Anda di halaman 1dari 29

A.

Hukum Acara Pidana


Hukum acara pidana di Indonesia saat ini telah diatur dalam satu undang-
undang yang dikenal dengan Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana
(selanjutnya disebut KUHAP), yakni undang- undang No 8 tahun 1981, yang
mulai berlaku sejak tanggal 31 desember 1981, KUHAP, merupakan hukum acara
pidana bagi tindak pidana umum, terkodifikasi dan unifikasi.1
Salah satu point penting dalam KUHAP sebagai pengganti Hierziene inlands
reglement (selanjutnya disebut HIR) yang sebelumnya berlaku adalah diakuinya
hak hak asasi manusia dalam proses peradilan pidana disemua tingkatan yang
ditandai dengan bergantinya sistem inquisatoir menjadi accusatoir. Beberapa
lembaga dibentuk didalam sistem peradilan pidana versi KUHAP semakin
menunjukan komitmen pemerintah menjamin tercapainya tujuan hukum acara
pidana yaitu mencari kebenaran materiil dengan kesetaraan kedudukan antar
keseluruan subyek hukum didalamnya.
Dalam konteks penghargaan terhadap hak-hak dasar warga negara,
praperadilan adalah salah satu lembaga penting dimaksud dalam KUHAP
Indonesia. Sebagai mekanisme komplain yang bertujuan untuk mengawasi dan
mengontrol aparat penegak hukum dalam menerapkan upaya paksa, praperadilan
menjadi salah satu pembeda antara KUHAP dengan HIR. Masuknya materi
praperadilan dalam KUHAP juga menjadi salah satu alasan munculnya
kepercayaan di masyarakat dalam menyambut pengesahan KUHAP pada saat itu.
Terdapat berbagai ketentuan-ketentuanbaru di dalam KUHAP yang
sebelumnya tidak diatur di dalam HIR seperti, pengaturan mengenai hak-hak
tersangka atau terdakwa, adanya bantuan hukum pada semua tingkat pemeriksaan,
penggabungan perkara perdata pada perkara pidana dalam hal ganti rugi,
wewenang hakim pada pemeriksaan pendahuluan, dan bentuk pengawasan
terhadap pelaksanaan putusan. Ketentuan ini harus sejalan dengan tujuan dari
hukum acara pidana, yaitu untuk mencari dan mendapatkan kebenaran materiil

1 Darwan Prints, S.H., “Hukum Acara Pidana Dalam Praktik”( edisi revisi tahun 2002), Jakarta:
Karya Unipress, 2002, halaman 4.

1
atau kebenaran yang sebesar besarnya, memberi suatu putusan hakim, dan
melaksanakan putusan hakim.2
Hukum pidana Indonesia yang berlaku saat ini merupakan peninggalan
Belanda (Het Wetboek van Stafrecht) dengan didasarkan Undang-Undang Nomor
1 Tahun 1946, hukum pidana yang berlaku di Hindia Belanda menjadi hukum
pidana indonesia (KUHP). Hukum peninggalan Belanda ini sudah sangat
tertinggal jauh dengan perkembangan masyarakat dan kebutuhan hukum pidana
yang lebih baik.3 Khususnya yang berkaitan dengan pemidanaan, saat ini tidak
memuaskan masyarakat. Hal ini telah memicu sejumlah pemikiran untuk
melakukan upaya alternatif dalam menjawab persoalan-persoalan yang berkaitan
dengan penanganan tindak pidana. Permasalahan seputar perkembangan sistem
peradilan pidana yang ada sekarang menunjukkan bahwa sistem ini dianggap
tidak lagi dapat memberikan perlindungan terhadap hak asasi manusia serta
transparansi terhadap kepentingan umum.4
Sistem pemidanaannya yang bersifat individualistik dan formal prosedural
telah mengabaikan realitas nilai perdamaian sehingga tidak dijadikan sebagai
dasar penghapusan pemidanaan. Kepentingan negara dalam menyelesaikan
perkara pidana sangat besar dan kuat untuk memidana kendati antara pelaku dan
korban telah berdamai. Seolah-olah Negara akan bersalah jika pelaku yang telah
dimaafkan dan mengganti kerugian korban dihapuskan pemidanaannya. KUHP
kurang mengindahkan keberadaan dan penerapan filosofi musyawarah mufakat
(berdasarkan Pancasila) dalam perdamaian sebagai asas penyelesaian konflik
antar warga masyarakat, baik yang bersifat individual maupun ketertiban umum.
Jika filosofi pemidanaan dibiarkan berlarut-larut maka dikhawatirkan terjadi
pergeseran budaya hukum dalam masyarakat. Budaya bangsa Indonesia yang
awalnya adalah bangsa yang ramah, suka bersilaturahmi dan suka berdamai,
sangat disayangkan bila bangsa ini telah menjadi bangsa yang emosional dan

2Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia (Edisi Kedua), Jakarta: Sinar Grafika, 2010, hlm
187.
3Agus Rusianto, Tindak Pidana & Pertanggungjawaban Pidana: Tinjauan Kritis Melalui
Konsentrasi antara Asas, Teori, dan Penerapannya (Jakarta: Kencana, 2016), hlm. 1.
4Eva Achjani Zulfa, Pergeseran Paradigma Pemidaan (Bandung: Lubuk Agung 2011),
hlm. 2.

2
egois akibat hukum tidak menempatkan perdamaian sebagai penghapus
pemidanaan.5
Dengan adanya ketentuan baru didalam KUHAP, mengisyaratkan bahwa
adanya upaya untuk lebih memperhatikan hak-hak asasi manusia. Upaya ini sesuai
dengan amanat UUD NRI 1945 yang menyatakan setiap orang berhak atas
pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan
yang sama di hadapan hukum.6 Berdasarkan pasal tersebut, maka apabila
seseorang diduga telah melakukan suatu tindak pidana (strafbaarfeit) tidak boleh
diperlakukan seperti orang yang bersalah sebelum adanya putusan yang
berkekuatan hukum tetap (in krachtvan gewijsde). Dengan kata lain, aparat
penegak hukum dalam menjalankan atau melaksanakan tugasnya harus
berdasarkan asas hukum acara pidana yaitu asas praduga tak bersalah
(Presumption of Innocence).
Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 10 KUHAP dapat diketahui bahwa
salah satu tujuan dibuatnya KUHAP tidak lain adalah untuk memberikan
perlindungan kepada tersangka, sehingga dapat terhindar dari tindakan
kesewenang-wenangan aparat penegak hukum khususnya pada tingkat penyidikan
maupun penuntutan, pelecehan terhadap harkat dan martabat manusia sejauh
mungkin dapat dihindari seperti salah tangkap, salah tahan, dan lain sebagainya.
Tujuan tersebut dimaksudkan untuk menjunjung tinggi asas praduga tidak
bersalah (presumption of innocence) serta penjaminan hak asasi dihadapan hukum
sebagaimana diatur dalam pasal 8 Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan bahwa setiap orang yang disangka,
ditahan, dituntut, dan/atau dihadapkan di depan pengadilan wajib dianggap tidak
bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan
telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Praperadilan sebagaimana dimaksud
pasal 77 KUHAP mempunyai beberapa kewenangan diantaranya : 1. Sah atau
tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian

5Hasballah Thaib, Perdamaian Adalah Panglima Dari Semua Hukum. Dalam Pendastaren
Tarigan dan Arif (Ed). Spirit Hukum: Dedikasikan Untuk Purnabakti 70 Tahun Prof. Hj. Rehgena
Purba, S.H., M.H. (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), hlm. 21.
6Vide Pasal 28D UUD 1945

