abortus dapat diklasifikasikan
menjadi abortus spontan dan abortus diinduksi.
a. Abortus spontan
adalah abortus yang terjadi tanpa disengaja, tanpa tindakan
mekanis atau medis untuk mengosongkan uterus. Beberapa faktor risiko
abortus spontan di antaranya: anomali janin atau kelainan kromosom yang
berat, penyakit infeksi, gangguan nutrisi yang berat, penyakit menahun
dan kronis, konsumsi alkohol dan merokok, anomali uterus dan serviks,
gangguan imunologis, serta trauma fisik dan psikologis.

b. Abortus diinduksi
adalah penghentian kehamilan yang sengaja dilakukan sebelum
janin mampu hidup, baik dengan memakai obat-obatan atau memakai alat.
Di Indonesia, abortus diinduksi dilarang secara hukum kecuali untuk dua
kondisi, yaitu (1) indikasi kedaruratan medis dan (2) kehamilan akibat
perkosaan, dengan syarat-syarat yang telah diatur dalam UU Nomor 36
Tahun 2009 dan PP Nomor 61 Tahun 2014.
Abortus secara klinis dapat dikelompokkan menjadi abortus
iminens, abortus insipiens, abortus inkomplit, dan abortus komplit. Selain
itu, ada juga missed abortion, abortus habitualis, abortus infeksiosus, dan
abortus septik.
1. Abortus iminens
Abortus iminens merupakan perdarahan dari uterus pada
kehamilan sebelum 20 minggu, hasil konsepsi masih dalam uterus, dan
tanpa adanya dilatasi serviks. Diagnosis abortus iminens ditentukan karena
pada wanita hamil terjadi perdarahan melalui ostium uteri eksternum,
disertai sedikit nyeri abdomen atau tidak sama sekali, uterus membesar
sesuai usia kehamilan, serviks belum membuka, dan tes kehamilan positif.
7

2. Abortus insipiens
Perdarahan uterus pada kehamilan sebelum 20 minggu dengan
adanya dilatasi serviks uteri yang semakin bertambah, tetapi hasil konsepsi
masih dalam uterus. Dalam hal ini rasa perut mulas menjadi lebih sering
dan kuat serta perdarahan semakin banyak.
3. Abortus inkomplit
Pengeluaran sebagian hasil konsepsi pada kehamilan sebelum 20
minggu dengan masih ada sisa tertinggal dalam uterus. Pada pemeriksaan
vagina, kanalis servikalis terbuka dan jaringan dapat diraba dalam kavum
uteri atau terkadang sudah menonjol dari ostium uteri eksternum.
4. Abortus komplit
Perdarahan pada kehamilan muda di mana seluruh hasil konsepsi
telah keluar dari kavum uteri. Seluruh hasil kehamilan telah dilahirkan
dengan lengkap. Pada penderita ditemukan perdarahan sedikit, ostium uteri
telah menutup, dan uterus sudah banyak mengecil. Diagnosis dapat di
permudah apabila hasil konsepsi dapat diperiksa dan dapat dinyatakan
bahwa semuanya sudah keluar dengan lengkap.
5. Abortus septik dan abortus infeksiosa
Abortus septik adalah abortus yang disertai infeksi baik pada uterus
dan organ sekitarnya, diikuti penyebaran kuman atau toksin ke dalam
peredaran darah atau peritoneum. Infeksi dalam uterus atau sekitarnya
dapat terjadi pada setiap abortus, namun seringnya ditemukan pada abortus
inkomplit dan lebih sering didapatkan pada abortus diinduksi yang
dikerjakan tanpa memper- hatikan teknik asepsis dan antisepsis.
Diagnosis abortus infeksiosa ditentukan dengan terdapatnya
abortus yang disertai gejala dan tanda infeksi genitalia, seperti demam,
takikardi, perdarahan pervaginam berbau, uterus yang membesar, lembek,
serta nyeri tekan, dan leukositosis. Apabila terdapat sepsis, penderita
tampak sakit berat, kadang-kadang menggigil, demam tinggi dan tekanan
darah menurun.
8

