Anda di halaman 1dari 10

StudiKasusSiswa....(ErlinOkvianti)1.

823

STUDI KASUS SISWA PERILAKU MENYIMPANG SISWA KELAS 1 SD


NEGERI NGEMPLAK NGANTI SLEMAN
ATTITUDE DISORDER CASE STUDY OF FIRST GRADE STUDENT IN SDN NGEMPLAK
NGANTI SLEMAN

Oleh: Okmiyudin, MPI, Universitas Islam Negeri Raden Fatah Palembang, okmiyudin5@gmail.com

Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan perilaku menyimpang siswa kelas 1 SD Negeri
Ngemplak Nganti Sleman. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan jenis penelitian studi
kasus. Subjek penelitian ini adalah satu orang siswa berperilaku menyimpang. Teknik pengumpulan data
menggunakan metode observasi, wawancara dan dokumentasi. Uji keabsahan mengunakan uji kredibilitas
dengan melakukan triangulasi data. Teknik analisis data menggunakan teknik model interaktif Miles &
Huberman (reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan). Hasil penelitian menunjukkan bahwa
faktor yang mempengaruhi siswa berperilaku menyimpang disebabkan melihat contoh yang salah. Meski
berperilaku menyimpang, siswa tersebut dalam kesehariaannya menujukkan perilaku baik seperti tertib
menaati peraturan sekolah, berlaku sopan pada guru, patuh dengan perintah guru, menjalin interaksi sosial
yang baik dengan teman sekelas, memiliki sikap pemaaf dan memaafkan. Pihak sekolah terutama guru
berupaya mengatasi perilaku menyimpang siswa dengan memberi perhatian dan menasihati siswa agar
berbuat baik.

Kata kunci: perilaku menyimpang

Abstract

This study aims at describing attitude disorder of first grade student in SDN Ngemplak Nganti Sleman.This
reserach was case study with qualitative approach. The research subject was attitude disorder student. Data were
collected by interview, observation and documentation. The data analyzed using an interactive model by Miles and
Huberman (reduction, display and conclusion data). Analysis of data validation was done by credibility test and
triangulation.The results shows that the student attitude disorder influence factor caused by seeing the wrong example.
Altough the student has attitude disorder, she shows good behavior in her daily life, such as obey the school rules, polite
to the teacher, obey to the teacher commands, has good social interaction with her friend and forgiving. The school,
especially teacher attempt to overcome the student’s attitude disorder by giving the attention and advising her in order
to do good things.