3
penuntutan; 2. Ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara
pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.
Selain kewenangan diatas terdapat tiga kewenangan baru yang dimiliki
lembaga praperadilan akibat putusan MK nomor 21/PUU-XII/2014 yaitu
mengenai sah tidaknya penetapan tersangka, penggeledahan dan penyitiaan.
Khusus wewenang sah tidaknya penetapan tersangka terlebih dulu timbul akibat
putusan hakim Sarpin pada praperadilan atas perkara komisaris jendral Budi
Gunawan. Fungsi pengawasan yang dilakukan oleh lembaga praperadilan pada
dasarnya terinspirasi dengan lembaga Rechter Commissaris di Negeri Belanda
maupun lembaga Judge d’Instruction yang terdapat di Perancis. Sedangkan dalam
sistem peradilan Anglo Saxon, lembaga praperadilan yang terdapat dalam
KUHAP identik dengan lembaga pre trial yang terdapat di Amerika Serikat yang
menerapkan prinsip Habeas Corpus yang menjelaskan bahwa di dalam masyarakat
yang beradab pemerintah harus selalu menjamin hak kemerdekaan seseorang.
Meskipun setelah kita cermati kewenangan praperadilan tidak seluas ketiga
lembaga diatas, namun tujuan dibentuknya ketiga lembaga tersebut sama, yaitu
menjamin tidak adanya pelanggaran hak asasi tersangka atau terduga maupun
terdakwa dari tindakan sewenangwenang negara melalui aparaturnya dengan
alasan penegakan hukum.
Seiring perkembangan zaman dan serta kuatnya arus gerakan hak asasi
manusia yang secara masif dan mendunia membawa implikasi pada banyaknya
kritik serta ketidakpuasan terhadap lembaga praperadilan. Minimnya kewenangan
lembaga praperadilan yang hanya mencakup beberapa upaya paksa ditambah
dengan permasalahan praktik yang ada semakin membawa lembaga praperadilan
pada “ambang batas”, sehingga harus diganti dengan lembaga baru atau
menambah kewenangannya agar sesusai dengan tujuan awal dibentuknya.
Beberapa kritik terhadap lembaga praperadilan yaitu mengenai pemeriksaan
sidang praperadilan, acara pembuktian sidang praperadilan dan minimnya
kewenagan lembaga praperadilan dalam melindungi hak tersangka atau terdakwa.
Pada saat ini sudah tiga puluh tahun lebih perjalanan Kitab UndangUndang
Hukum Acara Pidana yang merupakan ciptaan bangsa Indonesia menggantikan

4
HIR ciptaan pemerintah kolonial. Dalam perjalanan lebih sepertiga abad itu terjadi
kemajuan teknologi terutama di bidang komunikasi dan transpartasi yang
membawa akibat di bidang sasial, ekonomi, dan hukum termasuk hukum pidana.
Dunia terasa makin sempit dan globalisasi di bidang ekonomi, keuangan, dan
perdagangan memberi dampak pula di bidang hukum. Tidak satu negara pun
dapat menutup diri rapat-rapat dari perubahan tersebut. Tercipta banyak konvensi
intemasional yang telah diratifikasi oleh Indonesia seperti, United Nations
Convention Against Corrruption. International Convention Against Torture dan
International Covenant on Civil and Political Rights. Ikut pula hadir dalam
penyusunan Intemational Criminal Court. Semua konvensi tersebut lahir dan
diratifikasi sesudah KUHAP dan berkaitan langsung dengan hukum acara pidana.7
Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah membuat suatu RUU
KUHAP untuk menjawab tantangan perkembangan zaman tersebut. Salah satu
point penting dalam pembaharuan hukum acara pidana versi RUU KUHAP adalah
dimasukannya lembaga Hakim Pemeriksa Pendahuluan untuk menggantikan
lembaga praperadilan yang secara positif berlaku. Latar belakang yang mendasari
munculnya Hakim Pemeriksa Pendahuluan adalah untuk lebih melindungi
jaminan hak asasi manusia dalam proses pemidanaan dan menghindari
tertundanya proses pemidanaan akibat timbulnya selisih antara petugas penyidik
dari instansi yang berbeda. Peristiwa penangkapan dan penahanan yang tidak sah
merupakan pelanggaran serius terhadap hak asasi kemerdekaan dan kebebasan
orang. Penyitaan yang tidak sah merupakan pelanggaran serius terhadap hak milik
orang, dan penggeledahan yang tidak sah merupakan pelanggaran terhadap
ketentraman rumah tempat kediaman orang.8
Kebijakan rekonstruksi pengaturan Hakim Pemeriksa Pendahuluan
sebagaimana termuat di dalam RUU KUHAP mempunyai kewenangan eksekutif.
Kebijakan rekonstruksi pengaturan Hakim Pemeriksa Pendahuluan itu sendiri
adalah sesuatu yang menjadi garis besar dan dasar rencana atau arah tindakan
yang memilki maksud dan tujuan yang ditetapakan oleh suatu lembaga yang

7 Naskah akademik RUU KUHAP halaman 4


8 Dwi Nurahman, Kebijakan Rekonstruksi Pengaturan Hakim Pemeriksa Pendahuluan Dalam
KUHAP Tahun 2015, Jurnal Pranata Hukum Vol. 10 No. 2 Juli 2015, halaman 160

5
berwenang dalam pelaksanaan suatu pekerjaan, kepemimpinan dalam
pemerintahan serta dalam mengatasi suatu permasalahan atau suatu perubahan
atau pembaharuan di suatu negara. Selanjutnya kewenangan eksekutif dari Hakim
Pemeriksa Pendahuluan yaitu melakukan suatu konsultasi-konsultasi hukum
kepada penyidik dan penuntut umum dalam melakukan upaya paksa pada
penyidikan dan penuntutan. Hakim pemeriksa pendahuluan dalam pasal 111 RUU
KUHAP tahun 2012 memiliki kewenangan yang cukup luas meliputi : a) sah atau
tidaknya penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, atau penyadapan;
b) pembatalan atau penangguhan penahanan; c) bahwa keterangan yang dibuat
oleh tersangka atau terdakwa dengan melanggar hak untuk tidak memberatkan diri
sendiri; d) alat bukti atau pernyataan yang diperoleh secara tidak sah tidak dapat
dijadikan alat bukti; e) ganti kerugian dan/atau rehabilitasi untuk seseorang yang
ditangkap atau ditahan secara tidak sah atau ganti kerugian untuk setiap hak milik
yang disita secara tidak sah; f) tersangka atau terdakwa berhak untuk atau
diharuskan untuk didampingi oleh pengacara; g) bahwa penyidikan atau
penuntutan telah dilakukan untuk tujuan yang tidak sah; h) penghentian
penyidikan atau penghentian penuntutan yang tidak berdasarkan asas oportunitas;
i) layak atau tidaknya suatu perkara untuk dilakukan penuntutan ke pengadilan; j)
pelanggaran terhadap hak tersangka apapun yang lain yang terjadi selama tahap
penyidikan.
Dengan melihat wewenang tersebut nampak bahwa Hakim Pemeriksa
Pendahuluan memiliki kewenangan yang sangat luas dan penggunaan
wewenangnya berdasarkan pada inisiatif sendiri. Dengan hadirnya lembaga
Hakim pemeriksa pendahuluan diatas Pemerintah dan DPR berharap
permasalahan norma dan implementasi pada lembaga Praperadilan yang saat ini
secara positif berlaku dapat terpecahkan dan ditemukan solusinya terkhusus
mengenai perlindungan hak tersangka dalam proses peradilan pidana.
Hukum Pidana merupakan bagian dari ranah hukum publik. Hukum Pidana di
Indonesia diatur secara umum dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana
(KUHP), yang merupakan peninggalan zaman penjajahan Belanda. KUHP
merupakan lex generalis bagi pengaturan hukum pidana di Indonesia, dimana

6
asas-asas umum termuat dan menjadi dasar bagi semua ketentuan pidana yang
diatur di luar KUHP. Undang-undang Dasar 1945 sebagai landasan konstitusional
mengamanatkan asas setiap warga negara sama kedudukannya dalam hukum dan
pemerintahan. Hal ini tidak terbukti dengan adanya ketidakseimbangan antara
perlindungan hukum antara perlindungan korban kejahatan dengan pelaku
kejahatan karena masih sedikitnya hak-hak korban kejahatan diatur pada
perundang-undangan nasional. Segala aktivitas manusia dalam segala aspek
kehidupan sosial, politik, dan ekonomi dapat menjadi sebab terjadinya kejahatan.
Kejahatan akan selalu hadir dalam kehidupan ataupun lingkungan sekitar,
sehingga diperlukan upaya untuk menanganinya. Dengan upaya penanggulangan
kejahatan, diharapkan dapat menekan baik dari kualitas maupun kuantitasnya
hingga pada titik yang paling rendah sesuai dengan keadaannya.
Upaya untuk menekan kejahatan secara garis besar dapat dilalui dengan 2
(dua) cara yaitu, upaya penal (hukum pidana) dan non penal (di luar hukum
pidana). Penanggulangan kejahatan melalui jalur penal, lebih menitik beratkan
pada sifat represif (merupakan tindakan yang diambil setelah kejahatan terjadi).
Pada upaya non penal menitik beratkan pada sifat preventif (menciptakan
kebijaksanaan sebelum terjadinya tindak pidana).9 Setiap tindak pidana
menitikberatkan pada pelaku kejahatan atau pelaku tindak pidana, sedangkan
korban kejahatan seolah terlupakan dalam sistem peradilan pidana.
Jika dilihat dari aspek kerugian, korban tindak pidana biasanya mengalami
penderitaan fisik (mental), ekonomi, sosial dan yang lainnya. Kerugian yang
diderita oleh korban tindak pidana ini dapat berlangsung sangat lama di antaranya
mengalami sebuah trauma, hal tersebut juga dirasakan oleh pihak keluarga
korban. Kedudukan korban dalam Sistem Peradilan Pidana (SPP) saat ini belum
diberikan kedudukan yang adil sehingga keadaan ini menimbulkan 2 (dua) hal
yang fundamental, yaitu tiadanya perlindungan hukum bagi korban dan putusan
hakim yang tidak memenuhi rasa keadilan bagi korban, pelaku maupun
masyarakat luas. Kedudukan korban yang demikian oleh para viktimolog

