Anda di halaman 1dari 13

IJTIHAD SEBAGAI SUMBER HUKUM ISLAM KETIGA

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah :


Studi Keislaman
Dosen Pengampu : Asmuni Falahul Faleh, M.Pd.I

Disusun Oleh:
Akhyarul umam (1930203125)
Annisa (1930203124)
Kusnul Arifah (1920203201)

KELAS D
JURUSAN MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN FATAH
TAHUN AKADEMIK 2019/2020
BAB 1
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Seiring dengan berkembangnya dunia yang semakin maju dan disertai dengan
era globalisasi yang kian meningkat serta perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi yang begitu pesat dalam berbagai bidang kehidupan masyarakat diakui
atau tidak telah membawa pengaruh yang sangat besar terhadap perkembangan
hukum dan sekaligus menimbulkan berbagai persoalan hukum masyarakat.
Persoalan-persoalan baru yang belum jelas kedudukan hukumnya dalam
kedua sumber hukum tersebut dan para ulama salaf pun, misalnya berbeda pendapat
atau pun mereka sendiri belum menetapkan hukumnya terhadap persoalan tersebut,
maka kondisi ini tentunya menuntut para ulama, pada masa kini untuk memberikan
solusi dan jawaban yang cepat dan tepat terhadap berbagai persoalan baru tersebut.
Selain itu pula, nash al-Qur’an dan as-Sunnah jumlahnya terbatas, sementara
peristiwa dan perkembangan manusia berikut kebutuhan hidupnya yang cukup
kompleks terus terjadi, sehingga penggunaan metode-metode ijma, qiyas, istihsan
dan lain sebagainya menjadi sangat penting. Penetapan hukum itu tidaklah semudah
membalik telapak tangan melainkan membutuhkan pemikiran –pemikran yang harus
berdasar pada hukum yang ada dalam Al-Qur’an dan Hadist. Oleh karena itu
diperlukan penyelesaian secara sungguh-sungguh atau persoalan-persoalan yang
tidak ditunjukkan secara tegas dalam Al-Qur’an dan Hadist. Maka untuk itu ijtihad
menjadi sangat penting.
Bukan hanya tahu hukum Al-Qur’an dan Hadist saja, seorang yang akan
berijtihad harus mempunyai pengetahuan yang dalam ijtihadnya. Dan berikut dalam
makalah ini, kami akan menjelaskan mengenai bagaimana penetapan ijtihad sebagai
sumber hukum islam yang ketiga.

1
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka penulis menyImpulkan beberapa
persoalan mengenai ijtihad, yakni:
1. Jelaskan pengertian dan kegunaan ijtihad?
2. Sebutkan bentuk-bentuk ijtihad.
3. Jelaskan faktor-faktor penyebab perbedaan ijtihad.
4. Jelaskan mengenai sejarah ulama mujtahid mutlak, seperti:
a. Abu Hanifah
b. Malik Bin Anas
c. Muhammad Idris BinAsy-Syafi’i
d. Ahmad Bin Hambal

C. Tujuan
Berdasarkan persoalan-persoalan diatas, maka tujuan dari penulisan makalah ini
adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui pengertian dan kegunaan ijtihad.


2. Untuk mengetahui bentuk-bentuk ijtihad.
3. Untuk mengetahui faktor-faktor penyebab perbedaan ijtihad.
4. Untuk mengetahui sejarah mengenai ulama mujtahid, seperti:

a. Abu Hanifah
b. Malik Bin Anas
c. Muhammad Idris BinAsy-Syafi’i
d. Ahmad Bin Hambal

