Anda di halaman 1dari 295

ISSN : 2598-6244

Jurnal Inventa Vol III. No 1 Maret 2019 P-ISSN: 2622-819X

ANALISIS PERKEMBANGAN SOSIAL-EMOSIONAL TERCAPAI


SISWA USIA DASAR

Eka Tusyana1, Rayi Trengginas2, Suyadi3


Program Studi Pascasarjana Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta

ekatusyana07@gmail.com,rayitrengginas72@gmail.com,yadi.uinjogja@gmail.com

Abstrak

Penelitian ini bertujuan (1) untuk mengetahui perkembangan sosial-


emosional siswa di dalam pembelajaran (2) untuk mengetahui
perkembangan sosial-emosional siswa diluar pembelajaran (3) untuk
mengetahui upaya guru dalam mengembangkan sosial-emosional siswa.
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif, pengumpulan data
digunakan dengan observasi, dokumentasi dan wawancara kepada guru
kelas V. Kesimpulan Analisis data sebagai berikut : pertama, perkembangan
sosial-emosional siswa di dalam pembelajaran yang tercapai, yaitu siswa
menunjukan sikap Partisipasi, Komunikasi dan Interaksi, Mampu
menyesuaikan diri dengan kelompok belajar, Menunjukan rasa percaya diri.
Kedua, perkembangan sosial-emosional siswa di luar pembelajaran yang
tercapai, yaitu siswa menunjukan sikap membantu teman lain saat
membutuhkan pertolongan, tidak memaksakan kehendak sendiri, mampu
menyelesaikan masalah saat bermain, dapat mengontrol emosi saat bermain.
Ketiga upaya guru dalam mengembangkan sosial-emosional peserta didik
yaitu sebagai berikut: menciptakan hubungan perkembangan sosial-
emosional yang baik terhadap siswa, bersikap sebagai figur yang harus
dicontoh oleh siswa, memberikan bimbingan, arahan, untuk mendorong
tercapainya perkembangan sosial-emosional.

Kata Kunci: Analisis, Perkembangan Sosial-Emosional Tercapai

1. Pendahuluan emosi siswa Sekolah Dasar dapat


Perkembangan adalah proses yang kekal mengekspresikan reaksi terhadap orang lain,
dan tetap yang menuju ke arah suatu dan dapat mengontrol emosi. (Zusnani,
organisasi pada tingkat intergrasi yang lebih 2013)
tinggi, berdasarkan pertumbuhan dan Perkembangan sosial-emosional siswa
pemaksaan dalam belajar dan terjadilah suatu usia dasar yang dilakukan dalam penelitian
organisasi atau struktur tingkah laku yang ini melalui tahap analisis. Perkembangan
lebih tinggi. Dalam proses perkembangan sosial-emosional merupakan dua
sifat individu dan sifat lingkungan perkembangan yang tidak dapat dipisahkan
menentukan tingkah laku menjadi aktual dan satu sama lain, karena keduanya saling
terwujud. (Haditono, 2006) berhubungan. Ketika peserta didik siswa usia
Perkembanagan sosial siswa Sekolah dasar mempunyai perkembangan sosial-
Dasar pada perkembangan sosialnya anak emosional yang baik maka siswa tersebut
mulai bisa berkompetensi dengan teman akan mudah bergaul dan berinteraksi secara
sebaya, mempunyai sahabat, telah mampu baik kepada semua orang maupun
mandiri dan berbagi, sementara dari sisi

18
ISSN : 2598-6244
Jurnal Inventa Vol III. No 1 Maret 2019 P-ISSN: 2622-819X

lingkungan belajar dan aktivitas lingkungan sosial-emosional berdasarkan


sosial. lingkungannya.
Dalam perkembangan dunia pendidikan Pada usia ini, anak mulai memiliki
sosial-emosional menempati kedudukan kesanggupan menyesuaikan diri sendiri,
yang sangat penting selain perkembanagan (egosentris) kepada sikap yang kooperatif
kognitif siswa. Karena perkembagan sosial- (bekerjasama) atau mementingkan
emosional siswa sangat berpengaruh kepentingan orang lain. Perkembangan
dilingkungan sekolah maupun lingkungan emosi pada siswa usia dasar ditandai dengan
masyarakat. Perkembangan sosial-emosional kemampuan mengontrol emosi diperoleh
siswa usia Dasar sangat berpengaruh anak melalui peniruan dan latihan
terhadap perilaku, pengendalian, (pembiasaan). Perkembangan emosi pada
penyesuaian dan dengan aturan-aturan. siswa usia dasar ditandai dengan marah,
Ketika siswa mampu mengkondisikan diri takut, cemburu, iri hati, kasih sayang, rasa
dengan lingkungannya maka fungsi sosial- ingin tahu, dan kegembiraan (rasa senang,
emosionalnya akan semakin baik. nikmat, atau bahagia). (Yusuf, 2012)
Perkembangan sosial-emosional siswa Menurut Karina Priliani M.Psi dalam
dipengaruhi oleh yaitu faktor lingkungan Health-Detik.com "Sebenarnya ini adalah
sosial dan lingkungan keluarga. bagian perkembangan anak, di mana di usia
Dalam tahap perkembangan sosial- sekolah 6-12 tahun itu mereka mulai mencari
emosional tidak semua siswa dapat melewati pertemanan. Ini karena mereka belajar
perkembangan secara baik, disisi lain siswa beradaptasi di lingkungan di luar keluarga,"
mengalami suatu permasalahan untuk (detik, 2018)
mengembangkan sosial-emosional karena Perkembangan menghasilkan bentuk dan
ada pengaruh negatif dari lingkungan sosial ciri-ciri kemampuan baru yang berlangsung
dan keluarga yang kurang mendukung. Oleh dari tahap aktivitas yang sederhana ke tahap
sebab itu peran orang tua dan guru sangat yang lebih tinggi. Perkembangan itu
berpengaruh terhadap perkembangan sosial- bergerak secara berangsur-angsur tetapi
emosi siswa usia dasar dengan cara memberi pasti, melalui suatu bentuk tahap ke bentuk
bimbingan dan pengarahan terhadap tahap berikutnya, yang semakin hari semakin
perkembangan sosial-emosional siswa usia bertambah maju. (Desmita, 2012)
dasar agar tercapainya perkembangan sosial- Perkembangan sosial-emosional adalah
emosional yang diharapkan. suatu teori yang tidak dapat dipisahkan satu
Perkembangan sosial adalah pencapaian sama lain. Dengan kata lain, membahas
kematangan dalam hubungan sosial dan perkembangan emosi harus bersinggungan
proses belajar untuk menyesuaikan diri dengan perkembangan sosial anak.
dengan norma-norma kelompok tradisi dan Keduanya saling terintegrasi dalam bingkai
moral. Perkembangan sosial pada anak-anak kejiwaan yang utuh. Perkembangan sosial-
Sekolah Dasar ditandai dengan adanya emosional dipengaruhi oleh sikap, cara, dan
perluasan hubungan di dalam proses kepribadian orang tua dalam memelihara,
pembelajaran dikelas maupun saat bermain mengasuh, dan mendidik anaknya. (Suyadi,
di luar kelas, disamping dengan keluarga 2010)
juga dia mulai membentuk ikatan baru Perkembangan sosial-emosional anak,
dengan teman sebaya (peer group) atau maka dinyatakan bahwa perkembangan
teman sekelas, sehingga ruang gerak sosial dan emosional pada masa Sekolah
hubungan sosialnya telah bertambah luas. Dasar dipengaruhi oleh lingkungan rumah,
Oleh sebab itu perkembangan sosial- masyarakat, dan sekolah. Perkembangan
emosional di dalam proses pembelajaran sosial-emosional pada masa kanak-kanak
maupun saat bermain siswa harus memiliki akhir yakni umur 6-12 tahun selain peran
kesadaran untuk mengembangkan prilaku orang tua maka sekolah juga harus terlibat
untuk berperan karena anak-anak lebih

19
ISSN : 2598-6244
Jurnal Inventa Vol III. No 1 Maret 2019 P-ISSN: 2622-819X

banyak menghabiskan waktunya disekolah, ungkapan lain metodologi adalah suatu


pada usia 6-12 tahun merupakan anak-anak pendekatan umum untuk mengkaji topik
mulai memasuki jenjang Sekolah Dasar. penelitian. (Mulyana, 2010).
Perkembangan sosial-emosional yang baik Metode yang digunakan dalam penelitian
sangat berperan dalam kesiapan anak untuk ini adalah metode kualitatif deskriftif.
sekolah dan memperoleh prestasi belajar Metode deskriptif adalah penelitian yang
yang baik. (Soetjiningsih, 2012) digunakan untuk mendeskripsikan dan
Perkembangan sosial emosional adalah menjawab persoalan-persoalan suatu
proses perkembangan kemampuan anak fenomena atau peristiwa yang terjasi saat ini.
untuk menyelesaikan diri terhadap dunia Penelitian deskriptif berusaha
sosial yang lebih luas. Pada masa ini, anak mendeskripsikan suatu peristiwa dan
menjadi lebih peka terhadap perasaannya kejadian yang menjadi pusat perhatian.
sendiri dan perasaan orang lain. Siswa akan Tujuan penelitian deskriptif adalah untuk
lebih baik mengatur ekspresi emosionalnya menjelaskan secara sistematis, faktual, dan
dalam situasi sosial dan mereka dapat akurat mengenai fakta-fakta dan sifat
merespons tekanan emosional orang lain. populasi. (Arifin, 2012)
Pada masa perkembangan sosial-emosional Metode yang digunakan dalam penelitian
siswa peran orang tua dan guru sangat ini yaitu metode kualitatif deskriftif dimana
berpengaruh terhadap terbentuknya dalam penelitian ini mencari tentang
perkembangan sosial-emosional yang baik. fenomena peristiwa kemudian
Perkembangan sosial-emosional usia mendeskripsikan kejadian yang terjadi saat
dasar perlu diperhatikan untuk mendapatkan ini yaitu berkaitan dengan menganalisis
perhatian khusus dari pihak orang tua perkembangan sosial-emosional siswa usia
maupun pihak sekolah karena perkembangan dasar yang ada di SDN Jaranan untuk
sosial-emosional merupakan pengarah bagi mengetahui fakta atau peristiwa yang terjadi
siswa untuk berkomunikasi dan berinteraksi disekolah tersebut.
secara baik kepada setiap kelompok sosial Alat pengumpulan data yang digunakan
dan mampu menyesuaikan diri terhadap dalam penelitian ini yaitu sebagai berikut:
emosi yang dimiliki. a. Wawancara
Dari beberapa penjelasan di atas, penulis Salah satu tehnik pengumpulan data
akan melakukan penelitian di SD Jaranan informasi yang dilakukan dengan cara
yang dikhususkan untuk mengetahui mengadakan tanya jawab, baik secara
perkembangan sosial-emosional tercapai langsung maupun tidak langsung.
dalam kelompok teman sebaya dengan judul Teknik wawancara mampu menggali
penelitian “Analisis Perkembangan Sosial- pengetahuan, pendapat, dan pendirian
Emosional Siswa Usia Dasar (tercapai)” seseorang tentang suatu hal. Sifat
Berdasarkan latar belakang diatas rumusan wawancara yang dilakukan dalam
tujuan dari penelitian ini adalah : 1). Untuk penelitian ini yaitu bersifat wawancara
Mengetahui Perkembangan Sosial- tidak langsung. Karena penelitian ini
Emosional Siswa di dalam Proses dilakukan tidak langsung berkenaan
Pembelajaran atau di Dalam Kelas. 2) Untuk dengan siswa tetapi melalui perantara
Mengetahui Perkembangan Sosial- yakni guru kelas 5 SD Jaranan
Emosional Siswa di Luar Kelas 3). Untuk Jenis penelitian yang digunakan yaitu
Mengetahui Upaya Guru Dalam wawancara tidak terstruktur, karena
Mengembangkan Sosial Emosional Siswa di peneliti tidak menggunakan panduan
Sekolah. wawancara dan responden diberikan
2. Metode Penelitian kebebasan untuk menjawab pertanyaan
Metode adalah proses, prinsip, dan secara terbuka yang berkaitan dengan
prosedur yang kita gunakan untuk mendekati Analisis Perkembangan sosial-
problem dan mencari jawaban. Dengan emosional siswa usia dasar SD Jaranan.

20
ISSN : 2598-6244
Jurnal Inventa Vol III. No 1 Maret 2019 P-ISSN: 2622-819X

b. Observasi dilakukan oleh peneliti serta membuat


Observasi diartikan sebagai ringkasan data yang diambil dan data
pengamatan dan pencatatan secara yang dibuang yakni data yang berkaitan
sistematik terhadap suatu gejala yang dengan analisis sosial-emosional siswa.
tampak pada objek penelitian. Observasi c. Penyajian data (data display) yaitu
yang digunakann dalam penelitian ini menyajikan informasi tersusun yang
yaitu menggunakan observasi langsung memberikan kemungkinan adanya
yaitu peneliti langsung mengamati dan penarikan kesimpulan dan pengembalian
mencatat terhadap berlangsungnya tindakan yang berkaitan dengan
peristiwa berdasarkan objek yang perkembangan sosial-emosional peserta
diamati yaitu perkembanagan sosial- siswa. Penyajian data ini berbentuk teks
emosional anak usia dasar di SD naratif, yakni menguraikan analisis
Jaranan. perkembangan sosial-emosional peserta
c. Dokumentasi didik.
Dokumentasi merupakan cara d. Penarikan kesimpulan atau verifikasi
pengumpulan informasi yang didapatkan (conclusion drawing) yaitu tahap yang
dari dokumen yakni peninggalan paling terakhir yakni membuat
tertulis, arsip-arsip, akta ijazah,raport, kesimpulan setelah melewati
peraturan UU, buku harian dan catatan pengumpulan data, reduksi data, dan
biografi, dan foto folder data. Dalam penyajian data, dan penelitian ini tetap
penelitian ini dokumentasi yang di ambil berlanjut sampai penelitian terselesaikan
yakni foto saat melakukan observasi yakni menyajikan analisis
yang berkaitan dengan perkembangan perkembangan sosial-emosional siswa
sosial-emosional siswa di SD Jaranan. usia dasar.
Adapun subjek dalam penelitian ini
adalah salah satu siswa kelas V bernama 3. Hasil dan Pembahasan
Aini Sueb yang dianalisis perkembangan Penelitian dilakukan penulis pada tanggal
sosial-emosional. 27 Oktober 2018 dengan dua cara yaitu
Instrumen atau alat penelitian ini adalah observasi dan wawancara. Objek penelitian
penulis sendiri. Penulis berfungsi adalah siswa kelas V yang bernama Ainy
menetapkan fokus penelitian, memilih Sueb dikarenakan ada beberapa faktor antara
informan, sebagai sumber data, analisis data, lain : merupakan anak yang ceria, pintar,
menafsirkan data dan menarik kesimpulan mudah bersosialisasi dan aktif di dalam
atas temuannya. Penulis terjun langsung maupun di luar pembelajaran.
kelapangan yakni untuk mengumpulkan data Berdasarkan Hasil penelitian dan analisis
melalui observasi, wawancara, dokumentasi data yang dilakukan oleh peneliti dengan 2
baik dengan guru maupun peserta didik di cara yaitu analisis perkembangan sosial-
SD Jaranan Banguntapan Bantul emosional didalam dan di luar pembelajaran.
Yogyakarta. a. Analisis perkembangan Sosial-emosional
Adapun analisis data yang digunakan peserta didik di dalam kelas saat proses
dalam penelitian ini yaitu : belajar mengajar
a. Pengumpulan data (data collection) Berdasarkan hasil obsevasi dapat di
yaitu kegiatan yang dilakukan tarik kesimpulan bahwa peserta didik
observasi,wawancara, dokumentasi yang saya teliti menunjukkan sikap positif
dalam kegiatan siswa untuk terhadap diri sendiri maupun orang lain
menganalisis perkembangan sosial- saat berinteraksi atau berkomunikasi
emosional siswa usia dasar di SD yakni menerima dengan senang hati dan
Jaranan melakukan Feedback terhadap teman
b. Reduksi data (data Reduction) yaitu yang diajak komunikasi, menunjukkan
sebagai proses pemilihan data yang rasa percaya diri dan mempunyai rasa

21
ISSN : 2598-6244
Jurnal Inventa Vol III. No 1 Maret 2019 P-ISSN: 2622-819X

ingin tau yang tinggi ketika dihadapan berdasarkan siswa yang saya teliti
orang lain hal ini terlihat anak tersebut tercapai karena siswa tersebut dapat
berani bertanya kepada guru dan menempatkan emosionalnya berdasarkan
menjawab pertanyaan yang berkaitan tempatnya, siswa tersebut dapat bekerja
dengan materi pembelajaran maupun sama dengan baik ketika ada
bertanya kepada teman sesama, pembelajaran yang bersifat kelompok dan
mengeksperikan emosi yang sesuai ketika dapat menyelesaikan permasalahan yang
beriteraksi dengan teman sebangku baik terhadap sesama teman sebayanya,
terlihat ketika proses pembelajaran siswa tersebut mampu menyelesaikan
berlangsung ketika teman sebangku masalah dengan cara bermusyawarah
bertanya siswa tersebut menjawab terhadap sesama teman untuk menemukan
pertanyaan yang berkaitan dengan materi solusi demi untuk mencapai tujuan
pembelajaran dan menunjukaan interaksi bersama.
yang baik terhadap teman hal ini b. Analisis perkembangan Sosial-emosional
menunjukkan perkembangan emosional di luar kelas bermain bersama teman
yang menggambarkan sikap kasih sayang, sebaya.
berpartisipasi dalam kegiatan kerjasama Bersadarkan hasil observasi dapat
terlihat ketika melakukan kerja sama ditarik kesimpulan bahwa partisipasi
siswa tersebut berpartisipasi dan ikut serta siswa yang diteliti menunjukkan siswa
dalam menyelesaikan masalah untuk mampu menunjukkan partisipasi yang
mencapai tujuan tertentu dan Ketika baik dan mendorong teman yang lain
dibagi kelompok kecil oleh guru siswa untuk ikut bersama hal ini membuktikan
mampu untuk menyesuaikan diri dengan bahwa proses perkembangan sosial-
teman di luar kelompoknya. Hal ini emosional tercapai, membatu siswa lain
menunjukkan tingkat sosial anak tersebut saat membutuhkan pertolongan saat
dalam menyesuaikan diri dengan bemain hal ini membuktikan bahwa
lingkungan cukup baik, siswa juga perkembanagan sosial anak tersebut
mampu menyelesaikan tugas secara tercapai, memberikan respon feedback
bersama. Maka dari itu dari hasil ketika diajak teman lain bermain bersama
observasi yang peneliti lakukan dengan ekspresi bahagia dan gembira,
menunjukan adanya sikap sosial siswa tersebut mampu menempatkan
emosional siswa yang tercapai. peran dirinya dan tidak memaksakan
Berdasarkan hasil wawancara dengan kehendak diri sendiri melainkan bersama-
wali kelas guru kelas V maka dapat sama memberikan gagasan dan ide saat
ditarik kesimpulan bahwa kemampuan bermain, menerima bantuan lain saat ia
siswa tersebut ketika berinteraksi atau membutuhkan pertolongan saat bermain
berkomunikas baik dengan guru maupun contohnya ketika terjatuh saat bermain,
teman sebaya siswa tersebut mampu siswa tersebut mampu menyelesaikan
menunjukkan komunikasi dengan baik masalah saat bermain dengan sesama
dan sopan baik dengan guru maupun teman terlihat ketika ada perbedaan
dengan siswa, siswa tersebut pendapat saat bermain ia mampu
menunjukkan sikap toleransi dan kasih menyelesaikan permasalahan yang
sayang kepada teman sebaya saat dikelas bersifat sederhana maupun masalah yang
ditunjukkan dengan adanya interaksi dan berat dengan baik, menyapa teman
komunikasi yang baik saat berkomunikasi dengan baik saat berinteraksi bermain,
dan bekerja sama yang membahas berpartisipasi dengan baik dalam sebuah
mengenai materi pembelajaran, anak permainan yang bertujuan untuk
menunjukkan feedback yang tepat dengan menciptakan permainan yang sempurna,
teman sebaya ketika ada teman yang selain itu Siswa tidak marah ketika diajak
bertanya kepadanya, sikap emosionalnya bercanda oleh temannya. Marah

22
ISSN : 2598-6244
Jurnal Inventa Vol III. No 1 Maret 2019 P-ISSN: 2622-819X

merupakan hal yang sangat umum terjadi kepada teman yaitu


pada seorang anak, tingkat emosi mereka dengan
meminjamkan alat
yang masih labil menjadi salah satu hal tulis ketika ada
yang diperhatikan oleh tenaga pendidik. teman yang tidak
Berdasarkan hasil wawancara dapat membawa alat tulis
ditarik kesimpulan bahwa kemampuan 2 Partisipasi Siswa mampu
anak ketika bergabung bersama teman menujukan sikap
partisipasi ketika
saat bermain yakni bisa menyesuaikan guru membagi
individu dengan kelompok bermain, siswa kelompok dalam
tersebut mempunyai inisiatif tersendiri mengerjakan suatu
ketika bermain saat bermain yakni tugas
mampu mengayomi teman-temannya saat 3 Komunikasi dan Siswa mampu
bermain dan menunjukkan sikap saling Interaksi menujukan sikap
komunikasi yang
menyayangi, siswa tersebut dapat baik ditunjukan
memelihara peran bermain saat bermain dengan mampu
dengan teman sebaya dengan cara lebih berkomunikasi
menekankan nilai kebersamaan terhadap dengan teman
sesama teman bermain, siswa tersebut sebangku
4 Mampu Siswa mampu
mampu menyelesaikan konflik secara menyesuaikan diri menyesuaikan
bersama ketika terjadi permasalahan saat dengan kelompok dirinya dalam
bermain bersama, siswa tersebut merasa belajar kelompok belajar
senang ketika berinteraksi dengan teman yakni ditunjukan
sebaya saat bermain, siswa tersebut ketika didalam
kelas
mempunya rasa perduli yang tinggi 5 Menunjukan rasa Siswa mampu
terhadap teman bermain seperti menolong percaya diri menunjukkan rasa
teman yang sedang kesusahan. Menurut percaya diri ketika
Eka Leni, yaitu wali kelas 5 menerangkan saat proses
bahwa menciptakan suasana yang akrab pembelajaran
berlangsung yakni
adalah dengan sesering mungkin guru berani bertanya
berinteraksi dengan siswa, hal ini akan langsung kepada
berdampak kepada tingkat emosional guru
siswa yang stabil karena ada sosok lebih 6 Rasa ingin tahu yang Siswa menunjukkan
dewasa yang dapat menjadi contoh tinggi rasa ingin tahu yang
tinggi yakni ketika
mereka dan tempat mereka mencurahkan seorang guru belu
masalah. menjelaskan materi
Hasil Analisis yang akan dipelajari
Berdasarkan hasil analisis perkembangan siswa terlebih
sosial-emosional salah satu siswa kelas V dahulu bertanya
7 Mengekspresikan Siswa mampu
yang bernama Aini Sueb duperoleh hasil
emosi yang sesuai menunjukkan
analisis data dalam bentuk tabel sebagai ekspresi yang
berikut: sesuai yaitu tidak
mudah marah dan
Daftar Tabel Hasil Analisis tersinggung
terhadap sesama
Perkembangan Sosial-Emosional Tercapai
teman
didalam Kelas

No Perkembangan Hasil Uraian


Sosial-Emosional Analisis
1 Kasih Sayang Siswa mampu
menunjukan sikap
kasih sayang

23
ISSN : 2598-6244
Jurnal Inventa Vol III. No 1 Maret 2019 P-ISSN: 2622-819X

Daftar Tabel Hasil Analisis Perkembangan sosial-emosional pada


Perkembangan Sosial-Emosional Tercapai siswa Usia Dasar merupakan perkembangan
diluar Kelas perilaku dalam mengendalikan dan
No Perkembangan Hasil Uraian menyesuaikan diri dengan aturan-aturan
Sosial-Emosional Analisis masyarakat sosial dimana anak tersebut
1 Mendorong teman Siswa mampu
berada. Analisis perkembangan sosial
untuk ikut bermain mendorong atau
bersama mengajak siswa lain emosional yang kami teliti melalui dua
untuk bermain tempat yakni diluar kelas dan didalam kelas.
bersama-sama Perkembangan sosial-emosional didalam
2 Membantu siswa lain Membantu siswa kelas, pertama ‘’perkembangan sosial
saat membutuhkan lain yang emosional adalah perubahan kepribadian
pertolongan membutuhkan
pertolongan saat anak’’ hal ini disebabkan bahwa dunia anak
bermain dipenuhi dengan pengalaman emosional.
3 Tidak memaksakan Siswa tidak Pengalaman ini diperoleh setelah adanya
kehendak sendiri memaksakan perubahan karena hubungan dengan orang
kehendak sendiri lain atau setelah terjadinya interaksi.
ketika bermain
4 Menerima bantuan Siswa mampu
(Halida). Berdasarkan hasil penelitian di SD
orang lain menerima bantuan Jaranan diperoleh hasil analisis
orang lain saat ia perkembangan sosial-emosional yakni siswa
membutuhkam tersebut mampu beriteraksi dan
5 Mampu Siswa mampu berkomunikasi dengan baik, hal ini
menyelesaikan menyelesaikan
masalah saat bermain masalah jika dalam
dibuktikan adanya feedback saat
bermain terjadi berkomunikasi antara guru dan siswa saat
sebuah konflik kegiatan belajar mengajar dan siswa tersebut
6 Menyapa teman Siswa mampu mempunyai rasa percaya tinggi dan rasa
dengan baik menyapa temannya ingin tau yang tinggi yakni siswa tersebut
secara baik
bertanya secara langsung kepada guru
7 Dapat mengontrol Siswa dapat
emosi dengan baik menyesuaikan atau tentang materi yang belum mereka pahami.
mengontrol emosi Perkembangan sosial-emosional didalam
saat bermain yaitu kelas kedua ‘’Perkembangan sosial-
tidak mudah marah emosional merupakan perkembangan yang
jika ada teman yang melibatkan hubungan maupun interaksi
mengejeknya
dengan orang lain melalui perasaan yang
diungkapkan seseorang terhadap orang lain
Pembahasan
dan mampu mengembangkan perilaku sosial
Siswa Usia Dasar (6-12 tahun) memiliki
dan mengendalikan dalam hal emosi.
tugas perkembangan yang berkaitan dengan
(Wardany, 2017).
keterampilan sosial emosional. Pada saat
Berdasarkan hasil penelitian di SD
anak memasuki Sekolah Dasar, ia akan lebih
Jaranan salah satu siswa kelas V sisswa
banyak menghabiskan waktu disekolah yaitu
tersebut mampu mengendalikan perilaku
dengan guru dan teman-temannya.
sosial dan pengendalian emosi hal ini terlihat
(Nuryanto, 2005)
ketika siswa tersebut mampu menyesuaikan
Perkembangan sosial-emosional individu
emosi kepada temannya yakni menunjukkan
siswa ditandai dengan interaksi sosioal yang
sikap saling kasih sayang, berpartisipasi
baik, mudah bergaul dengan orang lain
dalam kegiatan kerjasama, dan ikut serta
maupun teman sebaya, beradaptasi dengan
dalam menyelesaikan masalah di dalam
lingkungan dan mampu menempatkan posisi
kelas.
perrkembanagn emosional secara baik.
Perkembangan sosial-emosional diluar
(Latifa, 2017)
kelas pertama perkembangan sosial-
emosional yang positif memudahkan anak

24
ISSN : 2598-6244
Jurnal Inventa Vol III. No 1 Maret 2019 P-ISSN: 2622-819X

untuk bergaul dengan sesamanya dan belajar dan Guru menciptakan hubungan
dengan lebih baik, juga dalam aktivitas perkembangan sosial-emosional yang baik
lingkungan sosial. (Nurjanah, 2017). terhadap siswa selain itu guru juga harus
Berdasarkan hasil analisis penelitian bersikap sebagai figur yang harus dicontoh
perkembangan sosial-emosional di SD yang baik kepada siswa.
Jaranan menunjukkan bahwa perkembangan
sosial emosional salah satu siswa kelas V 4. Kesimpulan
menunjukkan sosial emosional yang baik Berdasarkan hasil penelitian dapat
yakni mudah bergaul saat bermain, dan disimpulkan bahwa analisis perkembangan
mudah beriteraksi dengan sesaman teman sosial-emosional siswa SD Jaranan tergolong
saat bermain bersama, mengajak teman lain perkembangan sosial-emosional baik dan
untuk ikut serta dalam permainan, membantu tercapai. Hal ini di buktikan berdasarkan
teman lain saat membutuhkan pertolongan hasil penelitian salah satu siswa kelas V,
saat bermain, dan mampu menyelesaikan siswa tersebut tergolong perkembangan
permasalahan dengan kelompok bermain dan sosial-emosional sangat baik hal ini
mampu memelihara kelompok bermain agar dibuktikan dengan hasil penelitian didalam
tidak terjadi perselisihan, dan mengayomi kelas menunjukkan perkembangan sosial-
teman lain saat bermain. emosional dengan sikap kasih sayang, selalu
Perkembangan sosial-emosional diluar berpartisipasi dalam kegiatan pembelajaran,
kelas kedua perkembangan sosial emosional menunkukkan komunikasi dan interaksi yang
adalah perkembangan perilaku dalam baik, mampu menyesuaikan diri dalam
pengendalian dan peneyesuaian diri dengan kelompok belajar, menunjukkan rasa percaya
aturan masyarakat. Perkembangan sosial- diri, mempunyai rasa ingin tau yang tinggi,
emosional sangat dipengaruhi oleh dan mampu mengekspresikan emosi yang
lingkungan sosial emosional yakni orang tua, sesuai.
guru dan teman sebaya. (Suryati, 2016). Hasil penelitian perkembangan sosial-
Berdasarkan hasil analisis menunjukkan emosional salah satu siswa diluar kelas
bahwa sosial- emosional SD Jaranan menunjukkan perkembangan sosial-
tergolong baik pernyataan ini bisa di lihat emosional tercapai dan baik hal ini
hasil analisis perkembangan sosial emosional dibuktikan dengan sikap siswa dapat
siswa tersebut mudah berinteraksi dan mengontrol emosi dengan baik saat bermain
mudah bergaul dengan teman sebaya karen bersama dengan teman, membantu siswa lain
guru atau wali kelas V selalu memberikan saat membutuhkam pertolongan saat
stimulus atau dukungan anak tersebut saat bermain, mendorong teman untuk ikut
berhubungan dengan orang lain maupun bermain bersama, tidak memaksakan
teman sebaya. kehendak sendiri ketika bermain, menerima
Berdasarkan hasil penelitian maka ‘’ bantuan orang lain ketika merasakan
siswa dalam perkembangan sosial- kesulitan saat bermain, mampu
emosionalnya membutuhkan bantuan dan berkomunikasi dan berinteraksi dengan baik
program yang sesuai dengan kebutuhan dan saat bermain, dan mampu menyelesaikan
usianya dalam dunia pendidikan baik saat konflik ketika terjadi permasalahan saat
berhubungan dengan lingkungan sosial, bermain.
maupun keluarga’’. (Latipah, 2017). Maka Berdasarkan hasil analisis perkembangan
dalam perkembangan sosial-emosional siswa sosial-emosional salah satu siswa di SD
perlu adanya bimbingan, arahan, dari pihak Jaranan baik didalam kelas maupun diluar
orang tua maupun guru untuk mendorong kelas menunjukkan perkembangan sosial-
tercapainya perkembangan sosial-emosional emosional tergolong baik karena siswa
dan mempertahankan perkembangan sosial- tersebut menunjukkan indikator
emosional yang telah dimiliki oleh siswa perkembangan sosial-emosional yang sesuai
yang baik dimasa masa yang akan datang dengan kriteria berdasarkan teori yang ada.

25
ISSN : 2598-6244
Jurnal Inventa Vol III. No 1 Maret 2019 P-ISSN: 2622-819X

Daftar Pustaka Usia Dini Melalui Keteladanan.


Jurnal Bimbingan Konseling dan
Arifin, Z. 2012. Penelitian Pendidikan Dakwah Islam.Vol.14,No.1.hlm 51.
Metode dan Paradigma Baru. diakses 1 Juni 2017.
Bandung: Remaja Rosdakarya. Nuryanto, R. R. 2005. Efektivitas Pelatihan
Desmita. 2012. Psikologi Perkembangan. untuk Meningkatkan Keterampilan
Bandung : Remaja Rosdakarya. Sosial Pada Anak Sekolah Dasar
Detik, c. (2018, 11 minggu). Memahami Kelas 5. Jurnal Berkala Ilmiah
Anak SD yang Mulai Ngegeng. Psikologi . Vol.7,No.1.hlm 53.
Diambil kembali dari diakses Mei 2005.
http//health.detik.com. Soetjiningsih, C. H. 2012. Perkembangan
Haditono, S. R. 2006. Psikologi Anak Sejak Pembuahan Sampai
Perkembanag Pengantar dalam dengan Kanak-kanak Akhir. Jakarta:
Berbagai Bagiannya. Yogyakarta: Prenadamedia Group.
Gadjah Mada University Press. Suryati, E. 2016. Upaya Meningkatkan
Halida, A. d. 2017. Peran Guru Dalam Perkembangan Sosial-Emosional
Mengembangkan Sosial Emosional Melalui Kegiatan Permainan
di Kelas B3 TK Gembala Baik Kota Tradisional Ular Naga Pada Anak
Pontianak. Kelompok B. Jurnal Pendidikan
Latifa, U. 2017. Aspek Perkembangan Pada Anak Usia Dini Universitas
Anak Sekolah Dasar Masalah dan Pendidikan Ganesha.Vol.4.No.1.
Perkembangan. Jurnal of diakses Tahun 2016.
Multidisciplinary Studies. Vol.1 Suyadi. 2010. Psikologi Perkembangan
No.2. hlm 189. diakses Desember PAUD. Yogyakarta: Bintang Pustaka
2017. Abadi.
Latipah, L. F. 2017. Pengembangan Wardany, M. P. 2017. Aktivitas Bermain
Kemampuan Kognitif dan Sosial Kooperatif Meningkatkan
Emosional Melalui Penerapan Media Perkembangan Sosial-Emosional
Balok dan Bermain Peran Pada Siswa Anak.
TK Kuntum Mekar Lampung. Al- Yusuf, S. 2012. Psikolohi Perkembangan
Athfal:Jurnal Pendidikan Anak. Anak dan Remaja. Bandung: Remaja
Vol.3.No.2. hlm. 188. diakses 5 Rosdakarya.
Desember 2017. Zusnani, I. 2013. Pendidikan Kepribadian
Mulyana, D. 2010. Metodelogi Penelitian Siswa SD-SMP. Yogyakarta:
Kualitatif. Bandung: PT Remaja Platinum.
Rosdakarya Offset.
Nurjanah. 2017. Mengembangkan
Kecerdasan Sosial Emosional Anak

26
ARTIKEL
E-ISSN: 2615-5028

KETIMPANGAN SEBAGAI PENYEBAB KONFLIK:


KAJIAN ATAS TEORI SOSIAL KONTEMPORER

Muhamad Zuldin
(FISIP UIN SGD Bandung; muhammadzuldin@yahoo.com)

Abstract

This article reviews the relationship between inequality and social conflict in society. This
literature review finds that there are at least four schools of thought in contemporary conflict theory that
examine the relationship of inequality to conflict. The first is the flow of positive thought which includes
the theory of structural conflict. Second is the flow of humanism thinking which consists of symbolic
interactions and social construction theory. The third is the school of thought which consists of the
thoughts of Jurgen Habermas and Pierre Bourdieu. And the last is a multi-disciplinary school built
by Johan Galtung and Anthony Giddens. The four schools of thought develop classical conflict theory,
especially Marx's thought that argues that economics is the only factor of conflict in society.

Keywords: Theory of conflict, social inequality, critical schools, multi-


disciplinary approaches

Abstrak

Artikel ini mengkaji ulang hubungan antara ketimpangan dengan konflik sosial
di masyarakat. Kajian pustaka ini menemukan bahwa setidaknya ada empat aliran
pemikiran dalam teori konflik kontemporer yang mengkaji hubungan ketimpangan
dengan konflik. Yang pertama adalah aliran pemikiran positif yang mencakup teori
konflik struktural. Kedua adalah aliran pemikiran humanisme yang terdiri dari interaksi
simbolik dan teori konstruksi sosial. Yang ketiga adalah mazhab pemikiran yang terdiri
dari pemikiran Jurgen Habermas dan Pierre Bourdieu. Dan yang terakhir adalah
mazhab multi disiplin ilmu yang dibangun oleh Johan Galtung dan Anthony Giddens.
Keempat aliran pemikiran tersebut mengembangkan teori konflik klasik, khususnya
pemikiran Marx yang berpendapat ekonomi adalah satu-satunya faktor konflik dalam
masyarakat.

Kata kunci: Teori konflik, ketimpangan sosial, mazhab kritis, pendekatan multi
disiplin

A. PENDAHULUAN

Konflik merupakan realitas sosial yang sering terjadi di masyarakat. Analisis

tentang konflik ini sejalan dengan masa awal perkembangan sosiologi. Teori konflik

Temali: Jurnal Pembangunan Sosial, Volume 2 Nomor 1 Tahun 2019 157


ARTIKEL
E-ISSN: 2615-5028

awal atau klasik, yang diwakili oleh Marx, memiliki asumsi yang sederhana tentang

masyarakat. Menurutnya, konflik merupakan determinasi oleh faktor ekonomi,

khususnya pertentangan antara kaum proletar dengan borjuis. Sejarah merupakan

cerita panjang pertentangan kelas antara kaum proletar dan borjuis. Dalam pangangan

klasik, konflik diidentikan dengan tindakan destruktif yang menakutkan. Berbeda

dengan pandangan klasik, teori konflik kontemporer mengganggap konflik tidak hanya

didominasi oleh faktor ekonomi. Konflik dalam pandangan ini merupakan sesuatu

yang permanen terjadi di semua lapisan masyarakat yang disebabkan antara lain oleh

perebutan kekuasaan, prestise, dan juga kekayaan, yang memang jumlahnya sangat

terbatas. Teori konflik kontemporer tidak hanya melihat konflik yang bersifat

destruktif, namun juga menganalisis fungsi konflik yang bersifat konstruktif bagi

masyarakat.1

Ide Marx dikembangkan juga oleh George Sorel. Sorel menganggap konflik

sebagai fenomena positif. Dia berpendapat bahwa konflik antar kelas akan

mengakibatkan berkuranganya kesatuan sosial di kalangan kelas itu. Oleh karena itu,

berkurangnya perjuangan kelas mungkin akan melemahkan dan mengaburkan

perbedaan di antara kelas dan dalam keadaan yang ekstrem, kesatuan dan identitas kelas

akan terus hilang. Max Gluckman, seorang antropolog Inggris, telah menekankan

betapa pentingnya konflik dalam masyarakat primitif. Berdasarkan penelitiannya di

Afrika, dia membuat kesimpulan bahwa konflik, dalam hubungan tertentu, dapat

mewujudkan kembali kesatuan sosial.2

1 M. Taufiq Rahman, Pengantar Filsafat Sosial, (Bandung: Lekkas, 2018), h. 169.


2 M. Taufiq Rahman, Glosari Teori Sosial, (Bandung: Ibnu Sina Press, 2011), h. 58.

Temali: Jurnal Pembangunan Sosial, Volume 2 Nomor 1 Tahun 2019 158


ARTIKEL
E-ISSN: 2615-5028

Dari penjelasan di atas, tampak bahwa teori konflik telah mengalami revolusi,

dari yang bersifat destruktif ke yang lebih bersifat konstruktif. Dengan demikian,

semakin modern teori konflik, semakin ia bersifat membangun.

B. TINJAUAN TEORI

Di bawah ini akan dikemukakan teori sosiologi konflik kontemporer, yang

diwakili oleh empat mazhab, yakni mazhab positivis (Ralph Dahrendorf dan Lewis

Coser), mazhab humanis (Herbert Blumer dan Peter Berger), mazhab kritis (Bourdieu

dan Jurgen Habermas), dan mazhab multidisipliner (Johan Galtung dan Anthony

Giddens).

Metodologi yang digunakan oleh penganut mazhab positivistik adalah bebas

nilai, universal, ahistoris, analisis makro, dan objektif. Teori yang tercakup adalah

konflik struktural: Dialektika konflik wewenang, dan fungsi konflik. Penganut mazhab

ini menganalisis dinamika dan pergeseran kelembagaan dari struktur sosial dan konflik

perebutan wewenang. Tokohnya adalah Ralph Dahrendorf dan Lewis Coser.

Dahrendorf menyebut teori konfliknya sebagai sosiologi konflik dialektis yang

menjelaskan proses terus-menerus distribusi kekuasaan dan wewenang di antara

kelompok-kelompok terkoordinasi. Kenyataan sosial, bagi Dahrendorf, merupakan

siklus tak berakhir dari adanya konflik wewenang dari berbagai macam tipe kelompok

terkoordinasi dari sistem sosial.3

Dahrendorf memandang bahwa tidak akan pernah ada masyarakat tanpa

kehadiran konflik dan konsensus. Jadi tidak akan ada konflik tanpa kehadiran

konsensus sebelumnya. Sebaliknya, konflik dapat menghasilkan konsensus dan

3 Novri Susan. Sosiologi Konflik: Isu-isu konflik kontemporer. (Jakarta: Kencana, 2009). Hlm 52. Cetakan
pertama.

Temali: Jurnal Pembangunan Sosial, Volume 2 Nomor 1 Tahun 2019 159


ARTIKEL
E-ISSN: 2615-5028

integrasi. Tampak bahwa Dahrendorf mengambil posisi di antara keduanya. Untuk

kaum fungsionalis, dia menegaskan bahwa sistem sosial dipersatukan oleh kerjasama

sukarela atau konsesnsus keduanya. Bagi pendukung teori konflik, dia menegaskan

bahwa masyarakat dipersatukan oleh pembatasan yang dipaksakan. Ini berarti bahwa

sejumlah posisi dalam masyarakat merupakan kekuasaan dan wewenang yang

dilegasikan dari satu pihak atas pihak lainnya. Fakta tentang kehidupan sosial ini

menggiring Dahrendorf kepada tesis utamanya bahwa pendistribusian wewenang

merupakan faktor penentu dari konflik-konflik sosial yang sistematis.4

Dalam membangun tesisnya, Dahrendorf menggunakan teori perjuangaan

kelas Marxian guna membangun teori kelas dan pertentangan kelas dalam menganalisis

masyarakat industri modern. Menurutnya kelas tidak berarti pemilikan sarana-sarana

produksi (seperti yang dilakukan oleh Marx) tetapi lebih pada pemilikan kekuasaan,

yang mencakup hak absah untuk menguasai orang lain. Perjuangan kelas dalam

masyarakat modern, baik dalam perekonomian kapitalis maupun komunis, dalam

pemerintahan bebas dan otoriter, berada di seputar pengendalian kekuasaan.5

Tesis Dahrendorf ini merupakan kritik sekaligus penyempurnaan terhadap

pemikiran Marx yang cenderung hanya menekankan aspek ekonomi sebagai faktor

dominan. Menurut Marx konflik terjadi karena ada ketimpangan pemilikan materi oleh

masyarakat yang disebabkan oleh adanya ekploitasi berlebihan dari kelompok pemilik

modal (kapitalis) terhadap kelompok yang tidak memiliki (lumpen proletar), sehingga

kesenjangan antara yang memiliki dan yang tidak memiliki semakin lebar. Faktor materi

4 Judistira K Garna dalam Sunarta. Integrasi dan Konflik: Kedudukan Politik Jawara dan Ulama dalam Budaya
Politik Lokal (Bandung: PPS Unpad Bandung, 1997) hlm 25. Disertasi.
5 Margaret M. Poloma. Sosiologi Kontemporer. (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003) hlm 144. Cetakan

ke-5. Diterjemahkan oleh tim penerjemah Yosogama dari judul asli Contemporary Socilogical Theory.

Temali: Jurnal Pembangunan Sosial, Volume 2 Nomor 1 Tahun 2019 160


ARTIKEL
E-ISSN: 2615-5028

inilah menurut Marx, yang menjadi sumber dan penyebab kecemburuan sosial.

Dahrendorf memang mengakui bahwa materi merupakan salah satu elemen penyebab

konflik, tetapi menurutnya tidaklah sesederhana itu. Bagi Dahrendorf, penyebab

ketimpangan dalam masyarakat dapat ditelusuri dengan konsep kekuasaan (power) dan

wewenang (authority) yang dimiliki masyarakat. Perbedaan dalam posisi, kekuasaan, dan

wewenang yang tidak merata akan berdampak pada perbedaan dan perolehan

kepemilikan materi, yang mengakibatkan terjadinnya kesenjangan. Jadi sumber utama

atau faktor dominan konflik dalam masyarakat adalah tidak terdistribusinya secara

merata kekuasaan dan wewenang dalam masyarakat.

Kekuasaan (power) dalam masyarakat modern dan industrial bisa diterjemahkan

sebagai wewenang (authority). Menurut Dahrendorf, wewenang adalah:

(1) Relasi wewenang yaitu selalu relasi-relasi antar super subordinasi; (2) di
mana ada relasi-relasi wewenang, kelompok-kelompok superordinasi selalu
diharapkan mengontrol perilaku kelompok-kelompok subordinasi melalui
permintaan dan perintah serta peringatan dan larangan; (3) berbagai harapan
tertanam relatif permanen dalam posisi sosial dari pada karakter individu; (4)
dengan keberadaan fakta ini atau kekuasaan superordinasi, mereka selalu
melibatkan spesifikasi subjek-subjek perorangan untuk mengontrol dan; (5)
spesifikasi dari ruang sosial yang kontrol mungkin dilakukan; dan (5)
wewenang menjadi hubungan terlegitimasi, tanpa protes dengan perintah-
perintah otoritatif dapat diberi sanksi; sesungguhnya ini merupakan fungsi
sebenarnya dari sistem legal untuk mendukung pemberlakuan wewenang yang
memiliki legitimasi.6
Kekuasaan dan otoritas merupakan sumber-sumber yang menakutkan dan

mereka yang memegangnya memiliki kepentingan untuk mempertahan status quo.

Dahrendorf mengatakan hal ini merupakan kepentingan objektif yang terbentuk dalam

peran-peran itu sendiri, bersamaan dengan kepentingan atau fungsi dari semua peran

dalam mempertahankan organisasi itu sebagai keseluruhan. Dunia sosial karenanya

6 Ralf Darendorf. Class and Class Conflict in Industrial Society (California: Stanford University Press, 1959)
.hlm 166-167.

Temali: Jurnal Pembangunan Sosial, Volume 2 Nomor 1 Tahun 2019 161


ARTIKEL
E-ISSN: 2615-5028

distruktur ke dalam kelompok-kelompok sosial yang secara potensial mengandung

konflik. Inilah yang ia sebut dengan quasi-group. 7

Ketimpangan dan konflik itu tidak terjadi hanya pada masyarakat kapitalis dan

proletar, tetapi juga pada semua bentuk masyarakat, seperti keluarga, organisasi,

militer, negara atau dalam semua aspek kehidupan seperti ekonomi, sosial, budaya,

agama, hukum, dan keamanan. Jadi konflik sosial, menurut Dahrendorf, meliputi

aspek yang sangat luas, tidak seperti yang dikatakan Marx yang hanya terbatas pada

ekonomi dan bersifat materi belaka.8

Dahrendorf juga berpandangan bahwa tidak setiap konflik mengarahkan pada

perpecahan, tetapi juga mengarah pada perubahan sosial dan perkembangan, seperti

dinyatakan oleh George Ritzer:

Briefly, Dahrendorf argued than once conflict groups emerge, they engage in actions that lead
to changes in social strructure. When the conflict is intense, the changes that accur are radical.
When it is accompanied by violence, structural change will be sudden. Whatever the nature
of conflict, sociologist must be attuned to the relationship between conflict and change as well
as as that between conflict and the status quo.9

Pemikiran Dahrendorf telah membuka wawasan yang lebih luas dalam

mengkaji setiap fenomena konflik sosial yang tidak terbatas pada determinasi ekonomi

saja atau pemilik modal dengan memilili modal. Teori ini, disamping untuk

menganalisis konflik struktural yang disebabkan faktor kekuasaan, tetapi juga bisa

digunakan untuk menganalisis derivasi dari kekuasaan seperti konflik yang bersumber

dari agama dan budaya.

7 Ian Craib. Teori-Teori Sosial Modern dari Parsons sampai Habermas hlm 98
8 Yohanes Bahari. Resolusi Konflik Berbasis Pranata Adat Pamakang dan Pati Nyawa pada Masyarakat Dayak
Kanayatn di Kalimantan Barat (Bandung, Program PPS Unpad, 2005) hlm 33-34. Disertasi.
9 George Ritzer. Sociological Theory. (Singapore: McGraw-Hill, 1992) hlm 266. Third Edition.

Temali: Jurnal Pembangunan Sosial, Volume 2 Nomor 1 Tahun 2019 162


ARTIKEL
E-ISSN: 2615-5028

Mengenai fungsi konflik, sebenarnya telah dibahas oleh George Simmel.

Namun demikian, karya Simmel ini telah diperluas oleh Lewis Coser yang menyatakan

bahwa konflik dapat berfungsi memperkokoh kelompok sosial yang kurang

terstruktur. Di dalam masyarakat yang kurang terintegrasi, konflik dapat berfungsi

mengembalikan integrasi sosial. Menurut Coser, konflik dapat berfungsi sebagai

berikut: ”1) Conflict with one group may serve to produce coheesion by leading to a series of alliances

with other groups. 2) Within society, conflict can bring some ordinarily isolated individuals into active

role. 3) Conflict also serve a communication function.”10

Lebih jauh lagi, proposisi Simmel dan Coser tentang konflik dan integrasi

diungkap oleh Saifudin sebagai berikut:

Proposisi Simmel tentang konflik dan integrasi telah dirumuskan dan


dipertajam oleh Coser, antara lain: 1) konflik berfungsi menegakkan dan
mempertahanan identitas dan batas-batas kelompok sosial masyarakat, 2)
konflik tidak selalu bersifat disfungsional dalam kontek hubungan di mana
konflik tersebut terjadi, sebaliknya seringkali konflik diperlukan untuk
mempertahankan hubungan mereka, 3) Dilihat konflik sebagai sarana dan
sebagai tujuan maka terdapat dua macam konnflik yaitu: konflik realistis dan
konflik non realistis, 4) konflik yang lebih radikal dapat terjadi dalam
perkumpulan dan organisasi oposisi yang mempertajam konflik, 4) konflik
dapat melenyapkan unsusr-unsur yang memecah belah dan menegakkan
kembali persatuan, 5) konflik dapat melenyapkan unsusr-unsur yang memecah
belah dan menegakkan kembali persatuan, 6) konflik suatu kelompok dengan
kelompok-kelompok yang lain menghasilkan mobilisasi energi para anggota
kelompok yang bersangkutan, sehingga kohesi kelompok ditingkatkan, 7) ada
tiga aspek struktur kelompok yang harus diperhatikan yaitu; ukuran relatif,
kelompok, tingkat keterlibatan anggota-anggotanya dan situasi sosial, 8) suatu
konflik di mana pelakunya merasa bahwa mereka semata-mata wakil kolektif
atau cenderung lebih radikal karena kesadarn bahwa perjuangan mereka
berlandaskan pada ideologi tertentu, 9) konflik dapat menciptakan jenis-jenis
interaksi yang baru diantara pihak-pihak yang bertentangan yang sebelumnya
tidak ada, 10) konflik dapat mempersatukan orang-orang atau kelompok yang
tadinya tidak saling berhubungan.11

10 Lewis Coser. The function of social conflict. (New York: Free Press, 1956) dalam Sunarta. Integrasi dan
Konflik: Kedudukan Politik Jawara dan Ulama dalam Budaya Politik Lokal. Hlm 26-27. Lihat juga George
Ritzer. Sociological Theory. Hlm 268-269.
11 Ahmad Fedyani Saifuddin, Konflik dan Integrasi: Perbedaan Faham dalam Agama Islam. (Jakarta: Rajawali,

1986) hlm 44

Temali: Jurnal Pembangunan Sosial, Volume 2 Nomor 1 Tahun 2019 163


ARTIKEL
E-ISSN: 2615-5028

Lebih lanjut Coser berasumsi bahwa konflik akan fungsional bagi sistem sosial

sebagai berikut: menstabilkan hubungan, mengfungsikan kembali keberadaan

keseimbangan, menambah munculnya norma-norma baru, menyediakan mekanisme

bagi penyesuaian diri yang terus-menerus dari keseimbangan kekuasaan,

mengembangkan koalisi dan asosiasi baru, menurunkan isolasi sosial, dan

menyumbangkan untuk pemeliharaan garis batas kelompok. Secara umum, konflik

akan menghasilkan keadaan yang lebih stabil, fleksibel, dan sistem sosial yang lebih

terpadu.12

Coser membagi konflik menjadi dua: konflik eksternal (external conflict) dan

konflik internal (internal conflict). Konflik ekternal mampu menciptakan dan

memperkuat identitas kelompok. Dia menyatakan: ”...konflik membuat batasan-

batasan di antara dua kelompok dalam sistem sosial dengan memperkuat kesadaran

dan kesadaran kembali atas keterpisahan, sehingga menciptakan kesadaran identitas

kelompok dalam sistem.”13 Sedangkan fungsi konflik internal adalah memberi fungsi

positif terhadap kelompok identitas mengenai adanya kesalahan perilaku. Selain itu,

konflik internal merupakan mekanisme bertahan dari eksistensi suatu kelompok.

Coser juga membedakan dua tipe dasar konflik, yaitu konflik realistis dan konflik

non realistis. Konflik realistik memiliki sumber yang kongkrit atau bersifat material,

seperti perebutan sumber ekonomi atau wilayah. Jika mereka telah memperoleh

sumber rebutan itu, dan bila dapat diperleh tanpa perkelahian, maka konflik akan

segera diatasi dengan baik. Konflik non realistis didoroang keinginan yang tidak

12 Graham C. Kinloch. Perkembangan dan Paradigma Utama Teori Sosiologi. (Bandung: Pustaka Setia, 2005)
hlm 228. Cetakan Pertama. Editor: Dadang Kahmad. Diterjemahkan dari Sociological Theory: Its
Development and Major Paradigm.
13 Lewis Coser. The function of Social Conflict. Hlm 37 dalam Novri Susan hlm 53.

Temali: Jurnal Pembangunan Sosial, Volume 2 Nomor 1 Tahun 2019 164


ARTIKEL
E-ISSN: 2615-5028

rasional dan cenderung bersifat ideologis, seperti konflik antar agama, antar etnis, dan

konflik antar kepercayaan lainnya. Konflik adalah tujuan itu sendiri, baik diizinkan atau

tidak. Konflik non realistis merupakan suatu cara menururnkan ketegangan atau

mempertegas identitas satu kelompok, dan cara ini mewujudkan bentuk-bentuk

kekejian yang sesungguhnya turun dari sumber-sumer lain. Antara konflik pertama dan

kedua, konflik non realistis cenderung sulit untuk menemukan resolusi konflik,

konsensus dan perdamaian tidak akan mudah diperoleh. Menurut Coser, sangat

memungkinkan bahwa konflik melahirkan kedua tipe ini sekaligus sehingga

menghasilkan situasi konflik yang lebih komplek.14

Menurut Wallace dan Wolf, fungsi positif konflik internal terhadap kelompok

bisa berlaku tatkala konflik tidak menyertakan nilai-nilai dan prinsip dasar. Hal ini

terkait dengan tipe kelompok menurut Coser yakni bahwa konflik yang menyertakan

nilai-nilai dan prinsip dasar biasanya bersifat nonrealistis. Melalui pengelolaan konflik

yang baik, sebagai safety valve, maka sistem akan berjalan dengan stabil dan berperan

mengintegrasikan struktur sosial.15

Teori konflik Coser yang membahas konflik internal dan konflik ekternal dan

konflik realistis dan konflik non realistik sangat relevan dipakai untuk menganalisis

konflik kelompok keagamaan. Demikian pula dengan konsep savety valve yang

14 Ibid. hlm 54-55. Bandingkan dengan Nasikun yang membagi dua macam tingkatan konflik: Konflik
ideologis dan konflik politis. Konflik ideologis terwujud dalam bentuk konflik antar sistem nilai yang
dianut dan menjadi ideologi dari berbagai kesatuan sosial. Konflik ini mudah disimak di dalam hubungan
perbedaan agama dan keyakinan, dan konflik antar suku bangsa. Konflik bersifat politis terjadi dalam
bentuk pertentangan di dalam pembagian status kekuasaan dan sumber-sumber ekonomi yang terbatas
di masyarakat. Nasikun. Sistem Sosial Indonesia. (Jakarta: CV Rajawali, 1992). Hlm 63. Cetakan ketujuh.
15 Wallace & Wolf .Reading in Contemporary Sociological Theory from Modernity to Post Modernity.(New Jersey:

Printice Hall. 1995) hlm 159

Temali: Jurnal Pembangunan Sosial, Volume 2 Nomor 1 Tahun 2019 165


ARTIKEL
E-ISSN: 2615-5028

dikemukan oleh Simmel dan ditegaskan kembali oleh Coser yang berfungsi sebagai

jalan tengah solusi konflik sangat berguna untuk menganalisis resolusi konflik.

C. HASIL DAN PEMBAHASAN

Teori sosiologi humanis berkembang sebagai respons terhadap analisis makro

fungsionalisme struktural. Teori ini berguna untuk menganalisis konflik masyarakat,

konflik mikro atau konflik antar individu dan individu terhadap kelompok. Teori-teori

yang berada dalam mazhab ini teori interaksi simbolik dan teori konstruksi sosial.

Tokoh awal teori interaksinisme simbolik adalah Herbert Mead, yang

menggabungkan filsafat pragmatisme dan behaviorisme psikologis. Karyanya yang

sangat penting adalah Mind, Self, and Society.16 Mind atau pikiran didefinisikan Mead

sebagai proses percakapan seseorang dengan diri sendiri, tidak ditemukan di dalam diri

individu; pikiran adalah fenomena sosial. Pikiran muncul dan berkembang dalam

proses sosial dan merupakan bagian integral dari proses sosial. Proses sosial

mendahului pikiran, proses sosial bukanlah produk dari pikiran. Karakteristik istimewa

dari pikiran adalah kemampuan individu untuk memunculkan dalam dirinya sendiri

tidak hanya satu respon saja, tetapi juga respon komunitas secara keseluruhan. Mead

juga melihat pikiran secara pragmatis, yakni pikiran melibatkan proses berpikir yang

mengarah pada penyelesaian masalah dan memungkinkan orang melakukan sesuatu

lebih efektif dalam kehidupan.17

16 George Ritzer dan Douglas J. Goodman. Teori Sosial Modern .(Jakarta: Kencana, 2004) hlm 271. Edisi
pertama. Diterjemahkan oleh Alimandan dari buku aslinya Modern Sociological Theory, Sixth Edition.
17 Ibid. hlm 280

Temali: Jurnal Pembangunan Sosial, Volume 2 Nomor 1 Tahun 2019 166


ARTIKEL
E-ISSN: 2615-5028

Self atau diri adalah kemampuan menerima diri sendiri sebagai suatu objek. Diri

mensyaratkan proses sosial: komunikasi antar manusia. Lebih lanjut Mead

mendefinisikan tentang ”diri”:

Diri adalah di mana orang memberi tanggapan terhadap apa yang ia tujukan
kepada orang lain dan di mana tanggapannya sendiri menjadi bagian dari
tindakannya, di mana ia tidak hanya mendengar dirinya sendiri, tetapi juga
merespon dirinya sendiri, berbicara dan menjawab dirinya sendiri sebagaimana
orang lain menjawab pada dirinya, sehingga kita mempunyai perilaku di mana
individu menjadi objek untuk dirinya sendiri.

Karena itu diri adalah aspek lain dari proses sosial menyeluruh di mana individu

adalah bagiannya. Ahirnya Mead mengatakan, ” Hanya dengan mengambil peran orang

lainlah kita mampu kembali kepada diri kita sendiri.18

Diri, menurut Mead, pada dasarnya merupakan proses sosial yang berlangsung

dua fase yang dapat dibedakan, yaitu ”I” dam ”Me”. ”I’ adalah tanggapan spontan

terhadap orang lain. ”Me” merupakan penerimaan atas orang lain yang digeneralisir.

Kontrol sosial terbentuk karena keunggulan ekpresi ”Me” di atas ekpresi ”I”.

Society atau masyarakat berarti proses sosial tanpa henti yang mendahului

pikiran dan diri. Menurut Mead, masyarakat penting perannya dalam membentuk

pikiran dan diri. Masyarakat mencerminkan sekumpulan tanggapan terorganisisr yang

diambil alih oleh individun dalam bentuk ”me”. Pada tingkat kemasyarakatan yang

lebih khusus, Mead mendefinisikan pranata sosial sebagai ”tanggapan bersama dalam

komunitas” atau” kebiasaan hidup berkomunitas”. Menurutnya, ada pranata sosial

yang bersifat menindas, stereotif, dan ultrakonservatif, seperti lembaga keagamaan.19

18 Ibid, hlm 281-282


19 Ibid. hlm 287-288

Temali: Jurnal Pembangunan Sosial, Volume 2 Nomor 1 Tahun 2019 167


ARTIKEL
E-ISSN: 2615-5028

Istilah interaksi simbolik merupakan sumbangan orisinil Herbert Blumer

melalui artikelnya Man and Society (1969). Ia menyebutkan tujuh prinsip dasar teori ini,

sebagai berikut:

a. Tak seperti binatang manusia dibekali kemampuan untuk berpikir.

b. Kemampuan berpikir dibentuk oleh interaksi sosial.

c. Dalam interaksi sosial manusia mempelajari arti dan simbol yang memungkinkan

mempelajari arti dan simbol yang mereka menggunakan kemampuan berpikir

mereka yang bersifat khusus.

d. Makna dan simbol memungkinkan manusia melanjutkan tindakan khusus dan

berinteraksi.

e. Manusia mampu mengubah arti dan simbol yang mereka gunakan dalam tindakan

dan interaksi berdasarkan penafsiran mereka terhadap situasi.

f. Manusia mampu membuat kebijakan modifikasi dan perubahan, sebagian karena

kemampuan mereka berinteraksi dengan diri mereka sendiri, yang memungkinkan

mereka menguji serangkaian peluang tindakan, menilai keuntungan dan kerugian

mereka, dan memilih salah satu diantara serangkaian peluang tindakan itu.

g. Pola tindakan dan interaksi yang saling berkaitan akan membentuk kelompok dan

masyarakat.20

Menurut Poloma, premis teori interaksi simbolik Blumer bertumpu pada:

1. Manusia bertindak terhadap sesuatu berdasarkan makna-makna yang ada pada

sesuatu itu bagi mereka.

2. Makna tersebut berasal dan interaksi sosial seseorang dengan orang lain.

20 Ibid. hlm 289

Temali: Jurnal Pembangunan Sosial, Volume 2 Nomor 1 Tahun 2019 168


ARTIKEL
E-ISSN: 2615-5028

3. Makna-makna tersebut disempurnakan di saat proses sosial makna.21

Jadi, tindakan-tindakan bersama dalam masyarakat adalah disebabkan oleh

adanya interaksi simbolis. Melalui simbol-simbol yang telah mereka maknai bersama

tersebut disampaikan pada pihak lain. Simbol yang umum digunakan adalah bahasa,

baik bahasa lisan, tulisan, atau isyarat.

Sosiologi konflik menggunakan analisis interaksi simbolik untuk melihat

berbagai fenomena konflik pada skala mikro dan lingkungan yang lebih spesifik.

Simbol bisa dimaknai secara variatif oleh masing-masing aktor dalam interaksi sosial.

Makna negatif dalam bentuk kebencian akan mengakibatkan prasangka (prejudice) dan

tindakan permusuhan (hostile feeling).22

Teori interaksi simbolik ini dapat juga digunakan untuk menganalisis konfllik

agama. Beberapa simbol agama yang dipahami secara berbeda dari suatu kelompok

masyarakat dengan kelompok lainnya tidak jarang menimbulkan konflik. Untuk

menunjukkan rasa permusuhan (hostile feeling) satu kelompok dengan kelompok lain, di

samping melakukan tindak kekerasan, juga dilakukan dengan simbol-simbol yang

bersifat mendiskreditkan kelompok lawan.

Teori lainnya dalam mazhab humanisme adalah teori konstruksi sosial. Teori

ini dikembangkan oleh Peter L.Berger dan Luckman (1966) dalam The Social

Construction of Reality. Konstruksi sosial merupakan kajian yang berkembang dari

21 Margaret M. Poloma. Sosiologi Kontemporer. Hlm 258.


22 Novri Susan. Sosiologi Konflik: Isu-isu konflik kontemporer. Hlm 63.

Temali: Jurnal Pembangunan Sosial, Volume 2 Nomor 1 Tahun 2019 169


ARTIKEL
E-ISSN: 2615-5028

sosiologi pengetahuan yang melihat konflik sebagai manifestasi sosial dari dialektika

sosial.

Berger memahami dunia kehidupan selalu dalam proses dialektis, antara

individu (self) dengan dunia sosial. Proses dialektik ini mencakup tiga unsur yaitu

ekternalisasi, objektivasi, dan internalisasi. Dalam sejarah umat manusia, ekternalisasi,

objektivasi, dan internalisasi merupakan tiga proses yang berjalan terus menerus.

Masyarakat adalah sebuah produk yang tidak pernah berakhir.

Fase ekternalisasi dan objektivasi merupakan pembentukan masyarakat yang

disebut sebagai sosialisasi primer, yaitu saat seseorang berusaha mendapatkan dan

membangun tempatnya dalam masyarakat. Kedua fase ini membuat orang memandang

masyarakat sebagai realitas objektif atau man in society. Tahap internalisasi, yang lebih

lanjut agar pranata ini dapat dipertahankan, harus ada pembenaran terhadap pranata

tersebut, tetapi pembenaran itu dibuat juga oleh manusia sendiri melalui proses

legitimasi yang disebut dengan objektivasi sekunder. Pranata sosial merupakan hal yang

objektif dan independen. Kenyataan sosial merupakan suatu konstruksi sosial buatan

masyarakat sendiri dalam perjalanan sejarahnya dari masa silam, ke masa kini dan

menuju masa depan. Konstruksi sosial in pada gilirannya bersifat plural, relatif, dan

dinamis. Dalam arti, kelompok-kelompok sosial dalam masyarakat memiliki kehendak

dalam membangun realitas sosial, dan setiap kehendak tersebut harus berhadapan satu

sama lain dan saling mendominasi. Oleh karenanya, konflik di antara kelompok-

kelompok sosial sering muncul.23

23 Ibid. hlm 66-67.

Temali: Jurnal Pembangunan Sosial, Volume 2 Nomor 1 Tahun 2019 170


ARTIKEL
E-ISSN: 2615-5028

Paul Lederach menjelaskan bagaimana konflik dalam perspektif konstruksi

sosial terjadi. Ada tujuh asumsi yang ia kemukakan, yaitu:

1. Konflik sosial dipahami sebagai hal yang alamiah.

2. Konflik sosial dipahami sebagai kejadian konstruktif kebudayaan secara sosial.

Konflik tidak hanya terjadi pada seseorang, tetapi orang merupakan peserta aktif

dalam menciptakan situasi dan interaksi yang mereka ambil pengalaman sebagai

konflik.

3. Konflik muncul melalui proses interaktif yang melandaskan pada pencarian dan

penciptaan makna bersama.

4. Proses interaktif disempurnakan melalui persepsi manusia, interpretasi, ekpresi, dan

niatan-niatan, yang kesemuanya tumbuh dan kembali pada ke kesadaran umum

(common sense) mereka.

5. Pemaknaan muncul sebagaimana manusia meletakkan diri mereka sendiri dan sosial

seperti situasi, kejadian, dan tindakan di dalam pengetahuan mereka.

6. Kebudayaan berakar di dalam pengetahuan bersama dan skema-skema digunakan

oleh sekelompok oran guntuk merasakan, menafairkan, mengekppresikan, dan

merespons kenyataan sosial di sekitar merea.

7. Pemahaman hubungan konflik sosialtidak hanya satu pertanyaan sensitif dari

kesadaran, tetapi lebih jauh petualangnan yang dalam arti penemuan dan penggalian

arkeologis dari pengetahuan umum dari sekelompok orang.24

Teori konstruksi realitas ini dapat digunakan untuk menganalisis konflik

agama. Setiap kelompok keagamaan akan berusaha mengkonstruksi realitas sosial

24 Ibid. hlm 67-68.

Temali: Jurnal Pembangunan Sosial, Volume 2 Nomor 1 Tahun 2019 171


ARTIKEL
E-ISSN: 2615-5028

seperti kepercayaan yang mereka yakini, bahkan seringkali melakukan ekspansi. Agama

sebagai lembaga sosial, menurut Berger, menjadi sumber pembenaran yang paling

efektif. Ketika berhadapan dengan konstruksi realitas kelompok-kelompok lain yang

berbeda penafsiran dan pandangan, konflik sosial akan muncul.

Sedangkan Mazhab Kritis memiliki pandangan bahwa sosiolog mempunyai

kewajiban moral mengajak dan melakukan kritik terhadap dominasi penguasa terhadap

masyarakat dalam struktur sosial. Oleh karenanya, teori kritis adalah merupakan

emansipasi yang berusaha membebaskan masyarakat dari kekejaman struktur sosial

yang menindas masyarakat oleh sekelompok penguasa. Kelompok ini diwakili oleh

Jurgen Habermas dan Pierre Bourdieu. Mereka semuanya dipengaruhi oleh Karl

Marx.

Habermas mengakui bahwa konflik adalah sesuatu yang inheren dalam sistem

masyarakat. Hal ini tidak terlepas dari hubungan kekuasaan dalam sistem sosial dan

sifat kekuasaan yang mendominasi. Sosiologi konflik mazhab kritis Habermas

menganalisis kondisi dari dominasi struktural. Kelompok penguasa mengarahkan

berbagai bentuk kebijakan pada orang lain di luar wewenang dan kekuasaannya.

Kondisi ini merupakan bentuk dominasi. Habermas melihat komunikasi yang

dihasilkan dari kondisi ini selalu memuat kepentingan penguasa untuk menundukkan.

Inilah yang disebut Habermas dengan komunikasi intrumrntal. Komunikasi

intrumental hanya memberi peluang pada pemilik kekuasaan, dan tidak akan

menciptakan kesepahaman (mutual understanding).25

25 Jurgen Habermas. On The Pragmatics of Communication. (Massachusetts: The MIT Press, 1998) hlm 2
dalam Novri Susan. Sosiologi Konflik: Isu-isu konflik kontemporer. Hlm 69.

Temali: Jurnal Pembangunan Sosial, Volume 2 Nomor 1 Tahun 2019 172


ARTIKEL
E-ISSN: 2615-5028

Dalam masyarakat modern, kesadaran intrumental ini berakar pada

rasionalisme. Habermas dalam The Theory of Communicative Action memperlihatkan

bagaimana kesadaran intrumental menciptakan model komunikasi yang sifatnya

mengusai. Birokrasi modern adalah struktur negara yang menggunakan kesadarn dan

komunikasi interumetal. Kondisi inilah yang menyebabkan ketertindasan masayrakat

dalam bentuk ketidakmampuan mengeluarkan pendapt mengenai keinginan dan

harapan mereka. Negara dan birokrasinya menutup ruang berpendapat masyarakat

(public sphere) melalui kontrol keamanan dan kebijakan-kebijakan lainnya. Terkuncinya

ruang publik bisa mengakibatkan kekesalan, frustasi, dan bentuk kekerasan dalam

perlawanan politik. Untuk itu Habermas mengajukan kondisi ini atau komunikasi

interumental diubah menjadi komunikasi intersubjektif. Komunikasi intersubjektif ini

membuka ruang-ruang dialog yang bebas dari dominasi penguasa. Para penguasa yang

melegitimasi wewenang dan kebijakan harus bersedia menggunakan komunikasi yang

setara dan terbuka sehingga dapat menghindari konflik antara pengambil keputusan

dan masyarakat biasa.

Teori Habermas ini juga bisa digunakan untuk menganalisis konflik antar

kelompok agama dan kelompok agama dengan pemerintah. Seringkali dalam

memutuskan kebijakan, khususnya tentang keagamaan, pemerintah tidak melibatkan

semua pihak. Keputusan yang diambil kadang diabaikan bahkan terjadi penolakan baik

melalui kekerasan maupun proses hukum.

Tokoh teori sosiologi kritis lainnya adalah Pierre Bourdieu yang berasal dari

Perancis. Ia menolak determinisme kelas Marxisme yang melihat masyarakat sebagai

hubungan kelas dan ditentukan oleh kepentingan materi. Ia menggunakan istilah field

Temali: Jurnal Pembangunan Sosial, Volume 2 Nomor 1 Tahun 2019 173


ARTIKEL
E-ISSN: 2615-5028

(lapangan) yang berarti arena sosial orang-orang yang menciptakan berbagai manuver,

menciptakan berbagai strategi dan berjuang demi sumberdaya yang diinginkan.

Menurut Bourdieu, posisi tertentu memiliki kekuasaan yang lebih dari posisi

yang ada dibawahnya. Sumber kekuasaan adalah modal (capital), yang terbagi menjadi

tiga: Modal ekonomi (economic capital), modal sosial (social capital), dan modal budaya

(cultural capital). Modal ekonomi merupakan sumber kekuasaan yang bersifat materi.

Semakin banyak materi yang dimiliki, semakin besar kekuasannya. Modal sosial

merupakan sumber kekuasaan yang diperoleh melalui jaringan (network) dan pengaruh

sosial. Modal budaya merujuk pada seseorang merasakan dan mempersepsikan

sesuatu, baik atau buruk, boleh atau tidak.

Legitimasi modal budaya menjadi penting bagi proses reproduksi dominasi.

Legitimasi inilah yang sering melahirkan kekerasan simbolik, yaitu kekerasan melalui

praktik bahasa. Reproduksi dari sistem reproduksi melalui modal budaya bisa dipahami

melalui praktek habitus. Dalam Language and Symbolic Power (1992), Bourdieu

memperlihatkan bagaimana habitus muncul melalui praktek kompetensi bahasa dalam

setiap field. Kompetisi bahasa didefinisikan sebagai wewenang untuk mengucapkan

sesuatu. Misalnya pembicaraan tentang sesat tidaknya suatu aliran merupakan

kompetensi ulama mayoritas ketimbang minoritas. Kompetensi inilah yang kemudian

mendapat perlawan dari aliran yang dianggap sesat.

Sebenarnya teori Bourdieu ini pada awalnya digunakan untuk menganalisis

dominasi kelas melalui sistem pendidikan di Perancis. Namun demikian, teori ini juga

dapat digunakan untuk menganalisis konflik-konflik kelompok keagamaan yang penuh

Temali: Jurnal Pembangunan Sosial, Volume 2 Nomor 1 Tahun 2019 174


ARTIKEL
E-ISSN: 2615-5028

dengan simbol-simbol bahasa yang menunjukkan kekuasaan suatu kelompok dengan

kelompok lainnya.

Kemudian muncul pula Mazhab Multidisipliner. Mazhab ini dipelopori oleh

Johan Galtung dan Anthony Giddens. Mazhab multidisipliner ini dalam menganalisis

konflik tidak hanya menggunakan satu teori atau pendekatan, tetapi menggunakan

berbagai macam teori atau disiplin ilmu berdasarkan kebutuhan analisis.

Galtung menjelaskan konflik dengan konsep intervensi konflik. Intervensi

harus netral. Ini adalah ciri dari mazhab positivistik, namun Galtung menyarankan

perubahan-perubahan dalam menciptakan hubungan konflik yang konstruktif.

Pendekatan ini dikenal dengan trancend approach.

Dalam menjelaskan analisis konflik, Galtung menggunakan segitiga konflik. Ia

memperlihatkan individu, kelompok dan organisasi membawa angka kepentingan

masing-masing. Kepentingan itu bisa berwujud dalam bentuk ekonomi dan politik.

Dua kelompok sosial dengan kepentingan ekonomis dalam satu lingkungan yang sama,

masing-masing akan menciptakan persepsi terhadap kepentingan kelompok di luarnya.

Proses ini akan membawa pada bentuk prilaku-prilaku tertentu yang menciptakan

kontradiksi dan situasi ketegangan. Segitiga konflik ini merupakan analisis hubungan

sebab akibat atau interaksi yang memungkinkan terjadinya konflik sosial. Tiga segitiga

tersebut terdiri dari sikap, perilaku, dan kontradiksi. Sikap adalah persepsi anggota etnis

tentang isu-isu tertentu yang berkaitan dengan kelompok laian. Perilaku dapat berupa

kerjasama, persaingan atau konflik. Kontradiksi adalah kemunculan situasi yang

melibatkan problem sikap dan perilaku sebagai proses. Hal ini dapat digambarkan

sebagai berikut:

Temali: Jurnal Pembangunan Sosial, Volume 2 Nomor 1 Tahun 2019 175


ARTIKEL
E-ISSN: 2615-5028

Gambar 1. Segitiga Konflik Galtung

KONTRADIKSI

SIKAP PERILAKU

Galtung dalam teori kekerasannya menyatakan bahwa konflik kekerasan dapat

dibedakan dalam tiga jenis yakni:

(1) Kekerasan kultural ; (2) kekerasan struktural ; dan (3) kekerasan


langsung. Kekerasan kultural adalah kekerasan yang melegitimasi terjadinya
kekerasan struktural dan kekerasan langsung serta menyebabkan tindakan
dianggap wajar saja atau dapat diterima oleh masyarakat. Kekerasan struktural
adalah kekerasan yang berbentuk eksploitasi sistematis disertai mekanisme
yang menghalangi terbentuknya kesadaran serta menghambat kehadiran
lembaga-lembaga yang dapat menentang eksploitasi dan penindasan.
Kekerasan jenis ini lebih tersembunyi seperti: ketidakadilan, kebijakan yang
menindas dan perundang-undangan yang diskriminatif. Kekerasan struktural
ini termanifestasi dalam bentuk ketimpangan kekuasaan ekonomi yang
menyebabkan ketimpangan kesejahteraan hidup. Kekerasan langsung adalah
kekerasan yang terlihat secara langsung dalam bentuk kejadian atau perbuatan,
sehingga kekerasan jenis ini sangat mudah diidentifikasi karena merupakan
manifestasi dari kekerasan kultural dan struktural.26

26 Johan Galtung Peace by Peaceful Means: Peace and conflict Development and civilization.(London: IPRIO, 1996)
dalam Yohanes Bahari. Hlm 51-52. Lihat pula Johan Galtung. Kekerasan Budaya dalam Thomas Santoso
(ed) Teori-Teori Kekerasan (Jakarta: Ghalia, 2002) hlm 183-184. Jamil Salmi membagi empat jenis
kekerasan: Kekerasan langsung, kekerasan tidak langsung, kekerasan repsesif, dan kekerasan alienatif.
Kekerasan langsung merujuk pada tindakan yang menyerang fisik atau psikologis seseorang secara
langsung, seperti pemusnahan etnis, penganiayaan, dan pengusiran paksa terhadap masyarakat.
Kekerasan tidak langsung adalah tindakan yang membahayakan manusia, bahkan kadang-kadang
ancaman kematian, tetapi tidak melibatkan hubungan langsung antara korban dan pihak yang
bertanggung jawab atas tindakan tersebut, termasuk kekerasan yang dibiarkan dan dimediasi. Kekerasan
represif berkaitan dengan pencabutan hak-hak dasar selain hak untuk bertahan hidup dan hak untuk
dilindungi darikesakitan atau penderitaan. Kekerasan alienatif merujuk pada hak-hak individu yang lebih
tinggi, misalnya hak pertumbuhan kejiwaan (emosi), hak budaya dan hak intelektual. Jamil Salmi. Violence
and Democratic Society: Hooligansime dan Masyarakat Demokrasi. (Yogyakarta: 2005, Nuansa Aksara) hlm 32-

Temali: Jurnal Pembangunan Sosial, Volume 2 Nomor 1 Tahun 2019 176


ARTIKEL
E-ISSN: 2615-5028

Galtung menggambarkan ketiga jenis tipe tersebut sebagai citra segitiga

kekerasan yang pada lapisan bagian bawah terdapat arus stabil melalui waktu kekerasan

kultural, yaitu substrata yang mengalirkan semacam nutrient (zat gizi) bagi kedua jenis

kekerasan lainnya, Dalam strata selanjutnya, terletak irama kekerasan struktural. Pada

bagian atas, yang terlihat oleh mata telanjang, adalah strata kekerasan langsung dengan

record kekejaman langsung yang dilakukan oleh manusia terhadap manusia lainnya dan

terhadap bentuk-bentuk lain atau kehidupan dan alam pada umumnya. Cara kerja

ketiga bentuk kekerasan tersebut berdasarkan arus kausal yang berantai dan satu titik

ke titik lainnya di mana siklus-siklus yang menghubungkan ketiga jenis kekerasan

tersebut bisa bermula dari titik yang mana saja, dari kekerasan kultural melalui

kekerasan struktural sampai kekerasan langsung atau sebaliknya.27

Gambar 2. Proses Terjadinya Konflik Kekerasan menurut Galtung

Kekerasan

langsung

Kekerasan
kultural
Kekerasan

struktural

38. Diterjemahkan oleh Slamet Raharjo.


27 Johan Galtung, Kekerasan Budaya dalam Haqqul Yakin. Agama dan Kekerasan dalam Transisi Demokrasi

di Indonesia. (Yogyakarta: elSAQ Press, 2009). Hlm 45-46.

Temali: Jurnal Pembangunan Sosial, Volume 2 Nomor 1 Tahun 2019 177


ARTIKEL
E-ISSN: 2615-5028

Dalam pandangan Galtung:

Karena kekerasan kultural merupakan sumber terjadinya jenis kekerasan


lainnya, maka untuk memerangi atau menghilangkan kekerasan struktural
(ketidakadilan dan diskriminasi) dan kekerasan langsung (pembunuhan maka
budaya harus menjadi agenda utama. Selain itu, untuk menghindari atau
menghentikan tindak kekerasan membutuhkan sebuah proses transformasi
sosio-kultural dalam sebuah masyarakat. Jika kekerasan struktural dan
kekerasan langsung dibiarkan terjadi karena adanya kekerasan kultural, maka
untuk menghentikan kekerasan langsung dan kekerasan struktural dibutuhkan
sebuah transformasi yang menggantikan kekerasan kultural menjadi
perdamaian kultural dan budaya non kekerasan.28
Sehubungan dengan transformasi dimaksud, Chaiwat menyatakan bahwa

kekerasan kultural akan berlangsung lama karena perubahan-perubahan budaya akan

berjalan lambat. Mengenai proses terjadinya konflik kekerasan kultural akan

berlangsung lama karena perubahan-perubahan budaya akan berjalan lamban.29

Mengenai proses terjadinya konflik kekerasan, Galtung menyatakan:

Kekerasan kultural menyebabkan langsung kekerasan struktural dan kekerasan


langsung biasanya melalui proses yang lebih panjang yakni berawal dari
kekerasan kultural mengakibatkan kekerasan struktural baru menuju ke
kekerasan langsung. Dalam kenyataannya, proses semacam ini memang lebih
sering terjadi. Mereka yang melakukan kekerasan langsung sebenarnya
mencoba mencari penyelesaian atas ketidakadilan yang dirasakannya dalam
bidang ekonomi, budaya, sosial dan politik. Mereka meyakini bahwa kondisi
ketidakadilan itu telah merusak kehidupannya. Dengan melakukan kekerasan
langsung mereka berharap dapat merombak seluruh tata sosial ekonomi yang
tidak adil tersebut.
Selanjutnya Galtung mengemukakan:

Bahwa kekerasan langsung sebagai peristiwa di puncak strata dan karena itu
gampang terlihat. Berikutnya adalah pola-pola perubahan eksploitasi dengan
mekanisme yang dibutuhkannya baik dalam mencegah pembentukan
kesadaran maupun menghambat pengorganisasian terhadap eksploitasi dan
penindasan. Inilah strata kekerasan struktural yang dilihat sebagai proses
perubahan. Ia tidak begitu terlihat dan karenanya lebih berbahaya. Strata dasar

28 Ibid. hlm 52-53


29 Chaiwat S. Anand. Agama dan Budaya Perdamaian (Yogyakarta: Fk BA dan QIA UGM, 2002) hlm
113.

Temali: Jurnal Pembangunan Sosial, Volume 2 Nomor 1 Tahun 2019 178


ARTIKEL
E-ISSN: 2615-5028

adalah yang tetap mengalir sepanjang masa yakni kekerasan struktural, yang
menopang kedua strata di atas.30
Berdasarkan pemikiran Galtung itu dapat disimpulkan bahwa konflik

kekerasan terjadi disebabkan oleh adanya kekerasan struktural yang disyahkan

(dilegitimasi) oleh kekerasan struktural di dalam masyarakat. Jadi fondasi dasarnya

adalah pada kekerasan kultural.

Teori kekerasan Galtung ini tepat untuk menganalisis kekerasan budaya yang

berbasis agama. Kekerasan agama secara struktural sering bermula dari pemahaman

dari para pemeluknya sehingga muncul tafsir-tafsir yang berbeda dengan kelompok-

kelompok keagamaan lainnya.