Keyword: attitude disorder

PENDAHULUAN mandiri dan menjadi warga negara yang


Pendidikan nasional demokratis dan bertanggung jawab (Undang-
berfungsi undang No. 20 Tahun 2003 pasal 3).
mengembangkan kemampuan dan membentuk Dari tujuan yang telah dirumuskan
watak serta peradaban bangsa yang bermartabat tersebut salah satunya terdapat pembentukan
dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bangsa yang berakhlak mulia. Berbicara
bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta mengenai akhlak, erat kaitannya dengan perilaku
didik agar menjadi manusia yang beriman dan yang dimiliki seseorang. Apabila perilaku yang
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, ditunjukkan seseorang itu baik maka orang
berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif,
1.824J u r n a l PendidikanGuruSekolahDasarEdisi19Tahun ke-52016
tersebut dapat dikatakan mempunyai akhlak yang Fhilip Graham (Endah Sri Astuti, 2004:49)
mulia. Sedangkan jika perilaku yang ditunjukkan faktor penyebab perilaku dibagi menjadi dua,
seseorang itu buruk maka orang tersebut tidak meliputi faktor pribadi yaitu faktor yang
berakhlak mulia. terdapat dalam diri seseorang yang merupakan
Setiap individu memiliki berbagai sifat, bawaan lahir. Misal faktor bakat yang
watak, dan perilaku yang tidak sama. Begitu pula mempengaruhi temperamen dan
dengan setiap peserta didik memiliki kekhasan dan ketidakmampuan seseorang dalam
keunikan masing-masing pada dirinya. Karakteristik menyesuaikan diri. Sedangkan faktor yang
individu (peserta didik) diperoleh dari faktor bawaan berasal dari lingkungan seperti pergaulan
dan faktor dari pengaruh lingkungan (Saring dengan teman, kemiskinan, lingkungan
Marsudi, 2003: 1). Karakteristik bawaan (hereditas) sekolah, dan pengasuhan dalam keluarga.
merupakan karakteristik individu yang diperoleh Desmita (2009:182) berpendapat pada
melalui pewarisan dari pihak orang tuanya. usia 6 sampai 8 tahun, anak sadar bahwa
Sedangkan karakteristik dari faktor lingkungan orang lain memiliki prespektif sosial yang
diperoleh dari pengaruh lingkungan fisik, psikis, didasarkan atas pemikiran orang itu, yang
sosial, alam sekitar dan religius (Syamsu Yusuf L.N, mungkin sama atau berbeda dengan
2007:31). pemikirannya. Tetapi anak cenderung
Begitu erat kaitannya perilaku peserta didik berfokus pada prespektifnya sendiri dan bukan
dalam mewujudkan bangsa yang berakhlak mulia. mengkoordinasikan sudut pandang. Anak usia
Sekolah dasar sebagai penyelengara pendidikan 6 sampai 8 tahun juga telah dapat
menjadi pondasi awal untuk mewujudkan hal mengekspresikan reaksi terhadap orang lain,
tersebut. Jenjang pertama di sekolah dasar telah mampu mengontrol emosi, sudah bisa
merupakan jenjang yang paling kompleks berpisah dengan orang tua dan telah mulai
permasalahannya. Di jenjang tersebut, siswa belajar mengenai benar dan salah.
mengalami peralihan tingkah laku dari taman kanak- Berdasarkan hasil observasi dan
kanak menjadi siswa sekolah dasar. Dian Ibung wawancara dengan guru di kelas 1 SD Negeri
(2009:6) mengatakan bahwa pada awal jenjang Ngemplak Nganti Sleman. Peneliti mendapati
pertama di sekolah dasar, anak mulai belajar banyak permasalahan yang dihadapi di kelas tersebut