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian dan Kegunaan Ijtihad


Secara etimologi ijtihad berakar dari kata jahda yang berarti al- Masyaqqah
yaitu (yang sulit atau yang susah). Ijtihad adalah upaya mengerahkan semua
kemampuan dan potensi untuk sampai pada perkara atau perbuatan. Ijtihad menurut
ulama Ushul ialah usaha seorang yang ahli fiqh yang menggunakan seluruh
kemampuannya untuk menggali hukum yang bersifat amaliah dari dalil-dalil yang
terprinci.
Ulama ushul Fiqh sepakat bahwa ijtihad atau ijma’ adalah sah dijadikan
sebagai landasan hukum, hal ini didasarkan pada surat an-Nisa’ ayat 115 :
ِ ِ ُ‫ﻴﻞ اﻟْﻤ ْﺆِﻣﻨِﻴﻦ ﻧـُﻮﻟﱢ ِﻪ ﻣﺎ ﺗَـﻮﻟﱠ ٰﻰ وﻧ‬ ِ ِ َ ‫ﺸﺎﻗِ ِﻖ اﻟ ﱠﺮﺳ‬
‫ﱠﻢ‬
َ ‫ﺼﻠﻪ َﺟ َﻬﻨ‬ْ َ َ َ َ َ ُ ِ ِ‫ﻮل ﻣ ْﻦ ﺑَـ ْﻌﺪ َﻣﺎ ﺗَـﺒَـﻴﱠ َﻦ ﻟَﻪُ اﻟ ُْﻬ َﺪ ٰى َوﻳَـﺘﱠﺒِ ْﻊ ﻏَْﻴـ َﺮ َﺳﺒ‬ ُ َ ُ‫َوَﻣ ْﻦ ﻳ‬
ِ ‫تﻣ‬
‫ﺼ ًﻴﺮا‬ َ ْ ‫ﺎء‬
َ ‫َو َﺳ‬
Artinya: “Dan barang siapa yang menentang Rasulullah SAW. sesudah jelas
kebenaran baginya dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang yang
mukmin, kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya
itu, dan kami masukan ia ke dalam neraka jahannam, dan jahannam itu seburuk-
buruk tempat kembali.”
Ayat tersebut memberikan peringatan atau ancaman terhadap golongan
yang menentang Rasullullah SAW. dan mengikuti jalan bukan orang mukmin.
Menurut Muhammad Abu Zahrah, menjelaskan wajib hukumnya mengikuti
jalan orang mukmin dan termasuk hasil kesepakatan (ijma’) mereka.
Didalam surat an_nisa’ ayat 59:

‫ﻮل َوأُوﻟِﻲ ْاﻷ َْﻣ ِﺮ ِﻣ ْﻨ ُﻜ ْﻢ‬ ِ ‫َﻃﻴﻌﻮا اﻟﻠﱠﻪ وأ‬


َ ‫َﻃﻴﻌُﻮا اﻟ ﱠﺮ ُﺳ‬ ِ
َ َ ُ ‫آﻣﻨُﻮا أ‬ َ ‫ﻳﻦ‬
ِ‫ﱠ‬
َ ‫ﻳَﺎ أَﻳـﱡ َﻬﺎ اﻟﺬ‬

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah


Rasul-Nya,dan Ulil Amri diantara kamu.”