Analisis mazhab multidisipliner yang lain adalah menggunakan pendekatan

primordial yang dikemukkan oleh Giddens. Menurut Giddens persoalan konflik dalam

masyarakat juga mendapatkan perhatian dari para pengamat entitas dan ras sebagai

suatu kelompok identitas dan kepentingan mereka dalam struktur sosial. Analisis ini

disebut dengan pendekatan primordial yang melihat konflik sebagai akibat dari

pergesekan kelompok identitas, seperti identitas yang berbasis etnik dan agama. Teori

ini memahami konflik sebagai akibat pertemuan dari berbagai budaya, ras, agama,

dalam suatu georgafis yang melahirkan suatu identitas dan rasa solidaritas. Pendekatan

ini berpandangan bahwa konflik adalah di semua level masyarakat dan negara di mana

orang-orang terbagi kemjadi kelompok-kelompok terpisah berbasis ras, etnik, bahasa,

agama, kasta, dan lainnya. Aliran ini menolak teori yang berpandangan bahwa

30 Yohanes Bahari. Op.cit. hlm 53

Temali: Jurnal Pembangunan Sosial, Volume 2 Nomor 1 Tahun 2019 179


ARTIKEL
E-ISSN: 2615-5028

perkembangan masyarakat ke arah modern akan menghapus bentuk-bentuk kesadaran

primordial.31

D. KESIMPULAN

Teori konflik muncul seiring dengan munculnya sosiologi. Dilihat dari segi

historis, teori konflik terbagi dua, teori konflik klasik dan kontemporer. Teori konflik

kontemporer merupakan penyempurnaan dari teori konflik klasik yang memandang

konflik sebagai sesuatu yang melekat dalam setiap tingkatan masyarakat. Faktor

penyebab konflik tidak lagi determinasi ekonomi, namun juga disebabkan faktor lain,

seperti kekuasaan dan prestise. Konflik tidak hanya dipandang sesuatu yang destruktif

tetapi juga dapat berfungsi konstruktif bagi masyarakat.

Ada empat mazhab teori konflik. Pertama mazhab positivis yang ditokohi oleh

Ralph Dahrendorf dan Lewis Coser. Mazhab ini memandang konflik struktural yang

disebabkan oleh kekuasaan dan analisis fungsi konflik bagi masyarakat. Mazhab

humanis yang ditokohi oleh Herbert Blumer dan Peter Berger. Mazhab ini memandang

konflik dengan menggunakan analisis interaksi simbolik untuk melihat berbagai

fenomena konflik pada skala mikro dan lingkungan yang lebih spesifik. Simbol bisa

dimaknai secara variatif oleh masing-masing aktor dalam interaksi sosial. Makna negatif

dalam bentuk kebencian akan mengakibatkan prasangka (prejudice) dan tindakan

permusuhan (hostile feeling). Teori lainnya dalam mazhab humanisme adalah teori

konstruksi sosial konflik. Teori ini dikembangkan oleh Peter L. Berger dan Luckman.

Konstruksi sosial merupakan kajian yang berkembang dari sosiologi pengetahuan yang

31Anthony Giddens. Human Societies A Reader. (Cambridge: Polity Press, 1992) dalam Novri Susan hlm
84-85

Temali: Jurnal Pembangunan Sosial, Volume 2 Nomor 1 Tahun 2019 180


ARTIKEL
E-ISSN: 2615-5028

melihat konflik sebagai manifestasi sosial dari dialektika sosial. Ketiga mazhab kritis

yang ditokohi oleh Bourdieu dan Jurgen Habermas. Mazhab ini berusaha menganalisis

emansipasi yang berusaha membebaskan masyarakat dari kekejaman struktur sosial

yang menindas masyarakat oleh sekelompok penguasa. Terahir, mazhab

multidisipliner yang ditokohi oleh Johan Galtung dan Anthony Giddens. Mereka

menganalisis konflik tidak hanya menggunakan satu teori atau pendekatan, tetapi

menggunakan berbagai macam teori atau disiplin ilmu berdasarkan kebutuhan analisis,

seperti trancend approach oleh Galtung dan pendekatan primordial oleh Giddens.

Semuanya mazhab di atas memberikan pemahaman kepada kita yang lebih

komprehensif tentang konfik-konflik yang terjadi di masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA

Anand, Chaiwat S. Agama dan Budaya Perdamaian (Yogyakarta: Fk BA dan QIA UGM,

2002).

Bahari, Yohanes. Resolusi Konflik Berbasis Pranata Adat Pamakang dan Pati Nyawa pada

Masyarakat Dayak Kanayatn di Kalimantan Barat (Bandung, Program PPS Unpad,

2005).

Coser, Lewis. The function of social conflict.( New York: Free Press, 1956).

Craib, Ian. Teori-Teori Sosial Modern dari Parsons sampai Habermas (Jakarta: Raja Grafindo

Persada, 1994). Cetakan ke-3. Diterjemahkan oleh Paul S. Bault dan T. Effendi.

Dahrendorf, Ralf. Class and Class Conflict in Industrial Society (California: Stanford

University Press, 1959).

Temali: Jurnal Pembangunan Sosial, Volume 2 Nomor 1 Tahun 2019 181


ARTIKEL
E-ISSN: 2615-5028

Galtung, Johan Peace by Peaceful Means: Peace and conflict Development and

civilization.(London: IPRIO, 1996).

Giddens, Anthony . Human Societies A Reader. (Cambridge: Polity Press, 1992).

Habermas, Jurgen. On The Pragmatics of Communication. (Massachusetts: The MIT Press,

1998).

Kinloch, Graham C. Perkembangan dan Paradigma Utama Teori Sosiologi. (Bandung:

Pustaka Setia, 2005). Cetakan Pertama. Editor: Dadang Kahmad.

Diterjemahkan dari Sociological Theory: Its Development and Major Paradigm.

Nasikun. Sistem Sosial Indonesia. (Jakarta: CV Rajawali, 1992). Cetakan ketujuh.

Poloma, Margaret M. Sosiologi Kontemporer. (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003).

Cetakan ke-5. Diterjemahkan oleh tim penerjemah Yosogama dari judul asli

Contemporary Socilogical Theory.

Rahman, M. Taufiq. Glosari Teori Sosial, (Bandung: Ibnu Sina Press, 2011).

Rahman, M. Taufiq. Pengantar Filsafat Sosial, (Bandung: Lekkas, 2018).

Ritzer, George dan Douglas J. Goodman. Teori Sosial Modern .(Jakarta: Kencana, 2004)

Edisi pertama. Diterjemahkan oleh Alimandan dari buku aslinya Modern

Sociological Theory, Sixth Edition.

Ritzer, George. Sociological Theory. (Singapore: McGraw-Hill, 1992) Third Edition.

Saifuddin, Ahmad Fedyani. Konflik dan Integrasi: Perbedaan Faham dalam Agama Islam.

(Jakarta: Rajawali, 1986).

Salmi, Jamil. Violence and Democratic Society: Hooligansime dan Masyarakat Demokrasi.

(Yogyakarta: 2005, Nuansa Aksara). Diterjemahkan oleh Slamet Raharjo.

Santoso, Thomas (ed) Teori-Teori Kekerasan (Jakarta: Ghalia, 2002).

Temali: Jurnal Pembangunan Sosial, Volume 2 Nomor 1 Tahun 2019 182


ARTIKEL
E-ISSN: 2615-5028

Sunarta. Integrasi dan Konflik: Kedudukan Politik Jawara dan Ulama dalam Budaya Politik

Lokal (Bandung: PPS Unpad Bandung, 1997) Disertasi.

Susan, Novri. Sosiologi Konflik: Isu-isu konflik kontemporer. (Jakarta: Kencana, 2009).

Cetakan pertama.

Wallace, Ruth A. and Alison Wolf. Reading in Contemporary Sociological Theory from

Modernity to Post Modernity. (New Jersey: Prentice Hall. 1995).

Yakin, Haqqul. Agama dan Kekerasan dalam Transisi Demokrasi di Indonesia. (Yogyakarta:

elSAQ Press, 2009).

Temali: Jurnal Pembangunan Sosial, Volume 2 Nomor 1 Tahun 2019 183


124

PENGGUNAAN TEORI-TEORI SOSIAL


SEBAGAI ALAT ANALISIS PENELITIAN INTERPRETIF

Rika Dwi Ayu Parmitasari


Jurusan Manajemen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam UIN Alauddin
Jl. Sultan Alauddin No. 36, Samata Gowa.
rparmitasari@yahoo.com

ABSTRACT
Qualitative method has brought new perspective in research and academic
world. One of qualitative method is interpretative approach. Interpretative paradigm
includes many sociologists and philosophises that share general characteristics in
understanding and explaining social world. Furthermore, this paradigm also
motivates scholars to explore social world from people who involves directly in
social process.
Interpretative approach consists of many approaches. Some of them are
ethnography, ethomethodology and phenomenology. Ethnography means a writing
or report in terms of anthropology. Ethnomethodology is a knowledge collection
based on healthy minds and procedures in order to make society understood and
acted based on situation. Lastly, phenomenology is a philosophy that implicates
moral value from observation, data collection and conclusion phase.

PENDAHULUAN
Paradigma interpretif merupakan pendekatan subyektif yang lebih melihat
secara implisit daripada eskplisit (Burrell dan Morgan, 1979). Paradigma ini yang
mencakup berbagai pemikiran filosofis dan sosiologis yang berbagi karakteristik
umum dalam mencoba untuk memahami dan menjelaskan dunia sosial terutama
dari sudut pandang pelaku yang terlibat langsung dalam proses sosial. Paradigma
interpretif yang bertentangan dengan positivisme ini berawal dari tradisi idealis
Jerman, Immanuel Kant. Kant berpandangan bahwa realitas alam semesta terletak
pada spirit atau gagasan daripada persepsi akal (Burrell dan Morgan, 1979). Kant
juga merupakan filosofi pertama yang mengemukakan dasar ontologis dan
epistemologi akan pandangan ini.
Idealisme awalnya mendapat tempat sekunder dari positivisme, akan tetapi
pada akhir abad ke 19, kemunculannya mulai menjadi perhatian sehingga dikenal
dengan neo-idealisme atau neo-kantian.Dalam dasar idealisme dengan asumsi yang
sederhana, manusia hidup mungkin menjadi produk dari keterkaitan kompleks
antara pengetahuan priori dan kenyataan empiris dimana menurut Kant titik
awalnya adalah pikiran dan intuisi (Burrell dan Morgan, 1979). Kant
mengatakan pengetahuan priori harusmendahului pemahaman akan pengalaman
empiris. Dalam penjelasannya, harus ada kesatuan, prinsip pengorganisasian dalam
125

kelahiran kesadaran manusia dimana setiap dan semua data indera terstruktur,
diatur dan akhirnya dipahami. Pengetahuan priori dianggap sebagai independen
dari setiap realitas eksternal dan data indera yang memancarkan, sehingga itu
dilihat sebagai produk dari pikiran dan proses interpretasi di dalamnya.
Dilthey berpendapat bahwa ada 2 jenis sains yang secara mendasar berbeda
yaitu Naturwissenschaften dan Gcisteswissenschafien (Neuman, 2013). Dari sudut
pandang interpretif dan mengacu kepada 2 jenis sains diatas, paradigma positivisme
tidak memuaskan dan bermasalah dalam 2 hal sebagai berikut (Burrell dan Morgan,
1979), masalah pertama ada pada ilmu-ilmu alam. Jelas terlihat dalam ilmu-ilmu
alam (Naturwissenschaften) bahwa nilai-nilai kemanusiaan terdapat dalam proses
penyelidikan ilmiah. Itu adalah bukti bahwa metode ilmiah tidak bisa lagi dianggap
sebagai bebas nilai. Kerangka acuan peneliti scientific semakin dilihat sebagai sebuah
kekuatan aktif yang menentukan cara di mana pengetahuan ilmiah
diperoleh. Masalah kedua ada dalam bidang ilmu-ilmu budaya. Dalam bidang ilmu-
ilmu budaya (Gcisteswissenschafien), masalah timbul karena materi pelajaran
dibedakan oleh karakter dasarnya spiritualnya. Hal yang perlu disadari bahwa
manusia sebagai aktor, tidak dapat dipelajari melalui metode-metode ilmu alam,
terlebih lagi dengan kepedulian mereka atas pengembangan hukum secara umum.
Dalam budaya, manusia tidak tunduk pada hukum dalam arti fisik, tetapi
bebas. Dari 2 masalah diatas akan positivisme maka idealisme dianggap sebagai hal
baru dalam sosiologi. Dengan demikian, terjadi pergeseran khas dalam fokus
perhatian intelektual sepanjang dimensi subjektif-obyektif dari skema analisis yang
melibatkan teori tertentu dalam menjelaskan landasan intelektual apa yang
digambarkan sebagai paradigma interpretatif.
Beberapa ahli mencoba membuat jembatan antara idealisme dan positisme
khususnya Dilthey dan Weber. Dilthey (1833-1911) dan Weber (1864-1920)
mengemukakan bahwa hal yang bisa dilakukan setidaknya menempatkan ilmu
budaya pada dasar yang kuat dalam validitas yang obyektif (Burrell dan Morgan,
1979). Jika ilmu budaya didefinisikan oleh karakter spiritual maka inti dari situasi
sosial atau jenis institusi adalah kunci penting. Akan tetapi, itu membuat tantangan
besar bagi para filosofi sosial dalam memberikan penjelasan urusan sosial dan
historis tanpa merujuk positivisme. Dengan demikian, penjelasan dalam tradisi
idealis hanya tersedia melalui jalan lain untuk intuisi atau metafisika.
Melalui verstehen, masalah yang timbul untuk menjembatani positivisme
dan idealisme dapat diatasi.Untuk memahami ilmu-ilmu budaya diperlukan suatu
metode analisis baru berdasarkan verstehen atau pemahaman berempati. Dilthey
mengatakanbahwa untuk mengatasi masalah ini ditemukan pada
gagasan verstehen (pemahaman berempati) (Burrell dan Morgan, 1979). Konsep
verstehen digunakan sebagai analisis pemahaman yang diperoleh melalui
pemaknaan bersama atau intersubyektivitas. Pemakaian konsep verstehen
disebabkan karena hal yang dikaji adalah fenomena ideal atau spiritual yang
membahas sesuatu dibalik tindakan sehingga tidak ada pemilahan subyek-obyek.
Verstehen atau pemahaman berempati diartikan dengan keadaan dimana penyidik
126

dapat berusaha untuk memahami manusia, pikiran batin mereka dan perasaan
mereka, dan cara ini diekspresikan dalam tindakan dan prestasi (Burrell dan
Morgan, 1979).
Dengan beberapa ahli, paradigma interpretif telah terbentuk dan
dipengaruhi oleh Dithley, Weber dan Hussrel. Berdasarkan hal itu, paradigma
interpretif juga dikenal sebagai fenomena abad 20 (Burrell dan Morgan, 1979).
Paradigma interpretif dapat dibedakan dalam 4 kategori yang dibedakan
berdasarkan tingkat subyektivitas dalam dimensi subyektif-obyektif. Kategori
paradigma interpretif adalah solipism, fenomologi, sosiologi fenomologikal dan
hermeneutik (Burrell dan Morgan, 1979). Ada pemikiran-pemikiran sosiologi yang
berhubungan dekat dengan fenomologi dalam paradigma interpretif. Pemikiran-
pemikiran tersebut adalah etnometodologi dan interaksi simbiolis fenomologi
(Burrell dan Morgan, 1979)
I. ETNOGRAFI
Etnografi merupakan metode yang memiliki posisi cukup penting di antara
metode-metode kualitatif dan ilmu sosial lain. Perkembangan metode ini bermula
pada paruh kedua abad ke-20 dan dikenal dengan metode penelitian yang khas.
Etnografi ditinjau secara harafiah berarti tulisan atau laporan tentang suatu suku
bangsa yang ditulis oleh antropolog atas hasil penelitian lapangan selama sekian
bulan atau sekian tahun (Spradley, 2007). Intinya, belajar etnografi seperti
mempelajari jantung dari ilmu antropologi. Etnografi mempelajari kultural yang
menyajikan pandangan hidup subyek yang menjadi obyek penelitian. Etnografi
dikembangkan menjadi metode penelitian dengan menggunakan landasan filsafat
phenomenologi dengan melihat cara berpikir, hidup dan perilaku suatu subyek
(Muhadjir, 2011). Etnografi tidak hanya untuk memahami manusia tetapi juga untuk
memenuhi kebutuhan manusia serta mensinkronisasikan kedua manfaat penelitian
tersebut (Spradley, 2007).
Spradley memandang kajian lapangan etnografi sebagai tonggak antropologi
tunggal (Spradley, 2007). Seiring perkembangan antropologi, etnografi tidak lagi
menguasai trademark antropologi, namun tetap ikut mewarnai kajian-kajian di
lapangan yang berkembang. Etnografi dimaknai sebagai prosedur atau metode kerja
sekaligus hasil kerja. Ciri-ciri khas penelitian lapangan etnografi adalah holistik-
integratif, thick, deskriptif, dan analisa kualitatif yang bertujuan mendapatkan
pandangan orang lokal (Spradley, 2007). Ciri khas tersebut sesuai dengan pendapat
Mishler akan etnografi dan penjelasan Goetz dan LeCompte dalam bukunya
Ethnography an Qualitative Design. Menurut Mishler, etnografi menekankan
dipergunakannya metode kualitatif dan analisis holistis (Muhadjir, 2011). Sedangkan
Gietz dan LeCompte mengemukakan bahwa ilmu sosial yang menggunakan model
penelitian manapun, memfokuskan pada etnografi, menekankan pembentukan teori
berdasarkan data empirik atau teori yang dikonstruksi di lapangan (Muhadjir, 2011).
Sesuai dengan cirinya yang holistic-integratif, etnografi tidak hanya
mempelajari suatu lingkungan atau masyarakat tetapi etnografi juga belajar dari
masyarakat atau lingkungan. Inti dari etnografi adalah memperhatikan makna-
127

makna tindakan atau kejadian yang menimpa obyek yang diamati (Spradley, 2007).
Penelitian dengan etnografi dilakukan untuk memahami secara mendalam konteks
yang diteliti tanpa membawa prakonsep atau praduga atau teori yang dimilikinya
(Muhadjir, 2011). Dengan memahami sudut pandang obyek, maka dapat
mendefinisikan subyek penelitian dengan cara merefleksikannya. Peneliti dapat
memulainya dengan membangun konsep berdasar proses induktif atas empiris dan
dibangun dengan sudut pandang masyarakat bukan teori yang dimiliki oleh peneliti.
Etnografi tidak hanya memulai dari masalah-masalah teoritis tetapi juga memulai
dengan informasi dari obyek penelitian kemudian mengembangkan agenda
penelitian untuk menghubungkan topik-topik tertentu dalam masalah yang selalu
ada dalam ilmu sosial (Spradley, 2007). Dengan demikian, peneliti etnografis
berupaya memasuki kawasan tak dikenalnya tanpa membuat generalisasi
berdasarkan pengalamannya sendiri (Muhadjir, 2011).
Etnografi mempunyai 2 fungsi yang terkait satu dengan yang lainnya. Etnografi
merupakan laporan dari suatu penelitian yang khas akan tetapi etnografi juga
digunakan sebagai metode penelitian untuk menghasilkan laporan tersebut
(Spradley, 2007). Secara garis besar, Etnografi menyangkut peristiwa yang berkaitan
dengan proses deskripsi, komparatif dan analisis budaya yang bersifat menjelaskan
yang terdokumentasi. Dalam etnografi terdapat konseptualisme yang dipakai unttuk
dijadikan asumsi atau dasar metodologi penelitian. Menurut Muhadjir,
konseptualisme metodologis model penelitian etnografi dapat dikerangkakan
menjadi 4 dimensi yaitu (Muhadjir, 2011) yaitu:
a. Induksi-deduksi
Dimensi induksi-deduksi menunjuk kedudukan teori dalam studi penelitian.
Penelitian deduktif berharap data empirik dapat mendukung teori. Penelitian
induktif berharap dapat menemukan teori yang dapat menjelaskan datanya.
b. Generatif-verifikatif
Dimensi generatif-verifikatif menunjukkan kedudukan evidensi dalam
penelitian. Penelitian generatif lebih kepada penemuan konstruksi dan proposisi
dengan data sebagai evidensi. Selanjutnya, penelitian verfikatif berupaya
mencari evidensi agar hipotesisnya dapat diaplikasikan lebih luas dan dapat
diperlakukan universal.
c. Konstruktif-enumeratif
Dimensi ini menunjukkan seberapa unit analisis suatu penelitian dirumuskan
atau dijabarkan. Penelitian dengan strategi konstruktif mengarahkan
penelitiannya untuk menemukan konstruksi atau kategori lewat analisis dan
proses mengabstraksi. Sedangkan penelitian dengan strategi enumeratif dimulai
dengan menjabarkan atau merumuskan unit analisis.
d. Subyektif-obyektif
Pendekatan subyektif adalah merekonstruksi penafsiran dan pemaknaan hasil
penelitian berdasar konseptualitas masyarakat yang menjadi obyek. Pendekatan
128

obyektif adalah penerapan kategori konseptual dan tata relasi yang telah
dirancang pada oyek penelitian.
Cara terbaik dalam mempelajari etnografi adalah dengan melakukannya dan
mengerjakannya (Spradley, 2007). Dengan melakukan dan mengerjakan pendekatan
etnografi, maka pemahaman dan pengetahuan tentang etnografi akan lebih
mendalam dan terbangun atas pengalaman. Akan tetapi, dalam melakukan
penelitian sesuai dengan pendekatan etnografi diperlukan sistem yang sistematis,
terarah dan efektif. Metode dengan karakteristik tersebut disebut oleh Spradley
sebagai the developmental research sequence atau alur penelitian maju bertahap. Dalam
alur penelitian maju bertahap dikenal 5 prinsip yaitu (Spradley, 2007):
a. Teknik tunggal
Yang dimaksud dengan teknik tunggal adalah memilih salah satu teknik yang
akan dipakai dalam satu tahapan penelitian. Spradley menganjurkan peneliti
untuk berkonsentrasi dalam menggunakan suatu teknik sehingga dapat
menguasai satu teknik dalam suatu tahapan penelitian.
b. Identifikasi tugas
Setelah menetapkan teknik yang akan digunakan, maka peneliti disarankan
untuk membuat alur atau langkah-langkah penelitian yang harus dilalui untuk
penelitian ini. Metode alur penelitian maju bertahap mengidentifikasi tugas-
tugas dasar serta tujuan-tujuan spesifik yang dibutuhkan suatu teknik lapangan
tertentu. Hal ini bertujuan agar penelitian dapat dilakukan secara sistematis dan
terarah.
c. Maju bertahap
Pada prinsip ini, Spradley menyarankan agar tahapan penelitian dilakukan
secara terarah dan berurutan. Spradley mengistilahkannya dengan maju
bertahap. Sifat berurutan dari langkah-langkah mengimplikasikan yaitu
mendorong seseorang untuk memperbaiki keterampilan penelitian dasar dengan
cara sistematik dan memungkinkan seseorang untuk mempelajari suatu suasana
dengan cara efisien.
d. Penelitian orisinal
Dalam melakukan penelitian, selayaknya teknik yang dilakukan untuk
penelitian sesungguhnya bukan hanya untuk latihan. Seperti ketika melakukan
teknik wawancara, maka itu adalah praktek dalam penelitian sungguhan.
e. Problem solving
Metode alur penelitian maju bertahap memandang bahwa penelitian harus
didasari dengan proses problem solving. Spradley berpendapat bahwa pandangan
ilmu untuk ilmu sudah ketinggalan dan lebih memandang bahwa ilmu harus
mempunyai kegunaan praktis dalam menyelesaikan masalah-masalah sehingga
peneliti harus dapat menjadi problem solver. Ada 6 langkah yang merupakan
proses penyelesaian masalah yaitu mendefinisikan masalah, mengidentifikasikan
129

kemungkinan penyebab-penyebab, mempertimbangkan penyelesaian yang


mungkin, memilih penyelesaian terbaik, melaksanakan rencana, dan
mengevaluasi hasilnya.
Pada prinsip identifikasi tugas, etnografi mempunyai 12 langkah pokok dalam
melakukan identifikasi tugas. Untuk menghasilkan suatu deskripsi etnografi yang
orisinal, maka ada langkah-langkah proses dalam alur penelitian maju bertahap
yaitu (Spradley, 2007):
a. Menetapkan informan
Penetapan informan dimaksud untuk membuka pintu utama dari masyarakat
yang menjadi obyek penelitian. Informan adalah anggota dari kelompok
masyarakat yang diteliti dan mengantarkan peneliti ke pokok persoalan yang
ingin diketahui dan diselidiki. Informan dapat membantu mengenal masyarakat
dan tempat peneliti untuk mengasah keterampilan wawancara. Menurut
Spradley, ada 5 syarat menjadi informan yang baik (Spradley, 2007)sebagai
berikut (1) enkulturasi penuh mempunyai informan yang mengetahui dan
mengertidengan baik tentang lingkungannya, (2) Keterlibatan langsung yaitu
etnografer yang baik akan menetapkan orang yang terlibat dan bukan sekedar
terlibat. Ketika terlibat langsung dalam suatu lingkungan maka orang akan
menggunakan pengetahuannya untuk membimbing tindakannya, dan ketika
tidak lagi menggunakan pengetahuannya maka pengetahuan suit untuk
diungkapkan kembali, (3) suasana yang tidak dikenal, ini adalah media bagi
etnografis untuk belajar cara menempatkan diri didepan informan. Pada intinya,
peneliti harus mampu menempatkan diri seperti tidak mengetahui lingkungan
yang diteliti, (4) waktu yang cukup, dalam membangun hubungan, maka
peneliti membutuhkan waku untuk mendapatkan data yang cukup. Sehingga
informan adalah salah satu faktor pendukung untuk mendapatkan data, jika
tidak didukung informan yang baik maka waktu menjadi sia-sia. Kualitas dan
komitmen informan menjadi hal yang penting bagi peneliti.(5) non-analitis,
dalam memberikan informasi, informasi mempunyai 2 gaya informasi. Pertama,
informan memberikan informasi tanpa makna dan fungsi yang ada dibaliknya.
Kedua, informan menambahkan interpretasi ke dalam informasi akan peristiwa
atau tindakan di masyarakat atas teori asli setempat (Folk theory).
b. Mewawancara informan
Peneliti dapat mengambil data melalui pengamatan dan terlibat beberapa
percakapan. Wawancara etnografi lebih kearah percakapan persahabatan
sehingga informan tidak menyadari bahwa ada beberapa pertanyaan etnografis
didalamnya. Ada 3 tujuan yang ingin dicapai dalam wawancara etnografi yaitu
tujuan eksplisit dimana peneliti dan informan harus mengetahui arah
pembicaraan mereka. Peneliti harus mengingatkan informan tentang arah
pembicaraan; tujuan penjelasan dimana peneliti mulai dari pertemuan pertama
harus menekankan penjelasan tentang penelitian, perekaman, proyek dan bahasa
asli yang sedang dilakukan kepada informan; dan tujuan pertanyaan terbagi atas
deskriptif (memperoleh gambaran tentang suatu hal), sttuktural (mengorganisir
130

gagasan dan pengetahuan) dan kontras (mengungkap maksud dari informan


atas informasi).
c. Membuat catatan etnografis
Catatan etnografi adalah membuat gambaran awal dari fokus kajian. Ada 2
prinsip yang dianut dalam catatan etnografi yaitu prinsip identifikasi yang
bertujuan menemukan berbagai perbedaan dalam penggunaan bahasa dan
prinsip harfiah yaitu prinsip membuat catatan secara harfiah terhadap hal-hal
yang dikatakan masyarakat untuk menghindari penyangkalan.
d. Mengajukan pertanyaan deskriptif
Langkah ini bertujuan untuk mejalin hubungan dan menggali informasi. Dalam
menjalin hubungan diperlukan keprihatinan, penjajakan kerjasama dan
partisipasi. Sementara itu, pertanyaan deskriptif terdiri atas 5 pertanyaan yaitu
pertanyaan grand tour adaah pertanyaan yang mendalihkan suatu pengalaman
yang dialami oleh peneliti, pertanyaan mini tour identik dengan pertanyaan
grand tour dan hanya unit pengalaman yang jauh lebih kecil, pertanyaan contoh
merupakan pertanyaan lebih spesifik dengan meminta suatu contoh, pertanyaan
pengalaman hanya menanyakan kepada informan tentang pengalaman apapun
dalam beberapa kondisi, dan pertanyaan bahasa asli dirancang untuk
meminimalkan pengaruh kemampuan informan untuk menerjemahkan.
e. Menganalisis wawancara etnografis
Kegiatan analisis merupakan pengujian sistematis atas suatu pokok persoalan
yang sedang dikaji. Langkah-langkahnya adalah memilih masalah,
mengumpulkan data, menganalisis data, menformulasikan hipotesis
etnografisdan menulis tenografi
f. Membuat analisis domain
Analisis domain merujuk kepada pencarian unit dan hubungannya dalam skala
yang lebih besar. Analisis ini dilakukan dengan memilih satu hubungan analisis
tunggal, menyiapkan lembar kerja analisis domain, memilih contoh pertanyaan
informan, mencari istilah pencakup dan tercakup serta merumuskan pertanyaan
struktural.
g. Mengajukan pertanyaan struktural
Pertanyaan struktural diajukan untuk memperoleh informasi tentang cara
masyarakat mengklasifikasikan pengetahuan. Prinsip yang dapat membantu
adalah prinsip kesesuaian, prinsip penjelasan, prinsip pengulangan, prinsip
konteks, dan prinsip kerangka budaya.
h. Membuat analisis taksonomik
Analisis taksonomik mengungkapkan semua hal sesuai dengan cara
penyandangnya dalam memberi nama, arti dan fungsinya. Analisis ini dilakukan
setelah atau bersama dengan analisis domain. Langlah-langkah dalam analisis
ini adalah memilih domain yang dijadikan unit analisis, mengidentifikasi
keangka substitusi yang tepat, mencari subset yang mungkin di istilah yang
tercakup, mencari domain yang lebih besar, membuat taksonomi sementara,
131

mmenformulasikan pertanyaan struktural guna pembuktian taksonomi dan


penggalian data lanjutan, wawancara struktural tambahan dan menyusun
taksonomi lengkap.
i. Mengajukan pertanyaan kontras
Langkah ini bertujuan untuk menemukan makna suatu simbol yang berbeda
denga simbol lainnya. Perbedaan antar simbol dapat menjadi perbedaan tak
terbatas (perbedaan kasat mata atau secara jelas) dan perbedaan terbatas (istilah
sama pada waktu yang berbeda).
j. Membuat analisis komponen
Langkah ini bertujuan menggali sifat dari simbol, atribut dan karakteristik yang
terkandung. Langkah-langkah yang harus dilakukan adalah memilih suatu
rangkaian kontras untuk analisis, menemukan semua kontras yang telah
diperoleh, menyiapkan lembar kerja paradigma, mengidentifikasi dimensi
kontras yang memiliki nilai ganda, menggabungkan dimensi kontras yang
terkait menjadi dimensi kontras yang memiliki nilai ganda, menyiapkan
pertanyaan kontras untuk atribut dan dimensi kontras baru, wawancara
tambahan dan menyiapkan parafigma lengkap
k. Menentukan tema-tema
Langkah ini mengidentifikasi tema-tema dengan cara menelusuri pokok-pokok
persoalan.
l. Menulis suatu etnografi
Dalam menulis suatu etnografi biasanya mengarah dari yang umum ke khusus.
Statement dalam menulis tenografi adalah statement universal, statement
deskriptif antar masyarakat, statement umum mengenai suatu masyarakat,
statement umum suatu bagian masyarakat yang spesifik, statement spesifik
mengenai suatu domain, dan statement insiden spesifik. Langkah-langkah dalam
menulis etnografi adalah memilih khalayak, memilih tesis, membuat daftar
toopik dan garis besar laporan, menulis draft, merevisi outline dan anak judul,
mengedit naskah kasar, menulis pengantar dan kesimpulan, menulis kembali
tulisan tentang contoh dan menulis naskah akhir.

ETHNOMETHODOLOGY
Istilah ethnometodologi berakar dari bahasa yunani yang berarti metode yang
digunakan prang dalam menyelesaikan msalah kehidupan sehari-hari (Ritzer dan
Morgan, 2012). Ethnomethodology sebagian besar berasal dari fenomenologi Schutz.
Pada dasarnya, Ethnomethodology berusaha untuk mengobati kegiatan praktis,
situasi praktis, dan penalaran sosiologis praktis sebagai topik studi empiris, dan
memperhatikan kegiatan yang paling umum dari kehidupan sehari-hari, biasanya
perhatian diberikan ke peristiwa luar biasa, serta berusaha untuk belajar tentang
mereka sebagai fenomena mereka sendiri (Burrell dan Morgan, 1979).Untuk lebih
jelasnya definisi dari ethnometodologi adalah kumpulan pengetahuan berdasarkan
akal sehat dan rangkaian prosedur dan pertimbangan yang dengannya masyarakat
132

biasa dapat memahami, mencari tahu dan bertindak berdasarkan situasi dimana
mereka menemukan dirinya sendiri (Ritzer dan Morgan, 2012).
Belajar tentang cara-cara di mana orang mengatur dan memahami kegiatan
sehari-hari mereka adalah cata dimana mereka membuat dirinya akuntabel kepada
orang lain, dalam arti yang diamati dan dilaporkan. Interaksi antara orang-orang
dalam kehidupan sehari-hari dapat dianggap sebagai pencapaian yang sedang
berlangsung, di mana mereka yang terlibat imbang pada berbagai asumsi, konvensi,
praktek dan jenis sumber daya yang tersedia dalam situasi mereka untuk
mempertahankan bentuk dengan berbagai cara (Burrell dan Morgan,
1979). Ethnomethodology berusaha untuk memahami pencapaian tersebut dalam
pemahaman mereka sendiri. Ini berusaha untuk memahami mereka dari dalam.
Etnometodologi berupaya untuk memahami bagaimana masyarakat memandang,
menjelaskan dan menggambarkan tat hidup mereka sendiri (Muhadjir, 2011).
Sehingga etnometodologi adallah metodologi dari laporan etnografik.
Istilah ethnomethodology diciptakan oleh Harold Garfinkel sebagai hasil
karyanya padaproyek juri(Burrell dan Morgan, 1979). Proses dari juri telah disadap
dan pekerjaan Garfinkel untuk mendengarkan kaset dan untuk berbicara dengan
para juri dengan mempertanyakan apa yang membuat mereka juri. Garfinkel dan
rekan yang tertarik dengan pertanyaan bagaimana juri tahuapa yang mereka
lakukan dalam melakukan pekerjaan juri. Mereka mengakui bahwa juri, untuk pergi
sebagai juri, mengambil berbagai metode untuk membuat kegiatan mereka sebagai
juri dinilai akuntabel pada diri sendiri maupun orang lain. Mereka terlibat dalam
proses yang beralasan dari praktek kerja juri. Mereka khawatir dengan hal-hal
seperti rekening yang memadai, deskripsi memadai dan 'bukti yang cukup. Mereka
berusaha untuk menghindari 'berpikir dengan akal sehingga mereka berusaha
untuk bertindak dengan cara yang mereka pikir juri harus bertindak. Istilah
ethnomelhcdology diciptakan untuk mengkarakterkan keterlibatan para anggota
juri dalam sebuah metodologi yang berkaitan dengan area spesifik pengetahuan
yang masuk akal. Mereka terlibat dalam suatu proses untuk menggunakan satu set
khusus praktek berpikir dengan akal kegiatan sosial tertentu. Namun,
ethnomelhodologydapat berarti banyak hal yang berbeda.Garfinkel mencatat
bahwaitu telah berubah menjadi sebuah semboyan dan ia terus terang
menolak tanggung jawab atas apa yang orang yang perbuat
denganethnomethodology (Burrell dan Morgan, 1979).
Karya ethnomethodologysangat mengambil berat dalam mengidentifikasi
asumsi taken for grantedyang mencirikan situasi sosial dan cara-cara di mana anggota
yang terlibat, melalui penggunaan praktek sehari-hari, membuat aktivitas yang
rasional dan bertanggung jawab (Burrell dan Morgan, 1979). Dalam analisis ini
pengertian tentang indexicalitydan refleksivitas memainkan peranan
penting. Kegiatan sehari-hari dianggap sebagai diatur dan dapat dijelaskan secara
rasional dalam konteks di mana terjadi. Cara di mana mereka terorganisir membuat
penggunaan ekspresi dan kegiatan yang dibagi dan belum tentu dijadwalkan secara
eksplisit (indexicality) dan ini tergantung pada kemampuan untuk melihat kembali
133

apa yang telah terjadi sebelum (refleksivitas) (Burrell dan Morgan, 1979). Situasi
sosial dipandang sebagai proses aksi akuntabel yang didukung oleh usaha peserta,
Peserta dilihat mencoba untuk mengatur pengalaman mereka untuk
mempertahankan pengandaian sehari-hari, masuk yang mencirikan rutinitas
kehidupan sehari-hari. Pengurungan atau bracketing merupakan latihan mental
dengan peneliti mengidentifiksi dan kemudian memisahkan asumasi menerima apa
adanya atau taken for granted yang digunakan dalam ilmu sosial (Neuman, 2013).
Maynard dan Clayman mengilustrasikan sejumlah variasi dalam
etnometodologi tetapi hanya 2 yang menonjol yaitu (Ritzer dan Morgan, 2012):
1. Setting institutional
Karrya Garfinkel dan teman-temannya berlansung dalam seting biasa dan
tidak diinstitutionalkan, kemudian bergeser pada penelitian kegiatan sehari-
hari pada setting institutional. Tujuan dari settiing institutional adalah
memahami orang lain dalam melaksanakan tugas kantor dan proses yang
terjadi dalam institusi tempat tugas itu berlansung. Setting institutional
memusatkan perhatian pada struktur, aturan formal dan prosedur resmi
untuk menerangkan apa yang dilakukan orang didalamnya. Sehingga
paksaan eksternal tidak memadai untuk menjelaskan apa yang terjadi dalam
institusi itu. Orang tidak ditentukan oleh kekuatan eksternal, menggunakan
institusi untuk menyelesaikan tugas dan mencipakan institusi didalamnya.
Dengan demikian orang menggunakan prosedur yang berguna bukan hanya
untuk kehidupan sehari-hari tapi juga untuk menciptakan produk institusi.
2. Analisis percakapan.
Tujuan analisis percakapan adalah untuk memahami secara rinci struktur
fundamental interaksi percakapan. Dalam perspektif etnometodologi,
percakapan adalah aktivitas interaksi yang menunjukkan aktivitas yang stabil
dan teratur yang merupakan kegiatanyang dapat dianalisis. Zimmerman
mengutarakan ada 5 prinsip dasar dalam menganalisis percakapan yaitu:
pengumpulan dan analisis data, percakapan rinci sebagai pencapaian yang
teratur, interaksi umum dan percakapan khususnya mempunyai sifat stabil
dan teratur yang dicapai aktor yang terlibat, kerangka percakapan
fundamental adalah organisasi yang teratur dan rangkaian interaksi
percakapan dikelola atas dasar tempat atau bergiliran.

PHENOMENOLOGY
Dalam sosiologi ada terdapat kontribusi pengetahuan dari Edmund Husserl
yang dikenal dengan fenomologi. Fenomologi menempati pertengahan dasar
paradigma. Gerakan fenomenologi bukan merupakan satu kesatuan karena
direfleksikan dalam sejumlah pengembangan serta tidak mempunyai definisi yang
sederhana dan mudah. Fenemonologi merupakan filsafat yang mengimplikasikan
moral value sejak dari observasi memperoleh data, membuat analisis dan membuat
134

kesimpulan (Muhadjir, 2011). Fenomologi menggambil karya Husserl sebagai titik


tolak yang mempunyai cabang dalam sejumlah arah berdasarkan perspektif dari
eskponen tertentu (Burrell dan Morgan, 1979). Edmund Husserl yang dikenal
sebagai penemu dan eksponen terkemuka dari pergerakan phenomologikal di
filosofi (Burrell dan Morgan, 1979). Dalam dimensi subyektif-obyektif, Husserl
mengambil posisi subyektivist yang ekstrim (Burrell dan Morgan, 1979).
Fenomologi menurut Maurice Natanson adalah filosofi dimana memahami
kesadaran sebagai matrik dari fenomena, menganggap fenomena sebagai obyek dari
tindakan yang disengaja dan diberlakukan penting, menuntut metode sendiri,
peduli terhadap pengalaman yang sudah diprediksi, menawarkan sebagai dasar imu
dan terdiri atas filosofi kehidupan dunia, pertahanan alasan dan akhirnya krtik dari
filosofi (Burrell dan Morgan, 1979). Sedangkan Husserlian phenomenology berdasar
kepada pertanyan dasar akan akal pikiran, perilaku taken for granted mewarnai
kehidupan sehari-hari dan dunia ilmu natural (Burrell dan Morgan, 1979). Dalam
proses fenomenologi, dunia luar ditunjukkan sebagai artefak dari kesadaran dan
fenomena dikehendaki wujudnya melalui aksi yang diniatkan. Natanson
menyatakan bahwa pusat ikhtiar fenomenologi adalah untuk melebihi perilaku
alami dari kehidupan sehari-hari yang bertujuan untuk menberikan obyek dari
pengawasan filosofi dan untuk menjelaskan pentingnya struktur (Burrell dan
Morgan, 1979). Manusia ditunjukkan untuk hidup yang diciptakan melalui
kesadaran. Pada dimensi subyektif-obyektif dari skema analisis, Hussrel mengambil
posisi yang subjektivists yang ekstrim. Menurut Hussrel, ontologi, dan epistemologi
dapat dijelaskan yaitusecara ontologi, dunia merupakan arus kesadaran dan
merupakan pengalaman serta subyektif adalah sumber dari semua obyektif dan
tugas epistemologi adalah untuk mengeksplorasi dan mengungkapkan jenis dan
struktur pengalaman penting(Burrell dan Morgan, 1979).
Phenomenologymempelajariinti dan menjelaskan hubungan antara mereka,
serta mencari pengalaman dan mengklarifikasi dasar pengetahuan.Metode intuisi
lansung dan wawasan pentingnya struktur ditawarkan sebagai prinsip dalam
memasuki kedalaman kesadaran dan melampaui urusan dunia sehari-hari dalam
mencari bentuk subyektivitas (Burrell dan Morgan, 1979). Penjelasan diatas
menyimpulkan adanya prosedur epoche. Prosedur epoche adalah ketika
fenomologis menunda keterlibatan dan partisipasi dalam perilaku natural dan
bertindak sebagai peran sentral (Burrell dan Morgan, 1979).
Berdasarkan Noeng Muhadjir, metodelogi penelitian kualitatif dengan
menggunakan fenomenologi mempunyai 2 jenis yaitu model induktif atau model
grounded dan model deduktif atau realisme metafisik (Muhadjir, 2011):
1. Phenomemologik interpretif grounded
Fenomenologi ini merupakan interpretasi filsafat fenomemologi
logik.Phenomemologik interpretif grounded tidak berangkat dari teori, tetapi
dari pemahaman grass root sendiri atau alam pikiran satuan masyarakat yang
diteliti. Pendekatan ini berbeda dengan positivime kualitatif obyektif yang
menggunakan hasil penelitian terdahulu sebagai acuan.
135

2. Phenomemologik interpretif grounded


Phenomemollogik interpretif grounded membangun grand theory. Pendekatan
ini mengumpulkan daata kualitatif Phenomemologik, ditata data probabilistik,
membuat analisis kualitatif Phenomemologik dan menguji secara falsifikasi
serta menguji kebenaranteori.
Di pihak lain, Burrell dan Morgan membagi phenomenology atas dua nama
yang yaitu fenomenologi transendental ataumurni yang paling sering dikaitkan
dengan karya Husserl danfenomenologi eksistensial (Burrell dan Morgan, 1979):
1. Transcendental Phenomenology.
Cara pandang Hussrels dipengaruhi oleh latar belakang pekerjaannya sebagai
ahli matematika dan fisika. Dasar pertimbangannya adalaj dengan logika dan ilmu.
Sehingga karakteristik manusia yang diteliti bersumber atas logika dan ilmu (Burrell
dan Morgan, 1979). Berdasarkan penjelasan sebelumnya, pemikiran ilmu
pengetahuan ditandai dengan intensionalitas. Terlepas dari kenyataan bahwa hasil
ilmu selalu perkiraan dan tidak sempurna, ilmuwan dipandu oleh niat objektivitas
mutlak (Burrell dan Morgan, 1979). Hal itu merupakan tujuan ilmu pengetahuan,
dimana ide akan ilmu dibandingkan hasil, yang penting dalam membedakan dalam
nama sebagai disiplin.Dalam usahanya mencari dasar tujuan ilmu pengetahuan,
Husserl mencoba untuk membuka arah baru dalam analisis kesadaran. Hal itu
dilakukan dengan cara membuat pertanyaan pusat akan pemahaman dari
perumusan hipotesis dan berusaha untuk menembus ke tingkat fenomena tersebut
(Burrell dan Morgan, 1979). Kenyataan dikesampingkan dan berusaha untuk
menembus level fenomena. Dengan kata lain, itu adalah latihan fenomenologi.
Usaha akan metode epoche memegang peranan penting dalam membuka
jalan bagiphenomenal reductiondan eksplorasi tingkat baru dan mendasar dari
tingkat pemaknaan yaitu area transcendental (Burrell dan Morgan, 1979). Dalam
filsafat fenomenology transendental ini, Hussrel mencoba untuk memahami dunia
sebagai fenomena dan memahami bukan sebagai objek, tetapi sebagai makna
murni. Tujuan reduction yang fundamental, asli dan penting adalah untuk
membawa cahaya yang penting secara sengaja antara kesadaran dan dunia (Burrell
dan Morgan, 1979). Phenomenal reduction menyebabkan hubungannya antara
kesadaran murni dan fenomena dunia. Semua asumsi kehidupan sehari-hari yang
menepis dalam mengejar subjektivitas murni, kesadaran transendental, niatyang
merupakan sumber dari semua makna. Gagasan intentionalybahwa kesadaran
selalu memiliki objek, memainkan peran penting dalam filsafatHusserl. Ini
menyangkal kemungkinan adanya realitas independen apapun. Pada saat yang
sama, realitas tidak dibangun oleh kesadaran, realitas mengungkapkan itu melalui
tindakan intensionalitas. Ini mengejar kesadaran transendental membawa Husserl
makin mendekati solipsism. Sebagai dunia sehari-hari eksternal hanyut dalam
mencari transendental, kesadaran murni yang tersisa di isolasi indah, intensionalitas
yang satu-satunya link dengan setiap kemiripan realitas yang lebih luas. Ini
menempati wilayah terisolasi dan mandiri sendiri. Semua yang lain adalah produk
alam yang disengaja.
136

Gagasan transendental Husserl telah diadopsi sampai batas tertentu oleh ahli
teori beroperasi dalam karakteristik perspektif paradigma humanis radikal.
Ttransendensi, dari sudut pandang mereka, telah dilihat sebagai menunjukkan
potensi pelepasan dari ikatan kehidupan sehari-hari (Burrell dan Morgan,
1979). Karya Sartre, khususnya, mencerminkan pengaruh langsung Hussrel.
2. Existential Phenomenology
Fenomenologi eksistensial paling sering dikaitkan dengan karya Heidegger,
MerleauPonly, Sartre dan Schutz. Filosofis-filosofis tersebut berbagi keprihatinan
bersama untuk apa Hussreldisebut hidup-dunia (Lehenswelt), untuk dunia
pengalaman sehari-hari yang bertentangan dengan alam kesadaran transcendental
(Burrell dan Morgan, 1979). Namun, terlepas dari keprihatinan ini dengan
duniakehidupan dan cara di mana manusia ada di dalamnya, hal tersebut salah
mengartikan untuk melihat pekerjaan mereka serupa. Masing-masing
mengembangkan perspektif teoretis yang mengikuti posisi hampirsama dalam
berbagai hal pada dimensi subjektif-obyektif, akan tetapi masing-masing membahas
isu dan masalah yang sangat berbeda (Burrell dan Morgan, 1979).
Schutz merasa yakin bahwa itu tidak cukup dalam untuk meletakkan dasar-
dasar yang sendiri dimana banyak masalah dari ilmu manusia bisa diselesaikan
(Burrell dan Morgan, 1979). Berangkat dari dasar ini, dalam berdasar pada Hussrel,
Schutz mengidentifikasi sejumlah ambiguitas dalam posisi Weber dan dikenakan
mereka untuk analisis filosofis menyeluruh. Sementara setuju dengan Weber bahwa
fungsi penting dari ilmu sosial adalah menjadi interpretatif , yaitu memahami makna
subjektif dari aksi sosial, Schutz merasa bahwa Weber telah gagal untuk menyatakan
karakteristik penting dari verstehenyang berarti subjektif dan action (Burrell dan
Morgan, 1979). Untuk Schutz,. analisis mendalam berlangsung dari konsep-konsep
ini sangat penting dalam rangka untuk menempatkan subyek dan metode ilmu-ilmu
sosial di atas dasar yang jelas.
Schutz menekankan pada analisis fenomenologis makna, mencari asal-usul
dalam aliran kesadaran (Burrell dan Morgan, 1979). Gagasan ini, berasal dari
Bergson, sangat penting bagi analisisnya. Hal itu disebabkan karena telah
memperkenalkan dimensi temporal yang mendasari konsep refleksivitas. Schutz
berpendapat bahwa kesadaran dasarnya adalah aliran tak terputus pengalaman
hidup yang tidak memiliki makna dalam diri mereka sendiri. Dengan kata lain, itu
tergantung pada refleksivitas yaitu proses untuk mengubah kembali diri sendiri dan
melihat apa yang telah terjadi (Burrell dan Morgan, 1979). Sehingga itu melekat pada
tindakan retrospektif, hanya yang sudah jadi pengalaman yang bermakna, bukan
apa yang ada dalam proses yang sedang dialami.
Schutz juga berpendapat proses ini menghubungkan makna refleks tergantung
pada aktor yang mengidentifikasi tujuan atau tujuan yang dicari (Burrell dan
Morgan, 1979). Konsep tindakan yang berarti mengandung unsur masa depan dan
masa lalu, sehingga memiliki dimensi temporal secara intrinsik.Analisis Schulz dari
proses ,yangmerupakan waktu kesadaran internal,adalah aplikasi langsung
dariphenomeology reductionseperti yang dijelaskan oleh Hussrel. Schutz mengakui
137

bahwa analisis makna dalam kehidupan sosial sehari-hari tidak memerlukan


fenomenologi transendental yang dihasilkan oleh phenomeology reduction (Burrell
dan Morgan, 1979). Saat Schutz melanjutkan untuk mempelajari dunia sosial, Schutz
meninggalkan metode fenomenologi. Schutz menerima keberadaan dunia sosial
seperti yang disajikan dalam sikap alami dan berfokus pada masalah pemahaman
intersubjektif, melewati seluruh sarang masalah diidentifikasi oleh Husserl dalam
kaitannya dengan masalah subyektifitas transendental dan intersubjektivitas (Burrell
dan Morgan, 1979). Untuk Schutz, proses memahami perilaku orang lain dapat
dipahami sebagai suatu proses tipifikasi, dimana aktor berlaku konstruksi
interpretatif mirip dengan tipe ideal.untuk menangkap makna apa yang orang
lakukan (Burrell dan Morgan, 1979). Konstruksi ini berasal dari pengalaman hidup
sehari-hari dan stock of knowledge atau pemahaman masuk akal yang terdiri dari
sikap alami. Melaluipenggunaan tipifikasi maka realitas dapat diklasifikasi dan
diatur.

DAFTAR PUSTAKA

Burrell, Gibson dan Gareth Morgan, 1979, Sosiological Paradigm and Organizational
Analysis, Heinemann, London
Chua, Wai fong, 1986, Radical development in Accounting thought, The Accounting
Review, Vol 61, No. 4, pp. 601-632.
Gioia, Dennis dan Evelyn Pitre, 1990, Multiparadigm Perspectives on Theory
Building, The Academy of Management Review, 15, 4, pp. 584-602
Held, David, 1980, Introduction in Critical Theory: Horkheimer to Habermas, Berkeley
University of California Press.
Muhadjir, Noeng Prof DR. H., 2011, Metodologi Penelitian, Edisi Keenam, Rake
Sarasin, Yogyakarta,
Neuman, W. Lawrence, 2013, Metodologi Penelitian Sosial: Pendekatan Kualitatif
dan Kuantitatif, Edisi 7, Terjemahan Bahasa Indonesia, Pearson, Jakarta
Ritzer, George dan Douglas J. Goodman, 2012, Teori Sosiologi Modern, Edisi
Keenam, Prenada Media Group, Jakarta.
Rosenau, Pauline Maric, 1992, Post Modernism and The Social Science: Insights, Inroads
amd Intrusions, Princeton University Press, UK.
Spradley, James P, 2007, Metode Etnografi, Edisi Kedua, Tiara Wacana, Yogyakarta.
MENIMBANG TEORI-TEORI SOSIAL
POSTMODERN: SEJARAH, PEMIKIRAN, KRITIK
DAN MASA DEPAN POSTMODERNISME

Medhy Aginta Hidayat


Program Studi Sosiologi, FISIB, Universitas Trunojoyo, Madura
Email: medhy.hidayat@trunojoyo.ac.id

Abstrak

Artikel ini memaparkan latar belakang sejarah lahirnya teori-teori sosial postmodern, konsep-konsep
pemikiran tokoh-tokoh teori sosial postmodern, serta kritik dan prospek masa depan teori-teori sosial
postmodern. Harus diakui, teori-teori sosial postmodern dewasa ini cenderung berada dalam ketegangan
pendapat antara kubu yang memandang bahwa teori-teori sosial postmodern masih menjadi bagian dari
era modern dan kubu yang meyakini bahwa teori-teori ini telah terpisah sama sekali dari era modern.
Kedua pandangan di atas, dengan landasan argumentasi masing-masing, akan dicoba dilacak di dalam
artikel ini. Dengan memanfaatkan metode kajian kepustakaan (literature studies), artikel ini pada
akhirnya hendak memberikan gambaran kritis tentang posisi penting teori-teori sosial postmodern dalam
kajian sosiologi kontemporer dewasa ini, serta potensi kemungkinan-kemungkinan perkembangannya di
masa depan.

Kata Kunci : postmodernisme, postmodern, teori-teori sosial, teori sosiologi

Abstract

This article explains the historical background of postmodern social theory, the concepts of postmodern
social theory from its prominent figures, also critics and future prospect of postmodern social theory.
It must be admitted, the recent postmodern social theory tend to be in conflict between party who sees
postmodern social theory is a part of modern era and party who believes that these theory has been
separated from modern era. Those two opinions, with their own argumentative cornerstone, will be
tracking down in this article. Using literature studies method, this article will give critical insight about
the importance of postmodern social theory in recent contemporary sociological studies and its potential
development in the future.

Keywords : postmodernism, postmodern, social theory, sociological theory

42 Journal of Urban Sociology | Volume 2 / No. 1 / April 2019


Menimbang Teori-Teori Sosial Postmodern:
Sejarah, Pemikiran, Kritik dan Masa Depan Postmodernisme

PENGANTAR Beberapa tokoh pemikir teori sosial postmodern


di antaranya adalah Jean Francois Lyotard, Michel
Tidak berlebihan kiranya jika dinyatakan Foucault, Jacques Derrida, Jean Baudrillard, dan
bahwa istilah postmodernisme dan berbagai istilah Friedrich Jameson. Meskipun masih terus
turunannya (postmodern, postmodernitas, post- berkembang hingga saat ini, harus diakui bahwa
modernisasi) telah menjadi “buzz word” penting puncak perkembangan pemikiran teori sosial
dalam kehidupan sosial dan budaya kita dewasa postmodern terjadi pada era tahun 1980-an.
ini. Paradigma pemikiran yang populer dengan Artikel ini mencoba memaparkan secara ringkas
sebutan peyoratif “posmo” ini kini nyaris hadir di pengertian, sejarah pemikiran, konteks sosial
setiap denyut kehidupan. Seni posmo, sastra serta konsep-konsep kunci teori sosial postmodern
posmo, film posmo, arsitektur posmo, ideologi seperti yang diuraikan oleh sejumlah tokoh
posmo, budaya posmo, dan bahkan teologi posmo postmodernisme sejak akhir tahun 1960-an.
adalah beberapa contoh maraknya kehadiran ide
“postmodernisme” dalam berbagai sisi kehidupan
kontemporer. POSTMODERN:
Sayangnya, penggunaan istilah postmodernisme AKAR DAN TURUNAN ISTILAH
seringkali salah kaprah dan cenderung menyesatkan.
Postmodernisme kerapkali diidentikkan dengan Istilah postmodern secara harfiah berarti
sikap-sikap negatif seperti “asal beda”, “semau gue”, “setelah modern”. Istilah “modern”, yang berarti
“bukan ini dan bukan itu”, “nyentrik” dan bahkan zaman baru, berasal dari bahasa Latin modernus,
tidak jarang dipahami sebagai “klenik”. Padahal, yang telah digunakan sejak abad ke-5 M untuk
jika dilacak sejarah filosofis dan sosiologisnya, menunjuk batas antara era kekuasaan agama
postmodernisme memiliki akar historis dan akademis Kristen dan era Paganisme Romawi (Smart,
yang kuat. Setidaknya, postmodernisme perlu 1990). Istilah ini kemudian berkembang menjadi
diletakkan secara proporsional dalam tataran arus beberapa istilah turunan yang kesemuanya men-
pemikiran filsafat dan teori sosial terkini dengan unjuk pada suatu kurun sejarah setelah era Abad
merujuk pada pemikiran tokoh-tokoh teori sosial Pertengahan. Beberapa istilah tersebut adalah
postmodern. modernitas, modernisasi dan modernisme. Dalam
Selain dalam kehidupan sehari-hari, penggunaannya, seringkali terjadi tumpang tindih
postmodernisme, dengan berbagai wajah dan dan simplifikasi pengertian di antara berbagai
karakternya, juga telah merasuk nyaris di semua istilah ini. Meskipun demikian, diterima suatu
bidang kajian ilmu sosial dan budaya: seni, sastra, kenyataan bahwa yang diacu oleh istilah-istilah
bahasa, ekonomi, politik, komunikasi, antropologi, ini adalah suatu era kebudayaan baru yang
administrasi, dan tentu saja sosiologi. Berbagai teori ditegakkan oleh rasio, subjek dan wacana
berbasis pemikiran postmodernisme pun lahir. Dalam antropomorfisme.
wilayah sosiologi, kajian tentang postmodernisme Sementara itu istilah modernitas (modernity)
baru menemukan bentuk dan kematangannya diartikan sebagai kondisi sosial budaya
pada rentang waktu antara tahun 1960 hingga masyarakat modern. Istilah ini sekaligus
1980-an. Sejumlah teori sosial postmodern pun menggambarkan hubungan antara masa kini dan
lahir dan berkembang dari tokoh-tokoh pemikir masa silam, serta sebagai kurun sejarah yang
postmodern pada kisaran waktu tersebut. berbeda dimana moderrnitas lebih superior

Journal of Urban Sociology | Volume 2 / No. 1 / April 2019 43


Medhy Aginta Hidayat

dibanding masa sebelumnya. Modernitas inilah, atau salah satu dari berbagai gerakan sebagai
merujuk Calinescu, yang merupakan era yang lebih reaksi terhadap modernisme yang dicirikan oleh
dewasa, lebih utuh dan mendasar dalam aspek-aspek sikap kembali ke bentuk dan bahan tradisional
rasio, religi dan estetika dibanding era sebelumnya (dalam arsitektur) atau oleh sikap referensi-diri
(Smart, 1990). Modernitas sekaligus juga menjadi yang ironis dan absurd (dalam sastra)", atau juga
titik awal baru lantaran ia menawarkan hal-hal "yang berhubungan dengan atau suatu teori yang
baru seperti: pengetahuan, moral, ilmu, kebudayaan, melibatkan penolakan radikal atas asumsi-asumsi
politik dan seni. modern mengenai kebudayaan, identitas, sejarah
Modernisasi (modernization) berarti proses dan bahasa".
berlangsungnya proyek mencapai kondisi Sementara itu, American Heritage Dictionary
modernitas. Modernisasi mencakup proses menjelaskan istilah yang sama sebagai "sesuatu
pengucilan karya-karya klasik, warisan masa yang berhubungan dengan seni, arsitektur, atau
lampau dan sejarah purbakala, karena modernitas sastra yang bereaksi menolak prinsip-prinsip
pada hakekatnya mengambil posisi yang berlawanan modernisme, dengan cara memperkenalkan kembali
dengan hal-hal lama demi terciptanya hal-hal unsur-unsur gaya tradisional atau klasik atau dengan
baru. Dengan demikian, modernisasi adalah cara membawakan gaya atau praktik modernisme
pandangan dan sikap hidup yang dianut untuk secara ekstrim”.
menghadapi masa kini, yakni pandangan dan Postmodernisme awalnya memang merupakan
sikap hidup dalam menghadapi kenyataan hidup reaksi terhadap modernisme. Postmodernisme
masa kini. merujuk pada bentuk-bentuk kebudayaan,
Modernisasi ditandai oleh pemutusan hubungan intelektual, dan seni yang telah kehilangan hirarki
secara tegas terhadap nilai-nilai tradisional; atau prinsip kesatuan serta disarati kompleksitas
berkembangnya sistem ekonomi kapitalisme ekstrim, kontradiksi, ambiguitas, perbedaan, dan
progresif; rasionalisasi administratif; serta kesalingtautan sehingga sulit dibedakan dengan
diferensiasi sosial dan budaya (Featherstone, parodi.
1988). Kembali merujuk Berman, realitas modern Sementara itu, terma postmodernitas adalah
yang dicapai melalui proses modernisasi ini istilah turunan postmodernisme yang merujuk pada
memiliki beberapa komponen utama, yakni aspek-aspek non-seni sejarah yang dipengaruhi
industrialisasi, urbanisasi, konsep negara-bangsa oleh berbagai gerakan baru, terutama perkembangan
(nation-state), struktur birokrasi, pertumbuhan dalam dunia sosial, ekonomi dan kebudayaan
penduduk yang tinggi, sistem komunikasi dan sejak tahun 1960-an. Ketika pemikiran tentang
kekuasaan baru, serta pasar kapitalisme dunia penolakan terhadap modernisme diadopsi oleh ranah
(Turner, 1990). teori yang lain, dalam beberapa hal ia menjadi
Jika merujuk makna kamus, Oxford English sama dengan postmodernitas. Istilah postmodernitas
Dictionary mendefinisikan terma postmodernisme sendiri juga sering dikaitkan dengan poststruktural-
sebagai "suatu gaya dan konsep dalam seni yang isme (ala Michel Foucault) dan dengan modernisme,
dicirikan oleh sikap ketidakpercayaan terhadap teori dalam pengertian penolakan terhadap budaya
dan ideologi." Dalam kamus Merriam-Webster borjuis elit.
Dictionary, postmodern didefinisikan sebagai Istilah postmodern pertama kali dipergunakan
"yang berhubungan dengan atau sebuah era setelah sekitar tahun 1870-an dalam berbagai bidang. Sebagai
era modern " atau "yang berhubungan dengan contoh, John Watkins Chapman menyuarakan

44 Journal of Urban Sociology | Volume 2 / No. 1 / April 2019


Menimbang Teori-Teori Sosial Postmodern:
Sejarah, Pemikiran, Kritik dan Masa Depan Postmodernisme

"lukisan gaya postmodern" yang berbeda dengan kesadaran kritis dan reflektif terhadap paradigma
Impressionisme Perancis. Selanjutnya J.M. modernisme yang dianggap banyak melahirkan
Thompson, dalam sebuah artikelnya di tahun 1914 patologi modernitas. Setidaknya terdapat enam
di jurnal The Hibbert Journal, menggunakannya patologi modernitas yang digugat oleh para
untuk menggambarkan perubahan sikap dan pemikir postmodern.
kepercayaan dalam wilayah kritik agama Pertama, lantaran pandangan dualistiknya
(Smart, 1990). yang membagi seluruh kenyataan menjadi subjek-
Pada tahun 1917 Rudolf Pannwitz menggunakan objek, spiritual-material, manusia-dunia, dan
istilah postmodern untuk menjelaskan sebuah lain-lain, paham modernisme telah melakukan
kebudayaan yang berorientasi filsafat. Gagasan tindakan objektivasi alam secara berlebihan dan
Pannwitz tentang postmodernisme datang dari eksploitasi alam secara semena-mena. Kedua,
analisis Nietzsche tentang modernitas dan sejarahnya pandangan modern yang cenderung objektivistik
yang berakhir pada dekadensi dan nihilisme dan instrumentalis-positivistik akhirnya jatuh
(Turner, 1990). Istilah potmodernisme selanjutnya pada pembendaan (reifikasi) manusia dan
digunakan pada tahun 1926 oleh B.I. Bell dalam masyarakat. Sebagai akibatnya modernisme yang
artikelnya "Postmodernism and Other Essays." dahulu emansipatif kini justru bersifat dehuman.
Pada tahun 1925 dan 1921 istilah itu digunakan Ketiga, dominasi ilmu-ilmu empiris-positivistik
untuk menjelaskan bentuk baru seni dan musik. terhadap nilai moral dan religi menyebabkan
Tahun 1942 H. R. Hays menggunakannya untuk meningkatnya tindak kriminalitas, kekerasan fisik
merujuk sebentuk karya sastra baru. Tahun 1939, maupun kesadaran keterasingan dan pelbagai
Arnold J. Toynbee, seorang sejarawan terkemuka bentuk depresi mental.
pada zamannya menggunakan istilah post- Keempat, merebaknya pandangan materialisme,
modernisme untuk menjelaskan sebuah sejarah yakni prinsip hidup yang memandang materi dan
pemikiran (Turner, 1990). segala strategi pemuasannya sebagai satu-satunya
Istilah postmodern selanjutnya digunakan tujuan. Kelima, berkembangnya militerisme karena
untuk menggambarkan seluruh gerakan, terutama moral dan agama tidak lagi memiliki kekuatan
dalam seni, musik dan sastra yang menentang disiplin dan regulasi. Keenam, bangkitnya kembali
modernisme dan secara tipikal ditandai dengan tribalisme, semangat rasisme dan diskriminasi,
dilahirkannya kembali unsur-unsur dan teknik-teknik yang merupakan konsekuensi logis hukum
tradisional. Pemikiran teoritis postmodern dalam survival of the fittest ala Charles Darwin
filsafat dan analisis kebudayaan serta masyarakat (Sugiharto, 1996).
telah memperluas arti penting teori ini dan menjadi Di sisi lain, kesemarakan yang menyertai
titik berangkat berbagai gerakan untuk mengevaluasi perkembangan teori sosial postmodern telah pula
sistem nilai Barat yang berlangsung sejak tahun melahirkan euforia berlebihan yang menganggap
1960-an. paham postmodernisme akan mengubur paham
Munculnya teori sosial postmodern selanjutnya modernisme dan menjadi satu-satunya pandangan
telah mendorong perkembangan ilmu-ilmu sosial dunia yang benar. Sikap demikian tentu saja
kontemporer dewasa ini. Di satu sisi, munculnya bertolak belakang dengan keyakinan postmodern-
teori sosial postmodern patut diapresiasi. Merujuk isme yang justru menolak segala bentuk narasi
Pauline M. Rosenau (1992), kemunculan teori-teori besar (grand narratives) dan absolutisme
sosial postmodern ini telah mendorong lahirnya kebenaran.

Journal of Urban Sociology | Volume 2 / No. 1 / April 2019 45


Medhy Aginta Hidayat

KRISIS ERA MODERN DAN LAHIRNYA diwarnai oleh benih-benih konflik, perbedaan dan
TEORI-TEORI SOSIAL POSTMODERN anomali. Lenturnya ikatan sosial, runtuhnya
keyakinan tradisional dan agama, serta pesatnya
Jejak-jejak pemikiran yang bernaung di bawah perkembangan sosial, telah mendorong
payung postmodernisme – seni, sastra, politik, munculnya berbagai masalah yang sebelumnya
ekonomi, arsitektur, sosiologi, antropologi dan tidak diperhitungkan.
filsafat – sebenarnya dapat dilacak jauh ke alur Fase ketiga, adalah modernisme yang dimulai
sejarah modernitas. Secara historis, modernisme ketika terjadi proses modernisasi global dan
bisa ditelusuri semenjak era Renaisans abad ke-16 pembentukan kebudayaan dunia modern secara
M. Bahkan Arnold Toynbee, seorang filsuf massal dimana semakin banyak terjadi kekacauan
sejarawan, melalui bukunya A Study of History sosial dan politik, ketidakpastian dan ancaman
(1947), menyatakan bahwa awal Era Modern terhadap realitas dunia yang baru terbentuk. Inilah
dalam sejarah masyarakat Barat terjadi pada paruh puncak anomali realitas modern, yang ternyata tidak
kedua abad ke-15 M, dimana saat itu muncul mampu mewujudkan impian menciptakan kehidupan
fenomena teknologi penguasaan samudera secara yang lebih baik. Dan justru sebaliknya, menciptakan
ekstensif (Smart, 1990). Fenomena ini, menurut berbagai masalah besar yang menyengsarakan
Toynbee, merupakan titik awal kedewasaan dan umat manusia (Smart, 1990: 16).
kematangan manusia untuk mulai berani menguasai Sementara itu modernisme (modernism)
alam dan melepaskan diri dari dogma-dogma umumnya dilihat sebagai paradigma kebudayaan,
institusi agama. Dengan keberanian inilah manusia khususnya aliran seni dan sastra. Ia mengacu pada
telah memasuki era baru, era pasca Abad gaya dan gerakan seni yang mula-mula muncul
Pertengahan, yakni era modern. sebagai konsekuensi perlawanan terhadap seni
Di sisi lain, Marshall Berman, dalam kajiannya Abad Pertengahan. Tokoh-tokoh seni yang dianggap
tentang modernisme, menyatakan bahwa era mewakili gerakan modernisme misalnya adalah
modern telah dimulai sejak era Renaisans abad Kafka, Mann, dan Gide dalam dunia sastra;
ke-16 M dan berkembang dalam tiga fase sejarah Stravinsky, Schoenberg dan Berg dalam musik;
modernisme. Strindberg, Pirandelo dan Wedehind dalam
Fase pertama, adalah modernisme yang drama; serta Picasso, Matisse dan Cezanne dalam
berkembang semenjak awal abad ke-16 M hingga seni lukis (Featherstone, 1988). Dalam konteks
akhir abad ke-18 M, dimana orang baru mulai ini, modernisme dianggap bermula pada akhir
merasakan pengalaman kehidupan modern. abad ke-19 M (Lash, 1990). Modernisme merupakan
Modernisme pada tahap ini ditandai oleh mulai keyakinan yang cenderung mensubordinasikan
diyakininya rasio, keberanian menghadapi yang tradisional di bawah yang baru.
kehidupan secara nyata, memudarnya religiusitas Dalam wilayah seni, ia merupakan tindak
dalam berbagai segi kehidupan, serta lahirnya diferensiasi terhadap dunia nyata yang bersifat
pemberontakan kreatif dalam dunia seni. non-referensial dan anti-realis (Lash, 1990). Akibat
Fase kedua, adalah modernisme yang ditandai praksis tindakan ini bisa terbagi dua: konservatif
dengan Revolusi Perancis dan kekacauan sosial, dan radikal. Modernisme menjadi konservatif
politik dan ekonomi yang seringkali dihubungkan manakala proses subordinasi yang lama di bawah
dengan momentum Gelombang Revolusi Besar yang baru justru menyelamatkan yang lama dari
1790. Inilah wajah modernisme yang mulai kehancuran. Sebaliknya, modernisme menjadi

46 Journal of Urban Sociology | Volume 2 / No. 1 / April 2019


Menimbang Teori-Teori Sosial Postmodern:
Sejarah, Pemikiran, Kritik dan Masa Depan Postmodernisme

radikal manakala proses subordinasi tadi mengambil Weber ini adalah adanya fenomena otonomisasi
bentuk pengingkaran bahkan penghapusan yang wilayah-wilayah nilai terutama wilayah nilai estetis.
tradisional. Modernisme konservatif seringkali Dengan merosotnya agama, lapangan estetika
terdapat dalam lapangan agama. Sementara seolah menjadi satu-satunya tempat pelarian
modernisme radikal banyak terdapat pada wilayah dalam dunia yang sarat beban mencapai rasionali-
kebudayaan, terutama seni. tas tujuan (Lash, 1990).
Rasionalitas modernisme memiliki dua karakter Menurut Weber, modernitas merupakan
mendasar. Pertama, sebagai rasionalitas tujuan konsekuensi proses modernisasi, dimana realitas
(Zweckrationalitat). Kedua, sebagai rasionalitas sosial berada di bawah bayang-bayang dan dominasi
nilai (Wertrationalitat). Merujuk Max Weber, asketisme, sekularisasi, klaim universalistik tentang
sosiolog Jerman yang mengkaji modernisme rasionalitas instrumental, diferensiasi bidang-
secara mendalam, karakter pertama rasionalitas bidang kehidupan, birokratisasi ekonomi, praktek-
modernisme mengacu pada pengertian perhitungan praktek politik dan militer, serta tumbuhnya
yang masuk akal untuk mencapai sasaran moneterisasi nilai-nilai.
berdasarkan pilihan-pilihan yang masuk akal dan Modernitas lahir bersamaan dengan
dengan sarana-sarana yang efisien serta mengacu menyebarnya imperialisme Barat abad ke-16 M;
pada perumusan nilai-nilai tertinggi yang dominasi kapitalisme Eropa Utara, khususnya di
mengarahkan tindakan dan orientasi-orientasi Inggris dan Belanda; pengakuan dan penerapan
yang terencana secara konsisten dari pencapaian metode ilmiah Francis Bacon dan Isac Newton;
nilai-nilai tersebut. institusionalisasi keyakinan dan praktek-praktek
Rasionalitas ini berwatak formal, karena hanya Calvinisme di Eropa Utara; pemisahan konsep
mementingkan cara-cara mencapai tujuan dan tidak keluarga dari kelompok kekerabatan yang umum;
mengindahkan nilai-nilai yang dihayati sebagai serta pembentukan konsep negara-bangsa
intisari kesadaran. Karakter kedua rasionalitas (nation-state) abad ke-19 M (Turner, 1990).
modernisme mengacu pada kesadaran akan nilai-nilai Modernitas juga menunjuk pada perubahan sosial
etis, estetis dan religius. Rasionalitas ini berwatak budaya secara massif, pemutusan hubungan
substantif, karena lebih mementingkan komitmen secara radikal terhadap tradisi dan kemapanan
rasional terhadap nilai-nilai yang dihayati secara sosial peradaban yang mandeg. Dengan kata lain,
pribadi. Namun, di antara kedua bentuk rasionalitas modernitas adalah sejarah penaklukan nilai-nilai
ini yang sangat dominan dalam realitas dunia lama Abad Pertengahan oleh nilai-nilai baru
modern adalah rasionalitas tujuan. Modernisme (Turner, 1990).
Dalam kajian pentingnya tentang modernisme Secara epistemologis, modernitas meliputi
tersebut, selanjutnya Weber menyatakan bahwa empat unsur pokok. Pertama, subjektivitas reflektif,
pada dasarnya modernitas adalah gagasan yang yakni pengakuan akan kekuatan-kekuatan rasional
menyangkut persoalan pemisahan bidang-bidang dalam memecahkan masalah-masalah kehidupan.
nilai dan tatanan kehidupan. Ia berpendapat bahwa Kedua, subjektivitas yang berkaitan dengan
wilayah-wilayah nilai ekonomi, etika, hukum dan kritik atau refleksi, yakni kemampuan untuk
estetika, yang sebelumnya terstruktur dengan satu menyingkirkan kendala-kendala kebebasan dari
prinsip kesatuan dalam wilayah religius Abad tradisi dan sejarah. Ketiga, kesadaran historis
Pertengahan, kemudian mulai dipisahkan oleh yang dimunculkan oleh subjek, bahwa waktu
rasionalisme Pencerahan. Landasan utama argumen berlangsung secara linear, unik, tak terulangi

Journal of Urban Sociology | Volume 2 / No. 1 / April 2019 47


Medhy Aginta Hidayat

dengan titik berat pada kekinian sebagai sumber yang lebih baik. Membaca modernisme dengan sikap
sejarah. Oleh sebab itu, modernisme memiliki ironi ini berarti menolak anggapan bahwa modernitas
kata-kata kunci: revolusi, evolusi, transformasi membawa nilai-nilai universal (Sahal, 1994).
serta progresi. Dengan kata lain, modernitas Pauline M. Rosenau, dalam kajiannya mengenai
mendukung rasio (di atas wahyu), kemajuan (di atas postmodernisme dan ilmu-ilmu sosial, mencatat
kemapanan) dan kebaruan (di atas kelampauan). setidaknya lima alasan penting terjadinya krisis
Keempat, universalisme yang mendasari modernisme (Rosenau, 1992). Pertama, modern-
ketiga unsur sebelumnya. Dengan universalisme isme dipandang gagal mewujudkan perbaikan-
dimaksudkan bahwa elemen-elemen modernitas perbaikan ke arah masa depan kehidupan yang
bersifat normatif untuk masyarakat yang akan lebih baik sebagaimana diharapkan oleh para
melangsungkan modernisasi. Dengan modernisasi, pendukungnya. Kedua, ilmu pengetahuan modern
kebenaran wahyu diuji di hadapan rasio, legitimasi tidak mampu melepaskan diri dari kesewenang-
kekuasaan digugat melalui kritik dan kesahihan wenangan dan penyalahgunaan otoritas keilmuan
tradisi dipertanyakan berdasarkan harapan akan demi kepentingan kekuasaan.
masa depan yang lebih baik. Ketiga, terdapat banyak kontradiksi antara
Dengan kata lain, semenjak suatu masyarakat teori dan fakta dalam perkembangan ilmu-ilmu
menyatakan diri melaksanakan proses modernisasi, modern. Keempat, ada semacam keyakinan bahwa
maka masyarakat tersebut harus siap meninggalkan ilmu pengetahuan modern mampu memecahkan
sikap-sikap naif, dogmatis dan anti-perubahan, segala persoalan yang dihadapi manusia. Namun
untuk kemudian meleburkan diri dalam suatu ternyata keyakinan ini keliru dengan munculnya
proyek sejarah umat manusia mencapai tujuan berbagai patologi sosial. Kelima, ilmu-ilmu
tertentu di masa depan. Modernisme yang rasional, modern kurang memperhatikan dimensi-dimensi
ketat, serius, sistematis dan tertib inilah wacana mistis dan metafisis manusia karena terlalu
dominan yang mengisi sejarah modernitas hingga menekankan atribut fisik individu.
sekarang. Semangat emansipasi, optimisme dan Krisis modernitas inilah yang selanjutnya
heroisme menghadapi situasi zaman seolah mendorong lahirnya gerakan dan pandangan post-
merupakan satu-satunya tanggapan terhadap modernisme di berbagai bidang kehidupan,
proyek sejarah modernisme. termasuk dalam wilayah teori-teori ilmu-ilmu
Padahal, sebagaimana diungkap Michel Foucault, sosial kontemporer dewasa ini.
pada waktu itu terdapat pula tanggapan menyimpang
terutama dari kalangan seniman yang bernada
ironi terhadap modernisme. Terdapat pula pelbagai POSTMODERNISME DAN KONDISI
nilai, keyakinan, realitas dan praktek-praktek sosial MASYARAKAT POSTMODERN
yang ternyata menyimpang dari rasionalitas era
modern. Suara-suara minoritas modernisme: Semenjak awal paruh kedua abad ke-20 M,
subkultur, hippies, punk, skin head, masyarakat tepatnya pada kisaran tahun 1960-an, post-
terasing, dunia ketiga, kaum gay, gerakan modernisme telah muncul sebagai diskursus
lingkungan hidup, kaum feminis, budaya tanding kebudayaan yang banyak menarik perhatian.
mulai menggugat pandangan modernisme yang Berbagai bidang kehidupan dan disiplin ilmu
dianggap gagal merampungkan proyek heroisme seperti: seni, arsitektur, sastra, sosiologi, sejarah,
Pencerahan untuk membangun sebuah masa depan antropologi, politik dan filsafat hampir secara

48 Journal of Urban Sociology | Volume 2 / No. 1 / April 2019


Menimbang Teori-Teori Sosial Postmodern:
Sejarah, Pemikiran, Kritik dan Masa Depan Postmodernisme

bersamaan memberikan tanggapan terhadap tema Jika modernitas dipahami sebagai kurun waktu
postmodernisme. sejarah yang berkembang semenjak era Renaisans,
Istilah postmodernisme, merujuk Ihab Hassan, maka postmodernitas adalah kurun waktu sejarah
dipergunakan pertama kali dalam dunia intelektual yang seringkali dikaitkan dengan perubahan reali-
oleh Federico de Onis, seorang kritikus seni, pada tas dunia seusai Perang Dunia II (Featherstone,
tahun 1930 dalam tulisannya Antologia de la 1988). Postmodernitas ditandai dengan lahirnya
Poesia Espanola a Hispanoamericana untuk totalitas struktur sosial baru, perkembangan
menunjuk kepada reaksi minor terhadap era teknologi dan informasi yang pesat, serta terben-
modernitas saat itu (Featherstone, 1988). Istilah tuknya masyarakat komputerisasi, dunia simulasi
ini kemudian sangat populer di tahun 1960-an dan hiperrealitas.
ketika seniman-seniman muda, penulis dan krikitus Merujuk Mike Featherstone, seorang sosiolog
seni seperti Hassan, Rauschenberg, Cage, dan kritikus kebudayaan, postmodernisme memiliki
Barthelme, Fielder dan Sontag menggunakannya tiga ruang pengertian yang berada dalam wilayah
sebagai nama gerakan penolakan terhadap seni kebudayaan. Pertama, sebagai perubahan bentuk
modernisme lanjut. teorisasi, presentasi dan diseminasi karya seni dan
Seni postmodern memiliki ciri-ciri yang intelektual yang tidak dapat dipisahkan dari
berbeda dengan seni modernisme lanjut. Beberapa perubahan mikro dalam wilayah kebudayaan.
ciri seni postmodern diantaranya adalah hilangnya Kedua, sebagai perubahan ruang budaya yang
batas antara seni dan kehidupan sehari-hari, lebih luas mencakup bentuk-bentuk produksi,
runtuhnya distingsi antara budaya tinggi dan konsumsi dan sirkulasi tanda dan simbol yang
budaya massa/populer, maraknya gaya eklektis dapat dikaitkan dengan perubahan yang lebih luas
dan campur aduk, munculnya kitsch, parodi, pula dalam relasi keseimbangan dan kekuasaan
pastiche, camp dan ironi, merosotnya kedudukan dalam masyarakat. Ketiga, sebagai perubahan
pencipta seni, serta adanya asumsi seni sebagai praktek dan pengalaman keseharian berbagai
pengulangan, perpetual art (Featherstone, 1988). kelompok yang menggunakan rezim penandaan
Penggunaan istilah postmodernisme dan (regime of signification) dalam berbagai cara dan
berbagai turunannya selanjutnya perlahan-lahan gaya, serta mengembangkan sarana-sarana baru
mulai menyentuh bidang-bidang yang lain. bagi orientasi dan pembentukan identitas
Dalam bidang arsitektur, istilah postmodernisme (Featherstone, 1988).
mengacu kepada perlawanan bentuk-bentuk Sementara itu, Daniel Bell, seorang sosiolog,
arsitektur modern. Arsitektur modern dikenali bahkan melihat postmodernisme sebagai puncak
dari ciri-cirinya yang menonjolkan keteraturan, tendensi perlawanan terhadap modernisme, dengan
rasionalitas, objektif, praktis, ruang isotropis dan hasrat, insting dan kegairahan untuk membawa
estetika mesin, dimana prinsip bentuk mengikuti logika modernisme sampai ke titik terjauh yang
fungsi menjadi dewa. Arsitektur postmodernisme, mungkin bisa dicapai (Featherstone, 1988). Agak
sebaliknya, menawarkan konsep bentuk asimetris, berbeda dengan Bell, Jean Baudrillard, salah
ambigu, naratif, simbolik, terpiuh, penuh kejutan seorang pembicara terdepan postmodernisme,
dan variasi, ekuivokal, penuh ornamen, metafor memandang postmodernisme lebih sebagai strategi
serta akrab dengan alam (Siswanto, 1994). pembacaan realitas dengan objek sentral prinsip
Doktrin bentuk mengikuti fungsi dibalik menjadi reproduksi tanda-tanda, kapitalisme multinasional
fungsi mengikuti bentuk. yang membawa akibat perluasan luar biasa dalam

Journal of Urban Sociology | Volume 2 / No. 1 / April 2019 49


Medhy Aginta Hidayat

dunia sosial dan meledaknya budaya massa. Keenam, semakin terbukanya peluang bagi
Postmodernisme dengan demikian adalah metode pelbagai kelas sosial atau kelompok minoritas
analisa kritis yang mencoba membongkar mitos untuk mengemukakan pendapat secara lebih bebas
dan anomali paradigma modernisme, membuka dan terbuka. Dengan kata lain, era postmodernisme
ironi, intertekstualitas dan paradoks, mencoba telah turut mendorong proses demokratisasi.
menemukan suatu teori masyarakat postmodern Ketujuh, munculnya kecenderungan bagi
atau postmodernitas, dan menggambarkannya tumbuhnya ekletisisme dan pencampuradukan
dalam realitas sosial yang ada dalam masyarakat berbagai diskursus, nilai, keyakinan dan potret
kontemporer Barat dewasa ini (Featherstone, serpihan realitas, sehingga sekarang sulit untuk
1988). menempatkan suatu objek budaya secara ketat
Merujuk Akbar S. Ahmed, dalam bukunya pada kelompok budaya tertentu secara eksklusif.
Postmodernism and Islam (1992), terdapat delapan Kedelapan, bahasa yang digunakan dalam
ciri karakter sosiologis postmodernisme. Pertama, diskursus postmodernisme seringkali mengesankan
timbulnya pemberontakan secara kritis terhadap tidak lagi memiliki kejelasan makna dan konsistensi,
proyek modernitas, memudarnya kepercayaan sehingga bersifat paradoks (Ahmed, 1992).
pada agama yang bersifat transenden dan semakin Pauline M. Rosenau, dalam bukunya
diterimanya pandangan pluralisme-relativisme Postmodernism and Social Sciences (1992),
kebenaran. Kedua, meledaknya industri media selanjutnya membedakan postmodernisme menjadi
massa, sehingga ia seolah merupakan perpanjangan dua bentuk. Pertama, postmodernisme sebagai
dari system indera, organ dan syaraf manusia. paradigma pemikiran. Sebagai paradigma pemikiran,
Kondisi ini pada gilirannya menjadikan dunia dan postmodernisme meliputi tiga aspek ontologi,
ruang realitas kehidupan terasa menyempit. Lebih epistemologi dan aksiologi. Ketiga aspek dasar ini
dari itu, kekuatan media massa telah menjelma menjadi kerangka berpikir dan bertindak penganut
menjadi Agama dan Tuhan baru yang menentukan postmodernisme bentuk pertama (misalnya Lyotard,
kebenaran dan kesalahan perilaku manusia. Derrida, Foucault). Kedua, postmodernisme
Ketiga, munculnya radikalisme etnis dan sebagai metode analisis kebudayaan. Dalam konteks
keagamaan. Fenomena ini muncul sebagai reaksi ini, prinsip dan pemikiran postmodernisme
manakala orang semakin meragukan kebenaran digunakan sebagai lensa membaca realitas sosial
ilmu, teknologi dan filsafat modern yang dinilai budaya masyarakat kontemporer (misalnya Rortry
gagal memenuhi janji emansipatoris untuk dan Baudrillard).
membebaskan manusia dan menciptakan kehidupan Sementara itu, sejumlah kalangan memandang
y ang l e b i h b a ik. K eemp at, muncu lnya postmodernisme sebagai bagian dari proyek
kecenderungan baru untuk menemukan identitas modernisme yang belum usai (misalnya Juergen
dan apresiasi serta keterikatan romantisme dengan Habermas dan Mahzab Frankfurt generasi kedua),
masa lampau. Kelima, semakin menguatnya namun sejumlah kalangan yang lain memandang
wilayah perkotaan (urban area) sebagai pusat postmodernisme sebagai penolakan radikal
kebudayaan dan sebaliknya, wilayah pedesaan terhadap nilai-nilai dan asumsi-asumsi modernisme
(rural area) sebagai daerah pinggiran. Pola ini (misalnya Lyotard, Derrida, Foucault).
juga berlaku bagi menguatnya dominasi negara Postmodernisme juga sering dirujukkan pada
maju (Negara Dunia Pertama) atas negara berbagai fenomena realitas masyarakat kontemporer
berkembang (Negara Dunia Ketiga). dewasa ini sebagai masyarakat post-industri