9 Barda Nawawi, 1991, Upaya Non Penal dalam Penanggulangan Kejahatan, Semarang:
Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, hal. 1-2

7
memiliki beberapa istilah di antaranya forgotten man (manusia yang dilupakan),
forgotten person, invisible (orang yang dilupakan, tidak kelihatan), a second class
citizen, a second victimization (sebagai Warga Negara Kedua, jadi korban kedua
setelah yang pertama) dan double victimization.10
Umumnya pada perkara pidana, setiap korban tindak pidana hanya memiliki
tujuan untuk mempenjarakan pelaku tindak pidana, sehingga membuat korban
tidak menuntut kerugian lainnya. Akibat dari pandangan demikian ialah tindak
pidana hanya dipandang sebagai pelanggaran terhadap suatu tertib hukum. Pasal
14 c KUHP menjelakan syarat khusus berupa penggabungan ganti rugi bersama-
sama dengan hukuman yang dijatuhkan bersama terdakwa, hingga hakim dapat
menerapkan syarat khusus bahwa terpidana dalam waktu tertentu, yang lebih
pendek daripada masa percobaannya, harus mengganti segala atau sebagian
kerugian yang ditimbulkan oleh tindak pidana. Pasal ini menguntungkan korban,
akan tetapi tidak semua hakim menerapkan Pasal 14 c disebabkan ganti rugi
bukan merupakan wewenang hakim pidana. Pada Pasal 99 Ayat (1) Undang-
undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dijelaskan
apabila pihak yang dirugikan minta penggabungan perkara gugatannya pada
perkara pidana, maka pengadilan negeri menimbang tentang kewenangannya
untuk mengadili gugatan tersebut, tentang kebenaran dasar gugatan dan tentang
hukuman penggantian biaya yang telah dikeluarkan oleh pihak yang dirugikan
tersebut.11 Korban sebagai pihak yang dirugikan oleh suatu kejahatan, terisolasi
atau paling tidak kurang mendapat perhatian. Apalagi dengan meningkatnya
perhatian terhadap pembinaan narapidana yang sering ditafsirkan sebagai sesuatu
yang tidak berkaitan dengan pemenuhan kepentingan korban maka tidak

10Anna Shapland, Jon Willmore, Peter Duff, 1985, Victim In The Criminal Justive
System, Series Editor: A.E. Bottons, Published by Gower Publishing Company Limited, Gower
House, croft Road, Aldershot, Hant Gu 3 HR, England, hal. 1 dan 496
11 Pasal 99 KUHAP (1) “Apabila pihak yang dirugikan minta penggabungan perkara
gugatannya pada perkara pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98, maka pengadilan negeri
menimbang tentang kewenangannya untuk mengadili gugatan tersebut, tentang kebenaran dasar
gugatan dan tentang hukuman penggantian biaya yang telah dikeluarkan oleh pihak yang telah
dirugikan tersebut”

8
mengherankan apabila perhatian terhadap korban semakin jauh dari peradilan
pidana.12

Berlakunya Hukum Pidana Menurut Tempat


Pembentuk undang-undang dapat menetapkan ruang berlakunya undang-
undang yang dibuatnya. Pembentuk undang-undang pusat dapat menentukan
ruang berlakunya undang-undang pidana terhadap tindak-tindak pidana yang
terjadi di dalam atau di luar wilayah Negara sedang pembentuk undang-undang di
daerah hanya terbatas pada daerahnya masing-masing. Wilayah suatu Negara itu
hanya pengertian dalam hokum tata Negara. Wilayah suatu Negara meliputi : 1.
Daratan Negara, 2. Peraiaran laut territorial yang lebarnya ditentukan oleh hukum
internasional, 3.udara yang ada di atas wilayah Negara itu.
Mengenai ruang berlakunya  peraturan-peraturan pidana menurut tempatnya
dapat disebutkan beberapa azas sebagai berikut yaitu : Asas
Territorial (territorialiteits-beginsel) atau asas wilayah Negara, 2) Asas
Personal (personaliteits-beginsel) atau asas kebangsaan, asas nasional aktif atau
asas subyektif, 3) Asas perlindungan   (bescermings-beginsel) atau asas nasional
pasif, 4) Asas universal (universaliteits-beginsel) atau asas persamaan.
1)    Asas Teritorial
Azas ini terdapat dalam pasal 2 KUHP, yang berbunyi :“aturan pidana dalam
undang-undang Indonesia berlaku bagi setiap orang yang melakukan sesuatu
tindak pidana di wilayah Indonesia.” Setiap orang disini berarti baik orang
Indonesia maupun orang asing yang melakukan tindak pidana. Dalam melakukan
tindak pidana itu, orang tidak perlu berada di wilayah Indonesia. Seseorang yang
berada diluar negeri dapat pula melakukan delik di Indonesia. Hal ini adalah
persoalan mengenai “tempat terjadinya delik”.
Azas territorial ini diperluas dengan ketentuan yang terdapat dalam pasal 3
KUHP, yang menyatakan bahwa “peraturan pidana Indonesia dapat diterapkan
pada setiap orang yang berada diluar negeri yang melakukan suatu tindak pidana

12 Steen Schafer, 1980, Compensation and Restitution On Victims of Crime, New Jersey,
Montclair, hal. 8.

9
dalam perahu Indonesia.” Pasal ini merupakan luasnya kekuasaan undang-undang
pidana Republik Indonesia berlaku kepada siapa dan dimana. Dalam hal ini
dikecualikan orang-orang bangsa Asing yang menurut hokum internasional diberi
hak “exterritorialiteit”, tidak boleh diganggu-gugat, sehingga ketentuan-ketentuan
pidana Indonesia tidak berlaku kepadanya dan mereka itu hanya tunduk kepada
undang-undang pidana negaranya sendiri. Mereka itu ialah misalnya: a).  Para
kepala Negara asing yang berkunjung di Indonesia dengan sepengetahuan
pemerintah kita; b) Para korps diplomatik Negara-negara asing seperti
ambassador, duta istimewa, dan lain sebagainya; c) Para konsul seperti konsul
Djenderal, konsul, wakil konsul dan agen konsul apabila memang ada perjanjian
antara pemerintah Indonesia dengan Negara asing yang saling mengakui adanya
hak tidak boleh diganggu-gugat (immuniteit diplomatic) untuk para konsul
negaranya masing-masing; d.   Pasukan-pasukan tentara asing dan para anak
buahkapal-kapal perang asing yang ada di bawah pimpinan langsung dari
komandonya, yang dating di Indonesia atau melalui wilayah Indonesia atau
melalui wilayah Indonesia dengan setahu pemerintah kita; e.   Para wakil dari
badan-badan internasional seperti para utusan perserikatan bangsa-bangsa, palang
merah internasional dan lain-lainnya.
Dasar berlakunya hukum adalah tempat  atau wilayah negara tanpa
mempersoalkan kualitas atau kewarganegaraan siapapun yang melakukan tindak
pidana. Wilayah indonesia : Keputusan konstituante no. 47/k/1957 — wilayah
bekas hindia belanda dulu menurut keadaan pada saat perang pasifik. UU No.
4/PRP tahun 1960 tentang perairan Indonesia ---- batas-batas teritorial Indonesia
lebarnya 12 mil dari titik-titik terluar dari pulau Indonesia. Wilayah udara adalah
wilayah di atas daratan dan laut Indonesia. “Dalam Indonesia” berarti di seluruh
daratan wilayah Indonesia dengan ruangan udara di atas daratan itu, termasuk pula
lautan sepanjang pantai sejauh 3 mil (3X1851,50 m) diukur dari pantai waktu air
surut, yang biasa disebut laut territorial. Diperluas dalam pasal 3 kuhp :
“ketentuan pidana dalam perundang-undangan indonesia berlaku bagi setiap
orang yang di luar wilayah indonesia melakukan tindak pidana di dalam
kendaraan air atau pesawat udara Indonesia.”