3
Sementara itu, sebagian ulama lain memberikan definisi ijtihad adalah usaha
mengerahkan seluruh tenaga dan segenap kemampuannya baik dalam menetapkan
hukum-hukum syara’ maupun untuk mengamalkan dan menerapkannya.1
Kegunaan atau fungsi dari ijtihad sendiri terbagi atas tiga macam, yaitu :
a. Fungsi al-ruju’ atau al-i’adah (kembali), yaitu mengembalikan ajaran-ajaran
Islam kepada sumber pokok, yakni Al-Qur’an dan Sunnah Shahihah dari segala
interpretasi yang dimungkinkan kurang relevan.
b. Fungsi al-ihya’ (kehidupan), yaitu menghidupkan kembali bagian-bagian dari
nilai dan semangat ajaran Islam agar mampu menjawab dan menghadapi tentang
zaman, sehingga Islam dapat menjadi furqan, hudan, dan rahmatan lil a’lamin.
c. Fungsi al-inabah (pembenahan), yaitu membenahi ajaran-ajaran Islam yang telah
diijtihadi oleh ulama terdahulu dan dimungkinkan adanya kesalahan menurut
keadaan dan tempat yang kini kita hadapi.2
Dari definisi ijtihad’ di atas dapat diketahui bahwa ijtihad’ itu bisa terjadi bila
memenuhi kriteria-kriteria di bawah ini.
1. Yang bersepakat adalah para mujtahid.
Para ulama’ berselisih faham tentang istilah mujtahid. Secara umum
mujtahid diartikan sebagai para ulama yang mempunyai kemampuan dalam
mengistimbatkan hukum dari dalil-dalil syara’. Dalam kita “jam’ul jawami”
disebutkan bahwa yang dimaksud mujtahid adalah orang yang fakih. Beberapa
pendapat tersebut sebenarnya mempunyai kesamaan, bahwa yang dimaksud
mujtahid adalah orang Islam yang baligh, berakal, mempunyai sifat terpuji dsan
mempu mengistimbat hukum dari sumbernya.
Dengan demikian, kesepakatan orang awam (bodoh) atau mereka yang belum
mencapai derajat mujtahid tidak bisa dikatakan ijma’ begitu pula penolakan
mereka, karena mereka tidak ahli dalam menela’ah hukum-hukum syara’.
2. Yang bersepakat adalah seluruh mujtahid.

1
Prof.Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqih, (Jakarta: Pustaka Firdaus), 1994, hlm 576
2
Prof.Dr.Muhaimin, M.A., et al., Studi Keislaman, (Jakarta: Prenadamedia), 2018, hlm
181

4
Bila sebagian mujtahid bersepakat dan yang lainnya tidak meskipun
sedikit, maka menurut jumhum, hal itu tidak bisa dikatakan jima’. Karena ijma’
itu harus mencakup keseluruhan mujtahid. Sebagaimana ulama’ berpandangan
bahwa ijma’ itu sah bila dilakukan oelh sebagian besar mujtahid, karena yang
dimaksud kesepakatan ijma’ termasuk pula kesepakatan sebagian besar dari
mereka. Begitu pula menurut kaidah fiqih, sebagian besar itu telah mencakup
hukum keseluruhan.
3. Para mujtahid harus umat Muhammad SAW.
Kesepakatan yang dilakukan oleh para ulama selain umat Muhammad
SAW. tidak bisa dikatakan ijma’, hal itu menunjukkan adanya umat para nabi lain
yang berijma’, adapun ijma’ umat Nabi Muhammad SAW. tersebut telah dijamin
bahwa mereka tidak mungkin berijma’ untuk melakukan kesalahan.
4. Dilakukan setelah wafatnya Nabi.
Ijma’ itu tidak terjadi ketika Nabi masih hidup, karena Nabi senantiasa
menyepakati perbuatan-perbuatan para sahabat yang dipandang baik adna itu
dianggap sebagai syariah.
5. Kesepakatan mereka harus berhubungan dengan Syariat.’
Maksudnya, kesepakatan mereka haruslah kesepakatan yang ada kaitannya
dengan syariat, seperti tentang wajib, sunah, makruh, haram dan lain-lain.3

B. Bentuk-Bentuk Ijtihad
a. Ijtihad Bayani
Ijtihad Bayani ini ialah untuk menemukan hukum dari nash namum sifatnya
zhanni baik dari segi ketepatannya maupun dari segi penunjukkannya. Lapangan
ijtihad bayani ini hanya terbatas dalam pemahaman terhadap nash dan menguatkan
salah satu diantara beberapa pemahaman yang berbeda. Ijtihad bayani hanya
memberikan penjelasan hukum yang pasti dari dalil nash.
b. Ijtihad Qayasi
Ijihad Qayasi ini ialah untuk menggali dan menetapkan hukum terhadap suatu
kejadian yang tidak ditemukan dalilnya secara tersurat dalam nash.