6. Missed abortion
Missed abortion adalah kematian janin sebelum berusia 20 minggu,
tetapi janin yang mati tertahan di dalam cavum uteri tidak dikeluarkan
selama 8 minggu atau lebih. Missed abortion umumnya didahului oleh
tanda-tanda abortus iminens yang kemudian menghilang secara spontan
atau setelah pengobatan. Gejala subjektif kehamilan menghilang, uterus
tidak membesar lagi dan cenderung mengecil, serta tes kehamilan menjadi
negatif. Dengan ultrasonografi dapat ditentukan segera apakah janin sudah
mati dan besarnya sesuai dengan usia kehamilan.

7. Abortus habitualis
Keadaan dimana penderita mengalami abortus berturut-turut tiga
kali atau lebih. Pada umumnya penderita tidak sulit menjadi hamil, tetapi
kehamilannya berakhir sebelum 28 minggu.

Gambar 1 : Anatomi berbagai jenis abortus

2.2 Inkompetensi Serviks dengan Abortus

2.2.1 Definisi
9

Inkompetensi serviks didefinisikan sebagai kehilangan kehamilan


trimester kedua yang berulang disebabkan oleh faktor intrinsik atau
diperoleh kelemahan pada integritas jaringan serviks dimana leher rahim
mengalami penipisan dan dilatasi sebelum waktunya tanpa rasa sakit,
dengan prolaps dan ballooning membrane ke dalam vagina, diikuti oleh
pengeluaran janin belum matang. Inkompetensi serviks terjadi sehingga
menyebabkan persalinan prematur, ketuban pecah dini, dan kelahiran
prematur
2.2.2 Etiologi
Etiologi sebenarnya belum diketahui dengan pasti. Diduga 3 faktor yang
memegang peranan penting dalam terjadinya inkompetensi serviks, yaitu :
a. Faktor kongenital
Akibat perkembangan abnormal jaringan fibromuskular serviks
menyebabkan kelemahan serviks tersebut. Kelainan ini jarang ditemukan.
Pada primigravida yang tidak pernah mengalami trauma pada serviks
jarang menderita kelainan ini.
b. Faktor akuisita
Akibat trauma sebelumnya pada serviks uteri yang mencapai ostium uteri
internum, misalnya pada persalinan normal, tindakan cunam yang
traumatik, kesulitan ekstraksi bahu, seksio sesaria di daerah serviks yang
terlalu rendah, dilatasi dan kuretase berlebihan, amputasi serviks,
konisasi ataupun kauterisasi. Kelainan ini lebih sering ditemukan.
c. Faktor fisiologik
Hal ini ditandai dengan pembukaan serviks normal akibat kontraksi
uterus yang abnormal.
Dikemukakan bahwa ibu-ibu hamil yang menggunakan dietilstilbestrol
akan berakibat janin perempuan yang dikandungnya mempunyai resiko tinggi
untuk menderita inkompetensi serviks
2.2.3 Patofisiologi Terjadinya Perlunakan Serviks Premature
Perubahan patofisiologi jaringan serviks yang dipanggil pelunakan
serviks, adalah kompleks dan tidak difahami. Apa yang diketahui adalah
10