hal di sekolah. Dari hasil pembelajarannya, anak baik dari segi kognitif maupun afektif.
mulai menyadari kesamaan atau perbedaan dirinya Permasalahan yang berkaitan dengan aspek
dengan teman- temannya. Anak pun belajar tentang kognitif yaitu terdapat siswa berinisial “L”
berbagai nilai dan norma yang dijadikan acuan yang masih tertinggal dengan teman yang lain.
tindakan dan perilaku moral anak. Siswa “L” masih kesulitan dalam memahami
Perilaku anak dapat dipengaruhi faktor pelajaran dan menjawab soal. “L” juga
pribadi maupun lingkungan. Seperti pendapat membutuhkan waktu lebih lama dalam
mengerjakan soal dibandingkan dengan
teman-temannya.
Selain permasalahan kognitif, “L” juga
StudiKasusSiswa....(ErlinOkvianti)1.825
memiliki permasalahan yang berkaitan dengan
ranah afektif. “L” didapati beberapa kali
1.826J u r n a l PendidikanGuruSekolahDasarEdisi19Tahun ke-52016
mengambil barang milik temannya seperti kotak METODE PENELITIAN
pensil dan uang saku tanpa izin. Saat ditanya oleh
Jenis Penelitian
guru siswa tersebut tidak pernah mengakui Penelitian ini menggunakan pendekatan
perbuatannya. Tidak hanya di sekolah, anak kualitatif dengan jenis penelitian studi kasus.
tersebut juga pernah mengambil barang dagangan
di warung tanpa membayar. Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di SD Negeri
Sikap afektif yang kurang sesuai dengan
Ngemplak Nganti khususnya di kelas 1. SD
norma lainnya juga ditunjukkan oleh “L”.
Negeri Ngemplak Nganti terletak di Dusun
Contohnya sikap malas mengerjakan PR dan
Ngemplak, Desa Sendangadi, Kecamatan Mlati,
mengikuti pembelajaran di kelas, mengganggu
Kabupaten Sleman, Yogyakarta. Penelitian ini
teman saat pembelajaran dan menyontek
dilaksanakan pada tanggal 1 sampai 18
pekerjaan teman lain saat menjawab soal.
September 2015.
Sehingga ia mendapat nilai bagus tanpa berusaha
berpikir sendiri.
Subjek Penelitian
Guru mengungkapkan bahwa sikap yang Subjek dalam penelitian ini yaitu siswa
kurang sesuai dengan norma tersebut diduga berperilaku menyimpang.
disebabkan kurangnya perhatian orang tua
terhadap anak. Bentuk kurangnya perhatian orang Sumber Data
Sumber data dapat dibedakan menjadi 2
tua di rumah yaitu orang tua jarang menanyakan
yaitu data primer dan sekunder. Sumber primer
kegiatan anak di sekolah dan kurang menjalin
berasal dari subjek penelitian dan sumber
komunikasi dengan sekolah terkait prestasi dan
sekunder berasal dari catatan lapangan dan
perilaku anak di sekolah.
dokumen
Wali kelas mengatakan bahwa selain
perhatian orang tua yang kurang, faktor Teknik Pengumpulan Data
lingkungan juga diduga dapat mempengaruhi
Teknik pengumpulan data dalam
perilaku anak tersebut. Lingkungan tempat
penelitian ini menggunakan observasi dan
tinggal anak tersebut berada di kawasan
wawancara
pemulung. Sebagian besar pekerjaan di
lingkungan tersebut mencari barang bekas. Instrumen Penelitian
Dimana stigma masyarakat terhadap pemulung Instrumen dalam penelitian ini berupa
kurang baik. Masyarakat menganggap pemulung pedoman observasi, pedoman wawancara dan
senang mengambil barang bekas tanpa izin dokumentasi.
pemiliknya. Perilaku pemulung yang mengambil
barang bekas tanpa izin tersebut diduga Teknik Analisis Data