3
Prof. Dr. Rachmat Syafi’I, MA. Ilmu Usul Fiqih, Bandung, 2007, hal 70-71.

5
c. Ijtihad Istishlahy
Ijtihad Istishlahy ini ialah untuk menggali, menemukan dan merumuskan
hukum syara’ dengan cara menerapkan kaidah qulli untuk kejadian yang ketentuan
hukumnya tidak terdapat dalam nash dan tidak memungkinkan mencari kaitannya
dengan nash yang ada juga belum diputuskan dalam ijma’.
d. Ijtihad Intiqai
Ijtihad ini ialah ijtihad yang dilakukan seseorang atau sekelompok orang
untuk memilih pendapat para ahli fiqih terdahulu mengenai masalah-masalah
tertentu.
e. Ijtihad Insyai
Ijtihad jenis ini untuk mengambil kesimpulan hukum mengenai peristiwa-
peristiwa baru yang belum diselesaikan oleh para ahli fiqih terdahulu.4

C. Faktor Penyebab Perbedaan Ijtihad


Faktor-faktor yang menyebabkan adanya perbedaan dalam Ijtihad yakni sebagai
berikut:
a. Perbedaan dalam memahami Al-qur’an dan as-sunnah
b. Karena berbeda dalam status hadits
c. Karena berbeda dalam prinsip-prinsip hukum yang dipergunakan
d. Karena perbedaan kemampuan mujtahid, kecerdasan, keinginan, tujuan
Ta’asub (fanatik) serta kecenderungan pengaruh hawa nafsunya
e. Karena penyelesaian kasus berdasarkan model ijtihad yang dipergunakan

D. Sejarah Ulama Mujtahid Mutlak


1. Abu Hanifah (80-150 H)
Nama lengkapnya adalah Imam Abu Hanifah an-Nu’man bin Tsabit. Ia adalah
seorang ulama besar dalam ilmu fiqh di Kufah (Iraq). Lahir tahun 80 H dan
meninggal pada tahun 150 H. Beliau dikenal ilmuan, zuhud, taat ibadah, wara’,
taqwa, sangat khusyu, dan penuh harap kepada Allah swt. Allah mengaruniakan

4
Dr .H. Romli SA, M.Ag, Ushul Fiqih 2, (Palembang: Tunas Gemilang Press), 2008,
hlm 105-107.

6
baginya kecerdasan, kemampuan argumentasi dalil, dan penguasan hukum-hukum
hujjah. Beliau adalah seorang mujtahid besar dalam hukum, namun ijtihadnya hanya
berlandaskan al- Qur’an dan hadis shahih. Ia lebih dikenal sebagai ulama besar yang
beraliran rasionalis.
Metode ijtihadnya, ia ungkapakan; “saya hanya mengambil dari al-Qur’an,
sekirannya saya tidak menemukan dalam al-Qur‟an, maka saya beralih kepada
hadis, sekiranya saya tidak menemukan dalam hadis, saya beralih kepada ucapan
sahabat-sahabat Nabi, saya akan memilah-milah ucapan mereka, jika saya setuju
maka saya ambil, namun jika tidak saya tinggalkan. Namun saya tidak akan
mengambil pendapat orang lain selain mereka.”
Dalam masalah hukum qiyas, ia tidak akan melangkahi dalil nas al-Qur’an
dan hadis, baginya, hukum qiyas hanya digunakan untuk masalah-masalah yang
sangat darurat saja.
2. Malik bin Annas (93-179 H)
Nama lengkapnya adalah Abu ‘Abdullah Malik bin Anas bin Amir al Asbahy.
Ia adalah ulama besar di Dar al-Hijrah, ilmuan di kota Hijaz, dan pemilik Kitab al-
Muatta’ sebagai kitab pertama yang dikumpukan dalam bidang ilmu hadis. Imam
Malik mengembangkan fiqh madzhabnya sesuai dengan al-Qur‟an dan hadis Nabi,
sesuai pada prinsip ayat dalam surah al Hasyar: 7:
“….Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah. Dan apa yang
dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah…”
Selain itu, ia juga berpegang pada ucapan para sahabat, karena mereka adalah
orang-oang yang paling dekat kehidupannya dengan kehidupan Nabi.
Metodologi madzhabnya menggunakan hukum ijma’, yaitu ucapan di
kalangan ulama-ulama ahli fiqh dan ulama lain. Dalam memilih pendapat-pendapat
mereka, ia lebih mendahulukan pendapat dari kalangan ulama penduduk Madinah
sebagai pemilik kota Nabi sebelum mengambil pendapat selain mereka. Disamping
berpegang pada prinsip-prinsip hukum di atas, ia juga berpedoman dengan (qiyas),
istihsan, ‘urf (kebiasan/adat istiadat), saddu dzarai’, dan maslahah al-mursalah.
Namun Imam Malik juga memberikan syarat penerimaan pada teori-teori hukum ini,
yakni bahwa harus tidak bertentangan dengan pokok-pokok tujuan Islam, dapat
diterima oleh rasio, dan dapat menyelesaikan masalah.