serviks adalah struktur anatomi dinamik yang berfungsi selama kehamilan


sebagai pertahanan bagi janin dan sekitarnya , dengan vagina dan dunia luar.
Pada waktu gestasi ini, ia terdiri dari struktur yang kuat yang terdiri dari
kolagen, tetapi ketika tiba masanya persalinan, kolagennya mengalami
degradasi dan serviks menjadi lunak dan memulai proses untuk dilatasi. Ini
mengakibatkan ketidaksempurnaan dalam proses ini dan; atau waktu pelunakan
yang tidak sesuai waktunya dan menjadikan serviks tidak kompeten lagi
sehingga terjadinya kelahiran prematur atau kesulitan dalam persalinan
(distosia).2
Infeksi dan inflamasi sangat berhubungan dengan kelahiran prematur
dan pelunakan serviks. Ini berhubungan dengan sifat serviks, dimana peluang
untuk terjadinya persalinan premature berbanding terbalik dengan panjang
kanalis servikalis, yang berisi lender yang bersifat antibakteri. Jika sifat
mekanik atau antibakteri leher rahim secara antomi atau fungsional terganggu,
misalnya dengan paparan dietilstilbestrol intra-uterin atau dengan operasi atau
trauma pada serviks, kekuatan serviks mungkin tidak cukup untuk
mempertahankan kehamilan.2

2.2.4 Diagnosis
Diagnosis serviks inkompeten umumnya ditegakkan berdasarkan riwayat
satu atau lebih kegagalan kehamilan pada trimester kedua atau riwayat keguguran
berulang pada trimester kedua, dengan kerugian masing-masing terjadi pada usia
kehamilan lebih awal dari yang sebelumnya dan kurang kontraksi yang
menyakitkan atau peristiwa berkaitan lainnya. Namun, dalam penemuan
ultrasonografi terakhir, definisi ini sedang ditantang. Terdapat keraguan bahwa
pemeriksaan ultrasonografi, terutama transvaginal, bermanfaat sebagai alat bantu
untuk mendiagnosis pemendekan serviks atau pencorongan ostium interna dan
mendeteksi secara dini serviks yang inkompeten. Secara umum, panjang serviks
sebesar 25mm atau kurang antara 16 dan 18 minggu gestasi dibuktikan secara
prediktif untuk kelahiran prematur pada wanita dengan riwayat penghentian
kehamilan pada midtrimester.
11

Gambar 2 : Ultrasonografi menunjukkan Ostium Serviks Interna


dan Ostium Serviks Eksterna yang terbuka. (Referensi :Bag, Obstetrik& Ginekologi
Hospital Taiping, Malaysia)

Ultrasonografi transvaginal adalah metode yang aman untuk secara objektif


menilai panjang serviks dan lebih unggul berbanding pemeriksaan vagina digital
atau USG perut dalam hal ini. Ultrasonografi transvaginal telah menjadi standar
emas atau “gold standard” untuk evaluasi serviks. Leher rahim pada kehamilan
mengikuti pola penipisan dimulai ostium servikal internal dan berlangsung dalam
cara menyalurkan menuju ostium serviks eksternal. Pada sonogram ini awalnya
muncul sebagai “beaking” atau bentuk mencuih dibentuk dinding samping saluran
leher rahim yang berkembang dari ‘Y’ menjadi ruang berbentuk ‘U’. Panjang
leher rahim biasanya tetap stabil hingga awal trimester ketiga dan memendek
secara progresif setelah itu.
12

Gambar 3 : Funneling dari serviks yang membentuk huruf T, Y, V, U


(korelasi antara panjang serviks dengan perubahan pada ostium uteri
internum)
Temuan ultrasonografi :
1. Penyempitan atau funneling serviks yang membentuk huruf T, Y, V, U
(hubungannya dengan panjang serviks dengan perubahan pada ostium
uteri internum).
2. Panjang serviks < 25 mm
3. Protusi membran amnion
4. Adanya bagian fetus dalam serviks atau vagina.

Gambar 4 : Hasil USG yang menunjukkan gambaran funnelling pada


serviks uteri

2.2.5 Tatalaksana
Terapi untuk inkompetensi serviks adalah dengan cara bedah dan non-
bedah. Pilihan terapi non-bedah dapat mengurangi risiko kelahiran prematur pada
wanita dengan inkompetensi serviks. Pengurangan aktivitas atau istirahat total di
tempat tidur, menghindari hubungan seksual, dan penghentian penggunaan
13