10
Ini merupakan pengeluasan dari apa yang ditentukan dalam pasal 2, ialah
bahwa ketentuan-ketentuan pidana Indonesia juga berlaku diluar wilayah
Indonesia, akan tetapi orang itu harus berbuat tindak pidana dalam kendaraan air
atau pesawat udara Indonesia. Yang dimaksud dengan kendaraan air Indonesia
ialah kapal atau perahu Indonesia, lihatlah ketentuan dalam Pasal 95 KUHP, dan
yang dimaksud dengan pesawat udara Indonesia lihtalah pasal 95a KUHP. contoh
kasus: pembunuhan Munir yang terjadi di pesawat garuda,dimana saat itu beliau
sedang terbang ke amsterdam, namun karena beliau meninggal di pesawat
indonesia, maka hukum yang berlaku saat itu adalah hukum indonesia, dan
pelakunya diadili di indonesia.
2)   Asas Personal (personaliteits-beginsel) atau asas kebangsaan, asas
nasional aktif atau asas subyektif
Asas ini mengatakan bahwa peraturan hukum pidana Indonesia berlaku bagi
setiap warga Negara Indonesia yang melakukan tindak pidana baik dalam negeri,
maupun di luar negeri. Seakan-akan asas ini berkata bahwa peraturan undan-
undang pidana itu bergantung atau mengikuti subyek hukum atau orangnya yakni
warga negara di manapun keberadaannya (nasional aktif).
Asas Personal atau Asas Nasional yang aktif tidak mungkin digunakan
sepenuhnya terhadap warga Negara yang sedang berada dalam wilayah Negara
lain yang kedudukannya sama-sama berdaulat. Apabila ada warga Negara asing
yang berada dalam suatu wilayah Negara telah melakukan tindak pidana dan
tindak pidana dan tidak diadili menurut hokum Negara tersebut maka berarti
bertentangan dengan kedaulatan Negara tersebut. Pasal 5 KUHP hukum Pidana
Indonesia berlaku bagi warga Negara Indonesa di luar Indonesia yang melakukan
perbuatan pidana tertentu Kejahatan terhadap keamanan Negara, martabat kepala
Negara, penghasutan, dll.
Pasal 5 KUHP menyatakan :
“(1). Ketetentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia diterapkan
bagi warga Negara yang di luar Indonesia melakukan : salah satu kejahatan yang
tersebut dalam Bab I dan Bab II Buku Kedua dan Pasal-Pasal 160, 161, 240, 279,
450 dan 451. Salah satu perbuatan yang oleh suatu ketentuan pidana dalam

11
perundang-undangan Indonesia dipandang sebagai kejahatan, sedangkan menurut
perundang-undangan Negara dimana perbuatan itu dilakukan diancam dengan
pidana. (2). Penuntutan perkara sebagaimana dimaksud dalam butir 2 dapat
dilakukan juga jika terdakwa menjadi warga Negara sesudah melakukan
perbuatan”. Sekalipun rumusan pasal 5 ini memuat perkataan “diterapkan bagi
warga Negara Indonesia yang diluar wilayah Indonesia”’, sehingga seolah-olah
mengandung asas personal, akan tetapi sesungguhnya pasal 5 KUHP memuat asas
melindungi kepentingan nasional (asas nasional pasif)karena :
Ketentuan pidana yang diberlakukan bagi warga Negara diluar wilayah
territorial wilyah Indonesia tersebut hanya pasal-pasal tertentu saja, yang
dianggap penting sebagai perlindungan terhadap kepentingan nasional. Sedangkan
untuk asas personal, harus diberlakukan seluruh perundang-undangan hukum
pidana bagi warga Negara yang melakukan kejahatan di luar territorial wilayah
Negara.
Ketentuan pasal 5 ayat (2) adalah untuk mencegah agar supaya warga Negara
asing yang berbuat kejahatan di Negara asing tersebut, dengan jalan menjadi
warga Negara Indonesia (naturalisasi). Bagi Jaksa maupun hakim Tindak Pidana
yang dilakukan di negara asing tersebut, apakah menurut undang-undang disana
merupakan kejahatan atau pelanggaran, tidak menjadi permasalahan, karena
mungkin pembagian tindak pidananya berbeda dengan di Indonesia, yang penting
adalah bahwa tindak pidana tersebut di Negara asing tempat perbuatan dilakukan
diancam dengan pidana, sedangkan menurut KUHP Indonesia merupakan
kejahatan, bukan pelanggaran.
Ketentuan pasal 6 KUHP : “ Berlakunya pasal 5 ayat (1) butir 2 dibatasi
sedemikian rupa sehingga tidak dijatuhkan pidana mati, jika menurut perundang-
undangan Negara dimana perbuatan dilakukan terhadapnya tidak diancamkan
pidana mati”.
Latar belakang ketentuan pasal 6 ayat (1) butir 2 KUHP adalah untuk
melindungi kepentingan nasional timbal balik (mutual legal assistance). Oleh
karena itu menurut Moeljatno, sudah sewajarnya pula diadakan imbangan pulu
terhadap maksimum pidana yang mungkin dijatuhkan menurut KUHP Negara

12
asing tadi. contoh: kasus siti aisyah yang merupakan warga negara indonesia
namun dia melakukan tindak pidana di malaysia,kemudian dia diadili di
malaysia,berhubung negara malaysia tidak ada perjanjian extradisi,maka siti
aisyah diadili di malaysia,namun jika ada maka siti aisyah bisa dideportasi dan
diadili di indonesia.

3)   Asas Perlindungan
Sekalipun asas personal tidak lagi digunakan sepenuhnya tetapi ada asas lain
yang memungkinkan diberlakukannya hukum pidana nasional terhadap perbuatan
pidana yang terjadi di luar wilayah Negara
Pasal 4 KUHP (seteleh diubah dan ditambah berdasarkan Undang-undang
No. 4 Tahun 1976). “Ketentuan pidana dalam perundang-undangan  Indonesia
diterapkan bagi setiap orang yang melakukan di luar Indonesia : 1.   Salah satu
kejahatan berdasarkan pasal-pasal 104, 106, 107, 108 dan 131; 2.   Suatu
kejahatan mengenai mata uang atau uang kertas yang dikeluarkan oleh Negara
atau bank, ataupun mengenai materai yang dikeluarkan dan merek yang
digunakan oleh Pemerintah Indonesia; 3.   Pemalsuan surat hutang atau sertifikat
hutang atas tanggungan suatu daerah atau bagian daerah Indonesia, termasuk pula
pemalsuan talon, tanda deviden atau tanda bunga yang mengikuti surat atau
sertifikat itu, dan tanda yang dikeluarkan sebagai pengganti surat tersebut atau
menggunakan surat-surat tersebut di atas, yang palsu atau dipalsukan, seolah-olah
asli dan tidak palsu; 4.   Salah satu kejahatan yang disebut dalam Pasal-pasal 438,
444 sampai dengan 446 tentang pembajakan laut dan pasal 447 tentang
penyerahan kendaraan air kepada kekuasaan bajak laut dan pasal 479 huruf j
tentang penguasaan pesawat udara secara melawan hukum, pasal 479 l, m, n dan o
tentang kejahatan yang mengancam keselamatan penerbangan sipil.  
Dalam pasal 4 KUHP ini terkandung asas melindungi kepentingan yaitu
melindungi kepentingan nasional dan melindungi kepentingan internasional
(universal). Pasal ini menentukan berlakunya hukum pidana nasional bagi setiap
orang (baik warga Negara Indonesia maupun warga negara asing) yang di luar
Indonesia melakukan kejahatan yang disebutkan dalam pasal tersebut.  Dikatakan

13
melindungi kepentingan nasional karena pasal 4 KUHP ini memberlakukan
perundang-undangan pidana Indonesia bagi setiap orang yang di luar wilayah
Negara Indonesia melakukan perbuatan-perbuatan yang merugikan kepentingan
nasional, yaitu :
1. Kejahatan terhadap keamanan Negara dan kejahatan terhadap martabat /
kehormatan Presiden Republik Indonesia dan Wakil Presiden Republik
Indonesia (pasal 4 ke-1)
2. Kejahatan mengenai pemalsuan mata uang atau uang kertas Indonesia atau
segel / materai dan merek yang digunakan oleh pemerintah Indonesia (pasal 4
ke-2)
3. Kejahatan mengenai pemalsuan surat-surat hutang atau sertifkat-sertifikat
hutang yang dikeluarkan oleh Negara Indonesia atau bagian-bagiannya (pasal 4
ke-3)
4. Kejahatan mengenai pembajakan kapal laut Indonesia dan pembajakan pesawat
udara Indonesia (pasal 4 ke-4)
5. Asas Universal (universaliteits-beginsel) atau asas persamaan
Berlakunya pasal 2-5 dan 8 KUHP dibatasi oleh pengecualian-pengecualian
dalam hukum internasional. Bahwa asas melindungi kepentingan internasional
(asas universal) adalah dilandasi pemikiran bahwa setiap Negara di dunia wajib
turut melaksanakan tata hukum sedunia (hukum internasional).
Dikatakan melindungi kepentingan internasional (kepentingan universal)
karena rumusan pasal 4 ke-2 KUHP (mengenai kejahatan pemalsuan mata uang
atau uang kertas) dan pasal 4   ke-4 KUHP (mengenai pembajakan kapal laut dan
pembajakan pesawat udara) tidak menyebutkan mata uang atau uang kertas
Negara mana yang dipalsukan atau kapal laut dan pesawat terbang negara mana
yan dibajak. Pemalsuan mata uang atau uang kertas yang dimaksud dalam pasal 4
ke-2 KUHP menyangkut mata uang atau uang kertas Negara Indonesia, akan
tetapi juga mungkin menyangkut mata uang atau uang kertas Negara asing.
Pembajakan kapal laut atau pesawat terbang yang dimaksud dalam pasal 4 ke-4
KUHP dapat menyangkut kapal laut Indonesia atau pesawat terbang Indonesia,
dan mungkin juga menyangkut kapal laut atau pesawat terbang Negara asing.