7
3. Muhammad Idris Asy-Syafi’I (150-204 H)
Nama lengkapnya adalah Abdullah Muhammad bin Idris bin al Abbas bin
Utsman bin Syafi’i al-Qurusy. Lahir di Ghaza Palestina pada tahun 150 H.
Ia dikaruniahi Allah kecerdasan berilian, kekuatan firasat, dan ketajaman
hafalan, sehingga tidak ada sesuatu yang ia dilihat kecuali ia akan hafal. Allah
telah memudahkan ilmu baginya, sehingga diusianya tergolong masih mudah
belia, diusia 5 tahun, ia telah menghatamkan al-Qur’an. Menimba berbagai macam
ilmu dari perantauan yang ia lakukan.
Imam Malik adalah salah seorang yang pernah menjadi gurunya. Ia telah
mengahafal kitab al-Muwatta’ (kitab pertama yang ditulis dalam kumpulan hadis
Nabi), kitab Imam Malik yang diajarkan kepadanya. Syaikh Al-Zanji bin Khalid
guru selain Imam Malik dalam ilmu hadis, telah mengizinkan Imam Syafi’i
mengeluarkan fatwa sendiri, walaupun saat itu usianya baru menginjak 15 tahun.
Imam Syafi’i merupakan orang pertama yang membahas dalam karyannya tetang
ilmu Ushul Fiqh, dan yang pertama mengeluarkan istinbath hukum dari ilmu ini.
Imam Syafi’i dalam penulisan kitab fiqhinya menyeimbangkan dua model
fiqh yaitu aliran fiqh rasionalis dan aliran fiqh hadis, dengan mengedepankan
pendapat peribadinya. Dalam aliran mazhabnya, telah melahirkan banyak karya,
tidak kurang dari 140 kitab, dari karya-karya itu yang paling dikenal adalah kitab
al-Um dan kitab ar Risalah.
4. Ahmad bin Hanbal (164-241 H)
Nama lengkapnya adalah Abu Abdullah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal
bin Hilal bin Asad bin Idris as-Syibani. Lahir di Baghdad Irak pada bulan Rabi’ul
Awal. Pada masanya, ia dikenal sebagai ilmuan dalam ilmu hadis, dari tanganya
lahir kitab al-Musna Imam Ahmad.

Ia menghimpun banyak hadis, dikatakan tidak kurang dari 100.000 hadis


yang ia telah hafal. Dalam hidupnya, ia kenyang dengan berbagai macam cobaan,
yakni cobaan yang tidak menimpah ulama-ulama sebelumnya. Diantaranya ialah
ia difitnah dengan ucapannya bahwa al-Qur’an adalah mahluk (memisahkan al-
Qur’an dari zat qauliah/ucapan Allah dan menyamakan al- Qur’an dengan ciptaan-
ciptaan lain Allah). Ia kemudian ditangkap dan dicebloskan kedalam penjara.
Dalam penjara ia disiksa dan dipukuli karena fitnah tentang ucapannya bahwa al-

8
Qur’an adalah mahluk, namun ia tetap disiksa sekalipun ia tidak mengakui
pendapat tersebut.

Ia dikenal sebagai orang yang hidup zuhud (merasa cukup dengan reski yang
ada) sampai pada batas tingkat tertinggi dalam sifat zuhud. Ia menolak duduk
diatas tikar karena enak dan lebih memilih duduk di atas tanah, dan menolak
tawaran khalifah Al-Mutawakkal dimasanya sebagai guru dan pembina khusus
anaknya Abdullah.