50 Journal of Urban Sociology | Volume 2 / No. 1 / April 2019


Menimbang Teori-Teori Sosial Postmodern:
Sejarah, Pemikiran, Kritik dan Masa Depan Postmodernisme

(post-industrial society), masyarakat komputer Quebec yang ditandai dengan penolakan terhadap
(computerized society), masyarakat konsumer apa yang ia sebut sebagai narasi besar (Grand
(consumer society), masyarakat media (media Narratives). Dalam bukunya inilah untuk yang
society), masyarakat tontonan (spectacle society) pertama kali istilah “postmodernisme” digunakan
atau masyarakat tanda (semiurgy society). dalam diskursus filsafat dan ilmu sosial.
Lyotard meninggal pada tahun 1998 di Paris.
Ketika meninggal, ia adalah Professor Emeritus di
TOKOH-TOKOH TEORI SOSIAL University of Paris VIII, serta Professor di Emory
POSTMODERN University, Atlanta, Amerika Serikat.
Jean Francois Lyotard adalah pemikir filsafat
1. Jean Francois Lyotard: Narasi Besar dan dan sosial Perancis yang mulai meletakkan dasar
Masyarakat Komputerisasi argumentasi filosofis dalam diskursus postmodern-
Jean François Lyotard lahir di Versailles, isme. Melalui bukunya yang telah menjadi klasik,
Perancis pada tahun 1924. Karir akademiknya The Condition of Postmodern: A Report on
diawali sebagai guru sekolah menengah di Knowledge (1984), Lyotard mencatat beberapa
Constantine, Algeria pada tahun 1950. Tahun ciri utama kebudayaan postmodern. Menurutnya,
1959 ia menerima tawaran untuk mengajar di kebudayaan postmodern ditandai oleh beberapa
University of Paris, Sorbonne. Selain mengajar di prinsip yakni: lahirnya masyarakat komputerisasi,
Sorbonne, Lyotard juga aktif sebagai anggota runtuhnya narasi-narasi besar modernisme, lahirnya
kelompok kiri militan Perancis, Socialisme ou prinsip delegitimasi, disensus, serta paralogi.
barbarie yang sangat terkenal pada saat itu. Tahun Masyarakat komputerisasi adalah sebutan
1966 Lyotard meninggalkan Sorbonne untuk yang diberikan Lyotard untuk menunjuk gejala
mengajar di University of Nanterre. post-industrial masyarakat Barat menuju
Tahun 1970, Lyotard meninggalkan Nanterre the information technology era. Realitas sosial
untuk mengajar di University of Paris VIII- budaya masyarakat dewasa ini seperti yang
Vencennes. Tahun 1971, ia menyelesaikan studi ditelitinya secara seksama di Quebec Kanada
doktoralnya dan mempublikasikan buku Discourse, adalah masyarakat yang hidup dengan ditopang
Figure, sebuah karya filsafat pertamanya. Dua tahun oleh sarana teknologi informasi, terutama komputer.
kemudian ia menerbitkan buku Dérive à partir de Dengan komputerisasi, prinsip-prinsip produksi,
Marx et Freud (1973) dan Libidinal Economy konsumsi dan transformasi mengalami revolusi
(1974). Tahun 1979, Lyotard mempublikasikan radikal. Penggunaan tenaga manusia yang semakin
Just Gaming dan karya monumentalnya yang kini terbatas dalam sektor ekonomi, pelipatan ruang
telah menjadi klasik The Postmodern Condition: dalam dunia telekomunikasi, percepatan pengolahan
A Report on Knowledge. Karya Lyotard ini data dan informasi yang mampu mengubah bahkan
awalnya adalah sebuah laporan hasil penelitian memanipulasi realitas, penyebaran pengetahuan
mengenai perubahan masyarakat yang dipesan dan kekuasaan secara massif, adalah beberapa
oleh Conseil des universités du Québec, Kanada. konsekuensi perkembangan teknologi (Sarup, 1989).
Dalam penelitian ini Lyotard meneliti kondisi Dalam masyarakat komputerisasi seperti ini,
pengetahuan, ilmu dan teknologi dalam nilai-nilai serta asumsi dasar modernisme: rasio,
masyarakat kapitalisme lanjut. Ia menyimpulkan hukum sejarah linear, subjek, ego, narasi besar,
bahwa telah terjadi perubahan realitas masyarakat otonomi, identitas tidak lagi mampu menggambarkan

Journal of Urban Sociology | Volume 2 / No. 1 / April 2019 51


Medhy Aginta Hidayat

realitas. Bahkan, realitas telah berubah sesuai (rue d'Ulm), sekolah prestisius yang dianggap
dengan perubahan karakter masyarakat post- sebagai pintu masuk karir akademik terbaik di
modernisme. Realitas masyarakat seperti inilah bidang humaniora di Perancis. Foucault sangat
yang menjadi wadah, arena perjuangan, nilai-nilai dikenal karena karya-karya kritisnya mengenai
baru postmodernisme. institusi sosial peripheral (pinggiran), penjara,
Menggarisbawahi sifat transformatif masyarakat rumah sakit jiwa, kegilaan, ilmu ilmu kemanusiaan,
komputerisasi yang lebih terbuka, majemuk, plural dan sejarah seksualitas. Pemikiran Foucault
dan demokratis, Lyotard selanjutnya menyatakan tentang kekuasaan, hubungan kuasa, pengetahuan
bahwa kebenaran yang dibawa oleh narasi-narasi dan diskursus serta arkeologi pengetahuan banyak
besar (Grand Narratives) modernisme sebagai diperbincangkan dalam kajian post-strukturalisme.
metanarasi kini telah kehilangan legitimasinya. Beberapa karya penting Michel Foucault yang
Hal ini karena dalam masyarakat kontemporer, hingga saat ini masih menjadi bahan diskusi di
sumber pengetahuan dan kebenaran pengetahuan kalangan pemikir ilmu-ilmu sosial diantaranya
tidak lagi tunggal. Realitas kontemporer tidak lagi adalah Madness and Insanity: History of Madness
homolog (homo: satu, dan logi: tertib nalar), in the Classical Age (1961), The Birth of the
melainkan paralog (para: beragam, dan logi: Clinic: An Archaeology of Medical Perception
tertib nalar) (Awuy, 1995). Pengetahuan dan (1963), The Order of Things: An Archaeology of
kebenaran kini menyebar dan plural. the Human Sciences (1966), The Archaeology of
Konsekuensinya, prinsip legitimasi modernisme Knowledge (1969), Discipline and Punish: The
harus dibongkar dengan prinsip delegitimasi. Birth of the Prison (1975) dan The History of
Dengan delegitimasi, berarti diakui adanya berba- Sexuality: An Introduction (1976). Dalam kajian
gai unsur realitas yang memiliki logikanya postmodernisme, nama Foucault disejajarkan
sendiri. Dengan delegitimasi, menurut Lyotard, dengan pemikir-pemikir postmodern seperti J.F.
prinsip lain yakni disensus menjadi lebih bisa Lyotard, J. Baudrillard, J. Derrida dan F. Jameson.
diterima ketimbang prinsip konsensus seperti Foucault memulai karir akademik pada tahun
ditawarkan Juergen Habermas. Disensus adalah 1951 dengan mengajar di École Normale.
prinsip yang mengakui perbedaan dan keunikan Dari tahun 1953-1954 ia mengajar psikologi di
setiap unsur dalam realitas, yang memiliki logika Université Lille Nord de France. Tahun 1954
dan hak hidupnya sendiri. Foucault menjadi duta budaya Perancis dan
mengajar di University of Uppsala, Swedia.
2. Michel Foucault: Kuasa-Pengetahuan Era Tahun 1958 Foucault meninggalkan Uppsala dan
Postmodern mengajar di Warsaw University serta University
Michel Foucault adalah filsuf, sejarawan dan of Hamburg, Jerman. Tahun 1960 Foucault
sosiolog kontemporer Perancis. Ia dilahirkan di kembali ke Perancis dan mengajar Filsafat di
Poitiers, Perancis pada tanggal 15 Oktober 1926 University of Clermont-Ferrand. Terakhir Foucault
dengan nama Paul-Michel Foucault, dari sebuah mengajar Sejarah Sistem Pemikiran dan menjadi
keluarga kaya. Ayahnya, Paul Foucault, adalah Rektor Collège de France.
seorang dokter bedah terkenal di Perancis pada Foucault mencatat beberapa karakter khas
saat itu. Pendidikan dasarnya diselesaikan di sekolah kebudayaan postmodern. Berangkat dari Kant,
Katolik, Jesuit Collège Saint-Stanislas dan Foucault bersepakat bahwa Era Pencerahan
dilanjutkan ke École Normale Supérieure adalah saat dimana rasio mendapatkan tempat

52 Journal of Urban Sociology | Volume 2 / No. 1 / April 2019


Menimbang Teori-Teori Sosial Postmodern:
Sejarah, Pemikiran, Kritik dan Masa Depan Postmodernisme

istimewa dalam sejarah perkembangan kebudayaan. masa kini. Ketika teknologi kekuasaan masa lalu
Namun ia menolak anggapan Kant bahwa rasio diuraikan secara rinci, maka asumsi-asumsi masa
berlaku universal. Baginya rasio hanyalah salah kini yang memandang masa lalu sebagai “irasional”
satu cara untuk menanggapi situasi zaman saat itu. akan runtuh. Dengan menawarkan konsep
Menurutnya terdapat tanggapan lain terhadap genealogi sejarah, Foucault juga sekaligus menolak
Pencerahan seperti diwakili Baudelaire yaitu ironi. model sejarah teleologis Hegelian: yakni sejarah
Ironi adalah keberanian, yang disertai kegetiran, yang bergulir mengikuti alur linear maju yang
untuk terlibat secara aktif dengan situasi kini dan berakhir pada satu tujuan tertentu. Lebih lanjut,
disini, historis dan lokal (locally determined), menurut Foucault, genealogi berfokus pada
tanpa harus mencantolkan diri pada status-status pengetahuan lokal yang bersifat diskontinu,
khusus dari kebenaran kebenaran absolut, di luar remeh-temeh dan yang kerapkali dianggap tidak
diri manusia, baik atas nama Tuhan, logos, atau sah dihadapan klaim teori-teori besar.
yang lainnya. Dalam bukunya yang lain Madness and
Ironi juga berarti menjalani kehidupan tanpa Insanity: History of Madness in the Classical Age
dibebani oleh prinsip baku, yang sudah terpatok (1961), Foucault meneliti sejarah kegilaan dan
sebelumnya (Sahal, 1994). Dengan ironi, Foucault peradaban masyarakat Barat. Menurut Foucault,
menerima keyakinan bahwa sejarah modernitas kegilaan sebenarnya memiliki sumbangan tersendiri
bukanlah sejarah tunggal, dengan narasi besar yang terhadap peradaban Barat. Berdasarkan penelitian
monolog: rasionalitas. Lebih jauh ia menyingkapkan yang dilakukannya, menurut Foucault genealogi
bahwa narasi-narasi besar modernisme hanyalah kegilaan sejak abad ke-17 M memperlihatkan
mistifikasi yang bersifat ideologis dan semu. telah terjadinya praktik pemenjaraan moral yang
Ia misalnya, menolak pandangan para filsuf dilakukan melalui mekanisme disiplin dan
Pencerahan yang mengatakan bahwa manusia adalah penghukuman orang-orang gila. Penghukuman
subjek otonom, mandiri dan mampu menentukan orang-orang gila, sejatinya bukan sekedar
dirinya sendiri. Sebaliknya menurut Foucault, pemenjaraan fisik semata, namun lebih dari itu
manusia modern sebagai subjek ataupun objek adalah sebuah praktik pemenjaraan moral.
sebenarnya tidak lebih dari individu yang lahir Dalam sejarah peradaban Barat abad pertengahan,
dan diciptakan oleh multiplisitas kekuasaan melalui pada awalnya orang gila (yang dianggap sebagai
disiplin, normalisasi dan regulasi, pengakuan dan masalah sosial) dibiarkan berkeliaran di jalan-jalan.
penguasaan diri (Sahal, 1994). Teknik penanganan orang gila dalam rentang
Dalam bukunya The Order of Things: An sejarah berikutnya kemudian berubah dengan cara
Archaeology of the Human Sciences (1966), mengasingkan orang gila ke dalam “kapal-kapal
Foucault membahas konsepsi sejarah dan orang gila.” Dalam tradisi budaya masyarakat
memperkenalkan istilah genealogi sejarah, sebuah Eropa, terdapat ide bahwa "air laut, pelaut dan
istilah yang dipengaruhi oleh gagasan genealogi orang gila" adalah sebuah perpaduan yang sempurna.
Nietzsche. Menurut Foucault, genealogi sejarah Karena itulah muncul praktik pengasingan "kapal
adalah konsepsi sejarah yang secara sadar orang gila." Ide "kapal orang gila" menjadi sangat
mendelegitimasi masa kini dan memisahkannya populer pada abad ke-16 M sebagai tempat terbaik
dari masa lalu. Tujuannya adalah untuk bagi orang-orang gila untuk hidup diluar lingkungan
menghapuskan legitimasi masa kini sehingga "normal" masyarakat Eropa. Karya seni dan sastra
dapat menemukan perbedaan khas masa lalu dan pada abad-abad inipun kerap diwarnai dengan

Journal of Urban Sociology | Volume 2 / No. 1 / April 2019 53


Medhy Aginta Hidayat

tema-tema kapal orang gila. dimana ditanamkan sistem pengawasan yang


Abad ke-17 M selanjutnya ditandai dengan diinternalisasikan hingga setiap orang menjadi
penggantian “kapal orang gila” dengan “rumah pengawas bagi dirinya sendiri (mirip konsep
pengurungan (correction house)”. Orang gila Panopticon dari Jeremy Bentham).
dikurung di sebuah gedung yang dibuat khusus Dalam bukunya The History of Sexuality: An
oleh pemerintah untuk mengurung mereka. Introduction (1976) Foucault mencoba melacak
Meskipun dianggap lebih manusiawi, namun dalam sejarah perkembangan seksualitas dan kekuasaan.
kenyataannya keberadaan rumah pengurungan Menurut Foucault, sejarah seksualitas pada dasarnya
banyak dikritik karena tidak mampu melenyapkan adalah sejarah pembentukan wacana seksualitas
keberadaan orang gila di Eropa. Pada abad ke-19 M, melalui kekuasaan (pikiran). Pada abad ke-18 M,
rumah pengurungan serempak menghilang karena seksualitas di dunia Barat awalnya hanya dipahami
dianggap tidak efektif melenyapkan keberadaan dalam pengertian badaniah (body). Praktik
orang gila di Eropa. pengakuan Kristen selanjutnya secara perlahan
Selanjutnya lahirlah apa yang disebut sebagai mengubah pemahaman seksualitas, tidak hanya
“rumah sakit jiwa”, yang menurut Foucault hanya sebagai wacana tubuh, melainkan juga pikiran.
mengubah pengurungan fisik menjadi pengurungan Foucault menolak tesis “penindasan seksualitas”
jiwa. Dengan mengambil kasus rumah sakit jiwa Williem Reich yang menyatakan bahwa seiring
Samuel Tuke di Inggris, Foucault menyatakan perkembangan kapitalisme, seksualitas manusia
bahwa rumah sakit jiwa adalah instrumen yang alamiah semakin dibatasi dan ditindas.
penyeragaman moral dan pengendalian diri melalui Asketisme, disiplin kerja dan figur ayah borjuis
proses internalisasi, ketertiban, kepatuhan, disiplin kapitalis yang otoriter dianggap berperan dalam
dan hukuman. Dengan kata lain, kegilaan telah proses penindasan seksualitas Barat. Namun
menjadi model instrumen hukum kesadaran/ menurut Foucault, sebenarnya pada era yang sama
pembentukan subjektivitas modern dimana wacana seksualitas justru mendapatkan tempat
kekerasan eksternal digantikan oleh internalisasi positif, yakni di dunia medis, psikiatri dan
diri dan kontrol sosial serta psikologis. Itulah pendidikan. Melalui domain-domain inilah
sumbangan terbesar fenomena kegilaan terhadap wacana seksualitas berubah tidak hanya melulu
sejarah peradaban Barat. soal tubuh, namun soal pikiran dan norma-norma
Melalui bukunya Discipline and Punish: yang direproduksi dan dilegitimasi oleh ilmu-ilmu
The Birth of the Prison (1975) Foucault meneliti dan praktik kuasa era modern. Dengan kata lain,
struktur kekuasaan disipliner yang berkembang seksualitas adalah produk kuasa dan sistem
dalam sejarah masyarakat Barat. Pada abad ke-18 M, wacana peradaban Barat.
menurut Foucault telah terjadi perubahan mode Akhirnya, dalam bukunya The Archaeology of
pelaksanaan kekuasaan dari mode kekuasaan Knowledge (1969) Foucault menguraikan hubungan
monarkis ke kekuasaan disipliner. Dalam masyarakat antara kekuasaan dan pengetahuan. Foucault
feodal, kekuasaan pengadilan tidak banyak menahan menolak pemahaman tentang kekuasaan yang
pelaku kejahatan, namun hukuman diberikan bersifat negatif, membatasi, menghalangi, melarang.
secara spektakuler sehingga orang lain takut untuk Kekuasaan juga bukan hak milik atau kemampuan.
melakukan kejahatan yang sama. Inilah mode Pola hubungan kekuasaan tidak berasal dari negara
kekuasaan monarkis. Sementara itu, muncul atau penguasa (terpusat). Sebaliknya, kekuasaan
mode kekuasaan baru, yaitu kekuasaan disipliner bersifat positif, menyebar luas kemana-mana.

54 Journal of Urban Sociology | Volume 2 / No. 1 / April 2019


Menimbang Teori-Teori Sosial Postmodern:
Sejarah, Pemikiran, Kritik dan Masa Depan Postmodernisme

Kekuasaan menciptakan realitas dan wacana pemikir sosial berkebangsaan Perancis yang lahir
pengetahuan serta kebenaran yang baru. Kekuasaan pada tanggal 15 Juli 1930, di El Biar, Algeria.
melahirkan pengetahuan baru. Sebaliknya, Dididik dalam tradisi pendidikan Perancis, tahun
pengetahuan adalah kekuasaan untuk mendefinisikan 1949 ia belajar di École Normale Supérieure
yang lain. Pengetahuan menciptakan pengaruh- (ENS), sebuah sekolah elit di Paris dan kemudian
pengaruh kekuasaan. Tanpa pengetahuan, tidak ada mengajar filsafat di Universitas Sorbonne (1960
kuasa. Inilah: kuasa-pengetahuan (pouvoir-savoir). hingga 1964), École Normale Supérieure (1964
Kekuasaan dalam pandangan Foucault ini berbeda hingga 1984), dan di École des Hautes Études en
sama sekali dengan yang dipahami oleh kaum Sciences Sociales (1984 hingga 1999). Sejak
Weberian dan Marxian. Bagi kaum Weberian, tahun 1960-an ia mulai mempublikasikan buku
kekuasaan adalah kemampuan subjektif untuk dan karya ilmiah di jurnal-jurnal ternama. Ia juga
mempengaruhi orang lain. Sementara bagi kaum banyak memberikan kuliah di universitas terkenal
Marxian, kekuasaan adalah artefak material yang di Amerika Serikat, termasuk di Yale University
bisa dikuasai dan digunakan untuk mendominasi dan University of California. Derrida meninggal
dan menekan kelas lain. Menurut Foucault, pada tanggal 8 Oktober 2004 di Paris Perancis.
kekuasaan bukanlah kekuatan, institusi atau Derrida mencoba menyingkap sifat paradoks
struktur yang bersifat menundukkan. Kekuasaan modernisme dengan karya-karyanya. Melalui
adalah label nominal bagi relasi strategis yang Derrida terbongkar karakter kekerasan dan teror
kompleks dalam masyarakat. Ia menyebar dan yang disebar oleh modernisme semenjak
hadir di mana-mana, dimiliki oleh siapa saja. dirayakannya prinsip logosentrisme. Dalam
Untuk itu, ketimbang berusaha mengimami gagasan logosentrisme, salah satu ciri yang menonjol
besar yang cenderung manipulatif, Foucault lebih adalah cara berpikir oposisi biner yang bersifat
memilih untuk menyibuki persoalan-persoalan hierarkis (esensi - eksistensi, substansi -
kecil dan lokal yang seringkali tak jamak dibicarakan. aksidensi, jiwa - badan, makna - bentuk,
Tema-tema seperti rumah sakit, penjara, barak-barak transenden - imanen, positif - negatif, lisan -
tentara, sekolah, pabrik, pasien, seks, orang gila tulisan, konsep - metafor) dengan anggapan
dan para kriminal menjadi titik perhatian utama bahwa yang pertama adalah pusat, sedang yang
selama karir kefilsafatannya. kedua adalah derivasi, pinggiran. Cara berpikir ini
Dengan upaya besar dan cerdasnya ini, Foucault mendorong sejarah filsafat Barat cenderung bersifat
telah memberikan dua sumbangan besar terhadap totaliter karena menganggap bahwa yang bukan
postmodernisme. Pertama, keberhasilannya pusat, yang pinggiran, yang lain, the others, harus
menyingkap mitos-mitos modernisme yang disubordinasikan ke dalamnya.
menampilkan dirinya sebagai kebenaran absolut, Derrida terutama dikenal sebagai pendukung
yang universal, namun sebenarnya palsu. Kedua, utama dekonstruksi, sebuah istilah yang merujuk
pemihakannya terhadap persoalan-persoalan yang pada strategi kritis yang menggugat konsep
selama ini ditindas oleh rasionalitas modern, pembedaan atau oposisi biner, yang melekat
tersisih, marjinal dan dikucilkan agar lebih didengar dalam sejarah pemikiran Barat. Oposisi biner
dan diperhatikan. senantiasa mengandaikan adanya hirarki dimana
istilah yang satu selalu lebih penting atau utama
3. Jacques Derrida: Dekonstruksi Modernitas ketimbang yang lain. Contoh oposisi biner alam
Jacques Derrida adalah seorang filsuf dan dan budaya, ucapan dan tulisan, pikiran dan

Journal of Urban Sociology | Volume 2 / No. 1 / April 2019 55


Medhy Aginta Hidayat

tubuh, kehadiran dan ketidakhadiran, di dalam ras kulit hitam, kelompok gay, hippies, punk, atau
dan di luar, makna literal dan metaforis, bentuk gerakan peduli lingkungan kini mulai diperhatikan.
dan makna, dan lain sebagainya. Untuk Dengan dekonstruksi, sejarah modernisme
“mendekonstruksi” oposisi biner, Derrida hendak ditampilkan tanpa kedok, apa adanya.
melakukan pelacakan ketegangan dan kontradiksi Oposisi biner antara ucapan dan tulisan
antara kedua istilah, terutama yang bersifat implisit. misalnya, diterima sebagai konstruksi bahwa ucapan
Analisis dekonstruksi menunjukkan bahwa oposisi lebih penting ketimbang tulisan. Kebenaran ini
biner tidak bersifat alamiah namun merupakan mengasumsikan bahwa melalui ucapan ide dan
produk atau “konstruksi” sosial dan budaya. maksud pembicara bisa secara langsung “hadir”,
Istilah “dekonstruksi” awalnya berasal dari sementara melalui tulisan ide dan maksud pem-
Martin Heidegger, yang menyuarakan dilakukannya bicara relatif berjarak atau malah “tidak hadir”
destruksi atau dekonstruksi sejarah ontologi Barat. dan karena cenderung disalahpahami. Dengan
Dalam penggunaannya kemudian, “dekonstruksi” dekonstruksi Derrida tidak sekedar ingin mengubah
menjadi sebuah metode penting yang banyak oposisi ucapan dan tulisan – bahwa tulisan lebih
digunakan oleh para filsuf dan pemikir sosial. penting ketimbang ucapan – namun lebih dari itu
Dekonstruksi, menurut Derrida adalah juga strategi ia ingin menyusun ulang atau “meruntuhkan”
untuk memeriksa sejauh mana struktur-struktur oposisi biner sehingga tidak ada yang lebih penting
yang terbentuk hendak dimapankan batas-batasnya diantara ucapan dan tulisan.
dan ditunggalkan pengertiannya, yakni melalui Pada tahun 1960-an karya-karya Derrida mulai
pembalikan hierarki oposisi biner secara terus- diterima di Perancis dan di luar Perancis sebagai
menerus (Sahal, 1994). Dengan dekonstruksi gerakan interdisipliner yang dikenal dengan nama
hendak dimunculkan kembali dimensi-dimensi strukturalisme. Strukturalisme menganalisis berbagai
metaforis dan figuratif dari bahasa yang menjadi fenomena kebudayaan seperti mitos, ritual agama,
pembentuk realitas. Implikasinya adalah mulai cerita sastra, fashion dan lain-lain, sebagai sebuah
melumernya batas-batas antara konsep dan metafor, sistem tanda yang hampir sama dengan bahasa
antara kebenaran dan fiksi, antara filsafat dan dengan aturan dan strukturnya yang khas.
puisi, dan antara keseriusan dan permainan. Beberapa karya Derrida juga dianggap sebagai kritik
Dengan dekonstruksi pula, cerita-cerita besar terhadap pemikiran tokoh-tokoh strukturalisme
modernitas dipertanyakan, dirongrong dan disingkap awal seperti Saussure, Claude Lévi-Strauss, dan
sifat paradoksnya. Lebih jauh dekonstruksi hendak Michel Foucault sehingga beberapa kalangan
memunculkan dimensi-dimensi yang tertindas di menyebutnya sebagai penyokong “poststruktural-
bawah totalitas modernisme. isme”. Lebih dari semua itu, terutama karena
Melalui dekonstruksi, Derrida mencoba keberhasilannya membongkar sifat paradoks
meletakkan kembali kedudukan struktur dalam cerita-cerita besar modernitas melalui metode
keadaan asalinya, yakni keadaan dimana relasi dekonstruksi, Derrida banyak digolongkan sebagai
antara pusat dan pinggiran belum lagi mengeras. salah satu pemikir utama teori sosial postmodern.
Dengannya diinginkan pluralitas dan heterogenitas
kehidupan yang membeku dan tertindas selama 4. Jean Baudrillard: Dunia Simulasi dan Hiper-
masa modernisme kembali terhampar. Dengan realitas Postmodern
dekonstruksi, wacana-wacana yang sebelumnya Jean Baudrillard dilahirkan di kota Riems,
tertindas: kelompok etnis, kaum feminis, dunia ketiga, Perancis Barat, pada 5 Januari 1929.

56 Journal of Urban Sociology | Volume 2 / No. 1 / April 2019


Menimbang Teori-Teori Sosial Postmodern:
Sejarah, Pemikiran, Kritik dan Masa Depan Postmodernisme

Bersama saudara-saudaranya yang lain Baudrillard segala upaya ditujukan pada penciptaan dan
hidup dalam tradisi keluarga petani urban yang peningkatan kapasitas konsumsi melalui pemassalan
sederhana. Ia adalah orang pertama dalam produk, diferensiasi produk dan manajemen
keluarganya yang bekerja sebagai ilmuwan secara pemasaran. Iklan, teknologi kemasan, pameran,
serius. Pada tahun 1966 Baudrillard menyelesaikan media massa dan shopping mall merupakan ujung
tesis sosiologinya di Universitas Nanterre di tombak strategi baru era konsumsi. Dalam
bawah bimbingan Henry Lefebvre, seorang anti- masyarakat konsumer, objek-objek konsumsi
strukturalis Perancis kondang saat itu. Setahun yang berupa komoditi tidak lagi sekedar memiliki
setelah lulus, ia kemudian masuk ke Universitas manfaat (nilai-guna) dan harga (nilai-tukar)
Nanterre, untuk mengajar disana. Setelah setahun seperti dijelaskan Marx. Namun lebih dari itu ia
mengajar di Universitas Nanterre, selanjutnya kini menandakan status, prestise dan kehormatan
Baudrillard bergabung dengan Roland Barthes (nilai-tanda dan nilai-simbol). Objek komoditi dibeli
mengajar di Ecole des Hautes Etudes. karena makna simbolik yang ada di dalamnya,
Melalui bukunya For a Critique of The Political dan bukan karena harga atau manfaatnya (Lechte,
Economy of The Sign (1981), Baudrillard 1994). Sebuah mobil Porsche atau BMW
menyatakan bahwa dalam masyarakat postnmodern, misalnya, dinilai bukan karena manfaatnya sebagai
nilai tanda (sign-value) dan nilai-simbol alat transportasi atau harganya yang mahal,
(symbolic-value) telah menggantikan nilai-guna melainkan karena ia menjadi simbol gaya hidup,
(use-value) dan nilai-tukar (exchange-value). prestise, kemewahan dan status sosial pemiliknya.
Dengan mengambil alih pemikiran Marx mengenai Melalui objek-objek atau komoditi-komoditi
nilai-guna dan nilai-tukar, pemikiran Barthes itulah seseorang dalam masyarakat konsumer
mengenai semiologi, pemikiran Marcel Mauss menemukan makna dan eksistensi dirinya.
mengenai gift atau pemberian, dan pemikiran Sejalan dengan pemikirannya tentang perubahan
Georges Bataille mengenai expenditure atau prinsip dari nilai-guna dan nilai-tukar ke nilai-tanda
belanjaan (Lechte, 1994) Baudrillard menolak dan nilai-simbol, Baudrillard kemudian mengubah
prinsip nilai-guna dan nilai-tukar Marx dan pula periodisasi sejarah masyarakat yang dibuat
menyatakan bahwa aktivitas konsumsi manusia Marx. Menurut Marx, terdapat tiga tahap struktur
pada dasarnya merupakan aktivitas non-utilitarian. masyarakat, yakni masyarakat feodal, masyarakat
Ia mengatakan bahwa dalam institusi semacam kapitalis dan masyarakat komunis. Baudrillard
Kula dan Potlach dalam masyarakat primitif, mengajukan periodisasi perubahan struktur
kebiasaan memberi sesuatu dan membelanjakan masyarakat, yakni dari masyarakat primitif,
sesuatu ternyata didasarkan pada prestise dan masyarakat hierarkis dan masyarakat massa
kebanggaan simbolik, bukan pada kegunaan. (Lechte, 1994). Menurut Baudrillard, masyarakat
Menurut Baudrillard, perkembangan kapitalisme primitif ditandai dengan tidak adanya elemen
lanjut semenjak tahun 1920-an menunjukkan tanda dalam interaksi seluruh aspek kehidupan
perubahan dramatis karakter produksi dan konsumsi masyarakatnya. Objek dipahami secara murni dan
dalam masyarakat konsumer. Bila dalam era alamiah berdasarkan kegunaannya.
kapitalisme awal, produksi menjadi faktor dominan Selanjutnya dalam masyarakat hierarkis, lahir
yang membentuk pasar kapitalisme kompetitif, elemen tanda yang beroperasi masih dalam lingkup
maka dalam era kapitalis lanjut, konsumsi adalah yang terbatas. Tanda dipahami sebagai makna
determinan pasar monopolis. Dalam era ini, yang ditanamkan oleh segolongan kelas kepada

Journal of Urban Sociology | Volume 2 / No. 1 / April 2019 57


Medhy Aginta Hidayat

kelas yang lain. Tanda juga mulai menggantikan oleh logika simulasi ini, dimana kode dan model-
kedudukan objek murni, yang kini memiliki model menentukan bagaimana seseorang harus
nilai-tukar. Akhirnya, pada tahapnya yang tertinggi, bertindak dan memahami lingkungannya.
terbentuklah masyarakat massa. Dalam masyarakat Ruang realitas kebudayaan dewasa ini, menurut
massa, tanda mendominasi seluruh aspek kehidupan. Baudrillard merupakan cerminan apa yang
Tidak ada lagi objek murni, kecuali objek tanda. disebutnya sebagai simulacra atau simulacrum.
Individu dalam masyarakat massa berperan sebagai Simulacra adalah ruang realitas yang disarati oleh
konsumen tanda tanpa memiliki status kelas tertentu. proses reduplikasi dan daur-ulang berbagai fragmen
Tahun 1983, melalui karya magnum opus-nya, kehidupan yang berbeda (dalam wujud komoditas
Simulations (1983), Baudrillard mengintrodusir citra, fakta, tanda, serta kode yang silang-
sebuah karakter khas kebudayaan masyarakat sengkarut), dalam satu dimensi ruang dan waktu
Barat dewasa ini. Dengan mengambil alih dan yang sama (Piliang, 1998). Simulacra tidak memiliki
mengembangkan gagasan para pendahulunya: acuan, ia adalah duplikasi dari duplikasi, sehingga
semiologi Saussure, fetishism commodity Marx, perbedaan antara duplikasi dan yang asli menjadi
teori differance Derrida, mythologies Barthes, kabur. Dalam ruang ini tidak dapat lagi dikenali
serta genealogy Foucault, Baudrillard menyatakan mana yang asli dan mana yang palsu, mana hasil
bahwa kebudayaan Barat dewasa ini adalah sebuah produksi dan mana hasil reproduksi, mana objek
representasi dunia simulasi. Jika era pra-modern dan mana subjek, atau mana penanda dan mana
ditandai dengan logika pertukaran simbolik petanda. Ruang simulacra ini memungkinkan
(symbolic exchange), era modern ditandai dengan seseorang menjelajahi berbagai fragmen realitas,
logika produksi, maka era postmodern ditandai baik nyata maupun semu; mereproduksi,
dengan logika simulasi. Dalam masyarakat simulasi, merekayasa dan mensimulasi segala sesuatu
segala sesuatu ditentukan oleh relasi tanda, citra sampai batasannya yang terjauh.
dan kode. Tanda adalah segala sesuatu yang Dunia simulacra, yang menjadi wacana dominan
mengandung makna, yang mengikuti teori semiologi kesadaran masyarakat Barat dewasa ini, papar
Saussurean memiliki dua unsur, yakni penanda Baudrillard, sebenarnya telah ada semenjak era
(bentuk) dan petanda (makna). Citra adalah segala Renaisans. Realitas simulacra memiliki tiga tingkatan
sesuatu yang nampak oleh indera, namun sebenarnya periode historis, semenjak era Renaisans hingga
tidak memiliki eksistensi substansial. Sementara sekarang, yakni simulacra Orde Pertama, simulacra
kode adalah cara pengkombinasian tanda yang Orde Kedua dan simulacra Orde Ketiga.
disepakati secara sosial, untuk memungkinkan Simulacra Orde Pertama, berlangsung
satu pesan dapat disampaikan dari seseorang semenjak era Renaisans-Feodal hingga permulaan
kepada orang yang lain (Piliang, 1998). Revolusi Industri. Dalam orde ini, realitas dunia
Dalam dunia simulasi, identitas seseorang dipahami berdasarkan prinsip hukum alam, dengan
misalnya, tidak lagi ditentukan oleh dan dari ciri ketertiban, keselarasan, hierarki alamiah serta
dalam dirinya sendiri. Identitas kini lebih ditentukan bersifat transenden. Alam menjadi pendukung utama
oleh konstruksi tanda, citra dan kode yang sekaligus determinan kebudayaan. Tanda-tanda
membentuk cermin bagaimana seorang individu yang diproduksi dalam orde ini adalah tanda-tanda
memahami diri mereka dan hubungannya dengan yang mengutamakan integrasi antara fakta dan
orang lain. Lebih lanjut, realitas-realitas ekonomi, citra secara serasi dan seimbang. Hal ini berkaitan
politik, sosial dan budaya, kesemuanya diatur erat dengan kehendak manusia zaman itu untuk

58 Journal of Urban Sociology | Volume 2 / No. 1 / April 2019


Menimbang Teori-Teori Sosial Postmodern:
Sejarah, Pemikiran, Kritik dan Masa Depan Postmodernisme

mempertahankan struktur dunia yang alamiah. karya monumentalnya Simulations (1983), dalam
Dengan demikian, prinsip dominan yang menjadi ciri edisi bahasa Inggris. Dalam karyanya tersebut,
simulacra Orde Pertama adalah prinsip representasi. Baudrillard mengembangkan gagasannya tentang
Bahasa, objek dan tanda adalah tiruan dari realitas masyarakat hiperrealitas. Adalah Marshall McLuhan
alamiah yang dibentuk secara linear dan tunggal. sebenarnya yang pertama-tama membuka
Sebagai tiruan, bahasa, objek dan tanda masih pembicaraan mengenai gagasan hiperrealitas
memiliki jarak dengan objek aslinya (Kellner, 1994). dalam kebudayaan masyarakat Barat dewasa ini.
Simulacra Orde Kedua, berlangsung bersamaan Melalui dua bukunya, The Gutenberg Galaxy:
dengan semakin gemuruhnya era industrialisasi yang The Making of Typographic Man (1962) dan
merupakan konsekuensi logis Revolusi Industri. Understanding Media: The Extensions of Man
Revolusi Industri, di satu sisi telah memberikan (1964), McLuhan meramalkan bahwa peralihan
sumbangan besar bagi perkembangan kebudayaan. teknologi dari era teknologi mekanik ke era
Namun disisi lain, Revolusi Industri juga telah teknologi elektronik akan membawa peralihan
menimbulkan ekses-ekses negatif bagi kebudayaan. pula pada fungsi teknologi sebagai perpanjangan
Logika produksi, yang menjadi prinsip simulacra badan manusia dalam ruang, menuju perpanjangan
Orde Kedua, telah mendorong perkembangan system syaraf (Kellner, 1994). Baudrillard menarik
teknologi mekanik sampai pada batasannya yang garis tajam pemikiran McLuhan sampai batasannya
terjauh. Baudrillard menyatakan bahwa dengan yang terjauh. Ia mengangkat pandangan-
teknologi reproduksi mekanik sebagai media dan pandangan McLuhan tentang perpanjangan badan
prinsip produksi objek-objek alamiah telah manusia dan global village ke dalam konteks
kehilangan aura dan sifat transendensinya. Objek perkembangan mutakhir dunia Barat, yang dewasa
kini bukan lagi tiruan yang berjarak dari objek ini telah menjelma menjadi desa besar yang
asli, melainkan sepenuhnya sama persis seperti disebut Baudrillard sebagai hiperreal village.
yang asli. Dengan kemajuan teknologi reproduksi Menurut Baudrillard, perkembangan ilmu dan
mekanik inilah, prinsip komoditi dan produksi massa teknologi dewasa ini dengan micro processor,
menjadi ciri dominan era simulacra Orde Kedua. memory bank, remote control, telecard, laser disc
Simulacra Orde Ketiga, lahir sebagai dan internet, tidak saja dapat memperpanjang
konsekuensi logis perkembangan ilmu dan badan atau pusat sistem syaraf manusia, namun
teknologi informasi, komunikasi global, media bahkan lebih fantastis lagi, mampu mereproduksi
massa, konsumerisme dan kapitalisme pada era realitas, masa lalu dan nostalgia; menciptakan
Pasca Perang Dunia II. Lebih dari masa-masa realitas baru dengan citra-citra buatan; menyulap
sebelumnya, pada orde ini relasi berbagai unsur dan fantasi, ilusi bahkan halusinasi menjadi kenyataan.
struktur budaya mengalami perubahan mendasar. Lebih jauh, realitas yang dihasilkan teknologi baru
Tanda, citra, kode dan subjek budaya tidak lagi ini telah mengalahkan realitas yang sesungguhnya
merujuk pada referensi dan realitas yang ada. dan bahkan menjadi model acuan yang baru bagi
Simulacra Orde Ketiga ini ditandai dengan masyarakat. Citra lebih meyakinkan ketimbang
hukum struktural. Tanda membentuk struktur dan fakta dan mimpi lebih dipercaya ketimbang
memberi makna realitas. Inilah era yang disebut kenyataan sehari-hari. Inilah dunia hiperrealitas:
Baudrillard sebagai era simulasi. realitas yang lebih nyata dari yang nyata, semu
Tahun 1989, terbit karya Baudrillard, Simulacra dan meledak-ledak. Dalam dunia hiperrealitas,
and Simulacrum (1989), yang merupakan kelanjutan objek-objek asli yang merupakan hasil produksi

Journal of Urban Sociology | Volume 2 / No. 1 / April 2019 59


Medhy Aginta Hidayat

bergumul menjadi satu dengan objek-objek hiperreal Eropa yang pindah ke Amerika setelah pecah
yang merupakan hasil reproduksi. Realitas- Perang Dunia II seperti Theodor Adorno, karya-karya
realitas hiper, seperti media massa, Disneyland, sastra beraliran Marxian masih jarang dikenal di
shopping mall dan televisi nampak lebih real daripada dunia akademik Amerika hingga akhir tahun
kenyataan yang sebenarnya, dimana model, 1950-an dan awal tahun 1960-an.
citra-citra dan kode hiperrealitas bermetamoforsa Pergeseran minat Jameson menuju paham
sebagai pengontrol pikiran dan tindak-tanduk Marxisme juga didorong oleh hubungan politik
manusia (Kellner, 1994). Tokoh Rambo, boneka pribadinya yang semakin meningkat dengan
Barbie, Jurrasic Park, atau Star Trek Voyager tokoh-tokoh gerakan Kiri Baru. Tema-tema
yang merupakan citra-citra buatan adalah realitas penelitiannya kemudian terfokus pada tokoh-tokoh
tanpa referensi, namun nampak lebih dekat dan seperti Kenneth Burke, Gyorgy Lukács, Ernst
nyata dibanding keberadaan tetangga kita sendiri. Bloch, Theodor Adorno, Walter Benjamin,
Sementara melalui karyanya The Ecstasy of Herbert Marcuse, Louis Althusser, dan Sartre,
Communication (1987), Baudrillard menyatakan yang melihat kritik kebudayaan sebagai ciri yang
bahwa dengan transparansi makna dan informasi, melekat kuat dalam teori Marxian. Dalam banyak
masyarakat Barat dewasa ini telah melampaui hal, Jameson bersama dengan pemikir kritik
ambang batas menuju keadaan permanent ecstasy: kebudayaan Marxian lainnya yaitu Terry Eagleton,
ekstasi sosial (massa), ekstasi tubuh (kegemukan), berusaha menjelaskan peran penting pandangan
ekstasi seks (kecabulan), ekstasi kekerasan (teror), Marxisme terhadap trend filsafat dan sastra
dan ekstasi informasi (simulasi). kontemporer. Setelah pindah ke University of
California, San Diego pada tahun 1967, Jameson
5. Fredrich Jameson: Kapitalisme Lanjut dan menerbitkan buku berjudul Marxism and Form:
Postmodernisme Twentieth-Century Dialectical Theories of Literature
Fredrich Jameson adalah pemikir sosial Marxian (1971) dan The Prison-House of Language:
berkebangsaan Amerika Serikat yang lahir di A Critical Account of Structuralism and Russian
Cleveland, Ohio, Amerika Serikat. Setelah lulus Formalism (1972).
dari Haverford College pada tahun 1954, ia pergi Karya penting Fredrich Jameson mengenai
ke Eropa dan belajar di Aix-en-Provence, Munich pemikiran postmodernisme adalah bukunya yang
serta Berlin, dimana ia mempelajari perkembangan berjudul Postmodernisme or the Cultural Logic of
terbaru dalam kajian filsafat, terutama strukturalisme. the Late Capitalism. Dalam buku ini Jameson
Ia kembali ke Amerika Serikat untuk menyelesaikan menyatakan bahwa kapitalisme saat ini telah menjadi
studi doktoral di Yale University. Setelah cara pandang dominan masyarakat kontemporer
mendapatkan gelar doktor, Jameson sempat dewasa ini. Jameson menolak pandangan seperti ini.
mengajar di Harvard University selama tahun Dengan buku ini Jameson bermaksud mengkritik
1960 hingga 1965. postmodernisme dan menolak pendapat sebagian
Awalnya, minat besar Jameson terhadap besar pemikir postmodernisme, terutama Jean
karya-karya Sartre membuatnya tertarik untuk Francois Lyotard dan Jean Baudrillard.
mempelajari teori sastra Marxian. Meskipun Karl Buku ini sendiri awalnya merupakan artikel
Marx telah mendapat tempat semakin penting yang diterbitkan dalam jurnal New Left Review
dalam kajian ilmu sosial di Amerika Serikat, pada tahun 1984, ketika Jameson menjabat sebagai
sebagian juga karena pengaruh para pemikir profesor Sastra dan Sejarah Kesadaran University

60 Journal of Urban Sociology | Volume 2 / No. 1 / April 2019


Menimbang Teori-Teori Sosial Postmodern:
Sejarah, Pemikiran, Kritik dan Masa Depan Postmodernisme

of California, Santa Cruz, Amerika Serikat. atau kelesuan emosi; (3) postmodernisme ditandai
Artikel kontroversial ini kemudian dikembangkan oleh hilangnya makna sejarah; (4) terdapat sejenis
menjadi buku pada tahun 1991. Dalam buku ini teknologi baru seperti televisi dan komputer yang
Jameson terutama melihat pandangan "skeptis melekat amat erat dengan masyarakat postmodern.
postmodern terhadap metanarasi" sebagai “sebentuk Diantara pemikir-pemikir postmodern yang lain,
pengalaman" yang muncul di kalangan buruh Fredrich Jameson adalah salah satu pemikir yang
terdidik yang ditanamkan oleh sistem produksi secara terbuka bersikap negatif dan mengkritik
kapitalisme lanjut. pandangan teoritis pemikiran sosial postmodern
Dengan mengikuti analisis Adorno and yang berkembang di awal abad ke-20 M.
Horkheimer mengenai industri budaya, Jameson
mendiskusikan fenomena postmodernisme dan
menyatakan bahwa era postmodernitas dicirikan KESIMPULAN:
oleh pastiche dan krisis sejarah. Jameson menyatakan KRITIK DAN MASA DEPAN
bahwa parodi (yang mensyaratkan penilain moral TEORI-TEORI SOSIAL POSTMODERN
atau perbandingan dengan norma-norma sosial)
telah digantikan oleh pastiche (yakni kolase dan Lahirnya teori-teori sosial postmodern dengan
berbagai bentuk penyempalan tanpa landasan berbagai aksentuasi dan kontroversinya telah
normatif apapun). Selanjutnya Jameson juga memunculkan banyak tanggapan kritis dari para
menyatakan bahwa era postmodern mengalami pemikir filsafat dan sosial kontemporer. Suara kritis
krisis sejarah dengan mengatakan bahwa: "sepertinya terhadap teori-teori sosiologi postmodern salah
tidak ada lagi hubungan organik antara sejarah satunya dikemukakan oleh Mark Poster, seorang
Amerika yang kita pelajari di dalam buku-buku sosiolog dan komentator karya-karya pemikir
sekolah dengan pengalaman hidup kota-kota potmodern. Poster mencatat bahwa setidaknya
metropolitan dengan gedung-gedung tinggi dan terdapat lima kelemahan teori-teori sosiologi
perusahaan-perusahaan multinasional dan postmodern (Kellner, 1994). Pertama, para
kehidupan sehari-hari kita." pemikir teori-teori sosial postmodern seringkali
Lebih jauh Jameson menyatakan bahwa terdapat tidak mampu menjelaskan dengan gamblang
3 tahap perkembangan kapitalisme. Pertama, tahap pengertian istilah-istilah kunci yang ada dalam
kapitalisme pasar atau munculnya pasar nasional karya-karya mereka. Hal ini mengakibatkan
yang dipersatukan. Kedua, tahap imperialis yang kekaburan pemahaman akan gagasan-gagasan
ditandai dengan munculnya jaringan kapitalisme orisinal yang dikemukakan para pemikir postmodern.
global. Ketiga, tahap kapitalisme lanjut yang Kedua, Poster memandang gaya menulis para
ditandai dengan ekspansi luar biasa hingga ke pemikir teori-teori sosiologi postmodern, misalnya
kawasan yang hingga kini belum dieksplorasi Baudrillard, aneh dan ganjil karena seringkali
secara maksimal. tidak dibarengi dengan argumentasi yang sistematik
Dalam bukunya yang telah menjadi klasik dan logis. Kelemahan ini, dengan sendirinya,
tersebut, Jameson juga memberikan ciri-ciri menjadikan pemikiran-pemikiran sosiologi post-
masyarakat postmodern yang cenderung negatif modern kehilangan dasar argumentasi yang
sebagai berikut: (1) postmodernisme ditandai oleh rasional. Ketiga, para pemikir teori sosiologi
kedangkalan dan kekurangan kedalaman; postmodern, tanpa disadarinya, telah terjatuh ke
(2) postmodernisme ditandai oleh kepura-puraan dalam sikap mentotalisasikan ide-ide pemikirannya,

Journal of Urban Sociology | Volume 2 / No. 1 / April 2019 61


Medhy Aginta Hidayat

dan menolak untuk mengubah atau membatasi inkonsestensi modernisme, namun menolak
pemikirannya. untuk mengikuti norma konsistensi itu sendiri.
Keempat, para pemikir teori-teori sosiologi 7. Para pemikir teori-teori sosial postmodern
postmodern terkesan terlalu menafikan kenyataan berkontradiksi di dalam dirinya sendiri dengan
bahwa terdapat keuntungan-keuntungan dari menyampaikan klaim-klaim kebenaran dalam
perkembangan teknologi informasi dan komunikasi. tulisan-tulisan mereka sendiri.
Televisi, media massa dan internet dalam
tampilannya yang positif juga memberikan manfaat Kritik lain disampaikan oleh Terry Eagleton,
seperti misalnya mempercepat penyebaran informasi seorang kritikus sastra Marxian, dalam bukunya
tentang pendidikan, HAM dan lingkungan, The Illusions of Postmodernism (1996). Dalam
menyampaikan berita peristiwa-peristiwa aktual buku ini Terry Eagleton memaparkan ambivalensi,
yang tengah terjadi dan lebih membuka pemahaman sejarah, kesalahpahaman dan kontradiksi teori-teori
akan sifat pluralisme dan humanisme kebudayaan sosial postmodern. Menurutnya, postmodernitas
dewasa ini. Kelima, sikap fatalis dan nihilis yang adalah sebuah gaya pemikiran yang selalu
secara sadar banyak dipilih para pemikir teori-teori mencurigai ide tentang kebenaran, akal, identitas
sosial postmodern, menjadikan pemikiran-pemikiran dan obyektivitas, ide kemajuan universal atau
mereka jauh dari nilai-nilai moral dan agama. emansipasi, dan narasi besar. Menolak norma-norma
Sementara itu Pauline M. Rosenau (1992), Pencerahan ini, postmodernitas melihat dunia
seorang pengamat teori sosial kontemporer modern sebagai realitas yang kontingen, tidak
Amerika melihat terdapat setidaknya 7 kontradiksi perpijak, beragam, tidak stabil, serta kebudayaan
dalam pemikiran teori-teori sosial postmodern: yang penuh dengan sikap skeptis mengenai
1. Posisi anti-teori dari para pemikir teori-teori obyektivitas kebenaran, sejarah, dan norma serta
sosial postmodern sebenarnya justru merupakan koherensi identitas.
sebuah pendirian teoritis. Sementara itu, Jurgen Habermas, seorang
2. Sementara tokoh-tokoh teori-teori sosial post- filsuf kontemporer Jerman, juga memberikan
modern menekankan hal-hal yang bersifat kritikan terhadap pandangan postmodernisme.
irasionl, akal pikiran tetap digunakan untuk Dalam bukunya Modernity, an Incomplete Project
memperluas pandangannya. (1984), Habermas mengatakan bahwa proyek
3. Sikap teori-teori sosial postmodern untuk modernitas yang dimulai sejak abad ke-19 demi
berfokus pada hal-hal yang terpinggirkan dalam membangun ilmu yang obyektif, hukum dan
dirinya sendiri sebenarnya merupakan penekanan moralitas universal, serta seni yang otonom
evaluatif atas hal-hal yang diserangnya. belumlah selesai. Para pemikir postmodern,
4. Teori-teori sosial postmodern menekankan inter- menurut Habermas, terlalu tidak sabar untuk
tekstualitas namun seringkali memperlakukan menuntaskan proyek modernitas yang seharusnya
teks secara tertutup. bisa mereka selesaikan. Dalam perdebatannya
5. Dengan menolak kriteria modernisme untuk dengan beberapa pemikir postmodern, terutama
menilai sebuah teori, para pemikir teori-teori Baudrillard dan Lyotard, Habermas tetap
sosial postmodern tidak dapat menyatakan berpendirian bahwa modernisme masih bisa
bahwa tidak ada kriteria yang absah untuk dibenahi, yakni dengan prinsip konsensus dan
digunakan sebagai sarana penilaian. komunikasi partisipatif. Bagi Habermas, masa depan
6. Teori-teori sosial postmodern mengkritik modernitas masih panjang sementara masa depan

62 Journal of Urban Sociology | Volume 2 / No. 1 / April 2019


Menimbang Teori-Teori Sosial Postmodern:
Sejarah, Pemikiran, Kritik dan Masa Depan Postmodernisme

postmodernitas tidak bisa diprediksi. DAFTAR PUSTAKA


Akhirnya, Christopher Norris, seorang pemikir
sosial Amerika, dalam sebuah bukunya What's Ahmed, Akbar, S., 1992, Postmodernism and
Islam. New York: Routledge.
Wrong with Postmodernism: Critical Theory and
Awuy, Tommy F. 1995. Wacana Tragedi dan
the Ends of Philosophy (1990), menyatakan Dekonstruksi Kebudayaan. Yogyakarta:
bahwa saat ini kita telah sampai pada suatu titik Jentera Wacana Publika.
dimana teori akan berbalik arah melawan dirinya Bertens, Hans. 1995. The Idea of the Postmodern:
sendiri, menghasilkan sebentuk sikap epistemologis A History. London: Routledge.
Eagleton, Terry. 1996. The Illusions of
skeptis yang ekstrim yang menghancurkan segala
Postmodernism. London: Wiley.
sesuatu: filsafat, politik, kritik dan teori – pada suatu Featherstone, Mike. 1988. In Pursuit of the
tingkatan dimana nilai-nilai konsensus menjadi Postmodern: An Introduction, dalam Theory,
sesuatu yang paling tidak menarik untuk dibicarakan: Culture and Society Volume 5, London.
inilah sikap postmodernisme. Habermas, Jurgen. 1984. Modernity, an Incomplete
Project. New York: Routledge.
Beberapa kritik tajam terhadap teori-teori Harvey, David. 1989. The Condition of
sosial postmodern di atas patut menjadi catatan Postmodernity. Oxford: Blackwell.
untuk memahami masa depan teori-teori sosial Heryanto, Ariel. 1994. Postmodernisme: Yang Mana?
postmodern secara lebih jernih dan koheren. Tentang Kritik dan Kebingungan dalam
Debat Postmodernisme di Indonesia, dalam
Setidaknya, diperlukan sikap kritis, reflektif dan
Jurnal Kebudayaan Kalam Edisi 1, Jakarta.
obyektif dalam memandang realitas sosial dan Kellner, Douglas. 1994. Baudrillard Reader.
budaya kontemporer dewasa ini. Sikap ini diperlukan Cambridge: Blackwell.
sebagai filter agar tidak berkembang sikap a priori, Lash, Scott. 1990, Sociology of Postmodernism.
fatalis dan nihilis terhadap kebudayaan postmodern London: Routledge.
Lechte, John. 1994. Fifty Key Contemporary
yang saat ini, bagaimanapun, sedang kita hidupi.
Thinkers: From Structuralism to
Akhirnya, diperlukan landasan nilai moral dan Postmodernism. London: Routledge.
agama dalam menyikapi masa depan realitas Norris, Christopher. 1990. What's Wrong with
sosial dan kebudayaan yang begitu cepat berubah Postmodernism: Critical Theory and the Ends
dewasa ini. Tanpa landasan nilai moral dan of Philosophy. New York: John Hopkins
University Press.
agama, maka pembacaan dan penyikapan realitas Piliang, Yasraf. 1998. Sebuah Dunia Yang Dilipat:
sosial dan kebudayaan dewasa ini, hanya akan Realitas Kebudayaan Menjelang Milenium
sampai kepada sikap nihilisme, fatalisme dan Ketiga dan Matinya Postmodernisme.
keputusasaan yang justru tidak menyelesaikan Bandung: Mizan.
Rosenau, Pauline. 1992. Postmodernism and
persoalan.
Social Sciences: Insights, Inroads, and
Intrusion. Princeton: Princeton University
Press.
Sahal, Ahmad. 1994. Kemudian Dimanakah
Emansipasi? Tentang Teori Kritis, Genealogi
dan Dekonstruksi, dalam Jurnal Kebudayaan
Kalam Edisi 1, Jakarta.
Sarup, Madan. 1989. An Introduction Guide to
Post-Structuralism and Postmodernism.
Athens: The University of Georgia Press.

Journal of Urban Sociology | Volume 2 / No. 1 / April 2019 63


Medhy Aginta Hidayat

Siswanto, Andy. 1994. Menyangkal Totalitas dan


Fungsionalisme: Postmodernisme Dalam
Arsitektur dan Desain Kota, dalam Jurnal
Kebudayaan Kalam Edisi 1, Jakarta.
Smart, Barry. 1990. Modernity, Postmodernity
and The Present, dalam Turner, Bryan S., (ed),
Theories of Modernity and Postmodernity.
London: Sage.
Stauth, Georg and Turner, Bryan. 1988. Nostalgia,
Postmodernism and the Critique of Mass
Culture, dalam Theory, Culture and Society
Volume 5, London.
Sugiharto, Bambang. 1996. Postmodernisme:
Tantangan Bagi Filsafat. Yogyakarta: Kanisius.
Turner, Bryan. 1990. Periodization and Politic in
the Postmodern, dalam Turner, Bryan S., (ed),
Theories of Modernity and Postmodernity.
London: Sage.

64 Journal of Urban Sociology | Volume 2 / No. 1 / April 2019


Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2002
tentang Hak Cipta

Lingkup Hak Cipta


Pasal 2:
1. Hak Cipta merupakan hak eksklusif bagi Pencipta atau
Pemegang Hak Cipta untuk mengumumkan atau
memperbanyak ciptaannya, yang timbul secara otomatis
setelah suatu ciptaan dilahirkan tanpa mengurangi
pembatasan menurut peraturan perundang-undangan
yang berlaku.

Ketentuan Pidana
Pasal 72:
1. Barangsiapa dengan sengaja atau tanpa hak melakukan
perbuatan sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 2 ayat
(1) atau pasal 49 ayat (1) dan (2) dipidanakan dengan
pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu)
bulan dan/atau denda paling sedikit Rp1.000.000,00 (satu
juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh)
tahun dan/atau denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00
(lima miliar rupiah).
2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan,
mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu ciptaan
atau barang hasil Pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait
sebagaimana dimaksudkan dalam ayat (1) dipidanakan
dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun
dan/atau denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima
ratus juta rupiah).

ii
Oleh :

Dr. Nasiwan, M.Si.


Prof. Dr. Ajat Sudrajat, M.A
Prof. Dr. Mestika Zed, M.A
Grendi Hasto, M.M.
Cholisin, M.Si.
Yanuardi, M.Si.
Miftahuddin, M.Hum.
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A

2016

iii
Oleh:
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A.

ISBN: 978-602-7981-94-2
© 2016 nasiwan, yuyun sri wahyuni

Edisi Pertama

Diterbitkan dan dicetak oleh:


UNY Press
Jl. Gejayan, Gg. Alamanda, Komplek Fakultas Teknik UNY
Kampus UNY Karangmalang Yogyakarta 55281
Telp: 0274 – 589346
Mail: unypress.yogyakarta@gmail.com

Penyunting Bahasa: Hartono


Editor : Nasiwan, Yuyun Sri Wahyuni
Desain sampul: Deni Satria Hidayat.
Tata Letak: Yudiati Rahman

Nasiwan dan Yuyun Sri Wahyuni


SERI TEORI-TEORI SOSIAL INDONESIA
-Ed.1, Cet.1.- Yogyakarta: UNY Press 2016
ix + 212 hlm; 16 x 23 cm
ISBN: 978-602-7981-94-2

1. seri teori-teori sosial indonesia

Isi di luar tanggung jawab percetakan

iv
KATA PENGANTAR
Teori-teori sosial Indonesia sekaligus para intelektual
Indonesia kebanyakan masih mengamini dan didominasi oleh
pemikiran asing (Barat) yang memiliki realitas berbeda dengan
realitas bangsa Indonesia, sehingga yang terjadi kemudian adalah
keberlanjutan ribuan jarak antara ilmu sosial dengan masyarakat
sosial. Ilmu sosial selama ini masih berdiri di atas menara gading,
jauh dari jangkauan komunitas akar rumput. Begitu pula, ilmu sosial
selama ini masih menjadi alat hegemoni bagi pihak-pihak yang
berkuasa, global maupun nasional, sehingga alih-alih membangun
manusia, peradaban, dan kesejahteraan, ilmu-ilmu sosial terjebak
kepada penghambaan materi dan kekuasaan yang menambah beban
bangsa untuk benar-benar merdeka. Dalam kondisi yang sedemikian,
buku ini hadir sebagai usaha kritis anak bangsa untuk mengakhiri
kondisi penjajahan intelektual yang berimbas kepada penjajahan
ekonomi bangsa Indonesia dan membawa Indonesia kepada suatu
transformasi sosial yang memerdekakan.
Sesuai dengan terminologi yang digunakan buku ini,
pembahasan dalam buku ini mengarah kepada teori-teori sosial yang
berkembang dan dikembangkan oleh para pemikir dan ilmuwan
sosial di Indonesia. Dengan langsung masuk ke pembahasan teori-
teori sosial Indonesia, atau paling tidak dengan mengetengahkan
pemikiran ilmuwan sosial Indonesia, para pembaca diajak langsung
untuk sampai pada situasi, keadaan, fenomena-fenomena yang
tumbuh dan berkembang di Indonesia. Dengan langkah ini
diharapkan pembaca segera mengenali dan memahami kondisi
kehidupan masyarakat Indonesia, yang menjadi bahan berlimpah
untuk menyusun berbagai konsep pemikiran teori sosial Indonesia.
Buku ini adalah kontribusi dari beberapa orang penulis yang
memiliki concern serta kegelisahan yang sama tentang ilmu-ilmu
sosial Indonesia. Buku ini juga merupakan endapan pemikiran dari
berbagai persimpangan ilmu-ilmu sosial termasuk di dalamnya
pendidikan, politik, ekonomi, dan budaya sehingga buku ini adalah
salah satu upaya serius untuk membangun struktur bangunan teori
ilmu-ilmu sosial Indonesia. Secara garis besar, buku ini terbagi
menjadi dua kategori pembahasan, yakni, pertama, kritik bangunan
teori-teori sosial Indonesia. Bagian pertama ini bermaksud untuk
membangkitkan kesadaran pembaca bahwa betapa ilmu sosial yang
v
berkembang dan diajarkan selama ini terbangun dari sebuah sejarah
yang sama sekali berbeda dengan sejarah Indonesia dan ketimuran,
singkatnya, bagian pertama buku ini membahas tentang perkem-
bangan ilmu sosial Indonesia sejak masa indologi sampai dengan
masa pasca Orde Baru. Bagian kedua buku ini membahas pemikiran-
pemikiran ilmuan sosial yang direpresentasikan oleh tiga pemikir,
yaitu, Kuntowijoyo, Selo Sumardjan, dan Mansur Fakih.
Prof. Dr. Kuntowijoyo adalah cendekiawan tersohor dari UGM,
beliau juga dikenal dengan beberapa novel dan puisi yang pernah
ditulisnya. Dalam pembahasan buku ini perhatian difokuskan pada
tulisan Kuntowijoyo, yang terkait dengan gagasan ilmu sosial
profetik. Menurut Kuntowijoyo gagasan ilmu sosial profetik yang
bertumpu pada tiga konsep kunci yakni transcendency, liberasi dan
humanisasi dihadirkan untuk merespon kemandegan ilmu sosial
akademik serta ilmu sosial kiritis yang kurang mampu memberikan
solusi atas berbagai persoalan sosial yang muncul pada masyarakat
Indonesia. Prof. Dr. Selo Sumardjan adalah ilmuwan sosial yang
berjasa mengkonsepsikan Perubahan Sosial yang berangkat dari
fenomena yang hidup dan berkembang di Indonesia, khususnya yang
terjadi di Daerah Istemewa Yogyakarta, Beliau menemukan 15 tesis
tentang perubahan sosial yang ada di Yogyakarta. Dengan 15 tesis
yang telah diwariskan oleh Prof. Selo Sumardjan, ilmuwan sosial
yang hidup selanjutnya dapat meneruskan kajian tersebut dengan
menyesuaikan kosepsi tersebut dengan perkembangan masyarakat
Yogyakarta pada khususnya serta perkembangan masyarakat
Indonesia. Sedangkan Mansur Fakih adalah seorang pemikir
keIndonesiaan sekaligus aktivis lembaga swadaya sosial. Melalui
tulisan-tulisan dan kegiatan-kegiatan aktivismenya, Mansur Fakih
membangun sebuah kesadaran kritis akan pentingnya menjadi
sebuah bangsa yang merdeka dari segala bentuk penjajahan baru
global (neo-imperialisme). Dalam buku ini pemikiran Mansur Fakih
difokuskan pada neoliberalisme dan upaya-upaya untuk mengurai
mistifikasi konsep globalisasi, pasar bebas serta terminologi struktur
ekonomi global lainnya yang selama ini didengungkan melalui
berbagai propaganda global untuk menguasai ekonomi serta sumber
daya negara miskin dan berkembang.
Dengan mengetengahkan tiga pemikir besar dalam konteks
perkembangan ilmu sosial di Indonesia, penulis berharap dapat
memberikan inspirasi kepada para pembaca untuk meneliti dan
vi
menemukan para pemikir ilmu sosial Indonesia lainnya, untuk
diperkenalkan kepada para pecinta ilmu sosial untuk memperkaya
konsepsi ilmu sosial yang lebih bercorak keindonesiaan. Dengan
langkah-langkah kecil tersebut suatu hari kita bisa berharap
perkembangan ilmu sosial Indonesia akan lebih mandiri, para anak-
anak kita, kaum terpelajar, akan bisa menikmati uraian ilmu sosial
yang lebih dekat di pikir dan di hati.
Pada akhirnya, ilmu sosial Indonesia akan mampu
membebaskan diri dari penjajahan pemikiran, tidak terjadi lagi
diajari bagaimana membaca Indonesia dengan lensa akademik dari
bangsa lain. Akan datang saatnya kita bisa membahas persoalan yang
muncul di Indonesia dengan lensa akademik dan sudut pandang yang
bercitra rasa Indonesia.
Berikut adalah daftar judul bab sekaligus daftar penulis yang
berkontribusi dalam buku ini. Bab I Diskursus Alternatif Indigenisasi
Ilmu Sosial ditulis oleh Nasiwan. Bab II Konstruksi Ilmu Sosial
Indonesia dalam Perspektif Komparatif: Menggali Ilmu Sosial
Bercorak Keindonesiaan ditulis oleh Mestika Zed. Bab III,
Indigenisasi dalam peta perkembangan teori ilmu sosial ditulis oleh
Nasiwan, Cholisin, Yanuardi, dan Grendi Hasto. Bab IV Teori Sosial
Refleksi Pemikiran Kuntowijoyo ditulis oleh Ajat Sudrajat dan
Muhammad Miftahuddin. Bab V Kesadaran Sejarah, Ilmu Sosial
Profetik dan Pendidikan Politik Profetik oleh Nasiwan dan
Miftahuddin. Bab VI Pergulatan Intelektual Kuntowiojoyo menuju
ISP ditulis oleh Nasiwan. Bab VII Refleksi Pemikiran Selo Sumarjan
dan Perubahan Sosial ditulis oleh Nasiwan dan Grendi Hasto. Bab VIII
Mansur Fakih: Menyoal Globalisasi (Neoliberalisme) Pembangunan
ditulis oleh Yuyun Sri Wahyuni, sedangkan bab terakhir yang
merupakan epilog dari buku ini, Dialektika Ilmu Ilmu Sosial
Indonesia ditulis oleh Nasiwan dan Yanuardi.

Hormat kami,
Penulis

vii
viii
DAFTAR ISI

Halaman judul - i
Pengantar - v
Daftar isi - ix

Bab I Diskursus Alternatif Indigeneousasi Ilmu Sosial - 1


Bab II Konstruksi Ilmu Sosial Indonesia dalam
Perspektif Komparatif: Menggali Ilmu Sosial
Bercorak Keindonesiaan - 18

Bab III Indigenousasi Dalam Peta Perkembangan


Teori Ilmu Sosial - 37

Bab IV Teori –Teori Sosial Refleksi Pemikiran Kuntowijoyo - 90


Bab V Kesadaran Sejarah, Ilmu Sosial Profetik dan
Pendidikan Politik Profetik - 109

Bab VI Pergulatan Intelektual Kuntowiojoyo menuju ISP - 136


Bab VII Teori Sosial Indonesia Refleksi Pemikiran
Selo Sumardjan - 178

Bab VIII Mansur Fakih: Menyoal Globalisasi (Neoliberalisme)


dalam Pembangunan - 186

Bab IX Dialektika Ilmu Ilmu Sosial Indonesia - 198

DAFTAR PUSTAKA - 205

ix
x
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A.

Bab 1

Aku bertanya,
Tetapi pertanyaan-pertanyaanku membentur meja-meja kekuasaan
yang macet, dan papan tulis-papan tulis, para pendidik yang terlepas
dari persoalan kehidupan…
Kita harus berhenti membeli rumus-rumus asing,
Diktat-diktat hanya boleh memberi metode,
Tetapi kita sendiri mesti merumuskan keadaan,
Kita mesti keluar ke jalan raya,
Keluar ke desa-desa,
Mencatat sendiri semua gejala,
Dan menghayati persoalan yang nyata.
(WS Rendra, Sajak Sebatang Lisong, 19 – 8 1977).

“Mengenai perkembangan ilmu ilmu sosial sebagai ilmu….betapa


sedikitnya buku-buku atau karangan-karangan dalam bahasa
Indonesia yang secara murni menambah atau mungkin mengubah
teori-teori yang sampai sekarang dikenal” (Dr. Selo Sumardjan).

“Persoalan serius yang dihadapi oleh ilmuwan sosial di Indonesia


adalah bagaimana menghadirkan ilmu sosial yang mampu untuk
melakukan transformasi? Mengapa perlu memfokuskan pada
pertanyaan ini. Hal ini dikarenakan ilmu sosial pada dekade ini masih
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A

mengalami kemandekan. Ilmu sosial yang dibutuhkan adalah bukan


hanya mampu menjelaskan fenomena sosial, namun juga mentrans-
formasikan fenomena sosial tersebut, memberi petunjuk kearah
mana transformasi dilakukan, untuk apa dan oleh siapa?”
(Dr. Kuntowijoyo)

Pendahuluan
Perkembangan Ilmu-ilmu sosial di Asia termasuk di dalamnya
di Indonesia dalam waktu yang lama berada dalam pengaruh,
dominasi serta mengadopsi ilmu-ilmu sosial yang berkembang di
Eropa atau Amerika. Kondisi yang demikian sudah berlangsung
dalam waktu yang sangat lama lebih dari satu abad, jauh sebelum
Indonesia merdeka pada tahun 1945. Kondisi perkembangan Ilmu
Sosial yang demikian telah mengundang beberapa intelektual di Asia
dan juga Indonesia, untuk mempertanyakan sekaligus mencari jalan
keluar, kondisi perkembangan ilmu Sosial yang memprihatinkan dari
suatu kondisi ketidakberdayaan-ketergantungan (captive mind)
dengan ilmu-ilmu sosial Barat.
Solusi yang dapat ditawarkan untuk menghadapi kondisi
tersebut ialah pentingnya ikhtiar untuk membangun suatu diskursus
alternatif Ilmu-ilmu sosial di luar arus besar diskursus ilmu-ilmu
sosial Barat. Dari diskursus alternatif inilah kemudian muncul
berbagai gagasan kritis tentang pentingnya melakukan indigenisasi
Ilmu-ilmu sosial, salah satunya, muncul gagasan pentingnya Ilmu
Sosial Profetik (ISP).
Langkah strategis berikutnya adalah bagaimana menurunkan
gagasan indigeneousisasi, Ilmu Sosial Profetik, pada tataran yang
lebih institusional dan kurikulum, praxis. Tulisan ini berusaha untuk
memberikan inspirasi-inspirasi serta kontribusi pemikiran mozaik
percik-percik pemikiran ilmu sosial profetik.
Diskusi tentang pentingnya membangun suatu diskursus
alternatif ilmu-ilmu sosial di Indonesia, memiliki makna strategis
bagi perkembangan ilmu-ilmu sosial di Indonesia. Hal tersebut
sangatlah mendesak untuk dilakukan oleh para ilmuwan Indonesia
dikarenakan adanya kenyataan bahwa perkembangan ilmu–ilmu
sosial di Indonesia setelah sekian abad berjalan masih memiliki

2
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A.

ketergantungan akademis yang sangat tinggi dengan ilmu-ilmu sosial


di Eropa atau Barat. Melalui ikhtiar untuk melahirkan diskursus
alternatif dimungkinkan adanya langkah yang lebih elaboratif untuk
melakukan Indigenisasi ilmu-ilmu sosial di berbagai bidang
keilmuan.
Forum Seminar Nasional yang diadakan oleh Fakultas Ilmu
Sosial UNY, dengan tema besar “Indigenisasi Ilmu Sosial dan
Implementasinya dalam Pendidikan Ilmu Sosial di Indonesia”,
tahun 2012, memberikan momentum yang baik untuk memikirkan
secara lebih serius, komprehensif dan lebih elaborativ berkaitan
dengan diskursus alternatif dan indigenisasi Ilmu-ilmu sosial di
Indonesia pada khususnya. Forum ini menjadi monumental antara
lain karena dihadiri pembicara international Prof. Farid Al Atas dari
National Singura University salah seorang penggagas Indigeousasi
ilmu Sosial, para akademisi Prof Purwo Santoso dari Fisipol UGM,
Prof. Zamroni, ketua Progam Studi IPS Pasca Sarjana UNY. Seminar
tersebut juga mempertemukan berbagai pihak yang memiliki
perhatian serius pada tema tersebut, yakni dari kalangan ahli, para
guru besar yang menggeluti ilmu sosial, para dosen, dan para praktisi
(guru SD, SMP, SMA) yang sehari-hari berkiprah dalam kegiatan
pembelajaran Ilmu-ilmu sosial.

Perkembangan dan Problematika Ilmu-Ilmu Sosial


Kutipan pada awal tulisan ini dari seorang ilmuwan kenamaan
Indonesia Selo Soemardjan, mengekspresikan kegelisahanya tentang
perkembangan ilmu-ilmu sosial di Indonesia yang sangat
memprihatinkan, karena sangat minim (untuk tidak mengatakan
nihil) kontribusi ilmuwan sosial Indonesia dalam melahirkan teori-
teori sosial yang sesuai dengan konteks keindonesiaan. Kegelisahan
intelektual tersebut sudah diteriakkan oleh Selo Soemardjan 22
tahun yang lalu pada suatu forum akademis yang prestisius di
Yogyakarta. Kegelisahan intelektual-keilmuan dari Selo Soemardjan
hingga hari ini masih tetap relevan untuk dijawab oleh kaum
terpelajar Indonesia, karena sampai hari ini belum ada jawaban
serius secara akademik yang komprehensif-elaboratif.
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A

Dengan nada yang hampir sama seorang Cendekiawan Muslim


Indonesia, Kuntowijoyo, juga memberikan kritik yang tajam tentang
perkembangan Ilmu Sosial di Indonesia. Dalam pandangannya Ilmu
Sosial di Indonesia mengalami proses kemandegan bahkan
kehilangan kerangka nilai yang mampu mengarahkan kemana
transformasi masyarakat di Indonesia digerakkan. Dalam kaitan ini
untuk memperbaiki kondisi ilmu-ilmu sosial di Indonesia
Kuntowijoyo mengusulkan perlunya memberikan ruang untuk
hadirnya apa yang disebut dengan Ilmu Sosial Profetik (ISP).
Dalam ruang lingkup yang lebih luas menghadapi kemandegan
Ilmu-ilmu sosial di Asia, sejumlah intelektual Muslim di berbagai
negara memiliki kegelisahan yang sama untuk menghadirkan ilmu
sosial yang dapat langsung diterapkan dalam menjelaskan
masyarakat Muslim. Pada dekade 1970-an, Ismail Raji Al-Faruqi
mengemukakan idenya mengenai islamisasi ilmu-ilmu sosial
kontemporer. Untuk mencapai tujuannya itu, Al-Faruqi mendirikan
The Assosiation of Muslim Social Scientists dan menjadi ketua
umumnya antara 1972-1978, kemudian berpartisipasi aktif dalam
lembaga internasional The International Institute of Islamic Thought
(IIIT). Langkah Al-Faruqi menggagas mengenai islamisasi ilmu-ilmu
sosial itu menjadi terobosan penting dalam proses interaksinya
dengan teori-teori Barat. Gagasan Al-Faruqi itu didukung oleh
Naquib Al-Attas yang juga mendorong dilakukan islamisasi ilmu-ilmu
secara luas dengan memasukkan elemen-elemen Islam dalam ilmu-
ilmu kontemporer.
Diantara pandangan penting Al Faruqi dan Al Atas adalah
berkaitan dengan Pertama, femomena kebiasaan ilmuwan di Negara-
Negara Asia untuk menggunakan kategori-kategori, pemilihan
masalah, konseptualisasi, analisis, generalisasi, deskripsi, eksplanasi
dan interpretasi yang ditiru dari Barat. Sebagian negara dunia ketiga
sebenarnya telah berusaha untuk keluar dari belenggu imperialisme
akademis seperti yang dilakukan oleh intelektual India, China dan
juga negara-negara berkembang lainnya, tetapi keinginan itu
belumlah dilakukan secara sistematis dan melembaga. Tingkat
kebergantungan akademis dipandang paralel dengan tingkat
ketergantungan ekonomi. Tingkat kebergantungan ilmuwan sosial

4
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A.

negara berkembang menurut catatan Syed Farid Alatas meliputi; 1)


kebergantungan pada gagasan; 2) kebergantungan pada media
gagasan; 3) kebergantungan pada teknologi pendidikan; 4)
kebergantungan pada bantuan riset dan pengajaran; 5)
kebergantungan pada investasi pendidikan; 6) kebergantungan
ilmuwan sosial Dunia Ketiga pada permintaan Barat akan
ketrampilan mereka.
Kedua, adalah pencermatan Alatas kebiasaan ilmuwan di
Negara-Negara Asia dalam hal proses meniru Barat secara membabi
buta. Merespon kondisi kelimuwan di Negara Dunia Ketiga tersebut,
pada dekade 1970-an Syed H Alatas telah memperkenalkan teori
captive mind sebagai cara membaca perkembangan ilmu sosial di
Dunia Ketiga. Menurut teori captive mind bahwa ilmu sosial
Nusantara (Indonesia) menjadi korban orientalisme dan Eurosentris-
me yang dicirikan oleh cara berpikir yang didominasi pemikiran
Barat dengan cara meniru dan bersikap tak kritis. Peniruan yang
tidak kritis tersebut merasuk ke semua tingkatan aktivitas ilmiah,
memengaruhi latar masalah, analisis, abstraksi, generalisasi,
konseptualisasi, deskripsi, eksplanasi dan interpretasi. Teori ini
dikembangkan bersesuaian dengan pola penyebaran konsumsi di
Dunia Ketiga, begitu juga dengan pola imperialisme akademik yang
berlangsung di Indonesia.
Berkaitan dengan pentingnya ditumbuhkan sikap kritis,
kiranya perlu dicatat bahwa Ilmu sosial Barat tentu lahir dan
berkembang dari struktur dan sistem sosial serta pranata sosial yang
berbeda dengan masyarakat Indonesia, bahkan para orientalis
membaca Timur menurut kategori dan perspektif Barat. Intelektual-
akademisi Nusantara terpesona dengan perkembangan ilmu-ilmu
sosial Barat, bahkan isu-isu dan masalah yang menjadi topik kajian
para intelektual Barat juga menjadi topik yang ditiru oleh intelektual
kita, tanpa memiliki dasar pijakan empiris yang kuat. Keadaan itu
terus berlangsung, bahkan setelah lebih dari satu abad ilmu-ilmu
sosial berkembang di Nusantara, hingga kini belum ada teori-teori
sosial yang dihasilkan oleh intelektual kita dalam rangka
menjelaskan kehidupan sosial masyarakat secara memadai. Keadaan
ini barangkali disebabkan karena rendahnya penghargaan sesama
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A

intelektual Nusantara dalam menghargai ide dan gagasan diantara


mereka, atau tradisi kutip-mengutip di antara mereka, sehingga ilmu
sosial Nusantara tidak pernah mengalami perkembangan, bahkan
mereka yang selesai belajar di Barat dengan sangat bangga dan hebat
meniru-niru dan mengulang-ulang apa yang mereka pelajari di Barat
tersebut, tidak muncul kesadaran kritis untuk merumuskan teori-
teori sosial yang orisinal dan khas Nusantara.
Kendatipun semangat meniru begitu kuat, namun masih
ditemukan sejumlah sarjana kita yang konsisten mengembangkan
ilmu sosial yang khas, kepada mereka itu kita harus memberi
apresiasi yang tinggi. Usaha mengembangkan ilmu sosial alternatif
seperti yang pernah dilakukan Kuntowijoyo dengan Ilmu Sosial
Profetiknya, bisa menjadi pilihan pengembangan ilmu sosial
Nusantara. Sebab kalau hanya meniru dari Barat tentu bisa
dinyatakan bahwa teori-teori sosial Barat tersebut merupakan teori
yang tercerai dengan realitas, tidak memiliki dasar pijakan pada
realitas masyarakat. Sarjana Nusantara lain seperti Soejatmoko
pernah mengkritik teoretisiasi masyarakat Jawa yang dilakukan oleh
sarjana Barat, padahal watak dan tradisi masyarakat Nusantara
merupakan yang khas, berbeda dengan elemen-elemen yang
membentuk tradisi masyarakat Barat.
Perkembangan ilmu-ilmu sosial di Indonesia tidak lepas dari
pengaruh perkembangan ilmu sosial yang ada di Barat. Selama ini
dikotomi Barat dan Timur menjadi salah satu hal yang menyebabkan
perkembangan ilmu sosial di Indonesia terkesan didominasi
pemikiran Barat. Barat selalu dipersepsikan sebagai sumber
pengetahuan sedangkan Timur sebagai pengguna ilmu pengetahuan
itu yang secara tidak sadar didoktrin oleh dunia Barat. Sangat jarang
bahkan hampir tidak ada pemikiran orisinil ilmu sosial yang
bersumber dari ranah Timur, khususnya dari Indonesia. Asia secara
umum yang dipersepsikan sebagai bagian dunia Timur yang
dipersepsikan selalu terbelakang dan tertekan oleh dominasi
pemikiran Barat sehingga sangat jarang pikiran teori yang dihasilkan
oleh pemikir dari Timur. Selama ini hanya Cina, India dan Korea yang
memiliki kontribusi terhadap perkembangan keilmuwan di Asia.

6
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A.