14
Jika pemalsuan mata uang atau uang kertas, pembajakan kapal, laut atau
pesawat terbang adalah mengenai kepemilikan Indonesia, maka asas yang berlaku
diterapkan adalah asas melindungi kepentingan nasional (asas nasional pasif). Jika
pemalsuan mata uang atau uang kertas, pembajakan kapal laut atau pesawat
terbang adalah mengenai kepemilikan Negara asing, maka asas yang berlaku
adalah asas melindungi kepentingan internasional (asas universal).
Pasal 7 KUHP :
“Ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia berlaku bagi setiap
pejabat yang di luar Indonsia melakukan salah satu tindak pidana sebagaimana
dimaksudkan dalam Bab XXVIII Buku Kedua”. Pasal ini mengenai kejahatan
jabatan yang sebagian besar sudah diserap menjadi tindak pidana korupsi. Akan
tetapi pasal-pasal tersebut (pasal 209, 210, 387, 388, 415, 416, 417, 418, 419, 420,
423, 425, 435) telah dirubah oleh Undang-undang No. 20 Tahun 2001 tentang
perubahan atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi dengan rumusan tersendiri sekalipun masih menyebut unsur-unsur yang
terdapat dalam masing-masing pasal KUHP yang diacu. Dalam hal demikian
apakah pasal 7 KUHP masih dapat diterapkan ? untuk masalah tersebut harap
diperhatikan pasal 16 UU No. 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi yang berbunyi : “setiap orang di luar wilayah Negara republik
Indonesia yang memberikan bantuan, kesempatan, sarana atau keterangan untuk
terjadinya tindak pidana korupsi dipidana dengan pidana yang sama sebagai
pelaku tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam pasal 2, pasal 3,
pasal 5 sampai dengan pasal 14”.
Pasal 8 KUHP :
“Ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia berlaku nahkoda
dan penumpang perahu Indonesia, yang di luar Indonesia, sekalipun di luar
perahu, melakukan salah satu tindak pidana sebagaimana dimaksudkan dalam Bab
XXIX Buku Kedua  dan Bab IX buku ketiga, begitu pula yang tersebut dalam
peraturan mengenai surat laut dan pas kapal di Indonesia, maupun dalam
ordonansi perkapalan”.

15
Dengan telah diundangkannya tindak pidana tentang kejahatan penerbangan
dan kejahatan terhadap sarana / prasarana penerbangan berdasarkan UU No. 4
Tahun 1976 yang dimasukkan dalam KUHP pada Buku Kedua Bab XXIX A.
pertimbangan lain untuk memasukkan Bab XXIX A Buku Kedua ke dalam pasal
8 KUHP adalah juga menjadi kenyataan bahwa kejahatan penerbangan sudah
digunakan sebagai bagian dari kegiatan terorisme yang dilakukan oleh kelompok
terorganisir pasal 9 KUHP.
Diterapkannya pasal-pasal 2-5-7 dan 8 dibatasi oleh pengecualian-
pengecualian yang diakui dalam hukum-hukum internasional. Menurut Moeljatno,
pada umumnya pengecualian yang diakui meliputi : 1) Kepala Negara beserta
keluarga dari Negara sahabat, dimana mereka mempunyai hak eksteritorial.
Hukum nasional suatu Negara tidak berlaku bagi mereka, 2) Duta besar Negara
asing beserta keluarganya meeka juga mempunyai hak eksteritorial, 3) Anak buah
kapal perang asing yang berkunjung di suatu Negara, sekalipun ada di luar kapal.
Menurut hukum internasional kapal perang adalah teritoirial Negara yang
mempunyainya., 4) Tentara Negara asing yang ada di dalam wilayah Negara
dengan persetujuan Negara itu.

Kesimpulan
Hukum perdata adalah hukum yang mengatur hubungan antar perorangan di
dalam masyarakat. Hukum perdata dalam arti luas adalah bahan hokum
sebagaimana tertera dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW), Kitab
Undang-Undang hukum dagang (WVK) beserta sejumlah undang-undang yang
disebut undang-undang tambahan lainnya. Hokum perdata dalam arti sempit
adalah hokum perdata sebagaimana terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata (BW). Subekti mengatakan hokum Perdata dalam arti luas meliputi semua
hokum privat materiil, yaitu segala hokum pokok yang mengatur kepentingan
perseorangan. Hukum perdata adakalanya dipakai dalam arti sempit sebagai lawan
hokum dagang. Dalam penyelesaian perkara pidana, sering kali hukum terlalu
mengedepankan hak-hak tersangka atau terdakwa, sedangkan hak-hak korban

16
diabaikan, salah satunya ialah hak ganti kerugian yang merupakan suatu hak yang
mengharuskan seseorang yang telah bertindak merugikan orang lain untuk
membayar sejumlah uang ataupun barang pada orang yang dirugikan, sehingga
kerugian yang telah terjadi dianggap tidak pernah terjadi. Ganti kerugian
sebenarnya merupakan ranah hukum perdata, akan tetapi untuk mewujudkan asas
peradilaan sederhana, cepat, dan berbiaya ringan ganti kerugian ini dapat
digabungkan dengan pemeriksaan pidana.13 Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1981 tentang Hukum Acara Pidana pada Pasal 98 Ayat (1) menjelaskan; “Jika
suatu perbuatan yang menjadi dasar dakwaan di dalam suatu pemeriksaan perkara
pidana oleh pengadilan negeri menimbulkan kerugian bagi orang lain, maka
hakim ketua sidang atas permintaan orang itu dapat menetapkan untuk
menggabungkan perkara gugatan ganti kerugian kepada perkara pidana itu”. Ayat
(2) menjelaskan; “Permintaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat
diajukan selambat-lambatnya sebelum penuntut umum mengajukan tuntutan
pidana. Dalam hal penuntut umum tidak hadir, permintaan diajukan selambat-
lambatnya sebelum hakim menjatuhkan putusan”
Hukum Pidana merupakan bagian dari ranah hukum publik. Hukum Pidana di
Indonesia diatur secara umum dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana
(KUHP), yang merupakan peninggalan zaman penjajahan Belanda. KUHP
merupakan lex generalis bagi pengaturan hukum pidana di Indonesia, dimana
asas-asas umum termuat dan menjadi dasar bagi semua ketentuan pidana yang
diatur di luar KUHP. Dari dapat disimpulkan bahwa ruang berlakunya  peraturan-
peraturan pidana menurut tempatnya dapat disebutkan beberapa azas sebagai
berikut yaitu :
1. Asas Territorial (territorialiteits-beginsel) atau asas wilayah Negara;
Asas ini terdapat dalam dalam pasal 2 KUHP, yaiyu yang berbunyi : “aturan
pidana dalam undang-undang Indonesia berlaku bagi setiap orang yang
melakukan sesuatu tindak pidana di wilayah Indonesia.” Setiap orang disini
berarti baik orang Indonesia maupun orang asing yang melakukan tindak pidana.

13 Muchamad Iksan, 2012, Hukum Perlindungan Saksi dalam Sistem Peradilan Pidana,
Surakarta Muhammadiyah University Press , hal. 156

17
Dalam melakukan tindak pidana itu, orang tidak perlu berada di wilayah
Indonesia. Seseorang yang berada diluar negeri dapat pula melakukan delik di
Indonesia. Hal ini adalah persoalan mengenai “tempat terjadinya delik”.
2. Asas Personal (personaliteits-beginsel) atau asas kebangsaan, asas nasional
aktif atau asas subyektif;
Asas ini mengatakan bahwa peraturan hukum pidana Indonesia berlaku bagi
setiap warga Negara Indonesia yang melakukan tindak pidana baik dalam negeri,
maupun di luar negeri. Terdapat dalam pasal 5 KUHP, dan di perlunak oleh pasal
6 KUHP.
3. Asas Perlindungan (bescermings-beginsel) atau asas nasional pasif;
Berlakunya hukum pidana didasarkan atas kepentingan hukum suatu negara
yang dilanggar di luar wilayah Indonesia. Ketentuan hukum pidana indonesia
dapat diberlakukan terhadap wni maupun wna baik di dalam maupun di luar
wilayah Indonesia untuk melindungi kepentingan hukum Indonesia seperti yang
di sebut pasal 4 KUHP. Pasal 4 KUHP adalah jenis kejahatan yang mengancam
kepentingan hukum Indonesia yang mendasar, berupa keamanan dan keselamatan
negara, perekonomian Indonesia, serta sarana dan prasarana angkutan Indonesia
4. Asas Universal (universaliteits-beginsel) atau asas persamaan.
Asas berlakunya hukum pidana yang didasarkan atas kepentingan hukum
Internasional yang dilanggar oleh suatu perbuatan. Berdasarkan ketentuan ini,
maka ketentuan hukum pidana indonesia dapat berlaku terhadap setiap WNI
ataupun WNA, baik di dalam wilayah maupun di luar wilayah Indonesia.
Terutama pasal 4 (2), 4 (3) dan 4 (4) KUHP.