narkotin atau rokok telah direkomendasikan. Penggunaan indomethasin (100mg


sekali, diikuti dengan 50mg setiap 6 jam selama 48jam telah dihubungkan dengan
penurunan persalinan sebelum 35 minggu dan penurunan kelahiran prematur
sebesar 86% pada wanita dengan pemendekan serviks menjelang usia kehamilan
24 minggu.
Penatalaksanaan inkompetensi serviks adalah dengan cara bedah yaitu
penguatan serviks yang lemah dengan jahitan yang di sebut ‘cerclage’.
Perdarahan, kontraksi uterus, atau ruptur membran biasanya merupakan
kontraindikasi untuk pembedahan. Terdapat beberapa tehnik ‘cerclage’ yang
pernah dilakukan seperti McDonalds dan modifikasi Shirodkar. Waktu terbaik
untuk prosedur cerclage serviks adalah pada bulan ketiga (12-14 minggu)
kehamilan . Namun, beberapa wanita mungkin perlu dipasangkan cerclage darurat
pada kehamilan lanjut jika terjadi perubahan seperti pembukaan atau pemendekan
serviks. Jika sudah ada riwayat pemasangan cerclage darurat, pada kehamilan
selanjutnya juga wanita ini akan memerlukan pemasangan cerclage pada
serviksnya.

Gambar 5 : Tipe dari Cerclage


14

Gambar 6 : Tipe jahitan Cerclage


Pemasangan cerclage adalah andalan untuk pencegahan kelahiran
prematur pada wanita dengan insufisiensi atau inkompetensi serviks. Pendekatan
dan penempatan dari jahitan cerclage ada berbagai macam dan tidak ada tehnik
tunggal yang terbukti lebih unggul dari yang lainnya.
Pendekatan transvaginal yang paling popular adalah tehnik McDonald,
yang menggunakan anestesi local atau regional untuk menempatkan jahitan
monofilament (polypropylene) atau tape serat polyester di persimpagan
cervicovaginal. Sebuah speculum tertimbang dimasukkan ke dalam vagina, dan
Sims retractor digunakan untuk retraksi anterior vagina. Serviks ini digenggam
lembut dengan penjepit atau forsep Allis cincin untuk traksi. Dimulai pada posisi
jam 12, 4 atau 5 gigitan berurutan yang diambil secara “tas-string”. Jahitan terikat
anterior dan dipangkas.

Gambar 7: Cerlage tipe jahitan McDonald (dengan jahitan seperti dompet,


tidak ada diseksi dan terletak pada os serviks eksterna)dan Shirodkar
(dengan jahitan tunggal, memerlukan diseksi dan letaknya berdekatan os
serviks interna)11
Manakala prosedur Shirodkar melibatkan penempatan jahitan yang
sehampir mungkin pada os interna setelah diseksi pada rectum dan kandung
kemih dari leher rahim. Setelah jahitan dimasukkan, mukosa ditempatkan diatas
15

simpul jahitan. Prosedur McDonald lebih menjadi favorit berbanding Shirodkar


kerana penempatan jahitan yang lebih mudah.
Dalam pendekatan transabdominal melalui laparotomi atau laparoskopi,
jahitan ditempatkan di wilayah cervicoisthmic setelah pembedahan kandung
kemih jauh dari segmen bawah uterus. Prosedur invasif ini mempunyai risiko
tinggi terjadinya komplikasi, misalnya perdarahan. Umumnya dijadikan pilihan
bagi pasien yang gagal bagi penempatan transvaginal, mempunyai penyakit
bawaan dengan serviks hipoplasia, atau memiliki jaringan parut besar dari operasi
sebelumnya atau trauma.