Kritikan terhadap perkembangan ilmu sosial di Asia muncul


dari diskursus-diskursus alternatif. Beberapa pemikiran Barat yang
menjadi sumber kritikan seperti tinjauan orientalisme, eurosent-
risme, the captive mind, imperialisme akademik dan kebergantungan
akademik yang menyerukan perlunya diskursus alternatif yang
membebaskan. Kritikan tersebut menjadi salah satu pemicu untuk
secepatnya menemukan diskursus alternatif pemikiran ilmu sosial
yang muncul dari negara-negara dunia ketiga.
Dalam sejarah perkembangan ilmu sosial, Jerman, Prancis, dan
Spanyol masih dianggap sebagai negara-negara yang menjadi sumber
kekuatan utama ilmu sosial. Teori-teori sosiologi banyak mengacu
pada pemikiran Marx, Weber dan Durkheim yang selama hidupnya
berpindah-pindah di negara-negara Eropa. Secara tidak langsung
pemikiran yang diungkapkan tokoh-tokoh tersebut menjadi landasan
bagi pemikir di Asia untuk mengadopsi untuk mengembangkan ilmu
sosial di Asia.
Ilmu sosial di Indonesia terkesan juga lebih condong pada
pemikiran Barat. Ketidaktepatan teori yang ada di Barat untuk
membaca realita dan fenomena yang ada di Indonesia turut andil
dalam menambah ketidakmampuan untuk menyelesaikan suatu
masalah. Akademisi di Indonesia terkesan hanya mengambil tanpa
melihat apakah teori yang diambil pas untuk diterapkan di Indonesia.
Sehingga tidak mengherankan apabila selama ini banyak
permasalahan yang mendera negara-negara di Asia tidak mampu
dientaskan secara tuntas, bukan karena ketidak mampuan ahli dan
akademisi di negara asia, tetapi lebih pada kesalahan pembacaan
masalah akibat ketidaktepatan alat analisis yang dalam hal ini berupa
teori. Ironisnya pemilihan topic riset dan prioritas wilayah riset pun
mendapat arahan dari lembaga-lembaga ilmu sosial Barat.
Diskursus yang berkembang selama ini menunjukkan adanya
hegemoni pemikiran Barat terhadap Timur yang mana bagi
akademisi di Asia ingin menghentikan hegemoni ini dan memuncul-
kan pemikiran alternatif. Dalam posisi ini akademisi di Asia ingin
bersanding sejajar dengan pemikiran-pemikiran Barat. Di Indonesia
sendiri diskursus mengenai pengembangan teori ilmu sosial baru
mulai banyak diperbincangkan. Mulai muncul pemikiran-pemikiran
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A

yang berasal dan muncul dalam membaca dan menganalisis


permasalahan yang ada di Indonesia. Sebagai contoh pemikiran
Kuntowijoyo tentang Ilmu Sosial profetik mencoba untuk membuka
pengembangan ilmu sosial di Indonesia dengan mencoba
mengabungkan antara ilmu sosial dengan nilai-nilai transendental
yang menjadi salah satu kekhasan budaya Indonesia atau pemikiran
Selo Sumardjan tentang perubahan sosial dan masyarakat jejaring
bisa menjadi contoh mulai munculnya ilmu-ilmu sosial yang
dikembangkan akademisi lokal.
Proses merumuskan ilmu sosial alternatif terkendala banyak
hal, setidaknya soal ketekunan dan kemandirian intelektual menjadi
penyebab utamanya. Ilmu sosial alternatif secara sederhana dapat
dimaknai sebagai ilmu yang membebaskan, ilmu sosial yang sesuai
dengan corak masyarakat Indonesia atau ilmu sosial yang tidak
terkolonialisasi. Kebutuhan terhadap lahirnya ilmuwan-ilmuwan
baru yang mampu menawarkan teori baru dalam menelisik
fenomena sosial mengalami kemandegan. Hal ini menurut Sunyoto
Usman. disebabkan perguruan tinggi sebagai agen pencetak
intelektual mengalami krisis. Ada 3 krisis yang dialami oleh
perguruan tinggi: Pertama, mahasiswa pascasarjana yang diharapkan
mampu memberikan kritik pada teori dan menghasilkan teori baru,
masih berkutat pada identifikasi teori dan mengekor pada teori-teori
yang sudah ada. Kedua, dosen tidak dijadikan sebagai “partner
diskusi”, tapi sebagai sumber dari segala sumber. Ketiga, banyak
professor yang dipaksa/memaksakan diri membimbing mahasiswa
meneliti bidang yang tidak dikuasainya. Selain dari ketiga hal
tersebut ada intelektual hazard dimana kaum intelektual sibuk
dengan pekerjaan structural yang ‘memaksa’ mereka untuk abdi
birokrasi.
Dari berbagai diskursus tersebut menarik untuk kemudian
menelisik sejauh mana perkembangan ilmu sosial yang ada di
Indonesia, sehingga nantinya dapat dipetakan secara jelas ilmu sosial
lokal yang dikembangkan oleh tokoh akademisi Indonesia asli, dan
bagaimana pula perkembangan ilmu sosial yang dikembangkan
sebagai bagian dari mimpi melokalkan (indigeniusasi) ilmu sosial
dalam kacamata lokal.

8
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A.

Diskursus Ilmu Sosial


A. Hegemoni Teori Sosial Barat
Teori sosial Barat memberi banyak pengaruh pada peta
keilmuwan sosial di Indonesia. Fakta bahwa sebagian besar ilmu
sosial dan humaniora di masyarakat (negara) berkembang datang
dari Barat telah memunculkan masalah relevansi ilmu-ilmu sosial
bagi kebutuhan dan masalah dunia ketiga. Tokoh-tokoh Barat
terkadang diposisikan sebagai penemu, perintis beberapa teori sosial
yang pada tahapannya akhirnya ditanamkan dan digunakan di
masyarakat non-Barat.
Relasi antara Timur dan Barat beroperasi berdasarkan model
ideology yang dalam pandangan Gramsci sebagai Hegemoni, suatu
pandangan bahwa gagasan tertentu lebih berpengaruh dari gagasan
lain, sehingga kebudayaan tertentu lebih dominan dari kebudayaan
lain. Dalam konteks ini ada dominasi gagasan Barat terutama dalam
ilmu sosial terhadap pemikiran gagasan dunia Timur.
Masyarakat intelektual Indonesia diposisikan sebagai
konsumen yang selalu membeli teori-teori pemikiran dari dunia
Barat yang terkadang tidak sesuai dengan kajian masyarakat di
negara dunia ketiga. Hegemoni teori sosial Barat menjadi suatu
keniscayaan karena perkembangan pengetahuan Barat yang maju
beberapa langkah dibanding perkembangan keilmuwan di dunia
ketiga.
Perkembangan tersebut menurut Farid Alatas, sebagai akibat
langsung dari perkembangan teknologi informasi serta dorongan
kuat untuk mengembangkan ilmu-ilmu sosial di Barat, akibat
perkembangan itu dipandang sebagai fenomena Barat. Ilmu-ilmu
sosial yang berkembang dan dipelajari di lembaga pendidikan
(kampus) di Indonesia, termasuk juga negara-negara Dunia Ketiga
merupakan ilmu sosial yang dihasilkan oleh sarjana Barat dari hasil
pembacaan terhadap masyarakat mereka.
Kuatnya pengaruh ilmu sosial Barat tersebut lebih disebabkan
masalah internal intelektual-akademisi Indonesia sendiri, mereka
telah terpuaskan dengan meniru apa yang berkembang di Barat,
bahkan intelektual Indonesia bekerja keras untuk menerapkan
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A

teknik yang dipelajari dari buku-buku yang ditulis oleh sarjana


Amerika dan Eropa dalam menjelaskan dan persoalan empiris atas
masalah yang kebanyakan dirumuskan oleh ilmuwan Barat.
Ketergantungan terhadap teori Barat sebenarnya tidak
menjadi dominasi dari perkembangan ke ilmuwan di Indonesia.
Hampir kebanyakan negara di Asia sangat bergantung pada teori
Barat. Ilmuwan asia sudah berpuas diri dengan hanya sebagai
intelektual peniru, ilmuwan-ilmuawan tersebut bekerja keras
menerapkan teknik yang dipelajari dari buku-buku inggris dan
Amerika untuk memperoleh jawaban empiris ada masalah-masalah
kebanyakan yang dirumuskan oleh sosiologi Barat.
Hegemoni teori sosial Barat sudah dirasakan sejak beberapa
dekade lalu, dimana banyak teori Barat yang kurang cocok dengan
realitas masalah sosial di Asia. Selama itu pula hanya sedikit karya
ilmuwan sosial yang berhasil menciptakan mahzab pemikiran ilmu
sosial yang dinasionalisasi, dilokalkan sesuai dengan ciri khas
negara-negara di Asia. Dominasi teori Barat jelas terlihat, hal
tersebut terjadi karena tingginya derajat yang disematkan pada teori,
sehingga mengukuhkan teori Barat baik klasik maupun kontemporer
sebagai pusat perdebatan teoretis.
Akibat dari dominasi tersebut muncul ketergantungan dari
negara-negara di Asia terhadap perspektif teori sosial Barat.
Kebergantungan intelektual dapat dilihat baik dalam struktur
kebergantungan akademis maupun dari relevansi ide-ide yang
berlatar asing. Kebergantungan akademis dapat diukur dari
ketersediaan relative dana dunia pertama untuk riset, prestise yang
dilekatkan pada publikasi jurnal Amerika dan Inggris, kualitas tinggi
pendidikan universitas Barat dan banyak indicator lainnya.
Hegemoni teori sosial Barat tidak bisa dipungkiri masih
menjadi mahzab yang selalu menghiasi bangku perkualiahan. Dalam
sosiologi, jika akan mengetahui tentang kapitalisme maka
rujukannya selalu teori yang dikemukakan Karl Marx, apabila ingin
tahu tentang legitimasi dan birokrasi, maka acuannya Max Weber
sedangkan apabila berbicara gender pasti yang dilihat teori feminis.
Penggunaan teori-teori tersebut dikarenakan teori memungkinkan
dan membantu pemahaman yang lebih baik terhadap segala sesuatu

10
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A.

dalam tahap intuitif. Teori selalu bersifat majemuk dan multisentral,


sehingga terkadang teori menjadi sulit dan harus melihat pada
teoretisi secara khusus.

B. Persoalan Ilmu Sosial dalam Perkembangannya di Indonesia


Persoalan pelik dalam perkembangan ilmu sosial di Indonesia
dimulai dari ketidakmapuan dan ketidakpercayaan ilmuwan,
akademisi terhadap pemikiran orisinal yang bersumber dari
masyarakat. Ketidakpercayaan ini menjadi penyakit yang
menggerogoti ilmuwan, karena tanpa sadar memaksa peneliti untuk
menggunakan, menduplikasi teori-teori Barat yang dianggap sebagai
pusatnya ilmu.
Beberapa masalah kemudian dimunculkan untuk melihat
persoalan yang muncul dalam perkembangan ilmu sosial. Persoalan
perkembangan ilmu sosial diadaptasi dari pemikiran Syed Farid
Alatas sebagai berikut:
1. Ada bias eurosentris sehingga ide, model, pilihan masalah,
metofologi, teknik bahkan prioritas riset cenderung semata-
mata berasal dari Amerika, Inggris, Perancis dan Jerman.
2. Ada pengabaian umum terhadap tradisi filsafat dan sastra lokal.
3. Kurangnya kreativitas atau ketidakmampuan para ilmuwan
sosial untuk melahirkan teori dan metode yang orisinal. Ada
kekurangan ide-ide orisinal yang menumbuhkan konsep baru,
teori baru dan aliran pemikiran baru.
4. Mimesis (peniruan) terlihat dalam pengadopsian yang tidak
kritis terhadap model ilmu sosial Barat.
5. Diskursus Eropa mengenai masyarakat non-Barat cenderung
mengarah pada konstruksi esensialis yang mengkonfirmasi
bahwa dirinya adalah kebalikan dari Eropa.
6. Tiadanya sudut pandang minoritas
7. Adanya dominasi intelektual negara dunia ketiga oleh kekuatan
ilmu sosial Eropa.
8. Telaah ilmu sosial dunia ketiga dianggap tidak penting sebagian
karena wataknya yang polemis dan retorik plus konseptualisasi
yang tidak memadai.
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A

Beberapa permasalahan sosial yang dimunculkan oleh Syed


Farid Alatas tersebut menjadi cambuk bagi pengembangan ilmu
sosial di dunia Timur. Ilmu sosial tidak berkembang di dunia Timur
sendiri terutama di Indonesia juga dipengaruhi oleh psikologis dan
perilaku dari kalangan ilmuwan dan akademisi yang tidak focus pada
pengembangan keilmuan. Kebanyakan ilmuwan merasa menjadi
‘bos’ dimana ‘pelayan’ telah memberikan banyak kenikmatan dalam
bentuk teori-teori jadi. Hanya saja para ‘bos’ ini tidak pernah terjun
langsung di masyarakat untuk melihat sejauh mana teori-teori yang
dicomot dari ilmuwan Eropa cocok dan pas ketika diterapkan untuk
membaca permasalah yang ada di Indonesia. Banyak ilmuwan di
Indonesia ketika sudah menikmati jabatan structural menjadi lupa
akan kewajiban untuk mengembangkan dan mencetak pengetahuan
baru yang berbasis pada kehidupan nyata masyarakat.

C. Orientalisme: Pandangan Barat terhadap Timur


Diskursus yang berkembang di Barat menempatkan Timur
sebagai bagian dari obyek yang menarik untuk dikaji. Barat
kemudian mulai berpikir untuk mengkaji kebudayaan Timur melalui
sebuah ilmu yang kemudian dikenal sebagai orientalisme yaitu ilmu
yang mempelajari tentang ke’Timuran’.
Kata Timur sendiri digunakan untuk merujuk asia baik secara
geografis, moral maupun budaya, dengan kata lain orang Barat
memandang Timur secara berbeda bahkan berkebalikan. Kondisi ini
jugalah yang mendorong orang ‘Timur’ untuk melihat pula Barat
secara berbeda.
“secara langsung penduduk-penduduk pribumi (Timur)
memiliki perasaan naluriah bahwa pihak-pihak asing yang berurusan
dengan mereka tidak disokong oleh kekuatan, kewenangan, simpati
dan dukungan yang penuh dan ikhlas dari negara yang mengirim
mereka. Penduduk-penduduk ini merasa kehilangan semua sense of
order-nya yang menjadi basis peradaban mereka”
Konteks itulah yang memunculkan orientalisme sebagai suatu
kekuatan budaya yang secara halus menghegemoni Timur. Identitas
Barat atas dunia Timur tersebut bukan sekedar dari usaha Barat

12
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A.

sendiri, melainkan juga dari serangkaian “manipulasi cerdas” yang


diterapkan oleh Barat untuk mengidentifikasi Timur
Permasalahan kemudian timbul ketika Timur sudah
dipersepsikan oleh Barat dan relasi pun timbul secara bersamaan,
dimana disatu sisi Timur pun merasa akhirnya benar-benar menjadi
orang Timur. Karena diperoleh dari kekuatan-kekuatan Barat, maka
pengetahuan tentang Timur pada akhirnya benar-benar menciptakan
“orang Timur”. Menurut Cromer dan Balfour, orang Timur dilukiskan
sebagai orang yang diadili/terdakwa, orang yang dikaji dan
dipaparkan, orang yang didisiplinkan atau bahkan sebagai orang
yang diilustrasikan. Intinya adalah bahwa dalam setiap kasus di atas,
orang Timur hampir selalu dikendalikan dan direpresentasikan oleh
struktur-struktur yang mendominasinya.
Tampaknya ‘keTimuran” itu tanpa sadar menjadi hambatan
bagi pengembangan keilmuan di Timur, sehingga sampai sekarang
masih terjajah. Dengan kata lain orientalisme berhasil mengalahkan
kultur keTimuran itu sendiri.
Bagi Said sendiri orientalisme pada hakikatnya tak lebih
sebagai bentuk “legitimasi” atas superioritas kebudayaan Barat
terhadap inferioritas kebudayaan Timur. Ada hegemoni cultural
sebagai praktik tak berkesudahan yang terus berlangsung dalam
wacana orientalisme.
Pada level strategi pengembangan ilmu-ilmu sosial di
Indonesia, menurut penulis nampaknya perlu dipertimbangkan
untuk mengkombinasikan antara berbagai pemikiran cendekiawan
dielaborasi pada tingkat yang lebih real misalnya pada wilayah
institusi pendidikan.

D. Tawaran Mengatasi Kemadegan Ilmu Sosial


Ilmu Sosial Profetik (ISP) dan kegiatan ‘tarbiyah siyasah’, yang
disampaikan oleh al marhum Kutowijoyo dan Musthofa Masyhur,
kiranya mampu memberikan gambaran bahwa tarbiyah memiliki
makna dan urgensi yang sangat sentral bagi proses transformasi
masyarakat menuju masyarakat yang Islami. Kegiatan tarbiyah jika
dikaitkan dengan konsep profetik kiranya dapat dirumuskan dengan
proposisi sebagai berikut. Kegiatan tarbiyah adalah merupakan
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A

ikhtiar yang aksiomatik yang harus ada demi hadirnya umat yang
terbaik (khoiro umat). Kegiatan tarbiyah setidak-tidaknya harus
mampu mengantarkan manusia secara individu dan umat secara
umum, agar mampu membangun instrumen untuk mengajak
kebaikan (al ma’ruf, humanisme), memiliki kapasitas untuk
mencegah terjadinya kejahatan( al mungkar,liberasi) serta
mengokohkan keimanan kepada Allah ( keimanan,transedental).
Kiranya perlu diketengahkan definisi tarbiyah secara etimologi
memiliki arti Lihat, Abdurrahman An Nahlawi, Ushulut Tarbiyah
Islamiyah wa Asalibiha fil Baiti wal Madrasati wal Mujtama, Penerbit
Dar Al- Fikr Al –Mu’asyir, Bairut Libanon, 1403. Dalam kamus bahasa
Arab setidak-tidaknya dapat ditemukan tiga akar kata untuk istilah
tarbiyah: (1) raba-yarbu (bertambah dan berkembang), (2) rabiya-
yarba (tumbuh dan berkembang), dan (3) rabba-yurobbi
(memperbaiki, mengurusi kepentingan, mengatur, menjaga atau
merawat, dan memperhatikan). Ketiga akar kata tarbiyah tersebut
secara muatan dan substansinya saling berkaitan dan mendukung.
Selain itu, ketiga akar kata tarbiyah tersebut digunakan pula secara
luas dalam Al-Qur`an dan syair-syair bahasa Arab. Di samping itu,
dalam perbendaharaan bahasa Arab, dapat ditemukan pula beberapa
kata yang searti dan senada dengan kata tarbiyyah, yaitu kata
ziyadah, nas’ah, taghdiyah, ri’ayah dan muhafazhah (penambahan
atau pembekalan, pertumbuhan, pemberian gizi, pemeliharaan dan
penjagaan). Abdurrahman Al-Bani menyatakan, dalam dunia
tarbiyah selalu tercakup tiga unsur berikut: (1) menjaga dan
memelihara, (2) mengembangkan bakat dan potensi sesuai dengan
karakter dan karakteristik mutarabbi, dan (3) mengarahkan seluruh
potensi sampai mencapai kebaikan dan kesempurnaan. Dalam kamus
Mu’jam Al-Wasith disebutkan, kalimat ‘rabba Al-rajul waladahu’,
berarti merawat. Sedangkan kalimat ‘rabb Al-qawma’, berarti
memimpin. Meskipun secara harfiah masing-masing kata-kata
tersebut memiliki arti khasnya, namun dalam proses aktivitas
tarbiyah, satu sama lainnya saling melengkapi dan berhubungan
dalam maknanya. Sedangkan definsi Tarbiyah yang dimengerti oleh
komunitas jamaah ikhwan (manhaj tqrbiyah ’indah ikhwanul
muslimin) adalah cara ideal dalam berinteraksi dengan fitrah

14
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A.

manusia, baik secara langsung melalui kata-kata maupun secara


tidak langsung dalam bentuk keteladanan, sesuai dengan sistem dan
perangkat khusus yang diyakini, untuk memproses perubahan dalam
diri manusia menuju kondisi yang lebih baik.
Paralel dengan terminologi ’tarbiyah’ konsep kunci yang juga
menjadi isu sentral dalam aktivitas gerakan dakwah ’tarbiyah’,
adalah tentang “platform jamaah” yang komprehensif, yakni seruan
kepada syumuliyatul Islam ( kembali kepada ajaran Islam yang utuh
dan menyeluruh). Dalam konteks ini Islam diyakini sebagai suatu
sistem yang lengkap,menyentuh seluruh segi kehidupan. Ia adalah
negara dan tanah air, pemerintahan dan umat, ahklak dan
kekuatan,kasih sayang dan keadilan, peradaban dan undang-
undang,ilmu dan peradilan. Materi dan kekayaan alam, jihad dan
dakwah,pasukan dan pemikiran, sebagaimana ia adalah aqidah yang
lurus dan ibadah yang benar.
Seperti terefleksikan dalam ungkapan yang dikutip pada awal
tulisan bab ini. Bahwa kegiatan ”tarbiyah”, dalam makna ideologis
sebagaimana dipahami oleh Musthofa Masyhur, menempati posisi
yang sangat sentral bagi eksistensi gerakan tarbiyah di Indonesia.
Kalangan aktivis gerakan Tarbiyah meyakini suatu konsepsi
bahwa perubahan masyarakat dan politik itu dimulai dari ikhtiar
untuk merekonstruksi kepribadian Muslim, melalui proses tarbiyah.
Melalui proses tarbiyah diupayakan lahir kader-kader yang memiliki
kapasitas kepribadian yang memiliki kualitas tertentu yang efektif
sebagai bagian dari agent perubahan sosial (agency of changes),
kemudian setelah itu melangkah pada tahap berikutnya yakni
mengelola diri melalui dan di dalam organisasi–melalui partai
politik--, diteruskan dengan tahap selanjutnya dengan bekal tersebut
kader gerakan tarbiyah agar dapat memberikan kontribusi yang
spesifik pada setiap bidang dan tingkat aspek kehidupan
bermasyarakat dan bernegara.

E. Ilmu Sosial Profetik


Persoalan serius yang dihadapi oleh ilmuwan sosial di
Indonesia adalah bagaimana menghadirkan ilmu sosial yang mampu
untuk melakukan transformasi. Mengapa perlu memfokuskan pada
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A

pertanyaan ini. Hal ini dikarenakan ilmu sosial pada dekade ini masih
mengalami kemandekan. Ilmu sosial yang dibutuhkan adalah bukan
hanya mampu menjelaskan fenomena sosial, namun juga
mentransformasikan fenomena sosial tersebut, memberi petunjuk
kearah mana transformasi dilakukan, untuk apa dan oleh siapa.
Menurut refleksi Kuntiwijoyo dalam menghadapi persoalan ini ilmu
sosial akademis dan ilmu sosial kritis, belum bisa memberikan
jawaban yang jelas.
Jalan keluar yang ditawarkan oleh Kuntowijoyo adalah dengan
membangun ilmu sosial profetik, yaitu suatu ilmu sosial yang tidak
hanya menjelaskan dan mengubah fenomena sosial tetapi juga
memberi petunjuk ke arah mana transformasi itu dilakukan, untuk
apa dan oleh siapa. Oleh karena itu ilmu sosial profetik, tidak sekedar
mengubah demi perubahan, tetapi mengubah berdasarkan cita-cita
etik dan profetik tertentu. Dalam pengertian ini maka ilmu sosial
profetik secara sengaja memuat kandungan nilai dari cita-cita
perubahan yang diidamkan masyarakatnya. Menurut Kuntowijoyo
arah perubahan yang diidamkan adalah didasarkan pada cita-cita
humanisasi/emansipasi, liberasi dan transendensi, suatu cita-cita
profetik yang diderivasikan dari misi historis Islam sebagaimana
terkandung dalam surat Ali Imron ayat 110.” Engkau adalah umat
terbaik (khoiro umat) yang dikeluarkan di tengah manusia untuk
menegakan kebaikan ( al ma’ruf), mencegah kemungkaran (al
munkar) dan beriman kepada Allah (transendental).” Dengan muatan
nilai inilah yang menjadi karakteristik ilmu sosial profetik, ilmu
sosial profetik diarahkan untuk rekayasa masyarakat menuju cita-
cita sosio-etiknya di masa depan.
Dengan Ilmu sosial profetik, akan dilakukan orientasi terhadap
epistemologi, yaitu orientasi terhadap mode of thought dan mode of
inquiry, bahwa sumber ilmu pengetahuan itu tidak hanya dari rasio
dan empiris, tetapi juga dari wahyu. Dengan gagasan ilmu sosial
profetik ilmuwan sosial Muslim tidak perlu terlalu khawatir yang
berlebihan terhadap dominasi ilmu sosial Barat di dalam proses
theory building. Islamisasi pengetahuan dengan proses peminjaman
dan sistesis ini tidak harus diartikan sebagai westernisasi Islam.

16
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A.

Dalam pencermatan penulis Kuntowijoyo, telah merintis


melalui sebuah ikhtiar sebagaimana dapat disimak dalam analisis
yang dilakukannya dengan melakukan kritik sekaligus
penyempurnaan pada tipologi Santri, Abangan dan Priyayi yang
dikonseptualisasikan oleh Clifford Geertz, berikut ini.
Diantara kritik dan sekaligus penyempurnaan dari konsep
Geertz ini dilakukan oleh Kuntowijoyo. Menurut Kuntowijoyo, pada
saat ini (dekade delapan puluhan-sembilan puluhan) pengelompokan
abangan-santri secara horisontal (berdasarkan pengamalan
keagamaan) dan priyayi-wong cilik (berdasarkan stratifikasi sosial)
telah mengalami perubahan karena adanya konvergensi sosial.
Terjadi mobilitas sosial dari wong cilik ke atas, dan sebaliknya
priyayi ke bawah. Sementara itu golongan Santri dan Abangan sudah
membuka diri sehingga terjadi proses saling mengisi. Akibatnya,
batas-batas kultural menjadi sulit dikenali lagi. Sungguhpun
demikian secara sosiologis, kehidupan keagamaan, setiap pemeluk
agama memiliki perangkat aturan dan pola perilaku sebagai
pengatur tata hubungan komunitas kelompok tersebut. Untuk
pemeluk agama Islam aturan nilainya bersumber pada Al Qur’an,
Sunnah Rosulullah, atau sistem nilai lainnya yang diadaptasi tetapi
tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah.
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A

Bab 2

Pendahuluan
Ilmu sosial Indonesia memiliki warisan yang bercampur-aduk
dan identitas yang beragam pula. Sebagian amatiran, sebagian
profesional, sebagian lain bersifat literer. Namun warisan paling
mendasar, dalam arti kualitas karakternya yang paling jelas tampak
dari latar belakangnya yang bercampur aduk itu, kemudian diikuti
oleh siklus perkembangan yang berulang dengan tambal-sulam di
sana sini. Selama hampir dua abad perkembangan ilmu-sosial di
Indonesia kita dapat menyaksikan garis perkembangan ilmu-ilmu
sosial Indonesia dari bentuknya yang paling awal hingga masa kini.
Dewasa ini berkembang apa yang disebut indigenisasi ilmu-ilmu
sosial Indonesia, tetapi hasilnya lebih merupakan seruan
keprihatinan dan tawaran-tawaran parsial ketimbang solusi yang
menyeluruh. Kertas kerja ini membincangkan konstruksi ilmu sosial
di Indonesia dalam perspektif komparatif, khususnya dengan
memperbandingkan perkembangan ilmu sosial dari masa ke masa,
khususnya dalam kaitannya dengan upaya membaca perkembangan
dewasa ini. Pertanyaan pokoknya ialah, perubahan fundamental
macam apakah yang telah terjadi selama hampir dua abad terakhir
dan kesulitan-kesulitan apakah yang merintanginya sejak beberapa
dekade terakhir, sehingga ilmu sosial di negeri ini terkesan berjalan
di tempat dan masih ditanggapi dengan nada pesimistik? Solusi
macam apakah yang mungkin dapat ditempuh ke depan, sehingga
18
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A.

terbuka peluang untuk mengembangkan ilmu sosial transformatif?


Argumen pokok yang ingin dikemukakan dalam kertas ini ialah
bahwa keberhasilan ilmu-ilmu sosial di Indonesia mestilah dilihat
dari sudut pandang sejauh mana sumbangan Ilmu sosial Indonesia
berhasil memperkaya pemahaman kita terhadap pelbagai segi
kehidupan masyarakat Indonesia, baik teoretis maupun metodologis
dan/ atau datanya.
Garis Besar Perkembangan Ilmu Sosial Indonesia1
Sejarah ilmu sosial di Indonesia dapat dilacak ke dalam tiga
fase perkembangan berbeda, yaitu, ilmu sosial kolonial (indologi);
ilmu sosial develomentalis; dan ilmu sosial kontemporer. Masing-
masing memiliki karaktersitik berbeda, bukan saja jiwa zaman yang
melatar-belakanginya, melainkan juga karaktersitik isi dan orientasi
keilmuan-nya. Halaman-halaman berikut ini berupaya
meringkaskannya ke dalam sub-judul berikut.

A. Fase Awal: Indologie atau Ilmu Sosial Kolonial


Ilmu sosial sebagai corpus pengetahuan yang terlembaga pada
mulanya berasal dari kajian indologie, yakni suatu lembaga yang
dibentuk oleh pemerintah kolonial di Leiden pada tahun 1848 untuk
menyiapkan bekal pengetahuan tentang masyarakat negeri jajahan
bagi calon administrator yang akan dikirim ke Hindia-Belanda
(Indonesia zaman kolonial). Zeitgeist (iklim intelektual) yang melatar
belakangi gagasan ini ialah proses pasifikasi daerah jajahan di Hindia
Belanda. Artinya, setelah peperangan dan penaklukan atas sebagian
besar wilayah Indonesia, rejim kolonial memerlukan pengetahuan
yang lebih mendalam untuk memahami untuk menguasai
masyarakat negeri jajahan. Untuk itu didirkanlah pusat kajian
indologi. Mula-mula terpisah dari universitas, tetapi sejak 1891,
berkembang menjadi salah satu jurusan di Universitas Leiden dan
masuk ke Indonesia dengan semangat orientalisme lewat lembaga-
lembaga kolonial di luar institusi akademik. Yang paling penting di
antaranya ialah Het Kantoor voor Inlandsche Zaken (didirikan 1899)

1
Pembahasan pada bagian ini sebagian besar bersandar pada tulisan saya (Mestika
Zed, 2006).
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A

yang berada di bawah kendali Departemen Pendidikan dan satu lagi,


Het Kantoor voor Volkslectuur (1908), yang kemudian menjadi cikal-
bakal Balai Pustaka. Pada tahun 1920-an, didirikanlah dua perguruan
tinggi yang terkait langsung dengan ilmu sosial, masing-masing ialah
Sekolah Tinggi Hukum (Rechtshogeschool, RHS) didirikan 1924 dan
Fakultas Sastra dan Filsafat (Faculteit der Letteren en Wijsbegeerte,
FLW) tahun 1940. Ilmu-ilmu sosial versi indologie kemudian
berkembang lewat kedua lembaga perguruan tinggi warisan zaman
kolonial ini.
Beberapa ciri umum perkembangan ilmu sosial pada periode
kolonial secara kasar dapat diidentifikasi sebagai berikut.
1. rezim kolonial datang ke Indonesia tidak hanya membawa
perangkat birokrasi kolonial, melainkan juga rejim ilmu
pengetahuan. Itulah yang disebut indologie, yaitu suatu corpus
pengetahuan yang didukung oleh rejim kolonial, dengan
keahlian gado-gado. Para indolog pada dasarnya adalah
‘manusia-manusia ensiklopedis’ warisan aufkalrung Eropa abad
ke-18, dalam arti bahwa mereka menguasai banyak bidang
sekaligus atau berpindah-pindah dari bidang yang satu ke yang
lain. Jadi kendati terdapat bidang-bidang keahlian dalam
akademi Indologie seperti geografi sosial, antropologi, sosiologi,
etnologi, filosofi, studi Islam, hukum adat dan linguistik, pada
masanya seorang indolog menguasai banyak bidang, sedang
mata kuliah sejarah masih tergabung ke dalam semua mata
kuliah tersebut sebelum didirikan jurusan sejarah dan filsafat
tahun 1940 (Bachtiar, 1974, p. 17).
2. sesuai dengan sifatnya, paradigma ilmu sosial versi indologi
“knowledge is power”, manakala kelompok disiplin itu kian
identik dengan ‘ilmu negara’, yang mengabdikan dirinya untuk
kepentingan kekuasaan dan jika perlu ilmuwannya harus masuk
ke dalam birokrasi pemerintah kolonial (Fasseur, 2003). Selaku
demikian ilmu sosial kolonial kecuali sangat diwarnai oleh bias
Eurosentrisme dengan interest ideologi kolonial, indologi
dengan sendirnya juga mengenalkan ilmu-ilmu sosial terapan
(applied sciences) untuk kepentingan kolonial. Paling terkemuka
di antaranya ialah karya Snouck Hurgronje (teori asimilasi);

20
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A.

3. ilmu sosial Indonesia generasi pertama ini, hampir tanpa kecuali,


terdiri dari para sarjana Belanda dari pelbagai latar belakang
disiplin keilmuan dan karya-karya mereka mampu melahirkan
sejumlah teori-teori sosial yang masih berpengaruh, sampai hari
ini, antara lain seperti J.H. Boeke (teori ekonomi ganda), B.J.O.
Schrieke dan yang lebih muda W.F. Wertheim (teori perubahan
sosial a la Weberian dan Marxist), Van Volenhoven (teori hukum
adat); Furnival (sarjana Inggris) tentang ‘masyarakat majemuk’,
G.J. Ressink (tentang mitos 350 penjajahan Belanda) sekedar
untuk menyebut beberapa di antara mereka.
Bagaimanapun indologie sebagai suatu bentuk pengetahuan
ilmu sosial avant-la-lettre (bentuk yang lebih dini) menjadi basis
yang penting dalam upaya membangun sebuah aspirasi, proposisi
dan pencarian legitimasi. Aspirasi di sini masudnya ialah bahwa studi
tentang prilaku manusia (dalam hal ini manusia Indonesia) sejak
semula dikembangkan secara sadar sebagai upaya untuk mengerti
dinamika masyarakat negeri jajahan lewat jalan ilmu pengetahuan
indologie. Jalan ini terbukti ampuh karena selama sekitar satu abad
pertama penjajahan Belanda di Indonesia perang Belanda melawan
‘pemberontakan’ pribumi sebenarnya tidak selamanya dimenangkan
dengan ujung bedil, melainkan berkat keunggulan rejim ilmu
pengetahuan di belakangnya.

B. Ilmu Sosial Developmentalis


Selepas PD II, khususnya sejak tahun-tahun 1950-1960-an
terjadi fase pergeseran penting dalam perkembangan ilmu sosial
Indonesia dari mainstream sebelumnya (indologie) yang lebih
berorientasi Eurosentrisme kepada ilmu sosial baru yang berkiblat
ke Amerika Serikat (AS). Pergeseran ini di satu pihak berkaitan erat
dengan zeitgeist yang mengitarinya, khususnya terkait dengan
perubahan dramatis kondisi politik dalam negeri Indonesia di satu
pihak dan konstelasi politik dunia sezaman dalam arti luas di lain
pihak. Yang pertama berhubungan dengan proses dekolonisasi, lewat
perang kemerdekaan paska 1945 dan sentimen anti-Belanda yang
bermuara pada ‘pengusiran’ semua guru besar Belanda yang
mengajar di perguruan tinggi di Indonesia sejak awal 1950-an. Yang
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A

kedua berkenaan dengan munculnya persaingan global antara Blok


Barat (kapitalis) dan Blok Timur (komunis) dalam hubungan
pembangunan jejaring baru dari hubungan kolonial ke hubungan
ideologi global antara negara-negara bekas negeri jajahan dengan
patron mereka di kedua blok tersebut.
Putusnya hubungan antara bekas negeri induk (Belanda) dan
koloninya (Indonesia) sejak tahun 1950, ternyata berdampak besar
terhadap perkembangan ilmu sosial di Indonesia selanjutnya. Salah
satu di antara ialah bahwa untuk beberapa lama Indonesia tak lagi
berkiblat ke Belanda, melainkan ke Amerika Serikat (AS).2 Bukan
kebetulan jika selepas PD I, AS tampil sebagai negara adidaya
ekonomi dunia berhadapan dengan saingan utamanya, Uni Soviet
(sekarang Rusia). ’Perang dingin’ untuk memenangkan pengaruh
global ini tak hanya memerlukan dukungan industri senjatanya,
melainkan juga lewat akses pengetahuan. Berkembangnya studi
kawasan (area studies) sebagai bentuk inovasi akademis yang
penting dalam ilmu-ilmu sosial paska PD II, tetapi pada saat yang
sama juga tidak terlepas dari kepentingan ideologi global. Program-
progam studi kawasan yang dirancang untuk menghasilkan para
spesialis di kawasan tertentu. Di Indonesia pengaruh lembaga “The
Social Science Research Council” yang dibentuk AS selepas Perang
Dunia II membuka jalan bagi kerja sama akademik antara kedua
negara dengan mengirimkan sejumlah mahasiswa AS ke Indonesia
dan sebaliknya (Utrecht, 1973: 40).
Para sarjana yang terlibat di dalam program itu biasanya
berasal dari latar belakang disiplin ilmu sosial yang berbeda-beda –-
dan kadangkala juga dari beberapa displin ilmu alam – atas dasar
kesamaan kepentingan di suatu kawasan (atau bagian dari kawasan)
tertentu. Studi kawasan secara definitif menonjolkan sifat
“multidisipliner”. Ide dasarnya sangat sederhana, yaitu sebuah zona
geografis dan sekaligus kawasan studi yang konon dianggap memiliki
koherensi budaya, sejarah dan seringkali juga bahasa. Maka
muncullah studi kawasan untuk Asia Tenggara, di samping studi

2
Tentang perkembangan tradisi akademik di bidang ilmu-ilmu sosial paska-perang di
Belanda lihat Philip Quarles van Ufford, Frans Husken dan Dirk Kruijt , eds. (1989).

22
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A.

regional untuk kawasan Amerika Latin, Afrika, Uni Soviet, Asia Timur
(Cina dan Jepang), Asia Selatan, dan belakangan Eropa Barat
(Wallerstein, 1997: 57).
Studi kawasan Asia Tenggara, khususnya Indonesia, dianggap
menjadi labor bagi kerja sama akademik paling menarik bagi AS.
Bahkan menurut Benda (1982:13) tidak ada satu pun negara di
kawasan Asia Tenggara yang memperoleh perhatian lebih besar dan
dukungan dana yang lebih banyak dari AS selain Indonesia. Negara
adidaya itu tidak hanya mengeluarkan dana besar untuk program
bantuan pembangunan, melainkan juga program pertukaran lewat
jalur pendidian, dengan mengirim tim penelitinya ke Indonesia,
sebaliknya memberi kesempatan kepada sarjana Indonesia untuk
melanjutkan studinya di AS. Salah satu program kerja sama yang
lebih awal berada di bawah suatu kelompok kerja proyek penelitian
MIT (Massachussettss Institute of Technology) yang datang ke
Indonesia pada pertengahan 1950-an. Mereka adalah sejumlah
mahasiswa tingkat doktoral AS yang bekerja untuk penelitian
disertasi mereka. Dalam perkembangan kemudian, proyek ini, tidak
hanya menghasilkan sejumlah disertasi doktor (Ph.D), tetapi juga
berkelanjutan dengan menerbitkan sejumlah buku yang kemudian
menjadi bahan rujukan yang penting dalam studi ilmu-ilmu sosial di
Indonesia. Dua seorang yang paling terkemuka di antara mereka
karena reputasi akademik mereka yang mendunia ialah Clifford
Geertz, seorang antropolog yang sangat produktif dan dan kemudian
Ben Anderson dalam ilmu politik dan sejarah.
Dengan demikian, ilmu sosial di Indonesia secara lambat laun
tapi pasti mulai bergeser dari tradisi indologie yang berorientasi
Eurosentrisme ke ilmu sosial developmentalis, yang berorientasi AS.
Istilah ilmu sosial developmentalis (pembangunan) bukan tidak
ditemukan dalam katalog epsitemologi ilmu sosial yang pernah
berkembang sampai saat ini, terutama dalam kelompok disiplin-
disiplin tertentu seperti sosiologi, antropologi, sejarah dan ekonomi.
Beberapa cirinya dapat diidentifikasi sebagai berikut.
1. Paradigma ilmu sosial developmentalis, pada dasarnya tidak
mengalami perubahan signifikan dengan pendahulunya, indologie,
atau ilmu sosial kolonial. Hanya saja zeitgeist yang melatar-
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A

belakanginya sudah berbeda. Dengan munculnya negara-negara


baru yang merdeka selepas PD II, motif ideologis negara-negara
Barat dalam menjalin kerja sama akdemik dengan negara-negara
baru itu sangat jelas di dalamnya, khususnya bentuk
ketergantungan baru negara penjajahan dengan “tuan” mereka
yang baru.
2. Asumsi dasar atau paradigmanya dapat disederhanakan dengan
mengandaikan bahwa kawasan non-Barat secara analitis sama
seperti kawasan-kawasan Barat, tetapi sekaligus tidak sama
(Wallerstein 1997: 61). Sama dalam arti bahwa ada sebuah jalur
modernisasi (pembangunan) yang sama untuk semua bangsa
(rakyat, kawasan dan potensinya) dan karena itu semuanya sama.
Tetapi bahwa bangsa-bangsa adalah berbeda satu sama lain
karena mereka memang berada pada geografi dan tahap yang
berbeda-beda, dan karena itu mereka sungguh tidak sama. Istilah
developmentalis (“pembangunan”) digunakan untuk mengacu
pada suatu premis yang berakar pada teori-teori modernisasi.
Modernisasi memiliki watak ideologi dalam dirinya di mana
model Barat juga dapat diupayakan agar dapat diaplikasikan ke
kawasan non-Barat dengan cara menafsirkan perkembangan
historis dunia Barat sebagai sebuah kematangan (kemajuan) dan
dengan sendirinya juga dapat menjadi model bagi negara-negara
terkebelakang alias “dunia ketiga”.
3. Lebih berorientasi pada studi kawasan (dalam hal ini Asia
Tenggara, khususnya Indonesia) yang menjadi garapan ilmuwan
sosial pada masa ini merupakan unit kajian yang dapat ditarik
paralel ke dalam orbit akademik dan sekaligus ideologi politik AS.
Di situ ilmuwan sosial bekerja secara bersama-sama menangani
masalah-masalah pembangunan ekonomi secara komprehensif
dengan mengadopsi teori-teori modernisasi sebagai
mainstreamnya.
4. Erat kaitannya dengan butir di atas, konsep-konsep utama yang
digunakannya seperti Gemeinschaft-Geselschaft, solidaritas
mekanis dan organik, folk-urban (desa-kota), keterbelakang
(‘tradisional’) dan maju (‘modern’), agraris dan industrial, kaya
dan miskin, dan seterusnya. Kosep-konsep teoretis ini tidak hanya

24
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A.

menjadi alat analisis yang sangat digemari, tetapi juga


mencerminkan titik perhatian mereka terhadap masalah-masalah
‘pembangunan’ di negara Dunia Ketiga (Belakangan citra hierarkis
dari ”Dunia Ketiga” diubah sedemikian rupa menjadi “Tiga Dunia”.
Kalangan ilmu sosial Marxist umumnya sudah lama mencurigai
dan mengeritik teori-teori modernisasi, termasuk yang
dikembang AS di Indonesia sebagai ‘borjuis’ dan ahistoris
(Utrecht, 1973; Wertheim, 1984).
5. Dari sudut pendekatan teoretis dan metodologinya, juga terjadi
beberapa pergeseran penting. Kalau studi-studi indologie tadinya
lebih menekankan pendekatan etnografis, studi ilmu sosial
developmentalis lebih pada kajian pembangunan dengan
pendekatan budaya dan metode komparatif (Subianto, 1989: 67).
Dalam hubungan ini, penting disebutkan nama Clifford Geertz
(teori involusi pertanian dan perilaku agama Jawa), Ben Anderson
(teori nasionalisme dan konsep kekuasaan Jawa). Dalam hal ini
ada dua format pendekatan akademis yang berkembang dalam
ilmu sosial developmentalis, yang secara secara langsung
mempengaruhi teori-metodologi ilmu sosial Indonesia. Format
pertama, ialah apa yang disebutnya dengan “liberalisme anti-
kolonialisme” dan “metode historis”; Format kedua ialah teori-
teori “liberalisme imperial dan metode komparatif” (Anderson,
1982: 71-3). Yang pertama lebih banyak dilhami oleh para pionir
studi Indonesia di AS antara lain Rupert Emerson, H.J. Benda,
George MacT. Kahin (politik), John Echols, Clifford Geertz
(antropolog), Clire Holt, Guy Parker, Karl J. Pelzer,3 dan barangkali
bisa ditambahkan dua nama Bruce Glassburner dan Benyamin
Higgins (keduanya ekonom). Namun penting dicatat, bahwa
meskipun masing-masing berasal dari disiplin ilmu yang berbeda-
beda, kedua format di atas sangat intens menggunakan
pendekatan historis.

3
Lihat catatan Daniel S. Lev dalam “Introduction” untuk buku Anderson dan Audrey
Kahin (eds.) (1982), hal. 2-3 dan ulasan Tamara (1997: 23ff) tentang generasi
pertama dan kedua ahli ilmu sosial Amerika Serikat sebagai kelompok “American
school”.
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A

6. Ilmu sosial developmentalis melahirkan ilmuwan sosial generasi


baru yang kini lebih sering disebut Indonesianists, yaitu pakar
asing yang mondial dan berkeahlian tentang Indonesia. Umumnya
terdiri dari sarjana Amerika dan kemudian juga sejumlah sarjana
asing lainnya yang belajar di AS, khususnya Jepang (Nakamura,
Takashi Siraishi, Tsyoshi Kato, Aiko Kurasawa – untuk menyebut
beberapa di antara mereka.
Begitulah, setidaknya sampai pertengahan 1960-an, ilmu sosial
yang ada di Indonesia tak lain ialah ilmu sosial yang diperkenalkan
oleh sarjana di universitas-universitas AS yang dibawa ke sini dalam
kerangka kerja sama riset dan pengembangan ilmu sosial di
Indonesia itu sendiri. Implikasi teoretis-metodologis dari
kecenderungan ini amat besar pengaruhnya terhadap perkembangan
selanjutnya. Beberapa di antaranya dapat diidentifikasi seperti yang
baru saja diidentifikasi karakteristiknya. Bersamaan dengan itu
Indonesia mulai melahirkan segelintir ilmuwan sosial Indonesia
generasi pertama, yaitu mereka yang memperoleh pendidikan tahun
1950-an. Sebagian di antaranya sempat mengenyam pendidikan
lewat guru-guru Belanda mereka –- untuk tidak mengatakan terdidik
secara indologies, seperti Soepomo (hukum), T.G.S. Moelia
(sosiologi), Koentjaraningrat (antropologi), Soekmono (arkeologi),
sedikit banyak Sartono Kartodirdjo (sejarah), Slamet Imam Santoso
(psikologi), Wijoyo Nitisastro (ekonomi), di samping sejumlah
sarjana humaniora seperti St. Takdir Alisyahbana, Prijono dan Slamet
Imam Mulyana, Porbatjaraka –- adalah murid-murid para sarjana
Belanda yang secara langsung dan tak langsung terkait dengan
tradisi indologie. Dalam tahun 1950-an, tak hanya dua orang di
antara mereka yang menduduki kursi guru besar (profesor) di
bidangnya, yaitu Soepomo dan T.G.S. Moelia. Meskipun demikian
sumbangan mereka sebagai peletak dasar ilmu sosial Indonesia tidak
bisa dinafikkan.

C. Ilmu Sosial Indonesia Kontemporer


Penggunaan istilah ilmu sosial Indonesia kontemporer di sini
hanyalah bersifat denotatif sekedar untuk menggambarkan arah dan
kecenderungan umum dalam perkembangan ilmu sosial selama Orde

26
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A.

Baru dan sesudahnya. Jadi istilah itu agak bersifat “arbitrer”, dan
pengertian semacam itu bisa dipahami dalam arti, bahwa dalam
banyak hal ia mencerminkan kelanjutan dari perkembangan
sebelumnya, tetapi pada saat yang sama beberapa ciri pokoknya
sebagaimana yang akan ditunjukkan berikut ini, masih tetap ada dan
bertahan sampai sekarang.
Untuk satu hal perlu dicatat, bahwa sampai pertengahan
pertama 1960-an kita agaknya belum bisa berbicara tentang statistik
perkembangan ilmu sosial Indonesia, baik mengenai profesi dan/
atau komunitas ilmuwan sosialnya, maupun lembaga penelitian dan
pendidikan ilmu-ilmu sosial yang lebih profesional. Namun sejak
awal Orde Baru, khususnya setelah memasuki tahun 1970-an --
sejalan dengan pulangnya sejumlah sarjana ilmu sosial yang
menyelesaikan studi mereka di luar negeri,4 tampaknya terdapat
loncatan-locatan penting.
Mengamati perkembangan ilmu sosial sampai tahun 1980-an,
pada umumnya orang berpendapat bahwa tingkat dukungan dan
minat pemerintah terhadap ilmu sosial di Indonesia melebihi negara
mana pun di Asia Tenggara (Mofit, 1983: 63). Peluang ini dalam satu
lain hal jelas merupakan buah yang disemaikan sejak tahun 1950-an,
ketika ilmu sosial developmentalis makin mengikis tradisi ilmu sosial
kolonial alias indologie. Jika kita menoleh kembali ke keadaan ilmu
sosial di masa Orde Baru, setidaknya ada beberapa karaktersitik
menarik untuk dicatatkan berikut ini.
1. Kian berkembangnya minat sarjana luar negeri untuk
mempelajari Indonesia. Mula-mula Amerika Serikat, kemudian
Australia dan beberapa negara Eropa seperti Inggris, Perancis,

4
Kuncaraningrat, ed. (1979), dan Taufik Abdullah (1983) telah mendokumentasikan
dengan baik data mengenai perkembangan ini, begitu juga pencapaian-pencapaian
ilmu sosial dan kemanusiaan, di samping rintangan-rintangan struktural yang
dihadapi selama dekade 1970-an dan awal 1980-an. Sekedar ilustrasi, nama-nama
sarjana ilmu sosial, termasuk ekonom Indonesia yang belajar di AS dan kembali ke
tanah air sekitar akhir 1950-an dan pertengahan 1960-an dan judul tesis mereka
(Master dan Ph.D. mereka) dapat ditemukan dalam Koentjaraningrat, ed (1979), pp.
269-285; Benny Subianto (1989): pp. 68 dan 70.
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A

Jerman dan belakangan juga di Eropa Utara yang berpusat di


Swedia dan Jepang.5
2. Bersamaan dengan kecenderungan ini ada dua gejala menarik
yang perlu dicatat: pertama masuknya kembali generasi baru
peneliti Belanda yang sudah ‘tercerahkan’ dalam paradigma baru
dalam “werkgroep” Indonesich studies dengan sejumlah bidang
studi (vakgroep) di berbagai universitas Belanda,6 menggantikan
mantel lama, indologie. Kedua timbulnya kesadaran baru di
kalangan sarjana Asia Tenggara tentang hubungan regional antar-
negara-negara di kawasan itu, yang sebelumnya tidak dikenal. Ini
tentunya sejalan proses-proses dekolonisasi politik paska PD II,
tetapi sejalan dengan itu rupanya terjadi semacam proses
“dekolonisasi metodologi”, ketika Asia Tenggara dimaknai sebagai
lapangan studi yang masuk akal (reasonable), suatu a tangible
field of study, seperti diajukan oleh O.W. Wolters (1994).
3. Tingginya kadar “parokhial” antardisiplin ilmu yang berbeda-beda
dalam rumpun ilmu sosial, baik ke luar mau ke dalam. Ke luar,
maksudnya klaim keabsahan pembagian utama ilmu pengetahuan
modern ke dalam tiga locus yang secara instrinsik dianggap
berbeda: rumpun ilmu alam, ilmu sosial dan ilmu kemanusiaan.
Ke dalam maksudnya perbedaan di antara disiplin-displin ilmu
sosial itu sendiri. Kedua-duanya sama parahnya karena masing-
masing saling mengabaikan dan bahkan melecehkan satu sama
lain, sehingga yang terjadi ialah “dialog si tuli”, meminjam istilah
Boerke (1985). Celakanya kelompok yang satu cenderung
memandang jelek yang lain, atau kalau bukan demikian saling

5
Tentang sejarah perkembangan studi Indonesia di berbegai belahan dunia, seperti
di Amerika Serikat antara lain lihat Utrecht (1973), Szanton (1981), Anderson and
Kahin (1982), Frederick (1989), Tamara (1997); di Australia lihat Viviani (1982),
Brewster and Reid (copy tt); di Eropa antara lain lihat Bahrin, et.al. (1981), khusus di
Inggris Basset (1981), Smith (1981), King (1989); di Perancis Pelras (1978), Lombard
(1981), Lecrec (1990); di Jerman Dahm (1975, 1991); di Belanda Uffords and Husken
eds. (1989).
6
Tentang internasionalisering (internasionalisasi) studi Indonesia di Belanda lihat
esei Frank Vermeulen, “Leiden word zwaartpunt voor Indonesiche studies” dalam
Mare, [Tabloid Universitas Leiden], 27 Januari 1990; Lihat juga Ufford, et.al. (1989).

28
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A.

menunjukkan kehebatannya. Ahli sejarah atau mahasiswa sejarah,


misalnya, seringkali dilecehkan dengan mengaggap pekerjaan
mereka hanyalah sebagai tukang kumpul fakta-fakta (facts-
collector) manusia yang telah mati; pekerja ilmu amatiran yang
rabun, karena tidak mempunyai teori, sesuatu mengingatkan kita
pada ejekan Herbert Spencer yang mengatakan bahwa sejarawan
hanyalah tukang angkat batu yang akan digunakan sosiologiwan
untuk membuat bangunan. Sebaliknya banyak sejarawan yang
memandang ilmuwan sosial sebagai orang yang suka
menggunakan jargon-jargon yang abstrak untuk menyatakan hal-
hal yang sudah jelas; tidak memiliki sense waktu dan tempat,
membenamkan individu ke dalam kategori-kategori yang kaku;
maka untuk menutup semua ini, mereka menyebut kegiatan
mereka sebagai hal yang ‘ilmiah’. Di beberapa tempat di
Indonesia, para dosen dan mahsiswa fakultas tertentu ikut
mendesak agar pindah ke atau bergabung dengan fakultas lain
karena beberapa alasan praktis, antara lain merasa ijazah cap
fakultas mereka kurang “bonafide” atau kurang dihargai oleh
pemerintah atau biro pelayanan tenaga kerja. Jadi berkaitan
dengan masalah kelembagaan dalam organisasi ilmu
pengetahuan.
4. Erat kaitannya dengan butir di atas, ialah ketidakjelasan atau
mungkin kerancuan dalam menyiasati perkembangan ilmu sosial
yang kelihatan makin tak terkendali, sehingga menimbulkan
kebingungan-kebingungan yang terkesan belum tersedia
jawabannya. Di satu pihak terdapat pengkotak-kotakan yang
semakin tajam dalam rumpun ilmu-ilmu sosial dan di lain pihak
terjadi pencagihan sepesialisasi yang kelihatan semakin
mendekatkan mereka satu sama lain.
5. Ilmu sosial semakin ahistoris dan parokial. Bila ilmuwan sosial
generasi pertama dan kedua akrab dengan sejarah sebagai
sumber ide teori mereka, pada masa sekarang semakin
meninggalkan pendekatan sejarah. Parokial maksudnya bahwa
ilmu-ilmu sosial nonekonomi misalnya semakin terspesialisasi ke
dalam bagian yang lebih kecil seperti terlihat dalam literatur
sosiologi pembangunan, komunikasi pembangunan, antropologi
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A

pembangunan, administrasi pembangunan, di samping ilmu


ekonomi sendiri bahkan perlu mempertegas dirinya dengan
ekonomi pembangunan sebagai salah satu subdisplinnya.
Sebaliknya pada saat yang sama terdapat kecenderungan yang
berlawanan. Dalam hal ini misalnya, di satu pihak terdapat klaim
bahwa ilmu sosial semakin dianggap penting peranannya dalam
memecahkan masalah-masalah pembangunan, tetapi di lain pihak
ada kecurigaan bahwa ilmu-ilmu sosial dianggap unsur yang
“mengganggu” karena dicap mempersulit perencanaan ekonomi
dan tak mampu memberikan indakator empirik yang terukur
menurut model pembangunan yang makin lama makin bergerak
ke paradigma positivistik. Dalam situasi yang paradoks seperti itu,
di manakah sesunguhnya tempat ilmu-ilmu sosial (dalam bentuk
jamak) Indonesia, khsususnya di tengah-tengah perkisaran
sejarah bangsa yang tengah dilanda krisis multidimensi
berkepanjangan dewasa ini, yang notabene berada pada
pergantian zaman: pergantian abad, pergantian milenium,
pergantian rejim, pergantian paradigma dan seterusnya.

D. Indigenisasi Ilmu Sosial Indonesia?


Salah satu tema diskusi tentang ilmu sosial Indonesia akhir-
akhir ini ialah mencuatnya wacana indigenisasi (dari kata Inggris:
indigenuos = asli, pribumi, dalam hal ini indigenisasi) ilmu-ilmu sosial
di Indonesia. Saya tidak tahu persis dari mana asal mula istilah itu
dimunculkan. Dua tahun lalu istilah itu muncul kembali dalam
sebuah seminar nasional yang diadakan oleh Fakultas Ilmu Sosial,
Universitas Negeri Yogyakarta berajuk ”Indigenisasi Ilmu Sosial dan
Implementasinya dalam Pendidikan Imu Sosial di Indonesia”
(Prosiding Seminar, 2012). Sayangnya dalam seminar itu (demikan
juga dalam prosiding) tidak disinggung bagaimana istilah itu muncul
sebelumnya, kecuali gagasan yang melatar-belakanginya, terutama
gambaran tentang kerisauan tentang mutu ilmu sosial di Indonesia
dan relevansinya dengan pembangunan, dalam hal ini termasuk
pengembangan di bidang pendidikan.
Diskusi dan pembahasan seperti itu cenderung direduksikan
kepada soal-soal sebab-musabab kemacetan ilmu sosial dari segi

30
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A.

teknis dan rintangan struktural yang bersumber dari kebijakan


pemerintah, di samping kelemahan ilmuwan sosial Indonesia itu
sendiri yang terbelenggu ’imperialisme akademis’. Mengutip
pendapat Al Faruqi dan Naquib Al Attas, Nasiwan dan Hendrastomo
dalam makalahnya ”Dari Diskursus Alternatif Menuju
Indogeneousasi Ilmu Sosial Indonesia .... ” (pp. 41-62), yakin bahwa
pribuisasi ilmu sosial merupakan alternatif terhadap ilmu sosial yang
berporos pada Eropasentris.
Namun diskusi-diskusi kritis di bidang teori-metodologi
seperti yang terjadi sebelumnya “hampir tak pernah terjadi” (Otto D.
van den Muijzenberg 1997: 153). Isu-isu yang sering mengemuka
cukup rumit dan beragam, mulai dari argumen bahwa ilmu sosial di
Indonesia masih relatif muda; terbatasnya jumlah sarjana yang
terlatih secara profesional, yang terjebak dengan jabatan rangkap;
terbatasnya insentif kelembagaan untuk menghasilkan penelitian
yang bermutu, yang bisa digunakan bagi pengambil keputusan;
rintangan (constrains) yang bersumber pada kebijakan pemerintah
dan/ atau “pesan sponsor” (baca: negara), yang membatasi fokus
penelitian pada aspek-aspek yang diperlukan untuk tujuan
“pembangunan” yang berorientasi top-down atau “selera beginda.”
Rincian penyebabnya masih bisa diperpanjang seperti kebiasaan
ilmuwan sosial untuk menggunakan kategori-kategori, pemilihan
masalah, konseptualisasi, analisis, generalisasi, deskripsi, eksplanasi
dan interpretasi yang ditiru dari Barat” (Nasiwan dan Hendrastomo,
2012: 43). Satu dekade sebelumnya, Bambang Purwanto, guru besar
sejarah, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada,
menyampaikan keluhan yang sama.7
Semua alasan yang pernah dikemukakan sejauh ini bukan tidak
ada korelasinya dengan persoalan mutu ilmu sosial di Indonesia.
Artinya, betapapun hebatnya mutu keilmuan mereka dan
kemungkinan terapliksikan dalam pembangunan, komunitas ilmu

7
Lihat Bambang Purwanto, makalah disampaikan pada Seminar Nasional Dies Natalis
Fisipol UGM ke-47 dengan tema "Kemacetan Ilmu-ilmu sosial dan Tantangan
Perubahan ke Depan", Yogyakarta, 25 September 2002.
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A

sosial itu tetap berada pada kedudukan yang lemah, karena lembaga
tempat mereka bekerja (PNS) yang menjadi subordinasi dari rejim
otoriter yang sedang berkuasa dan sedikit banyak juga merupakan
konsekuensi logis dari arus paradigma ilmu sosial developmentalis
yang membawa mereka terperangkap di dalamnya. Agaknya dalam
hubungan inilah Kleden (dalam Nordholt & L. Visser, 1997:35),
menyebut ilmu sosial di Indonesia pada masa ini cenderung menjadi
ilmu milik negara dalam arti “ilmu tentang segala hal ihwal yang
menjadi kepentingan negara.” Jika demikian halnya maka pada fase
ini negara tampaknya ikut bertanggung jawab terhadap kemandegan
ilmu-ilmu sosial di Indonesia, di samping faktor-faktor lain yang
disebutkan di atas.
Dalam hubungan ini izinkan saya secara ringkas mengemu-
kakan agrumen berikut. Pertama, secara teoretis dan metodologis
tidak ada yang menghalangi ilmuwan Indonesia untuk mengutip atau
menyetujui temuan ilmuwan Barat atau di mana pun, bahkan dari
kajian indologi sekali pun, dan ilmu sosial jenis apa pun, karena ilmu
pengetahuan (termasuk ilmu sosial) berkembang dinamis. Teori-
teori baru lahir dari kuburan teori-teri lama. Ilmu-ilmu sosial Barat
berkembang di aats fondasi paradigma yang jelas, sehingga saat ini
kita dapat mengenal setidaknya, empat paradigma ilmu sosial (ilmu
sosial positivistik, ilmu sosial interpertatif (humanistik), ilmu sosial
kritis dan ilmu sosial paska-kolonial). Masing-masing bisa
diidentifikasi, sebagaimana halnya dengan garis perkembangan ilmu
sosial Indonesia seperti yang disinggung di muka.
Kedua, lagi pula ilmu sosial yang pernah berkembang di
Indonesia, apapun tipenya, tetap berupaya menggali realitas fakta
sosial lokal di Nusantara, termasuk ilmu sosial versi indologi.
Terlepas dari plus-minus temuannya, Snouck Hurgronje, misalnya,
menemukan tipologi agama orang Aceh dan menafsirkan realitas
sosial di sana sesuai dengan kerangka teori yang dimilikinya.
Demikian pula Geertz, juga menemukan prilaku kebergamaan (Islam)
orang Jawa dengan kategori-kategori lokal (abangan, santri dan
priyayi). Betapapun teori Geertz telah dikritik oleh banyak ilmuwan,
termasuk ilmuwan Indonesia, teori Geertz tetap saja dikutip, paling
tidak untuk menunjukkan kelemahan inheren dalam konsep-konsep

32
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A.

yang diajukannya. Jauh sebelum itu, masa jaya perkembangan ilmu-


ilmu Islam juga merupakan adopsi dari ilmu Barat (Yunani Kuno).
Karya mereka dominan dan sebaliknya menjadi sumber inspirasi dan
dikutip oleh banyak ahli Barat. Sejarawan New Zealand, Antony Reid,
menulis tentang ‘sejarah nasional, Indonesia dengan menggali
sumber-sumber pribumi, seperti juga Van Leur, Ressink, Ben
Anderson (tentang konsep kekuasaan Jawa) dan Lombard
sebelumnya. Para Indonesianist Barat atau Timur umumnya
menguasai dengan baik bahasa lokal. Tidak banyak ilmuwan sosial
Indonesia yang melahirkan konsep-konsep teoretis mengenai
masyarakat Indonesia seperti ditunjukkan oleh Mochtar Nami
tentang teori migrasi Minangkabau (teori merantau), Taufik Abdullah
tentang konsep “schakel society”, Kuntowijoyo tentang “ilmu sosial
profetik”, Sartono Kartodordjo tentang konsep “ratu adil” atau
“gerakan mileniarisme”.8 Jika boleh, izinkan saya mencatat tipologi
‘politik kepialangan” dalam majemen politik pergerakan.9 Pemikiran
teoretis non-Barat di luar Indonesia seperti konsep “Islam Hadhari”
oleh Tun Seri Abdullah Ahmad Badawi di Malaysia atau “pendidikan
kaum tertindas” oleh sejarawan Amerika Latin Paulo Freire (edisi
terjemahan Indonesia, 1991), semuanya juga tidak membatasi bahan
rujukannya pada ilmuwan Barat yang dicela “Eurosentrisme”. Dalam
konteks sejarah Indonesia, pembaruan teoretis-metodologis di
Indonesia juga berasa dari sana (Van Leur, Ressink dan John Smail).
Ketiga, sebenarnya tidak terlalu menjadi soal betul seandainya
pengetahuan teoretis yang dikembangkan oleh seseorang atau oleh
teoretisi sosial mana pun seara kritis mengikuti jalan fikiran orang
lain karena pengetahuan pada dasarnya adalah endapan, daur ulang
atau modifikasi dari pengetahuan sebelumnya yang diperoleh
melalui tradisi, pendidikan dan/ atau lembaga dengan aliran
tertentu asal ia tidak menjadi pengekor bulat-bulat. Masalahnya ialah

8
Lihat Mestika Zed, “Konsep Merantau Minangkabau hingga Perantauan ke Negeri
Sembilan”, Kertas kerja dibentangkan pada Simposium bertajuk: “Diaspora Minang:
Sejarah, Budaya dan Teknologi serta Senibina”, Port Dickson, Negeri Sembilan,
Malaysia, 25-27 April 2014.
9
Mestika Zed, Kepialangan, Politik dan Revolusi. Palembang 1900-1950 (Jakarta:
LP3ES, 2003).
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A

bahwa ilmuwan Indonesia diasuh dalam dalam iklim pendidikan


membeokan guru, sehingga melahirkan manusia-manusia konsumtif
dan bukan tipe manusia ktiritis, kreatif dan berjiwa merdeka.
Keempat, peneliti manapun dan dalam disiplin apapun, secara
teoretis dan metodologis tidak akan bergerak lebih jauh dari wacana
teori dan metode yang sudah tersedia sebelumnya. Teoretis,
maksudnya, tiap teori dengan sendirinya mengandung sifat kebal
(immune) terhadap falsifikasi teori karena tiap teori pada dasarnya
selalu mengandung dua unsur utama dalam dirinya (i) inti teori yang
terdiri dari suatu hukum utama, yang merupakan unsur logis dalam
membangun kerangka teoretisnya; (ii) unsur empiris yang akan
menetukan seberapa luas data empiris di mana teori tersebut
dikembangkan. Metodologis, maksudnya semua data yang tersedia
(apa pun bidang disiplinnya) tidak akan bergerak melampaui data
dan teknik pengumpulan data yang sudah terstandar secara
universal. Misalnya metode ekperimental untuk data labor,
oberservasi dan survey untuk data lapangan, metode dokumenter
atau kepustakaan dan filogi untuk data teks. Paling jauh mereka akan
mengombinasikan satu dua metode atau lebih metode dan jenis
datanya. Lagi pula, dalam ilmu sosial dari aliran Weberian sudah
lama memperkenalkan metode verstehen atau emic (from within)
begitu juga dalam riset sejarah disebut historical mindedness (rasa
hayat historis) untuk menyelami ide-ide dari sudut pandang aktor.
Ini dengan sendirinya akan mengantarkan peneliti kepada
indigenisasi ilmu sosial. Manakala ilmuwan sosial Indonesia mampu
memperbanyak dan memperbaharui kerangka teoretis risetnya
menerbitkan karya mereka dalam bahasa internasional (utamanya
Inggris), pada hemat saya, akan mengurangi tekanan psikologis dan
perasaan inferior ilmu sosial Indonesia.
Pandangan di atas hendak mengemukakan proposisi atau
paradigma bahwa tidak ada alasan logis yang secara intrinsik
menghalangi mengapa aspirasi pegembangan ilmu pengetahuan
sosial tanpa menyibukkan diri dengan indigenisasi ilmu sosial tetap
mungkin. Logikanya malah justru sangat kontras dengan trend
globalisasi dewasa ini. Pencarian legitimasi indigenisasi ilmu sosial
Indonesia mencerminkan fakta bahwa mereka mengemukakan

34
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A.

wacana baru sebagai upaya untuk mereperasi atau mendekonstruksi


ilmu sosial Barat, dalam hal ini mengubah keadaan sesuai dengan
semangat reformasi dewasa ini. Namun sejauh yang dapat dipahami
lewat kertas kerja seminar indigenisasi ilmu sosial Indonesia dua
tahun lalu itu, pemahamannya dibelokkan pada konsep pengetahuan
lokal (local genius) atau kearifan lokal sebagai wacana baru yang
sedikit banyak merupakan kelanjutan dari teori paska-kolonial.
Akhirnya, legitimasi tak pernah menempuh satu jalan dan jalan yang
ditempuh ilmu sosial di Indonesia di masa lalu melahirkan warisan
yang bercampur aduk.

Penutup
Bagi para sarjana ilmu sosial hari ini, pertanyaannya sekarang
agaknya tidak lagi soal apakah tipe ilmu sosial macam apakah yang
ingin dikembang berikutnya, melainkan sumbangan apa (teoretis-
metodologis) yang dapat diberikannya bagi memperdalam dan
memperkaya pemahaman kita tentang realitas pengalaman
masyarakat Indonesia yang semakin kompleks dan mondial.
Relevansi pertanyaan ini tidak sesederhana menjawab keprihatian
karena merasa dimarginalkan. Yang lebih penting ialah bahwa
memperbandingkan “kemajuan” atau sebaliknya “kemerosot-an”
ilmu sosial Indonesia, harus dimulai dengan mempelajari kembali
lintasan sejarah (historical trajectory) yang dilewati oleh rumpun
disiplin ini di masa lalu dan adakah tragedi kemanusian yang
berulang di zaman kontemporer ini (bencana asap, korupsi,
ketewasan sia-sia di pelintasan jalan kereta api, bencana alam
(banjir. longor dan kebakaran) mampu mengubah cara pandang baru
kita dalam memperkembangkan ‘ilmu sosial profetik’ seperti yang
diusulkan mendiang sejarawan Kuntowijoyo. Bagaimana pun sifat
kritis ilmu sosial merupakan prasyarat utama dalam menyikapi ilmu
sosial dalam era globalisasi dewasa ini dengan beragam ide dan
praktek yang harus dijawab, bukan secara instan, melainkan suatu
kajian yang rinci dan kerangka teoretis yang baru pula. Kemenangan
visi teori moderniasasi yang menyebar begitu cepat dalam dunia
akademik sejak 1950-an, ternyata membuat kita kian lebih berhati-
hati memahami konsep pembangunan bangsa sebagai proses yang
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A

memerlukan sumber-daya dan pengorbanan. Kita sudah


mengalaminya, tetapi formula baru untuk memahami masyarakat
Indonesia belum juga ditemukan. Memandang kembali ke peluang
dalam era dekolonisasi ilmu pengetahuan ternyata tidak mudah,
tetapi itu tetap harus diupayakan sebab pada akhirnya ia dapat
mengingatkan kita betapa pentingnya untuk terus menerus mencari
formula bagi permulaan yang baru, baik teoretis maupun
implementasi ilmu sosial Indonesia di masa depan, baik dalam dunai
akdemik di perguruan tinggi maupun dalam dunia pendidikan pada
umumnya, termasuk dalam IPS tentunya.

36
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A.

Bab 3

Pendahuluan
Ada kebutuhan mendesak secara akademik untuk menjawab
sebuah pertanyaan penting yaitu dimana posisi Indigenisasi ilmu-
ilmu sosial dalam peta perkembangan teori-teori sosial. Pertanyaan
ini perlu segera mendapatkan jawaban yang konseptual, mengingat
konsep indigenisasi ilomu-ilmu sosial sejak tahun 2015 telah resmi
menjadi visi Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Yogyakarta.
Dalam uraian tulisan ini terlebih dahulu akan dipaparkan
perkembangan ilmu sosial yakni ilmu sosial konvensional dan ilmu
sosial non konvensional. Jika menggunakan terminologi ini kiranya
upaya Indigenisasi ilmu-ilmu sosial dapat diklasifikasikan dalam
kelompok ilmu sosial non konvensional.
Ilmu sosial adalah Ilmu yang sudah berkembang sejak sejak
lama, yaitu semenjak zaman yunani sudah muncul ahli-ahli yang
mengembangkan teori ideal tentang manusia yang terkait dengan
interaksi sosialnya baik dalam hal ekonomi, sosial dan politik. Dari
perkembangan tersebut memunculkan teori-teori yang mampu
mendominasi dan menjadi rujukan. Namun teori-teori yang
dikembangkan oleh ilmuwan sosial tersebut tidak dapat dikatakan
sebagai teori yang netral. Setiap teori yang mampu mendominasi
praktik ilmu sosial adalah teori yang mampu merepresentasikan
kepentingan yang dominan dari sebuah kelompok masyarakat.
Sejak Revolusi Industri hingga saat ini, ilmu sosial yang
dominan lebih merepresentasikan kepentingan dari sebuah
kelompok kelas dominan yaitu kapitalis. Kepentingan kelas dominan
ini telah mengakibatkan perkembangan ilmu sosial lebih mengarah
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A

pada upaya untuk melegitimasi dominasi dari kelas ini dan


mendukung proses akumulasi kapital yang dilakukan oleh kelas ini.
Akibatnya ilmu sosial dapat menjadi alat yang berguna untuk
mengkontruksi sebuah realitas sosial yang ingin diciptakan oleh
kelas-kelas kapitalis. Contohnya, ketika kelas kapitalis muncul di
Eropa sebagai akibat revolusi Industri, maka di Eropa juga muncul
para pemikir ilmu sosial seperti Adam Smith, Jeremy Bentham dan
Max Weber yang mengembangkan teori-teori liberal dan
melegitimasi kelas-kelas ini. Dengan demikian perkembangan teori-
teori sosial tidak dapat dilepaskan dari konteks dan kepentingan
dibalik kemunculan teori-teori tersebut.
Meskipun demikian, ilmuwan sosial yang muncul sebagai kritik
terhadap dominasi kelas-kelas kapitalisme tetap muncul. Pada era
awal Kapitalisme, juga memunculkan ide yang dikembangkan oleh
ilmuwan sosial yang menyaksikan efek buruk dari kapitalisme.
Keprihatinan mereka ini akhirnya memunculkan ilmu sosial yang
menjadi pengkritik utama kapitalisme dan masih menjadi perspektif
dominan dari ilmuwan yang tidak mendukung kapitalisme, yaitu,
teori-teori yang di kembangkan oleh Karl Marx. Yang dikenal dengan
Marxisme. Selain Marxisme kritik lain terhadap kapitalisme dan
terutama tentang kemodernan muncul dari Ilmuwan yang
mengembangkan pendekatan Postruktruktural, teori kritis dan dan
juga ilmuwan yang mencoba mengangkat perspektif lokal.
Mengambil ide dari Richard Peet and Elaine Hartwick (2009)
yang membagi dua bagian besar teori pembangunan yaitu teori
pembangunan konvensional dan tidak konvensional, maka tulisan
berikut akan mengkaji ilmu sosial dari kacamata ini, yaitu Ilmu-
ilmu sosial Konvensional dan Ilmu sosial Non konvensional. Ilmu
sosial konvensional adalah : Ilmu sosial yang teori-teorinya
menerima keberadaan struktur kapitalisme sebagai jenis terbaik
masyarakat. Teori ini menekankan pada dukungan pada konsep
pembangunan sebagai pertumbuhan ekonomi. Sedangkan problem
yang muncul sebagai akibat untuk mencapai tujuan tersebut, seperti
ketidakadilan sosial, kerusakan lingkungan hidup, dipandang hanya
dampak dari upaya untuk mencapai tujuan itu. Teori–teori yang
berada di dalam seperti teori ekonomi klasik, teori Ekonomi neo

38
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A.

klasik, teori keynesian, teori –teori sosiologi seperti Marx Weber,


Herbert Spencer, struktural functional Talcot Parson dan banyak lagi
lainya. Meskipun berada dalam satu garis teori yang dapat
digolongkan konvensional teori-teori ini tetap melakukan kritik
sekaligus saling melengkapi satu dengan yang lainnya sedangkan
Ilmu sosial non-konvensional merupakan ilmu sosial yang menjadi
antitesis dari ilmu sosial konvensional yang telah mendominasi
peradaban modern saat ini. Berkebalikan dengan teori konvensi-
onal, teori-teori yang berada pada garis pemikiran non-conventional
tidak menerima sistem kapitalisme sebagai sistem masyarakat
terbaik, bahkan ada juga yang menolak ie-ide pencerahan yang telah
membentuk peradaban modern.
Tulisan ini akan menguaraikan tentang perkembanggan ilmu
sosial yang memandang ilmu sosial dari dua kacamata diatas.
Selanjutnya tulisan ini juga akan memandang cara ilmu sosial
memandang isu-isu spesifisik yaitu, isu tentang posisi perempuan
dalam dunia sosial yang dikenal tentang feminisme dan isu tentang
lingkungan hidup.

Kerangka Pemahaman
Dalam rangka memahami perkembangan teori sosial, tulisan
ini mengacu pada tulisan Dr. Arief Budiman yang memahami Ilmu
sosial dari dua Filsafat berfikir besar yaitu idealisme dan
materialisme. Dua Fisafat berfikir ini akan ditambah lagi dengan ide
yang merupakan kombinasi dari keduanya yang dikenal dengan
pendekatan poststuktural/poskolonial dan postmodernisme yang
mengkombinasi ide dan struktur. Tulisan ini akan menelusuri teori
ini dalam konteks sejarah pemikiran teori sosial di Indonesia.
Sebelumnya akan dijelaskan apa yang dimaksusd dengan idealisme,
materialisme dan postrukturalisme.

Idealisme
Idealisme adalah filsafat berpikir yang memandang bahwa
perubahan sosial dalam masyarakat terjadi dari ide-ide yang ada
dalam pemikiran manusia. Kemajuan sebuah bangsa terjadi karena
adanya ide-ide yang mendorong kemajuan pada bangsa tersebut,
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A

sedangkan keterbelakangan suatu bangsa disebabkan karena tidak


adanya ide-ide yang mendorong bangsa tersebut untuk mencapai
kemajuan. Cara berikir ini dikembangakn di Eropa oleh pemikir
seperti Immanuel Kant, Hegel dan lain-laian. Dalam ilmu sosial
kalangan ini akan mengamati perkembangan ide-ide yang ada
didalam masyarakat.
Materialisme
Materialisme menyakini bahwa terjadinya perubahan-
perubahan sejarah bukan karena ide. Kondisis material lah yang
menyebabkan ide muncul dan dipakai di dalam masyarakat. Jadi
dipakai-atau tidak sebuah ide terkait dengan momentum sejarah
(Marxisme).

Saling keterkaiatan ide dan materi


Pandangan ini diyakini bahwa ide dan materi tidak dapat
dipisahkan dan saling terkait. Dalam cara berpikir ini diyakini bahwa
ide diproduksi dalam dinamika kondisi materi. Dengan demikian ide
mempengaruhi kondisi sejarah sedangkan sejarah mempengaruh ide
(Michel Foucult dkk).

Perkembangan dalam Sejarah Pemikiran Teori Sosial di


Indonesia
A. Teori Sosial Masa Kolonial
Teori sosial di Indonnesia hadir pada masa kolonial..... dst (
Syed Farid dll). Hadirnya ilmu sosial pada masa itu tidak terlepas dari
kepentingan penjajah untuk memperkuat kontrol mereka terhadap
negara jajahannya. Pada masa ini cara berpikir idealisme cukup
masih menjadi satu-satunya ide pemikiran yang berpengaruh dalam
perkembangan teori sosial di Indonesia.

Teori Domein
Teori domein adalah teori yang sangat berpengaruh dalam
sejarah agraria di Indonesia. Teori ini diprodusksi untuk
melegetimasi kekusaan pemerintah kolonial, teruatama terkait
dengan upaya untuk mengontrol tanah-tanah di negara jajahan.
Teori ini dikenalkan oleh Gubernur Jendaral Belanda Thomas

40
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A.

Stanford Raffles. Dalam rangka membangun legitimasi kekuasan


terhadap tanah-tanah di Indonesia Rafles mengadakan penelitian
yang dipimpin oleh seoerang peneliti sosial yang di kenal dengan
komisi Mc kenzie. Penelitian ini melakuakan pengenalan ide-ide yang
terkait dengan pengelolaan pertahanan di Indonesia. Hasil penelitian
ini menyimpulkan bahwa semua tanah yang ada di pulau Jawa adalah
milik rakyat adalah milik raja, rakyat tidak mempunyai hak kontrol
atas tanah.
Teori Dualisme Ekonomi
Ada dualisme dalam ekonomi Boeke: Masyarakat yaang
menggunakan cara-cara ekonomi modern dan yang masih
terbelakang. Dalam ide ini mengarahkan pada upaya agar
pemerintah kolonial mempertahankan kebijakan dalam masyarakat
kolonial (pendekatan idealisme tampak dari penguatan tentang ide-
ide ekonomi masyarakat yang dibagai dua ketika ekonomi berjalan).
Teori ini juga sangat terkait dengan upaya kontrol pemerintah

B. Teori Sosial pada Masa Awal Kemerdekaan


Pada awal kemerdekaan Indonesia, muncul sebuah teori sosial
yang sangat populer dengan konsep politik aliran yang membagi
masyarakat Indonesia ke dalam tiga aliran besar yakni santri, priayi
dan abangan. Penggagas teori ini adalah Prof. Cliffords Geertz
ilmuwan dari Amerika Serikat, yang merupakan hasil penelitiannya
untuk meraih gelar doktor di bidang ilmu Antropologi. (Berpengaruh
besar dalam meneliti politik aliran di Indonesia sampai saat ini).
Peneliti selanjutnya meneruskan kajian tentang politik aliran yakni
Prof. Herbet Fieth ilmuwan sosial khususnya bidang politik dari
Monash University yang mengkelompokan aliran politik di Indonesia
ke dalam lima kategori yakni Islam tradisonal, Islam modernis,
sosialisme, nasionalisme, tradionalis Jawa.

Dominasi idealisme
Sepanjang pemerintahan Oder Baru berkuasa teori-teori ilmu
sosial yang berkembang adalah teori-teori sosial yang merujuk pada
idealisme, sedangkan teori-teori sosial yang merujuk pada analisis
struktural kurang mendapatkan angin dalam era regim Orde Baru.
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A

Dapat ditambahkan pada kurun yang panjang Pemerintahan Orde


Baru minim sekali lahir tulisan dari para ilmuwan sosial Indonesia
yang menggunakan analisis kelas sebagai basis telaah dan
pembahasan dalam karya-larya yang dipublis oleh ilmuwan sosial
Indonesia. Disamping itu di luar mainstream perkembangan ilmu
sosial di pinggiran ada terdengar karya-karya Tan Malaka dan
muncul juga Pramudya, akan tetapi pemikiran kedua tokoh ini tidak
pernah secara resmi diakui menjadi rujukan dalam forum-forum
ilmiah yang prestisius.

C. Teori Sosial pada Masa Orde Baru


Pada era pemerintahan Oder Baru yang dimulai sejak tahun
1966 hingga berakhir tahun 1998, terjadi pergeseran dalam
dinamika teori sosial yang dominan di Indonesia. Pelan tapi pasti
teori-teori sosial menjadi lebih berorientasi kepada teori sosial yang
berkembang di amerika Serikat. Lebih khusus lagi tentang teori
pembangunan ekonomi, teori modernisasi. Teori strukturalis
fungsional Talcot Parson menjadi demikian populer di Indonesia.
Begitu juga teori pertumbuhan ekonomi Rousrow. Semenjak Rezim
Orde Baru berkuasa dan mulai melaksanakan pembangunan
ekonomi secara bertahap maka ilmu ekonomi menjadi lebih populer
dan dominan, sedangkan ilmu-ilmu sosial lainnya menjadi terpinggir
dan semakin terpinggir. Kajian teori-teori sosial di luar ilmu ekonomi
semakin tidak populer serta kurang menarik minat para ilmuwan
sosial. Baru pada akhir kekuasaan Rezim Orde Baru, yakni pada
tahun 1990 diadakanlah Simposium Nasional di UGM yang dihadiri
oleh Presiden Soeharto, dengan topik utama “ Membangun Martabat
manusia”, melalui tema payung ini dibahas berbagai topik ilmu sosial
bernada kritis terhadap jalannya pembangunan di Indonesia. Melalui
momentum Simposium para ilmuwan sosial ternama di Indoensia
yang diketuai oleh Emil Salim salah seorang menteri kepercayaan
Soeharto, perhatian terhadap ilmu-ilmu sosial dan perkembangan
teorinya menjadi semakin menarik minat banyak kalangan terutama
para akademisi dan para peneliti. Secara ringkas dapat dinyatakan
bahwa di Indonesia dalam kurun waktu itu telah terjadi proses
semacam amerikanisasi Ilmu-ilmu sosial.

42
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A.

Kemunculan Teori Struktural


Di tengah-tengah dominasi ilmu-ilmu sosial yang berkiblat
pada Amerika, munculnya sedikit ilmuwan sosial yang mengambil
posisi berbeda. Yakni mengambil sikap kritis pada teori-teori ilmu
sosial yang dimport dari Amerika yang disebut sebagai ilmu sosial
borjuis, berideologi kapitalis. Tokoh tokoh seperti Arief Budiman, Sri
Tua Arief, lebih mengambil posisi sebagai pengamat yang kritis
dengan sering menggunakan dan meminjam perspektif teori kritis,
yang dekat dengan ideologi sosialis. Beberapa buku dan paper
penting telah dihasilkan oleh ilmuwan yang kritis ini. Ilmuwan lain
yang termasuk ikut mengambil posisi yang lain namun lebih moderat
adalah Mohtar Masoed, guru besar UGM. Melalui karya disertasinya
yang kemudian diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, dengan judul
“Struktur ekonomi dan Politik Orde Baru” Mohtar Masoed mampu
memberikan penjelasan dan pandangan lebih jernih dan masuk akal
tentang jalannya pembangunan ekonomi dan keterkaitannya dengan
proses politik yang ada pada jaman Orde Baru.
Dalam pandangan teori struktural terjadinya kemiskinan
karena disebabkan oleh adanya ketimpangan kelas yakni antara
kelas Borjuis yang menguasai modal dan alat-alat produksi
sedangkan kelas proletar yang tidak memiliki modal dan alat-alat
produksi menjadi terpinggir dari kehidupan baik dari sisi ekonomi
maupun dari sisi politik. Dalam perkembangan berikutnya teori
struktur yang dikembangkan oleh Anthony Giddens, berpandangan
bahwa inti struktur adalah ada pada tiga hal, yakni Role of Games
(Konstitusi sosial), Sumber Daya (Resources) dan Convensi.
Tejadinya kemiskinan dan eksploitasi adalah karena struktur
ekonomi dan politik dikuasai oleh kelas borjuis serta negara dalam
kondisi dibajak oleh kaum borjuis –kapitalis.