diinternalisasi oleh anak untuk mengambil barang Penelitian ini menggunakan teknik analisis
milik orang lain tanpa perlu meminta izin. Miles & Huberman, yang aktivitas dalam analisis
data kualitatif dilakukan secara interaktif
StudiKasusSiswa....(ErlinOkvianti)1.827
dan berlangsung secara terus menerus sampai tuntas, 2. Perilaku Sehari-hari Siswa Berperilaku
sehingga datanya sudah jenuh. Aktivitas dalam Menyimpang
analisis data yaitu data reduction, data display, dan Perilaku seseorang dapat dipengaruhi
conclusion drawing/verification. oleh faktor keluarga, budaya dan sekolah.
Keabsahan Data Begitu pula dengan perilaku “L” yang
Uji keabsahan data dalam penelitian ini dapat dipengaruhi oleh aspek keluarga,
menggunakan uji kredibilitas dengan melakukan budaya maupun sekolah.
triangulasi data. Dari aspek keluarga, orang tua “L”
kurang konsisten dalam melarang anak
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
untuk jajan berlebihan dan menonton
Hasil Penelitian
televisi saat belajar. Orang tua “L” juga
1. Faktor yang Mempengaruhi Siswa Berperilaku
kurang memberi pengertian pada anak
Menyimpang (L) Mencuri
mengenai manfaat aturan yang dibuat dan
“L” beberapa kali didapati mengambil
lebih menggunakan emosi dalam
barang milik orang lain tanpa izin. Adapun
menanggapi sikap anak. Sehingga anak
barang milik teman yang diambil “L” seperti
kurang memahami nilai apa yang ingin
baju dan kotak pensil milik teman sekelas.
diterapkan oleh orang tua.
Tidak hanya barang milik teman sekelas saja
Dari aspek budaya, “L” memiliki
yang diambil “L” melainkan barang milik
interaksi sosial yang baik pada teman,
tetangga rumah pun pernah diambil tanpa izin.
guru, maupun orang tua. Namun beberapa
Barang tersebut meliputi uang dan gelang giok.
sikap “L” seperti mengganggu saat
Berdasarkan pernyataan yang disampaikan
pembelajaran meminjam barang tidak
guru kelas 1 dan tetangga rumah dari “L” faktor
dikembalikan dan suka mengambil barang
yang mempengaruhi perilaku mencuri “L” lebih
tanpa izin menjadi hal yang dikeluhkan
disebabkan pada meniru contoh yang salah. “L”
teman sekelasnya. Dari hasil wawancara
meniru orang tuanya mengambil barang bekas
dengan tetangga “L” sering membujuk
tanpa izin. Karena beberapa kali “L” mengikuti
teman untuk mengambil barang orang lain
ayahnya bekerja mengambil barang bekas. Ayah
tanpa izin. Namun “L” berinteraksi baik
dari “L” juga pernah mengambil barang orang
dengan semua. Tidak ada perasaan minder
lain padahal barang tersebut masih akan
atau menarik diri dari pertemanan.
digunakan pemiliknya. Sehingga tanpa adanya
Sedangkan dari aspek lingkungan sekolah,
pemahaman yang disampaikan orang tua, “L”
guru ikut berperan dalam mengatasi
menganggap bahwa mengambil barang tanpa
perilaku buruk “L”. Guru berusaha
izin pemiliknya diperbolehkan.
menyadarkan “L” bahwa perbuatan
mengambil barang orang lain tanpa izin
merupakan perbuatan buruk dan berdosa.
Guru menasihati “L” agar tidak
mengulangi perbuatannya dan meminta
1.828J u r n a l PendidikanGuruSekolahDasarEdisi19Tahun ke-52016
“L” berjanji kepada teman sekelas untuk
tidak
StudiKasusSiswa....(ErlinOkvianti)1.829
mengulangi perbuatan buruknya dan bersedia perbuatan itu salah dan benar saja. Bukan pada
mendapat hukuman jika mengulangi akibat dari setiap perbuatan yang dilakukan dapat
perbuatan tersebut. merugikan atau tidak bagi orang lain.
Meski memiliki perilaku menyimpang yaitu
Pembahasan
mencuri, namun tidak serta merta semua perilaku
Dari hasil penelitian yang peneliti lakukan
yang ditunjukkan “L” menyimpang. Ada
“L” memiliki sikap mengambil barang milik
beberapa perilaku baik yang dilakukan “L” dalam
orang lain dipengaruhi oleh melihat contoh yang
kesehariannya. “L” aktif mengikuti kegiatan
salah. Hal ini seperti yang diungkapkan Rini
keagamaan seperti TPA di masjid dan ia pun rajin
Utami Aziz (2006:20) seorang anak dapat
berinfak setiap hari di kelas. Meskipun orang tua
mencuri karena melihat contoh yang salah. “L”