Gambar 8 : Alur untuk penatalaksanaan inkompetensi serviks dengan


cerclage elektif dan cerlage darurat berdadarkan riwayat kelahiran
premature dan panjang serviks.
Cerclage Darurat dilakukan pada wanita yang datang dengan gejala
inkompetensi serviks, misalnya nyeri panggul, keputihan dengan cairan bening,
dilatasi serviks dari 2cm atau lebih, tidak adanya kontraksi rahim yang teratur.
Pada tahap ini, membrane atau selaput ketuban sering berada pada atau diluar os
16

serviks eksternal. Ada berbagai metode untuk mendorong membrane atau selaput
ketuban ini kembali ke rongga intrauterine. Menggunakan sebuah kateter Foley
dapat ditempatkan dalam kandung kemih atau os serviks untuk mendorong
membrane ke atas. Atau balon dapat disisipkan dibawah pengaruh anestesi
epidural dengan pasien dalam posisi Tredelenburg. Amniosentesis untuk analisa
gula darah, kultur Gram, dan interleukin harus dipertimbangkan untuk
menyingkirkan infeksi intra-amnion subklinis. Amniosentesis transabdominal
juga berfungsi untuk mengurangi membrane via amnioreduksi.

2.2.6 Komplikasi
Komplikasi dari tindakan cerclage ini adalah pecahnya ketuban,
korioamnionitis, dan perpindahan dari jahitan. Insiden bervariasi dengan
prosedur tindakan dan waktu. Pecahnya membrane telah dilaporkan 1-
18% dari pemasangan elektif, 3- 65% dari pemasangan cerclage urgensi
dan 0- 51% dari penempatan darurat. Korioamnionitis dikembangkan
dalam 1-60%, 30-35% dan 9-37% dari prosedur, masing-masing.
Perpindahan jahitan terjadi pada 3% sampai 13% dari prosedur
pemasangan elektif.

2.3 Mola Hidatidosa

2.3.1 Definisi
Suatu kehamilan yang ditandai dengan adanya villi korialis yang
tidak normal secara histologis yang terdiri dari beberapa macam tingkatan
proliferasi trofoblastik dan edema pada stroma villus. Biasanya kehamilan
mola terjadi di dalam uterus, tetapi kadang-kadang terdapat juga di saluran
telur ataupun ovarium
2.3.2 Klasifikasi
(a) Mola hidatidosa komplit
17

Villi korion berubah menjadi massa vesikel dengan ukuran


bervariasi dari sulit terlihat sehingga diameter beberapa sentimeter.
Histologinya memiliki karakteristik, yaitu :
 Terdapat degenerasi hidrofik & pembengkakan stroma villi

 Tidak ada pembuluh pada villi yang membengkak

 Proliferasi dari epitel trofoblas dengan bermacam-macam ukuran

 Tidak adanya janin atau amnion

(b) Mola Hidatidosa parsial

Masih tampak gelembung yang disertai janin atau bagian dari janin.
Umumnya janin masih hidup dalam bulan pertama. Tetapi ada juga yang
hidup sampai aterm. Pada pemeriksaan histopatologik tampak di beberapa
tempat villi yang edema dengan sel trofoblas yang tidak begitu
berproliferasi, sedangkan tempat lain masih banyak yang normal
Dari mola yang sifatnya jinak, dapat tumbuh tumor trofoblast yang
bersifat ganas. Tumor ini ada yang kadang-kadang masih mengandung
villus di samping trofoblast yang berproliferasi, dapat mengadakan invasi
yang umumnya bersifat lokal, dan dinamakan mola destruens (invasive
mole, penyakit trofoblast ganas jenis villosum). Selain itu terdapat pula
tumor trofoblast yang hanya terdiri dari atas sel-sel trofoblast tanpa
stroma, yang umumnya tidak hanya berinvasi di otot uterus tetapi
menyebar ke alat-alat lain (koriokarsinoma, penyakit trofoblast ganas non
villosum)
2.3.3 Manifestasi Klinis
 Derajat keluhan mual muntah lebih hebat