Post Struktural
Perkembangan berikutnya adalah kemunculan Teori Post
Struktural. Kemunculan perspektif teori ini secara langsung atau
tidak langsung berhubungan dengan kekurangan dan keberhasilan
teori –teori sebelumnya, yakni membaca perkembangan masyarakat
modern serta minimnya kontribusi teori-teori sosial yang ada
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A

sebelumnya seperti teori struktural. Di antara cendekiawan


Indonesia yang digaris depan mengusung pandangan-pandangan
post struktural antara lain Mansur Faqih, dan Daniel Dhakidae.
Gagasan besar perspektif ini adalah pada satu sisi menerima realitas
pembangunan ekonomi yang dalam hegemoni sistem kapitalisme
international namun pada sisi yang lain tetap mempertahankan
perspektif teori yang kritis melihat realitas tersebut. Misalnya
melalui gagasan demokrasi partisipatoris, pendidikan politik melalui
gerakan sosial untuk empowering society. Pandangan dua
cendekiawan ini dalam beberapa dekade sejak tahun 1980-an hingga
dekade 2000-an cukup kuat mempengaruhi pemikiran sosial yang
diwakili oleh Jurnal Prisma. Pada massa itu jurnal ini merupakan
bacaan prestisius intelektual Indonesia di bidang pemikiran sosial di
Indonesia di berbagai kampus besar Indonesia.
Disamping secara teratur menulis di Jurnal Prisma Dhaniel
Dhakidae mengedit beberapa buku serius terkait dengan
cendekiawan dan kekuasaan. Sedangkan Mansur Faqih menulis
beberapa buku yang monumental seperti Masyarakat Sipil, yang
merupakan bagian penting dari karya Disertasinya. Dalam karya
pentingnya ini Mansur Faqih, memiliki posisi pandangan bahwa Civil
Society merupakan aktor penting dalam rangka mewujudkan
masyarakat yang demokratis (demokrasi partisipatoris), Lembaga
Swadaya Masyarakat yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari
kekuatan Civil society perlu melakukan revitalisasi agar tidak
sekedar menjadi semcam pemadam kebakaran dari efek negatif dari
proses pembangunan yang didominasi oleh ideologi kapitalisme.

D. Pasca Orde Baru


Setelah Rezime Orde Baru jatuh pada tahun 1998, munculnya
era baru yakni era Reformasi. Seiring dengan lahirnya era baru
dalam alam keterbukaan politik dan demokrasi semua gagasan
apapun memiliki ruang untuk diekspresikan ke ruang publik di
Indonesia. Dalam era Reformasi ini buku-buku yang bercorak
pemikiran kiri banyak sekali dipublikasi menghiasai toko-toko buku.
Diantaranya adalah buku-buku yang ditulis oleh Tan Malaka, untuk

44
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A.

menyebut diantaranya misalnya buku Madelog, Gerpolek, Gerakan


Buruh, Merdeka 100 persen.
Sementara itu dalam studi ilmu politik juga diperkenalkan
pendekatan kelembagaan baru (new institutionalisme). Pendekatan
ini pada dasarnya merupakan kiritik atas pendekatan yang sudah ada
sebelumnya yakni pendekatan kelembagaan. Namun karena berbagai
kelemahan yang ada pada pendekataan kelembagaan maka para
ilmuwan politik merasa perlu untuk menemukan pendekatan baru,
yang dapat lebih menjwab berbagai tantangan perkembangan
masyarakat politik yang baru. Dalam pendekatan kelembagaan yang
baru perhatian tidak hanya ditujukan pada institusi dan role of
games saja tetapi juga perhatian diberikan pada faktor kultur dan
historis. Dengan penyempurnaan ini studi politik menjadi lebih dapat
membaca konteks dan latar belakang sebuah fenomena politik
muncul kepermukaan.
Dari pendekatan kelembagaan baru ini antara lain lahirlah
konsep good governance, institusional building. Konsep ini untuk
beberapa dekade terakhir setelah era Reformasi menjadi sangat
populer di Indonesia. Konsep ini banyak disebut dalam pidato-pidato
resmi para pejabat dan politisi demikian juga orang-orang kampus,
serta dalam banyak tulisan dan karya ilmiah, demikian juga di forum-
forum ilmiah.

Ilmu Sosial Konvensional


Ilmu sosial Konvensional hadir sebagai bagian dari hasil zaman
pencerahan yang telah melahirkan cara berpikir rasional dan empiris
yang berkontribusi besar bagi munculnya peradaban modern. Cara
berpikir baru ini berpengaruh besar terhadap kemajuan Ilmu
pengetahuan dan teknologi yang melahirkan revolusi industri yang
telah berdampak pada terjadinya perubahan tatanan kelas-kelas
sosial dalam masyarakat Barat yang sebelumnya didominasi oleh
kelas-kelas bangsawan (noble) dan gereja yang berorientasi pada
cara berpikir feodal menjadi didominasi oleh kelas-kelas pemilik
modal. Dalam melakukan perannya sebagai pemain baru dalam
proses perubahan sosial kaum pemilik modal ini membutuhkan
teori-teori yang melegitimasi peran penting mereka dalam
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A

kehidupan sosial dan ekonomi pada abad baru ini. Dalam hal teori
konvensional awal, yaitu teori ekonomi klasik yang mengenalkan
konsep akumulasi kapital dan pasar bebas mempunyai peran penting
dalam proses awal perubahan ini. Dengan demikian kemunculan
teori-teori konvensional tidak dapat dilepaskan dari kepentingan
kelas kapitalis.
Teori-teori sosial yang muncul dari perkembangan masyarakat
Eropa yang melegitimasi pertumbuhan dan perkembangan
kapitalisme juga mengalami perkembangan dari filsafat moral yang
bersifat abstrak dan spekulatif menajdi ilmu sosial yang berbasis
pada fakta sosial.

A. Teori sosial dan pertumbuhan masyarakat kapitalisme industri


Sebagaimana diuraikan diatas, era pencerahan telah
melahirkan kemajuan dalam ilmu pengetahuan dan teknologi
sehingga berdampak munculnya revolusi di Inggris dan menyebar ke
negara-negara Eropa lain telah memunculkan kelas sosial baru. Pada
masa feodal, kaum bangsawan (Noble) yang menguasai tanah yang
luas menyewahkan tanahnya pada penyewa tanah. Revolusi Industri
telah menyebabkan kelas-kelas penyewa tanah ini mampu
melahirkan produksi yang berlimpah yang berakibat kekayaan
mereka dapat melampaui kekayaan kaum bangsawan. Kondisi ini
mengakibatkan mereka menginginkan posisi dan peran sosial yang
lebih luas daripada sebelumnya. Disamping itu mereka juga
menginginkan perubahan tatanan sosial yang dapat mendukung
proses produksi yang sedang berjalan. Kondisi inilah yang kemudian
dan menjadi konteks kemunculan teori-teori sosial yang menjadi
peletak dasar masyarakat Eropa memasuki era modernisasi.
Dalam hal teori ekonomi muncul teori ekonomi liberal yang
menjadi tonggak awal kapitalisme modern. Tokoh utama teori
ekonomi ini antara lain Adam Smith, Jeremy bentham, David
richardo. Adam smith mengenalkan teori ekonomi liberal yang
mengiginkan agar mekanismse ekonomi diserahkan pada mekanisme
pasar dan negara tidak boleh campur tangan dalam urusan ekonomi.
Teori ini berpendapat bila negara ikut campur tangan dalam urusan
ekonomi maka akan menganggu mekanisme pasar dan akan

46
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A.

mengakibatkan proses-proses ekonomi menjadi tidak efisien. Dengan


demikian teori ekonomi klasik ini dengan tegas menempatkan posisi
ekonomi harus ditangani oleh para pengusaha (berjouis) dari pada
oleh gereja dan bangsawan.
Perkembangan tersebut juga terjadi dalam studi-studi politik
dan hukum. Teori-teori politik dan hukum pada masa itu
menunjukan keinginan menghilangkan posisi kaum bangsawan dan
gereja. Kalau pada masa sebelumnya teori-teori politik dan hukum
kenegaraan menekankan pada pentingnya posisi gereja sebagai wakil
tuhan dimuka bumi yang mengendalikan kekuasaan dan hukum,
maka teori-teori baru menempatkan pentingnya kedaulatan rakyat
dan pembagian kekuasaan. Tokoh-tokoh yang berpengaruh pada
masa itu antara lain adalah JJ Rossoeu yang mengenalkan teori
kontrak sosialnya, Montesqiu dengan trias Politica. Selain
megembangkan teori-teori sosial para pemikir politik dan hukum
pada masa itu juga mengangkat kembali teori-teori yang berangkat
dari filsafat yunani, yaitu Demokrasi. Singkat kata pada masa itu
teori-teori sosial yang berkembang telah memisahkan posisi gereja
dari urusan politik dan menghilangkan kekuasaan yang dominan
kaum bangsawan. Dengan demikian teori ini membukakan ruang
bagi kaum pengusaha untuk tampil dan menentukan keputusan-
keputusan politik.
Pada perkembangannya teori-teori sosial yang
mengembangkan pendekatan dengan filsafat moral mendapat
kritikan. Ilmu sosial yang mengembangkan pada filsafat moral
digugat. Karena dianggap terlalu normatif dan spekulatif. Pendekatan
ilmu sosial seperti ini tidak dapat menyelesaikan persoalan sosial.
Oleh karena itu muncul keinginan agar ilmu sosial dapat
meninggalkan pendekatan yang normatif dan spekulatif menjadi
berbasis pada data-data empiris yang dapat diuji kebenaranya. Para
ahli ilmu sosial membandingan dengan ilmu alam yang mampu
mengembangkan metode-metode ilmiah dan empiris. Metode-
metode tersebut dapat memberikan manfaat besar karena dapat
diuji kebenaranya dengan fakta-fakta empiris dan hasilnya
memberikan manfaat langsung bagi kehidupan manusia.
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A

Teori-teori pada ilmu sosiologi mengawali respon kritikan


tersebut. Aguste comte mengawali sosiologi modern dengan
mengenalkan ide-ide yang berpendapat bahwa metode-metode yang
digunakan dalam ilmu alam dapat digunakan juga dalam ilmu sosial.
Asumsi yang digunakan oleh Comte adalah di dalam dunia sosial juga
dapat ditemukan hukum-hukum sosial yang pasti sebagaimana
hukum alama dan tugas ilmuan sosial adalah menemukan hukum-
hukum tersebut. Ide Aguste Comte inilah yang kemudian dikenal
dengan Positivisme. Selain positivisme Respon terhadap kritikan
ilmu sosial yang dipandang spekulatif dan normatif juga muncul dari
Max weber yang menekankan pentingnya memahami rasionalisme
manusia. Weber mengenalkan metode berbeda dari Comte yang
menggunakan metode ilmiah dalam ilmu alam, yaitu metode yang
disebutnya memahami (versteihen). Dengan metode ini Max Weber
mengenalkan banyak teori-teori yang berusaha memahami
rasionalitas dunia modern. Dengan demikian kemunculan positiv-
isme dan rasionalitas telah menjadi tonggak awal bagi ilmu sosial
untuk meninggalkan pendekatan pendekatan ilmu sosial yang
normatif dan spekulatif menjadi empiris dan berbasis pada fakta-
fakta sosial.
Pendekatan baru dalam Ilmu sosial ini telah menguncang
perkembangan ilmu sosial lainya. Pada Pendekatan posistivisme
akhirnya berpengaruh besar. Ilmu ekonomi selanjutnya betul-betul
meninggalkan filsafat moral (ekonomi klasik) dan lebih menekankan
pentingnya mengembangkan dan menerapkan rumus-rumus
ekonomi yang sudah mengunakan alat matematika (neoklasik) .
Dengan menerapkan perhitungan mate-matika teori ekonomi lebih
berfokus untuk meningkatkan margin daripada realitas sosial. Oleh
karena itu, posistivisme telah membawa ilmu ekonomi meninggalkan
kontek sosial.
Dengan demikian ilmu sosial mengalami perubahan besar
ketika muncul ide-ide yang meninggalkan filsafat moral. Pendekatan-
pendekatan yang berbasis fakta sosial yang sudah di uji dan rasional
telah mendominasi hampir semua ilmu sosial pada masa ini.
Meskipun demikian, Perkembangan Ilmu sosial pada masa itu tetap

48
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A.

saja tidak dapat dilepaskan dari kepentingan dari kelas sosial pemilik
modal besar yang sedang muncul.

B. Teori Sosial Konvensional di Era Kolonialisme


Pada era kolonialisme, keterkaitan ilmu sosial dengan
kepentingan kekuasaan tetap berlanjut seiring dengan kepentingan
negara-negara penjajah untuk melakukan kontrol politik dan
ekonomi terhadap masyarakat yang dijajah. Syed Farid Husein
Alatas (2010) menyebutkan pada masa kolonialisme kepentingan
kekuasaan tersebut hadir dalam kepentingan untuk membangun
pelembagaan kekuasaan dan pengembangan kapitalisme liberal di
negara-negara jajahan. Pandangan ini dapat dilihat dari karya-karya
ilmu sosial dan hukum pada masa itu. Selain itu, Ilmu sosial karya-
karya ilmu sosial masa itu juga hadir dalam bentuk upaya untuk
memahami masyarakat negara jajajan sebagai bagain upaya untuk
memahami dan dilanjutkan dengan penaklukan dan kontrol terhadap
masyrakatnya. Peter boomgaard (2001) menyebutkatkan etnologi
dan hukum diperlukan oleh negara penjajah untuk memantapkan
negara kolonial dan memahami dampak penerapan hukum-hukum
negara kolonial di negara jajahan. Singkat kata, kontruksi
epistimologi dan ontologi Ilmu Sosial pada era kolonialisme tidak
dapat dilepasakan dari alat negara kolonial untuk melangsungkan
kepentingan kekuasaan dan akumulasi kapital dari negara-negara
jajahan.
Di Indonesia penggunaan Ilmu Sosial untuk kepentingan
kontrol kekuasaan dan memperbesar kontrol untuk akumulasi modal
sangat tampak. Contohnya, pada masa Thomas Stanford Raffles
menjadi Gubernur jendral, Rafles membentuk lembaga riset yang
digunakan untuk membuat hukum pertahanan di Indoensia dan hasil
riset ini dikenal dengan teori domein. Teori ini berpendapat bahwa
dalam sejarah pertanahan di Pulau Jawa rakyat tidak mempunyai hak
atas tanah karena semua tanah dikuasai oleh negara. Hasil studi
inilah yang kemudian menjadi alat legitimasi penjajahan Belanda
untuk membuat Undang-Undang pertanahan yang dikenal dengan
Domein Velklaring.
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A

Ilmu-ilmu sosial masa kolonial yang menggunakan cara


pandang dan alat ukur masyarakat Barat juga menciptakan
konstruksi sosial terhadap dinegara-negara jajahan. Kontruksi sosial
ini dibentuk dengan membangun konsep-konsep dan istilah-istilah
yang dibentuk oleh mereka untuk memperlancar kontrol terhadap
masyarakat ditanah jajahan. Istilah-istilah seperti dayak, melayu,
santri, abangan priayi adalah contoh dari hasil kontruksi sosial yang
dibentuk oleh ilmuwan sosial negara kolonial.
Dengan demikian pada era kolonialisme perkembangan ilmu
sosial konvensional mengarah pada upaya memahami masyarakat-
masyarakat dinegara jajahan. Namun upaya ini bukan mengarah
pada upaya melahirkan saling pemahaman, tetapi lebih mengarah
pada upaya untuk membangun kontrol dan memperlancar masuk-
nya kapitalisme terhadap masyarakat di negara-negara jajahan.
Sehingga pada itu, masyarakat dinegara-negara dunia ketiga
terkonstruksi oleh teori dan konsep dari negara penjajah.

C. Pasca kolonialisme
Setelah era kolonialisme perkembangan ilmu sosial tetap tidak
dapat dilepaskan dari kepentingan kekuasaan. Konteks kepentingan
kekuasaan yang mempengaruhi perkembangan ilmu sosial masa itu
adalah kemunculan dua Blok besar di dunia yaitu, Blok Barat yang
beridelogi kapitalis dan Blok Timur yang berideologi komunis. Dalam
rangka mengontrol masyarakat dunia ketiga dan mencegah
perkembangan ideologi komunis di negara-negara yang baru
merdeka maka Amerika Serikat bersama dengan negar-negara
sekutunya mengenalkan sebuah kebijakan yang disebut dengan
developentalism. Teori-teoris sosial masa ini di produski dan
direproduski dalam rangka kepentingan ini. Sehingga dikalangan
ilmuan sosial yang kritis, ilmu sosial pada masa ini disebut dengan
Amerikanisasi.
Developmentalism atau dikenal juga dengan istilah pemba-
ngunanisme adalah proyek besar yang dikembangkan untuk
merobah masyarakat dunia ketiga menjadi masyarakat modern, yaitu
kondisi mapan yang mengidealkan sistem sosial, politik dan ekonomi
yang telah terjadi dan berkembang di masyarakat Barat. Dalam

50
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A.

teori-teori ini sebelumnya ditekankan sebuah gambaran masyarakat


ideal yang dibangun dari sistem kapitalisme yaitu masyarakat
industrial Barat dan memberikan jalan pengalaman masyarakat
Barat untuk mencapai masyarakat modern karena itulah, maka teori-
teori modernisasi dianggap digolongkan teori sosial konvensional.

Ilmu Sosial Non Konvensional


Setelah membahas Ilmu sosial konvensional, selanjutnya
bagian ini akan membahas ilmu sosial Non konvensional. Dalam hal
ini, kajian ilmu-ilmu sosial yang dibangun dan dikembangkan tidak
berada pada pengaruh kapitalisme. Meskipun sama-sama tidak
menerima kapitalisme sebagai sebuah tatanan masyarakat yang
ideal, teori-teori yang berada pada garis pikir nonconventional tidak
seragam. Teori-teori ini mempunyai perbedaan mendasar dalam
memandang sistem ideal masyarakat. Perbedaannya adalah antara
teori–teori yang dipengaruhi cara berpikir Marxis dan teori yang
tidak berada pada garis pemikiran Marxis. Teori yang berada pada
garis pikir Marxis adalah teori yang mengkritik langsung dominasi
kapitalisme dalam peradaban manusia, yang dianggap sebagai
sebuah sistem ekonomi yang ekploitatif terhadap kelas yang tidak
bermodal, namun teori ini masih berada dalam satu cara berpikir
dengan teori konvensional, yaitu masih berada dalam cara berpikir
modern. Teori ini hadir ketika dominasi kapitalisme telah
memunculkan dampak buruk bagi masyarakat Eropa pada saat itu,
yaitu kesenjangan sosial yang muncul akibat ekploitasi terhadap
kaum buruh. Dalam hal pendekatan analisis teori ini menggunakan
analisis struktural dalam menganalis hubungan-hubungan sosial
yang ada didalam masyarakat. Dalam analisis ini perbedaan
penguasaan terhadap faktor produksi menjadi variabel utama yang
harus diperhatikan teori pembangunan yang berada pada garis pikir
Marxis adalah teori ketergantungan.
Sedangkan teori kedua adalah yang tidak dipengaruhi oleh cara
berpikir Marxis. Teori ini menempatkan diri pada posisi teori yang
melakukan kritik terhadap peradaban modern yang dibangun dari
cari berpikir rasional dan empiris pada abad pencerahan. Menurut
teori ini peradaban modern saat ini tidaklah membawa kehidupan
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A

masyarakat yang lebih baik. Peradaban modern dianggap telah


menciptakan peninggalan kebenaran yang telah menindas kebenaran
lain yang berbeda dengan cara berpikir modern. Menurut penganut
teori ini, dominasi kebenaran yang ciptakan dalam peradaban
modern dianggap telah berdampak pada dehumanisasi. Teori
pembangunan yang berada pada posisi ini adalah teori postruktural
dan poskolonialisme. Berikut membahasan teori-teori tersebut.

A. Ilmu Sosial beraliran Marxis


Sebagaimana dijelaskan diatas Marxisme adalah adalah filsafat
dasar ilmu sosial yang muncul sebagai pengkritik utama teori-teori
sosial yang dibangun untuk melegitimasi kapitalisme industri.
Pendiri ajaran ini adalah Karl Marx (1818-1883) dan Frederich
enggels (1820-1895). Mereka sebenarnya mempunyai bagian dari
intelektual abad pencerahan yang percaya pada kemampuan
manusia untuk bergerak kearah kemajauan. Perbedaanya dengan
teori modernisasi adalah mereka memandang kemodern dikendali-
kan orang-orang kaya yang mengarakan pada perwujudan sistem
kapitalis guna kepentingan mereka untuk mengakumulasi kapitalis
yang memiskinkan sebagian besar manusia. Teori-teori Marxis
mengajarkan sebuah analisis struktural yang radikal yang diarahkan
guna membawah perubahan struktural yang mengarah pada upaya
membebaskan kaum Proletar atau buruh yang dipandang penganut
ajaran ini ditindas oleh kaum borjuis.
Dalam pengertian ini struktur dipahami sebagai sebuah sistem
kondisi material dalam bentuk organisasi kemasyarakatan beserta
sistem imbalan material di dalamnya. Proses ini juga mencakupan
proses tata kelola alat produksi yang menyangkut sistem kontrolnya.
Dalam hal dialektika, Marx menyepakati ide dialektika yang
dikembangkan oleh hegel, namun ia menolak dialektika tersebut
hadir dalam bentuk pertentangan ide. Menurutnya dialektika hadir
dalam bentuk material berupa konflik kelas pada upaya
penguasaan faktor produski, yaitu antara kelas-kelas sosial yang
mengusai faktor produksi seperti tuan tanah dan petani penggarap,
kemudian pada masa masyarakat industri terjadi pertentangan

52
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A.

antara kelas pemilik modal (kaum kapitalis atau borjuis) melawan


kaum pekerja yang ditindas atau Mark menyebut-nya kaum proletar.
Pada perkembangn Filsafat yang dikembangkan oleh Karl Mark
dan engels ini muncul sebagai tandingan dari ilmu sosial yang
dikembangkan oleh ilmu sosial konvensional. Dalam ilmu sosiologi
Marxisme mengenalkan analisis kelas dan paradigma konflik dalam
menganalis dunia sosial. Cara berpikir ini sangat kontras dengan
kaum modernis yang memandang dunia sosial sebagai realitas yang
mengarah pada kehormonisan dan kestabilan sebagaimana
dikembangkan oleh pendekatan struktural fungsional.
Pengaruh pandangan Marxisme dalam Ilmu ekonomi juga
tampak pada cara pandangnya yang menolak penguasaan ekonomi,
terutama faktor-faktor produksi oleh privat dan bebas campur
tangan negara. Teori ekonomi Marxis menjadi teori ekonomi
tandingan karena teori ini menekankan pentingan penguasaan
faktor-faktor produksi secara kolektif. Menurutnya penguasa
ekonomi oleh sedikit orang hanyalah menjadi bagian dari penindasan
oleh kelas yang berkuasa, yakni kaum borjuis.
Pada perkembangan selanjutnya, teori Marxis juga menjadi
pengkritik utama teori pembangungan yang dikembangkan dengan
mendasarkan pada teori pendukung ide-ide developmentalisme.
Teori yang dipengaruh oleh filsafat Marxis yang paling berpengaruh
dalam ilmu sosial sekitar tahun 70-80an adalah teori-teori yang
dikenal dengan teori ketergantungan. Teori-teori ini menolak klaim
teori modernisasi bahwa kemiskinan dan keterbelakangan adalah
disebabkan karena belum modernya sebuah masyarakat, sebaliknya
mereka berpendapat kemiskinan terjadi karena masuknya
modernisasi yang menciptakan hubungan struktural yang tidak adil.
Pembangunan yang meyandarkan diri dengan masuknya modal-
modal asing yang bekerjasama dengan penguasa lokal menjadi
penyebab terjadinya kemiskinan di negara-negara dunia jajahan.
Dengan demikian, Karl Marx dan Frederich enggels telah
memberikan sebuah pisau analisis yang sangat tajam dalam ilmu
sosial yaitu analisis struktural. Analsis ini digunakan oleh sebuah
ilmuwan sosial di segala bidang ilmu sosial yang berspektif Marxis
dan menjadi alat analisis yang tajam untuk membongkar persolan-
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A

persoalan kemiskinan dan keterbelakangan yang dialami oleh


masyarkat di negara-negara dunia ketiga yang telah terintegrasi
dengan sistem kapitalisme global.

B. Postruktural atau Posmodernism


Pendekatan postruktural atau sering juga disebut
posmodernisme tidak mengkritik kapitalisme secara langsung tetapi
pendekatan ini menolak ide-ide yang berkembang pada abad
pencerahan (modern) yang didominasi oleh cara berfikir yang
positivistik. Pendekatan ini melakukan kritik yang tajam terhadap
ide-ide modern yang memandang realitas secara dualistik, yaitu
secara subjek dan objek, pendekatan postrukturalis tidak
memandang realitas dunia dari sisi kondisi material, tetapi
memandang dari luar materi dan tidak memisahkan antara subjek
dan objek. Sehingga pendekatan ini menolak pengetahuan yang
bebas nilai, karena tidak ada objek yang tidak dipengaruhi subjek
demikian juga sebaliknya. Kepentingan yang bepengaruh terhadap
cara munculnya pendekatan postruktural adalah membebaskan
manusia dari ide-ide pencerahan yang dianggap telah mendehumani-
sasikan manusia. Dengan menolak ide pencerahan sebenarnya
pendekatan ini juga menaklukkan kritik terhadap Marxisme yang
juga lahir sebagai bagian dari cara berpikir abad pencerahan.
Salah satu tokoh yang berpengaruh dalam pendekatan
postruktural adalah Michel Foucault yang mengkaitkan hubungan
antara ilmu pengetahuan dan kekuasaan. Bagi Foucault pengetahuan
modern yang diproduksi oleh ilmuwan abad pencerahan tidak dapat
dilepaskan dari kepentingan kekuasaan yang memproduksinya.
Dengan logika ini, pendekatan ini mengembangkan analisis
pendekatan menekankan pada dinamika kekuatan yang terdapat
dalam proses-proses pembentukan dan produksi makna dan bahasa
dan juga kekautan bahasa dalam mempengaruhi hubungan
kekuasaan. Lebih jauh lagi, dalam pendekatan ini bahasa yang
muncul dalam bentuk wacana tidak hanya dipahami sebagai medium
netral yang terletak di luar pembicara. Bahasa sebagai representasi
yang berperan pula dalam membentuk jenis-jenis subyek tertentu,
tema-tema wacana tertentu, dan maupun strategi-strategi

54
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A.

didalamnya. Dikatakan dalam pendekatan ini, wacana politik


merupakan “representasi” dalam dirinya sendiri, dan merupakan
ruang bagi digelarnya kuasa tertentu yang mengkonstruksi realitas
sosial. Jadi dalam pendekatan ini realitas sosial bukan lah sesuatu
yang muncul dengan sendirinya karena keinginan sejarah, tetapi
realitas muncul karena konstruksi sosial oleh agen-agen kekuasaan
dalam memproduksi wacana.
Dengan mengaitkan relasi pengetahuan pendekatan ini tidak
menganalis secara langsung hubungan kekuasaan dalam
mengendalikan faktor-faktor produksi seperti analisis Marxis ketika
mengkritik kapitalisme, tetapi juga juga melihat budaya yang sebagai
faktor penting yang menciptakan realitas politik yang diciptakan oleh
modernisasi. Analisis pendekatan ini terhadap budaya berbeda
dengan pendekatan modernisasi, bahkan mengkritik pendekatan
modernisasi. Kritiknya adalah pendekatan modernisasi memandang
budaya hadir di dalam masyarakat mempunyai tahap-tahap yang
linear seiring dengan perkembangan ekonomi masyarakat tersebut,
sedang pendekatan ini post-strukturalis memandang budaya tidak
dapat dilepaskan dari wacana yang hadir, dimana wacana tersebut
diproduksi dari hubungan antar pengetahuan dan kekuasaan (Ritzer,
2003). Dengan demikian, pendekatan post-strukturalis memandang
wacana yang melahirkan budaya adalah produk dari hubungan
pengetahuan dan kekuasaan. Analisis dalam pendekatan ini lebih
luas dari struktural, yang hanya melakukan analsisis hubungan
struktur yang hadir di dalam masyarakat, tetapi hubungan yang
berada diluar struktur, seperti wacana dan praktis.
Pendekatan postruktural mempengaruhi kritik terhadap
proses pembangunan yang merepresentasikan ide-ide teoretis sosial
yang ingin memodernisasi masyarakat dunia ketiga. Bagi mereka
upaya ilmuwan sosial modern yang ingin melakukan penyeragaman
pembangunan mematikan pengetahuan lokal dan merupakan bagian
dari upaya kontrol dari masyarakat negara maju terhadap
masyarakat di negara dunia ketiga. Dengan matinya pengetahuan
lokal masyrarakat yang menganut pengetahuan diluar pengetahuan
modern menjadi tersingkir, sedangkan masyarakat yang telah
terintegrasi pada pengetahuan modern masuk dibawah kontrol dan
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A

kendali agen-agen yang memproduksi dan mereproduksi pengetahu-


an modern.
Dengan demikian pendekatan postruktural adalah pendekatan
yang lahir dari keprihatinan terhadap produk-produk kemodernan
yang dianggap telah menjebak manusia kedalam kondisi yang tidak
humanis. Teori-teori sosial dari kalangan ini diperuntukan guna
membongkar hubungan antara pengetahuan dan kekuasaan dalam
ilmu pengetahuan dominan, yang dianggap oleh teoretis modernisasi
sebgai pengetahuan yang bebas nilai.

C. Postkolonialisme dan menuju indegenousasi


Wacana alternatif lain dari pengetahuan modern adalah
munculnya ide untuk membangun kembali pengetahuan yang
berbasisis pada ide-ide lokal. Ide-ide ini muncul dari intelektual
negara-negara negara pasca kolonial yang memandang kondisi yang
buruk di negaranya adalah buah dari penjajahan akademik yang
panjang yang melahirkan ketergantungan terhadap teori-teori sosial
dari Barat. Para intektual yang juga terdidik di Barat seperti Edward
Said, Gyan prakash, Frans Fanon dan Syad Farid Husen Alatas
menjadi intektual utama untuk membangun kembali ilmu sosial
dinegara dunia agar dapat berkembang sesuai dengan konteks sosial
masyarakat non Barat.
Meskipun demikian ide poskolonial memberikan kritik
terhadap dominasi pengetahuan Barat, ide ini berbeda dengan
postruktural. Perbedaan postruktural dan poskolonial terletak pada
cara mereka memandang teori- teori yang dikembangkan Barat. Bila
pendekatan postruktural menolak mentah mentah, sedangkan
poskolonial menekan pada pentingnya upaya mengkombinasikan
dan memodifikasi teori-teori dari Barat dengan ide-ide lokal agar
bisa sesuai dengan konteks lokal.
Dalam pandangan intelektual yang mengemukakan ide-ide
poskolonialism realitas sosial masyarakat negara-negara jajahan
telah diciptakan oleh ilmuwan sosial dari masyarakat penjajah dan
perkembangan intektual negara-negara pasca jajahan masih
mengalami ketergantungan dengan negara Barat. Syed Farid Al-atas
(1995a, 1995b) menyebutkan hal ini dengan sebutan kebergantung-

56
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A.

an akademis dimana ilmuwan sosial dinegara-negara non Barat


mengalami kebergantungan dengan rekan-rekannya dari negara
Barat dalam bentuk konsep dan teori, dana riset, teknologi
pengajaran dan riset dan prestise penerbitan dengan intelektual
(Ibid). Dengan demikian, baik pada masa kolonial dan pasca kolonial
perkembangan ilmu sosial dinegara bekas jajahan masih berada
dalam posisi terkolonialisasi yang disebabkan karena masih kuatnya
ketergantungan akademik dari para sarjana negara-negara tersebut.
Meskipun kondisi perkembangan ilmu sosial di negara bekas
jajahan masih didominasi dan dibawah kontrol negara-negara bekas
penjajah, sebagian kecil para sarjana sosial di negara dunia non-
Barat tetap berupaya untuk melakukan kritik. Para sarjana ini
menginginkan perlu dilakukan upaya melakukan indegenisasi
terhadap ilmu sosial yang diterapkan dinegara-negara non Barat.
Tujuan akhir dari upaya ini adalah untuk mengembangkan ilmu
sosial yang teorinya dibangun dari kebudayaan dan sejarah yang
dialami oleh masyarakat non Barat sendiri.

Perkembangan Ilmu Sosial di Indonesia


Perkembangan ilmu-ilmu sosial di Indonesia semenjak jaman
kolonialisme diteruskan pada jaman Indonesia merdeka (1945), era
Orde Lama, era Orde Baru hingga era Pasca Orde Baru, sebagaimana
pararel dengan perkembangan ilmu sosial yang terjadi di Eropa
memiliki keterkaitan dengan kepentingan regim yang berkuasa atau
kelas yang dominan pada berbagai jaman tersebut. Misalnya pada era
kolonialisme Belanda dikembangkan ilmu Indologi, suatu ilmu yang
sengaja dikembangkan dalam rangka memahami realitas sosial-
budaya masyarakat Hindi Belanda (Indonesia) demi kepentingan
pihak kolonialisme yakni agar bisa terus melanggengkan proses
kolonialisme di bumi Indonesia serta dalam beberapa derajat
tertentu untuk ikut memberikan masukan kebijakan bagi pihak
Kerajaan Belanda dan VOC, Hal tersebut dilakukan dengan
rasionalitas supaya dapat mengambil kebijakan yang sesuai pada
satu sisi memberikan keuntungan dari sisi ekonomi dan pada sisi
yang lain tetap bisa mempertahankan stabilitas politik serta
dominasi pihak Belanda atas Hindia Belanda.
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A

Dengan kata lain para sarjana yang menekuni Indologi bekerja


sesuai dengan kepentingan dan pesanan dari pihak VOC dan Pihak
Kerajaan Belanda untuk kepentingan keberlangsungan penjajahan di
Indonesia. Hasil penelitian dan rekomendasi yang diproduksi oleh
Indologi, dilakukan pertama-tama untuk kepentingan pihak rezim
yang berkuasa, tidak netral dari kepentingan pihak penjajah.
Orientasi pengembangan indologi pertama-tama bukan untuk
kesejahteraan dan kemakmuran rakyat Hindia Belanda (masyarakat
Indonesia).
Indologi dapat didefinsikan sebagai kajian tentang penduduk
dan masyarakat di kepulauan Hindia Belanda yang dicetuskan oleh
dunia keilmuan Belanda dan Eropa Modern. Indologi memiliki posisi
yang sangat penting dalam dinamika keilmuan dan pembentukan
Hindia Belanda. Indologi dipengaruhi dan mempengaruhi pemben-
tukan Negara kolonial Hindia-Belanda. Penelitian-penelitian para
Indolog mengambil bagian dalam membentuk Indonesia pada masa
kolonial dan seterusnya. Dan pada sisi lain dinamika Indologi hanya
dapat dipahami dalam bingkai kekuasaan kolonial, pembentukan
Indologi dipengaruhi dan mempengaruhi dinamika Hindia sebagai
Negara Kolonial (Hanneman Samuel, 2010: 2).
Sebelum lahir Indologi upaya untuk melakukan kajian ilmiah
tentang Hindia Belanda antara lain telah dilakukan oleh Thomas
Seamford Raffles, melalui karyanya History of Java, pada awal abad
ke 19. Kemudian baru pada tahun 1851 didirikanlah Royal Institute
of Linguistics, Geography, an Ethnology of the Netherlands
Indies/KITLV). Melalui lembaga ini telah memberikan yang sangat
berarti dalam membangun pengetahuan tentang penduduk,
kebudayaan, dan masyarakat Hindia Belanda melalui cabang ilmu
bernama Indologie. Lembaga KITLV dikontrol kuat oleh Belanda.
Peran Negara terlihat dalam berbagai hal seperti upaya-upayanya
mendorong peneleitian-penelitian, menjembatani hubungan di
antara para akademisi dan menyelaraskan dinamika di dunia
akademik dengan dinamika birokrasi kolonial Hindia Belanda.
Melalui lembaga KITLV ini terlihat bahwa bagaimana kepentingan
kolonial melekat erat dengan hasrat intelektual (Hanneman Samuel,
2010:12).

58
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A.

Aktivitas KITLV serta minat kalangan luas pada waktu era


kolonial terhadap indologi cenderung sejalan dengan kepentingan
negara kolonial. Kepentingan akademik, sebagaimana dapat dibaca
pada terbitan-terbitan Bijdragen, tidak bisa dipisahkan dari
kepentingan kolonial. KITLV mengambil poisisi yang sejalan dengan
kepentingan kolonial mempertahankan status quo di Hindia Belanda.
Hubungan antara Negara dengan dunia keilmuan begitu mantap
sehingga citra tentang Hindia Belanda serta para penghuninya di
kepala masyarakat Belanda didekonstruksi dan direkonstruksi oleh
para ilmuwan. Akibatnya studi-studi yang kurang memiliki relevansi
atau tidak memiliki relevansi langsung tidak kebijakan Negara
ditinggalkan.Terjadi campur aduk antara Indologi dengan kebijakan-
kebijakan Negara, misalnya terlihat dari tidak terpisahkannya
aktivitas-aktivitas KITLV dan para Indolog dengan urusan-urusan
Negara kolonial. Lebih jauh lagi kebanyakan di antara pencetus dan
pengembang Indologi adalah para birokrat. Para birokrat ini
merupakan tulang punggung Indologi yang berasal dari berbagai
tingkat pemerintahan. Dalam konteks ini kegiatan Indilogi semakin
intensif sejak dilangsungkan politik etis di akhir abad ke 19,
dikarenakan melalui politik etis ini para birokrat diminta untuk
melakukan obsevasi terhadap kehidupan masyarakat Hindia
Belanda. Para birokrat menjadi peneliti sosial yang handal dengan
kualitas akademik yang tinggi sesuai dengan standar ilmiah pada
masa itu (Hanneman Samuel, 2010:14).
Jejak pengaruh Indologi dalam konteks kehidupan di Indonesia
menurut Hanneman Samuel (2010: 1), menyatakan bahwa
pelengseran pemerintahan kolonial Belanda tidak sama dengan
tercerabutnya pengaruh keilmuan kolonial terhadap negeri ini
seutuhnya. Pengaruh Belanda masih menjadi sesuatu yang inheren
dalam pengetahuan sosiologi kontemporer di Indonesia walaupun
hal tersebut telah mengendap membuatnya tidak kasat mata.
Walaupun ada usaha-usaha politik dan keilmuan untuk melenyapkan
warisan-warisan kolonial dalam kehidupan kita hari ini, wacana
politik dan keilmuan tertentu justru memperkuat dampak dan
warisan keilmuan kolonial. Hal tersebut misalnya dapat dilihat pada
cara sejumlah kalangan melakukan kajian terhadap primordialisme
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A

(etnisitas, agama) mereka secara politis membangun konsep-konsep


hubungan antar agama di Indonesia, komunitas-komunitas Tionghoa
di Indonesia serta hubungan antara negara dengan masyarakat sipil
yang diskriminatif sebagaimana dilakukan pada masa era kolonial
Belanda.
Setelah era Indologi berakhir, muncullah apa yang disebut
dengan Amerikanisasi ilmu sosial yang lebih berorientasi ke
Amerika Serikat dan sebagian ke Eropa Barat. Produksi teori dan
konsep yang dihasilkan memiliki kesamaan dengan teori dan konsep
yang dihasilkan oleh para indologi. Para Indonesianis memahami
masyarakat Timur termasuk masyarakat Indonesia sesuai dengan
alam pikir- kondisi sosial-budaya masyarakat Barat.
Perkembangan Ilmu-ilmu sosial di Indonesia pada periode
pascakolonial, setelah Indonesia meraih kemerdekaan rupanya
meneruskan tradisi yang telah dimulai oleh para Indologi dalam arti
menempatkan penegetahuan tentang manusia dan masyarakat lebih
untuk kepentingan rezim politik yang berkuasa daripada untuk
memajukan ilmu pengetahuan itu sendiri (Tirtosudarmo, 2007: 324-
325).
Perkembangan ilmu sosial di Indonesia tidak terhindarkan
dari pengaruh perubahan politik yang terjadi setelah tahun 1965,
Indonesia memasuki suatu periode politik yang mementingkan
pragmatisme dan pembangunan ekonomi. Posisi ilmu-ilmu sosial
sejak saat itu semakin jauh tenggelam dalam paradigma pembangun-
an yang pada tingkat internasional didominasi oleh teori-teori
modernisasi (modernization theories) yang dikembangkan oleh ahli-
ahli ilmu sosial positistik dari Amerika Serikat. Beberapa tokoh
mahzab modernisasi yang menonjol dan dianut oleh ahli ilmu-ilmu
sosial, politik, dan ekonomi adalah WW Rostow (ekonomi), Samuel
Huntington, Myron Weiner, Lucian Pye, Gabriel Almond, Sudney
Verba (Politik) Clyde Kluckon (Antorpologi) Neil J Smelser (sosiologi)
dan David McCleland (psikologi).
Perkembangan ilmu-ilmu sosial di Indonesia Pasca 1965
searah dengan perubahan politik yang menekankan stabilitas dan
strategi pembangunan yang mementingkan pertumbuhan ekonomi.
Jika pada sebelum kemerdekaan perkembangan ilmu-ilmu sosial

60
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A.

hampir sepenuhnya menjadi bagian dari strategi kolonial untuk “


menaklukan” penduduk jajahannya di Hindia Belanda, setelah
kemerdekaan terjadi pergeseran pengaruh dari Belanda ke Amerika
Serikat.

Perkembangan Ilmu Sosial pada Masa Orde Baru


Kisah perjalan ilmu sosial di Indonesia merupakan kisah
tentang kekuasaan (Dakhidae, 2003). Diantara kisah itu antara lain
penyingkiran agenda redistribusi dalam studi agraria, masuknya
Yayasan Ford dan Rockefeller dalam pembentukan corak epistemic
ilmuwan sosial, penggusuran ilmuwan sosial yang dicurigai dekat
kaum sosialis/komunis, rezim Soeharto dengan proyek amnesia
sejarah, imperialisme ekonomi mainstream, tampilnya lembaga
swadaya masyarakat (LSM) sebagai pusat gagasan kritis, dan lain-
lain. Dalam kajian sederhana ini penulis ungkapkan beberapa
kronologi perkembangan ilmu sosial semasa Orde Baru berdasarkan
beberapa literatur.
1. Rapuhnya landasan filosofis keilmuan sosial
Landasan filosofis keilmuan yang mencakup komponen
ontologi, epistemologi, dan aksiologi dalam masa kekuasan Orde
Baru mengalami sakit akut, sehingga ilmu sosial nyaris tidak
berkembang. Diantara penyebab penyakit itu adalah (1) pengaruh
kekuasaan dalam membentuk kebenaran tunggal, (2)
penyembunyian fakta-fakta yang tidak disukai, (3) Kondisi ontologis
ilmu sosial mengalami pengaburan karena hakaikat kebenaran objek
kajian ilmu sosial tidak lagi bersifat alami, kebenaran objek studi
ilmu sosial ditentukan oleh penguasa. Gusti Asnan (2002)
menyatakan dalam ilmu sejarah populer ungkapan sejarah ditulis
oleh para pemenang. Dalam kasus Indonesia, pemenang itu adalah
penguasa (pemerintah). Peran penguasa dalam penulisan sejarah
(historiografi) di negeri ini, terutama pada masa Orde Baru sangat
besar. Penguasalah atau pemerintahlah yang menentukan apa yang
boleh dan tidak boleh ditulis.
Ambisi penguasa Orde Baru untuk mempertahankan
kekuasaan telah sampai pada produksi kebenaran dalam dunia
akademik. Tindakan untuk memproduksi kebenaran itu diantaranya
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A

memalui kontrol buku-buku dan materi pelajaran di sekolah, melalui


keharusan memanfaatkan sumber tunggal buku Sejarah Nasional
Indonesia (SNI) dan PSPB (Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa).
Dalam pembelajaran di bebagai jenjang pendidikan juga harus
menggunakan sumber tunggal penanaman ideologi Pancasila dengan
berpedoman pada tafsir tunggal yang dinamakan butir-butir
Pancasila. Tradisi menganut kebenaran tunggal dan kontrol yang
ketat dari penguasa Orde Baru menyebabkan buku-buku pelajaran
ilmu sosial atau di sekolah-sekolah disebut IPS ditulis tanpa
metodologi yang konsisten, sebagaimana dinyatakan Nies Mulder
(dalam Anton Novenanto, 2012)
Foucault (1989) dalam tulisannya The Archaeology of
Knowledge, mengikuti Nietzche, mengembangkan ide bahwa
kekuasaan dapat menghasilkan pengetahuan. Menurutnya, tidak ada
kebenaran yang tak diperdebatkan khususnya mengenai
karakteristik manusia atau kehidupan manusia. Setiap hal yang kita
tahu, merupakan sebuah ekspresi dari model-model pemikiran atau
penjelasan dominan. Kita tahu karena kita percaya bahwa hal itu
benar. Kita percaya pada kebenaran tersebut karena kita belajar di
sekolah, atau diceritakan oleh ilmuwan, para pakar teknis, birokrat,
dan elit pembuat kebijakan. Masyarakat selalu diorganisasikan dalam
kerangka hirarkis dan kesenjangan.
Kondisi atmosfir akademik dalam diskursus teori kebenaran di
Indonesia dalam konteks Orde Baru, merupakan representasi
pemikiran Foucalt tersebut. Hal ini dapat dilihat bagaimana
teknokrat seperti Widjoyo Nitisastro, dan kawan-kawan dari
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (UI) pada akhir 1960-an
yang dikenal sebagai Mafia Berkeley, – Barkeley Mafia adalah
tuduhan atas pemikiran Widjojo yang dianggap sebagai bagian dari
rencana CIA untuk membuat Indonesia sebagai boneka Amerika oleh
seorang penulis muda Amerika Serikat – diberdayakan untuk
mencapai tahapan sekaligus tujuan-tujuan pembangunan ala Walt
Whitman Rostow dengan biaya yang diinjeksi oleh Ford Foundation.
Di sini tampak pengaruh Amerika terhadap pola pikir dan praktik
pembangunan di berbagai ranah kehidupan bernegara. Contoh lainya
adalah otoritarianisme gaya Suharto dalam “memberdayakan” Pusat

62
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A.

Studi Kependudukan Universitas Gadjah Mada (UGM) agar


menghasilkan konsep Keluarga Berencana untuk mengatasi ledakan
penduduk.
Dalam menghadapi kebangkitan masyarakat kelas menengah
Islam, yang saat itu telah merambah pada berbagai lini (termasuk di
kalangan militer), kelompok ini banyak dikenal sebagai golongan
hijau, penguasa berusaha menghadapinya dengan memanfaatkan
orang-orang di sekitarnya untuk menghadang kebangkitan tersebut
dengan membentuk Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI).
Dalam kepengurusan inti faksi politik yang bernama ICMI tersebut
ditempatkan nama-nama intelektual yang populer dan familier
seperti BJ Habibie, Dawam Raharjo dan Adi Sasono. ICMI menjadi
bemper penguasa, dan tidak jarang pula menjadi kendaraan politik
bagi pengurusnya untuk mencari posisi dalam lingkar istana.
Dalam konteks ontologis, objek kajian keilmuan sosial pada era
Orde Baru sangat sukar untuk dianalisis secara terbuka, khususnya
gejala stratifikasi sosial dan konflik antara kelas, dan sekarang sudah
lebih bisa diterima, karena memang gejalanya sudah ada sejak zaman
penjajahan sekalipun (Tjondronegoro, 2002). Perbedaan kelas,
terutama dalam bidang ekonomi dan pendidikan menjadi isu sensitif.
Perbedaan kelas dalam masyarakat antara si kaya dan si miskin,
antara yang berpendidikan tinggi dan tidak berpendidikan,
merupakan bukti kegagalan pembangunan, sehingga menjadi sesuatu
yang tidak disukai oleh penguasa jika diungkap sebagai fakta ilmiah.
Ketidaksukaan penguasa semacam ini menjadikan ilmu sosial dalam
posisi tidak independen dalam melakukan kajian atas objek yang
dimilikinya.
Dari aspek epistemologi, di Indonesia perlu ada ilmuwan sosial
yang bertindak lebih dari sekadar menyusun ensiklopedia metode
penelitian, melainkan mulai memikirkan strategi metodologi yang
dilahirkan dari konteks masyarakat Indonesia dalam rangka
membangun teori sosial yang khas Indonesia. Belum banyak
ilmuwan sosial Indonesia yang melakukan indegenisasi metodologi.
Kalaupun sudah, ajaran mereka belum menjadi suatu “mazhab” yang
mampu melakukan dialog dialektis dengan mazhab ilmu sosial lain di
level internasional. Ini merupakan suatu tantangan yang menarik
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A

bagi para calon ilmuwan dan ilmuwan sosial di era pasca otoritarian
Orde Baru (Anton Novenanto, 2012).
Masing-masing kebudayaan sama kedudukannya, tidak ada
yang lebih tinggi ataupun rendah. Masalahnya “kaca mata” yang
dipakai seringkali bersifat kesukuan (etnosentris) sehingga
pandangan bahwa kebudayaan A lebih tinggi daripada kebudayaan B
nyata terjadi, terlebih setelah masa Orde Baru berkuasa selama 32
tahun. Perbedaan dalam cara melihat dan merumuskan realitas akan
melahirkan perbedaan proposisi tentang hakekat realitas tersebut
beserta konsekuensi-konsekuensinya. Perbedaan pemahaman tentang
sesuatu yang dianggap riil, akan diikuti pula oleh munculnya cara
yang berbeda dalam memilih data yang relevan bagi realitas
tersebut, dan strategi yang berbeda dalam mengumpulkan data
(Sunjoto Usman, 1998).
Dalam studi sosial ekonomi (politik) perhatian pada isu alat
produksi, modal, dan tenaga kerja sangatlah penting. Perhatian ilmu
sosial di Indonesia pada rentang periode pasca Perang Dingin yang
ditandai dengan naiknya Orde Baru, isu penguasaan alat produksi
yang mendasari terbentuknya kelas sosial cenderung dihindari,
bahkan diharamkan (Hilmar Farid dalam Ahmad Nasih Lutfi, 2012).
Aspek aksiologis ilmu sosial pada masa Orde Baru lebih banyak
dimanfaatkan untuk menyenangkan penguasa dan mempertahankan
kekuasaan. Dhakidae (2003) meyakini bahwa bahwa perkembangan
pokok dalam ilmu sosial dan disiplin-disiplinnya semua tergantung
kepada soal kekuasaan. Hubungan ilmu sosial dan kekuasaan sangat
sulit untuk dipisahkan. Kontrol penguasa atas dunia pendidikan dari
SD sampai perguruan tinggi, melahirkan keseragaman wacana.
Dampaknya di perguruan tinggi diantaranya adalah hasil-hasil
penelitian ilmu sosial di masa Orde Baru merepresentasikan
ketakaburan-ketakaburan proyek modernisasi dan pembangunan
rezim, misalnya, ini benar adanya. Bukti-bukti interaksi mutualistis
negara dengan dunia akademik yang tak mungkin disangkal berdiri
kokoh di tempatnya.
Ahli-ahli sosial asing yang dikenal dengan sebutan indonesianis
telah mengidentifikasi Indonesia. Baik untuk kepentingan akademis
maupun praktis. Banyak ahli sosial asing yang sangat paham

64
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A.

mengenai Indonesia dan menemukan teori yang berasal dari


masyarakat Indonesia, sebagai contoh Clifford Geertz merumuskan
teori Abangan-Santri-Priyayi yang menunjukkan karakteristik
kehidupan sosial di Indonesia. J.S Furnivall merumuskan teori
masyarakat majemuk Indonesia yang terdiri dari bangsa Eropa
sebagai lapisan teratas, di bawahnya terdapat warga asing non-
Eropa, dan lapisan terbawah adalah kaum pribumi. Edward Brunner
menghasilkan tesis tentang kebudayaan dominan yang hidup
menaungi kebudayaan lain. Dari sisi praktis, Snouck C. Hurgronje
menemukan teori atau formula memenangkan peperangan melawan
bangsa Indonesia, yaitu kuasai agamawan dan kesadaran beragama.
Masih banyak ahli sosial lain yang mempelajari dan merumuskan
teori tentang Indonesia. Diplomat asing pun dibekali pengetahuan
tentang seluk beluk Indonesia, sehingga saat bertugas sebagai
diplomat di Indonesia mereka telah merasa mengenal betul kondisi
Indonesia, kebudayaan, dan termasuk cara berdiplomasi untuk
memenangkan tujuan negaranya
2. Militer dan lembaga-lembaga yang dibentuk pemerintah menjadi
produsen pemikiran dalam ilmu sosial
Independensi ilmu yang merupakan corak prinsip dalam ilmiah
bermazhab positivistik di era Orde Baru tidak menemukan
pijakannya. Sementara ilmuwan kritis bermazhab non-positivistik
pun tidak dapat berkembang. Untuk memperoduksi diskursus yang
menguntungkan penguasa maka dibentuklah lembaga kajian yang
disebut Center for Strategic and International Studies (CSIS),
didirikan pada tanggal 1 September 1971, terletak di Jakarta Pusat.
CSIS merupakan lembaga think thank penguasa Orde Baru, badan
pemikir atau badan analis yang berorientasi pada kebijakan.
Kehadiran CSIS tidak dapat dilepaskan dari peranan Ali Moertopo
dan Soedjono Hoemardani, yang saat itu berkedudukan sebagai
Asisten Pribadi Presiden Soeharto. Karena itu, ada anggapan CSIS
adalah lembaga bentukan atau alat politik Orde Baru. CSIS memang
dimaksudkan untuk menjadi badan pemikir (think tank), badan
analis yang berorientasi pada kebijakan (policy oriented studies).
CSIS memiliki tiga peran penting, pertama, menjadi badan
pemikir, badan analis yang berorientasi pada kebijakan. Bukan hanya
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A

teoretis saja, tetapi mempunyai daya guna langsung dengan


memberikan pemikiran kepada masyarakat, pemerintah, dan para
pengambil keputusan, baik masalah internasional maupun masalah
dalam negeri. Kedua, sebagai clearing house untuk para cendekiawan
lain yang mungkin tidak mendapat kesempatan dikenal idenya,
terutama oleh para pengambil keputusan. Ketiga, mengadakan
seminar, pendidikan, latihan, dan penjabaran ide yang bersifat
strategis untuk eksistensi bangsa, serta mengembangkan hubungan
internasional (jakarta.go.id).
3. Menyembunyikan fakta-fakta yang tidak disukai
Banyak fakta-fakta yang dapat dijadikan kajian ilmu sosial
disembunyikan oleh penguasa, sehingga ketika masyarakat
memerlukan kepastian atas sebuah peristiwa sejarah, ilmu sosial
tidak dappat memberikan analisis untuk menjawab permasalahan
tersebut. Beberapa peristiwa penting yang sengaja disembunyikan
atau dikaburkan antara lain fakta PDRI (Pemerintah Darurat
Republik Indonesia). PDRI menghilang dari pembahasan pada buku-
buku yang digunakan di sekolah-sekolah.
PDRI telah ditulis oleh berbagai kalangan (sejarawan amatir
dan professional), keberadaannya pernah ditempatkan di tempat
yang wajar dalam sejarah bangsa, PDRI pernah dianggap sebagai
bagian dari perjuangan RI masa revolusi dan tidak ada hubungannya
dengan PRRI (Karena PRRI terjadi di akhir dasawarsa 1950-an). Pada
masa Orde Lama dan Orde Baru, PDRI memang dihilangkan, dan itu
karena penguasa saat tersebut mengaitkan PDRI dengan PRRI.
Namun pada dekade-dekade terakhir Rezim Soeharto, keberadaan
PDRI mulai diberi tempat. Seminar dan penulisan mengenai PDRI
mulai diizinkan.
Hilangnya PDRI dalam penulisan sejarah Indonesia di masa
lampau adalah salah satu contoh, sejarah itu ditulis oleh para
pemenang. Hilang atau dihilangkannya peristiwa yang penting itu
karena sebagian besar tokoh PDRI adalah juga tokoh-tokoh penting
dalam PRRI. Di mata pemerintah, baik Orde Lama atau Orde Baru,
PRRI adalah gerakan pembangkangan terhadap pemerintah, serta
dianggap sebagai pengkhianatan terhadap negara. Karena itu PRRI
dihabisi Jakarta melalui operasi militer besar-besaran. PRRI kalah

66
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A.

dan Jakarta keluar sebagai pemenang. Oleh Jakarta, sejarah PRRI


khususnya dan sejarah lain yang berhubungan dengan PRRI
(terutama tokoh-tokoh PRRI) dihitamkan atau dihilangkan dari
sejarah bangsa.
Kasus lainnya adalah penghilangan gambar Sukarno dari foto
pengibaran bendera bersama Mohammad Hatta pada buku “Pejuang
dan Prajurit” karya Nugroho Notosusanto yang terbit pada tahun
1984. Wajah Soekarno tak tampak dalam foto pengibaran Merah-
Putih, 17 Agustus 1945. Hanya wajah Bung Hatta yang tampak.
Terhadap keanehan ini Sejarawan Abdurrachman Surjomihardjo
menelepon penerbit yang menerbitkan buku itu, yakni penerbit Sinar
Harapan. Menurutnya, tindakan itu merupakan penggelapan sejarah.
Hanya pada edisi berikutnya, wajah Soekarno muncul kembali.
Hingga hari ini tidak diketahui apakah itu motifnya: upaya de-
Soekarnoisasi.
Fakta sejarah lainnya yang kabur hingga kini adalah
Supersemar, peristiwa G30 S/PKI, serangan umum 1 Maret yang
membingungkan hingga saat ini). Belum ada titik terang tentang
peristiwa Supersemar, karena tidak ada dokumen sejarah yang dapat
menerangkannya. Bukti-bukti telah hilang, entah dengan sengaja
atau tidak, tetapi kalau dikritisi, meungkinkah pemerintah seceroboh
itu dalam menjaga arsip penting negara?
Historiografi didominasi oleh penguasa, sudah menjadi
aksioma bahwa penulisan sejarah sangat ditentukan oleh jiwa zaman,
serta latar belakang sosial-politik, dan budaya yang berkembang saat
penulisan itu dilakukan. Jadi sangat wajar bila PDRI, yang tokoh-
tokohnya adalah juga tokoh-tokoh PRRI yang dibenci penguasa Orde
Lama dan Orde Baru dihilangkan dalam penulisan sejarah (buku-
buku sejarah) yang ditulis pada saat kedua rezim itu menguasai
setiap aktivitas sosial, politik, dan denyut budaya
Asvi Warman Adam (dalam Dakhidae, 2003) memaparkan
kisah bagaimana rezim Orde Baru melakukan amnesia sejarah.
Sejarah sebagai ilmu sosial diperalat dan terlibat jauh dalam proyek
amnesia. Amnesia adalah tindakan penghancuran semua ataupun
sebagian memori. Agenda projek amnesia itu antara lain dengan
menumbuhkan citra hitam Soekarno dan Partai Komunis, dan tentu
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A

membangun citra bersih Soeharto serta militer (khususnya Angkatan


Darat). Dalam penulisan buku Sejarah Nasional Indonesia, misalnya,
upaya amnesia dilakukan oleh para sejarawan di sekitar Nugroho
Notosusanto. Projek amnesia dalam buku sejarah diprotes oleh
beberapa gelintir sejarawan yang masih memiliki idealisme dengan
melakukan aksi pengunduran diri, seperti Abdurrachman
Surjomihardjo, Thee Kian Wie, dan Sartono Kartodirdjo. Salah satu
hasilnya adalah definisi pahlawan yang bersifat militeristik. Simaklah
isi makam pahlawan Kalibata. Dari sekitar 7.000 pahlawan, 6.000
personel militer, 5.000 di antaranya dari Angkatan Darat. Pada
akhirnya, sejarah Indonesia berisi militerisasi sejarah dan
nasionalisme (Dakhidae, 2003:272).
4. Ciri khas ilmu sosial lebih bercorak kuantitatif dan ilmuwan sosial
tidak berdaya.
Pengaruh ideologi Amerika dalam bidang ekonomi dan
pengaruh lmu sosial Eropa (Eropasentris) telah mengkooptasi
ilmuwan sosial Indonesia pada kejumudan berpikir. Pengaruh
Amerika dan Eropa begitu kuat karena bersesuaian dengan kehendak
penguasa Orde Baru yang pembangunan minded. Pembangunan
(terutama aspek ekonomi dan fisik) menjadi jargon yang selalu
didengung-dengungkan oleh penguasa Orde Baru, dan ilmu sosial
kuantitatif sangat diperlukan untuk membuat perencanaan dan
mengukur keberhasilan pembangunan.
Pembangunan yang telah dilaksanakan di era Orde Baru
digembar-gemborkan sukses berdasarkan ukuran-ukuran ilmu sosial
kuantitatif, tetapi sesunguhnya rapuh. Karena ukuran-ukuran
kuantitatif sering bersifat semu dan mengkaburkan makna yang lebih
dalam dari sekedar apa yang tampak/terukur. Keberpihakan
ilmuwan sosial kepada masyarakat hampir tidak ada, oleh karena itu
Sayogja berusaha memasyarakatkan studi sosial kritis melalui
penelitian kualitatif.
Sanjoto Usman (1998) menyebut bahwa corak ilmu sosial yang
konservatif. Konservatif karena terlalu asyik dengan metode-metode
kuantitatif, sehingga miskin dalam melahirkan teori asli yang muncul
dari fenomena kondisi Bangsa Indonesia. Sangat sulit berharap untuk
ilmu bercorak konswervatif untuk dapat melakukan gerakan

68
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A.

indigenisasi. Pada akhir kekuasaan Orde Baru, terbukti bahwa IMF


dengan berbagai resep ilmu ekonomi dan sosiologinya dan didukung
dana hutang yang sangat besar, ternyata gagal dalam mengentaskan
keterpurukan krisis ekonomi di Indonesia. Ini bukti bahwa teori
Barat telah gagal dalam menyelesaikan menjawab permasalahan
bangsa. Ilmuwan sosial dalam kondisi tidak berdaya, bahkan mati
suri.
5. Amerika Centris dan Ilmuwan Tukang
Sejak pertengahan 1950-an Indonesia mulai mengirimkan
mahasiswa untuk berbagai ilmu sosial keluar negeri, tetapi ada
kecenderungan lebih banyak ke Amerika Serikat daripada ke Eropa.
Antara lain Soedjito Djojohardjo dikirim ke Inggris, tetapi lebih
banyak lagi yang belajar di Amerika dan menghasilkan thesis Ph.D.
seperti Selo Soemardjan, Mely Tan APU, Hasyah Bachtiar (hanya
sebentar di Universitas Amsterdam sebelum ke Harvard) dan lain-
lain. Perlu dipahami bahwa pengembangan dan perkembangan
theori yang digubah pakar Sosiologi tidak terlepas dari kejadian-
kejadian besar dalam masyarakat dan pengaruh-pengaruhnya
kepada pemikir/ilmuwan yang kemudian menerima sejumlah
assumsi yang mendasari teori (Herry Priyono, 2005). Dalam bidang
ekonomi ada Sumitro Djojohadikusumo, Subroto, Ali Wardhana,
Mohammad Sadli, dan Emil Salim (David Ransom, 2006).
Ada sedikit ilmuwan sosial yang berbeda, seperti Arief
Budiman dan, Mansour Fakih, dan kehadiran teori ketergantungan
maupun sistem dunia adalah fakta, bahwa di tengah-tengah
kepengapan para mahasiswa akan teori modernisasi yang menancap
di kurikulumnya, mereka tetap dapat memperoleh suara kritis
terhadap pembangunan dari seseorang yang berpredikat ilmuwan
sosial. Ada beberapa nama ilmuwan yang relatif merdeka, seperti
disebut oleh Daniel Dhakidae, antara lain Soedjatmoko hingga Selo
Soemardjan, serta ilmuwan-ilmuwan lain yang aktif mengisi jurnal
Prisma (Herry Priyono, 2005).
Bukan hanya banyak ilmuwan sosial telah menjadi makelar
rezim seperti Orde Baru, tetapi mereka juga aktif memburu jabatan
kekuasaan. Dalam idiom itu, kemudian kritik juga dilancarkan dalam
tata bahasa kekuasaan. Apa yang dimaksud dengan "kekuasaan"
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A

menunjuk pada tata dominasi Orde Baru. Tidak mengherankan bila


ilmu sosial di Indonesia lalu menjadi semacam gugus pandangan
yang bercorak sangat instrumental dan pragmatik, ketimbang kritis
reflektif" (Dakhidae, 2003:24). Dalam bahasa almarhum
Soedjatmoko, yang luas adalah studi pesanan untuk memoles citra
kebijakan dan diarahkan untuk menciptakan proyek baru. Tatkala
muncul istilah seksi baru, seperti civil society dan good governance,
para ilmuwan sosial tidak punya konsep dan metodologi yang mapan
untuk diaplikasikan dalam konteks ke-Indonesiaa. Di bawah
kangkangan developmentalism, ilmu-ilmu sosial di Indonesia menjadi
semacam pertukangan, punya daya besar tetapi membudak, amat
mirip seperti serdadu, mesin atau robot. Pada saat itu muncullah
istilah “ilmuwan tukang” atau intelektual tukang. Sebuah istilah dari
Paul Baran yang dipopulerkan oleh Widjoyo Nitisastro sendiri saat
berpidato di depan Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) UI
pada Januari 1966, menjelang kejatuhan Soekarno (Jringnews.com,
9/3/12), yang akhirnya dituduhkan pula pada dirinya sendiri.

Posisi Indigenisasi Ilmu–Ilmu Sosial di Indonesia


Arus utama perkembangan ilmu – ilmu sosial di Indonesia
sebagaimana telah dipaparkan pada uraian sebelumnya berada
dalam pengaruh dan dominasi teori-teori ilmu sosial Barat terutama
teori-teori sosial yang berasal dari Amerika dan Eropa.
Kecenderungan ini sudah berlangsung lama dalam kehidupan
aktivitas keilmuan di kampus-kampus dan perguruan tinggi di
Indonesia semenjak era kemerdekaan hingga awal abad ke duapuluh
satu.
Merespon perkembangan ilmu-ilmu sosial yang berada dalam
dominasi ilmu-ilmu sosial Barat, sejak dekade 1980-an beberapa
cendekiawan dan intelektual Indoensia berusaha untuk mencari
jawaban atas kondisi stagnasi tersebut. Kesadaran dari beberapa
cendekiawan seperti dituliskan oleh terkemuka Indonesia seperti
Sujatmoko, kiranya perlu direnungkan kembali. Bahwa control atas
produksi ilmu pengetahuan yang ada di Indonesia baik di pusat-
pusat penelitian (LIPI) di kampus-kampus, di sekolah-sekolah, di

70
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A.

institusi pemerintah dalam kegiatan pembangunan, dalam berbagai


kebijakan pemerintah.
Kelemahan yang terkait dengan persoalan produksi dan
kontrol produlsi ilmu pengetahuan memiliki kerterkaitan dengan
kegiatan pembangunan dan juga kontrol atas penguasaan dan
distribusi materi dan penguasaan modal dan alat produksi. Kegiatan
pembangunan yang berlangsung di Indonesia selama Orde Baru, di
dalamnya terjadi perputaran modal dan penguasaan atas modal dan
alat-0aalt produksi perlu dicermati keterkaitannya dengan kontrol
dan produksi ilmu pengetahuan.
Dimana posisi indiginisasi Ilmu-ilmu sosial di Indonesia?
secara umum dapat berikan jawaban, hal tersebut masih dalam
proses gerakan intelektual di beberapa kampus dan kesadaran
perorangan. Kesadaran tersebut sebagian besar ada pada figur-figur
cendekiawan dan masih sedikit institusi yang secara resmi
melakukan kerja-kerja formal untuk melakukan kerja intelektual
indiginasi ilmu –ilmu sosial. Diantara sedikit lembaga tersebut
Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Yogykarta adalah salah satu
dari sedikit lembaga yang telah secara serius melakukan projek
intelektual tersebut sejak tahun 2011 sampai tahun 2016 masih
terus berlangsung.

Merintis Jalan Menuju Ilmu-ilmu sosial Profetik10


Ilmu-sosial profetik adalah sebuah gagasan yang pertama kali
dikemukakan Kuntowidjojo pada tahun 1989 melalui wawancara
yang dilakukan oleh jurnal “Ulumul Qur’an” (Kuntowijoyo, 1989).
Setelah meluncurkan gagasan itu, Kuntowijoyo kemudian menulis
artikel dan buku yang menjelaskan gagasan mengenai ilmu sosial
profetik, misalnya dalam buku “Islam sebagai ilmu” (Kuntowijoyo,
2004) dan artikel “Paradigma baru ilmu-ilmu Islam: Ilmu sosial
profetik sebagai gerakan intelektual (Kuntowijoyo, 1999). Namun
sayang provokasi itu kurang mendapat tanggapan sehingga tidak
menimbulkan proses diskursus lebih lajut. Hal ini berbeda deegan
gagasan mengenai Ekonomi Islam yang dalam skala dunia telah

10
Tulisan ini diambil dari pemikiran Dawam Raharjo
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A

menjadi diskursus di dunia akademi dan kemudian diajarkan dan


direalisasikan dalam praktek.
Paradigma itu menjadi semakin kuat karena ekonomi Islam
bukan saja merupakan obyek penelitian yang luas, melainkan juga
karena telah diajarkan di perguruan tinggi dan dipraktekkan di ruang
pasar. Di Indonesia, ekonomi Islam menjadi praktek ekonomi
syari’ah, walaupun masih terbatas di bidang keuangan, lebih khusus
lagi perbankan, sehingga belum bisa disebut sebagai suatu
paradigma ilmu ekonomi pada umumnya. Ekonomi Islam adalah
salah satu cabang dari apa yang disebut ilmu-ilmu sosial profetik,
walaupun konotasi istilah ilmu sosial profetik adalah sosiologi.
Padahal di samping ekonomi Islam telah dikembangkan pula,
meskipun secara terbatas pada ranah teori politik Islam, psikologi
Islam dan antropologi Islam. Dengan demikian, maka yang dimaksud
dengan ilmu-ilmu sosial profetik disini adalah sebuah paradigma
yang trans-disiplin, walaupun masing-masing disiplin ilmu bisa
berkembang sendiri-sendiri secara terpisah. Namun dengan
berkembangnya paradigma ilmu-ilmu sosial profetik itu, maka
paradigma itu dapat diterapkan kepada seluruh cabang disiplin ilmu-
ilmu sosial profetik.
Disamping itu, di bidang epistemologi atau filsafat ilmu telah
berkembang wacana “Islamisasi pengetahuan” (Islamization of
knowledge) yang berasal dari tiga kubu. Pertama, kubu Syed Naquib
Alatas, yang menekankan pengembangan dasar-dasar nilai atau
teologi Islam sebagai titik tolak pengembangan ilmu pengetahuan.
Proyek ini dilaksanakan melalui lembaga ISTC (Islamic Institute of
Islamic Thought and Civilitation) yang berpusat di Kualalumpur.
Kedua, kubu Ismail Faruqi yang mentik-beratkan “pengislaman” atau
reorientasi ilmu pengetahuan yang sudah ada kepada nilai-nilai Islam
melalui pengembangan prosedur pembentukan pengetahuan.
Gagasan ini dikembangkan melalui lembaga III-T (International
Institute of Islamic Thought) yang berpusat di Herndon, Virginia, AS.
Dan ketiga, dari Syed Hossein Nasr yang bermaksud untuk
melandasai ilmu pengetahuan, khususnya kealaman dan teknologi,
dengan etika Islam, sehingga berdampak pada pengembangan

72
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A.

lingkungan hidup yang sesuai dengan sunnatullah. Gagasan ini tidak


memiliki lembaga yang mengembangkannya.
Kuntowijoyo tidak berkenan dengan gagasan itu, ia bukan
bermaksud untuk mengislamkan ilmu pengetahuan yang sudah ada,
terutama Barat, melainkan ingin melakukan saintifikasi atau
pengilmiahan Islam. Konsenkuansi dari gagasan ini adalah
pemakaian epistemologi Barat, walaupun secara selektif dalam
mengkaji dan mengembangkan ide-ide keislaman, ini berbeda
dengan pandangan III-T yang melakukan dua langkah sekaligus.
Pertama, kritik dan dekonstruksi pengetahuan yang sudah ada,
terutama Barat. Dan kedua, membangun epistemologi Islam yang
baru guna melakukan proses islamisasi pengetahuan yang sudah ada
ataupun yang baru.
Sungguhpun begitu, kesemua gagasan dan pendekatan di atas
saling melengkapi dalam usaha mengembangkan ilmu-ilmu sosial
profetik, sebagai ilmu transdisiplin. Proyek ini bermaksud untuk
mengembangkan gagasan ilmu-ilmu sosial profetik yang mencakup
aspek epistemologi, termasuk prosedur pembentukan pengetahuan
(thougt formation) untuk kajian dan penelitian, pendidikan dan
praktek pengembangannya dalam masyaraklat dalam rangka
mewujudkan masyarakat Islam, khususnya Indonesia.

Kerangka Konseptual Ilmu-Ilmu sosial Profetik


Hingga kini belum ada perumusan yang disepakati dalam
komunitas ilmu tentang ilmu-ilmu sosial profetik. Tapi menurut
pencetus idenya, Kuntowijoyo, Ilmu sosial profetis adalah ilmu sosial
yang berlandaskan atau bersumber dari pesan-pesan kenabian.
Secara formal, pesan-pesan kenabian itu telah dikodifikasikan ke
dalam corpus al Qur’an dan Hadits yang menurut Ahmad Wahib
keduanya adalah refleksi dari sejarah Muhammad s.a.w sebagai
seorang nabi utusan Tuhan. Dalam al Qur’an sendiri tidak hanya
terkandung pesan nabi Muhammad s.a.w, tetapi juga seluruh nabi-
nabi yang pernah diutus Allah, mulai dari Nabi Adam a.s hingga Nabi
Muhammad s.a.w yang pada intinya adalah Islam atau perdamaian,
Dalam kajian ini perlu dilakukan rekonstruksi pesan-pesan para nabi
itu. Dengan demikian dapat dirumuskan pengertian bahwa ilmu-ilmu
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A

sosial profetik adalah ilmu perdamaian (peace science) pesan


kenabian sepanjang waktu adalah perdamaian melalui penyerahan
diri kepada Tuhan.
Kuntowijoyo dalam kaitan ini menjelaskan hakekatnya dalam
dimensi misi kenabian, berdasarkan surat Ali Imran: 110 yaitu
humanisasi (amar ma’ruf), liberalisasi (nahi munkar) dan
transendensi (amana billah), sebagai misi kenabian (Kuntowijoyo,
2001). Misi itu adalah sebuah jalan lurus meunju perdamaian
(shiratal as mustakim). Dalam kaitannya dengan ilmu-ilmu sosial
secara umum dengan menggunakan perspektif profetik, ilmu-ilmu
sosial harus dilakukan upaya liberasi (pembebasan) dan humanisasi
dalam relasi horizontal dan transendensi dalam relasi vertikal. Pesan
peringatan dari misi profetik adalah “Manusia akan mengalami
kehinaan dimana saja mereka berada kecuali jika mereka berpegang
pada tali hubungan (perjanjian, kesepakatan) antara manusia dengan
Tuhan dan antara sesama manusia” (Q.s. al Baqarah: 112). Ilmu-ilmu
sosial profetik adalah jalan ilmu pengetahuan menuju realisasi misi
kenabian itu.
Secara teoretis Rawlsian, perjanjinan atau kesepakatan sosial
akan terjadi jika manusia menyepakati perjanjian itu berdasarkan
prinsip keadilan. Mengacu kepada pesan-pesan profetik berdasarkan
al Qur;an, maka nilai-nillai yang mendasarti relasi itu berdimensi
vertkal dan horizontal seperti terbaca dalam tabel berikut

NILAI DASAR IKATAN

No. VERTIKAL HORISONTAL


1. Iman Ihsan, amanah
2. Khilafah syura, ‘adalah, tahrir
3. tasyakur tadzkiyah
4. Mizan ‘adalah, ta’awun
5. Salam ta;aruf, islah

Dalam pengertian epistemologi, ilmu-ilmu sosial profetik


didasarkan pada konsep tauhid sosial, yaitu kalam mengenai dua
relasi hidup vertikal-horizontal dan saling pengaruh antara dua relasi

74
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A.

itu. Hubungan vertikal disimbolkan dalam istilah iman, sedangkan


hubungan horizontal disimbolkan dengan amal saleh. Dengan
demikian, sejalan dengan pandangan Syed Naquib Alatas, maka
proses menuju ilmu-ilmu sosial profetis harus didahului dengan
konseptualisasi pandangan hidup (world-view) melalui diskursus
tauhid sosial.
Menjadi pertanyaan, apakah umat Islam sudah merealisasikan
pandangan hidup itu secara utuh? Dengan perkataan lain apakah
nilai-nilai itu sudah merupakan living values yaitu nilai-nilai yang
dihayati dan hidup dalam perilaku individu dan masyarakat ?
Hipotesa kita adalah pandangan hidup itu memang sudah
dilaksanakan, tetapi secara parsial dan berat sebelah sehingga umat
Islam dan umat manusia pada umumnya belum bisa menciptakan
hidup yang mulia, atau dengan perkataan lain masih banyak
mengalami kehinaan, misalnya dalam konflik dan perang yang
menyebabkan rusaknya hubungan sosial dan disintegrasi sosial, juga
menyebabkan terjadinya kerusakan lingkungan hidup sebagi akibat
dari keserakahan manusia dan cara hidup yang musyrik, eksploitasi
dalam kemiskinan, atau menuhankan (berorientasi) pada banyak
tuhan-tuhan atau sesembahan atau pengabdian (Baidhawy, 2009).
Secara epistemologis, maka umat Islam dan yang lain
mengalami distorsi dari kondisi hidup mulia karena memiliki ilmu
yang keliru yang mendistorsi pandangan hidup. Dalam pandangan
tauhid sosial, maka ilmu pengatahuan harus didasarkan pada suatu
pandangan hidup yang benar dan baik yang mengadung hubungan
antara iman dan amal saleh (Q.s. al Ma’un) (Baidhawy, 2009). Tauhid
sosial akan mencari dan berusaha menemukan pandangan hidup
yang baik dan benar itu, yaitu pandangan hidup yang didasarkan
pada iman dan amal saleh. Dalam tauhid sosial akan diteliti relasi-
relasi vertikal dan relasi-relasi horizontal. Dengan demikian maka
ilmu-ilmu sosial profetik adalah ilmu-pengetahuan trans-disiplin
yang didasarkan pada konsep tauhid sosial (Rais, 1998). Dalam
keilmuan tradisional keagamaan Islam, telah berkembang ilmu
tauhid dan ilmu tasauf, disamping, ilmu kalam. Maka dalam
perspektif ilmu-ilmu sosial profetik, disamping tauhid sosial dalam
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A

dimensi vertikal, perlu pula dikembangkan ilmu fiqih sosial dan ilmu
tasawuf sosial yang berdimensi horisontal.

Implementasi Konsep Sosial Profetik


Kajian ilmu-ilmu sosial profetik, dalam pandangan Neo-
Modernis memerlukan dekontruksi pada dua sasaran. Pertama,
dekonstruksi atau kritik terhadap ilmu pengetahuan yang telah
berkembang, khususnya Barat yang dominan. Kedua, dekontruksi
terhadap ilmu-ilmu keagamaan tradisional yaitu ilmu kalam, ilmu
fiqih dan ilmu tasawuf. Dekonstruksi itu dilakukan dari dalam
maupun dari luar. Dari dalam dilakukan dengan mengkritik
pengetahuan berdasarkan epistemologi ilmu itu sendiri. Sedangkan
dari luar dengan menghadapkan ilmu pengetahuan umum dengan
ilmu pengetahuan keagamaan Islam tradisional atau dengan
menghadapkan berbagai doktrin komprehensif, meminjam istilah
John Rawls.
Dalam melakukan dekontruksi terhadap ilmu-ilmu keagamaan
tradisional dapat dilakukan dengan dua cara. Pertama dengan
melakukan kajian tarjih, yaitu dengan mengembalikan persoalan-
persoalan kepada Al Qur’an dan Sunnah. Kedua adalah kepustakaan
ilmu termasuk studi kitab-kitab kuning dalam ilmu keagaman Islam
dengan metode analitis-komparatif yang membandingkan dan
menganalisis berbagai warisan pemikiran. Baik cara pertama
maupun kedua membutuhkan keterbukaan dan kebebasan, atau
meminjam istilah suami-istri Naisbit, dengan melakukan emansipasi
pemikiran dari dogma dan pemikiran mapan yang dominan dan
hegemonis, meminjam Gramchi.
Metode tarjih dilakukan dengan mengkaji tafsir al Qur’an,
tafsir Hadits dan sejarah Muhammad. Hasil kajian itu kemudian
dipakai dalam analisis ilmu-ilmu sosial umum. Sedangkan metode
analisis komparatif dilakukan dengan menganalisis suatu masalah
atau konsep dari berbagai orang, sesuai dengan topik yang dibahas.
Dalam konteks itu, kajian tentang ilmu-ilmu sosial profetik
dilakukan dalam skala mini sesuai dengan sumberdaya yang
terjangkau. Beberapa langkah atau agenda yang akan dilakukan
adalah:

76
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A.

1. Melakukan konseptualisasi Ilmu-ilmu sosial profetik dalam


diskusi terbatas atau diskusi lewat internet.
2. Melakukan studi al Qur’an dalam suatu metode yang merangkum
berbagai aliran dan pandangan ilmu tafsir, khususnya Tafsir bil
Qur’an, Tafsir bil Ma’tsur dan tafsir Maudhu’i.
3. Melakukan kajian Epistemologi Islam dan merumuskan berbagai
metode penelitian.
4. Melakukan penulisan berbagai masalah kontemporer.
5. Melakukan penelitian kancah dalam ruang lingkup lokal,
khususnya penelitian mengenai Civil Islam atau living values pada
berbagai jenis komunitas Muslim, misalnya di sektitar pesantran
atau ranting organisasi-organisasi gerakan Islam.
6. Pembentukan berbagai komunitas epidstemik ilmu-ilmu sosial
profetik
7. Menyelenggarakan kongres pemikiran nasional.
Berbagai kegiatan itu tidak perlu dilakukan secara berurutan,
tetapi bisa dilakukan secara serempak berdasarkan prioritas dan
kesiapan.

A. Tafsir Al Qur’an Kontekstual


Dalam rangka memahami doktrin komprehensif Islam,
diperlukan penafsiran al Qur’an secara metodis, sistematis, objektif
dan analitis. Metodis artinya berdasarkan suatu metode tertentu
yang efektif, sistematis artinya berdasarkan prosedur tertentu
sehingga diperoleh pemahaman yang tepat. Dan objektif artinya
berdasarkan rasionalitas dan dukungan fakta sehingga hasil
penafsirannya memungkinkan dapat diterimanya oleh orang lain.
Analitis dilakukan dengan mengumpulkan, mengklasifikasi,
mengelompokkan, menguraikan dan mengintegrasikan sehingga
dapat diperoleh pengertian yang maksimal. Penafsiran seperti itu
lebih memungkinkan dicapainya overlapping consensus yang dapat
diterima secara universal.
Dalam perkembangan ilmu tafsir, telah lahir berbagai aliran
tafsir yang baru, khususnya tafsir maudhu’i (tematis, tafsir bil al
ma’thur, tafsir sufi, tafsir metaforis dan tafsir Qur’an bi al Qur’an,
ta’wild dan hermeneutika). Berbagai aliran tafsir itu saling
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A

melengkapi dan bisa dikombinasikan. Untuk melaksanakan kegiatan


tafsir al Qur’an itu diperlukan suatu kelompok kajian al Qur’an
sehingga dapat dilakukan penafsiran al Qur’an secara partisipatif.
Tanpa memperdebatkan perbedaan dan pertentangan antara
berebagai aliran tafsir al Qur’an itu, secara praktis dapat dilakukan
kegiatan pengkajian al Qur’an dengan prosedur sebagai berkiut.
Pertama, ditentukan subyek penafsiran dengan menafsirkan ayat
yang pertama kali turun, yaitu surat al Alaq: 1-5. Dari ayat-ayat itu
dapat diidentifikasi bebarapa kata kunci yaitu: qara’a . ismun, robb,
khalaqa, insan, al ‘alq, akrama, ilm, ‘alama. Dengan menafsirkan 5
ayat pertama surat al ‘Alq itu maka dapat disimpulkan hakekat al
Qur’an sebagai sumber utama doktrin komprehensif Islam.
Kedua, dengan mengkaji surat al Fatihah sebagai surat yang
pertama kali turun. Surat al Fatihah perlu dikaji pertama, karena
surat ini adalah induk kitab yang berisikan esensi al Qur’an yang
dijelaskan oleh surat dan ayat al Quran lainnya secara keseluruhan
dan karena itu merupakan kunci pemahaman al Qur- an. Dari surat al
Fatihah dapat didagftar kata-kata kunci, yaitu: ismun, illah, al hamd,
robb, alamin, rahman, rahim, malik, yaum, al din, ‘abada, ista’in,
ihdina, sirad, mustaqim, n’mat, magdhub, dhalala (Rahardjo, 2005).
Selanjutnya tiap-tiap kata itu dicari maknanya dari keterangan
al Qur’an sendiri. Langkah ini dapat dilakukan dengan pertolongan
kamus bahasa Arab dan buku indeks, yang terlengkap adalah
Concordance of the Qur’an susunan Hanna N Kassis.
Proses pemaknaan dapat dilakukan secara sistematis dengan
menyusun secara kronologis turunnya al Qur’an, menurut Noldecke,
Kairo (Fuad) atau Izzah Darwazah. Mufassir ini telah menyusun
suatu tafsir al Qur’an berdasarkan kronologi turunnya ayat dan
kemudian dikaitkan dengan sejarah Muhammad. Karena sejarah itu
bersifat rekonstruktif dan interpretative, maka metode ini
mengandung unsur subjektifitas, namun secara ilmiah tidak menjadi
masalah.
Dalam penafsiran kata, ayat dan surat perlu juga dicari
keterangan asbab al nuzul surat al ‘Alaq dan surat al Fatihah dan
hadist nabi yang menjelaskan kedua surat dan ayat itu. Setelah
dilakukan kajian tafsir untuk memperoleh esensi dari doktrin

78
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A.

komprehensif al Qu’an, maka dalam rangka kajian tauhid sosial, fiqih


sosial dan tasawuf sosial dalam rangka mengembangkan ilmu-ilmu
sosial profetik, disarankan pertama kali dilakukan penafsiran
mengenai pengertian al ummah (termasuk su’ub dan kabilah).
Prosedurnya juga sama yakni mencari keterangan mengenai makna
al ummah dari al Qur’an sendiri dan juga dari Hadist dan Sejarah
Muhammad (sebagaimana dilakukan oleh Syed Qutub dalam
tafsirnya Fi Zdilal al Qur’an).11
Dalam rangka kajian ini beberapa ayat bisa dijadikan titik
tolak, yaitu surat al Baqarah [2]: 112, surat Ali Imran [3]: 104, 110,
dan surat al Hujurat [49]: 13. Surat ini bisa dikaitkan dengan surat Ali
Imran [3]: 159, surat Syura [42]: 38 dan surat yang melengkapi
surat-surat sebelumnya. Surat-surat di atas dapat dipakai sebagai
titik toleh karena mengadung esensi dari pesan-pesan profetik.
Mengikuti metode Muhammad Shahrur, untuk pemahaman
dapat dipergunakan teori-teori sosial, misalnya Thomas Hobbes, John
Locke, Jean Jaques Rousseau dan Jurgen Habermas. Dengan teori-
teori sosial itu maka bisa dilakukan ta’wil terhadap mana suatu
istilah dan ayat secara kontekstual
1. Revolusi Paradigmatis
Ilmu-ilmu keagamaan tradisional Islam dimulai dengan wacana
kalam pada masa konflik para sahabat yang bersumber pada konflik
politik. Ilmu kalam atau teologi dimulai dengan wacana kaum
Khawarij yang menantang kepemimpinan Ali dan Mu’awiyah. Dari
konflik politik antar shahabat Nabi tersebut, kemudian lahir berbagai
aliran pemikiran dan berdampak pada pembentukan ideologi politik
yaitu Syi’ah yang berhadap-hadapan Sunni dan kemudian Murji’ah
yang moderat.
Setelah kekhalifahan Ummaiyyah berdiri, timbul kebutuhan
untuk melakukan legitimasi terhadap kekuasaan dan kebutuhan
untuk mengatur pemerintahan berdasarkan hukum. Dari sini timbul
dan berkembang ilmu fiqih (hukum) yang membentuk hukum
syari’at di segala bidang.