“L” jarang mengikuti kegiatan yang dilaksanakan
beberapa kali pernah mengikuti ayahnya saat
di masjid seperti pengajian rutin. Padahal menurut
bekerja mengambil barang bekas. Dengan
pendapat Syamsu Yusuf LN (2009:133) orang tua
melihat contoh saja tanpa ada pemahaman “L”
merupakan panutan (teladan) bagi anak, termasuk
menganggap perbuatan mengambil barang tanpa
disini panutan dalam mengamalkan ajaran agama.
izin pemiliknya boleh dilakukan. Padahal
Orang tua yang menciptakan iklim religius,
menurut Singgih D Gunarsa (1991:6) bagaimana
dengan cara memberikan ajaran atau bimbingan
tata cara dan sikap orang tua sehari-hari oleh
tentang nilai-nilai agama kepada anak, maka anak
anak akan ditiru melalui proses belajar.
akan berperilaku sesuai dengan ajaran agama.
Selain itu orang tua juga kurang memberi
Di sekolah, “L” merupakan siswa yang
penjelasan mengenai perbuatan baik dan buruk
tertib menaati peraturan sekolah seperti datang ke
untuk dilakukan. Sehingga saat “L” berbuat
sekolah tepat waktu dan mengikuti program
kesalahan bukan pemahaman yang diberikan
sekolah dengan baik. “L” juga berlaku sopan
pada anak melainkan justru hukuman agar tidak
dengan guru, mematuhi apa yang diperintahkan
mengulangi perbuatan tersebut. Padahal menurut
guru, dan menggunakan bahasa yang sopan saat
Syamsu Yusuf LN (2009:134) penanaman
berbicara dengan guru. Hal ini tidak terlepas dari
pengertian tingkah laku yang benar dan salah,
peran guru yang mengajarkan pada siswanya
atau baik dan buruk sangat penting dilakukan
untuk berlaku tertib dan sopan. Seperti pendapat
oleh orang tua.
Nurul Zuriah (2007:105) seorang guru haruslah
Orang tua juga kurang mampu
menjadi model sekaligus menjadi mentor dari
menanamkan nilai-nilai budi pekerti dan menjadi
peserta didik dalam mewujudkan nilai-nilai moral
teladan bagi anak dalam berperilaku. Padahal
pada kehidupan sekolah.
Dian Ibung (2009:17) berpendapat bahwa
Menurut Bimo Walgito (2003:65) interaksi
memberikan contoh berarti menjadi model
sosial ialah hubungan antara individu satu dengan
perilaku yang diinginkan tampil atau muncul dari
individu yang lain, individu satu dapat
anak, sejalan dengan pengertian yang diberikan.
mempengaruhi individu yang lain atau
Dalam hal ini “L” hanya mengetahui bahwa
1.830J u r n a l PendidikanGuruSekolahDasarEdisi19Tahun ke-52016
sebaliknya, jadi terdapat hubungan yang saling perbuatan baik dan buruk untuk dilakukan,
timbal balik. Dilihat dari sisi interaksi sosial dengan dan membiasakan siswa berperilaku baik
teman sekelas, “L” mampu berinteraksi dan sesuai dengan norma. Hal ini seperti yang
berteman dengan baik. Seperti jika berbuat kesalahan disampaikan Haidar (2004) bahwa tujuan
“L” lalu meminta maaf pada teman. Dan sebaliknya pendidikan budi pekerti untuk
saat teman berbuat salah padanya, “L” akan mengembangkan nilai, sikap, dan perilaku
memaafkan temannya tersebut. siswa yang memancarkan akhlak mulia atau
Meski “L” masih sering mengganggu saat budi pekerti luhur. Hal ini mengandung arti
pembelajaran, meminjam barang tidak dikembalikan bahwa dalam pendidikan budi pekerti, nilai-
dan memiliki perilaku buruk mencuri, teman sekelas nilai yang ingin dibentuk adalah nilai-nilai
“L” tidak memusuhi atau mengucilkan “L” dan tetap yang akhlak mulia yaitu tertanamnya nilai-
menjalin pertemanan dengan “L”. Hal ini seperti nilai akhlak mulia ke dalam diri peserta didik
pendapat Larry P. Nucci dan Darcia Narvaez yang kemudian terwujud dalam tingkah
(2014:403) bahwa anak-anak membangun lakunya.
pemahaman tentang bagaimana memperlakukan
SIMPULAN DAN SARAN
orang lain melalui pengalaman mereka berinteraksi
Simpulan
dengan orang lain dan konflik atau perselisihan yang
Berdasarkan hasil penelitian dan
merupakan bagian dari interaksi.
pembahasan dapat disimpulkan bahwa
Sekolah juga andil dalam membina perilaku
perilaku menyimpang siswa lebih dipengaruhi
peserta didik. Salah satunya melalui kurikulum
faktor eksternal yaitu melihat contoh yang