B. Hukum Acara Perdata


Hukum perdata adalah hukum yang mengatur hubungan antar perorangan
di dalam masyarakat. Hukum perdata dalam arti luas meliputi semua hukum
privat materil dan dapat juga dikatakan sebagai lawan dari hukum pidana.
Pengeertian hukum privat (hukum perdana materil) adalah hukum yang memuat
segala peraturan yang mengatur hubungan antar perorangan didalam masyarakat
dalam kepentingan dari masing-masing orang yang bersangkutan. Selain ada

18
hukum privat materil, ada juga hukum perdata formil yang lebih dikenal dengan
HAP (hukum acara perdata) atau proses perdata yang artinya hukum yang memuat
segala peraturan yang mengatur bagaimana caranya melaksanakan praktek di
lingkungan pengadilan perdata. Secara terminologis, istilah hukum perdata
didefinisikan secara beragam sesuai perspektif atau sudut pandang terhadap
hukum perdata itu sendiri. Antara lain:
Pertama, HFA. Vollmar: aturan-aturan atau norma-norma yang memebrikan
pembatasan dan oleh karenanya memebrikan perlindungan pada kepentingan
perseorangan dalam perbandingan yang tepat antara kepentingan yang satu
dengan yang lainnya dari orang-orang dalam suatu masyarakat tertentu terutama
yang mengenai hubungan keluarga dan hubungan lalu lintas. Kedua, Sudikno
Mertokusumo : hukum antara perorangan yang mengatur hak dan kewajiban
perorangan yang satu terhadap yang lain di dalam hubungan keluarga dan di
dalam pergaulan masyarakat yang pelaksanannya diserahkan masing-masing
pihak. Ketiga, Salim HS: keseluruhan kaidah-kaidah hukum (tertulis/tidak
tertulis) yang mengatur hubungan antara subyek hukum satu dengan subyek
hukum yang lain dalam hubungan kekeluargaan dan dalam pergaulan
kemasyarakatan. Keempat, Titik Triwulan Tutik : hukum perdata adalah aturan
yang memenuhi unsur-unsur sebagai berikut : 1) Adanya kaidah hukum baik
tertulis maupun tidak tertulis, 2) Mengatur hubungan hukum antara subjek hukum
yang satu dengan subjek hukum yang lain, 3) Bidang hukum yang diatur dalam
hukum perdata, meliputi: hukum orang, hukum keluarga, hukum benda dan
sebagainya.14

B.    Sumber Hukum Perdata


Sumber hukum adalah segala sesuatu yang menimbulkan aturan-aturan yang
mempunyai kekuatan yang bersifat memaksa, yakni aturan-aturan yang kalau
dilanggar mengakibatkan timbulnya sanksi yang tegas dan nyata. 15 Sumber hukum

14 Eva Achjani Zulfa, Pergeseran Paradigma Pemidaan (Bandung: Lubuk Agung 2011),
hlm. 2.
15 A. Siti Soetami, Pengantar Tata Hukum Indonesia, (Bandung : PT Refika Aditama,
2007), hlm. 9.

19
perdata adalah asal mula hukum perdata atau tempat dimana hukum perdata di
temukan.16
Volamar membagi sumber hukum perdata menjadi empat macam. Yaitu
KUHperdata, traktat, yurisprudensi, dan kebiasaan. Dari keempat sumber tersebut
dibagi lagi menjadi dua macam, yaitu sumber hukum perdata tertulis dan tidak
tertulis. Yang dimaksud dengan sumber hukum perdata tertulis yaitu tempat
ditemukannya kaidah-kaidah hukum perdata yang berasal dari sumber tertulis.
Umumnya kaidah hukum perdata tertulis terdapat di dalam peraturan perundang-
undangan, traktat, dan yurisprudensi. Sumber hukum perdata tidak tertulis adalah
tempat ditemukannya kaidah hukum perdata yang berasal dari sumber tidak
tertulis. Seperti terdapat dalam hukum kebiasaan. Yang menjadi sumber perdata
tertulis yaitu:
1. AB (algemene bepalingen van Wetgeving) ketentuan umum permerintah
Hindia Belanda
2. KUHPerdata (BW)
3. KUH dagang
4. UU No 1 Tahun 1974
5. UU No 5 Tahun 1960 Tentang Agraria.

Hukum acara perdata bisa disebut juga dengan hukum acara perdata formil.
Sebutan hukum acara perdata lebih lazim dipakai daripada hukum perdata formil.
Hukum acara perdata atau hukum perdata formil merupakan bagian dari hukum
perdata. Karena, disamping hukum acara perdata formil juga ada hukum perdata
materiil. Hukum perdata materiil ini lazimnya disebut hukum perdata saja. Yang
dimaksud dengan hukum perdata formil atau hukum acara perdata adalah
peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang pelaksanaan sanksi
hukuman terhadap para pelanggar hakhak keperdataan sesuai hukum materiil
mengandung sanksi yang sifatnya memaksa.17 Sudikno Mertokusumo, dalam
bukunya Hukum Acara Perdata Indonesia menyatakan bahwa hukum acara
perdata adalah keseluruhan peraturan yang bertujuan melaksanakan dan

16 Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, (Bandung : PT Citra Aditya


Bakti, 2014), hlm. 13.
17 Sarwono. 2011. Hukum Acara Perdata Teori dan Praktik, Cetakan ke I. Jakarta: Sinar
Grafika, hlm. 3.

20
mempertahankan atau menegakkan hukum materiil dengan perantaraan kekuasaan
negara. Meliputi baik perkara yang mengandung sengketa (contentieus) maupun
yang tidak mengandung sengketa (voluntair). 18
Dalam mengajukan perkara di Pengadilan Agama, baik perkara gugatan atau
perkara yang mengandung sengketa, maupun permohonan atau perkara yang tidak
mengandung sengketa, pihak yang mengajukan perkara tersebut harus betul-betul
memperhatikan, apakah perkara yang diajukan sudah memenuhi syarat formil
maupun materiil. Perkara yang sudah memenuhi syarat tersebut, dapat
disidangkan oleh majelis hakim berdasarkan penetapan dari Ketua Pengadilan
Agama. Setiap tahapan tersebut harus di tulis di dalam berita acara persidangan.
Karena hubungan hukum antara putusan dan berita acara persidangan merupakan
satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Sehingga berita acara persidangan menjadi
sumber rujukan maupun patokan dalam menguji kebenaran pertimbangan putusan
yang dijatuhkan. Putusan yang baik harus bersandar kepada berita acara
persidangan.
Dalam suatu prosedur persidangan, sesuai dengan peraturan yang berlaku,
maka diakhir persidangan akan ada penetapan putusan dari majelis hakim yang
menangani perkara tersebut. Penetapan tersebut bisa berupa dikabulkannya suatu
permohonan atau malah ditolaknya suatu permohonan. Dalam hukum acara
perdata, putusan pengadilan dapat berupa tiga hal, yaitu, gugatan dikabulkan,
gugatan ditolak, dan gugatan tidak dapat diterima. Gugatan dikabulkan, menurut
M. Yahya Harahap, dikabulkannya suatu gugatan adalah dengan syarat bila dalil
gugatannya dapat dibuktikan oleh penggugat sesuai dengan alat bukti
sebagaimana diatur dalam Pasal 1865 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Gugatan ditolak, dalam bukunya, Hukum Acara Perdata, M. Yahya Harahap
menyebutkan bahwa bila penggugat dianggap tidak berhasil membuktikan dalil
gugatannya (tidak terbukti), akibat hukum yang harus ditanggungnya atas tidak
terbukti dalil gugatannya adalah gugatannya mesti ditolak seluruhnya.19

18 Sudikno Mertokusumo. 2002. Hukum Acara Perdata Indonesia. Yogyakarta: Liberty,


hlm. 67.
19Yahya Harahap. 2008. Hukum Acara Perdata. Jakarta: Sinar Garfika. hlm. 5.