11
Lihat uraian mengenai konsep ummah dalam Dawam Rahardjo
(1992).
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A

Namun ilmu fiqih ini tidak didukung dengan ilmu kalam yang
kokoh, sehingga menimbulkan persoalan legitimasi kekuasaan,
ketika berhadapan dengan para filsuf Persi yang cenderung beraliran
Syi’ah. Karena itu khalifah merasa terancam legitimasi kekuasaannya,
karena tidak mampu menandingi filsafat Parsi yang metafisik-
sufistis.
Menurut pemikir kontemporer Maroko al Jabirie, dalam upaya
menandingi filsafat Parsi, Khalifah al Ma’mun mendatangkan
pemikiran dari luar, yakni dari Yunani guna menandingi filsafat Persi
sehingga menimbulkan proses Hellenisasi ilmu Kalam. Arus
Helenisasi ini didukung oleh para pemikir Arab sendiri, seperti al
Kindi dan al Farabi yang menjadi penafsir filsafat Plato dan
Aristotelas, namun dengan menyisihkan filsafat politik sehingga
dunia keilmuan Arab-Islam kurang mengetahui filsafat politik,
khususnya demokrasi dan negara republik, sebab filsafat ini
berpotensi mendelegitimasi kekuasaan khilafah. Itulah sebabnya
maka di Dunia Islam tidak timbul filsafat sosial semacam teori
Thomas Hobbes, John Locke, Jean Jaques Rousseau yang melahirkan
berebagai revolusi sosial berdasarkan wacana hak-hak azasi
manusia, karena dalam filsafat Islam hanya dibahas teori kekuasaan
berdasarkan syari’ah dan tidak dibahas filsafat kewargaan yang
melahirkan teori kontrak sosial dan masyarakat warga (civil society)
yang menjadi tradisi kajian ilmu sosial hingga sekarang yang
memuncak pada teori keadilan John Rawls pada tahun 1970-an.
Proses Helenisasi mencapai puncaknya pada kelahiran aliran
pemikiran rasionalis Mu’tazilah. Teori teori ini terjebak dalam
perselingkuhan kekuasaan dengan khilafah Abbasiyah sehingga
menimbulkan reaksi untuk kembali kepada paradigma tradisional
yang berbasis pada ilmu kalam, fiqih dan tasawuf yang cenderung
melegitimasikan kekuasaan al Mutawakkil, pengganti al Ma’mun
yang despotik dan tertutup. Akibatnya, Dunia Islam kembali
didominasi oleh ortodoksi kalam-fiqih-tasawuf tradisional yang
mendasari kekuasaan absolute-dispotik khalifahan.
Maka pada saat itulah lahir sintesis al Ghazali dengan opus
magnusnya Ihya Ulumuddin (Menghidupkan kembali ilmu-ilmu
keagamaan). Maksudnya melawan filsafat yang rasional. Sejak itu

80
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A.

berkembang di Dunia Islam paradigma fiqih-tasawuf yang diduga


oleh pengamat modern sebagai sumber kemunduran Islam di bidang
ilmu pengetahuan dan peradaban. Al Ghazali sebenarnya melawan
filsafat rasional Yunani. Namun dampaknya membendung wacana
kalam (teologi Islam). Dengan latar belakang itulah lahir Ibn
Taimiyah melawan al Ghazali, tapi dengan mengikuti strategi al
Ghazali dengan melakukan sistesis antara fiqih rasional dengan
kalam rasional. Tapi pemikiran Ibn Taimiyah ini mengacu kepada
kalam Rububiyah al syari’ie dan mengikuti tradisi mazhab Hambali
mengarah pada pemurnian tauhid, yang melahirkan tauhid uluhiyah
yang rasional. Tauhid Ibn Taimiyah ini mempengaruhi pemikiran
Muhammad Abduh yang kemudian melahirkan Risalah Tauhid yang
dimaksudkan sebagai dasar peradaban Islam modern yang rasional.
Tauhid Muhammad Abduh inilah cikal bakal dari wacana tauhid
sosial yang dilontarkan oleh M. Amien Rais yang ditawarkan untuk
dikembangkan tapi kurang mendapatkan perhatian dari kalangan
cendekiawan Muslim.
Gagasan tauhid sosial sebenarnya dilontarkan untuk
membendung arus sekularisasi pemikiran Islam sebagai dampak
ilmu pengetahuan modern Barat, khususnya teori-teori sosial
positivis-empiris naturalis yang mendobrak ilmu-ilmu keagamaan
tradisional yang mengalami krisis dan mengakibatkan lahirnya
sekularisme Turki di Dunia Islam.
Terkesan dalam proses sekularisasi itu ilmu pengetahuan
rasional cenderung meninggalkan ajaran-ajaran nilai kewahyuan
yang oleh John Rawls disarankan untuk dibendung dari memasuki
ruang publik, karena dasarnya adalah keyakinan subjektif yang
sektarian, sehingga berpotensi menimbulkan konflik yang tak
terselesaikan. Sebagai gantinya, ilmu pengetahuan sosial
dikembangkan berdasarkan nalar moral (moral reasoning) yang
dikembangkan melalui filsafat moral, demikian pula didasarkan pada
nalar publik. Dengan pendasaran itu maka diskurus rasional akan
membuka kemungkinan bagi tercapainya apa yang disebut
kesepakatan tumpang tindih (overlapping concensus). Namun, John
Rawls membendung doktrin komprehensif agama itu dalam
kerangka gagasannya mengenai liberalisme politik (political
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A

liberalism) dan bukannya dalam kerangka dunia kehidupan


(lebensfelt) yang menyeluruh.
Sungguhpun begitu, pemikiran Rawls, dalam teorinya
mengenai transformasi ruang publik ditolak oleh filsuf Jerman Jurgen
Habermas. Ia berpendapat bahwa pluralitas masyarakat modern
memang merupakan realitas dan keniscayaan. Tapi masalahnya
adalah dalam pluralitas itu kebebasan dan kesetaraan harus tetep
terjadi, yang dicirikan dengan kebebasan deliberasi di ruang publik.
Karena itu agama sebagai doktrin komprehensif tidak perlu
dibendung ke ruang publik, bahkan ruang publik perlu dibuka bagi
doktrin komprehensif. Untuk itu perlu ditemukan tata-kelola yang
tepat untuk menjaga pluralitas dan sekaligus kebebasan deliberatif
untuk mencapai konsensus.
Dalam kaitan ini, Habermas mengajukan preposisi dalam tata-
kelola itu, atas dasar keadilan dan kesetaraan, sebagaimana
dikemukakan oleh John Rawls. Pertama, argumen-argumen religius
yang subjektif itu harus bisa dijelaskan secara rasional sehingga
memiliki status epistemik yang dapat diterima oleh warga yang
sekular maupun dari penganut doktrin komprehensif yang lain.
Dalam bahasa Kuntowijoyo harus mengalami obyektivikasi. Dengan
perkataan lain, aspirasi-aspirasi keagamaan harus dapat diterjemah-
kan ke dalam persoalan keadilan sosial bagi semuanya. Kedua, para
warga sekuler dan penganut keyakinan lain perlu pula belajar dari
aspirasi-aspirasi religius untuk mencapai kesaling-pengertian. Inilah
yang dimaksud dengan ta’aruf dalam al Qur’an surat (al Hujurat [49]:
13) dalam hubungannya dengan pluralitas masyarakat. Ketiga,
negara harus bersikap netral dan adil. Netralitas berarti tidak
memutlakkan sekularisme. Tugas Negara adalah melancarkan
deliberasi politik dan menjaga tatanan hukum. Dan keempat,
kelompok agama mayoritas juga tidak boleh membendung kontribusi
kelompok-kelompok agama lain maupun kelompok sekluler.
Kelompok atau kekuatan mayoritas juga tidak boleh mengabaikan
atau membungkam potensi kebenaran kelompok minoritas baik dari
luar maupun dari dalam kelompok mayoritas sendiri. Disini
Habermas berbicara mengenai era pasca-sekuler.

82
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A.

Sungguhpun begitu penganut doktrin komprehensif perlu


mempertimbangkan pandangan John Rawls mengenai keadilan dan
kesetaraan ruang publik politik kemana doktrin komprehensif ingin
masuk berpartisipasi. Pluralitas menyusunkan realitas adanya
banyak keyakinan dan aspirasi yang didasarkan pada agama, etnis,
dan kelas sosial yang membentuk doktrin komprehensif. Masalah ini
juga harus menjadi perhatian tauhid sosial yang membahas
hubungan sosial horizontal. Yang menjadi persoalan bagi pihak
ketiga atau Negara Levithan-nya Thomas Hobbes adalah, bagaimana
kemajemukan yang hidup di ruang bersama itu dapat dikelola hingga
tidak menimbulkan konflik terbuka atau state of war (daar al harb) di
ruang publik. Para filsuf sosial berusaha untuk menemukan prinsip
yang dapat dijadikan dasar agar kemajemukan identitas tetap
terjaga, dan tidak ada yang merasa diperlakukan secara tidak adil
oleh yang berkuasa atau yang lain. Hal ini adalah juga menjadi
persoalan tauhid sosial.
Pokok pikiran John Rawls mengenai tata-kelola yang baik itu
adalah tata kelola yang bisa menjaga keadilan (justice, al ‘adalah),
dan kebebasan (liberty, tahrir) dalam kesetaraan (equality, mizan)
antara berbagai pandangan dan doktrin komprehensif. Bagi Rawls
kemajemukan identitas itu jangan sampai menimbulkan konflik
terbuka, melainkan titik temu dalam suatu permufakatan yang
tumpang tindih (overlapping consensus). Titik temu (kalimatun
sawa’) ini hanya bisa dicapai apabila setiap gagasan bisa
dikemukakan berdasarkan nalar moral (subjektif) maupun nalar
publik (objektif) yang dapat diterima oleh semua berdasarkan
prinsip keadilan dan kebabasan. Dalam pandangan tauhid sosial,
kesepakatan itu tidak hanya persetujuan bersama yang dapat saja
dicapai dalam kondisi represif, melainkan harus didasarkan pada
prinsip-prinsip keutamaan (al khair) yang menjadi dasar
pembentukan suatu umat, kelompok, organisasi dan ruang publik.
Dalam kaitan ini, maka tauhid sosial12 adalah wacana kalam
dalam konteks masyarakat modern yang majemuk dengan keaneka-
12
Istilah tauhid sosial pertama kali di populerkan oleh Amien Rais (1998) sejak
dekade 1990-an dan menjadi konsep untuk memahami relasi social antar
manusia dan relasi manusia dengan Tuhan.
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A

ragaman pandangan, aspirasi dan doktrin komprehensif. Tauhid


sosial dan ilmui-ilmu sosial profetik sendiri berpendapat bahwa
mufakat sosial atau kesepakatan yang tumpang tindih yang menjadi
dasar pembentukan masyarakat dan ruang publik adalah dengan
menjaga tali hubungan antara manusia dengan Tuhan dan tali
hubungan antara manusia dengan manusia melalui tatanan hukum
yang dimaksudkan oleh Rawls maupun Habermas.
Namun demikian, hingga sekarang, tauhid sosial dan ilmu-ilmu
sosial profetis itu masih berada pada taraf hipotesa umum yang
belum dirumuskan secara ilmiah. Karena itu diperlukan wacana
ilmiah sebagai bahan pertimbangan dalam deliberasi terbuka.
Dewasa ini yang dihadapi oleh ilmu-ilmu sosial profetis adalah
disatu pihak paham ortodoksi yang berporos pada wacana kalam-
fiqih dan tasawuf tradisional yang mengalami jalan beku dalam
konteks masyarakat modern yang plural. Dan di lain pihak adalah
perkembangan ilmu pengatahuan rasional yang lepas dari akar-akar-
wahyu. Di berbagai kalangan ilmuan agama dewasa ini timbul upaya
yang menghubungkan keyakinan dengan ilmu pengetahuan, yang
sangat nampak di kalangan Kristen, misalnya dalam wacana etika
bisnis dan filsafat sosial dalam rangka humanisasi ekonomi dan
masyarakat. Demikian pula timbul wacana yang menghubungkan
Budhisme dan Taoisme dengan ilmu pengetahuan kosmologi dan
fisika modern. Di kalangan Islampun timbul wacana yang menghu-
bungan sains dan al Qur’an. Namun wacana itu hanya baru
membuktikan kesesuaian al Qur’an dengan ilmu pengetahuan. Di lain
pihak juga pertentangan antara sains dan teknologi modern yang
merusak lingkungan hidup dengan ajaran Islam. Dengan kata lain,
yang berkembang baru wacana kritik di satu pihak dan apologetik di
lain pihak.
Ilmu-ilmu sosial profetik dalam hal ini berusaha untuk
menjawab persoalan-persoalan dan tantangan masyarakat modern
yang bertentangan dengan kemanusiaan dan lingkungan hidup
menurut sunnatullah yang berkerja dalam alam semasta. Namun
doktrin komprehensif Islam masih kehilangan orientasi al Qur’an dan
Sunnah. Karena itu maka diperlukan terlebih dahulu, analisis tauhid
sosial sebagai titik tolak pengembangan ilmu-ilmu sosial profetik.

84
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A.

Ilmu-ilmu sosial profetik, dengan latar belakang pemikiran itu


dimaksudkan sebagai sintesis baru dalam perkembangan ilmu-ilmu
keagamaan (ihya ulumuddin) baru yang tidak memisahkan ilmu-ilmu
pengetahuan rasional dengan ilmu-ilmu kewahyuan (revealed
science). Integrasi itulah yang membentuk ilmu-ilmu keislaman
sebagai ilmu perdamaian (peace science) sebagai ilmu yang
terintegrasi.
Sebenarnya ilmu-ilmu sosial profetik itu sudah lebih jauh
berkembang dalam teori ekonomi Islam atau ekonomi syari’ah.
Dalam batas-batas tertentu, ekonomi Islam, terutama di bidang
keuangan dan perbankan sudah dapat dipresentasikan berdasarkan
nalar moral dan nalar publik. Walaupun secara terbatas, ilmu
ekonomi Islam sudah bisa mencapai overlapping consensus
sebagaimana terbukti dengan pembukaan lembaga-lembaga
keuangan syari’ah oleh investor asing dan kelompok keyakinan lain.
Konsep riba misalnya pada mulanya adalah keyakinan subjektif yang
berada di ruang privat. Tapi sistem ribawi ini bisa dikritik secara
rasional, berdasarkan nalar moral maupun nalar publik. Dalam
proses mencapai overlapping consensus, wacana riba telah
mengalami obyektivikasi, demokratisasi dan rasionalisasi pasar.
Walaupun demikian, konsep perbankan syari’ah masih mengalami
evaluasi dari luar maupun dari dalam. Dari luar, dianggap belum
sesuai dengan nalar publik, misalnya masih dipertanyakan sampai
seberapa jauh perbankan syari’ah mampu memberdayakan
masyarakat dhu’afa dan mengentaskan dari kemiskinan? Dari dalam
masih dipertanyakan, apakah sistem bagi hasil dan rugi mampu
membaran hakekat sistem riba tanpa mengganti sistem mata uang?
Apakah sistem ekonomi Islam sudah benar-benar didasarkan pada
sistem zakat yang mensucikan dan menumbuhkan, inklusif-
partisipasif, kooperatif, emansipatif dan liberatif. Penilaian mengenai
hal ini memerlukan penelitian empiris tentang fakta yang
berkembang. Karena itu, maka ekonomi Islam sebagai cabang dari
ilmu-ilmu sosial profetis belum membentuk paradigma ekonomi
yang baru tetapi masih terus dikembangkan melalui penelitian dan
praktek.
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A

Namun, pengembangan ilmu-ilmu sosial profetik merupakan


langkah yang menggerakkan kebangkitan ilmu-ilmu keagamaan baru
yang mengintegrasikan ilmu-ilmu pengetahuan rasional-empiris
dengan ilmu-ilmu kewahyuan. Karena itu perlu dibentuk suatu
proyek Ihya Ulumuddin. Sebagai langkah pragmatis perlu dilakukan
penelitian di dua sektor, pertama adalah kajian ilmu tafsir guna
menemukan dan memahami esensi pesan-pesan kenabian, terutama
mengarah kepada konsep umat sebagai konsep dua relasi. Kedua,
melakukan penelitian mengenai living value dan civil Moslem pada
tingkat akar rumput. Dua jurusan penelitian itu akan saling
memberikan informasi yang bermanfaat dalam meneruskan kajian
ilmu-ilmu sosial profetis.
Pada akhir uraian tentang peta perkembangan teori-teori
Sosial perlu ditegaskan sekali lagi posisi teori indigenisasi.
Mencermati pemaparan yang telah penulis sampaikan sebelumnya,
kiranya dapat dinyatakan bahwa teori indigenisasi dapat dimasukan
dalam teori sosial non konvensional. Perspektif Indigenisasi dapat
masuk melalui pintu teori sosial non kovensional, demikian juga
dapat masuk melalui diskursus alternatif ilmu sosial. Terkait dengan
gagasan diskurusus alternatif antara lain sudah dirintis oleh
intelektual dari Malaysia Prof. Farid al Atas di Indoensia ada nama-
nama seperti Sudatmoko, Kunto Wijoyo, Selo Sumardjan, Sartono
Kartodirjo.

Implementasi Pengajaran Teori-Teori Sosial dan Indigenisasi


Teori Sosial Indonesia
Pengajaran ilmu –ilmu sosial di Indonesia semenjak
berkuasanya rezim Orde Baru secara umum mengikuti model
pembelajaran ilmu sosial yang berlangsung di Barat khususnya
Amerika Serikat. Basik pada level teori yang dikembangkan, tema-
tema penelitian, bahan ajar, metode penelitian, filsafat ilmu yang
dirujuk. Baru pada atahun 1990-an mulai ada warna lain setelah
beberapa mahasiswa yang mengambil gelar Ph.D. di Jerman,
Perancis, Belanda dan sebagian di Australia pulang ke Indonesia dan
kembali aktif di kampus masing-masing. Melalui publikasi buku,
makalah yang disajikan dalam forum-forum ilmiah, artikel yang

86
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A.

dipublikasikan oleh alumni yang dari Eropa (Misalnya Heru Nugroho,


Ph.D., Asvi Warman (sejarawan alumni Perancis), Purwo Santoso,
Ph.D ( LSE Inggris) membawa corak yang berbeda dengan yang
alumni Amerika Serikat.
Para akademisi alumni Eropa tersebut membawa tradisi
akademik yang lebih kritis dalam tulisannya ketika melihat peran
negara, pasar, pemilik modal, relasi antara negara dan pasar
(market). Beberapa tema yang mempertemukan para akademisi ini
misalnya topik tentang supremasi sipil (gagasan demiliterisasi),
memperkuat Civil Society, sikap kritis masuknya pengusaha
(pemodal) ke dalam kehidupan politik di Indonesia.
Pembahasan posisi indigenisasi ilmu-ilmu sosial dalam peta
perkembangan teori-teori sosial selanjutnya dibahas sebagai berikut.
Hasil peneleitian yang dilakukan oleh LIPI menunjukan bahwa
selama pemerintahan Orde Baru berkuasa, kekuasaan rezim
tersebut pengaruhnya sampai kepada produksi ilmu pengetahuan
yang ada di berbagai lembaga ilmiah khususnya kampus dan
lembaga-lembaga riset. Para peneliti di berbagai lembaga riset
seperti LIPI tidak memiliki banyak pilihan dalam memilih topik
penelitian dan mengembangkan berbagai konsep pemikiran baik di
bidang ekonomi, politik, kebudayaan. Kondisi tersebut disebabkan
oleh kontrol yang terlalu ketat dari Rezim Orde Baru dalam
melakukan pembatasan pada kampus, yang di posisikan hanya
sebagai lembaga ilmu. Kondisi tersebut berkaitan dengan
diterapkannya kebijakan NKK/BKK sejak dekade akhir tahun 1970-
an. Hasil penelitian dan publikasi di kampus-kampus besar seperti
UI, UGM, Unair, Unibraw adalah lebih merupakan penelitian yang
normatif kurang membawa sikap kritis.
Penelitian dan paper-paper yang dihasilkan oleh umumnya
akademisi di berbagai kampus Indonesia pada kurun waktu antara
1966 sampai dengan tahun 1998 adalah penelitian dan paper-paper
yang kebanyakan memberikan dukungan dan legitimasi berbagai
kebijakan pemerintah di berbagai bidang, terutama bidang pemba-
ngunan ekonomi, pembangunan pendidikan, modernisasi pertanian,
bidang kependudukan dll.
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A

Dalam kondisi kehidupan politik yang otoriter dan penuh


dengan situasi represif, pembelajaran ilmu-ilmu sosial di kampus-
kampus menjadi tidak banyak memiliki ruang gerak untuk
mengembangkan inovasi serta model pembelajaran yang menarik
bagi mahasiswa. Materi dan bahan ajar yang menjadi topik
perkuliahan menjadi kering dan miskin pembaharuan dikarenakan
berbagai pembatasan yang diberikan oleh Rezim Orde Baru.
Kurikulum yang dikembangkan di berbagai kampus besar
misalnya di FISIPOl UI, FISIPOL UGM, FISIPOL UNHAS menunjukan
bahwa kurikulum dan sylabus yang dikembangkan sangat berorien-
tasi pada kebutuhan pembangunan khususnya untuk memberikan
support pada pembangunan ekonomi. Walaupun di kampus-kampus
yang mempelajari politik, teori politik, ideologi politik, sistem politik,
konflik, tetapi arahnya adalah tetap untuk memberikan legitimasi
pada mega proyek pembangunan yang sedang dilakukan oleh Rezim
Orde Baru. Pemerintah Orde Baru sangat berkepentingan agar
kegiatan dan tahapan pembangunan dapat berhasil, hal tersebut
dikarenakan pembangunan adalah merupakan instrumen legitimasi
kekuasaan yang paling diandalkan oleh Rezim Orde Baru, untuk
menopang keberlangsungan kekuasaannya.
Perlu ikhtiar untuk memperbaiki pembelajaran ilmu-ilmu
sosial di Indonesia. Ikhtiar untuk memperbaiki pembelajran ilmu-
ilmu sosial di Indonesia meliputi berbagai level yakni dari level
perspektif teori yang digunakan sebagai bahan ajar dalam
perkulihan di berbagai kampus, metode pembelajarannya, konstruksi
teoretis (bahan-bahan dasar untuk mengkonstruksi konsep
keilmuawan yang lebih dekat dengan kondisi keindonesiaan, baik
filosofis, budaya, nilai, agama).
Di Fakuktas Ilmu Sosial Universitas Negeri Yogyakarta, sejak
tahun 2012 hingga tahun 2015, telah dilakukan langkah-langkah
secara bertahap untuk melakukan implementasi pembelajaran ilmu-
ilmu sosial yang sejalan dengan gagasan untuk melakukan
indigenisasi ilmu-ilmu sosial. Dari langkah-langkah yang dilakukan
telah dihasilkan berbagai kesepakatan antara lain:
Pertama, melalui kesepakatan senat FIS disepakati perubahan visi
dan misi Fakultas Ilmu Sosial yang lebih sejalan dengan langkah

88
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A.

untuk melakukan proses Indigenisasi ilmu-ilmu sosial; Kedua, telah


dirintis untuk membangun iklim akademik yang lebih inspiratif
melalui Fistrans Institute yakni tempat untuk melakukan diskusi dan
seminar secara bertahap dengan tema yang telah dirancang; Ketiga
memproduksi konsep dan pemikiran dalam bentuk buku hasil
diskusi dan penelitian yang sejalan dengan gagasan indigenisasi
ilmu-ilmu sosial; keempat meningkatkan kompetensi dosen dalam
penguasaan Teori-Teori Ilmu Sosial di Fakultas Ilmu Sosial, dengan
mengikuti sejumlah workshop dan berbagai pelatian dan seminar.
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A

Bab 4

Pendahuluan
Kuntowijoyo bukanlah nama yang asing di kalangan dunia
intelektual atau akademik. Dia tidak hanya dikenal sebagai seorang
sejarahwan, sastrawan, dan budayawan tapi juga seorang
cendekiawan muslim yang banyak memberikan sumbangsih bagi
dunia pemikiran Islam di Indonesia. Dari karya-karyanya dalam
bentuk tulisan mencerminkan bahwa Kuntowijoyo layak dijuluki
semua itu. Dalam kalangan Islam, beliau adalah pemikir Islam
kontekstual yang sangat Indonesianis, sehingga konsep Islamnya
tepat jika diaplikasikan untuk aksi di bumi Indonesia ini. Tepatnya,
dalam bahasa Islam beliau adalah sosok manusia alim, yang banyak
membaca dan banyak tahu. Tampaknya tidak salah apabila kita
banyak belajar dari beliau, terutama dari ilmu dan pesan-pesan yang
beliau tuliskan dalam berbagai karyanya.
Dalam bidang sejarah, misalnya, Kuntowijoyo sangat tepat
apabila diberi gelar sejarawan profesional. Beliau tidak hanya
menulis karya sejarah, akan tetapi juga menulis bagaimana
seharusnya sejarah ditulis. Kuntowijoyo mengenalkan baik metode
maupun metodologi sejarah sesuai dengan perkembangan ilmu
sejarah. Bahkan ketika kita teringat pesan Sukarno dengan
JASMERAH-nya, Kuntowijoyo-lah orang yang benar-benar
menyuarakan. Dapat dilihat, dalam setiap tulisannya, Kutowijoyo
sering kali mengungapkan peristiwa sejarah sebagai bahan pelajaran
bagi para pembaca. Beliau juga menegaskan bahwa
”kita sebagai bangsa haruslah belajar dari sejarah, supaya lebih arif,
dan tidak terpelosok pada lubang yang sama. Dalam proses belajar

90
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A.

dari sejarah itu, kita jangan jadi tawanan masa lalu, biarkan sejarah
itu terbuka dan bergerak maju” (Kuntowijoyo, 1997: 82).

Ketika Djoko Marihandono mensyaratkan bagi seseorang yang


dapat disebut sejarah profesional, yaitu kemampuan berbahasa
asing, pemahaman akan sumber dan pengembangan metodologi,
maka lengkaplah syarat ini dipenuhi Kuntowijoyo. Bagi sejarawan,
menurut Djoko, penguasaan berbagai macam bahasa akan membuka
cakrawala sejarawan menjadi lebih luas dan lebih tajam, khususnya
dalam memahami sumber sejarah, dalam hal ini arsip. Demikian pula,
kemampuan menerapkan metodologi dalam analisis historis
merupakan ketrampilan harus dimiliki sejarawan profesional.
Sementara itu, semua kemampuan itu telah ditunjukkan Kuntowijoyo
dalam berbagai karya tulisannya.
Lebih dari itu semua, secara umum Kuntowijoyo adalah salah
seorang cendekiawan yang dalam banyak hal pemikirannya perlu
dijadikan rujukan. Misalnya, diakui oleh Syafi’i Ma’arif, bahwa para
cendekiawan Indonesia harus tampil di depan untuk menyelesaikan
permasalahan bangsa. Dalam konteks ini, mereka bisa belajar pada
sejarawan dan budayawan Kuntowijoyo. Sebagaimana dikatakan,
"dalam pemikiran Kuntowijoyo, tindakan korupsi APBN yang tidak
berpihak pada rakyat miskin dan organisasi kemasyarakatan (ormas)
yang tidak menyuarakan kepedulian pada kaum miskin adalah
termasuk pendusta agama." Pemikiran seperti itu semestinya perlu
dikembangkan lagi, bukan hanya di Muhammadiyah, misalnya, tetapi
juga di seluruh ormas yang ada di Indonesia agar lebih peduli pada
masalah sosial masyarakat (Maarif, 2014).
Dalam bidang ke-Islaman, Kuntowijoyo juga layak disebut
cendekiawan muslim. Sangat tampak bahwa ketika Kuntowijoyo
menterjemahkan Islam sangat mudah dipahami dan menjadi enak
untuk diikuti. Islam di tangan Kuntowijoyo menjadi Islam yang
ramah, yang cocok untuk kultur Indonesia, dan Islam yang benar-
benar rahmatan lil ’alamin. Misalnya, Kuntowijoyo mengatakan,
“dengan berpikir objektif dan melihat realitas yang ada, kini saatnya
Islam dipahami sebagai ilmu, bukan sebagai mitos atau ideologi.
Ketika Islam dijadikan ilmu, usaha terpokok adalah memobilisasi
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A

kesadaran masyarakat. Kuncinya bukan lagi Negara, tetapi sistem.


Dulu ada upaya mencapai Negara yang ideal, sekarang beralih
menjadi upaya mencapai sistem yang rasional. Di situ negara hanya
merupakan satu aspek dari sistem. Perjuangan pun tidak hanya
tergantung pada perlemen, namun bisa lebih luas. Berpikir Islam
sebagai Ilmu, maka menjadi formulasi y ang teoretis. Ia selanjutnya
berkembang menjadi disiplin ilmu dan memiliki program aplikasi,
misalnya ilmu sosial Islam” (Kuntowijoyo, 1984: 59).

Ilmu itu sebenarnya revolusioner. Ketika Islam dijadikan ilmu,


maka sekaligus ia menjadi paradigma, sehingga ia memiliki
kemampuan untuk mengubah. Kuntowijoyo juga mengatakan,
berbagai masalah kemasyarakatan pada dasrnya bisa dicarikan
jawabannya dalam Islam. Misalnya, tentang ketimpangan sosial,
pemilikan tanah, hubungan kerja, ataupun tentang masalah modal
dan penguasaan pasar. Dalam hal ini diperlukan pengangkatan Islam
menjadi teori sosial bukan dalam formulasi normatif saja
(Kuntowijoyo, 1984: 61) Perbedaan ideologi dengan ilmu adalah
ideologi bersifat subjektif, normatif, dan tertutup, sedangkan ilmu
bersifat objektif, faktual, dan terbuka. Pergeseran dari cara berpikir
subjektif ke objektif itu dapat berupa menghilangkan egosentrisme
umat, pluralisme sosial, pluralisme budaya, dan pluralisme agama
(Kuntowijoyo, 1997: 22-24)
Demikian pula ketika melihat Pancasila. Bagi Kuntowijoyo
Pancasila adalah objektivikasi Islam. Dinyatakan bahwa Pancasila
adalah ideologi terbuka, artinya sanggup menyerap unsur-unsur
luar; apa yang terbuka kalau bukan ilmu? Andaikata Islam juga
mengubah pendekatan dari ideologi ke ilmu, maka pertemuan antara
Islam dan Pancasila adalah pertemuan Ilmiah, yang terbuka, rasional
dan objektif. Perlu diketahui bahwa sila-sila dalam Pancasila tidak
satu pun yang bertentangan dengan Islam. Pancasila harus
dimasyarakatkan sebagai rujukan bersama semua golongan, ras,
suku, dan kelompok kepentingan. Semua agama perlu melihat
Pancasila sebagai suatu objektivikasi ajaran agama, sebagai rujukan
bersama (Kuntowijoyo, 1997: 90).

92
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A.

Cendekiawan, Kebenaran, Keadilan, dan Demokrasi


Kuntowijoyo, sebagaimana telah disinggung, adalah salah satu
intelektual atau cendekiawan Indonesia. Mengapa dia disebut
cendekiawan, karena pemikirannya tampak dalam berbagai
kesempatan dan karyanya dalam bentuk tulisan-tulisan yang dapat
dikategorikan sebagai cendekiawan. Selanjutnya, siapa orang yang
dapat dikategorikan cendekiawan? dan apa ciri-ciri cendekiawan?
Untuk itu, di bawah ini akan dikupas pengertian cendekiawan
sebagai kerangka teori atau kerangka pikir yang akan dijadikan
acuan atau paradigma.
Dikatakan bahwa cendekiawan bukanlah kelas tersendiri,
tetapi berlaku untuk siapa saja yang melakukan perjuangan
menegakkan kebenaran guna mewujudkan keadilan, kebebasan, dan
demokrasi. Jadi, cendekiawan ditempatkan sebagai latar sosialnya
dan tidak menjadi kelas tersendiri dalam struktur masyarakat.
Dengan demikian, sosok cendekiawan tidak dimonopoli oleh filosof,
seniman, atau kaum terpelajar saja. Setiap masyarakat meskipun
sebagian mereka terlibat dalam kerja-kerja teknis, namun mereka
dianggap memiliki anggota-anggota yang berfungsi sebagai
cendekiawan mereka (Fikri & Dharwis, 1996).
Selanjutnya, cendekiawan adalah orang yang selalu melakukan
“kerja protes” terhadap segala bentuk penyimpangan di masyarakat.
Cendekiawan sejati adalah mereka yang berani melakukan kerja
protes atas kecenderungan destruktif di dalam masyarakat dan
bukan sekedar berdiam diri di menara-menara gading atau
memposisikan diri sebagai resi, kemudian dari puncak ketinggiannya
dan petilasan pertapaannya menyayikan kebenaran dan kebebasan.
Intelektual bukanlah seorang agen of social change yang membangun
tangga dari langit dan dari puncak ketinggiannya menyampaikan
kebenaran-kebenaran itu. Cendekiawan sejati harus dapat mengerti
dan tahu cara bagaimana memposisikan diri di masyarakatnya (Fikri
& Dharwis, 1996).
Menurut Th. Sumartana, bagi cendekiawan, kemerdekaan
adalah udara yang mengisi rongga pernafasannya. Kemerdekaan
merupakan syarat hidup mereka. Tidak mungkin dibayangkan
seorang cendekiawan bisa hidup tanpa kebebasan. Kebebasan
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A

mengasumsikan adanya berbagai pendapat, dan juga pertukaran


pikiran. Keadaan bebas dan terbuka memungkinkan timbulnya
banyak pemikiran sosial yang independen, yang bisa melakukan
diskursus kritis satu terhadap yang lain. Lebih lanjut dikatakan,
cendekiawan adalah seorang yang peduli kepada nasib bangsanya,
dan untuk itu ia terlibat dalam upaya pembangunan. Cirinya adalah
sebagai tokoh yang mampu berpikir komprehensif, atau
pengembangan ilmu pengetahuan, pembaharu masyarakat, dan
lainnya (Sumartana, 1996: 3-4).
Menurut Selo Soemarjan, intelektual adalah orang-orang yang
mempunyai atau menunjukkan kemampuan nalar (reasoning power)
yang baik, yang terkait kepada hal-hal rohani, seperti kesenian atau
ide-ide demi seni atau ide itu sendiri. Konsep “intelegensia” harus
dipahami sebagai bagian komunitas yang dapat dipandang atau yang
memandang dirinya sebagai intelektual, yang mempunyai kemampu-
an untuk sungguh-sungguh berpikir bebas. Yang membedakan
seorang intelektual dari seorang non-intelektual, bukanlah kemam-
puan untuk memakai kesanggupan nalarnya, karena tiap orang
normal diwarisi dengan kemampuan itu. Akan tetapi, yang membuat
seorang intelektual menonjol di tengah yang non-intelektual adalah
kemampuan berpikir bebas sebagai lawan dari kecenderungan
mengikuti saja pikiran orang lain. Lebih lanjut dikatakan, konsep
bebas yang dimaksud adalah, bahwa seorang intelektal mempunyai
pengamatan yang cermat terhadap gejala-gejala di suatu lingkungan,
mempunyai pemahaman tentang gejala-gejala itu dan korelasinya
dengan gejala yang lain, dan pada akhirnya dapat merumuskan suatu
kesimpulan yang dapat dikomunikasikan kepada orang lain dalam
bahasa yang jelas (Soemardjan, 1996: 3-4).
Bagi Y.B. Mangunwijaya, makna cendekiawan disamakan
dengan orang intelektual dalam pengertian yang asli. Dalam hal ini,
cedekiawan tidak ada sangkut pautnya dengan ijazah, status hirarkis
dalam masyarakat, formalis resmi dan sebagainya. Cendekiawan
adalah orang yang secara dalam dan intens memikirkan atau
menghayati sesuatu, dan secara implisit di dalamnya sudah
terkandung segi-segi moralitas dan etos (Mangunwijoyo, 1976: 29-
30).

94
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A.

Sementara itu, dalam konsep Islam, menurut Safi’i Ma’arif,


cendekiawan disamakan dengan ulil albab. Mereka adalah kelompok
intelektual beriman yang mampu menyatukan kekuatan dzikir dan
fikr (refleksi dan penalaran), di samping punya kebijakan (hikmah)
dalam menghadapi dan menyelesaikan masalah-masalah dunia dan
kemanusiaan. Kelompok inilah yang bisa diharapkan untuk tampil
menghadapi dan memberi arah moral kepada penyelesaian masalah-
masalah kritis yang dihadapi dunia dan kemanusiaan (Maarif, 1993:
32).
Arief Budiman menegaskan, cendekiawan adalah orang-orang
yang kelihatannya tidak pernah puas menerima kenyataan sebagai
mana adanya. Mereka mempertanyakan kebenaran yang berlaku
pada suatu saat, dalam hubungannya dengan kebenaran yang lebih
tinggi dan lebi luas. Kaum cendekiawan adalah orang-orang yang
mencari kebenaran, mencari prinsip-prinsip yang terkandung dalam
kejadian-kejadian serta tindakan-tindakan. Cendekiawan adalah
orang yang mencari kegembiraan dalam lapangan kesenian, ilmu
pengetahuan, atau teka-teki metafisika, singkatnya, dalam hal-hal
yang tidak menghasilkan keuntungan kebendaan. Cendekiawan
sebagai suatu kelompok merupakan semacam lapisan yang terapung
bebas di dalam masyarakat, tanpa pertalian dengan suatu kelas
tertentu (Budiman, 1976: 55).
Dari paparan di atas tampaknya dapat ditegaskan, bahwa
cendekiawan adalah orang yang tidak pernah puas menerima
kenyataan sebagaimana adanya. Mereka selalu mempersoalkan nilai-
nilai masa lampau, nilai-nilai masyarakat primitif, budaya-budaya
asing, atau nilai-nilai transendental. Cendekiawan adalah orang-
orang yang, dengan atau tanpa latar belakang pendidikan tertentu,
mampu menciptakan, memahami suatu ilmu pengetahuan dan
menerapkannya dalam bentuk pemikiran atau ide, dalam berbagai
aspek kehidupan secara simbolik, rasional, kreatif, bebas dan
bertanggungjawab atas dasar nilai-nilai esensial pandangan hidup
mereka (Masruri, 2005: 132).
Aspek pembaharuan adalah bidang garapan cendekiawan.
Akan tetapi, bukan setiap cendekiawan adalah pembaharu, karena
banyak juga di antara mereka yang sekedar menyatakan kembali,
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A

dan menyebarluaskan aspek-aspek budaya yang pernah ada. Hanya


saja, sebagai penopang ide, mereka tidak henti-hentinya mancari
asal-usul kebenaran. Jadi, pada mulanya, cendekiawan berbuat
sesuatu karena kegairahan mereka untuk berbakti kepada
kebenaran. Karena selalu berupaya mencari kebenaran, maka
cendekiawan memainkan peranan khusus dalam kehidupan sosial
mereka. Misalnya, cendekiawan adalah, pertama, penjaga gawang
yang berperan dalam kegiatan-kegiatan kreatif, yang disebut dengan
juru bicara pembaharuan dalam mencapai suatu tujuan dan
membuka pintu-pintu ide. Kedua, moralis yang berperan sebagai
penguji dan pemberi nilai. Ketiga, pelindung yang berperan sebagai
pemberi kerangka teoretis kepada opini umum. Keempat, pengemban
yang berperan dalam kegiatan-kegiatan administrasi dan organisasi
masyarakat (Masruri, 2005: 133).

Geneologi Intelektual Kuntowijoyo


Kuntowijoyo dikenal sesbagai seorang budayawan, sastrawan,
dan sejarawan. Semasa hidupnya, Kuntowijoyo adalah guru besar
sejarah di Universitas Gadjah Mada. Ia juga dikenal sebagai
pengarang berbagai judul novel, cerpen dan puisi, pemikir dan
penulis beberapa buku tentang Islam, kolomnis di berbagai media,
aktivis berintegritas di Muhammadiyah, dan sangat sering menjadi
penceramah di masjid. Dia juga pemikir Islam yang cerdas, jujur dan
berintegritas. Sebagai dosen, meski dalam kondisi sakit, dia tetap
mau merelakan waktunya untuk membimbing mahasiswanya.
Minat belajar sejarah Kuntowijoyo sudah terlihat sejak ia
masih kecil. Ketika ia masih belajar di madrasah ibtidaiyah, Kunto
kecil sangat kagum kepada guru mengajinya, Mustajab, yang pandai
menerangkan peristiwa sejarah Islam secara dramatik. Dia merasa
seolah-olah ikut mengalami peristiwa yang dituturkan sang Ustad
tersebut. Sejak saat itu, Kunto pun tertarik dengan sejarah. Di bangku
kuliah, Kunto akrab dengan dunia seni dan teater. Dia pernah
menjabat sebagai sekretaris Lembaga Kebudayaan Islam (Leksi) dan
ketua dari Studi Grup Mantika hingga tahun 1971, sehingga ia
berkesempatan bergaul dengan beberapa seniman dan budayawan

96
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A.

muda, seperti Arifin C. Noer, Syu'bah Asa, Ikranegara, Chaerul Umam


dan Salim Said.
Kemampuan menulis Kuntowijoyo diakuinya diasah dengan
cara banyak belajar membaca dan menulis sekaligus. Ia kemudian
berhasil melahirkan sebuah novel berjudul Kereta Api yang
Berangkat Pagi Hari dan dimuat di Harian Jihad sebagai cerita
bersambung. Selain menjadi seorang sejarawan dan seniman, Kunto
juga seorang kiai. Ia ikut membangun dan membina Pondok
Pesantren Budi Mulia pada 1980 dan mendirikan Pusat Pengkajian
Strategi dan Kebijakan (PPSK) di Yogyakarta di tahun yang sama. Dia
menyatu dengan pondok pesantren yang menempatkan dirinya
sebagai seorang kiai (Biografi Kuntowijoyo, n.d).
Semasa kuliah, ia sudah akrab dengan dunia teater dan sastra.
Kunto mengasah kemampuan menulisnya dengan terus menulis.
Baginya, cara belajar menulis adalah dengan banyak membaca dan
menulis. Ia menulis cerpen, sajak, drama dan essai budaya. Karya-
karyanya muncul pertama kali di majalah Horison dan Sastra.
Selanjutnya karya-karyanya pun terus mengalir antara lain: Kereta
Api yang Berangkat Pagi Hari (novel, 1966), yang dimuat di Harian
Jihad sebagai cerita bersambung, Rumput-rumput Danau Bento
(drama, 1969), Tidak Ada Waktu bagi Nyonya Fatma, Barda dan
Cartas (drama, 1972), Novel Pasar (terbit sebagai buku tahun 1994),
Topeng Kayu (drama, 1973), Khotbah di Atas Bukit (novel, 1976),
Isyarat (kumpulan sajak, 1976), Suluk Awung-Awung (kumpulan
sajak, 1976), dan lain-lain. Sementara itu, banyak juga karya-
karyanya yang mendapat acungan jempol dari berbagai kalangan
intelektual, seperti; Dinamika Umat Islam Indonesia (kumpulan esai,
1985), Intelektualisme Muhammadiyah: Menyongsong Era Baru,
Budaya dan Masyarakat (kumpulan esai, 1987), Paradigma Islam:
Interpretasi untuk Aksi (studi/kajian 1991), Demokrasi dan Budaya
(1994), serta Identitas Politik Umat Islam, terbitan Mizan, Bandung
(1997) (Kuntowijoyo, n.d).
Dari kurang Lebih 50 buku yang telah dirilisnya, begitu juga
cerpen dan kolom-kolomnya di berbagai media. Dramanya berjudul
Rumput-Rumput Danau Bento, memperoleh Hadiah Harapan
Sayembara Penulisan Lakon Badan Pembina Teater nasional
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A

Indonesia (1967). Cerita pendek, Dilarang Mencintai Bunga-Bunga


memenangkan penghargaan pertama dari sebuah majalah sastra
tahun 1969. Kumpulan cerpennya yang diberi judul sama Dilarang
Mencintai Bunga-Bunga, kembali mendapat Penghargaan Hadiah
Penulisan Sastra tahun 1999 dari Pemerintah RI melalui Pusat
Pembinaan dan Pengembangan Bahasa (sekarang Pusat Bahasa).
Dramanya Tidak Ada Waktu bagi Nyonya Fatma, Barda dan Cartas
memperoleh Hadiah Harapan sayembara penulisan lakon DKJ tahun
1972 dan Topeng Kayu, memperoleh Hadiah Kedua dalam sayembara
penulisan lakon DKJ tahun 1973. Novelnya Pasar, mendapat hadiah
dalam Sayembara Mengarang Roman Panitia Tahun Buku
Internasional DKI 1972. Karya novelnya, yang pernah menjadi cerita
bersambung di harian Kompas, berjudul Mantra Pejinak Ular (2000),
ditetapkan sebagai satu di antara tiga pemenang Hadiah Sastra
Majelis Sastra Asia Tenggara (Mastera) pada 2001. Beberapa cerpen
juga terpilih sebagai cerpen terbaik Kompas dan menjadi judul dari
kumpulan cerpen itu sendiri, diantaranya Laki-laki yang Kawin
Dengan Peri (1995), Pistol Perdamaian (1996), dan Anjing-anjing
Menyerbu Kuburan (1997) (Kuntowijoyo, n.d).

Sejarawan dan Fungsi Ilmu Sejarah


Ilmu sejarah ialah ilmu tentang perubahan. Jadi dengan
menggunakan sejarah, sekaligus orang mendapatkan tenaga
pembangunan yang berpikir interdisipliner dan perkembangan
dalam jangka waktu lama. Sejarah sebagai ilmu akan berguna dalam
perencanaan dan penilaian, sedangkan untuk pelaksanaan dan
pengawasan, terserah pada “kelincahan” sejarawan. Ada tiga cara
untuk memahami perencanaan dan penilaian. Pertama, sejarah
perbandingan, yaitu membandingkan pembangunan di satu tempat
dengan tempat lain. Kedua, untuk mengetahui masa tertentu, orang
dapat belajar paralelisme sejarah, yaitu kesejajaran antara masa lalu
dan masa tertentu yang sedang dibicarakan. Ketiga, untuk
mengetahui persoalan yang akan timbul akibat pembangunan, orang
dapat belajar dari evolusi sejarah (Kuntowijoyo, 2013: 147).
Bagi Kuntowijoyo, ada beberapa guna sejarah secara ekstinsik,
yaitu sebagai pendidikan moral, penalaran, politik, kebijakan,

98
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A.

perubahan, masa depan, dan keindahan. Misalnya, pertama, sebagai


pendidikan penalaran, maka seorang yang belajar sejarah tidak akan
berpikir monokausal, yaitu pikiran yang menyatakan bahwa sebab
terjadinya peristiwa itu hanya satu. Sejarah harus berpikir
plurikausal, yang menjadi penyebab itu banyak. Dengan demikian, ia
akan melihat segala sesuatu mempunyai banyak segi. Kedua, sebagai
pendidikan politik, misalnya, pada Zaman Orde Lama dikenal ada
indoktrinasi. Indoktrinasi itu dilakukan pada organisasi dan melalui
sekolah. Tujuan dari pendidikan politik itu ialah dukungan atas
politik kekuasaan dengan mendorong perbuatan-perbuatan
revolusioner dan menyingkirkan kaum kontrarevolusi. Sementara
itu, pada Zaman Orde Baru dikenal adanya penataran-penataran,
tetapi dengan tujuan lain, yaitu untuk pembangunan (Kuntowijoyo,
2013: 21-22).
Ketiga, sejarah sebagai pendidikan perubahan diperlukan oleh
politisi, ormas-ormas, usaha-usaha, bahkan pribadi-pribadi. Dalam
dunia yang semakin sempit ini, tidak ada yang lebih cepat daripada
perubahan. Sejarah sendiri salah satu definisinya adalah ilmu tentang
perubahan, dan tentu banyak membantu. Misalnya, untuk pribadi,
kiranya membaca autobiografi dan biografi tokoh-tokoh dalam dunia
sangat penting. Autobiografi dan biografi yang pasti bercerita tentang
perubahan, akan memberi inspirasi untuk melangkah. Keempat,
sebagai pendidikan masa depan, di beberapa universitas negara
maju, sperti Amerika, history of the future sudah diajarkan. Oleh
karena itu, sebagai negara yang mengalami industrialisasi
belakangan, Indonesia mempunyai keuntungan, karena dapat belajar
dari negara industrial dan negara pasca-industri. Demikian pula, dari
Jepang kita dapat belajar bagaimana mempunyai industri besar tanpa
mematikan industri kecil (Kuntowijoyo, 2013: 23-24).
Sejarawan menurut Kuntowijoyo selain mereka yang memang
terdidik sebagai sejarawan, juga dapat datang dari disiplin lain dari
masyarakat. Oleh karena itu, ada tiga golongan sejarawan menurut
pendidikannya, yaitu (1) sejarawan profesional, (2) sejarawan dari
disiplin lain, dan (3) sejarawan dari masyarakat. Sejarawan
profesional diharapkan jadi ujung tombak penulisan sejarah. Sejarah
Indonesia harus ditulis dari bawah, sehingga sumbangan mereka
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A

yang sedikit-sedikit itu jika dikumpulkan akan jadi bukti penulisan


sejarah. Sejarawan juga bisa datang dari disiplin lain. Sering orang
tidak tahu bahwa segala sesuatu ada sejarahnya. Seorang insinyur
yang bekerja pada perusahaan kereta api akan lebih berbahagia
kalau ia juga dapat menulis sejarah kereta api, setidaknya sebagai
selingan yang serius. Demikian pula, sejarawan bisa datang dari
masyarakat pada umumnya. Dalam kenyataannya, banyak penulis
sejarah yang dikira “amatir” tetapi menghasilkan karya bermutu
(Kuntowijoyo, 2013: 66-68).
Sama-sama menuturkan masa lalu, mitos berbeda dengan
sejarah dan sastra. Dalam mitos tidak perlu ada pengalaman. Tidak
pernah ada orang yang mempunyai pengalaman dengan melihat ada
orang yang masuk telaga, lalu setelah menyelam di telaga menjadi
putih. Mitos dituturkan secara subjektif, dalam arti kebenarannya
hanya berlaku di masyarakatnya, dan tidak ada kaitannya antara
pengalaman dan penuturan. Berbeda dengan mitos, sastra
berdasarkan pengalaman, sama seperti sejarah, akan tetapi sama
dengan mitos, dan berbeda dengan sejarah, sastra penuturannya
subjektif. Dalam arti, sastra sangat bergantung pada penutur.
Memang sastra berdasarkan pengalaman, tetapi penuturannya tidak
terkait dengan pengalaman (Kuntowijoyo, 2002: 39).
Sementara itu, sejarah sama dengan sastra, juga berdasarkan
pengalaman. Namun, berbeda dengan mitos dan sastra, penuturan
sejarah tidak subjektif, tetapi inter-subjektif. Inter-subjektif itu tidak
murni objektif, tetapi juga tidak murni subjektif. Ini berarti bahwa
penuturannya bisa dicocokkan oleh orang lain melalui sumber
sejarah yang sama. Orang lain dapat mencocokkan apakah
subjektivitas itu berdasarkan penafsiran saja ataukah sumbernya
yang digelapkan. Sejarah mungkin saja menuturkan secara berbeda
meskipun sumbernya sama. Sejarah berbeda dengan ilmu alam,
sejarah tidak mungkin murni objektif. Untuk menghindari
kemungkinan adanya subjektivitas yang tak terkendali, sejarah yang
akan dibuat untuk umum adalah hanya accepted history, sejarah yang
sudah diterima secara umum (Kuntowijoyo, 2002: 39-40).
Mitos dan sastra tidak dituntut kesetiaan pada masa lalu.
Sejarah mungkin saja punya kepentingan lain, tetapi ia tidak boleh

100
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A.

main-main dengan masa lalu; sejarah dituntut untuk setia pada masa
lalu. Sejarawan tentu saja tidak bisa melepaskan diri dari
kepentingan, kekuasaan, dan subjektivitas sendiri. Akan tetapi,
sejarawan yang baik akan meletakkan kepentingan, kekuasaan, dan
subjektivitas itu pada tempat sendiri, yaitu dalam tema dan topik
yang dipilih. Seorang sejarawan yang bersimpati dengan buruh dapat
menulis secara sah, misalnya, “Sejarah Pemogokan Buruh pada
Zaman Orde Baru”. Sejarawan tetap harus mencari sumber setuntas
mungkin, tidak boleh menyembunyikan sumber. Pendek kata
sejarawan harus mengeramatkan sumber sejarah; sumber harus
dicocokkan dengan berbagai pihak. Dengan kata lain, sejarawan
harus berusaha agar segala pengaruh itu tidak mengurangi tugasnya
sebagai pencari kebenaran. Penulis yang membiarkan semua
pengaruh menuntunnya dalam seluruh proses penulisan, tidak
berhak menjadi menjadi sejarawan, tetapi penulis pamflet, “sejarah
resmi”, atau tukang othak-athik mathuk (Kuntowijoyo, 2002: 57).
Kuntowijoyo menyorot adanya perkembangan baik sejarah
yang makin bersifat lintas disiplin, mempelajari dan berkembang
bersama ilmu-ilmu sosial lainnya seperti antropologi, geografi,
linguistik, sosiologi, dan sebagainya. Tapi tentunya, sebagai ilmu,
sejarah tetap harus memiliki kaidah-kaidahnya, terutama sifatnya
yang diakronis, memanjang dalam waktu. Yang menurut saya
menarik adalah, di kala banyak orang (ilmu sosial) menafikan
pendekatan kuantitatif (yang dikatakan “terlalu positivis”), Kunto
menggarisbawahi bahwa bidang sejarah pun perlu memperluas
wawasan dalam pendekatan kuantitatif (Azali, 2013).

Pemahaman dan Misi Sejarah


Kuntowijoyo memperkenalkan sejarah sebagai kritik sosial, di
samping sejarah sebagai sistem dan transformasi dalam historiografi
Indonesia baru yang dia bayangkan. Kuntowijoyo tidak pernah takut
pada pengaruh elemen keagamaan dalam proses pembangunan
konsepsi pemikiran kesejarahan. Cara pandang kesejarahan
Kuntowijoyo yang semacam ini merupakan satu kesatuan dengan
konsepsi ilmu pengetahuan, khususnya ilmu sosial profetik yang
dikembangkan dalam karya-karyanya. Berdasarkan konsepsi ini,
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A

sejarah menurut Kuntowijoyo dapat dikategorikan sebagai ilmu


nafsiah atau humaniora yang “berkenan dengan makna” (Purwanto,
2011: 6).
Makna yang dimaksud adalah, bahwa sejarah yang dibentuk
tidak hanya menjelaskan perubahan sosial, tetapi juga memberi
petunjuk ke arah mana transformasi itu dilakukan. Oleh karena itu,
sejarah yang bermakna profetika tidak sekedar mengubah demi
perubahan, tetapi mengubah berdasarkan cita-cita perubahan yang
diidamkan masyarakat. Cita-cita profetik berarti perubahan yang
didasarkan pada cita-cita humanisme (emansipasi), liberasi dan
transendensi sesuai dengan misi historis Islam yang terkandung
dalam ayat 110, surat ‘Ali-Imran:

َ‫اّللِ ۗ ََلَُْ آ َمه‬ َّ ِ‫َُف ََتَ ْىٍَُْ نَ َع ِه ْال ُمى َك ِر ََتُ ْؤ ِمىُُنَ ب‬ِ ‫اس تَأْ ُمرَُنَ بِ ْال َم ْعر‬ ْ ‫ُكىتُ ْم َخ ْي َر أُ َّم ٍة أ ُ ْخ ِر َج‬
ِ َّ‫ت لِلى‬
َ‫ب لَ َكانَ َخ ْيرًا لٍَُّم ۗ ِّم ْىٍُ ُم الْ ُم ْؤ ِمىُُنَ ََأَ ْكثَ ُرٌُ ُم ْالفَا ِسقُُن‬
ِ ‫أَ ٌْ ُل ْال ِكتَا‬

“Engkau adalah umat terbaik yang diturunkan di tengah manusia


untuk menegakkan kebaikan, mencegah kemungkaran (kejahatan)
dan beriman kepada Allah”.

Dengan demikian, sejarah yang ingin dibentuk adalah diarahkan


untuk rekayasa masyarakat menuju cita-cita sosial-etiknya di masa
depan (Kuntowijoyo, 2005: 91-92).
Merujuk pada klasifikasi keilmuan yang didasarkan pada
paradigma Al Qur’an, sejarah menurut Kuntowijoyo memang tidak
mengutamakan elemen spiritual dan moral pada tatanan normatif
semata melainkan sebagai sebuah kekuatan perubahan sosial yang
didasarkan pada misi humanisasi, liberalisasi, dan transendensi bagi
terciptanya masyarakat yang lebih baik dan membangun peradaban.
Berdasarkan hal itu, maka pemikiran kesejarahan profetik sebagai
sistem pengetahuan berkoherensi dengan iman yang bersumber
pada tauhid untuk menghasilkan metodologi. Tiga kesatuan tauhid
yaitu pengetahuan, kehidupan, dan sejarah, akhirnya membentuk
satu kebenaran sejarah, tidak adanya perbedaan antara sejarah yang
sarat nilai dan bebas nilai, pada dasarnya sejarah bermanfaat baik
bagi umat maupun manusia secara umum (Purwanto, 2011: 6-7).

102
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A.

Kuntowijoyo dapat dikatakan membangun jati diri


intelektualnya sebagai sejarawan dengan cara mengubah premis-
premis normatif Al Qur’an menjadi pemikiran kesejarahan yang
empirik dan rasional sebagai sebuah metodologi. Kuntowijoyo
menjadikan agama sebagai sumber inspirasi dan fondasi bagi sebuah
formulasi ilmu pengetahuan untuk kemajuan dan membebaskan
umat manusia. Pemikiran kesejarahan Kuntowijoyo melampaui batas
ilmu sebagai ideologi dogmatis yang menjadi ciri khas Marxisme dan
rezim pengetahuan otoriter lainnya, sesuatu yang sangat relevan dan
memiliki kesamaan prinsip-prinsip demokratisasi historiografi
Indonesia (Purwanto, 2011: 7).
Kuntowijoyo lebih jauh berharap agar historiografi Indonesia
yang dikembangkan itu dapat terus “melayani masyarakat tanpa
kehilangan sejarah sebagai disiplin akademik. Hal ini menunjukkan
bahwa Kuntowijoyo tidak mempertentangkan antara fungsi sejarah
sebagai sebuah ilmu dengan sejarah sebagai gerakan sosial, ketika
sejarah sebagai historiografi menjadi bagian yang tidak terpisahkan
dari sistem sosio-kultural masyarakatnya. Berdasarkan pemikiran
kesejarahannya itu, historiografi Indonesia diasumsikan Kuntowi-
joyo tidak hanya terbebaskan dari jeratan Neerlandosentrisme dan
kolonialsentrisme yang berkeseimbangan, melainkan juga memberi
ruang yang jauh lebih besar pada mereka yang tertindas dan
termarginalkan untuk juga memiliki hak atas sejarah (Purwanto,
2011: 8).
Orientasi baru mengenai makna dan tujuan historiografi harus
diartikan sebagai penanaman kesadaran sejarah, perhatian sejarah,
dan penilaian sejarah ke dalam pemikiran. Historiografi menjadi
sebuah instrumen intelektual dalam suatu konfrontasi dialektik
antara tanggung jawab sejarah dengan perjalanan sejarah umat
manusia. Kesadaran mengenai ummah yang bertugas untuk
mengajak kepada kebenaran dan mencegah kemunkaran dalam
setiap aspek peradaban adalah merupakan tujuan dan kesadaran
sejarah. Peranan umat manusia dalam sejarah adalah apa yang ingin
mereka lakukan; bukan apa yang ditakdirkan dunia terhadap
mereka. Partisipasi umat manusia dalam sejarah, yaitu melaksanakan
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A

tanggung jawab sebagai khalifah di bumi, yang akan membangkitkan


kesadaran sejarah (Kuntowijoyo, 1991: 356-357).
Penilaian sejarah muncul setelah kesadaran sejarah dan
perhatian sejarah. Penilaian sejarah bukan hanya merupakan analisis
kritis mengenai ciri-ciri, peristiwa-peristiwa, dan perkembangan-
perkembangan sejarah, tetapi yang lebih penting lagi adalah
merupakan penilaian etik mengenai fenomena sejarah. Misalnya, bagi
sejarah masyarakat Muslim, penilaian etik berarti evaluasi mengenai
apakah institusi-institusi Islam, ciri-ciri, perbuatan-perbuatan,
pikiran-pikiran dan peristiwa-peristiwa islam sejalan dengan
kebijaksanaan sejarah. Penilaian sejarah akan memberikan kepada
masyarakat banyak contoh sejarah mengenai bagaimana mereka
harus melaksanakan misinya dalam situasi konkrit. Penilaian etik
terhadap sejarah, secara khusus, berarti analisis kritis terhadap
sejarah dengan kesadaran sejarah sebagai ukuran dan perhatian
sejarah sebagai referensi (Kuntowijoyo, 1991: 357).
Purwanto menambahkan di berbagai kesempatan Kuntowijoyo
kerap menekankan pentingnya membangun optimisme dalam dunia
penulisan sejarah di Indonesia. Hal itu dapat dilakukan dengan
membuat sejarah yang jauh lebih dinamis, relevan, dan bermanfaat
karena adanya hubungan transedental kepada Tuhan. Ilmu sejarah
yang ditawarkan adalah ilmu sejarah egalitarian, tapi tidak menjadi
konsumen teori-teori sosial dari Barat (Menggali Pemikiran Ilmu
Profetik Prof. Kuntowijoyo, n.d).

Aksi dan Misi Manusia sebagai Pelaku Sejarah


Apabila umat masih menganggap politik sebagai satu-satunya
“obat yang cespleng” dan lupa melihat kekuatan sejarah yang lain,
mereka akan kecewa dan mengecewakan. Dukungan-dukungan doa
politik, tahlil politik, dan pengajian politik harus dihentikan, sebab
kebiasaan itu akan membuat umat berpikir serba politik. Sudah
waktunya umat harus melihat alternatif lain. Agama sendiri adalah
kekuatan sejarah yang mempunyai metode sendiri. Pada waktu
kemenangan datang, maka justru kita diharuskan bertasbih dengan
memuji Tuhan dan ber-istighfar (QS Al-Nashr [110]:1-3).

104
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A.

َ ِّ‫﴾ فَ َسبِّحْ بِ َح ْم ِد َرب‬٢﴿ ‫َّللاِ أَ ْف َُاجًا‬


‫ك‬ َ َّ‫﴾ ََ َرأَيْتَ الى‬١﴿ ‫َّللاِ ََ ْالفَ ْت ُح‬
َّ ‫اس يَ ْد ُخلُُنَ فِي ِدي ِه‬ َّ ‫إِ َذا َجا َء وَصْ ُر‬
َ َّ ْ
﴾٣﴿ ‫ََا ْستَغفِرْ يُ ۗ إِوً ُ كانَ تََُّابًا‬

Selain itu ada teknologi, ekonomi, dan budaya. Ada perubahan yang
tak dapat direncanakan manusia, yang kita hanya bisa berdoa,
seperti kesadaran individu, komposisi seksual, struktur sosial, dan
keberadaan kelompok etnis. Semua itu berpengarus atas sejarah,
tidak hanya politik (Kuntowijoyo, 2011: 72).
Hakikat pergerakan umat Islam adalah dari etika idealistik ke
etika profetik. Kita harus meniru para nabi, dengan kata lain,
mempunyai etika profetik. Dalam QS Ali Imran (3): 110, disebutkan:
“kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan di tengah manusia untuk
berbuat kebajikan, mencegah kemungkaran, dan beriman kepada
Allah”. Jadi unsurnya tiga, yaitu amar ma’ruf, nahi munkar, dan
tu’minuna billahi (humanisasi, liberasi, transendensi). Sebenarnya
rumusan etika profetik hampir sama dengan rumusan amar “ma’ruf
nahi munkar”, hanya saja unsur “iman” dibuat lebih eksplisit.
Misalnya, Nabi Muhammad Saw. berpihak pada perempuan dan
budak, Nabi Isa a.s. pada proletariat Roma, Nabi Musa a.s. pada orang
tertindas Nabi Israel, Nabi Nuh a.s. pada orang non-elite
(Kuntowijoyo, 2011: 72).
Jadi, perlu ditegaskan bahwa humanisasi, liberasi, dan
transendensi adalah tujuan pergerakan manusia hidup di muka bumi
sesuai dengan garis etika profetik. Humanisme bertujuan
memanusiakan manusia. Diketahui bahwa sekarang umat manusia
mengalami proses dehumanisasi, karena masyarakat industrial
menjadikan sebagian manusia menjadi masyarakat abstrak tanpa
wajah kemanusiaan. Manusia mengalami objektivasi ketika berada di
tengah-tengah mesin-mesin politik dan mesin-mesin pasar. Ilmu dan
teknologi juga telah membantu kecenderungan reduksionistik yang
melihat manusia dengan cara parsial. Humanisasi model
Kuntowijoyo, menurut penjelasan dalam Wikipedia, sesuai dengan
semangat liberalisme Barat. Hanya saja perlu segera ditambahkan,
jika peradaban Barat lahir dan bertumpu pada humanisme
antroposentris, konsep humanisme Kuntowijoyo berakar pada
humanisme teosentris. Karenanya, humanisasi tidak dapat dipahami
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A

secara utuh tanpa memahami konsep transendensi yang menjadi


dasarnya (Ilmu Sosial Profetik, n.d).
Tahap selanjutnya adalah mengupayakan liberasi. Tujuan
liberasi adalah pembebasan bangsa dari kekejaman kemiskinan,
keangkuhan teknologi, dan perampasan kelimpahan. Menurut
Kuntowijoyo,
“kita menyatu rasa dengan mereka yang miskin, mereka yang
terperangkap dalam kesadaran teknokrasi, dan mereka yang
tergusur oleh kekuatan ekonomi raksasa. Kita ingin bersama-sama
membesaskan diri belenggu-belenggu yang kita bangun sendiri”
(Kuntowijoyo, 1991: 289).

Liberasi dalam ilmu sosial profetik, seperti dipaparkan dalam


Wikipedia, juga sejalan dengan prinsip yang ada dalam faham
sosialisme (Marxisme, komunisme, teori ketergantungan, dan teologi
pembebasan). Hanya saja ilmu sosial profetik tidak hendak
menjadikan liberasinya sebagai ideologi sebagaimana komunisme.
Liberasi ilmu sosial profetik adalah dalam konteks ilmu, ilmu yang
didasari nilai-nilai luhur transendental. Jika nilai-nilai liberatif dalam
teologi pembebasan dipahami dalam konteks ajaran teologis, maka
nilai-nilai liberatif dalam ilmu sosial profetik dipahami dan
didudukkan dalam konteks ilmu sosial yang memiliki tanggung
jawab profetik untuk membebaskan manusia dari kekejaman
kemiskinan, pemerasan kelimpahan, dominasi struktur yang
menindas dan hegemoni kesadaran palsu (Ilmu Sosial Profetik, n.d).
Selanjutnya, humanisasi dan liberasi harus dilengkapi dengan
transendensi. Tujuan transendensi adalah menambahkan dimensi
transendental dalam kebudayaan. Dalam kehidupan sekarang ini,
manusia sudah banyak menyerah kepada arus hendonisme,
materialisme, dan budaya yang dekaden. Oleh karena itu, manusia
harus percaya bahwa ada sesuatu yang dilakukan, yaitu
membersihkan diri dengan mengingatkan kembali dimensi
transendental yang menjadi bagian sah dari fitrah kemanusiaan.
Manusia ingin merasakan kembali dunia ini sebagai rahmat Tuhan.
Manusia dapat hidup kembali dalam suasana yang lepas dari ruang

106
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A.

dan waktu, ketika bersentuhan dengan kebesaran Tuhan


(Kuntowijoyo, 1991).
Di sisi lain, manusia sebagai pelaku sejarah harus mampu
merubah sikap egosentrisme ke objektifikasi. Ada keperluan supaya
sejarah bergerak, maka sebagai komponen bangsa kita mesti berani
menyebrangi konsep negara Islam dan Negara Sekuler, yaitu dengan
objektifikasi. Pertama, semua komponen bangsa yang terdiri dari
bermacam-macam agama, ideologi, filsafat, keyakinan, dan
sebagainya menerjemahkan dulu cita-citanya dalam terminologi
objektif yang dapat diterima semua pihak (seperti istilah “tauhid”
dalam pergaulan nasional diterjemahkan dengan Katuuhanan Yang
Maha Esa). Pemakaian terminologi yang objektif itu, yang semua
orang sama-sama mengerti persis maksudnya, akan meniadakan
salah paham antar komponen bangsa. Kedua, hal-hal yang objektiflah
yang dikemukakan kepada umum (seperti keadilan, pemerintahan
yang bersih, supremasi hukum, demokrasi), adapun hal-hal yang
bersifat subjektif (seperti kebenaran agama masing-masing) perlu
disimpan untuk konsumsi ke dalam. Menurut Kuntowijoyo bahwa
Pancasila adalah objektifikasi Islam, dan untuk konsumsi ke luar
Masyarakat Islam cukup disebut dengan Masyarakat Madani saja
(Kuntowijoyo, 2001: 139-140).
Objektifikasi artinya adalah memandang sesuatu secara
objektif. Dalam dataran aksi, objektifikasi berarti jalan tengah bagi
Islam, agama-agama, dan aliran-aliran pemikiran politik lainnya.
Artinya, ada tiga hal yang harus dipenuhi dalam aksi sebagai manusia
Indonesia, misalnya, yaitu (a) artikulasi politik hendaknya
dikemukakan melalui kategori-kategori objektif, (b) pengakuan
penuh kepada keberadaan segala sesuatu yang ada secara objektif,
dan (c) tidak lagi berpikir kawan-lawan, tetapi perhatian ditujukan
pada permasalahan bersama bangsa (Kuntowijoyo, 2002: 213).
Dapatlah diterangkan, bahwa pertama, artikulasi politik yang
bersifat objektif dapat berbeda dengan pemelukan suatu agama yang
subjektif. Umat Islam, misalnya, tidak harus berpolitik melalui “partai
berlabel Islam”, demikian pula mereka yang beragama Kristen tidak
harus memilih “partai berlabel Kristen”. Untuk itu, retorika politik
juga perlu menggunakan bahasa yang objektif. Dalam konteks ini,
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A

bagi Islam istilah baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur (negara


sejahtera yang penuh dengan ampunan Tuhan) yang khas Islam di
muka publik politik yang plural hendaknya diganti dengan ungkapan
yang objektif, misalnya, “negara kesejahteraan”. Demikian juga
“negara sekuler” yang selama ini dikonotasikan anti Islam dari aliran
pemikiran sekulerisme politik perlu diganti, misalnya, dengan
“negara rasional” yang tidak akan menyinggung perasaan umat Islam
(Kuntowijoyo, 2002: 214).
Kedua, pluralisme demografis dan kultural adalah kondisi
objektif Indonesia. Menghilangkan egosentrisme kelompok sangat
diperlukan dalam rangka kesatuan dan persatuan nasional. Umat
Islam perlu mengingat saudara-saudaranya yang non-Muslim, dan
sebaliknya. Karenanya, kecurigaan antar-SARA, Islam-phobia, dan
non-Muslim-phobia perlu dihilangkan dari kesadaran berpolitik
(Kuntowijoyo, 2002: 214).
Ketiga, melepaskan diri dari pikiran “kita versus mereka”, dan
sebaliknya berpikir “kita versus itu”. Jadi, bukan “Muslim melawan
non-Muslim” atau sebaliknya, tetapi yang ada adalah “kita melawan
permasalahan bersama” berupa demokrasi, kemiskinan, industriali-
sasi, PHK, perdagangan bebas, dan sebagainya (Kuntowijoyo, 2002:
214).

108
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A.

Bab 5

Pendahuluan
Cendekiawan, sebagaimana dinyatakan oleh Lewis Coser,
adalah orang-orang yang tidak pernah puas menerima kenyataan
sebagaimana adanya. Mereka selalu mempertanyakan kebenaran
yang berlaku pada suatu saat dalam hubungannya dengan kebenaran
yang lebih tinggi, lebih luas, dan lebih ideal. Sementara itu, menurut
Edward Shils, kaum cendekiawan adalah orang-orang yang mencari
‘kebenaran’, mencari prinsip-prinsip yang terkandung dalam
kejadian-kejadian serta tindakan-tindakan, atau dalam proses
penjalinan hubungan antara pribadi (the self) dan hakikat (the
essentials), baik hubungan yang bercorak pengenalan (cognitive),
penilaian (appreciative) ataupun pengutaraan (expressive) (Budiman,
1983: 143-144).
Terkait dengan motif yang berperan dan dimainkan para
cendekiawan memang ada mainstream yang berbeda. Cendekiawan
non-Marxist misalnya, mengemukakan bahwa motif mereka adalah
kegairahan untuk berbakti kepada kebenaran. Kaum cendekiawan
tidak punya pamrih dan kepentingan duniawi, baik berupa
keuntungan sosial maupun keuntungan politik bagi dirinya.
Pemihakannya betul-betul murni kepada kebenaran dan
kemaslahatan untuk semua. Oleh karena itu Julien Benda
menyatakan bahwa cendekiawan adalah orang-orang yang kegiatan
hakikinya bukan mengejar tujuan-tujuan praktis. Cendekiawan
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A

adalah orang-orang yang berkhidmat pada nilai-nilai luhur


kehidupan bersama.
Sementara itu paham Marxisme memiliki pandangan yang
berbeda dengan pandangan di atas, seraya bertanya, bagaimana
mungkin kesadaran seseorang tidak ada sangkut pautnya dengan
eksistensi kebendaan. Eksistensilah yang menentukan kesadaran dan
bukan sebaliknya. Karena itu para pencetus paham Marxisme
berpandangan bahwa kaum cendekiawan yang berhaluan radikal
adalah orang-orang yang kehilangan hak dalam lapisan mereka
sendiri, dengan begitu hendak dikatakan, bahwa sikap protes dalam
politik adalah pencerminan rasa tidak puas atas kedudukan sosial
mereka yang rendah. Ernest Mandel menyatakan bahwa sikap
protes itu bertalian dengan perubahan yang menyolok dalam
lapangan kerja cendekiawan, bertalian dengan penurunan dalam
status, pengurangan kesempatan, kebebasan bekerja dan pengharga-
an.
Lebih lanjut, Lewis Coser membedakan cara-cara yang
ditempuh kaum cendekiawan mencapai tujuan mereka:
1. Kaum cendekiawan yang mengejar kekuasaan dan
mempertahankan kekuasaan yang telah diperolehnya.
2. Kaum cendekiawan yang berusaha untuk membimbing dan
menasehati orang-orang yang memegang kekuasaan, tetapi,
mereka sendiri tidak mengejar kekuasaan dan dengan sendirinya
tidak pula mempertahankan kekuasaan.
3. Kaum cendekiawan yang semakin dekat membawakan diri
mereka ke dalam lingkaran dan pertarungan politik, sehingga
akhirnya mengambil sikap membenarkan apa yang dilakukan oleh
orang-orang yang memegang kekuasaan dan menyediakan
perlengkapan kepada orang-orang yang memegang kekuasaan
tersebut berupa pembenaran-pembenaran.
4. Kaum cendekiawan yang selalu tidak puas dan terus melancarkan
kritik-kritik bahkan kecaman-kecaman terhadap orang-orang
yang memegang kekuasaan .
5. Kaum cendekiawan yang karena putus asa, dalam keadaan
tertentu telah berpaling kepada sistem politik tertentu atau

110
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A.

bernaung di bawah forum-forum tertenatu untuk mewujudkan


tujuan-tujuannya.
Menurut Kuntowijoyo, di tengah-tengah umat Islam terdapat
suatu golongan yang dipanggil Allah untuk menyeru kebaikan dan
mencegah kemungkaran. Dalam konteks kekhalifahan bertingkat,
mereka termasuk kaum cendekiawan yang merupakan golongan
kecil yang harus kreatif mampu mencandra arah perjalanan sejarah,
mengubahnya, dan menjadi ujung tombanknya (Kuntowijoyo, 1993:
121).
Kaum cendekiawan Muslim sesungguhnya harus mengikuti
tradisi profetik Nabi, bukan seperti obsesi kaum mistikus yang
berusaha untuk menyatu dengan Tuhan. Iqbal menyatakan, betapa
besar misi kreatif Nabi ketika ia memilih turun kembali ke bumi
untuk terlibat dalam proses sejarah, meskipun ia sudah sampai ke
puncak tertinggi bertemu dengan Allah swt dalam peristiwa Isra’
Mi’raj (Kuntowijoyo, 2001: 107).
Memang misi Nabi itu adalah missi profetik, misi kenabian.
Itulah sebabnya mengapa ia memilih untuk turun kembali ke dunia,
ke tengah kancah sejarah untuk melakukan perubahan. Kaum
intelektual adalah para pewaris Nabi. Mereka tidak boleh berpangku
tangan dan dunia membutuhkan kreatifitasnya. Al-Quran memerin-
tahkan agar kaum cendekiawan berpartisipasi untuk amar ma’ruf
nahi munkar. Kaum cendekiawan Muslim harus menghadapkan
tauhid kepada sejarah. Mereka harus memiliki cita-cita ketuhanan
yang dialektis, di mana tauhid akan ditempatkan sebagai pemberi
arah di dalam proses sejarah (Kuntowijoyo, 1993: 131).
Pada tahap di mana kekuasaan kekuatan sejarah telah
melahirkan proses-proses terbentuknya corak kemasyarakatan
industrial seperti sekarang ini, kaum cendekiawan Muslim mau tidak
mau harus menghadapkan teologi Islam kepada masyarakat industri;
demikian pula bila kaum cendekiawan Muslim hidup di tengah-
tengah masyarakat teknokratik, maka ia harus menghadapkan Islam
untuk menjawab tantangan-tantangan masyarakat teknokratik.
Mereka harus kreatif mengarahkan kekuatan-kekuatan sosio kultural
sesuai dengan cita-cita tauhid (Kuntowijoyo, 1993: 132).
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A

Kuntowijoyo adalah seorang pemikir yang dikenal kritis dan


optimis akan masa depan Islam. Sosok ini oleh Fakhri Ali dan
Bachtiar Efendy dimasukkan dalam kelompok sosialisme-demokrasi
Islam disamping Dawam Raharjo dan Adi Sasono (Ali & Effendi,
1986: 224). Perhatiannya yang sangat besar terhadap masalah sosial
umat Islam sangat berkaitan dengan bidang keilmuan yang
ditekuninya, yaitu ilmu sejarah. Hal ini terlihat dalam disertasi Ph.D-
nya dalam studi sejarah dari University of Columbia pada 1980 yang
berjudul Social Change in Agrarian Society: Madura 1850-1940
(Kuntowijoyo, 1991: v).
Selain hal di atas, ada dua hal penting yang melatarbelakangi
kecendekiawanan Kuntowijoyo dalam menyusun gagasannya
mengenai Islam. Pertama, perhatiannya yang sangat besar terhadap
pola pikir masyarakat yang masih dibelenggu oleh mitos dan
kemudian berkembang sampai masuk pada tingkat ideologi.
Selanjutnya, karena perkembangan ilmu pengetahuan, akhirnya
melalui pengaruh tersebut, umat Islam memasuki periode ide
(Kuntowijoyo, 1984: 58-63).
Menurutnya, Islam yang masuk ke Indonesia telah mengalami
agrarisasi. Peradaban Islam yang bersifat terbuka, global, kosmopolit
dan merupakan mata-rantai penting peradaban dunia telah
mengalami penyempitan dan stagnasi dalam bentuk budaya-budaya
lokal. Bagi Kuntowijoyo, universalisme Islam tidak selalu berarti
bahwa Islam akan menafikan dan menyingkirkan budaya-budaya
lokal. Oleh karena itu, umat Islam di Indonesia harus menangkap
kembali semangat kosmopolitan dari Islam--Islam sebagai budaya
universal yang ada di mana-mana-- dan rasionalisme Islam
(Kuntowijoyo, 1993: 42-43).
Untuk itu, Kuntowijoyo melakukan analisis-analisis historis
dan kultural untuk melihat perkembangan umat Islam di Indonesia.
Kondisi seperti ini telah mendorongnya untuk mengemukakan dan
menyampaikan gagasan-gagasan transformasi sosial melalui
reinterpretasi nilai-nilai Islam, yang menurutnya sejak awal telah
mendorong manusia berpikir secara rasional dan empiris
(Kuntowijoyo, 1991: 39).

112
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A.

Kedua, adanya respon terhadap tantangan masa depan yang


cenderung mereduksi agama dan menekankan sekulerisasi sebagai
keharusan sejarah. Industrialisasi dan teknokratisasi akan
melahirkan moralitas baru yang menekankan pada rasionalitas
ekonomi, pencapaian perorangan, dan kesamaan (Kuntowijoyo,
1993: 49). Ini mendorongnya melontarkan gagasannya reinterpretasi
nilai-nilai Islam, terutama yang berkaitan dengan rumusan teori
ilmu-ilmu sosial Islam.