 Uterus lebih besar dari usia kehamilan

 Perdarahan merupakan gejala utama

 Terjadi pada bulan 1-7, rata-rata usia kehamilan 12-14 minggu


18

 Perdarahan bisa sampai syok dan meninggal

2.3.4 Koriokarsinoma
Penyakit ini dibagi dalam 2 golongan, ialah a) golongan dengan
risiko rendah dan b) golongan dengan risiko tinggi. Pada golongan risiko
rendah penyakit terbatas pada uterus atau terdapat metastasis di paru-paru,
di pelvis , dan/ atau di vagina, dengan kadar hCG tidak melebihi 100,000
mU/ml. Koriokarsinoma didahului oleh mola hidatidosa dalam 50%, oleh
kehamilan aterm dalam 25%, dan sisanya oleh abortus atau kehamilan
ektopik.
Penyakit Trofoblast Ganas Risiko Rendah
Pada penyakit ini dapat ditemukan metastasis di paru-paru dan/atau
alat genital, dan kadar hCG yang tetap tinggi atau meningkat tetapi tidak
melebihi 100,000 mU/ml. Umumnya penyakit diketahui dan diobati
selama kurang dari 4 bulan, setelah mola dikeluarkan. Jika ada perdarahan
tidak normal, perlu dilakukan kerokan dahulu.
Untuk membuat diagnosis perlu ditentukan tidak adanya metastasis
di otak, hepar, dan/ atau traktus digestivus. Jika pada biopsi (misalnya dari
metastasis di vagina) ditemukan villus, hal itu menunjukkan bahwa
penyakit ialah penyakit trofoblast ganas villosum.
Kemoterapi dimulai dengan pemberian berturut-turut methotrexate
dalam dosis rendah dan dactinomycin juga dalam dosis rendah. Apabila
kadar hCG pada pengamatan lanjut menjadi normal, tidak perlu
pengobatan diteruskan; apabila tidak menjadi normal dalam beberapa
minggu, pengobatan diulangi.
Dalam kasus-kasus yang tetap resisten, diberi triple therapy terdiri
atas methotrexate, dactinomycin dan cyclophosphamide, atau methotrexate
dalam dosis tinggi dalam infuse. Terapi dengan infus tersebut diberikan
kepada penderita yang menunjukkan tanda-tanda keracunan dengan
dactinomycin.
19

Dengan terapi tersebut di atas sebagian besar penderita penyakit


trofoblast ganas risiko rendah dapat diselamatkan.
Penyakit Trofoblast Ganas Dengan Risiko Tinggi
Pada kasus-kasus ini terdapat ini terdapat tidak saja metastasis di
paru-paru dan alat-alat genital, melainkan juga di otak, di hepar, dan/ atau
traktus digestivus. Diagnosis sering kali dibuat terlambat, oleh karena
hanya dalam 30% terdapat mola hidatidosa dalam anamnesis. Tidak jarang
lebih menonjol gejala-gejala yang disebabkan oleh metastasis, misalnya
ikterus atau perdarahan dalam otak. Diagnosis dalam hal itu baru
dipikirkan apabila ditemukan kadar hCG tinggi. MRI kiranya dapat
dipakai untuk mendeteksi metastasis di otak.
Sebagai pengobatan dapat diberikan secara berturut-turut
methotrexate dalam dosis tinggi dan actinomycin D dalam dosis tinggi
pula. Dapat pula diberikan triple therapy terdiri atas methotrexate,
dactinomycin, dan cyclophosphamide.
Pada metastasis di otak diberikan pula iradiasi pada kepala dan
pada metastasis di hepar iradiasi pada hepar. Jika terjadi banyak
perdarahan dilakukan histerektomi dan salpingo-ooforektomi.
Sekarang lebih banyak penderita dapat diselamatkan, akan tetapi
perlu disadari, bahwa pencegahan timbulnya penyakit ini ialah terapi yang
terbaik.

2.4 Tatalaksana Abortus

Tatalaksana yang dapat dilakukan untuk menangani suatu abortus


tergantung dari jenis abortus itu sendiri, berikut untuk alur dalam
melaksanakan tatalaksana abortus :
20

Secara garis besar, apabila terdapat pasien dating dengan kecurigaan


abortus, kita harus memeriksa tanda-tanda syok (akral dingin, pucat,
takikardi, Tekanan darah sistolik <90 mmHg). Jika terdapat syok, lakukan
tatalaksana awal syok. Bila terdapat tanda-tanda infeksi, berikan antibiotic
kombinasi sampai ibu bebas demam untuk 48 jam. Setelah itu dirujuk ke
rumah sakit untuk melakukan tatalaksana selanjutnya sesuai jenis abortus.