21
Gugatan tidak dapat diterima, dijelaskan pula oleh Yahya Harahap, bahwa
ada berbagai cacat formil yang mungkin melekat pada gugatan, antara lain,
gugatan tidak memiliki dasar hukum, gugatan error in persona, gugatan obscuur
libel, gugatan melanggar yurisdiksi (kompetensi) absolut atau relatif, gugatan
nebis in idem. Nebis in idem adalah suatu larangan pengajuan gugatan untuk yang
kedua kalinya dalam perkara yang sama. Nebis in idem diatur dalam pasal 1917
BW. dinyatakan bahwa suatu putusan hakim yang telah memperoleh kekuatan
mutlak tidaklah lebih luas daripada sekadar soalnya putusan. Suatu gugatan dapat
dinyatakan nebis in idem dalam hal telah ada putusan berkekuatan hukum tetap
sebelumnya yang memutus perkara yang sama, dengan pihak yang sama, alasan
yang sama, dan pengadilan yang sama. Berkaitan dengan azas nebis in idem,
Mahkamah Agung mengeluarkan Surat Edaran No. 3 Tahun 2002, tentang
Penanganan Perkara yang Berkaitan dengan Azas Nebis In Idem, bahwa agar azas
nebis in idem dapat terlaksana dengan baik dan demi kepastian bagi pencari
keadilan dengan menghindari adanya putusan yang berbeda, maka proses di
Pengadilan yang sama: 1. Panitera harus cermat memeriksa berkas perkara dan
melaporkan kepada Ketua Pengadilan apabila terdapat perkara serupa yang telah
diputus di masa lalu; 2. Ketua Pengadilan wajib memberi catatan untuk Majelis
Hakim mengenai keadaan tersebut; 3. Majelis Hakim wajib mempertimbangkan
baik pada putusan eksepsi maupun pada pokok perkara, mengenai perkara serupa
yang pernah diputus di masa lalu. Suatu putusan hakim juga tidak luput dari
kekeliruan atau kekhilafan, bahkan tidak mustahil bersifat memihak. Maka, demi
keadilan dan kebenaran, setiap putusan, hakim perlu untuk memeriksa ulang agar
kekeliruan atau kekhilafan tidak terjadi, agar putusan tersebut dapat diperbaiki.
Bagi setiap putusan hakim pada umumnya tersedia “upaya hukum“ yaitu upaya
atau alat untuk mencegah atau memperbaiki kekeliruan dalam suatu putusan.20

C. Sistem Hukum Perdata Di Indonesia


Istilah “hukum perdata” (privaat recht) dipakai sebagai lawan dari istilah
“hukum oublik” (publiekrecht). Yang dimaksud dengan hukum perdata adalah

20 Roihan A. Rasyid. 1998. Hukum Acara Peradilan Agama, Cetakan ke VI. Jakarta:
Raja Grafindo Persada, hlm. 53.

22
seperangkat/kaidah hukum yang mengatur perbuatan atau hubungan antara
manusia/ badan hukum perdata untuk kepentingan para pihak sendiri dan pihak-
pihak lain yang bersangkutan dengannya. Tanpa melibatkan kepentingan
public/umum/masyarakat yang lebih luas. Karena itu, hukum perdata tidak
tergolong ke dalam hukum public di mana hukum public menyangkut dengan
kepentingan umum.
Hukum perdata di Indonesia bersumber dari:
1. Undang-undang. Ini adalah sumber sangat penting dari hukum perdata di
Indonesia, yanh antara lain terdiri dari :
a. Kitab undang-undang Hukum Perdata (sebagai sumber utama).
b. Berbagai undang – undang lainnnya, seperti :
1) Undang-undang pokok Agraria.
2) Undang-undang perkawinan.
3) Undang-undang Hak Tanggungan.
4) Undang-undang Tenaga Kerja.
c. Berbagai peraturan perundang-undangan yang tingkatannya dibawah
undang-undang.
2. Hukum adat.
3. Hukum Islam.
4. Hukum agama lain selain islam.
5. Yurisprudensi.
6. Perjanjian yang dibuat antara para pihak.
7. Pendapat ahli.
8. Traktat. Khususnya yang berkenaan dengan perdata Internasional.
Hukum perdata yang berlaku bagi rakyat Indonesia berbeda-beda semula,
dengan berlakunya ketentuan di zaman belanda (pasal 131) juncto pasal 163 IS),
maka hukum (termasuk hukum perdata) yang berlakunya bagi bangsa Indonesia
adalah sebagai berikut :
1. Bagi golongan Eropa dan timur asing tionghoa, berlaku KUH Perdata. Akan
tetapi kemudian, sesuai dengan perkembangan dalam yurispudensi, maka
banyak ketentuan KUH Perdata berlaku bagi semua penduduk Indonesia tanpa

23
melihat golongan asal usul mereka. Dalam hal ini, semua orang Indonesia
tanpa melihat golongan penduduknya, dianggap telah menundukkan diri
secara diam-diam kepada system hukum yang terdapat dalam KUH Perdata.
2. Bagi Timur Asing lainnya, berlaku hukum adatnya masing-masing,
3. Bagi golongan penduduk Indonesia berlaku hukum adat Indonesia.

Jadi, KUH Perdata merupakan sumber hukum utama bagi penduduk


Indonesia, dengan berbagai undang-undang yang telah mencabut beberapa hal,
seperti UU Pokok Agraria, UU Perkawinan, UU Hak Tanggungan dan UU
Tenaga Kerja.
KUH Perdata Indonesia adalah tidak lain terjemahan dari KUH Perdata Belanda
yang berlaku di negeri Belanda, sedangkan KUH Perdata Belanda berasal dari
KUH Perdata Prancis yang dibuat dimasa berkuasanya Napoleon Bonaparte,
sehingga terhadapnya disebut dengan Kitab Undang undang Napoleon (Code
Napoleon), sedangkan Napoleon Bonaparte membuat kitab undang-undang
dengan mengambil sumber utamanya adalah kitab Undang-undang Hukum
Romawi yang dikenal dengan Corpus Juris Civilis. Kitab undang-undang
Napoleon tersebut berdiri diatas tiga pilar utama sebagai berikut :
1. Konsep hak milik individual.
2. Konsep kebebasan berkontrak.
3. Konsep keluarga patrilineal.
Bidang-bidang yang termasuk ke dalam golongan hukum perdata terdapat dua
pendekatan:
1. Pendekatan sebagai sistematika undang-undang.
2. Pendekatan melalui doktrin keilmuan hukum.
Apabila dilakukan melalui pendekatan sebagai sistematika undang-undang dalam
hal ini sesuai dengan sistematika dari kitab undang-undang Hukum Perdata (KUH
Perdata) atau yang dikenal dengan isttilah BW (Burgerlike Wetboek), maka
hukum perdata dibagi ke dalam bidang-bidang sebagai berikut:
1. Hukum tentang orang (personen recht)
2. Hukum tentang benda (zaken recht)

24
3. Hukum tentang perikatan (verbintenissen recht)
4. Hukum tentang pembuktian dan kadaluarsa (lewat waktu) ( vanbewijs en
verjaring).
Sementara apabila dilakukan pendekatan melalui doktrin keilmuan hukum,
maka hukum perdata terdiri dari bidang sebagai berikut:
1. Hukum tentang orang (personal law).
2. Hukum keluarga (family law).
3. Hukum harta kekayaan (property law).
4. Hukum waris (heritage law)
Kitab undang-undang hukum perdata Indonesia merupakan terjemahan dari
Burgerlijke Wetboek (BW) dari negeri belanda. Sementara BW Belanda tersebut
merupakan terjemahan dari kode civil dari perancis, yang dibuat semasa
pemerintahan Napoleon Bonaparte. Pemerintah belanda melakukan BW mereka di
Indonesia sewaktu Indonesia di jajah oleh belanda tempo hari. Pemberlakuan
hukum belanda di negara jajahannya di lakukan berdasarkan asas dalam hukum
yang disebut dengan asas konkordansi Kemudian, sebagaimana di ketahui bahwa
disiplin hukum perdata secara utuh hanya dikenal dalam sistem hukum eropa
continental, termasuk dalam system hukum Indonesia, karena hukum Indonesia
dalam hal ini berasal dari system hukum belanda. Hal ini sebagai konsekuensi
logis dari diberlakukannya disana system kodifikasi, yakni system yang
memusatkan hukum-hukum dalam kitab hukum, semacam kitab undang-undang
hukum perdata Indonesia. Akan tetapi dinegara-negara yang tidak berlaku system
kodifikasi, seperi dinegara-negara yang menganut system hukum Anglo Saxon
(misalnya di Inggris, Australia atau Amerika Serikat), tidak dikenal hukum
disiplin perdata secara utuh, sehingga disana tidak ada yang namanya hukum
perdata. Yang ada hanyalah pecahan-pecahan dari hukum perdata, seperti hukum
kontrak(contract), hukum benda (property), perbuatan melawan hukum (tort),
hukum perkawinan(marriage), dan lain-lain.21