Ideologi madzhab Imam Ahmad dibangun atas sumber agama yang murni,
yaitu al-Qur’an dan Hadis shahih,. Ia tidak mengakui kedudukan (qiyas) atau
pendapat ulama. Menurutnya,(qiyas) dalam agama adalah batil, termasuk
argumen yang digunakan memahami hukum agama, karena baik qiyas atau
pendapat, kedua-duanya adalah perkarah bid’ah, sekalipun bersandar kepada
pendapat ulama-ulama salaf. Perkara qiyas hanya dapat digunakan dalam kondisi
darurat saja, bukan selainnya.5

5
Abdurrahman Al-Jaziriy, Fiqh Madzahib al-Arba, (Kairo: Dar al-fajr li al-Turas),
2000, hlm 1-2

9
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Ijtihad adalah upaya mengerahkan semua kemampuan dan potensi untuk
sampai pada perkara atau perbuatan. Ijtihad menurut ulama Ushul ialah usaha seorang
yang ahli fiqh yang menggunakan seluruh kemampuannya untuk menggali hukum
yang bersifat amaliah dari dalil-dalil yang terprinci.
Ijtihad muncul disebabkan karena adanya masalah-masalah yang
kontemporer dimana nash atau dalil tidak membicarakanya secara khusus. Ulama
ushul Fiqh sepakat bahwa ijtihad atau ijma’ adalah sah dijadikan sebagai landasan
hukum, hal ini didasarkan pada surat an-Nisa’ ayat 115 dan ayat 59.
Mengenai syarat-syarat sah terjadinya ijtihad yakni: yang bersepakat adalah
para mujtahid, yang bersepakat adalah seluruh mujtahid, para mujtahid harus umat
Muhammad SAW, dilakukan setelah wafatnya Nabi, dan kesepakatan mereka harus
berhubungan dengan Syariat.’
Sementara itu, faktor-faktor yang menyebabkan adanya perbedaan dalam
Ijtihad yakni sebagai berikut: Perbedaan dalam memahami Al-qur’an dan as-sunnah,
karena berbeda dalam status hadits, berbeda dalam prinsip-prinsip hukum yang
dipergunakan, perbedaan kemampuan mujtahid, kecerdasan, keinginan, tujuan,
ta’asub (fanatik), dll.

10
DAFTAR PUSTAKA

Abu Zahrah, Muhammad. 1994. Ushul Fiqh. PT Pustaka Firdaus

Al-Jaziriy , Abdurrahman. 2000. Fiqh Madzahib al-Arba. Kairo: Dar al-fajr li al-Turas.

Muhaimin. 2005. Studi Islam. Jakarta: Prenadamedia Group.

Romli. 2008. Ushul Fiqh. Palembang: Tunas Gemilang Press

Rahman I. 2002. Penjelasan Lengkap Hukum-Hukum Allah .Jakarta Utara: PT


Raja Grafindo Persada

11
Filename: Makalah Studi Keislaman 2
Directory: C:\Windows\system32
Template:
C:\Users\Mia\AppData\Roaming\Microsoft\Templates\Normal.dot
m
Title:
Subject:
Author: Lenovo
Keywords:
Comments:
Creation Date: 10/7/2019 7:48:00 PM
Change Number: 17
Last Saved On: 10/7/2019 9:54:00 PM
Last Saved By: Mia
Total Editing Time: 101 Minutes
Last Printed On: 10/7/2019 9:55:00 PM
As of Last Complete Printing
Number of Pages: 12
Number of Words: 2.568 (approx.)
Number of Characters: 14.643 (approx.)

Anda mungkin juga menyukai