Abortus Iminens
• Istirahat baring agar aliran darah ke uterus bertambah dan rangsang
mekanik berkurang.

• Progesteron 10 mg sehari untuk terapi substitusi dan untuk mengurangi


kerentanan otot-otot rahim.
21

• Tes kehamilan dapat dilakukan. Bila hasil negatif, mungkin janin sudah
mati.

• Pemeriksaan USG untuk menentukan apakah janin masih hidup.

• Berikan obat penenang, biasanya fenobarbital 3 x 30 mg.

• Pasien tidak boleh berhubungan seksual dulu sampai lebih kurang 2


minggu.

Prognosis

Abortus Insipiens
• Bila ada tanda-tanda syok maka atasi dulu dengan pemberian cairan dan
transfusi darah.

• Pada kehamilan kurang dari 12 minggu, yang biasanya disertai perdarahan


lakukan pengosongan uterus memakai kuret vakum atau cunam abortus,
disusul dengan kerokan memakai kuret tajam. Suntikkan ergometrin 0,5
mg intramuskular.

• Pada kehamilan lebih dari 12 minggu, berikan infus oksitosin 10 IU dalam


dekstrose 5% 500 ml dimulai 8 tetes per menit dan naikkan sesuai
kontraksi uterus sampai terjadi abortus komplet.

• Bila janin sudah keluar, tetapi plasenta masih tertinggal, lakukan


pengeluaran plasenta secara digital yang dapat disusul dengan kerokan.
22

• Memberi antibiotik sebagai profilaksis

Abortus Inkomplit
• Bila disertai syok karena perdarahan, berikan infus cairan NaCl fisiologis
atau ringer laktat yang disusul dengan ditransfusi darah.

• Bila terjadi perdarahan hebat, segera melakukan pengeluaran sisa hasil


konsepsi secara manual agar jaringan yang mengganjal terjadinya
kontraksi uterus segera dikeluarkan, kontraksi uterus dapat berlangsung
baik dan perdarahan bisa berhenti. Selanjutnya dilakukan tindakan
kuretase dengan karet vakum menggunakan kanula dari plastik.

• Atau dapat dengan suntikkan ergometrin 0,2 mg intramuskular untuk


mempertahankan kontraksi otot uterus.

• Berikan antibiotik untuk rnencegah infeksi.

Abortus Komplit
• Bila pasien anemia, berikan hematinik seperti sulfas ferosus atau transfusi
darah.

• Berikan antibiotik untuk mencegah infeksi.

• Anjurkan pasien diet tinggi protein, vitamin. dan mineral.

Missed Abortion
• Bila terdapat hipofibrinogenemia siapkan darah segar atau fibrinogen.

• Pada kehamilan kurang dari 12 minggu. Lakukan pembukaan serviks


dengan gagang laminaria selama 12 jam lalu dilakukan dilatasi serviks
dengan dilatator Hegar. Kemudian hasil konsepsi diambil dengan cunam
ovum lalu dengan kuret tajam.

• Pada kehamilan lebih dari 12 minggu. Infus intravena oksitosin 10 IU


dalam dekstrose 5% sebanyak 500 ml mulai dengan 20 tetes per menit dan
naikkan dosis sampai ada kontraksi uterus. Oksitosin dapat diberikan
23

sampai 10 IU dalam 8 jam. Bila tidak berhasil, ulang infus oksitosin


setelah pasien istirahat satu hari.

• Bila tinggi fundus uteri sampai 2 jari bawah pusat, keluarkan hasil
konsepsi dengan menyuntik larutan garam 20% dalam kavum uteri melalui
dinding perut.