Tahap-tahap Kesadaran Sosial Umat Islam di Indonesia


Kuntowijoyo menjadikan kejatuhan Kerajaan Islam Demak
sebagai titik tolak untuk melihat kembali kesadaran sosial umat
Islam di Indonesia. Menurutnya, setelah kejatuhan Kerajaan Islam
Demak, umat Islam menjadi bentuk masyarakat yang disebut
patrimornial. Umat Islam tidak berada pada golongan atas, melainkan
ada di golongan bawah. Pada periode pertama ini, demikian
ditegaskan Kuntowijoyo, sampai akhir abad ke-19, umat Islam hanya
sebagai kawula atau abdi.
Di dalam masyarakat dengan hirarki yang keras saat itu, antara
priyagung dan wong cilik, umat Islam memiliki suatu kesadaran yang
disebut sebagai kesadaran mistik-religius. Kesadaran ini tergambar
dalam perlawanannya terhadap kekuatan kolonial dengan diperkuat
oleh ideologi yang bersifat utopia. Disebut utopia, karena umat Islam
tidak merumuskan pikiran-pikirannya berdasarkan aktualitas
sejarah, melainkan berdasarlan kepada berbagai mitos, pandangan-
pandangan mistik mengenai masyarakat yang dapat dirumusakan
misalnya dalam cita-cita Ratu Adil (Kuntowijoyo, 1993: 22).
Pada periode ini, umat Islam belum mampu mengorganisir diri.
Mereka mengelompok di belakang pribadi-pribadi berkharisma
seperti Kyai dan Haji. Orang-orang berkharisma inilah yang
kemudian menggerakkan umat Islam melakukan berbagai
pemberontakan. Umat Islam terpecah dalam ikatan-ikatan yang
sangat kecil, di lingkaran yang sangat lokal, dan tersebar di mana-
mana. Islam yang sebenarnya merupakan tradisi besar, tradisi yang
sanggup mengorganisir kekhalifahan yang besar, tetapi Islam di
Indonesia yang berada di luar birokrasi hanya sanggup membentuk
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A

masyarakat-masyarakat kecil, sehingga tidak bisa menyatukan diri


dalam kesatuan yang disebut umat.
Pada periode kedua (1900-1920), terjadi perubahan-
perubahan sosial yang sangat besar. Sekitar akhir abad ke-19 atau
awal abad ke-20, ada gejala munculnya kekuatan-kekuatan baru. Jika
pada periode sebelumnya, umat Islam merasa sebagai kawula, pada
periode kedua ini umat Islam merasa dirinya sebagai wong cilik.
Konsep ‘wong cilik’ berbeda dengan konsep ‘kawula’. Kawula
hubungannya dengan ‘Gusti’, ‘wong cilik’ lebih merupakan konsep
horizontal.
Pada periode ini, Indonesia telah berubah menjadi hirarki atau
sistem yang berdasarkan status, sistem kelas. Saat itu di Indonesia
telah muncul kelas baru yang bisa disebut sebagai kelas menengah,
yang terdiri atas kelas pedagang, buruh, dan petani. Hal penting dari
periode ini adalah munculnya kelas pedagang yang umumnya secara
tradisional dimonopoli oleh umat Islam. Pada periode ini kesadaran
umat Islam mulai berubah. Jika sebelumnya umat Islam mempunyai
kesadaran mistis dan utopia, kini umat Islam mulai mencoba
merumuskan ideologi.
Pada periode awal, Sarekat Islam (Syarekat Dagang Islam)
merumuskan dari sebagai kelompok pedagang. Sejak itu, ideologi
Islam mulai ditanamkan di dalam kesadaran umat yang pada periode
ini masih dalam bentuknya yang sangat awal. Pengenalan ideologi
Islam pada saat ini belum begitu jelas, sehingga pada masa
selanjutnya tampak bahwa dalam konflik-konflik kelas, ideologi
Islam muncul tidak terlalu puritan, sehingga misalnya timbul konflik
apakah Islam akan berpihak kepada kaum buruh atau tidak
(Kuntowijoyo, 1993: 24).
Berbeda dengan periode sebelumnya yang berkelompok di
sekitar tokoh-tokoh kharismatik, sekarang umat Islam berkelompok
di tengah-tengah pimpinan yang rasional. Tokoh-tokoh yang tampil
dipilih karena kualifikasi-kualifikasi rasional, seperti HOS
Tjokroaminoto, H. Agus Salim, Abdul Muis, dan lain-lain. Aksi-aksi
yang dilakukannya pun teorganisir dengan baik, misalnya didirikan
koperasi untuk melawan dominasi penjajah dan Cina.

114
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A.

Kalau sebelumnya Sarekat Islam mewadahi semua semua


orang kecil seperti pedagang, buruh, petani dan sebagainya, maka
pendefinisian SI saat itu membawa umat Islam kepada periode
ketiga. Pada periode ketiga ini (1920-1942) SI mendefinisikan
dirinya sebagai umat. Pada saat itulah, demikian menurut
Kuntowijoyo, konsep mengenai umat sebagai satu kesatuan sosial
dan politis mulai muncul dalam masyarakat Indonesia. Munculnya
kristalisasi umat ini antara lain dipicu oleh adanya Koran di
Surakarta yang menghina Nabi Muhammad saw, maka pada tahun
1918 di Indonesia didirikan ‘Tentara Kanjeng Nabi Muhammad’.
Pada periode ini pun umat Islam masih melakukan berbagai
aksi dalam bentuk berbagai demontrasi. Tetapi yang terpenting pada
periode ini, umat Islam lebih banyak mendirikan berbagai asosiasi.
Selain Sarekat Islam (SI), lahir Muhammadiyah, Nahdhatul Ulama,
dan organisasi lain baik di Jawa Barat, Jakarta, Sumatera, dan di
berbagai tempat lainya.
Setelah tahun 1942, yang terjadi adalah kelanjutan dari
perjalanan umat. Jika sebelumnya umat Islam mendefinisikan diri
sebagai umat, sejak tahun 1942 dan seterusnya, umat Islam
dihadapkan pada tugas baru. Pada masa penjajahan Jepang, para Kyai
dan tokoh-tokoh umat Islam mulai dilibatkan dalam kepemimpinan
dan kenegaraan. KHA Wahid Hasyim misalnya, diangkat menjadi
semacam Kementerian Agama di masa Jepang. Masih banyak tokoh-
tokoh Islam yang diangkat menjadi pimpinan PETA, Hizbullah,
Sabilillah, dan lain-lain.
Karena itu, sesudah tahun 1942, lebih-lebih setelah tahun
1945, umat Islam mendefinisikan diri dalam rumusan baru, yaitu
sebagai warga negara, sebagai citizen. Menurut Kuntowijoyo,
perjalanan terakhir sebagai sebagai warga negara merupakan
langkah historis. Ketika dirumuskan UUD 1945, yang di dalamnya
memuat rumusan Pancasila, waktu itu, umat Islam memutuskan diri
sebagai warga negara Indonesia. Persoalan selanjutnya adalah
persoalan antara negara dan warga negara.
Selanjutnya, ideology umat Islam yang sudah dirumuskan sejak
SI, masih berjalan terus. Pada tahun-tahun pertama, Islam sebagai
ideologi cukup keras dikumandangkan dan merupakan cita-cita
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A

bersama umat Islam Indonesia. Permasalahan penting selanjutnya


adalah munculnya konflik sepanjang rentang waktu antara tahun
1945 sampai tahun 1965. Pada masa ini, umat Islam memasuki babak
baru, yaitu ikut serta dalam pelaksanaan Pemilihan Umum, ikut
dalam DPR/MPR, Badan-badan Pemerintahan, dan lain-lain. Umat
Islam benar-benar aktif sebagai warga negara.

Misi Cendekiawan Kuntowijoyo


A. Islam sebagai Ilmu
Memperhatikan tahap-tahap kesadaran umat yang sekarang ini
sudah memasuki periode ide, maka Islam harus dirumuskan untuk
menjadi ilmu. Kalau pada priode utopia, umat Islam masih berpikir
dalam kerangka mistis, sementara pada zaman ideologi mereka
hanya terlibat pada persoalan ideologi dan kekuasaan, maka pada
periode sekarang ini, umat Islam perlu merumuskan konsep-konsep
normatif (Kuntowijoyo, 1993: 11-12).
Misalnya, berkaitan dengan sabda Nabi saw yang berbunyi:
“Engkau akan mendapatkan kemenangan dan rizki berkat
perjuangan kaum dhu’afa (kaum lemah)”. Melalui tafsiran ideologis
hadis tersebut dapat diartikan bahwa kaum dhu’afa harus dibela dan
kemudian menjadi keyakinan politik populisme. Sebagai ideologi,
pengertian tersebut sudah final. Tetapi jika diartikan dengan cara
yang lain, bisa dibuat rumusan demikian “bahwa kemenangan
hanyalah suatu gejala dari kekuasaan atau politik, sedang ‘rizki’
adalah gejala ekonomi. Dengan penafsiran seperti itu, dapat
dirumuskan lebih jauh bahwa kekuatan sejarah, bahwa agent of
change dari perubahan kekuasaan politik dan ekonomi adalah kaum
dhu’afa.
Dengan kata lain, sejarah kemanusiaan tidak ditentukan oleh
kalangan atas yang kuat dan memiliki kekuasaan, melainkan oleh
kaum dhu’afa, kelas bawah. Dengan tesis semacam itu, maka suatu
bangsa atau Negara tidak dapat lagi mengabaikan peranan penting
dari dhu’afa dalam menentukan perubahan politik dan ekonomi,
bahkan dalam perkembangan sejarah. Dari tesis yang semacam itu
maka akan dapat dilahairkan teori sosial mengenai revolusi atau
mengenai perubahan sosial.

116
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A.

Contoh di atas menggambarkan bahwa konsep-konsep Islam


sebenarnya perlu dipahami lebih mendalam. Setiap ayat dari al-
Quran memang bisa dirumuskan menjadi ideologi, tapi pada saat
yang bersamaan bisa dirumuskan menjadi teori-teori ilmu
pengetahuan Islam. Dalam masa sekarang ini, tampaknya umat Islam
harus beranjak ke sana.
Menurut Kuntowijoyo, ada dua metodologi yang dipakai dalam
proses pengilmuan Islam, yaitu integralisasi dan objektifikasi.
Pertama, integralisasi adalah pengintegrasiam kekayaan keilmuan
manusia dengan wahyu (petunjuk Allah dalam al-Quran beserta
pelaksanaannya dalam Sunnah Nabi). Kedua, objektifikasi adalah
menjadikan pengilmuan Islam sebagai rahmat untuk semua orang
(rahmatan lil’alamin) (Kuntowijoyo, 2006: 49).
Ilmu yang integralistik, ilmu yang menyatukan (bukan sekedar
menggabungkan) wahyu Tuhan dan temuan pikiran manusia tidak
akan mengucilkan Tuhan (sekularisme) atau mengucilkan manusia.
Diharapkan bahwa integralisme akan sekaligus menyelesaikan
konflik antara sekularisme ektrem dan agama-agama radikal dalam
banyak sektor. Sementara itu, dengan objektifikasi, menjadikan ilmu
tidak hanya untuk orang beriman saja, melainkan untuk seluruh
manusia tanpa kecuali, seperti yang terlihat pada contoh di atas.
Bagi Kuntowijoyo, sebagai seorang Muslim, tugas intelektual
dan cendekiawan Muslim adalah ‘memberikan pemikirannya kepada
masyarakat, supaya masyarakat mempunyai alat analisa yang tajam
dan dapat memainkan peranan dalam kehidupan sehari-hari’,
demikian dinyatakan A.E. Priyono. Menurutnya, pergulatan Islam
adalah pergulatan untuk relevansi, di mana agama tidak boleh
sekedar menjadi pemberi legitimasi terhadap sistem sosial yang ada,
melainkan harus memperhatikan dan mengontrol perilaku sistem
tersebut.
Dengan kata lain, Islam harus berperan sebagai pengendali
sistem, dan bukan sebaliknya. Sebagai pengendali sistem, tentu umat
bukan saja membutuhkan kecermatan dalam mengawal perilaku
sistem, tetapi juga kemampuan dan kecakapan untuk terlibat di
dalamnya. Ini berarti harus ada kesiapan dalam hal metodologi dan
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A

aksi, yaitu adanya sebuah interpretasi untuk aksi dalam suatu


kerangka paradigmatik Islam.
Dalam kerangka intelektual tersebut, Kuntowijoyo kemudian
menyusun suatu agenda reaktualisasi Islam di Indonesia. Ia
mengemukakan dua jenis agenda reaktualisasi Islam, yaitu yang
pertama bersifat akademis-intelektual, dan yang kedua bersifat
praktis-aktual. Kedua agenda ini bersifat saling melengkapi satu
sama lain, yang satu menjadikan condition sine qua non bagi yang
lainnya.
Menurut Kuntowijoyo, premis dari reaktualisasi Islam pada
segi intelektual adalah bahwa pada dasarnya Islam dapat dibangun
sebagai sebuah paradigm teoretis atas dasar kerangka epistemik dan
etisnya sendiri. Pada tingkatnya yang normatif, Islam merupakan
seperangkat sistem nilai koheren yang terdiri atas ajaran-ajaran
wahyu, yaitu merupakan kriteria kebenaran absolut dan bersifat
transendental. Untuk bisa beroperasi sebagai acuan aksiologis,
sebenarnya konsep-konsep normatif Islam yang berakar pada sistem
nilai wahyu ini dapat diturunkan ke dalam dua medium, yakni
ideologi dan ilmu.
Agama menjadi ideologi karena ia tidak hanya mengkonstruksi
realitas, tetapi juga merupakan motivasi etis dan teologis untuk
merombaknya. Ideologi dengan demikian, merupakan derivasi
normatif yang diturunkan menjadi aksi. Tetapi di lain pihak, agama
juga dapat dikembangkan menjadi ilmu dengan merumuskan dan
menjabarkan konsep-konsep normatifnya pada tingkat yang empiris
dan objektif. Dengan kata lain, nilai-nilai normatif tidak dijabarkan
menjadi ideologi untuk aksi, tetapi dirumuskan menjadi teori untuk
aplikasi.
Sebenarnya, demikian menurut Kuntowijoyo, transformasi dari
sistem nilai menjadi ideologi atau ilmu juga dialami oleh filsafat.
Sebagai contoh, filsafat materialisme historis menjadi ideologi
Marxis, dan bagaimana cita-cita filsafat positivisme berkembang
menjadi ilmu sosial positif, dengan tradisi rasional dan empirisnya.
Tetapi apa yang terjadi dari perkembangan ini adalah bahwa
ideologi-ideologi dan ilmu-ilmu sosial itu akhirnya berubah menjadi

118
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A.

acuan-acuan normatif, misalnya kemudian dipakai sebagai kriteria


untuk mengukur perkembangan kebudayaan dan sejarah.
Menurut Kuntowijoyo, konflik antara ilmu dan agama yang
terjadi di Barat, sesungguhnya disebabkan karena konsep-konsep
teoretis ilmu telah berubah menjadi acuan-acuan normatif; dan ini
mengakibatkan agama kemudian mengalami krisis kredibilitas
karena acuan normatif transendentalnya digantikan oleh acuan
normatif ilmu. Hal inilah yang pada gilirannya menyebabkan
terjadinya sekulerisasi subjektif maupun objektif, karena nilai-nilai
agama tidak lagi dianggap relevan sebagai orientasi etis dalam
kehidupan sehari-hari, dan karenanya ‘dunia telah dibebaskan’ dari
pengaruh agama.
Dalam pandangan Kuntowijoyo, dengan merumuskan konsep
normatif agama menjadi konsep-konsep teoretis ilmu, bukan saja
agama akan dikembalikan pada posisinya sebagai acuan orientasi
normatif, tetapi juga ilmu akan disubordinasikan kembali kepada
standar-standar etika agama. Dengan demikian, integrasi ilmu dan
agama, atau teori dan nilai, menjadi mungkin.
Bahwa jika kemudian dipersoalkan apakah prosedur itu sah
secara metodologis, gugatan serupa juga perlu diajukan pada
prosedur yang sebaliknya yang selama ini berlaku, di mana konsep-
konsep empiris berkembang menjadi acuan-acuan normatif. Kalau
diingat bahwa ilmu-ilmu empiris pada gilirannya dapat menjadi
konsep normatif, maka bagaimana tidak mungkin konsep-konsep
normatif (dikembangkan) menjadi konsep teoretis, demikian
Kuntowijoyo (Priyono: 38).
Lebih jauh Kuntowijoyo menegaskan, selama konsep-konsep
normatif tidak dijabarkan dalam formulasi-formulasi teoretis, maka
Islam hanya akan bertahan di dunia subjektif dan tidak akan dapat
ikut campur dalam realitas objektif. Obyektivikasi dan teoretisasi
konsep-konsep normatif Islam adalah sarana untuk
mengaktualisasikan Islam dalam dunia empiris, dan hanya dengan
itulah Islam dapat terlibat untuk mengendalikan sejarah (Priyono:
39).
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A

B. Al Qur’an: Interpretasi untuk Aksi


Uraian-uraian tentang Islam di Indonesia yang disoroti oleh
Kuntowijoyo lewat pendekatan historis-sosiologis, sebenarnya ingin
diarahkan pada suatu grand project, yaitu menjadikan Al Qur’an
sebagai paradigma Islam. Paradigma ini dimaksudkan untuk
membangun teori-teori sosial khas Islam yang disebutnya ilmu-ilmu
sosial profetik. Paradigma ini dimaksudkan sebagai mode of thought,
mode of inquiry, yang kemudian menghasilkan mode of knowing.
Dengan pengertian paradigmatik ini, dari Al Qur’an dapat diharapkan
suatu konstruksi pengetahuan yang memungkinkan memahami
realitas sebagaimana Al Qur’an memahaminya (Kuntowijoyo, 1991:
327). Demikian lebih lanjut, Kuntowijoyo (1991: 170) menjelaskan:
“Paradigma Al Qur’an berarti suatu konstruksi pengetahuan.
Konstruksi pengetahuan itu pada mulanya dibangun dengan tujuan
agar kita memiliki “hikmah” untuk membentuk perilaku yang sejalan
dengan sistem Islam, termasuk sistem ilmu pengetahuannya. Jadi,
disamping memberikan gambaran aksiologis, paradigma Al Qur’an
juga dapat berfungsi untuk memberikan wawasan epistemologis”.

Menurut Kuntowijoyo, pada dasarnya seluruh kandungan nilai


Islam bersifat normatif. Ada dua cara bagaimana nilai-nilai normatif
itu menjadi operasional dalam kehidupam sehari-hari. Pertama, nilai-
nilai normatif itu diakualkan langsung menjadi perilaku. Untuk jenis
aktualisasi semacam ini, contohnya adalah seruan moral praktis al-
Quran, misalnya untuk menghormati orang tua. Seruan ini langsung
dapat diterjemahkan ke dalam praktek, ke dalam perilaku.
Pendekatan semacam ini telah dikembangkan melalui ilmu fiqh. Ilmu
ini cenderung menunjukkan secara langsung, bagaimana secara legal
formal perilaku harus sesuai dengan sistem normatif (Kuntowijoyo,
1991: 170).
Cara yang kedua adalah menstransformasikan nilai-nilai
normatif itu menjadi teori ilmu sebelum diaktualisasikan ke dalam
perilaku. Tampaknya cara kedua ini lebih relevan pada saat ini, jika
ingin melakukan restorasi terhadap masyarakat Islam dalam konteks
masyarakat industrial --suatu restorasi yang membutuhkan

120
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A.

pendekatan yang lebih menyeluruh daripada sekedar pendekatan


legal.
Metode untuk transformasi nilai melalui teori ilmu untuk
kemudian diaktualisasikan dalam praksis, memang membutuhkan
beberapa fase formulasi: teologi, ke filsafat sosial, ke teori sosial, dan
akhirnya, ke perubahan sosial. Sampai sekarang ini menurut
Kuntowijoyo, inilah yang merupakan kekurang-annya. Tampaknya
sudah mendesak bagi umat Islam untuk segera memikirkan metode
transformasi nilai Islam pada level yang empiris melalui
dilahirkannya ilmu-ilmu sosial Islam (Kuntowijoyo, 1991: 170).
Tampaknya pemikiran Kuntowijoyo tentang paradigma Al
Qur’an ini dipengaruhi oleh pemikiran Fazlur Rahman (Amal, 1993:
203) tentang operasi metodologi tafsir. Cara kerja metodologis
penafsiran Rahman yang berusaha memahami Al Qur’an, aktivitas
Nabi, dan latar sosio-historisnya diarahkan pada perumusan kembali
suatu Islam yang utuh, koheren serta berorientasi kepada masa kini.
Untuk itu menurut Rahman (1968: 256) perlu lebih dahulu dipahami
perumusan pandangan dunia Al Qur’an.
Sehubungan dengan perumusan worldview Al Qur’an ini,
Rahman mengemukakan bahwa prinsip penafsiran dengan latar
belakang sosio-historis tidak diterapkan dengan cara yang sama
dengan perumusan etika Al Qur’an (Rahman, 1980: 129) atau oleh
Kuntowijoyo disebut nilai normatif praktis. Menurut Rahman, untuk
pertanyaan-pertanyaan teologis atau metafisis, latar belakang
spesisfik turunnya wahyu tidak dibutuhkan (Rahman, 1980: 154).
Hanya saja dalam merumuskan pandangan dunia Al Qur’an tersebut,
Rahman tampaknya lebih cenderung menggunakan prosedur
sintesis (Rahman, 1980: xi).
Menurut Kuntowijoyo (1991: 327-329), salah satu pendekatan
yang menurutnya perlu diperkenalkan dalam rangka mendapatkan
pemahaman yang komprehensif terhadap Al Qur’an adalah apa yang
dinamakan pendekatan sintetik-analitik. Pendekatan ini menganggap
bahwa pada dasarnya kandungan Al Qur’an itu terdiri dari dua
bagian, pertama berisi konsep-konsep yang disebut ideal-type, dan
kedua berisi kisah-kisah sejarah dan amsal-amsal yang disebut
arche-type.
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A

Dalam bagian yang berisi konsep-konsep, Al Qur’an bermaksud


membentuk pemahaman yang komprehensif mengenai ajaran Islam.
Sedang dalam bagian yang berisi kisah-kisah historis, Al Qur’an ingin
mengajak melakukan perenungan untuk memperoleh wisdom.
Dengan pendekatan sintetik dimaksudkan untuk menonjolkan nilai
subjektif-normatifnya, dengan tujuan mengembangkan perspektif
etik dan moral individual. Sedangkan dengan pendekatan analitik
dimaksudkan untuk menterjemahkan nilai-nilai normatif ke dalam
level objektif. Ini berarti konsep-konsep normatif yang terdapat
dalam Al Qur’an harus dirumuskan dalam bentuk konstruksi-
konstruksi teoretis (Kuntowijoyo, 1991: 330).
Untuk dapat menjadikan Al Qur’an sebagai paradigma dan
kemudian merumuskan nilai-nilai normatifnya ke dalam teori-teori
sosial, menurut Kuntowijoyo (Kuntowijoyo, 1991: 283-258),
diperlukan adanya lima program reinterpretasi, yaitu:
1. Perlunya dikembangankan penafsiran sosial struktural lebih
daripada penafsiran individual ketika memahami ketentuan-
ketentuan Al Qur’an. Selama ini, kerapkali dilakukan penafsiran
yang bersifat individual ketika memahami ayat-ayat al-Quran,
misalnya sebuah ayat yang menyatakan larangan untuk hidup
bermewah-mewah atau berfoya-foya. Dari penafsiran individual
terhadap ketentuan ini sering timbul sikap mengutuk orang yang
hidup befoya-foya. Sesunguhnya kecaman itu sah saja adanya.
Tetapi yang lebih mendasar sebenarnya adalah mencari sebab
struktural kenapa gejala hidup bermewah-mewah atau berfoya-
foya itu muncul dalam konteks sistem sosial dan ekonomi. Dengan
upaya ini, penafsiran terhadap gejala hidup mewah harus lebih
dikembangkan pada perspektif sosial, pada perspektif struktural.
Dari penafsiran semacam ini, diharapkan akan ditemukan akar
masalahnya yang paling esensial, yaitu terjadinya konsentrasi
kapital, akumulasi kekayaan, dan sistem pemilikan sumber-
sumber penghasilan atas dasar etika keserakahan. Gejala-gejala
seperti inilah sebenarnya yang harus dirombak agar tidak tidak
mengarah pada terjadinya gaya hidup mewah, gaya hidup yang
secara moral sangat dikecam oleh al-Quran.

122
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A.

2. Mengubah atau adanya reorientasi cara berpikir dari subjektif ke


objektif. Tujuan dilakukannya reorientasi berpikir secara objektif
ini adalah untuk menyuguhkan Islam pada cita-cita objektifnya.
Misalnya zakat yang secara subjektif adalah untuk membersih
diri, tetapi juga untuk tercapainya kesejahteraan umat. Tapi
sesungguhnya sisi objektif tujuan zakat pada intinya adalah
tercapainya kesejahteraan sosial. Kesejahteraan sosial itulah yang
menjadi sasaran objektif dikeluarkannya ketentuan untuk
berzakat. Dari reorientasi semacam ini dapat dikembangkan tesis
yang lebih luas bahwa Islam benar-benar ingin memperjuangkan
tercapainya kesejahteraan sosial yang di dalamnya zakat
merupakan salah satu sarananya. Demikian juga apabila
membicarakan tentang ‘riba’. Ketentuan ini misalnya perlu diberi
konteks pada cita-cita egalitarianisme ekonomi untuk tercapainya
kesejahteraan sosial. Oleh karena itu, pada level aktual, dapat saja
dikembangkan bentuk-bentuk instusi bank yang bebas bunga,
yang tidak menggunakan rente, untuk membantu pemilikan
modal bagi kelas ekonomi lemah.
3. Mengubah Islam yang normatif menjadi teoretis. Selama ini, umat
Islam cenderung menafsirkan ayat-ayat al-Quran pada level
normatif, dan kurang memperhatikan adanya kemungkinan untuk
mengembangkan norma-norma tersebut menjadi kerangka-
kerangka teori ilmu. Secara normatif, umat Islam mungkin hanya
dapat mengembangkan tafsiran moral ketika memahami konsep
fuqara dan konsep tentang masakin. Kaum fakir dan miskin
paling-paling hanya akan dilihat sebagai orang-orang yang perlu
dikasihani, sehingga ada kewajiban mengeluarkan dan
memberikan zakat, shadaqah, dan infaq. Dengan pendekatan
teoretis, kita mungkin akan lebih memahami konsep tentang
kaum fakir dan miskin pada konteks yang lebih real, lebih faktual,
sesuai dengan kondisi sosial, ekonomi, maupun kultural. Dengan
cara tersebut, dapat dikembangkan konsep yang lebih tepat
tentang siapa sesungguhnya yang dimaksud sebagai fuqara dan
masakin itu; pada kelas sosial dan ekonomi apa mereka berada
dalam suatu masyarakat, dan sebagainya. Melalui contoh tersebut,
tampaknya dapat diformulasikan Islam secara teoretis, dan oleh
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A

karena itu, maka banyak disiplin ilmu yang secara orisinal dapat
dikembangkan menurut konsep-konsep al-Quran. Pada akhirnya,
konsep-konsep tersebut dapat diformulasikan dalam bentuk dan
menjadi teori-teori sosial Islam.
4. Mengubah pemahaman yang a historis menjadi historis. Selama
ini, pemahaman mengenai kisah-kisah yang ditulis dalam al-Quran
cenderung sangat a-historis, padahal maksud al-Quran mencerita-
kan kisah-kisah itu adalah justru agar yang memahaminya
berpikir historis. Misalnya kisah tentang bangsa Israel yang
tertindas pada zaman Fir’aun sering hanya dipahami dalam
konteks zaman itu. Melalui kisah tersebut sesungguhnya
tersimpan misi bahwa kaum tertindas itu sebenarnya ada di
sepanjang zaman dan ada pada setiap sistem sosial. Pada zaman
feodalisme, pada sistem kapitalisme, pada sistem sosialisme,
selalu terdapat apa yang disebut ‘kaum tertindas’. Oleh karena itu,
sesungguhnya harus dapat dijelaskan siapakah golongan-
golongan yang ada pada posisi tertindas itu dalam sejarah;
termasuk pada saat sekarang ini, yaitu pada sistem sosial ekonomi
yang memungkinkan terjadinya konsentrasi kapital di tangan
segelintir elit. Contoh lain misalnya adalah berkaitan dengan
sebuah ayat yang memerintahkan untuk ‘membebaskan mereka
yang terbelenggu’. Melalui cara berpikir historis, harus dapat
diidentifikasi siapakah yang dimaksudkan sebagai ‘golongan yang
terbelenggu’ itu dalam sistem sosial politik dewasa ini.
5. Merumuskan formulasi wahyu yang bersifat umum menjadi
formulasi yang spesifik dan empiris. Dalam hal konsep umum
tentang kecaman terhadap sirkulasi kekayaan yang hanya
berputar pada orang-orang kaya harus dapat diterjemahkan ke
dalam formulasi-formulasi spesifik dan empiris ke dalam realitas
yang kita hadapi sekarang. Dengan menterjemahkan pernyataan
umum secara spesifik untuk menatap gejala yang empiris,
pemahaman terhadap Islam akan selalu menjadi kontekstual,
sehingga dapat menumbuhkan kesadaran mengenai realitas
sosial dan pada gilirannya akan menyebabkan Islam menjadi
agama yang lebih mengakar di tengah-tengah masyarakat.

124
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A.

Dengan demikian, akan menyebabkan Islam menjadi agama yang


lebih mengakar dan membumi.
Dari uraian tentang paradigma Al Qur’an dan program
reinterpretasi di atas, bisa dilihat bahwa Kuntowijoyo ingin merintis
metode baru penafsiran Al Qur’an. Metode tafsir yang ditawarkan
adalah memandang Al Qur’an sebagai akumulasi konsep-konsep
normatif. Nilai-nilai yang ada di dalamnya bersifat transendental
yang bebas dari konteks dan bias-bias yang mengitarinya.
Tampaknya di sini, dia berpegang pada kaidah al-‘ibrah bi umum al-
lafaz la bi khusus as-sabab.

Ilmu Sosial Profetik


Dari konsep-konsep Al Qur’an seperti dicontohkan di atas,
menurutnya dapat diciptakan teori-teori ‘ilmu sosial profetik’ yang
pada dasarnya bersifat transformatif (Kuntowijoyo, 1991: 337). Apa
yang dimaksud transformatif di sini oleh Kuntowijoyo adalah
terjadinya perubahan sosial, baik berkaitan dengan cara berpikir,
bersikap, dan berperilaku, secara individual maupun social (Rahman,
1995: 21).
Sebagaimana diungkapkan oleh Abu Baker A. Bagder, ilmu-
ilmu sosial telah mendapatkan penghargaan tertinggi di dunia
modern karena diyakini bahwa ia menampilkan analisis terhadap
peristiwa-peristiwa kontemporer dalam masyarakat. Para pejabat
pengambil keputusan dan para perencana program yang menaruh
perhatian pada masalah sosial meminta bantuan kepada para pakar
ilmu sosial.
Salah satu kepentingan besar Islam sebagai sebuah ideologi
sosial adalah bagaimana mengubah masyarakat sesuai dengan cita-
cita dan visinya mengenai transformasi sosial. Semua ideologi atau
filsafat sosial menghadapai suatu pertanyaan pokok, yaitu bagaimana
mengubah masyarakat dari kondisinya sekarang menuju keadaan
yang lebih dekat dengan tatanan yang lebih ideal.
Elaborasi terhadap pertanyaan pokok tersebut biasanya
menghasilkan teori-teori sosial yang berfungsi untuk menjelaskan
kondisi masyarakat yang empiris pada masa kini, dan sekaligus
memberikan insight mengenai perubahan dan transformasinya.
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A

Karena teori-teori yang diderivasi dari ideologi-ideologi sosial sangat


berkepentingan terhadap terjadinya transformasi sosial, maka dapat
dikatakan bahwa hampir semua teori sosial tersebut bersifat
transformatif (Kuntowijoyo, 1991: 337).
Gagasan munculnya ilmu sosial profetik, bermula dan diawali
dengan munculnya perdebatan di sekitar pemikiran Muslim
Abdurrahman mengenai istilah Teologi Transformatif. Istilah ‘teologi’
yang digunakan di sini, adalah dimaksudkan agar agama diberi tafsir
baru dalam rangka memahami realitas. Selanjutnya, metode yang
efektif untuk maksud tersebut adalah dengan mengelaborasi ajaran-
ajaran agama ke dalam bentuk suatu teori sosial. Lingkup yang
menjadi sasaran dari pemikiran ini adalah lebih pada rekayasa sosial
untuk transformasi sosial.
Namun demikian, penggunaan istilah ‘teologi’ di sini,
tampaknya, mengundang banyak pertanyaan, karena banyak yang
memahaminya dalam kerangka aspek-aspek normatif yang bersifat
permanen seperti pada pemahaman terhadap Ilmu Kalam atau Ilmu
Tauhid. Untuk menghindari problem istilah yang berkepanjangan,
Kuntowijoyo, dengan memperhatikan lingkup yang menjadi garapan
adalah aspek yang bersifat empiris, histori, dan temporal,
menurutnya sebutan ‘ilmu sosial’ lebih bisa diterima tanpa harus
diberi pretensi doktrinal.
Sampai di sini, munculah gagasan ‘Ilmu Sosial Transformatif’.
Namun demikian, gagasan ini harus dibedakan dengan gagasan yang
muncul belakangan yang dikemukakan oleh Purwo Santoso, yang
disampaikan dan sekaligus merupakan judul pidato pengukuhan
guru besarnya pada tahun 2011. Dalam benak-pikiran Kuntowijoyo
selanjutnya, ilmu sosial yang bagaimanakah yang dapat dipakai
untuk melakukan transformasi sosial?
Ilmu sosial transformatif yang tergambar dalam pikiran
Kuntowijoyo adalah ilmu sosial yang tidak seperti ilmu-ilmu sosial
akademis maupun ilmu-ilmu sosial kritis, yang tidak berhenti hanya
untuk menjelaskan fenomena sosial, namun juga berupaya untuk
mentransformasikannya. Tapi kemudian muncul persoalan, ke arah
mana transformasi itu dilakukan, untuk apa, dan oleh siapa? Sampai

126
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A.

di sini, menurut Kuntowijoyo, ilmu-ilmu sosial transformatif tidak


bisa memberikan jawaban yang jelas (Kuntowijoyo, 2005: 86).
Dalam rangka menjawab pertanyaan itulah, Kuntowijoyo
mengemukakan bahwa yang dibutuhkan sekarang ini adalah ilmu-
ilmu sosial profetik, yaitu yang tidak hanya menjelaskan dan
mengubah fenomena sosial, tetapi juga memberi petunjuk ke arah
mana transformasi itu dilakukan, untuk apa, dan oleh siapa. Oleh
karena itu, ilmu sosial sosial profetik tidak sekedar mengubah demi
perubahan, tetapi mengubah berdasarkan cita-cita etik dan profetik
tertentu. Dalam pengertian ini, maka ilmu sosial profetik secara
sengaja memuat kandungan nilai-nilai dari cita-cita perubahan yang
diidamkan masyarakatnya.
Menurutnya, perubahan itu semestinya didasarkan pada cita-
cita humanisasi-emansipasi, liberasi, dan transendensi. Tiga muatan
nilai ini, ia ambil dari kandungan yang ada dalam QS Ali ‘Imran (3),
ayat 110: “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk
manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang
munkar, dan beriman kepada Allah…”. Tiga muatan inilah yang
menjadi ciri ilmu sosial profetik. Dengan kandungan nilai-nilai
humanisasi, liberasi, dan transendensi, ilmu sosial profetik diarahkan
untuk rekayasa masyarakat menuju cita-cita sosio-etiknya di masa
depan (Kuntowijoyo, 2005: 87).
Gagasan ilmu sosial profetik, dalam pengakuan Kuntowijoyo,
sebenarnya juga diilhami oleh pemikiran Muhammad Iqbal,
khususnya ketika Iqbal berbicara tentang peristiwa mi’raj Nabi
Muhammad saw. Seandainya Nabi Muhammad saw adalah seorang
mistikus atau sufi, kata Iqbal, tentu beliau tidak ingin kembali ke
bumi, karena telah merasa bersatu dengan Tuhan dan berada di sisi-
Nya. Justru, yang terjadi adalah, Nabi Muhammad saw kembali ke
bumi untuk menggerakkan dan melakukan perubahan sosial, untuk
mengubah jalannya sejarah. Nabi Muhammad saw mulai melakukan
transformasi sosial budaya berdasarkan cita-cita profetik
(Kuntowijoyo, 2005: 87). Tiga nilai yang menjadi muatan ilmu sosial
profetik, sebagaimana yang telah disinggung, humanisasi, liberasi,
dan transendensi.
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A

Setelah melakukan kajian dari beberapa literatur, terutama


dari buku-buku hasil pemikiran Kuntowijoyo, maka ada beberapa
benang merah yang dapat diambil. Pertama, dalam bidang sejarah,
Kuntowijoyo tergolong sejarawan yang piawai. Kuntowijoyo tidak
hanya produktif dalam menulis sejarah, akan tetapi dia
menganjurkan bagaimana seharusnya sejarah ditulis. Demikian pula,
dia juga menganjurkan kepada orang Indonesia khususnya, bahwa
sebagai pelaku sejarah apa yang seharusnya diperbuat masyarakat
Indonesia. Dalam konteks itu semua, maka dia menorehkan
gagasannya, misalnya, dalam buku-buku yang berjudul: “Pengantar
Ilmu Sejarah”, “Metodologi Sejarah”, “Identitas Politik Umat Islam”,
“Selamat Tinggal Mitos Selamat Datang Realitas”, “Paradigma Islam:
Interpretasi Untuk Aksi”, dan “Islam Sebagai Ilmu: Epistimologi,
Metodologi, dan Etika”.
Kedua, dengan mengacu pada pengertian bahwa cendekiawan
adalah orang-orang yang tidak pernah puas menerima kenyataan
sebagaimana adanya, cendekiawan adalah mereka yang selalu
mempertanyakan kebenaran yang berlaku pada suatu saat dalam
hubungannya dengan kebenaran yang lebih tinggi, lebih luas, dan
lebih ideal, atau kaum cendekiawan adalah orang-orang yang
mencari ‘kebenaran’, mencari prinsip-prinsip yang terkandung dalam
kejadian-kejadian serta tindakan-tindakan, maka Kuntowijoyo sudah
melakukan semua itu. Dalam pemikiran-pemikiran yang dituangkan
dalam buku-buku karangan Kuntowijoyo tampak bahwa dia adalah
seorang pejuang kebenaran. Kuntowijoyo adalah orang yang selalu
resah melihat perilaku-perilaku manusia Indonesia yang tidak tepat,
misalnya, sehingga dia segera meluruskan dan mengkritisi lewat
tulisan-tulisannya. Demikian pula, dia juga menunjukkan baik kepada
manusia Indonesia pada umumnya dan khususnya kepada umat
Islam apa yang seharusnya dilakukan dengan melihat kondisi
objektif di Indonesia.
Ketiga, sebagai seorang cendekiawan, misalnya, Kuntowijoyo
menganjurkan dan menggariskan sebagai landasan kebenaran
tindakan manusia, bahwa pada hakikatnya pergerakan umat manusia
adalah dari etika idealistik ke etika profetik. Oleh karena itu,
kerangka pikir atau paradigma pergerakan prilaku manusia harus

128
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A.

meniru para Nabi, dengan kata lain, mempunyai etika profetik. Dalam
QS Ali Imran (3): 110, misalnya, telah disebutkan: bahwa “kamu
adalah umat terbaik yang dilahirkan di tengah manusia untuk
berbuat kebajikan, mencegah kemungkaran, dan beriman kepada
Allah”. Intinya adalah bahwa landasan pergerakan manusia di dunia
ini adalah harus melakukan amar ma’ruf, nahi munkar (memerintah
kepada hal kebaikan dan mencegah perbuatan yang munkar) dan
tu’minuna billahi (yang mengandung nilai-nilai humanisasi, liberasi,
transendensi).

Model Pendidikan
Pendidikan Politik Islam atau Tarbiyah Siyasiyah Islamiah
menurut Ikhwanul Muslimin sebagaimana dikutip oleh Abu Ridha
(2002: 46) adalah “rangkaian upaya sistematis dan intensional yang
dilakukan institusi siasah dan tarbiyah untuk memantapkan
kesadaran siyasah dan berjuang dalam memenangkan “izzu al-islam
wa al-muslimin” (kemuliaan Islam dan umat Islam)”.
Definisi di atas menjelaskan beberapa unsur yang ada dalam
setiap proses tarbiyah siyasiyah, meliputi: kepribadian siasah,
kesadaran siasah, partisipasi siasah, lembaga-lembaga siasah, budaya
siasah, dan individu atau warga negara.
Karakteristik tarbiyah siyasiyah Islamiah yang paling khas adalah
referensinya yang baku, yaitu: wahyu dan seluruh perjalanan sejarah
Nabi Muhammad saw yang menurut Sayyid Qutb melalui empat
tahap, yaitu: membentuk jama’ah, berhijrah ke Madinah, melakukan
konsolidasi, tahap perjuangan bersenjata, sementara menurut
Imaduddin Khalil, yaitu: penegakkan Islam dalam skup
kemanusiaan, penegakkan Islam dalam skup daulah, dan penegakkan
Islam dalam skup peradaban (catatan kaki Abu Ridha, 2002).
Tarbiyah Siyasiyah Islamiyah dilakukan agar setiap warga
mampu, senang, dan aktif berpartisipasi dalam siasah terhadap
bermacam persoalan masyarakat umum. Keterlibatan warga
merupakan wujud dari berbagai bentuk partisipasi yang dapat
merealisasikan prinsip-prinsip Islam dalam pemerintahan dan
urusan umat, baik yang berkaitan dengan urusan dalam negeri
ataupun luar negeri. Keterlibatan tersebut merupakan refleksi utuh
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A

sebagaimana dikatakan Rosululloh saw: “Barang siapa yang tidak


memperhatikan urusan kaum muslimin, maka tidaklah ia dari
golongan mereka”
Dengan demikian tarbiyah siyasiyah Islamiah dapat berfungsi
memberikan penerangan kepada warga negara terhadap berbagai
persoalan nasional, regional, dan internasional, khususnya yang
berkaitan dengan sikap politik (mawqif siyasi) kaum muslimin. Selain
itu tarbiyah siyasiyah Islamiah juga berupaya menanamkan
kesadaran teologis tentang pentingnya jihad fi sabilillah, agar setiap
individu muslim mempersenjatai diri untuk mempertahankan Islam,
mempertahankan hak-haknya sebagai warga negara, komitmen
kepada kewajibannya, aktif dalam kegiatan siasah, dan berpartisipasi
penuh dalam perubahan ke arah yang lebih baik.
Untuk mencapai sasaran tarbiyah siyasiyah, yakni
kepribadian siasah, kesadaran siasah, dan partisipasi siasah
diperlukan beberapa uslub (cara pendekatan), baik yang bersifat
langsung maupun tidak langsung. Uslub yang bersifat langsung
terwujud dalam bentuk popularisasi dan magang dalam bidang
siasah. Sementara itu, yang tergolong uslub tidak langsung, misalnya
melalui peniruan dan kegiatan yang bersifat akademik.
Sementara itu, sarana penggunaan uslub dalam
merealisasikan tujuan dan sasaran pendidikan politik juga turut
melibatkan sarana konvensional maupun non konvensional. Metode
yang biasa digunakan tidak hanya terbatas pada indoktrinasi yang
memuat langsung ideologi, dan doktrin siasah, tetapi juga mencakup
metode tidak langsung, misalnya menggunakan sistem belajar
dengan cara menanamkan pemahaman atau meniru, menyebarkan
materi siasah, menyediakan praktek lapangan dan pelatihan siasah
sebagai pembekalan pengalaman individu dalam bidang siasah yang
diharapkan dapat mengembangkan potensi kemampuan siasahnya.
Adapun karakteristik Model Pendidikan Politik Islam menurut
dimensi tujuan, metode, dan kurikulum cakupan adalah sebagai
berikut.

130
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A.

Tabel Model Pendidikan Politik Islam


ATRIBUT/ CIRI-CIRI DASAR
Dimensi Tujuan 1. Kesadaran politik diarahkan pada:
a) kesadaran terhadap berbagai situasi politik, persoalan
nasional, regional, dan internasional khususnya yang
berkaitan dengan sikap politik (mawqif siyasi) kaum
muslimin.
b) Kesadaran akan pentingnya jihad fi sabilillah, agar
setiap individu muslim mempersenjatai diri untuk
mempertahankan Islam, mempertahankan hak-haknya
sebagai warga negara, dan komitmen kepada
kewajibannya,
2. kepribadian politik akan terbentuknya mentalitas yang
kritis dan mampu melakukan dialog konstruktif bukan
tumbuhnya loyalitas individu pada penguasa.
3. partisipasi politik, yakni berpartisipasi aktif dan penuh
dalam kehidupan politik masyarakat khususnya dan
kehidupan sosial pada umumnya untuk perubahan ke
arah yang lebih baik.
Dimensi Metode Magang, menirukan, pengajaran politik secara langsung,
sarana penerapan dan praktek politik secara nyata yang
dilakukan oleh keluarga, sekolah, lembaga-lembaga
formal dan nonformal yang tidak terbatas pada tahapan
usia/ masa studi serta kelompok masyarakat tertentu,
dan merupakan proses berkesinambungan sepanjang
hayat.
Dimensi Kurikulum1. wawasan politik (posisi partai menyuguhkan informasi
Cakupan siasah, ekonomi, masalah sosial, gagasan, kebijakan,
serta ideologi partai) jihad fi sabilillah

Sumber: Abu Ridha, 2002.

Ada tiga tahapan interaksi politik gerakan Islam sebagai bagian


dari manifestasi pendidikan politik yang dilaksanakan meliputi::
1. Tahap Pertama: Penguasaan Ilmu Politik (al-‘ilm as-siyasi)
Penguasaan ilmu politik dibutuhkan untuk menentukan
keshalihan langkah-langkah yang diambil saat terdapat dorongan
dan respon politik dari dalam maupun dari luar, yang terdiri dari:
a. Muthola’ah siyasiyah (kritik atas literatur politik), meliputi:
kajian blibiotik, bertemu dengan narasumber, pengamatan
terhadap dinamika politik lokal, nasional, maupun
internasional.
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A

b. Munawaroh siyasiyah (dialog politik) dengan beragam aliran


politik yang ada, peta dan rambu yang jelas, baik untuk
lapangan konsepsional maupun operasional.
c. Mutaba’ah siyasiyah (pelaksanaan evaluasi) terhadap
seluruh langkah yang telah diambil, sehingga akan diketahui
seluruh ruang lingkup politik telah dipahami dengan baik.
2. Tahap Kedua: Melakukan Aksi Penyadaran (Tan’iyah As-
Siyasiyah)
Langkah tersebut ditempuh dengan menumbuhkan solidaritas
internal para kader, baik yang terjun pada lapangan politik atau
mereka yang mendukung dari luar serta diikuti dengan upaya
penumbuhan lembaga-lembaga politik internal sebagai wahana
tadribat (latihan) amal aktivis yang disiapkan terjun dalam kancah
politik. Dalam tahap ini diikuti pula dengan upaya melakukan
beberapa aksi politik, seperti: penyebaran teori politik Islam, aksi-
aksi politik (al-munawaroh as-siyasi) dalam skala lokal, propaganda
politik (ad-di’yan as-siyasi), pembentukan organisasi politik (at-
tandzim as-siyasi), dan penetrasi politik (al-ikhtiroq as-siyasi).
3. Tahap Ketiga: Partisipasi Politik (al musyarokah as-siyasi)
Di awali dengan partisipasi sosial (musyarokah ijtima’iyah)
dalam bentuk keterlibatan aktif dalam upaya pengokohan dan
penyehatan kondisi masyarakat dalam segala aspeknya, ruhiyah,
fikriyah, jasadiyah, dan maliyah. Dari hal tersebut diharapkan akan
muncul pribadi-pribadi yang dikenal dan mengakar pada
masyarakat, selanjutnya akan terbentuk dukungan masyarakat dan
program-program yang membumi serta bermanfaat bagi masyarakat.
Dengan basis dukungan masyarakat yang kokoh, maka langkah
berikutnya diharapkan akan menjadi mudah. Pembentukan institusi
politik akan memiliki dukungan publik yang memadai, begitu pula
ketika memasuki arena Pemilu (al-intikhobiyah), memasuki
parlemen, maupun pemerintahan.
Tarbiyah islamiyah yang dilaksanakan oleh gerakan dakwah
pada dasarnya diarahkan pula sebagai satu kesatuan upaya tarbiyah
siyasiyah dalam rangka pembentukan kesadaran politik (takwinul
wa’yi siyasi) kader tarbiyah. Titik tekannya pada upaya membangun
kekuatan kader dari sisi pemikiran/fikriyah, kekuatan maknawiyah

132
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A.

(ruhiyah), serta kekuatan operasional agar kader memiliki kesadaran


terhadap problematika umat, pembentukan umat, dan penegakkan
agama Islam. Metode yang diaplikasikan sama halnya dengan metode
yang direalisasikan pada tarbiyah islamiyah, yakni: melalui ceramah
dan diskusi dengan sarana liqo’ tarbawiyah/halaqoh.
Sementara itu kurikulum cakupannya pada dasarnya melekat
pada kurikulum tarbiyah islamiyah yang bersifat integral dan
komprehensif. Dalam rangka pencapaian tujuan di atas menurut
analisis peneliti terutama akan bersinggungan dengan pokok materi,
yang meliputi: Ma’rifatul Islam, Qadhaya Ad-Da’wah, Al-Haq Wa Al-
Bathil, Takwinul Ummah, dan Fiqh Ad-Da’wa.
Pokok materi Ma’rifatul Islam terutama ditekankan pada
subpokok materi syumuliyatul Islam (kesempurnaan Islam), minhajul
hayah (pedoman hidup), thabi’ah diiniil Islam (tabiat agama Islam),
Al-Amal Al-Islami (aktivitas Islami) yang mengandung kisi-kisi materi
mengenai jihad atau amar ma’ruf nahi mungkar dan dakwah sebagai
penyokong/penguat kesempurnaan minhaj, politik sebagai salah satu
unsur pelengkap tatkala menjadikan Islam sebagai pedoman hidup,
agama daulah dan ibadah merupakan unsur yang membentuk Insan
politik, sekaligus insan ibadah, sebagai salah satu tabiat agama Islam,
maupun dakwah dan tarbiyah serta harakah dan jihad sebagai
manifestasi dari amal Islami.
Pokok materi qadhaya ad-da’wah (problematika dakwah)
menyentuh subpokok materi ahwaal al muslimin al-yaum (kondisi
umat Islam saat ini), amraadhu al-ummah fil ad-da’wah (penyakit
umat dalam dakwah), dan qadhiyyah al-ummah (masalah umat)
memuat kisi-kisi materi tentang dakwah sebagai sebagai salah satu
kelemahan kaum muslimin yang berakibat pada kondisi kaum
muslimin saat ini, penyakit-penyakit umat yang berpangkal pada
faktor infiradiyah (individual) yang perlu diatasi, ilmu pengetahuan,
pembinaan (tarbiyah), dan jihad sebagai jalan keluar dari
permasalahan umat Islam.
Selanjutnya pokok materi al-haq wa al-bathil
menitikberatkan pada subpokok materi al-istiqaamah (konsisten)
dan hizbullah (partai Allah: golongan orang beriman) memuat kisi-
kisi materi yang menekankan konsistensi terhadap manhaj Allah (Al-
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A

Islam) dan menyebutkan bahwa salah satu akhlak dasar golongan


orang beriman adalah berjihad di jalan Allah. Pada pokok materi
takwin al ummah (pembentukan umat) kurikulum cakupan
pendidikan politiknya terutama ditekankan pada subpokok materi
mengenai takwin al-ummah (membentuk umat), al-inqilaab al-Islami
(perubahan islami), ta’liiful quluub (kesatuan hati), asbaab at-
tafarruq wa’ilaajuhu (sebab-sebab perpecahan dan solusinya), al-
ukhuwah al-islamiyah (persaudaraan Islam). Subpokok materi di atas
pada dasarnya menitikberatkan tentang amar ma’ruf nahi mungkar
sebagai landasan dalam rangka pembentukan umat Islam dan bidang
politik merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi perwujudan
inqilab islami/perubahan total secara islami, serta kesatuan hati
dalam rangka jihad fi sabilillah.
Subpokok materi fiqh ad-da’wah (fiqh dakwah) meliputi:
fadhaa’il ad-da’wah (keutamaan berdakwah), ma’na ad-da’wah
(makna dakwah), fiqh ad-da’wah (fiqh dakwah), asaas amaliyah at-
takwiin (dasar-dasar kegiatan pembinaan), anashir ad-da’wah
(unsur-unsur dakwah), khashaa’ish ad-da’wah (ciri-ciri dakwah),
rabbaniyah ad-da’wah (dakwah yang bernuansa ketuhanan), kaifa
yatakayyafu bil Islam (bagaimana cara untuk beradaptasi dengan
Islam), daurusyabaab fi haml ar-risaalah (peran pemuda dalam
memikul tugas risalah), iqaamatu ad-diin (penegakkan agama),
muqawwimat an-nahdhah al ummah (pilar kebangkitan umat).
Subpokok materi di atas pada dasarnya mengandung kisi-kisi materi
tentang hakikat dakwah, pengertian dakwah, tahapan dakwah,
tujuan dakwah (Ummu Yasmin, 2002: 208-231).

Khatimah
Dari pemaparan di atas tentang urgensi hadirnya diskursus
alernatif Ilmu-ilmu sosial di Asia lebih khusus lagi Indonesia, yang
didalamnya memberikan peluang untuk terjadinya proses
Indigenisasi Ilmu-Ilmu Sosial, Kiranya dapat diberikan penegasan
bahwa kehidupan politik di Indonesia pasca reformasi politik tahun
1998, dan lebih khusus lagi para aktivis mahasiswa yang dimasa
mendatang akan menjadi penerus perjuangan perlu sekali
mendapatkan suatu jenis pendidikan politik profetik. Bukan sekedar

134
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A.

pendidikan politik konvensional yang sudah terbukti tidak memiliki


kemampuan untuk melahirkan kader umat yang visioner. Bangsa
Indonesia sangat merindukan hadirnya suatu gelombang generasi
pemimpin bangsa yang visioner profetik, suatu visi kenegaraan,
keumatan, kemanusian yang dibingkai oleh nilai-nilai yang
bersumber dari wahyu Tuhan.
Pendidikan politik memiliki urgensi yang tinggi untuk
hadirnya suatu generasi yang memiliki kompotensi agar dapat
berpatisipasi dalam kehidupan politik suatu umat (negara). Melalui
aktivitas pendidikan politik suatu generasi umat akan mendapatkan
transmisi nilai-nilai, ideologi, sistem politik (yang dicita-ciakan)
sebagaimana telah disepakati bersama oleh masyarakat yang
bersangkutan.
Namun dalam kenyataannya tidak semua model pendidikan
politik yang sekarang dipraktikkan telah mampu menghadirkan
generasi bangsa yang memiliki kemampuan untuk ikut berpartisipasi
dalam rangka menyelesaikan berbagai persoalan yang dihadapi oleh
bangsa tersebut. Mempertimbangkan kondisi tersebut kiranya perlu
dikembangkan suatu model pendidikan politik yang memberikan
kemungkinan untuk lahirnya kader-kader umat-bangsa yang mampu
berpartisipasi dalam rangka memberikan solusi pada berbagai
persoalan umat-bangsa, seperti misalnya persoalan moralitas, krisis
kepercayaan, konflik horosontal dan vertikal, persoalan korupsi,
menurunnya harkat dan martabat bangsa, kedaulatan bangsa.
Ikhtiar dan kerja intelektual sangat mendesak untuk dilakukan
dalam rangka menghasilkan suatu model pendidkan politik, yang
memberikan peluang tersedianya jalan keluar untuk hadirnya suatu
model generasi penerus umat-bangsa yang memiliki sejumlah
karakter yang dibutuhkan oleh umat –bangsa Indonesia. Model
pendidikan tersebut secara terminologi diberi nama pendidikan
politik profetik.
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A

Bab 6

Biografi Kuntowijoyo
Kuntowijoyo lahir di Desa Ngawonggo, Kecamatan Ceper,
Kabupaten Klaten, 18 September 1943. Pendidikan SD dan SMP
ditempuhnya di Sekolah Rakyat Negeri Klaten (1956) dan SMP
Negeri Klaten (1959). Lalu melanjut ke SMA Negeri Solo (1962).
Kemudian melanjutkan studinya di Fakultas Sastra UGM Yogyakarta
(1969). Kunto meraih master di University of Connecticut, AS (1974)
dan gelar doktor Ilmu Sejarah dari Universitas Columbia, AS (1980)
dengan disertasi Social Change in an Agrarian Society: Madura 1850-
1940.
Sebagai seorang sejarawan, dia sangat menghargai kearifan dan
budaya Jawa. Kedalaman pengetahuan tentang sejarah, memang
mengajarkannya kearifan itu. Baginya, belajar sejarah adalah proses
belajar kearifan. Dia mengimplementasikan dalam kesehariannya.
Dia rendah hati dan bisa bergaul dengan semua golongan. Selain
sebagai sastrawan dan budayawan yang arif, dia juga pemikir
(intelektual) Islam yang cerdas, jujur dan berintegritas. Buku-
bukunya, seperti Paradigma Islam dan Politik Islam, Intelektualisme
Muhammadiyah: Menyongsong Era Baru, Identitas Politik Umat Islam,
sungguh mencerminkan kecerdasan, kejujuran dan integritasnya
sebagai seorang intelektual muslim. (http://www.tokohindonesia.-
com/biografi/article/285-ensiklopedi/1515-sejarawan-beridentitas-
paripurna) latar belakang itu pulalah yang mendorongnya
merumuskan pemikiran tentang ilmu sosial profetik.

136
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A.

Menuju Ilmu Sosial Profetik

Persoalan serius yang dihadapi oleh ilmuwan sosial di


Indonesia adalah bagaimana menghadirkan ilmu sosial yang mampu
melakukan transformasi. Hal ini dikarenakan ilmu sosial pada
dekade ini masih mengalami kemandekan. Ilmu sosial yang
dibutuhkan adalah bukan hanya mampu menjelaskan fenomena
sosial, namun juga mentransformasikan fenomena sosial tersebut,
kearah mana transformasi dilakukan, untuk apa dan oleh siapa.
Menurut refleksi Kuntiwijoyo dalam menghadapi persoalan ini ilmu
sosial akademis dan ilmu sosial kritis, belum bisa memberikan
jawaban yang jelas (Kuntowijoyo, 2006: 86; Saefuddin, 2010: 39-49).
Jalan keluar yang ditawarkan oleh Kuntowijoyo adalah dengan
membangun ilmu sosial profetik, yaitu suatu ilmu sosial yang tidak
hanya menjelaskan dan mengubah fenomena sosial tetapi juga
memberi petunjuk ke arah mana transformasi itu dilakukan, untuk
apa dan oleh siapa. Oleh karena itu ilmu sosial profetik, tidak sekedar
mengubah demi perubahan, tetapi mengubah berdasarkan cita-cita
etik dan profetik tertentu. Dalam pengertian ini maka ilmu sosial
profetik secara sengaja memuat kandungan nilai dari cita-cita
perubahan yang diidamkan masyarakatnya. Menurut Kuntowijoyo
arah perubahan yang diidamkan adalah didasarkan pada cita-cita
humanisasi/emansipasi, liberasi dan transendensi, suatu cita-cita
profetik yang diderivasikan dari misi historis Islam sebagaimana
terkandung dalam surat Ali Imron ayat 110 (Kuntowijoyo, 2006: 87).
Dengan Ilmu sosial profetik, akan dilakukan orientasi terhadap
epistemologi, yaitu orientasi terhadap mode of thought dan mode of
inquiry, bahwa sumber ilmu pengetahuan itu tidak hanya dari rasio
dan empirik, tetapi juga dari wahyu. Dengan gagasan ilmu sosial
profetik ilmuwan sosial Muslim tidak perlu terlalu khawatir yang
berlebihan terhadap dominasi ilmu sosial Barat di dalam proses
theory building. Islamisasi pengetahuan dengan proses peminjaman
dan sistesis ini tidak harus diartikan sebagai westernisasi Islam.13

13
Ikhtiar untuk melakukan reorientasi pada Ilmu-Ilmu yang berasal dari
Peradaban Barat dilakukan juga oleh Ilmuwan sebelum Kuntowijoyo, Misalnya
Ismail Al Faruqi, Naquib Al Atas, Am Saefuddin. Lihat Am Saefuddin,
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A

Dalam pencermatan peneliti, Kuntowijoyo telah merintis


melalui sebuah ikhtiar sebagaimana dapat disimak misalnya dalam
analisis yang dilakukannya dengan melakukan kritik sekaligus
penyempurnaan pada tipologi Santri, Abangan dan Priyayi yang
dikonseptualisasikan oleh Clifford Geertz. Diantara kritik dan
sekaligus penyempurnaan dari konsep Geertz dilakukan oleh
Kuntowijoyo. Menurut Kuntowijoyo (1986: 3-5), pada saat ini
(dekade delapan puluhan-sembilan puluhan) pengelompokan
abangan-santri secara horisontal (berdasarkan pengamalan
keagamaan) dan priyayi-wong cilik (berdasarkan stratifikasi sosial)
telah mengalami perubahan karena adanya konvergensi sosial.
Terjadi mobilitas sosial dari wong cilik ke atas, dan sebaliknya
priyayi ke bawah. Sementara itu golongan Santri dan Abangan sudah
membuka diri sehingga terjadi proses saling mengisi. Akibatnya,
batas-batas kultural diantara mereka sulit dikenali lagi. Pandangan
Kuntowijoyo dapat dilihat pada bagan sebagai berikut;

Bagan 1
Pencairan polarisasi hubungan antara santri, abangan dan
priyayi

Priyayi

Santri Abangan

Wong cilik

Secara sosiologis, kehidupan keagamaan, setiap pemeluk


agama memiliki perangkat aturan dan pola perilaku sebagai

Desekularisasi Pemikiran: Landasan Islamisasi, Penerbit Mizan, Bandung,


1993:23-46.
138
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A.

pengatur tata hubungan komunitas kelompok tersebut (Jakson,


1986). Untuk pemeluk agama Islam aturan nilainya bersumber pada
Al Qur’an, Sunnah Rosulullah, atau sistem nilai lainnya yang
diadaptasi tetapi tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan Sunnah
Rasulullah. Hal tersebur sejalan dengan perspektif yang memegangi
prinsip bahwa Islam Nusantara (Indonesia) adalah merupakan hasil
persenyawaan antara Islam normatif yang berasal dari Tradisi Besar
di Timur Tengah dengan konteks lokal Indonesia (Azra, 2002).

Diskursus Islam Kultural, Islam Struktural, dan Islam Politik


Analisis pemikiran Kuntowijoyo dalam paparan ini selanjutnya
akan menggunakan kerangka Ilmu Sosial Profetik yang ditawarkan
oleh Kuntowijoyo, yang berusaha untuk menyajikan suatu telaah
Islam politik di Indonesia atau lebih tepatnya ikhtiar untuk
menghadirkan perspektif baru pemikiran ilmu sosial khususnya
politik Islam di Indonesia.
Dalam kajian ilmu sosial terutama yang berkaitan dengan ilmu
sosial profetik, perlu ditegaskan perbedaan 3 istilah, Islam politik,
Islam struktural, Islam kultural. Diantara cara yang dapat dilakukan
untuk memperjelas perbedaan antara ketiga istilah tersebut, perlu
dibedakan dua karakteristik perspektif Islam, yaitu pertama,
sosialisasi dan institusionalisasi ajaran Islam, termasuk dalam
konteks tranformasi sosial dan pembentukan sistem nasional. Dalam
konteks ini Islam kultural mengandung pengertian bahwa sosialisasi
dan institusionalisasi ajaran Islam dilakukan melalui upaya-upaya
yang menekankan pada perubahan kesadaran dan tingkah laku umat
(masyarakat) tanpa keterlibatan negara dan tanpa perubahan sistem
nasional menjadi sistem Islami. Sedangkan Islam Struktural,
menekankan upaya-upaya ini melalui penetapan sistem nasional
maupun kebijakan publik yang Islami. Upaya semacam ini tidak
harus dan hanya dapat dilakukan melalui partai politik Islam, bisa
melalui media non partai politik Islam (Abdillah, 1999: 4).
Kedua, ialah karakteristik Islam dilihat dari sisi gerakan Islam
yang dikelompokan pada Islam kultural dan Islam politik. Gerakan
Islam kultural adalah aktivitas umat Islam untuk memperjuangkan
aspirasinya melalui aktivitas-aktivitas yang bersifat nonpolitik,
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A

seperti melalui organisasi massa, aktivitas dakwah, lembaga-lembaga


sosial. Sedangkan pengertian gerakan Islam politik ialah aktivitas
Islam melalui partai politik Islam, yang bisa diidentifikasikan melalui
penggunaan nama, asas, tujuan ataupun simbol Islam (Abdillah,
1999: 4).
Dengan demikian strategi perjuangan Islam yang memilih
model Islam struktural bisa melalui Islam politik (partai politik Islam
) maupun malalui model Islam kultural. Sedangkan yang memilih
model Islam kultural memilih untuk tidak menggunakan model Islam
struktural, tetapi bisa dipadukan melalui Islam politik (melalui partai
politik) atau juga bisa tidak memakai partai politik. Sebagai ilustrasi
Gus Dur, seorang tokoh yang sejak lama lebih memilih model
perjuangan melalui Islam kultural, namun setelah era Reformasi Gus
Dur juga menggunakan partai politik (PKB) sebagai alat
perjuangannya yang berarti juga menggunakan Islam politik (partai
politik). Dengan kata lain Gus Dur menggabungkan antara model
Islam kultural dan Islam politik. Sedangkan seorang tokoh yang lain
Nurcholish Majdid,14 memilih untuk tetap konsisten dengan model
perjuangan Islam kultural. Sedangkan untuk kasus Amien Rais yang
semula berorientasi Islam struktural kini setelah diera reformasi
sudah bergeser tidak sepenuhnya menggunakan lagi Islam struktural
maupun Islam politik. Hal tersebut setidak-tidaknya tercermin
didalam platform PAN, partai yang pendiriannya dimotori oleh
Amien Rais dan sekaligus menjadi Ketua Umum I dan periode 2000-
2005. Berikut ini untuk memudahkan perbedaan antara Islam
kultural dan Islam struktural dapat dilihat pada tabel berikut:

14
Dr. Nur Cholis Majdid, Menjelang Pemilu 2004 pernah mencoba untuk
mengikuti Konvensi Nasional Partai Golkar, untuk maju melalui Partai Golkar
menjadi calon presiden. Faktga ini dapat dibaca pula bahwa penggagas utama
tokoh prejuangan Islam kultural dengan kredonya “ Islam yes, Partai IslamNo”,
dipenghujung perjalanan hidupnya juga tertarik untuk bereksperimen
menggunakan instrumen partai politik untuk bersaing meraih posisi jabatan
presiden. Tentu posisi tersebut dalam rangka mencapai visi yang telah
dirumuskan oleh Nur Cholis Majdid, yang dirumuskan sebelum deklarasinya
maju dalam Konvensi Nasional Partai Golkar.
140
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A.

Bagan 2
Perbandingan Strategi Perjuangan umat Islam kultural dan
Struktural (Suwarno, 2000: 33)

Perbedaan strategi
Indikator
Kultural Struktural
Ciri pokok Substantif/inklusif Formalistik/skriptualistik/Ide
ologis
Sifat Horisontal- Vertikal-elitis
kemasyarakatan
Arah/tujuan/ Mempengaruhi perilaku Mempengaruhi/mengubah
Sasaran Sosial/cara berfikir Struktur (legislatif, eksekutif)
masyarakat
Metode Penyadaran dan moral Pemberdayaan dan aliansi
force
Sarana Simposium, seminar, Sarana politik/struktur teknis,
diskusi berupa birokrasi, lembaga-
ceramah, da’wah, lobi, lembaga, partai-partai dan
penerbitan media massa, semua usaha yang
Lembaga Pendidikan mempengaruhi pada
pengambilan keputusan
politik
Jangkauan Titik berat pada individu Mobilitas kolektivitas untuk
keperluan jangka panjang keperluan jangka pendek

Sehubungan dengan penggunaan istilah Islam politik dan Islam


kultural, sebenarnya masih menyisakan pertanyaan, sejauh manakah
keabsahan dikotomisasi, “Islam politik” dan “Islam kultural”. Hal ini
dikarenakan, sekalipun istilah “Islam politik” digunakan di Timur
Tengah, akan tetapi model penghadapan “Islam politik” dan “Islam
kultural”, hampir tidak dijumpai dalam wacana politik Islam di
wilayah-wilayah lain dunia Muslim, khususnya di Timur Tengah,
kecuali di Turki (Gulalp). Kenyataan tersebut terutama berkaitan
dengan pandangan dunia yang dianut oleh kaum Muslimin, yang
pada umumnya masih memegangi suatu perspektif bahwa antara
agama (dien) dan negara (dawlah) atau politik (siyasyah) memiliki
hubungan yang erat, bahkan sebagiannya melihatnya sebagai suatu
kesatuan. Sekalipun pandangan ini mengalami banyak gugataan dan
tantangan pada masa modern dari sistem politik sekuler (Azra, 1999:
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A

76), tetapi pengaruh sekularisasi politik di dunia Muslim memang


ditemukan dalam kadar yang minimal (Rahardjo, 1999: xv-xvi).
Perspektif yang lain tetapi masih dalam konteks Islam di Timur
Tengah, memandang bahwa “Islam politik” adalah refleksi dari
gerakan kebangkitan Islam, dan identik dengan fundamentalisme
Islam. Dalam pandangan perspektif ini Islam politik yang merupakan
bagian dari fundamentalisme Islam adalah merupakan ideologisasi
Islam jadi bukan keyakinan Islam itu sendiri (Tibi, 2000: 199, 204,
202; Tibi, 2003: 35).

Grafik 1

Keterangan grafik
Garis menunjukan Islam politik
Garis menunjukan Islam kultural

Grafik di atas memberikan ilustrasi dinamika perjalanan Islam


politik, yang direpresentasikan keberadaannya melalui partai-partai
politik Islam, serta Islam kultural sebagai lawan dari Islam politik
yang biasa melakukan aktivitasnya melalui saluran non politik.
Indikator yang digunakan untuk melihat posisi Islam politik ialah
dilihat dari simbol Islam, doktrin Islam, lembaga Islam, policy, aktor

142
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A.

Islam. Dinamika Islam politik, menunjukkan proses pasang naik pada


awalnya ketika dimulai demokrasi parlementer, kemudian
mengalami proses surut ketika dimulai jaman pemerintahan Orde
Lama atau demokrasi terpimpin.
Proses surut tersebut terus berlanjut ketika memasuki jaman
pemerintahan Orde Baru, bagi Islam politik ada waktu jeda proses
pasang naik yakni antara 1971 –1977, namun setelah rentang waktu
tersebut karena berbagai persoalan intern partai dan kebijakan
depolitisasi Islam (desislamisasi partai), perkembangan selanjutnya
Islam politik mengalami proses surut hingga sampai ketitik nadir,
pada tahun 1985, yakni dengan diberlakukannya kebijakan
depolitisasi Islam dan deislamisasi partai politik. Dengan ditandai
keluarnya lima paket undang-undang bidang politik. Masa surut dari
Islam politik ini terus berlanjut hingga jatuhnya pemerintahan Orde
Baru, setelah jatuh pada tanggal 20 Mei 1998, kemudian berganti
dengan pemerintahan Transisi di bawah kepemimpinan Habibie,
Islam politik mulai menunjukkan proses pasang naik. Hasil Pemilu
Tahun 1999 dan Pemilu 2004, 2009 dilihat secara simbolik, ideologis
dan aktor telah menunjukkan adanya kebangkitan kembali Islam
politik di Indonesia. Perjalanan Islam politik ini berbeda dengan
proses pasang surut dan naiknya Islam kultural, dapat dikatakan
bertolak belakang. Islam kultural mengalami proses pasang naik
justru ketika Islam politik sedang mengalami proses surut.

Diskursus tentang Objektivitas


Kuntowijoyo berpandangan bahwa dalam perspektif Ilmu
Sosial Profetik, Ilmu Sosial tidak bisa bebas nilai (free values), kajian
dalam ilmu sosial perlu dikerangkai (diframe) oleh suatu nilai-nilai
tertentu yang disebutnya sebagai nilai-nilai kenabian (profetik).
Pandangan Kuntowijoyo ini dalam pencermatan peneliti memiliki
irisan dengan pandangan yang dikemukakan oleh Myrdal. ”Buku
Myrdal yang berjudul “ Objetivity in Social Research” yang terbit
tahun 1969, semuanya terdiri atas 23 topik pembahasan. Topik
pembahasan dalam buku tersebut nampaknya merupakan
pemugaran kembali dalam bentuk rangkuman ringkas, keyakinan-
keyakinan yang mendasar mengenai penelitian sosial, khususnya
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A

dengan mengambil fokus perhatian pada masalah –masalah ekonomi


sesuai dengan spesialisasi keilimuan yang ditekuni oleh Myrdal.
Myrdal dalam buku ini melakukan gugatan ilmu ekonomi (economics)
dan ia ingin mengembalikannya sebagai political economy dan moral
science. Myrdal secara eksplisit menyatakan nilai-nilai yang
dijadikan titik tolak pandangannya, yang disebutnya dengan istilah
“value premise”.
Myrdal mengkritik ilmu ekonomi yang memandang dirinya
‘science’ yang beranggapan dapat menyajikan suatu penilaian yang
objektif, yang disebut fakta. Ilmu ekonomi dan welfare economics
theory, yang berpretensi bebas nilai (wertfrei) dalam pandangan
Myrdal itu sebenarnya menyembunyikan dalam dirinya suatu filsafat
moral tertentu sebagai dasar teori. Misalnya seperti filsafat
Utilitiarianisme, Hedonisme, atau Liberalisme yang disembunyikan
padahal sebenarnya telah kuno dan usang yang memerlukan
penilaian kritis. Dengan sikap yang salah itulah, maka para ilmuwan
ekonomi yang berpandangan bebas nilai padahal sebenarnya
menyembunyikan nilai-nilai filsafat tertentu, mereka selalu merasa
bahwa mereka bisa mempelajari tingkah laku manusia tenpa
menyelidiki sebab-sebabnya, padahal mereka itu hanya mengandal-
kan kebenaran asumsi hedonis. Mereka berani menarik kesimpulan
bahwa perilaku manusia yang diamati itu bersifat rasional dan
mampu menimbang manfaat (utilitas) dan disutilitas tindakan. Hal
seperti ini menurut Myrdal akan menjerumuskan ke dalam bias
dimana mereka menjadi yakin atau merasa yakin seolah-olah ada
rasionalitas dan optimalitas pasar.
Berkaitan dengan pembahasan “premis nilai” Myrdal adalah
termasuk ilmuwan yang memiliki pandangan pentingnya premis nilai
itu dalam suatu penelitian sosial, dalam hal ini ia menyatakan, bahwa
premis nilai dalam riset ilmu sosial harus memenuhi beberapa
persyaratan antara lain; premis itu harus dengan jelas dinyatakan
dan tidak disembunyikan sebagai dugaan-dugaan yang tersirat;
terperinci dan kongkrit; dipilih dengan sengaja. Mengapa memerlu-
kan persyaratan demikian karena dasar-dasar pandangan tentang
nilai tersebut tidaklah secara apriori nyata pada dirinya dan tidak
pula berlaku (valid) secara umum karena hanya dilandaskan atas

144
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A.

fakta-fakta atau sudah demikian halnya. Dengan kata lain premis


nilai itu merupakan suatu unsur yang bersifat kehendak (valitional)
dalam riset, yang memang dibutuhkan dalam semua kegiatan yang
mempunyai tujuan.
Jika rasionalitas adalah salah satu dari premis nilai,
sebagaimana biasa dalam jenis peradaban kita ini, maka rangkaian
pemis tersebut , tidak memasukan dasar-dasar pandangan tentang
nilai yang tidak saling cocok , merlainkan harus merupakan suatu
sistem yang konsisten. Ia menyadari bahwa dasar-dasar pandangan
tentang nilai tidak dapat seluruhnya bersifat apriori, bebas dari riset.
Riset seharusnya mulai dengan memberikan perhatian terhadap
beberapa premis nilai yang agaknya tepat untuk digunakan, akan
tetapi riset itu harus siap sedia melakukan penyesuain secara terus
menerus.
Myrdal menyadari adanya kesulitan-kesulitan yang dihadapi
menempatkan premis nilai dalam penelitian sosial. Kesadaran ini
antara lain terungkap melalui pernyataannya, bahwa premis nilai itu
tak boleh dipilih secara sewenang-wenang, dasar-dasar pertimbang-
an tersebut haruslah didasarkan atas penilaian yang sesungguhnya
yang menyaratkan adanya realisme. Walaupun hal ini akan
menimbulkan kesulitan-kesulitan. Paling tidak menurut Myrdal ada
kesulitan-kesulitan yang akan dihadapi berkaitan dengan premis
nilai dalam penelitian sosial ini antara lain; pertama alasan untuk
mengadakan pemilahan terhadap premis nilai haruslah berdasarkan
pada relevansinya, yang ditentukan oleh penilaian sebenarnya
dikalangan orang-orang dan kelompok-kelompok dalam masyarakat.
Dalam lingkaran relevansi yang ditetapkan demikian, terdapat pula
lingkaran signifikansi yang lebih kecil, yang diambil untuk
menunjukkan penilaian-penilaian yang dianut oleh kelompok-
kelompok yang substansial. Kedua, relevansi dari premis nilai lebih-
lebih haruslah merupakan sesuatu yang dapat dikerjakan (feasible).
Penilaian-penilaian yang bertujuan pada sesuatu yang tidak
mungkin, tentunya janganlah dipilih sebagai premis nilai untuk
memuat riset, tetapi harus disanggah secara teoretis sebagai sesuatu
yang tidak dapat dikerjakan setelah diadakan suatu studi tentang
fakta. Lahirnya sanggahan-sanggahan secara teoretis terthadap
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A

penilaian-penilaian yang tidak dapat dikerjakan benar-benar, adalah


salah satu tugas yang terpenting dari ilmu sosial. Ketiga, Landasan
ilmiah untuk menentukan penilaian-penilaian dalam masyarakat
sangtlah langka. Studi tentang pendapat-pendapat yang ada tidaklah
memenuhi persyaratan. Hal ini menyebabkan untuk sementara para
ahli ilmu sosial pada umumnya dipaksa untuk bersandar pada
pengamatan-pengamatan yang didasarkan pada kesan dan spekulasi.
Metode apapun yang digunakan untuk menarik keluar penilaian yang
dipunyai orang, menunjukkan bahwa penilaian-penilaian itu terkait
dengan kepercayaan akan memperhadapkan kita kepada kesulitan
yang utama. Kepercayaan mempengaruhi penilaian, dan sama
penilaian akan mempengaruhi kepercayaan. Seorang ilmuwan yang
terlibat dalam usaha membuat masyarakat lebih rasional, harus
mempertanyakan apakah ia seharusnya tidak hendak menggunakan
penilaian-penilaian yang akan dipunyai orang jika kepercayaan-
kepercayaan mereka itu benar dan tidak rusak. Untuk alasan ini saja,
penentuan terhadap penilaian akan merupakan tugas yang lebih sulit
lagi. Lebih-lebih jika penilaian-penilaian yang akan digunakan
sebagai premis nilai harus sangat banyak menunjuk pada suatu
keadaan di masa depan. Kesulitan keempat, ini merupakan kesulitan
yang mendasar bersumber pada fakta bahwa penilaian-penilaian itu
berbentrokan satu dengan yang lain. Bentukan tidak hanya terjadi
antara penilaian perorangan dengan penilaian kelompok tetapi juga
terjadi diantara penilaian-penilaian perorangan itu sendiri.
Myrdal menyadari bahwa apa yang ditawarkannya belum
sampai pada penyelesaian yang final, namun ia tetap berpendapat
bahwa jika kita mewajibkan diri kita menyatakan secara terbuka
premis nilai yang instumental itu, dalam istilah-istilah yang setepat
mungkin, bagaimanapun caranya hal itu dicapai dan apapun
bentuknya, dan kalau kita membiarkan premis nilai tersebut
menentukan pendekatan, definisi dan konsep-konsep dan perumus-
an teori–teori kita, itu merupakan suatu kemajuan kearah kejujuran,
kejernihan dan efektifitas dalam riset. Ini adalah langkah-langkah
yang mengarah kepada objektivitas dalam arti yang sebenarnya.
Myrdal dalam kaitannya tentang upaya mencari kebenaran
menyatakan bahwa etos ilmu pengetahuan sosial adalah mencari

146
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A.

kebenaran objektif. Ia menyatakan bagi seorang mahasiswa


kepercayaannya ialah kenyakinannya bahwa kebenaran itu ialah
segala-galanya dan bahwa hayalan itu merusak, terutama hayalan-
hayalan yang oportunis. Ia mencari “realisme” suatu istilah yang
salah satu artinya menunjuk pada suatu pandfangan objektif tentang
realitas.
Dalam pandangannya masalah-masalah metodologis yang
paling mendasar yang dihadapi oleh ahli ilmu sosial adalah, apakah
obejekifitas itu, dan bagaimana dapat memperoleh objektivitas
dalam mencoba menemukan fakta-fakta dan hubungan timbal balik
antara fakta-fakta tersebut. Bagaimanakah menghindari suatu
pandangan yang memihak. Lebih khusus lagi bagaimana seorang
mahasiswa (ilmuwan sosial) dapat membebaskan dirinya dari hal-
hal berikut.
1. Warisan peninggalan yang kuat dari penelitian-penelitian
sebelumnya dibidang ilmiah yang digarapnya, yang biasanya
mengandung pengertian-pengertian yang normatif dan teologis
yang diwariskan oleh generasi-generasi terdahulu dan
dilandaskan pada filsafat-filsafat moral metafisika tentang hukum
alam serta utilitarisme yang merupakan sumber seluruh teori
sosial dan ekonomi.
2. Pengaruh-pengaruh seluruh lingkungan kebudayaan, sosial,
ekonomi dan politik dari masyarakat tempat dia hidup, bekerja,
memperoleh kedudukan dan status didalamnya.
3. Pengaruh yang bersumber pada kepribadiannya sendiri, seperti
yang dibentuk bukan hanya oleh tradisi-tradisi dan lingkungan
tapi juga oleh sejarah pribadi, pembawaan dan kecenderungan-
kecenderungannya.
Ahli ilmuwan sosial juga menghadapi masalah lanjutan;
bagaimana ia bisa menjadi objektif dalam pengertian ini dan
sekaligus bersikap praktis. Apakah hubungan antara kehendak untuk
mengetahui dan kehendak untuk merubah masyarakat. Bagaimana-
kah pencarian pengetahuan yang benar dapat digabung-kan dengan
penilaian-penilaian moral dan politik. Bagaimanakah kebenaran
dapat dihubungkan dengan cita-cita.
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A

Selanjutnya terdapat tabu yang irrasional untuk membahas


kurangnya kesadaran ini (poin 3), sementara itu tabu ini umumnya
dihormati dengan membiarkan ahli ilmu sosial terkungkung
didalamnya.
Oleh karenya seorang ilmuwan haruslah memperhatikan alat-
alat logis untuk melindungi riset dari pembiasan, agar dapat
menjamin abjektivitas yakni antar lain;
1. Menyadari sepenuhnya penilaian yang sesungguhnnya untuk
menentukan riset teoretis maupun praktis.
2. Menelusuri penilaian-penialaian tersebut dari sudut pandangan
terhadap relevansi, arti dan kelayakan dalam masyarakat yang
sedang dipelajari, merubahnya menjadi premis nilai khusus bagi
riset.
3. Menentukan cara pendekatan serta memberikan batasan
terhadap konsep-konsep dalam arti sejumlah premis nilai yang
secara jelas dinyatakan.
Metodologi ilmu sosial bersifat metafisika dan pseudo objektif,
dengan demikian dalam melihat kenyataan kadang-kadang menyim-
pang. Myrdal menyatakan ada dua macam konsepsi yang dianut
orang tentang kenyataan yaitu kepercayaan (belief) dan penilaian
(valuational). Kepercayaan dan penilaian terwujud dalam bentuk
pendapat (opini). Kepercayaan bersifat intelektual dan pengenalan
(cognitive). Dan penilaian bersifat emosional dan kemuaan (volutive).
Kepercayaan menyatakan pandangan kita, tentang bagaimana
kenyataan itu sebenarnya, sekarang atau dimasa lampau, sedangkan
penilaian menyatakan pandangan kita tentang bagaimana kenyataan
itu seharusnya.
Orang biasanya setuju bahwa sebagai dalil yang abstrak,
penilaian yang lebih umum secara moral “lebih tinggi” daripada hal-
hal yang berhubungan dengan perorangan atau kelompok yang
khusus. Namun penilaian seperti ini bisa menjadi rendah apabila
diberi muatan prasangka. Selain itu kepercayaan juga bisa rusak bila
dicampuri oleh pandangan yang oportunis. Misalnya pandangan
orang Amerika pada orang negro yang memandang rendah, karena
perbedaan warna kulit dan kesejahteraan. Hal ini akan membentuk
kepercayaan palsu yang sulit untuk dibetulkan.

148
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A.

Dalam pandangan Myrdal sebenarnya Ilmu sosial telah


memberikan rangsangan bagi arah jangka panjang menuju
rasionalisme. Dengan memperbanyak pengetahuan yang benar dan
membuang kepercayaaan-kepercayaan yang oportunis dan palsu,
maka ilmu sosial meletakkan landasan kerja bagi suatu pendidikan
yang semakin efektif : membuat kepercayaan orang lebih rasional,
mendorong penilaian lebih terbuka dan mempersulit usaha
mempertahankan penilaian di tingkat lebih tinggi. Namun saat ini,
masih banyak ahli ilmu soasial yang mempunyai kecenderungan ke
arah “Scientisme” palsu (menghilangkan tanggung jawab untuk
membentuk pendapat umum dan merosotkan pentingnya riset untuk
membuat orang lebih rasional) dan menutup diri dengan cara
menggunakan istilah–istilah rumit dan aneh yang tidak dimengerti.
Untuk mengurangi kemencengan atau bias dari pemikiran kita
yaitu dengan berpegang pada penilaian dan mementingkan fakta.
Namun kita sukar untuk terlepas dari “kemencengan yang sistema-
tis” karena kita berada di bawah pengaruh tradisi dalam ilmu kita, di
bawah pengaruh lingkungan kebudayaan dan politik serta
pembentukan pribadi kita yang khas. Kemencengan yang sistematis
ini dapat ditemukan dalam teori ekonomi klasik dan neo klasik, juga
dalam studi tentang persoalan pembangunan di Asia Selatan.
Kemencengan seperti itu akan membawa persepsi yang salah
tentang kenyataan dan kesimpulan-kesimpulan kebijaksaan yang
salah pula, hal inilah yang melemahkan kekuatan ilmu-ilmu sosial
untuk menyingkirkan kepercayaan yang rusak dan salah. Kondisi
yang membawa ke arah kemencengan adalah dua kondisi yaitu
kondisi sosial politik yang mempengaruhi arah kerja penelitian dan
pendekatan-pendekatan yang kita pilih dalam riset.
Para ahli ilmu sosial cenderung untuk menyembunyikan
penilaian-penilaian dengan menyatakan bahwa pandangan mereka
itu seolah-olah merupakan sekedar kesimpulan logis dari fakta.
Mereka lebih banyak menekan penilaian sebagai penilaian dan
memberikan alasan-alasan saja; dengan demikian persepsi mereka
tentang kenyataan mudah mengalami distorsi, dan karena itu
menjadi menceng dari mulai perencanaan sampai penyajian akhir.
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A

Kemencengan dalam ilmu sosial dapat dikurangi dengan


berpegang pada fakta dan memperhalus metode-metode penanganan
data statistik, selain itu juga harus diiringi dengan pikiran murni.
Namun demikian, diperlukan juga titik pandang dalam berpegang
pada fakta, agar terhindar dari kesimpulan-kesimpulan praktis dan
politis.
Rasionalisasi dibutuhkan dalam melakukan riset dan harus
didekati dengan pendekatan yaitu penerapan konsep-konsep, model
dan teori-teori. Hal ini mempengaruhi seleksi data yang relevan,
pencatatan observasi, kesimpulan-kesimpulan teoretis dan praktis
yang ditarik secara jelas ataupun terselubung serta penyajian hasil-
hasil riset.
Untuk mencapai objektivitas dalam analisa teoretis ialah
dengan membeberkan penilaian-penilaian tersebut secara terang-
terangan, dan menjadikannya sadar, spesifik, dan jelas, serta
membiarkannya menentukan riset teoretis. Sering terjadi ada usaha
untuk mengobjektifkan padahal tidak objektif, misalnya tingkat
kehidupan orang negro senantiasa dibandingkan dengan orang kulit
putih.
Premis merupakan suatu unsur yang bersifat kehendak
(valitional) dalam riset, yang memang dibutuhkan dalam semua
kegiatan yang mempunyai tujuan. Premis nilai harus ditetapkan pada
tujuan dan alat. Pendapat faham utilitarianisme yang menyatakan
bahwa tak satupun yang baik atau jahat dalam dirinya, melainkan
hanya hasilnya yang baik atau jahat tidaklah realistis karena orang
sebenarnya menilai alat juga pada begitu juga pada akibat-akibat
sampingannya.
Dalam menetukan premis nilai ada kesulitan-kesulitan yang
harus dipertimbangkan, yaitu; pertama, hubungan antar penilaian
dengan kepercayaan-kepercayaan yang lebih benar; kedua, validitas
penilaian-penilaian berlaku dalam jangka waktu yang lama di masa
depan, dan ketiga, peluang bagi terjadinya bentrokan-bentrokan
penilaian. Karena itu suatu studi harus mempergunakan beberapa
premis nilai alternatif, kemudian kita bisa memilih satu rangkaian
premis (instrumental).