tersembunyi, yaitu membina siswa agar memiliki
salah. Perilaku tersebut diinternalisasi siswa
akhlak yang baik tidak hanya melalui materi
menyimpang saat beberapa kali mengikuti dan
pelajaran melainkan dengan pembiasaan sikap baik
melihat orang tuanya mengambil barang
pada anak. Guru senantiasa mengingatkan dan
bekas. Dengan melihat contoh tanpa ada
memberi contoh baik pada siswa, seperti menjaga
pengertian dan pemahaman dari orang tua,
kebersihan, ketertiban, saling menghormati,
siswa berperilaku menyimpang mengimitasi
menghargai dan berlaku jujur. Sehingga siswa akan
perbuatan tersebut dengan mengambil barang
terbiasa dengan sikap-sikap yang baik di sekolah.
orang lain tanpa izin pemiliknya.
Seperti yang diungkapkan John Dewey (1993)
Meski memiliki perilaku menyimpang
(Santrock 2007:135) meskipun sekolah tidak
yaitu mencuri, namun tidak semua perilaku
memiliki program spesifik mengenai pendidikan
yang ditunjukkan siswa tersebut menyimpang.
moral, mereka tetap menyediakan pendidikan moral
“L” aktif mengikuti kegiatan keagamaan
melalui kurikulum tersembunyi.
seperti TPA di masjid dan ia pun rajin
Guru juga berusaha menanamkan nilai-nilai
berinfak setiap hari di kelas. Di sekolah, “L”
budi pekerti agar siswa mampu membedakan
merupakan siswa yang tertib menaati
peraturan sekolah seperti datang ke sekolah
tepat waktu dan mengikuti program sekolah
StudiKasusSiswa....(ErlinOkvianti)1.831
dengan baik. “L” juga berlaku sopan dengan
guru, mematuhi apa yang diperintahkan
1.832J u r n a l PendidikanGuruSekolahDasarEdisi19Tahun ke-52016
guru, dan menggunakan bahasa yang sopan saat Desmita. (2009). Psikologi Perkembangan
berbicara dengan guru. Peserta Didik. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya.
Dilihat dari sisi interaksi sosial dengan Dian Ibung. (2009). Mengembangkan Nilai
teman sekelas, “L” mampu berinteraksi dan Moral pada Anak. Jakarta: PT Elex
Media Komputindo.
berteman dengan baik. Seperti jika berbuat Endah Sri Astuti. (2004). Pengaruh Pola Asuh
kesalahan “L” lalu meminta maaf pada teman. Orang Tua Terhadap Gejala
Kenakalan Anak/Remaja. Semarang:
Dan sebaliknya saat teman berbuat salah Undip.
padanya, “L” akan memaafkan temannya Haidar Putra Daulay.(2004). Pendidikan Islam
dalam Sistem Pendidikan Nasional di
tersebut. Indonesia. Jakarta: Prenada Media.
Sekolah terutama guru juga berupaya Nana Syaodih Sukmadinata. (2005). Metode
Penelitian Pendidikan. Bandung: PT
membantu mengatasi perilaku menyimpang Remaja Rosdakarya.
tersebut dengan menasihati dan menanamkan Nucci, Larry P., & Narvaez, Darcia. (2014).
Handbook Pendidikan Moral dan
nilai budi pekerti pada siswanya dan membantu Karakter. Jakarta: Nusamedia.
“L” untuk menghilangkan sikap buruknya dengan Nurul Zuriah. (2007). Pendidikan Moral dan
Budi Pekerti dalam Perspektif
senantiasa memberi perhatian, pemahaman dan Perubahan. Jakarta: Bumi Angkasa.
sanksi jika siswa tersebut berbuat tidak baik. Rini Utami Aziz. (2006). Jangan Biarkan Anak
Kita Berbohong dan Mencuri. Solo:
Tiga Serangkai.
Saran
Santrock, John W. (2007). Perkembangan Anak.
Berdasarkan hasil dan kesimpulan Jakarta: Erlangga.
penelitian, disarankan orang tua dan guru Saring Marsudi,dkk. (2003). Layanan Bimbingan
Belajar di Sekolah. Surakarta:
hendaknya mampu menjadi panutan yang baik Muhammadiyah University Press.
bagi anak dengan memberi contoh dan teladan Singgih D Gunarsa. (1991). Psikologi Praktis:
Anak, Remaja dan Keluarga. Jakarta:
yang baik, seperti berkata jujur, beribadah sesuai BPK Gunung Mulia.
dengan aturan agama, menasihati anak jika Syamsu Yusuf LN. (2009). Psikologi
Perkembangan Anak dan Remaja.
berbuat salah agar menyadari perbuatannya dan Bandung: PT Remaja Rosdakarya
tidak mengulanginya. Sehingga anak akan Offset.
tumbuh menjadi orang yang berperilaku mulia. UU No 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas.

DAFTAR PUSTAKA

Bimo Walgito. (2003). Psikologi Sosial (Suatu


Pengantar). Yogyakarta: CV Andi
Offset

Anda mungkin juga menyukai