2.5 Konseling dan Edukasi

 Memberikan dukungan emosional


 Menganjurkan penggunaan kontrasepsi pasca keguguran karena kesuburan
dapat kembali kira-kira 14 hari setelah keguguran. Untuk mencegah
kehamilan, Alat Kontrasepsi Dalam Rahim (AKDR) umumnya dapat
dipasang secara aman setelah aborsi spontan atau diinduksi.
Kontraindikasi pemasangan AKDR pasca keguguran antara lain adalah
infeksi pelvik, abortus septik, atau komplikasi serius lain dari abortus.
 Follow up dilakukan setelah 2 minggu.
24

BAB III

KESIMPULAN

1. Abortus adalah ancaman atau pengeluaran hasil konsepsi sebelum


janin dapat hidup di luar kandungan, dan sebagai batasan
digunakan kehamilan < 20 minggu atau berat anak < 500 gram
2. Penegakan anemia ditegakan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik
yang mengarah pada abortus, dan pemeriksaan penunjang. 
3. Penatalaksanaan umum hal pertama yang harus dilakukan adalah
penilain cepat terhadap tanda vital (nadi, tekanan darah, laju
pernafasan dan suhu).
4. Abortus dapat menyebabkan komplikasi berupa perdarahan,
infeksi, perforasi dan syok.
25

DAFTAR PUSTAKA

1. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Profil Kesehatan Indonesia


Tahun 2015. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2016.
2. Myers BA, Fisher RP, Nelson N, Belton S. Defining remoteness from
health care: integrated research on accessing emergency maternal care in
Indonesia. AIMS Public Heal. 2015;2(3):256-73.
3. Kuntari T, Wilopo SA, Emilia O. Determinan Abortus di Indonesia.
National Public Health Journal. 2010;4(5):223-9.
4. Ganatra B, Gerdts C, Rossier C, Johnson Jr BR, et al. Global, regional, and
subregional classification of abortions by safety, 2010-14: estimates from
a Bayesian hierarchical model. The Lancet. 2017
5. Utomo B, et al. Incidence and social-psychological aspects of abortion in
Indonesia: a community-based survey in 10 major cities and 6 districts,
year 2000. Jakarta: Pusat Penelitian Kesehatan, Universitas Indonesia;
2001
6. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia. Riset kesehatan dasar (Riskesdas) 2010. Kemenkes
RI; 2010.
7. Mochtar, Rustam. 2012. Sinopsis Obstetric, edisi 2. Jilid 1. Jakarta : EGC.
8. Nanda K, Lopez LM, Grimes DA, Peloggia A, et al. Expectant care versus
surgical treatment for miscarriage. Cochrane Database Syst Rev. 2012
9. Sarwano Prawirohardjo; Mola Hidatidosa; Perdarahan pada Kehamilan
Muda; Ilmu Kebidanan; Edisi keempat, Cetakan kedua, Jakarta : PT Bina
Pustaka; 2009; halaman 488-490.
10. Sarwono Prawirohardjo; Penyakit trofoblast berasal dari kehamilan; Ilmu
Kandungan; Edisi kedua, Cetakan ketujuh, Jakarta : PT Bina Pustaka;
2009; halaman 260-265
11. Cunningham dkk; Hydatidiform Mole; Williams Obstetrics; Edisi 23; Mc
Graw-Hill Companies; 2010; halaman 257-259.
26

12. Wang HL, Yang Z, Shen Y, Wang QL. [Clinical outcome of therapeutic
cervical cerclage in short cervix syndrome]. Zhonghua Fu Chan Ke Za
Zhi. 2018 Jan 25;53(1):43-46.
13. Wei M, Jin X, Li TC, Yang C, Huang D, Zhang S. A comparison of
pregnancy outcome of modified transvaginal cervicoisthmic cerclage
performed prior to and during pregnancy. Arch. Gynecol. Obstet. 2018
Mar;297(3):645-652
14. Akur, Monika & Mahajan, Kunal. (2018). Cervical Incompetence-
StatPearls-NCBI Bookshelf

Anda mungkin juga menyukai