D. Sejarah Hukum Perdata di Indonesia

21 Munir Fuady, Konsep Hukum Perdata, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2014),
cet. 1, hlm 1-6

25
Hukum perdata yang berlaku sekarang ini di indonesia adalah hukum perdata
belanda atau BW (Burgerlijk Wetboek). Hukum perdata belanda ini juga berasal
dari hukum perdata perancis (code Napolion), karena pada waktu itu
pemerintahan Napolion Bonaparte Prancis pernah menjajah belanda. Adapun code
Napolion itu sendiri disusun berdasarkan hukum Romawi, yakni Corpus Juris
Civils yang pada waktu itu dianggap sebagai hukum yang paling sempurna.
Selanjutnya setelah belanda merdeka dari keuasaan perancis, bleanda
menginginkan pembentukan Kitab Undang-Undang Perdata sendiri yang terlepas
dari pengaruh kekuasaan Perancis. Untuk mewujudkan keinginan Belanda
tersebut, maka dibentuklah suatu panitia yang diketahui oleh Mr. J.M. Kemper
dan bertugas membuat rencana kodifikasi hukum perdata Belanda dengan
menggunakan sebagai sumbernya sebagian besar dari “Code Napolion” dan
sebagian kecil berasal dari hukum Belanda kuno.
Pembentukan kodifikasi perdata Belanda itu baru selesai pada tanggal 5 Juli
1830, dan diberlakukan pada tanggal 1 Oktober 1838. Hal ini disebabkan karena
pada bulan Agustus 1830 terjadi pemberontakan di daerah bagian selatan Belanda
yang memisahkan diri dari kerajaan Belanda yang sekarang ini disebut kerajaan
Belgia. Walaupun Hukum Perdata Belanda atau BW merupakan kodifikasi
bentukan nasional Belanda, namun isi dan bentuknya sebagian besar serupa
dengan Code Civil Prancis. Dalam hal ini oleh J. Van Kan menjelaskan, bahwa
BW adalah saduran dari Cide Civil, hasil jiplakan yang disalin dari bahasa
Perancis ke dalam bahasa Belanda. Kemudian Hukum Perdata atau BW Belanda
yang berlaku di Indonesia adalah Hukum perdata atau BW Belanda, karena
Belanda pernah menjajah Indonesia. Jadi BW Belanda juga diberlakukan di
Hindia Belanda (Indonesia) berdasarkan asas konkordonansi (persamaan).
Adapun BW Hinda Belanda (Indonesia) ini disahkan oleh raja pada tanggal 16
Mei 1846, yang diundangkan melalui staatsblad Nomor 23 tahun 1847, dan
dinyatakan berlaku pada tanggal 1 Mei 1848.
Setelah Indonesia merdeka, maka BW Hindia Belanda tetap dinyatakan
berlaku. Hal tersebut berdasarkan Pasal II aturan peralihan Undang-Undang Dasar
1945 sebelum diamandeme yang berbunyi “segala badan negara dan peraturan

26
yang ada, masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut
Undang-Undang Dasar ini”. Atau Pasal 1 aturan peralihan Undang-Undang Dasar
1945 hasil amandemen yang berbunyi: “segala pertauturan perundangundangan
yang ada masih tetap berlaku selama belum diadakan yang baru menurut Undang-
Undang ini”. Oleh karena itu, BW Hindia Belnda ini disebut dengan Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia, sebagai induk hukum perdata
Indonesia.
Sedangkan sistematika hukum perdata menurut Kitab Undang-Undang
Perdata (KUH Perdata) terdiri atas 4 macam buku atau bagian, yaitu:
Buku I: Tentang orang (van personen), berisikan hukum perorangan dan hukum
keluarga.
Buku II: entang benda (van zaken), berisikan hukum harta kekayaan dengan
hukum waris.
Buku III : Tentang perikatan (van verbintennissen), berisikan hukum perikatan
yang lahir dari Undang-Undang dan dari persetujuan-persetujuan / perjanjian-
perjanjian.
Buku IV :Tentang pembuktian dan daluarsa (van-bewijs en verjaring), berisikan
peraturan-peraturan tentang alat-alat bukti dan kedudukan benda-benda akibat
waktu (verjaring).
Apabila diperhatikan antara sistematika hukum perdata menurut ilmu
pengetahuan hukum dengan sistematika hukum perdata menurut kitab undang-
undang hukum perdata / BW terhadap perbedaan. Adapun perbedaan ini
disebabkan karena latar belakang penyusunannya. Adapun penyusunan atau
sistematika ilmu pengetahuan hukum itu didasarkan pada perkembangan siklus
kehidupan manusia, seperti lahir kemudian menjadi dewasa (kawin), dan
selanjutnya cari harta (nafkah hidup). Dan akhirnya mati (pewarisan). Sedangkan
penyusunan atau sistematika BW didasarkan pada sistem individualisme
(kebebasan individual) sebagai pengaruh dari revolusi prancis. Hak milik
(eigendom) adalah sentral, tidak dapat diganggu gugat oleh siapa pun juga.
Dalam hal ini perbedaan sistematika tersebut dapat dilihat di bawah ini :

27
1. Buku 1 hukum perdata menurut ilmu pengetahuan hukum memuat tentang
manusia pribadi dan badan hukum, keduanya sebagai pendukung hak dan
kewajiban. Sedangkan buku 1 hukum perdata menurut BW (KUH Per)
memuat ketentuan mengenai manusia pribadi dan keluarga (perkawinan).
2. Buku 2 hukum perdata menurut ilmu pengetahuan hukum memuat tentang
ketentuan keluarga (perkawinan dan segala akibatnya). Sedangkan buku 2
perdata menurut BW (KUH Per) memuat ketentuan tentang benda dan waris.
3. Buku 3 hukum perdata menurut ilmu pengetahuan ketentuan tentang harta
kekayaan yang meliputi benda dan perikatan. Sedangkan buku 3 hukum
perdata menurut ketentuan tentang perikatan saja.
4. Buku 4 hukum perdata menurut ilmu pengetahuan hukum memuat ketentuan
tentang pewarisan. Sedangkan buku 4 hukum perdata menurut BW (KUH Per)
memuat tentang ketentuan tentang bukti dan daluarsa.22

DAFTAR ISI

Abdul Karir Muhammad. 1993. Hukum Perdata Indonesia. Bandung : Citra


Aditya Bakti.
Abdulkadir Muhammad. 2014. Hukum Perdata Indonesia. Bandung : PT Citra
Aditya Bakti.
Agus Rusianto, Tindak Pidana & Pertanggungjawaban Pidana: Tinjauan Kritis
Melalui Konsentrasi antara Asas, Teori, dan Penerapannya Jakarta:
Kencana, 2016.
Anna Shapland, Jon Willmore, Peter Duff, 1985, Victim In The Criminal Justive
System, Series Editor: A.E. Bottons, Published by Gower Publishing
Company Limited, Gower House, croft Road, Aldershot, Hant Gu 3 HR,
England, hal. 1 dan 496.
Barda Nawawi, 1991, Upaya Non Penal dalam Penanggulangan Kejahatan,
Semarang: Fakultas Hukum Universitas Diponegoro.
Eva Achjani Zulfa, Pergeseran Paradigma Pemidaan Bandung: Lubuk Agung
2011.
22 Ishaq, Ibid. hlm. 154-155.

28
Hasballah Thaib, Perdamaian Adalah Panglima Dari Semua Hukum. Dalam
Pendastaren Tarigan dan Arif (Ed). Spirit Hukum: Dedikasikan Untuk
Purnabakti 70 Tahun Prof. Hj. Rehgena Purba, S.H., M.H. (Jakarta:
Rajawali Pers, 2012.
Ishaq. 2014. Pengantar Hukum Indonesia (PHI). Jakarta : Rajawali Pers.
Munir Fuady. 2014. Konsep Hukum Perdata. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.
Sarwono. 2011. Hukum Acara Perdata Teori dan Praktik, Cetakan ke I. Jakarta:
Sinar Grafika.
Siti Soetami. 2007. Pengantar Tata Hukum Indonesia. Bandung : PT Refika
Aditama.
Sudikno Mertokusumo. 2002. Hukum Acara Perdata Indonesia. Yogyakarta:
Liberty.
Yahya Harahap. 2008. Hukum Acara Perdata. Jakarta: Sinar Garfika.

29

Anda mungkin juga menyukai