150
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A.

Penilaian tidak bisa diukur dengan patokan-patokan kebenar-


an dan kelengkapan. Penilaian-penilaian adalah fakta subjektif.
Pembicaraan tentang soal moral dan politik akan dirangsang dan
dipermudah apabila ilmu sosial yang konvensional menghapuskan
dakwaannya yang palsu bahwa ia sanggup memastikan fakta-fakta
yang relevan dan signifikan, bahkan mencapai kesimpulan-
kesimpulan praktis tanpa premis nilai yang eksplisit. Dengan
demikian relativisme nilai bukanlah nihilisme moral.
Asal moral yang umum yakni, prinsip bahwa semua manusia
mempunyai hak yang sama dan bahwa persamaan dalam syarat
hidup dan syarat kerja bagi manusia merupakan cita-cita tertinggi.
Disamping itu ada penyimpangan asal moral yang umum yakni
peperangan yang mungkin dipakai sebagai suatu alat yang mungkin
dalam kebijaksanaan nasional.
Ilmu sosial modern telah dipertajam ke arah suatu alat teoretis
yang jelas dan tegas untuk penilaian yang objektif. Alat tersebut
adalah “pembuktian”, yang biasa terdapat dalam ilmu sosial
khususnya ekonomi.
Sifat manusia bisa ditinjau dari pandangan kaum radikal dan
kaum konservatif. Menurut kaum radikal, kesalahan dan tanggung
jawab atas terjadinya ketidak-beresan dalam masyarakat terletak
pada lingkungan, yang dapat diubah. Kaum konservatif sebaliknya
berpendapat bahwa watak pembawaan manusialah dan bukan
lingkungan secara keseluruhan yang membuat perorangan dan
masyarakat sebagaimana adanya. Pembawaan manusia tidak dapat
diubah. Rasionalisme sekuler telah memberikan umpan bagi
konservatisme dan menentang pendekatan hakiki yang berdasarkan
pada lingkungan. Relatif pentingnya lingkungan dan pembawaan dan
lingkungan adalah persoalan fakta, sedang kepercayaan dapat
dibuktikan benar tidaknya melalui riset.
Pembuktian akan membawa ke arah paradoksal, seperti akhir
abad 18 dan permulaan abad 19, ketika azas persamaan dinyatakan
dengan terang-terangan dan diberi tekanan khusus di negara-negara
Barat yang maju. Pembuktiannya adalah ketidaksamaan sosial dan
ekonomi antar daerah, kelas sosial dan kesejahteraannya memburuk.
Begitu juga paradoks yang terjadi di bidang ekonomi. Para ahli
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A

ekonomi yang tergolong dalam aliran utama (mainstream) yang


kemudian menguasai perkembangan ekonomi, mungkin masih
radikal di banyak bidang yang lain, namun tetap konservatif dalam
hal kondisi ekonomi. Kemudian terdapat pandangan yang
mengatakan bahwa pembaharuan untuk mencapai persamaan akan
menghalangi kemajuan ekonomi, baik karena mengurangi
rangsangan-rangsangan di pihak yang harus membayar, maupun
karena mengurangi motivasi orang miskin itu untuk berusaha keras,
bekerja dan menabung, apabila dibebaskan dari himpitan
kekurangan dan ketiadaan jaminan.

Pembahasan Atas “Objektivitas Penelitian Sosial”


Pembahasan tentang obejektivitas dalam penelitian sosial
adalah merupakan suatu hal yang telah menjadi perdebatan lama,
mengingat adanya kemungkinan tingginya subjektivitas dalam
penelitian ilmu sosial, jika dibanding dengan penelitian ilmu-ilmu
eksakta, hal ini terkait dengan objek yang diteliti juga berkaitan
dengan metode penelitian yang digunakannya. Untuk membahas
masalah ini ada baiknya jika kita lihat dulu paparan tentang siapa
ilmuwan itu. Seseorang yang melaksanakan rangkaian aktifitas yang
di sebut ilmu, kini di sebut ilmuwan (scientist). Kata ilmuwan
diperkenalkan ke dalam bahasa inggris sekitar tahun 1840 untuk
membedakan mereka yang mencari keajegan dalam alam dengan
para filsuf, kaum terpelajar dan cendekiawan dalam suatu makna
yang lebih umum. Mc. Grow-Hill Dictionary of Scientific and Technical
Term memberikan definisi ilmuwan sebagai “seorang yang
mempunyai latihan, kemauan dan hasrat untuk mencari pengetahuan
baru, azas-azas baru dan bahan-bahan baru dalam suatu bidang
ilmu”.
Ilmu secara nyata dan khas adalah suatu aktifitas manusiawi,
yaitu perbuatan melakukan sesuatu oleh manusia. Ilmu merupakan
suatu rangkaian aktifitas yang bersifat rasional, kognitif dan
teleologis. Aktifitas rasional berarti kegiatan yang mempergunakan
kemampuan pikiran untk menalar yang berbeda dengan aktifitas
berdasarkan perasaaan atau naluri. Ilmu menampakkan diri sebagai
kegiatan penalaran logis dari pengamatan empiris. Menurut Bernard

152
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A.

Barber pemikiran rasional atau rasionalitas manusia merupakan


sumber utama ilmu. Yang dimaksud pemikiran rasional adalah
pemikiran yang mematuhi kaidah-kaidah logika, baik logika
tradisional maupun logika modern.
Ciri yang kedua dari kegiatan yang merupakan ilmu adalah
sifat kognitif bertalian dengan hal mengetahui dan pengetahuan.
Filsuf Polandia Ladislav Tondl menyatakan bahwa science berarti
aktifitas kognitif yang teratur dan sadar. Jadi, pada dasarnya ilmu
adalah sebuah proses yang bersifat kognitif, bertalian dengan proses
mengetahui dan pengetahuan. Proses kognitif adalah suatu rangkaian
aktifitas seperti pengenalan, penerapan, pengkopsian dan penalaran
(antara lain) yang dengannya manusia dapat mengetahui dan
memperoleh pengetahuan tentang sesuatu hal.
Ilmu juga bercorak teleologis, yakni mengarah pada tujuan
tertentu karena para ilmuwan dalam melakukan aktifitas ilmiah
mempunyai tujuan-tujuan yang ingin dicapai. Dalam hal ini terjadilah
bermacam-macam tujuan ilmu, yang salah satunya menurut
pendapat Jacob Bronowski ialah menemukan apa yang benar
mengenai dunia ini. Aktifitas ilmu diarahkan untk mencari
kebenaran, dan ini dinilai dengan apakah benar fakta-fakta yang
diungkapkan itu.
Dalam kaitannya dengan deskripsi di atas, saya berpendapat
bahwa Gunnar Myrdal, hanya menekankan aktifitas yang bersifat
rasional saja dalam ilmu sosial. Ia menyatakan bahwa etos ilmu
pengetahuan sosial adalah mencari kebenaran objektif yang di sebut
realisme. Realisme di sisni berarti bersifat rasional.
Suatu hal yang kiranya perlu dijelaskan lebih lanjut ialah wujud
aktifitas yang bagaimana tergolong sebagai science. Dari akar kata
latin scire yang dapat berarti to learn (balajar) tampaknya tidak
mennyimpang dari kenyataan apabila science merupakan rangkaian
aktifitas mempelajari sesuatu. Aktifitas seperti ini lazim dinyatakan
dengan perkataan “study”, “inquiry” atau search untuk mencapai
kebenaran, memperoleh pengetahuan, dan mendapatkan pemaham-
an. Penelaahan (study) bukanlah menunggu secara pasif sampai
sesuatu pengetahuan datang sendiri, melainkan secara giat dengan
pikiran mengejar, mencari dan menggali pengetahuan mengenai
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A

sesuatu hal yang menarik perhatian. Aktifitas yang demikian ini


dikenal dengan penelitian (research).
Penelitian sebagai suatu rangkaian aktifitas mengandung
prosedur tertentu, yakni serangkaian cara dan langkah tertib yang
mewujudkan pola tetap. Rangkaian cara dan langkah ini disebut
metode ilmiah. Metode ilmiah menurut perumusan The World of
Science Encyclopedia adalah prosedur yang digunakan oleh ilmuwan
dalam pencarian sistematis terhadap pengetahuan baru dan
peninjauan kembalai pengetahuan yang telah ada.
Walaupun Myrdal telah menunjukkan suatu kerangka pemikir-
an yang rasional, tetap memiliki kelemahan. Metode ilmiah meliputi
satu rangkaian langkah yang tertib, yang menurut J. Eigelberner
mencakup lima hal:
1. Analisis masalah untuk menetapkan apa yang dicari, dan
penyusunan praduga yang dapat dipakai untuk meberikan bentuk
dan arah pada telaah penelitian
2. Pengumpulan fakta-fakta yang berhubungan satu sama lain.
3. Penggolongan dan pengaturan data agar supaya menemukan
kesamaan-kesamaan, urutan-urutan, dan hubungan-hubungan
yang ada.
4. Perumusan kesimpulan-kesimpulan dengan memakai proses-
proses penyimpulan yang logis dan rasional.
5. Pengujian dan pemeriksaan kebenaran kesimpulan-kesimpulan
itu.
Bila kita membandingkan pendapat Eigelberner dengan Myrdal
tentang metode ilmiah, maka Myrdal nampaknya kurang memberi-
kan langkah-langkah metode ilmiah, dalam buku objektivi-tas
penelitian sosial, agar suatu penelitian ilmu sosial menjadi objektif
seperti yang diinginkannya. Dia menggugat objektivitas penelitian
sosial namun tidak memberikan solusi yang tuntas, langkah-langkah
yang harus dilaksanakan oleh ilmuwan sosial. Hal ini mungkin
karena dalam buku ini ia hanya menyampaikan sesuatu yang sifatnya
renungan pemikiran.
Myrdal dengan segala upayanya untuk menemukan adanya
objektivitas dalam penelitian sosial memang telah memberikan
sumbangan namun ia sendiri nampaknya tetap terpengaruh oleh

154
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A.

iklim serta pendekatan yang berlaku pada jamannya yang justru ia


melakukan kritik untuk masalah itu. Nampaknya bias-bias pengaruh
masyarakat dan tradisi keilmuan pada saat ia hidup tetap masih
belum dapat sepenuhnya dihilangkan. Hal-hal lain yang sifatnya
masih abstrak seperti tidak dijelaskannya arti metafisika dan pseuda
objektif, padahal itu merupakan sifat dari metodologi ilmu sosial.

Pemikiran Myrdal dan Perkembangan Penelitian Ilmu Sosial


Dari renungan-renungan yang dilakukan oleh Myrdal tentang
hal-hal yang berkaitan dengan penelitian ilmu sosial, dimana
renungan-renungan tersebut adalah merupakan endapan dari
pengalamannya selama bertahun-tahun. Ia sebagai peneliti bahkan
sebagai ilmuwan terkemuka peraih hadiah nobel, yang dalam
renungannya terkadang sangat kritis harus diakui telah
menyadarkan para ilmuwan sosial khususnya tentang berbagai
kelemahan yang selama ini diderita atau adanya semacam
kemunafikan dalam kalangan ilmuwan sosial. Walaupun diakui
bahwa apa yang dilakukan oleh Myrdal mungkin lebih merupakan
pertanyaan yang harus dijawab oleh generasi ilmuwan berikutnya.
Diantara sumbangan pemikiran Gunnar Myrdal yang
bermanfaat dalam metodologi ilmu sosial adalah ia berhasil
menunjukkan kesalahan-kesalahan yang diperbuat oleh seorang
ilmuwan, antara lain ketika seorang ilmuwan menyamakan kondisi
ekonomi yang jelas-jelas tidak dapat disamakan. Kesejahteraan orang
kulit putih dipakai untuk menganalisis kesejahteraan orang negro.
Sehingga timbul kesan kalau orang negro itu miskin dan orang kulit
putih itu kaya. Hal-hal tersebut di atas telah membawa ke arah dua
paradoks yaitu:
1. Ketidaksamaan sosial anatara negara-negara Barat yang begitu
maju dengan negara-negara berkembang yang miskin dengan
tingkat kesejahteraannya rendah.
2. Ahli ekonomi cenderung radikal di bidang lain namun konservatif
terhadap kondisi ekonomi.
Dua paradoks tersebut mirip dengan teori saling ketergantung-
an dalam pembangunan sehinga melahirkan dependency theory, yang
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A

hasilnya adalah ketergantungan negara berkembang terhadap


negara-negara maju dan ketidaksamaan sosial makin melebar.
Pemikiran ini juga mengingatkan bahwa ilmuwan sosial jangan
menjadi “scientisme palsu“ yaitu orang-orang yang menghilangkan
tanggung jawab riset untuk membentuk pendapat umum, dan
memerosotkan pentingnya riset untuk membentuk orang lebih
rasional. Mereka juga menutup diri dengan cara menggunakan
istilah-istilah rumit dan aneh yang tidak dimengerti. Hal lain yang
perlu diperhatikan dalam hal riset adalah agar kita jangan terjebak
dalam kemencengan yang sistematis. Kemencengan tersebut
dipengaruhi oleh kondisi budaya, politik, dan kepribadian si peneliti.
Hal penting lain yang dapat dianggap sebagai sumbangan
Myrdal, menurut Dawam Rahardjo (1988) dalam pengembangan
ilmu sosial adalah kejernihan, serta keterus-terangan pernyataan
Myrdal ditengah-tengah masyarakat Barat pada umumnya serta
kalangan ilmuwan sosial pada khususnya yang selama ini memiliki
kecenderungan untuk bersikap netral-bebas nilai dalam penelitian
sosial, yang dikatakan oleh Myrdal menyembunyikannya dibalik
pernyataan netralitas ini. Myrdal menghimbau bahwa penelitian ilmu
sosial tidaklah bisa bersifat netral atau bebas nilai karena
dibelakanganya sebenarnya ada nilai-nilai yang disembunyikan,
maka perlu adanya kejelasan premis nilai yang digunakan.
Pernyataan Myrdal ini menjadi memiliki pengaruh yang luas karena
ia adalah seorang ilmuwan yang mempunyai karya-karya ilmiah
berbobot seperti Dilema Amerika, Asian Drama, dan banyak karya-
karya lainya yang telah membawanya untuk meraih penghargaan
Nobel dibidang ilmu ekonomi.
Myrdal juga berjasa mengembangkan suatu pendekatan
institusional yang berpandangan bahwa suatu studi ekonomi pada
dasarnya adalah suatu ilmu moral (moral science) yang secara jelas
dan terang-terangan mengemukakan “value premise” sejak dari
awalnya. Ia juga menganjurkan suatu model penelitian yang dekat
pada realitas dan melihat faktor-faktor yang ada dalam hubungan
interdependensi.

156
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A.

Fenomena Objektif Ilmuwan Muslim


Meminjam istilah Ibnu Kaldun, mencoba mencari ‘itibar,15
mencari pelajaran dan makna, di balik teks yang telah tersaji. ‘Itibar
dalam kadar tertentu adalah merupakan suatu pergulatan intelek-
tual seorang peneliti, yang tidak hanya sekedar melibatkan fungsi
pikir tetapi sekaligus juga melibatkan nurani (bashiroh), ketajaman
batin. Inilah dua karakter yang harus dimiliki oleh seorang
intelektual, untuk memungkinan dirinya mengahasilkan sebuah
analisis yang tajam, kritis, serta mencerahkan.
Dari berbagai perspektif sebagaiana telah dikemukakan di atas,
bagian ini ingin memberikan sumbangan kontribusi bagi lahirnya
perspektif teori politik Islam atau perspektif sosial profetik dalam
ilmu politik, betapapun kecilnya, kontribusi tersebut. Obsesi itulah
yang telah memberikan energi luar biasa bagi peneliti untuk
menelusuri, lembar demi lembar, kalimat demi kalimat, dari berbagai
lieratur, untuk menggapai obsesi tersebut.
Dari penelusuran dan pergulatan intelektual yang peneliti
alami, dalam benak pemikiran peneliti, hadir dua hal yang sangat
mengusik pemikiran. Dua hal tersebut ialah, pertama; keprihatinan
peneliti kepada hampir seluruh cendekiawan yang lahir dari
komunitas Muslim terbelah sikapnya, dalam menghadapi perspektif
teori yang datang dari Barat. Di satu pihak ada yang berpandangan
bahwa modernitas (yang datang dari Barat) adalah tidak bertentang-
an dengan Islam dan sebaliknya Islam juga modern. Sikap ini dalam
masalah ilmu memiliki pandangan kurang lebih dapat dirumuskan
bahwa teori-teori ilmu sosial yang datang dari Barat tidak ada
persoalan apa-apa serta sesuai dengan wawasan keislaman, mereka
berargumen karena semua ilmu itu pada dasarnya adalah netral.

15
Ibnu Khaldun, pada buku dengan judul , Kitaab al-„Ibar , wa Diiwaan- al-
Mubtada‟ wal Khabar, Fii ayyaa-mil “Arab wal „Ajam wal Barbar, wa man
„Aaa-sharahum min Dzawis-Sulthaan al- Akbar, menyebutkan sedikitnya ada
beberapa kesalahan yang sering dilakukan oleh para ilmuwan, antara lain ialah
sikap tasyayu ( tidak menjaga jarak) menjadi pengikut mahzhab pemikiran
tertentu sehingga sulit untuk bersikap kritis dalam analisanya, yang kedua ialah
tiadanya sikap tarjih (selektif) dalam menerima informasi, ketiga menerima
asumsi yang tidak beralasan (Kaldun, 1986: 58-59).
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A

Perspektif seperti ini dalam pandangan peneliti tidak


memberikan kontribusi yang berarti bagi perkembangan ilmu, hal ini
dikarenakan sikap jiwa yang jumud seperti ini, telah menghilangkan
sikap kritis, yang merupakan bagian sangat penting bagi
perkembangan suatu ilmu, karena justru dari kritik itulah dapat
diketahui kelemahan suatu teori tertentu untuk disempurnakan atau
bahkan digugurkan dan ditinggalkan untuk diganti dengan sebuah
teori baru yang lebih unggul. Tetapi adalah sesuatu yang ironis,
karena dalam kenyataanya hampir seluruh orang-orang terpelajar
Islam yang belajar ke Barat, tidak berani dan tidak ada keberanian
untuk mengkritik perspektif teori yang dipelajarinya, bahkan sikap
yang terjadi adalah sangat mendewakan teori-teori yang berasal dari
Barat.
Walaupun harus segera dicatat beberapa intelektual sudah
menyadari bahwa sikap jiwa seperti itu adalah tidak benar, sehingga
sudah mulai muncul kesadaran perlunya menyusun suatu paradigma
ilmu yang diturunkan dari nilai-nilai Islam. Ilmuwan yang telah
mencoba merintis ke arah tersebut, antara lain, Dr. Ismail Ra’ji Al
Faruqi,16 Dr. Ziauddin Zardar, Dr. Iqbal, sementara itu intelektual dari
Indonesia yang telah mencoba merintis dapat disebut nama Dr.
Kuntowijoyo.17 Sikap kritis kepada perspektif teoretis yang datang
dari Barat, tidaklah berarti menutup diri dan mengharamkan semua
yang datang dari Barat.
Sikap kritis di sini memiliki makna tetap menyediakan ruang
untuk berdialog dengan pemikiran yang datang dari Barat, dengan
tujuan bukan untuk meniru dan membeo pada perspektif teori
politik Barat, tetapi adalah untuk menemukan ibrah (puncak-puncak
pemikiran cemerlang), hal ini dikarenakan karena sesungguhnya
peradaban Islam adalah titik pertemuan dari setiap perkembangan
peradaban dunia dari manapun datangnya, sepanjang memberikan
manfaat bagi keselamatan hidup manusia. Dengan kata lain sebuah
sikap jiwa untuk menerima semua perspektif pemikiran Barat, sulit
untuk memberikan kontribusi bagi kemajuan dan perkembangan
16
Tokoh ini antara lain mempelopori proyek Islamisasi Ilmu Pengetahuan.
17
Kuntowijoyo, antara lain menawarkan “Ilmu Sosial Profetik” yang disatu sisi
bersumber dari Islam akan tetapi meiliki pijakan dalam tradisi ilmu sosial Barat.
158
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A.

suatu ilmu, juga bagi kemajuan umat, kecuali hanya untuk sekedar
pelipur lara, sementara waktu saja untuk menyembunyikan
kelemahan dan keterbelakangan yang ada.
Sementara itu di pihak yang lain, juga ada sikap sebagian
cendekiawan (ulama) yang menafikan segala sesuatu yang datang
dari selain Islam, sikap menutup diri seperti ini disamping tidak
membawa banyak kemajuan bagi umat Islam juga tidak sesuai
dengan model kehidupan yang Nabi Muhammad SAW, wasiatkan
kepada umatnya, yang justru menyuruh umatnya untuk bersunguh-
sunguh mencari ilmu sampaipun ke negeri Cina. Kedua sikap
sebagaimana dikemuakan di atas, nampaknya tidak cukup untuk
mendorong agar umat ini memiliki harga diri, memiliki keunggulan
di depan umat Manusia, seperti Allah ilustrasikan sebagai umat
terbaik (khoiro ummat).
Kedua, adalah sikap sebahagian cendekiawan yang disatu sisi
memberikan kritik yang tajam pada perspektif teoretis yang diajukan
oleh para cendekiawan muslim abad pertengahan yang dikatakannya
normatif, sementara itu ia tidak mampu memberikan kritik yang
tajam dan cerdas pada perspektif teoretis yang ditawarkan oleh
cendekiawan dari Barat. Tipe cendekiawan seperti ini, dengan
mudah menyatakan bahwa Islam tidak memiliki konsep tentang
politik, kalau ada konsep politik Islam, mana tunjukkan! Sikap seperti
ini dalam kadar tertentu adalah menunjukan sikap pesimis, tidak ada
etos dan kreativitas, untuk menghasilkan dan menggali pemikiran
Islam untuk dapat disumbangkan bagi kemanfaatan umat manusia.
Sikap cendekiawan seperti dikemukakan di atas dari sisi
pengembangan teoretis tidak memberikankan sumbangan apa-apa,
kecuali hanya ikut menyebarkan teori-teori yang di impor dari
bangsa lain, yang sebetulnya belum tentu sesui untuk menganalisis
problem yang timbul di Indonesia.
Sikap yang fair bagi seorang cendekiawan – khususnya dari
negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam – seharusnya
tidak memilih satu diantara perspektif sebagai telah dsebutkan di
atas. Ia idealnya memiliki dua kemampuan sekaligus yakni disatu sisi
ia tetap konsisten dengan prinsip keimanannya serta dalam waktu
yang bersaman ia juga dapat berdialog dengan cerdas dengan
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A

pemikiran-pemikiran yang datang dari peradaban manapun,


termasuk yang datang dari peradaban Barat dalam bidang pemikiran
politik. Namun kenyataan telah menunjukan betapa sulit dan berat
untuk menjadi seorang cendekiawan yang di satu sisi tetap kokoh
dengan prinsip-prinsip keyakinan agamanya dan di sisi yang lain
mampu berdialog dengan fasih – cerdas berhadapan dengan
pemikiran dari peradaban manapun. Untuk konteks Indonesia secara
personifikasi karakter trersebut, kita dapat melihatnya pada
ketekunan dan pergulatan sunyi yang telah diteladankan oleh
Kuntowijoyo, penggagas Ilmu Sosial Profetik.

Politik Islam: Ikhtiar Membangun Umat?


Dari studi tentang Pola Perubahan Hubungan antara Islam
dan Negara: Suatu Studi tentang Islam Politik di Indonesia (1990-
1999), Nasiwan (2005) telah menemukan pelajaran betapa sulitnya
menemukan suatu teori politik Islam yang sistematis dan
operasional, yang telah diterima dalam wacana akademis. Hal yang
demikian dapat terjadi dikarenakan hampir semua pembahasan
tentang teori politik Islam yang dicetuskan pada abad pertengahan
dari Imam Mawardi bahkan sampai al Afghani di abad dua puluh,
mengandaikan masih tegaknya struktur politik Islam yang disebut
dengan Khilafah. Maka ketika lembaga Khilafah ini semenjak tahun
1924 hilang dari dunia Islam, telah menyebabkan teori-teori politik
Islam tersebut, sulit menemukan penjelasannya dalam realitas
kehidupan.
Sementara itu, kini mulai tumbuh kesadaran bahwa
menggunakan semua perspektif teori politik Barat, yang dibangun di
atas filosofis, epistemologi, asumsi-asumsi, yang dipengaruhi situasi
sosial kemasyarakatan yang memiliki prinsip menentang keterlibat-
an agama dalam wilayah publik, adalah tidak cukup memadai untuk
mengalisis fenomena politik yang terjadi pada suatu masyarakat
yang di dalamnya hidup pandangan sangat berkeinginan untuk
melibatkan agama dalam wilayah publik.
Dalam perspektif Islam tidak mengenal pemisahan antara
masalah agama dengan politik, sebagian yang lain memandang Islam
dan negara itu sesuatu yang terpisah. Namun disadari juga bahwa

160
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A.

hal tersebut adalah sebuah realitas yang hidup di Indonesia, dengan


demikian pembahasan tidak dapat meloncat dengan mengandaikan
jika sudah berdiri negara Islam ataupun khilafah Islamiyah.
Pembahasan jauh lebih bermanfaat jika diarahkan untuk
mengahadapi persoalan real yang dihadapi pada dunia nyata, serta
mencari kemungkinan-kemungkinan bukan mencari hanya
keharusan yang mesti normatif. Walaupun dengan sebuah kesadaran
bahwa kondisi seperti ini sulit untuk menghasilan sebuah produk
analisis teori yang benar-benar dapat keluar dari keterpasungan
cara berpikir yang sudah menghegemoni serta mentradisi dalam
dunia akademis. Sebagai konsekuensinya akhirnya menjadi sangat
sulit untuk mengahasilkan suatu produk analisa atau perspektif teori
baru yang dapat berlaku lama, serta memiliki manfaat besar bagi
perkembangan ilmu.
Namun kesadaran akan pentingnya, sebuah perspektif teoretis
yang disatu sisi tidak terhegemoni oleh teori politik Barat yang
disadari mengidap sejumlah kelemahan serta di sisi yang lain tidak
hanya bersifat normatif sehingga kehilangan daya kontekstualnya,
sering terbentur pada banyak keterbatasan iklim kehidupan
akademis yang didominasi oleh suasana yang mendorong untuk
menerima saja setiap perspektif teori yang ada. Hal demikian
sehingga sering kali mematahkan semangat untuk mengkaji topik
dengan suatu perspektif teori yang mencoba keluar dari tradisi yang
selama ini berlangsung.
‘Itibar lain yang dapat diambil dari kelahiran kembali Islam
politik di Indonesia, paling tidak telah memunculkan dua persoalan;
pertama dari sisi empiris ternyata kelahiran kembali Islam politik
pada masa pasca regim Orde Baru, tidak mendapatkan dukungan
sebesar yang diraih oleh partai-partai nasionalis seperti PDIP dan
Golkar. Lebih dari itu, nampaknya dalam sejarah modern Islam
belum pernah ada bukti yang meyakinkan bahwa umat Islam
menjadi maju secara ekonomi, ilmu, moralitas dengan memilih
partai politik sebagai instrumen perjuangannya. Kedua, kelahiran
kembali Islam politik, dalam batas tertentu telah melahirkan tuduhan
‘stigma’ dari elemen kekuatan di luar Islam, bahwa partai-partai
politik Islam itu bersifat sektarian. Walaupun segera ditambahkan
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A

bahwa stigma tersebut masih membuka peluang untuk


diperdebatkan. Berkaitan dengan kelahiran kembali Islam politik,
sesungguhnya jika dilacak lebih jauh lagi adalah merupakan suatu
ijtihad politik, yang lahir dari kondisi umat Islam yang sedang
mengalami kemunduran secara global, demikian juga dengan
fenomena kelahiran kembali Islam kultural, lebih khusus lagi untuk
kasus Indonesia.
Indikator bahwa pilihan model perjuangan melalui Islam
politik adalah sesuatu yang debatable adalah adanya bukti dalam
sejarah perpolitikan di Indonesia, dimana kemunculan model
perjuangan melalui Islam politik, justru didorong oleh faktor sikap
negara yang akomodatif pada aspirasi umat Islam. Model perjuangan
melalui Islam politik tidak dipakai justru pada saat negara
menggunakan kebijakan yang represif pada umat Islam, hal ini
setidak-tidaknya berlangsung selama Orde Baru. Dari fenomena
tersebut, dapat ditarik suatu pelajaran bahwa model perjuangan
Islam politik memiliki keterbatasan daya berlakunya serta tidak
dapat dipakai secara memuaskan untuk menjadi instrumen
perjuangan umat Islam justru dalam keadaan terpinggir. Hal ini
berbeda dengan kondisi yang terjadi di negara –negara Timur
Tengah seperti Iran, Sudan, dalam keadaan tertekan justru Islam
politik dapat dipakai sebagai instrumen perjuangan umat Islam.
Namun walaupun demikian, pilihan sebahagian komunitas
Islam untuk memakai Islam politik, dapat dibaca sebagai sebuah
langkah yang mungkin untuk dikerjakan, dalam rangka
memperjuangkan aspirasi umat Islam, dalam sebuah negara
kebangsaan (nation state) yang telah memiliki konsensus bahwa agar
kekuatan infrastruktur politik untuk dapat mempengaruhi (supra
struktur politik) perubahan policy negara, disalurkan melalui partai
politik. Tentu dengan sebuah kesadaran bahwa model Islam politik,
tidaklah mungkin dapat menjadi solusi yang memuaskan untuk
mengcover seluruh problema umat Islam, bahkan mungkin dapat
menimbulkan problema seperti konflik antar umat Islam yang
berbeda partai politiknya, serta masih tetap perlu dipertanyakan
apakah merupakan sebuah model yang diderifat dari prinsip-prinsip

162
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A.

Islam ataukah hanya pilihan yang sifatnya duniawi yang diserahkan


pada tingkat peradaban manusia.
Nampaknya prospek kehidupan politik di Indonesia,
khususnya tentang pasang surut Islam politik, tetap dalam kadar
yang signifikan akan dipengaruhi oleh dinamika sifat hubungan
antara Islam dan negara, yang sampai awal abad ke-21, belum
menemukan formatnya yang final, disamping juga dipengaruhi oleh
perkembangan persepsi pemikiran umat Islam Indonesia pada
sebuah institusi yang bernama negara. Sebagaimana juga dalam
kasus yang hampir sama juga dijumpai di negara lain, seperti
Pakistan, Turki, Sudan, Al Jazair, ternyata untuk menemukan format
hubungan antara Islam dan negara adalah merupakan persoalan
yang kompleks, yang tidak mudah untuk dicari formulasinya.
Kesulitan tersebut terjadi antara lain antara Islam dan negara,
(negara kebangsaaan) adalah dua hal dari sisi sejarah kelahirannya
serta secara subtansial memiliki potensi untuk terjadinya konflik.
Potensi konflik itu terjadi dikarenakan dari awalnya negara
kebangsaan itu berdiri dalam sejarahnya dari negara Eropa, ada
semacam misi untuk mengurangi atau bahkan menafikan peran
agama dalam kehidupan politik kenegaraan. Hal itu tercermin dari
sebuah ungkapan “serahkan negara pada raja dan gereja pada
pendeta”.
Dengan kondisi seperti itu, maka pilihan komunitas Islam
untuk memilih model perjuangannya memalui jalur Islam politik
yang direpresentasikan melalui partai politik Islam, selalu terbuka
kemungkinan untuk saling melakukan penetrasi ideologi. Saling
penetrasi ini terjadi karena antara Islam politik dan negara
kebangsaan dalam dirinya memiliki berbagai perbedaan, baik misi,
mapun tujuan. Diantara perbedaan yang paling mendasar adalah
dalam pandangan negara kebangsaan yang paling penting adalah
kepentingan bangsa, semua elemen bangsa berbakti untuk kejayaan
bangsa (nilai patriotisme) sementara itu Islam politik memandang
bahwa negara, kekuasaan politik hanya alat untuk mencapai tujuan,
yakni demi tegaknya hukum Allah (syari’at Allah). Dalam konteks
permasalahan sebagaimana dipaparkan di atas, nampaknya
kebutuhan untuk mencari titik temu antara Islam politik dengan
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A

negara, adalah merupakan hal yang sangat mendasar untuk dapat


terwujudnya suatu kehidupan politik di Indonesia yang
berperadaban.
Kehadiran partai-partai politik Islam dilihat dari kepentingan
intern umat Islam disamping memberikan harapan untuk dapat
dipakai sebagai instrumen bagi upaya perbaikan kondisi umat,
namun juga dapat menimbulkan dinamika internal. Dinamika
internal bahkan konflik bisa muncul dikarenakan tidak semua
elemen umat Islam – karena perbedaan latar belakang pendidikan,
orientasi keislaman, sosialisasi dan interaksinya dengan Islam –
setuju dan memilih Islam politik sebagai model perjuangan Islam.
Dalam kenyataanya banyak anggota dari komunitas Islam yang tidak
setuju bahkan berseberangan dengan model perjuangan Islam
politik.
Diantara kemungkinan-kemungkinan konsekuensi yang timbul
di masa depan, apakah model perjuangan melalui Islam, akan tetap
dipertahankan atau diganti dengan model perjuangan lain, menurut
hemat peneliti akan sangat ditentukan oleh dialektika hubungan
antara Islam dan negara. Dari sisi Islam kemampuan daya
penetrasinya sangat dipengaruhi oleh infrastruktur politik dan
intelektual yang dimiliki oleh umat Islam. Sedangkan dari sisi negara
akan sangat ditentukan oleh aktor-aktor mana yang akan
mendominasi posisi-posisi penting dalam jabatan publik di
Indonesia. Dalam pandangan peneliti konsensus yang realitis, dalam
menemukan format hubungan antara Islam dan negara di Indonesia,
adalah tidak memaksakan diri untuk meniru perspektif yang dipakai
di negara-negara Barat yang sekuler demikian juga tidak bisa
memaksakan untuk menggunakan model Islam secara seratus
persen yang ditawarkan oleh Islam politik, karena disadari Islam
politik, sebagai sebuah hasil ijtihad politik, tidaklah berarti Islam itu
sendiri, selalu ada gap antara Islam dengan partai politik Islam
(Islam politik).
Namun perlu dicatat bahwa realitas kehidupan politik tidaklah
seindah dalam teks books, dalam realitasnya acap kali menggunakan
politik massa dan kekerasan untuk menekan pihak lain dalam
memperjuangkan kepentingannya. Dan sering kali kepentingan yang

164
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A.

bersifat ideologis (Nasionalisme, Islam) diperjuangkan dengan


politik kekerasan, sehingga seringkali hal-hal yang ideologis itu
tercemari oleh politik kekerasan. Kondisi seperti inilah yang
membuka peluang untuk lahirnya stigma bahwa partai politik baik
yang nasionalis maupun yang Islam, hanya menjadikan nilai-nilai
nasionalisme dan Islam, sebagai jubah perlindungan untuk
menyembunyikan kepentingan. Karena nilai-nilai nasionalisme dan
Islam lebih diposisikan sebagai jubah (kedok) untuk
menyembunyikan kepentingan kekuasaan, acap kali para aktor
politik dalam mencapai tujuan mengabaikan nilai-nilai kebaikan yang
diajarkan agama, sehingga munculah ungkapan “tujuan
menghalalkan cara” ironisnya politik kotor, saling membunuh, saling
memfitnah juga terjadi diantara para pendukung partai (kelompok)
yang membawa panji-panji agama.

Politik Profetik: Pemikiran Politik Kuntowijoyo


Rute Pemikiran cendekiawan muslim Dr. Kuntowijoyo (1943-
2005) yang ingin dipaparkan dalam analisis ini hanyalah pemikiran
beliau yang berkaitan dengan tema-tema politik khususnya politik
Islam. Pengambilan posisi yang demikian mengingat beberapa
pertimbangan pertama karena tema politik adalah merupakan tema
kajian yang akrab bagi peneliti serta demi memungkinkannya kajian
ontologi pemikiran Kuntowijoyo ini menjadi fokus pada angle-angle
tertentu, sehingga sajian menjadi enak untuk dinikmati.
Kesan kuat pertama yang ada pada peneliti ketika ingin
menuliskan pemikiran Kuntowijoyo di bidang pemikiran politik
Islam, adalah kokohnya landasan teoretis pemikiran beliau dipadu
dengan kejernihan berpikir dan akhirnya mampu melahirkan
perspektif alternatif yang ia namakan dengan Ilmu Sosial Profetik.
Sebagai contoh kecil peneliti pernah membaca salah satu analisis
beliau yang dibuat pada tahun 1980-an, analisis tersebut
merefleksikan betapa beliau kokoh dalam penguasaan teori-teori
sosial besar, peneliti menemukan analisisnya yang dimuat di jurnal
Prisma tahun 1980-an beliau sudah fasih dengan teori sosial kritis
dari Gramci, Habermas, padahal saat itu masih sedikit pengamat yang
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A

menggunakan pemikiran kritis mengingat situasi politik di Indonesia


yang berada di bawah regim otoriter Orde Baru.
Kekokohan pijakan kerangka teoretis yang beliau miliki sangat
terasa misalnya ketika kita membaca analisis analisis beliau yang
berkaitan dengan masalah perubahan sosial, perubahan budaya dan
implikasinya pada perubahan politik. Lebih khusus lagi keterkaitan
antara perubahan sosial-budaya dengan pergeseran dan peranan
politik umat Islam di Indonesia. Para pembaca dan pemerhati
pemikiran politik Islam dapat merasakan betapa Cendekiawan
Kuntowijoyo sangat menguasai teori-teori sosial besar dalam
bukunya yang sangat monumental yang terbit pada awal tahun 1990-
an, Paradigma Islam, demikian juga buku “Dinamika Sejarah Umat
Islam Indonesia”, yang terbit pada tahun 1994.
Karakteristik lain yang menjadi kelebihan dari pemikiran dan
analisis yang dibuat oleh Kuntowojoyo, sejauh yang dapat peneliti
tangkap adalah dalam stand of point, posisi pijak pemikiran
Kuntowijoyo. Sekali pun familier dan fasih mengutip dan
menggunakan teori-teori sosial Barat tetapi secara subtansi gagasan
pemikirannya tidak menunjukan ketundukan pada arus besar
pemikiran Barat yang sekuler. Kuntowijoyo sebagai intelektual tidak
mau menyerah dan tunduk pada mainstream pemikiran yang sekuler
bebas nilai. Dalam waktu yang sama, ia juga tidak terjebak pada
posisi ekslusif hanya bersedia menjadikan Islam sebagai satu-
satunya alternatif pemikiran, tanpa pengayaan dan dialog yang
cerdas dengan khazanah pemikiran peradaban dunia lainnya.
Menghadapi posisi dunia pemikiran yang cenderung tunduk pada
perspektif pemikiran Barat yang sekuler dan bebas nilai, yang tidak
sejalan dengan keyakinan agama yang dianutnya, Islam, dari sisi
pemikiran Pak Kunto, telah melakukan ikhtiar yang cerdas, kreatif,
dan jernih yaitu dengan gagasanya untuk melahirkan suatu
paradigma ilmu yang dapat mempertemukan antara tradisi
pemikiran Barat yang rasional dipengaruhi oleh struktur sosial
masyarakat industri dan tradisi pemikiran Timur yang dekat dengan
nuansa religius-mitos sangat kuat dipengaruhi oleh struktur sosial
masyarakat agraris. Itulah yang beliau sebut dengan nama ilmu sosial
profetik.

166
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A.

Dalam pandangan ilmu sosial profetik yang digagas oleh


Kuntowijoyo berpandangan bahwa teks suci Al Qur’an dapat
diposisikan sebagai nilai/norma, yang kemudian dapat diturunkan
menjadi grand theory, midle theory sampai ke praxis. Dengan
rumusan lain ia menganjurkan agar umat Islam melakukan proses
objektivikasi pada ajaran Islam sehingga dapat diterima secara
universal lantaran berpijak pada titik temu nilai-nilai yang objektif
yang memang dibutuhkan oleh semua manusia dengan baju
primordial agama apapun. Atau dapat juga ditempuh jalan sebaliknya
yaitu berangkat dari fenomena dan fakta sosial politik yang ada
kemudian didialogkan dengan teks normatif al qur’an. Pemikiran
Kuntowijoyo tentang objetivikasi Islam dapat dicermati pada
bukunya “Identitas Politik Umat Islam”, khususnya pada Bab VI dan
VII yang secara mendalam tema objetivikasi Islam. Buku ini terbit
bulan Juni tahun 1997, oleh penerbit Mizan, beberapa saat sebelum
bergulirnya era reformasi, dimana muculnya fenomena berseminya
musim kebebasan untuk mendirikan partai politik, termasuk juga
tumbuhnya partai-partai politik Islam.
Dalam pandangan Kuntowijoyo, umat Islam dalam politik
seperti penumpang perahu yang berlayar di laut lepas, tanpa bintang
tanpa kompas, tidak tahu tujuan dan tidak tahu cara berlayar
(Kuntowijoyo, 1997: 219). Kunto menuliskan bahwa kepentingan
politik Umat Islam bukan hanya kekuatan moral, tetapi politik adalah
kekuatan pemaksa (coercion) dan bukan hanya sekedar kekuatan
moral. Politik menyangkut public policy, bukan kesalehan personal
(Kuntowijoyo, 1997: 206). Adapun aspek-aspek dari kepentingan
politik Umat Islam meliputi aspek moralitas, perubahan struktural,
mekanisme politik, reorientasi psikologi. Strategi yang diusulkan
oleh Kunto untuk mencapai kepentingan politik Umat Islam adalah
melalui tiga strategi yaitu struktural, kultural dan mobilitas sosial.
Kuntowijoyo tidak secara spesifik menyebut strategi
perjuangan Islam melalui instumen partai politik, juga tidak
memasukkan dalam strategi perjuangan umat melalui jalur
struktural. Hal ini nampaknya sesuai dengan keyakinan teoretis
Kunto, bahwa pada era sekarang seharusnya umat Islam sudah
berpindah dari perjuangan yang berpijak pada mitos dan ideologi ke
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A

perjuangan yang berbasis pada ilmu. Posisi pandangan Kunto ini jika
ditelusuri konsisten sejak awal pemikiran beliau sampai tahun-tahun
akhir kehidupan Beliau sebagai intelektual Islam. Hal tersebut
misalnya dapat kita baca pada orasi/pidato ilmiah untuk
pengukuhan guru besar Kuntowijoyo, dibidang ilmu sejarah tahun
2001, Kuntowijoyo tetap konsisten dengan pendiriannya bahwa
pentingnya umat Islam menyadari tahapan-tahapan perkembangan
sejarah yang mengharuskan dilakukannya reorientasi strategi
perjuangan umat dari berbasis pada ideologi bergeser pada
paradigma Islam sebagai Ilmu. Menurut hemat peneliti, mengingat
pandangan Kuntowijoyo tersebut dikemukakan di forum ilmiah yang
sangat penting maka nampaknya hal tersebut dapat juga dimaknai
sebagai pandangan khususnya dalam hal pemikiran politik Islam,
keterkaitannya dengan konteks dinamika sejarah umat Islam yang
memformulasikan paradigma Islam sebagai ilmu sudah selesai
(khatam) dan tidak akan mengalami perubahan pandangan yang
berarti sampai akhir hayatnya.
Dengan kata lain, partai politik Islam, lebih kental nuansa
simbol dan ideologinya maka beliau tidak memberikan rekomendasi
untuk berjuang melalui partai Islam, tentu mempunyai argumen
untuk posisi pandangannya ini. Kuntowijoyo memberikan
rekomendasi untuk berjuang melalui partai politik yang secara
substantif memperjuangkan nilai-nilai Islam seperti keadilan,
membelaan pada orang tertindas, pemberantasan korupsi,
pembelaan kaum perempuan, kebebasan berpendapat, berpolitik dan
lain-lain. Tetapi bukan partai politik yang secara vulgar
mengeksploitasi simbol-simbol Islam. Posisi pandangan Kunto ini
tentu bertentangan dengan pandangan tokoh-tokoh Islam yang
berpandangan pentingnnya berjuang melalui partai Islam. Untuk
menilai pandangan mana yang benar, sejarahlah yang akan
memberikan jawabannya kepada kita.
Dalam kaitannya dengan posisi politik umat Islam secara
makro Kuntowijoyo telah meninggalkan warisan pemikiran yang
merupakan embrio dari ilmu sosial profetik. Beliau mencoba untuk
melakukan teoretisasi tentang politik Islam dari Al Qur’an surat Ali
imron ayat 104 dan 110 serta surat Fushilat ayat 51-53. Dari teks

168
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A.

normatif tersebut dapat diambil semacam proposisi aksioma. Bahwa


kejayaan suatu umat akan ditentukan oleh empat hal mendasar;
pertama, tentang adanya kesadaran sejarah (untuk mengambil
‘itibar); kedua, pentingnya untuk melakukan upaya emansipasi (al
amr bil ma’ruf); yang ketiga, keharusan melakukan liberasi,
pembebasan manusia dari kejahatan (annahy ‘anil munkar); keempat,
pentingnya melakukan transendensi (tu’minuna billah). Berdasarkan
nilai aksiomatik yang diambil dari ayat di atas maka Islam dan umat
Islam seharusnya mampu memenangkan pertarungan menjadi umat
terbaik tidak berada dalam dominasi dan posisi ketundukkan pada
ideologi kapitalisme ataupun sosialisme seperti dialami oleh umat
Islam semenjak beberapa abad semenjak lebih khusus lagi setelah
terjadinya revolusi industri abad 16 di negara Barat.
Dari gap antara realitas politik umat Islam dengan proposisi
yang ada dalam teks normatif kemudian dapat disusun suatu
pertanyaan mengapa umat Islam mengalami keterbelakangan,
kemunduran, kekalahan? Jawaban atas pertanyaan sentral ini dapat
dipandu dan diturunkan dari nilai-nilai normatif teks al Qur’an
dengan kombinasi dari data real dan fenomena sosial, politik
penyebab kemunduran dan keterbelakangan umat Islam. Persoalan
besar tadi dapat dirinci dalam pertanyaan yang lebih spesifik apa
penyebab kemunduran umat Islam? Apakah faktor pemahaman dan
kesadaran Islam yang lemah telah dipenetrasi oleh ideologi
kapitalisme dan sosialisme pada hampir seluruh aspek kehidupannya
sehingga pada kenyataanya umat Islam telah jauh dari Islam,
sehingga sebenarnya yang bertarung dalam realitas politik dan
ekonomi bukan lagi antara Islam dengan ideologi kapitalisme
ataupun sosialisme. Tetapi antara umat Islam yang tidak memiliki
ideologi dengan bangsa Barat yang sangat yakin dengan ideologi
kapitalisme yang sudah diperjuangkan semenjak abad pencerahan
dengan pengorbanan yang sangat besar baik tenaga, pikiran bahkan
nyawa. Ataukah kemunduran tersebut lebih karena faktor
instrumental karena umat Islam tidak menguasai ilmu dan teknologi.
Atau bahkan kelemahan umat Islam ada pada dua faktor itu
sekaligus yakni kelemahan pada pemahaman Islam yang sudah
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A

tercerabut dan banyak friksi serta tidak menguasai dan


menggenggam ilmu dan teknologi.
Dengan kata lain dapat dirumuskan bahwa kemunduran
politik umat Islam dalam persaingan secara makro adalah lebih
sebagai konsekuensi dari kelemahan pada penguasaan pemahaman
keislaman dan kesadaran sejarah dan instrumen. Maka langkah
perbaikan yang perlu dipertimbangkan adalah perbaikan pada kedua
aspek itu sekaligus. Pendalaman pada ajaran Islam tanpa menafikan
dan kemauan untuk belajar hal-hal yang bersifat instrumental dari
berkah kemajuan Barat.
Dalam konteks pemikiran yang makro ini maka kiranya dapat
dipahami mengapa sampai akhir hayatnya Kunto, tetap istiqomah
dengan pilihan strategi perjuangan umat Islam melalui jalur Islam
kultural beliau tidak terlalu memberikan rekomendasi pada umat
Islam untuk melakukan pilihan perjuangan melalui jalur struktural
atau yang lebih populer dikenal melalui jalur politik, Islam politik.
Dalam pandangan Kunto, sepanjang bacaan yang dapat
ditelusuri oleh peneliti, ada beberapa keterbatasan pilihan
perjuangan melalui jalur partai politik yaitu; 1. Pilihan perjuangan
melalui jalur partai politik membuka peluang untuk merusak
soliditas umat Islam karena terkotak-kotak dalam berbagai partai
dan friksi; 2. Pilihan perjuangan melalui partai politik akan
menggeser alokasi sumber daya umat tersedot ke politik dan
berpeluang menelantarkan pembinaan di bidang ekonomi,
pendidikan, kebudayaan, moral dll; 3. Pilihan melalui jalur partai
politik bisa mendorong munculnya pemikiran yang hanya berjangka
pendek-kerdil dan miskin dibanding pemikiran yang memiliki visi
jangka panjang; 4. Pilihan perjuangan melalui jalur politik tidak
dapat diandalkan untuk memberikan solusi pada persoalan komplek
yang dihadapi oleh umat Islam; 5. Pilihan perjuangan melalui jalur
politik dengan mengabaikan pembinaan aqidah, infrastruktur
intelektual umat sebagaimana dibuktikan oleh sejarah (kasus
dilarangnya partai Masyumi) tidak akan mencapai kesuksesan; 6.
Dalam sejarah modern belum ada bukti empiris yang meyakinkan
bahwa umat ini akan meraih kejayaan yang menyeluruh dengan
menggunakan partai politik sebagai instrumen perjuangan.

170
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A.

Muslim Negarawan: Lentera Kecil menuju Politik Profetik


Peneliti memiliki hipotesis bahwa spirit dari diskursus tentang
’Muslim Negarawan”, adalah untuk counter hegemoni, dari diskursus
’muslim bukan partisipan dari negara’, dan sebaliknya orang Islam
(komunitas Islam) memiliki hak yang sama dengan elemen bangsa
lainya untuk memakai predikat negarawan, yang disebut sebagai
’muslim itu negarawan’. Spirit tersebut dapat dibaca sebagai
standing position untuk melakukan ikhtiar dekonstruksi terhadap
diskursus yang selama ini sudah mapan. Diskursus yang diproduksi
oleh negara dan para aktor negara yang selama beberapa periode
berkempatan mengelola negara Indonesia.
Dari sisi positif standing position ini juga dapat dibaca bahwa
seorang muslim yang hidup di Indonesia memiliki niatan yang positif
untuk memberikan kontribusi demi kebaikan, kemajuan dan
kemaslatan bangsa Indonesia. Memberikan kontribusi ’amal sholeh’
bagi bangsa Indonesia adalah merupakan bagian yang tak
terpisahkan dari beramal sholeh bagi umat manusia, beramal sholeh
bagi kemaslatan bangsa Indonesia juga dalam kerangka kemaslatan
umat sebagaimana dianjurkan dan kompitable dengan missi
kenabian yakni menjadi ramhmat bagi seluruh ’alam.
Ikhtiar dan kerja-kerja intelektual untuk melakukan
pembongkaran terhadap diskursus yang sudah mapan, sangat
penting untuk memberikan payung intelektual bagi membuka
keterlibatan Muslim dalam menggunakan dan mengelola negara yang
bernama Indonesia. Basis argumentasi yang mapan bagi keterlibatan
dan hak moral orang Islam dalam menggunakan negara atau bekerja
dalam rangka negara sangat penting dan strategis. Hal tersebut
antara lain dikarenakan selama Indonesia berdiri ada semacam
diskursus yang tidak balance, tentang penggunaan kata negarawan,
seolah-olah bukan untuk para aktivis Islam, mengapa?
Dalam kontestasi antar ideologi yang hidup di suatu bangsa,
khususnya untuk konteks Indonesia dalam waktu yang panjang
demikian jika Islam diposisikan sebagai ideologi, sementara itu juga
ada idoelogi lain seperti nasionalisme, sosialisme, maka kemusliman-
keislaman seseorang sering kali menjadi barirer untuk tampil dalam
politik Indonesia.
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A

Ideologi Islam yang biasanya dipadankan dengan perjuangan


menegakkan syariah Islam (piagam Jakarta), yang diangkat oleh para
aktivis Islam khsusnya partai-partai Islam, seolah-olah menjadi
langkah untuk membentuk citra tidak berhak atau setidak-tidaknya
dipertanyakan jika para aktivisnya memakai sebutan negarawan.
Pendek kata Pintu syariah versus non syariah dalam wacana hampir
selalu dimenangkan oleh kelompok non syariah. Para aktivis yang
mengusung non syariah seolah lebih berhak menjadi negarawan.
Probelematika negara Islam? berkaitan dengan isu syariah
Islam, hal ini ada kaitannya dengan problematika Negara Islam. Yakni
dengan lebel negara Islam tidak serta merta ajaran Islam dan umat
Islam menjadi semakin berkualitas, jika Islam itu hanya dijadikan
sebagai komoditas saja. Maksudnya Islam hanya dijadikan sebagai
mobilisasi loyalitas umat dalam momen-momen politik.
Masuk pada pertanyaan mendasar yang menjadi tema sentral
diskusi menurut peneliti perlu dipertanyakan, Muslim negarawan
mungkinkah? Jawabannya adalah tidak. Mengapa tidak? Persoalanya
terletak pada sisi empiris politik di Indonesia, oleh berbagai
kekuatan politik yang ada, dijumpai suatu realitas politik yang
menyatakan kurang lebih bahwa Politik Islam selalu diperspesi
sebagai partisisan, faksional.
Pertanyaan berikutnya berkaitan dengan wacana peminggiran
politik Islam mengapa wacana -pengetahuan kolektif- masyarakat
Indonesia berpandangan bahwa Islam itu partisan kelompok tertentu
bukan aktor yang pantas mewakili negara. Sekiranya ada aktor dari
kalangan Islam yang mewakili negara atau masuk bekerja dalam
ranah negara tetap saja ada semacam gugatan atas kenegarawannya.
Tetap ada tanda tanya?
Hal tersebut antara lain dapat dijelaskan melalui struktur
pemaknaan politik Islam yang diposisikan hanya sebagai sub dari
politik negara, gambaran tersebut antara lain terlukiskan dalam buku
klasik karya Lance Caslte dan Herbet Fieth, “Pemikiran Politik
Indonesia”, dan karya –karya para sarjana lain yang datang
sesudahnya, berbeda dengan pandangan komunitas Muslim dalam
banyak pengajian yang berkeyakinan ‘Islam kaffaah’ fakta
emperisnya belum sejalan dengan keyakinan umat Islam.

172
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A.

Padahal sebagaimana diketahui wacana itu merupakan


software untuk menggiring perilaku konkrit. Hal tersebut didukung
oleh adanya kenyataan banyak orang merasa tidak bersalah
memiliki pandangan atau setuju dengan pandangan bahwa politik
Islam adalah sub dari institusi lain, itu bukti bahwa wacana
mengendalikan perilaku.
Warisan sekulerisme hadir di Indonesia dan mengkerangkai
cara berfikir kita tentang negara. Bukti adanya kekuatan sekularisme
dapat dilacak pada adanya kenyataan terjadinya ketegangan Islam
dan nasionalis pada tahun 1950-an yang efeknya masih terasa
sampai hari-hari ini. Dalam kontestasi ini ternyata Umat Islam tidak
bisa mengendalikan frame yang digunakan untuk mengarahkan
masyarakat Indonesia, khususnya para elitnya.
Dengan demikian tidak salah kiranya jika dinyatakan bahwa
Muslim negarawan itu merupakan perjuangan pada arus lunak
(software) untuk perjuangan di arah lain, seperti ekonomi, politik,
kebudayaan, dan aspek-aspek kehidupan lainnya. Jika umat Islam
tidak berhasil membongkar hegemoni pemikiran – diskursus yang
selama ini bercokol dalam benak pemikiran masyarakat Indonesia
maka keberhasilan perjuangan pada aspek lainya menjadi sempit
peluang keberhasilannya. Dalam jangka panjang ketika secara
akumulatif diskurusus politik kenegaraan tertutup bagi peran-peran
aktivis Muslim, maka tinggal soal waktu peran–peran secara real
dalam politik kenegaraan akan tertutup.
Bagaimana cara membongkarnya? Pembongkarannya dapat
dirunut dengan membaca ulang secara kritis bahwa kehadiran
negara kebangsaan ’nation state’ yang pada saat nanti menjadi
pijakan–lapangan bermain (kompetisi) antara berbagai aktor yang
menisbahkan dirinya dengan negara, dalam kehidupan politik
modern dikerangkai dengan tatanan sosial yang disebut demokrasi.
Dengan kata lain pintu masuk untuk bisa menggunakan instrumen
negara secara syah adalah hanya melalui tatanan demokrasi (the only
game in town).
Dalam frame nation state yang dirangkai dengan tatanan
demokratis, peluang pintu masuk untuk menggunakan instrumen
negara bagi berbagai kelompok masyarakat, termasuk masyarakat
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A

Islam adalah melalui partai politik. Tidak banyak tersedia pilihan lain
kecuali lewat partai politik. Disinilah titik persoalan dan dilema mulai
ditemukan. Mengapa? Yakni karena muslim harus melewati pintu
partai, dalam memasuki ranah negara, oleh karenanya menjadi
berpeluang dan diberi cap partisan.Tidak merupakan wakil seluruh
warga bangsa dan karena hal tersebut menjadi banyak kendala untuk
lahir menjadi Muslim negarawan dari kalangan aktivis Partai Islam di
Indonesia.
Menghadapi kondisi yang kompleks ini, kita perlu bertanya masih
adakah secercah harapan untuk memulai langkah-langkah
dekonstruksi? Dalam pandangan peneliti sebenarnya dalam sejarah
gerakan Islam di Indonesia cukup tersedia eksperimen yang bisa
menjadi inspirasi untuk melakukan dekonstruksi hegemoni yang
meminggirkan Islam. Eksperimen yang dimaksud adalah adanya
strategi gerakan dakwah politik kultural yang lebih populer dengan
istilah kembali ke khittah NU 26. Dalam konteks pembahasan ini
gerakan kembali ke khitah 26 dapat dibaca sebagaih benih-benih
pemikiran agar keislaman seseorang tidak menjadi barrier untuk
menjadi negarawan di Indonesia (Islam subtansial). Demikian juga
langkah yang sama dilakukan oleh Muhammadiyah dengan kembali
ke khittoh 1971, serta gerak Dewan Dakwah Indonesia pada era
pemerintahan Orba dalam batas tertentu dapat dibaca sebagai untuk
melakukan dekonstruksi hegemoni yang memonopoli pengelolaan
negara untuk kelompok tertentu.
Mempertimbangkan dilema dan kompleksitas persoalan yang
dihadapi oleh umat Islam mungkin bermanfaat untuk
dipertimbangkan suatu pandangan bahwa Keislaman itu tidak harus
dinilai dari syariah, tetapi keislaman itu dapat dimulai dari sisi
akhlak, yang kemudian menjadi kenyataan sosiologis, menjadi
perilaku masyarakat yang kemudian pada tahapannya menjadi
norma, lembaga, dan sruktur sosial, ekonomi dan harus diakomodasi
dalam berbagai kebijakan negara.
Partai-partai Islam seperti halnya PKS, PPP dan lain lain berada
dalam posisi unik karena pada satu sisi masuk wilayah partai siap
untuk dicap sektarian tetapi inline untuk menjadi negarawan, dengan
demikian tingkat kesulitan yang dihadapinya menjadi lebih rumit.

174
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A.

Pintu masuk ke wilayah negara bisa melalui organisasional (semisal


partai, ormas) dengan demikian kehadirannya dalam ranah negara
bukan hanya kebetulan tetapi by design, dengan segala perlengkapan
intelektual yang dibutuhkan.
Dalam konteks ini maka kaderisasi pemimpin perlu dilakukan
dengan dua wajah, yakni melalui partai, agar tahu medan politik
(keakuan) sebagai kelompok umat. Tetapi juga pada saat lain
menduduki jabatan simbolik sebagai representasi negara, supaya
muncul ’kepenelitian’ keindonesiaan? Apakah partai partai Islam
(PKS, PPP, PBB) dan lainnya sudah melakukan pengkaderan model
itu.
Perlu disadari bahwa negara yang demokratis tidak akan
terwujud jika setiap faksi behenti dan selesai pada berfikir model
faksi ”keakuan” saja, melupakan berfikir kepenelitian. Memperkuat
pernyataan diatas dapat disemak bahwa agenda reformasi yang telah
dikumandangkan menjadi berceceran karena hampir setiap orang
berfikir keakuan saja (banyak orang membuat partai hanya dalam
kerangka keakuan kelompoknya saja) dan ini cermin miskinnya
negarawanan di Indonesia. Kecenderungan praktek politik sekarang
lebih banyak memperagakan pintu politik yang faksionalis
Bagaimana dengan aktor politik yang disebut ’tentara’. Tentara
dilihat dari historisnya itu berasal dari gerakan rakyat. Oleh
karenanya TNI legitimet berpolitik atas nama negara, tetapi ketika
berpolitik berubah menjadi faksi yang menyusup melalui DPR pada
jaman Orde Baru. Dan baru pada era reformasi sampai sekarang
kembali ke barak. Di era pasca reformasi kalau kembali berpolitik
tentara berpolitik dengan politik ”negara”. Patut dicermati pula
bahwa ada sinyalemen bahwa tentara seolah -olah membagi peran
yakni pensiunan masuk politik sebagai katup pengaman, jika terjadi
perkembangan yang tidak dikehendaki tentara sudah ada yang
berada dalam wilayah politik. Terkait dengan peran sentral tentara
pelu dicermati ulang bahwa tawaran format menjadi negarawan ala
Orde Baru, yang berlangsung sekitar 30 tahun adalah bukan melalui
partai. Akan tetapi dengan cara melumpuhkan partai. Seakan
memperagakan bahwa keutuhan Indonesia dikelola oleh tentara
melalui lembaga yang zatnya partai tetapi namanya bukan partai.
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A

Karena tatanan seperti itu tidak diterima secara luas maka tentara
diminta kembali kebarak, tentara profesional tapi juga menghadapi
masalah baru tidak punya anggaran.
Bagaimana negarawan secara real dapat berada dalam politik
Indonesia? Kiranya dapat dinyatakan bahwa negarawan tidak bisa
lepas dari politik. Siapapun yang akan menjadi negarawan harus
mampu mengarungi medan politik. Sampai sejauh ini Muslim belum
bisa menjadi icon negarawan, karena terjebak politik identitas,
politik muslim, dipertontonkan lebih untuk menggalang mobilitas
loyalitas secara periodik untuk kursi, politik muslim terseret
loyalitas kelompok, tidak menggarap nilai substansi Islam, termasuk
politik identitas negara Islam.
Muslim negarawan adalah muslim yang mengelola negara
dengan akhlak Islam. Dalam konteks berfikir negara maka
mensubsidi orang miksin melalui birokrasi, melalui data based yang
jelas, melalui anggaran, yang kemudian hadir dalam kebijakan, serta
standar operasional. Orang bisa menjadi Indonesia (nasionalis,
negarawan) dan menjadi muslim yang baik. Kecuali ada eksepsi
dalam hal aqidah.
Birokrasi selama ini belum bekerja untuk menjadi instrumen
negara, begitupun Muslim, belum menjadi orang Islam yang
negarawan. Kalau ada isntrumen negara untuk menjalankan
kebijakan untuk membela orang Miskin dan sejenisnya maka hal itu
merupakan hal yang selaras dengan nilai-nilai Islam. Kemudian
berujung pada kebijakan publik, tidak disadari oleh partai.
Seharusnya materi pengkaderan partai menuju kepada keadaan di
mana birokrasi menjadi inrtumen bagi pembela orang miskin. Negara
bisa menjadi instrumen. Bisa di nilai dengan nilai-nilai apapun. Hal
teresebut menjadi mungkin jika aktivis partai juga nenjadi social
movement dan motor sosial movement bisa dari kalangan partai,
betapa indahnya negeri ini kalau menjadi penggerak memproduk
nilai.
Ada kerangka advanted politik dan penguatan negara. Dengan
merujuk pada pespektif diatas kiranya perlu disadari bahwa Negara
Islam bisa terjatuh pada perilaku membajak negara untuk
kepentingan Islam, tetapi kalau akhlak Islam ada lebih dahulu

176
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A.

sebagai referensi sosiologis baru dibuat pasalnya, selama ini sering


kali diberi nama dulu sementara itu secara sosiologis belum ada.
Di satu sisi ada nilai nilai konsep yang abstrak, disisi yang lain
ada kenyataan bahwa kepemimpinan yang diterima adalah
kepemimpinan intelektual leadership, karena itu perlu ada prosedur
yang dibakukan, diopersionalkan. Islam menjadi manifest
sebagaimana negara, tetapi tidak harus diberi label Islam. Contoh
tentang anggaran. Sebagai kholifah, para aktivis Islam maka
membuat anggaran negara yang memihak kaum dhu’afa, menjaga
lingkungan, yang perlu dijabarkan dalam operasiosalisasi di
birokrasi. Untuk keperluan itu maka analisis dampak lingkungan
perlu dipertimbangkan menjadi materi pengkaderan.
Pada akhir analisis ini kiranya perlu ditegaskan pernyataan
bahwa Teologi Islam menjadi referensi dan negara menjadi
instrumen untuk menwujudkan, negara bukan untuk sekedar
diduduki. Agenda tersebut kalaupun tidak langsung dilakukan oleh
partai, tetapi bisa menjadi supporting agenda setting. Siapa
aktornya, apakah dosen ataukah mejelis syuro, terbuka banyak
pilihan.
Simpulan mewujudkan muslim negarawan merupakan agenda
yang perlu dikawal kedepan. Cara mengawal dengan mempraktikkan
hal-hal yang bisa diwujudkan, mengakutualkan ajaran Islam secara
kontekstual. Supaya kenegarawan Muslim terus bisa dipertahankan
maka yang dilakukan bukan hanya mendudukan tokoh Islam tetapi
reproduksi wacana Islam yang operasional, semua itu bisa terwujud
jika menyepakati framework intelektual leadership, bukan merujuk
pada orang tetapi dipimpin oleh ide intelektualitas.
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A

Bab 7

Biografi Selo Sumardjan


Selo Sumardjan dikenal dikalangan akademik dan masyara-kat
di Indonesia sebagai bapak Sosiologi, ilmu yang digelutinya sejak
beliau menempuh pendidikan tingginya untuk memperoleh gelar
doktor. Thesis beliau yang berjudul social change in Jogjakarta,
menjadi salah satu puncak pencapaian beliau yang melahirkan gelar
sebagai professor dengan arus utama sosiologi. Tidak banyak yang
mengenal pribadi beliau, sehingga perlu kiranya di bagian pertama
kupasan tentang Selo Sumardjan dan perubahan sosial, peneliti
ungkapkan sosok seorang bapak sosiologi Indonesia.
Selo Sumardjan lahir di Yogyakarta, 23 Mei 1915, merupakan
pendiri sekaligus dekan pertama Fakultas Ilmu Pengetahuan
Kemasyarakatan (kini FISIP-UI) dan sampai akhir hayatnya dengan
setia menjadi dosen sosiologi di Fakultas Hukum Universitas
Indonesia (UI).
Nama Selo Soemardjan selalu melekat dengan sosiologi. Ilmu
itu sebenarnya baru benar-benar ditekuni pada saat usianya sudah di
atas empat puluh tahun, yaitu ketika ia pada tahun 1956 memperoleh
kesempatan menuntut ilmu di Cornell University, Amerika Serikat. Di
sinilah bekas camat lulusan Mosvia (tingkat SLTA) ini menunjukkan
kehebatannya. Hanya dalam kurun waktu kurang dari empat tahun
beliau boleh pulang ke tanah air dengan menyandang gelar Ph.D. di
bidang sosiologi. Disertasinya “Social Changes in Jogyakarta” pun
dibukukan dan banyak menjadi acuan sarjana luar negeri yang
menulis tentang perubahan sosial di Indonesia pascakemerdekaan
(Santoso, 2010)

178
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A.

Selama hidupnya, Selo pernah berkarier sebagai pegawai


Kesultanan/Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta, Kepala Staf
Sipil Gubernur Militer Jakarta Raya, dan Kepala Sekretariat Staf
Keamanan Kabinet Perdana Menteri, Kepala Biro III Sekretariat
Negara merangkap Sekretaris Umum Badan Pemeriksa Keuangan,
Sekretaris Wakil Presiden RI Sultan Hamengku Buwono IX (1973-
1978), Asisten Wakil Presiden Urusan Kesejahteraan Rakyat (1978-
1983) dan staf ahli Presiden HM Soeharto. Ia dikenal sebagai Bapak
Sosiologi Indonesia setelah tahun 1959 seusai meraih gelar
doktornya di Cornell University, AS, dan mengajar sosiologi di
Universitas Indonesia (UI). Dialah pendiri sekaligus dekan pertama
(10 tahun) Fakultas Ilmu Pengetahuan Kemasyarakatan (sekarang
FISIP) UI. Kemudian tanggal 17 Agustus 1994, ia menerima Bintang
Mahaputra Utama dari pemerintah dan pada tanggal 30 Agustus
1994 menerima gelar ilmuwan utama sosiologi.
Selo Sumardjan dibesarkan di lingkungan abdi dalem
Kasultanan Yogyakarta Hadiningrat. Kakeknya, Kanjeng Raden
Tumenggung Padmonegoro, adalah pejabat tinggi di kantor
Kasultanan Yogyakarta. Berkat jasa sang kakek, Soemardjan- begitu
nama aslinya- mendapat pendidikan Belanda. Nama Selo dia peroleh
setelah menjadi camat di Kabupaten Kulonprogo. Ini memang cara
khusus Sultan Yogyakarta membedakan nama pejabat sesuai
daerahnya masing-masing. Saat menjabat camat inilah ia merasa
mengawali kariernya sebagai sosiolog. Pengalamannya sebagai
camat membuat Selo menjadi peneliti yang mampu menyodorkan
alternatif pemecahan berbagai persoalan sosial secara jitu. Ini pula
yang membedakan Selo dengan peneliti lain. http://www.toko-
hindonesia.com/biografi/article/285-ensiklopedi/2296-bapak-
sosiologi-indonesia
Pada masa hidupnya, beliau dikenal sebagai orang yang tidak
suka memerintah, tetapi memberi teladan. Hidupnya lurus, bersih,
dan sederhana. Beliau juga seorang dari sedikit orang yang sangat
pantas menyerukan hentikan praktik korupsi, kolusi dan nepotisme
(KKN). Pantas karena ia bukan tipe maling teriak maling. Ia orang
orang bersih yang dengan perangkat ilmu dan keteladanannya bisa
menunjukkan bahwa praktik KKN itu merusak tatanan sosial. Ia
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A

pantas menjadi teladan kaum birokrat karena etos kerjanya yang


tinggi dalam mengabdi kepada masyarakat. http://arsip.infoakade-
mika.com/profil-akademisi/07/prof.-dr.-selo-soemardjan.html

Perubahan Sosial di Yogyakarta


Pemikiran utama dari Selo Sumardjan bersumber dari karya
beliau yang dibukukan dengan judul “Perubahan Sosial di
Yogyakarta”. Buku ini mengkaji dan menjelaskan perubahan sosial
masyarakat Jawa di Yogyakarta. Perubahan sosial yang dikupas di
buku ini tidak melihat pada proses perubahan masyarakat yang
diakibatkan oleh berbagai proses perkembangan biologis, seperti
pertumbuhan penduduk dan pergantian generasi. Perubahan sosial
yang digagas Selo Sumardjan justru berfokus pada perubahan di
dalam lembaga-lembaga masyarakat yang mempengaruhi sistem
sosial, yang di dalamnya termasuk nilai, norma, sikap dan tingkah
laku. Selo Sumardjan memusatkan studinya tentang perubahan sosial
di lembaga-lembaga politik yang ada di Daerah Istimewa Yogyakarta,
pada kurun waktu masa penjajahan Belanda (1775-1942), masa
pendudukan Jepang (1942-1945) dan perjuangan kemerdekaan
nasional yang berlangsung selama empat tahun.
Perubahan-perubahan dalam tata pemerintahan DIY dari
tingkat atas hingga tingkat pedesaan dilaksanakan oleh penguasa
daerah, yaitu sultan. Sultan Hamengkubuwono IX mendahului
kebijakan desentralisasi yang diharapkan dari pemerintah nasional
Indonesia. Perubahan yang sama itu terjadi pada lembaga-lembaga
ekonomi, pendidikan serta dalam sistem kelas di masyarakat.
Perubahan sosial di Yogyakarta menarik karena Yogyakarta
memiliki subkultur yang berbeda dengan masyarakat Jawa lainnya
dimana Yogyakarta merupakan daerah swaparaja (Kesultanan) yang
tetap mempertahankan banyak tatanan feodal (Sumardjan, 2009).
Menurut Sunyoto Usman (Gunawan, 2010), faktor penting dalam
perubahan masyarakat Jawa terutama di Yogyakarta adalah ideologi
politik. Ideologi politik dalam perspektif sosiologi bisa dilihat dari 2
hal. Pertama, status dan peran masyarakat sipil dalam hubungannya
dengan negara, dari dalam posisi subordinasi (didominasi,
diabaikan) dalam proses perumusan dan eksekusi keputusan yang

180
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A.

menyangkut kepentingan publik, menjadi lebih melembagakan


kompetisi sehat, transparansi, dan partisipasi. Kedua, status dan
peran lembaga-lembaga pemerintahan, dari yang sangat sentralistik
dan otokratis menjadi pemerintahan yang didesentralistik dan
demokratis. Ideologi politik semacam ini bukan sekedar sebuah
mekanisme bagaimana meraih, mengembangkan dan mempertahan-
kan kekuasaan, tetapi lebih daripada itu adalah niat luhur yang
menghargai harkat dan martabat manusia.
Tidak seperti revolusi sosial di Perancis yang digerakkan oleh
kaum intelektual bersama rakyat yang tertindas untuk
menggulingkan kekuasaan raja yang absolut, perubahan sosial di
Yogyakarta malah digerakkan oleh pucuk pimpinan dan pemilik
kekuasaan itu sendiri yakni Raja Yogyakarta, Sri Sultan
Hamengkubuwono IX. Sehingga para bangsawan dan rakyat secara
keseluruhan melihat perubahan yang digulirkan oleh sang Raja
sebagai keharusan yang mesti dijalani untuk perbaikan ke depan.
Maka perubahan yang terjadi disertai tanpa gejolak yang berarti,
meskipun membongkar sebagian sendi-sendi kehidupan masyarakat.
Perubahan sosial yang mengedepankan nilai-nilai harmoni
telah berhasil membawa perubahan tanpa berdarah-darah. Namun,
saat ini perubahan sosial yang terjadi pada masyarakat kita
cenderung mengabaikan nilai-nilai harmonisasi ini. Produk politik
yang memberlakukan pemilihan kepala daerah, presiden dan wakil
presiden melalui pemilihan langsung telah membelah masyarakat
pada kandidat-kandidat yang bertarung. Segmentasi yang terjadi
terus meruncing dalam kampanye-kampanye negatif, saling
menjatuhkan. Maka upaya perangkulan (koalisi) setelah pemilihan
menjadi sia-sia, karena pendukung masing-masing kandidat sudah
membawa alam bawah sadar kebencian satu sama lain.
Sri Sultan Hamengkubuwono IX memposisi diri sebagai
pelopor sekaligus fasilitator. Ia tidak memaksakan ide-idenya
diterima sepenuhnya oleh masyarakat. Sultan memberikan jalan dan
dukungan teknis, dan menyerahkan sepenuhnya gerak perubahan itu
kepada rakyat.
Sri Sultan Hamengkubuwono IX adalah raja yang membuka
sekat-sekat ketat kraton yang begitu sakral. Dengan berani Sultan
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A

menjadikan kraton sebagai ruang publik yang bisa diakses siapapun


untuk kepentingan bersama. Sejarah UGM menggambarkan
keterbukaan itu. Bagaimana di awal-awal pendirianya, UGM memakai
beberapa ruang di kraton untuk kegiatan kuliah. Kita tidak melihat
keterbukaan seperti ini pada kesultanan-kesultanan lain yang ada di
Indonesia.

Konsep Perubahan Sosial Selo Sumardjan


Perubahan sosial yang merupakan pemikiran dari Selo
Sumardjan merupakan bagian dari ilmu sosiologi yang mencoba
memotret dinamika sosial masyarakat. Perubahan sosial dalam
konsep pemikiran Selo Sumardjan adalah perubahan-perubahan
pada lembaga-lembaga masyarakat yang mempengaruhi sistem
sosialnya, termasuk nilai-nilai sosial, sikap dan pola tingkah laku
antar kelompok dalam masyarakat.
Perubahan sosial disini berasal dari perubahan-perubahan
ideology politik dalam masyarakat Jawa terutama di Yogyakarta.
Untuk mendalami proses perubahan sosial perlu mengetahui siapa
pelopor perubahan (agent of change). Pelopor perubahan adalah
seseorang atau sekelompok orang yang dipercayai oleh masyarakat
sebagai pemimpin dalam salah satu atau beberapa lembaga sosial.
Kelompok ini berkontribusi untuk menetapkan kaidah sistem sosial
baru atau yang diperbarui.
Dalam karya Selo Sumardjan, (2009) perubahan politik dan
pemerintahan di Yogyakarta diprakarsai oleh Sultan Hamengkubu-
wono atau oleh pemerintah propinsi di bawahnya. Dalam konteks ini
perubahan sosial memunculkan dua aspek penting tentang dugaan
bahwa perubahan sosial ini disengaja atau tidak disengaja.
Perubahan sosial yang disengaja adalah perubahan yang telah
diketahui dan direncanakan sebelumnya oleh anggota masyarakat
yang berperan sebagai pelopor perubahan. Adapun perubahan yang
tidak disengaja adalah perubahan yang terjadi tanpa diketahui atau
direncanakan sebelumnya oleh anggota masyarakat. Dalam
perubahan sosial di Yogyakarta, perubahan sosial yang disengaja
adalah perubahan pemerintahan, sedangkan perubahan yang tidak
disengaja adalah pola semakin kuatnya masyarakat padukuhan,

182
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A.

termasuk pula hilangnya kaum bangsawan secara berangsur-angsur


dari kedudukan kelas atas dalam masyarakat.
Perubahan ini yang disengaja di dalam proses pemerintahan
dimulai dari yang sangat sentralisir dan otokratis menjadi
pemerintahan yang didesentralisir dan demokratis. Menurut Selo
Sumardjan (2009), pada tahun 1957 pemerintah propinsi
mengeluarkan keputusan untuk memberi para pemilik tanah di
pedesaan hak waris dalam memiliki tanah. Keputusan ini tidak lebih
dari suatu keberlanjutan logis dari perubahan yang disengaja yaitu
untuk memberi kaum tani hak waris untuk menggarap sawah.
Perubahan ini mendorong demokratisasi dan meningkatkan
kesejahteraan masyarakat. Dengan kata lain, pemikiran ini justru
bersumber dari permasalahan di masyarakat akibat kurangnya hak
atas tanah yang kemudian diselesaikan melalui pemikiran yang
demokratis dan kontekstual pad masanya.
Konteks tersebut diatas sebenarnya merupakan gagasan yang
sangat tepat yang pada awal tahun 2000, pada era reformasi
diterapkan di Indonesia dalam bentuk otonomi daerah, dimana tiap-
tiap daerah memiliki kemungkinan porsi untuk pengelolaan yang
lebih mandiri. Harapannya dengan otonomi daerah, proses
pemerintahan akan lebih dekat ke rakyat dengan hasil kesejahteraan
rakyat akan meningkat karena hasil bumi yang ada di suatu wilayah
akan diolah dan digunakan untuk kemakmuran rakyat.
Pemikiran ini menunjukkan bahwa demokrasi sebenarnya
sudah ada dalam pikiran Selo Sumardjan dan berasal dari kearifan
lokal seorang raja di Yogyakarta yang mendorong perubahan sosial
di tataran masyarakat yang hasilnya luar biasa bagi perkembangan
dan dinamika masyarakat khususnya di Yogyakarta.
Proses perubahan sosial yang terjadi di Yogyakarta, ketika itu
memunculkan dalil-dalil umum yang merupakan karakteristik
perubahan sosial (Sumardjan, 2009:453-486) sebagai berikut:
1. Kalau ada rangsangan yang cukup kuat untuk mengatasi
hambatan-hambatan yang merintangi tahap permulaan proses
perubahan, maka hasrat akan perubahan sosial bisa berubah
menjadi tindakan untuk mengubah.
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A

2. Orang-orang yang mengalami tekanan kuat dari luar cenderung


mengalihkan agresi balasan mereka dari sumber tekanan yang
sebenarnya ke sasaran-sasaran materiil yang ada sangkut
pautnya dengan sumber itu.
3. Rakyat yang tertekan oleh kekuatan luar cenderung untuk
berkerjasama dengan kekuatan luar, tetapi hanya untuk
mempertahankan ketentraman jiwa mereka.
4. Orang-orang yang tertekan cenderung untuk menjadi lebih
agresif. Hal ini disebabkan mereka semakin menyadari adanya
kesenjangan antara keadaan hidup sekarang dengan keadaan
yang diinginkan.
5. Proses perubahan social di kalangan para pelopor-pelopornya
bermula dari pemikiran ke sesuatu di luar (eksternal). Di
kalangan para warga masyarakat lainnya, proses itu berlangsung
dari sesuatu di luar (eksternal) ke sesuatu yang bersifat
kelembagaan.
6. Harta kekayaan yang diinginkan, tetapi tidak bisa lagi diperoleh
karena jalan itu tertutup oleh kekuatan-kekuatan luar sehingga
telah kehilangan nilai sosialnya oleh rasionalisasi. Dalam hal
yang ekstrim, harta kekayaan itu tidak dihargai
7. Rakyat menolak perubahan karena berbagai alasan, antara lain:
a. Mereka tak memahaminya,
b. Perubahan itu bertentangan dengan nilai-nilai serta norma-
norma yang ada,
c. Para anggota masyarakat yang berkepentingan dengan
keadaan yang ada (vested interest) cukup kuat menolak
perubahan,
d. Resiko yang terkandung dalam perubahan itu lebih besar dari
pada jaminan sosial dan ekonomi yang bisa diusahakan,
e. Pelopor perubahan ditolak,
8. Perubahan-perubahan yang tidak merata pada berbagai sektor
kebudayaan masyarakat cenderung menimbulkan ketegangan-
ketegangan yang mengganggu keseimbangan sosial,
9. Dalam proses perubahan social, kebiasaan-kebiasaan lama
dipertahankan dan diterapkan pada inovasi sehingga tiba

184
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A.

saatnya kebiasaan-kebiasaan baru yang lebih menguntungkan


menggantikan yang lama,
10. Kalau rakyat terus menerus tidak diberi kesempatan untuk
memuaskan kebutuhan-kebutuhan sosialnya, mereka cenderung
beralih merenungkan hal bukan keduniawian untuk
mendapatkan ketentraman jiwa. Dalam hal sebaliknya, mereka
cenderung untuk menjadi lebih sekuler dalam sistem
kepercayaannya,
11. Suatu perubahan sosial yang diprakarsai dan dilaksanakan oleh
pelopor yang berlawanan dengan kepentingan-kepentingan
pribadi (vested interests) cenderung untuk berhasil,
12. Perubahan yang dimulai dengan pertukaran pikiran secara
bebas diantara para warga masyarakat yang terlibat, cenderung
mencapai sukses yang lebih lama daripada perubahan yang
dipaksakan dengan dekrit pada mereka,
13. Perubahan dari sistem kelas tertutup ke kelas terbuka akan
disertai dengan perubahan dari sistem komunikasi vertical satu
arah ke arah sistem komunikasi vertikal dua arah,
14. Perubahan dari sistem kelas tertutup ke kelas terbuka
cenderung untuk mengalihkan orientasi rakyat dari tradisi.
Maka, mereka menjadi lebih mudah menerima perubahan-
perubahan yang lainnya,
15. Semakin lama dan semakin berat penderitaan yang telah dialami
oleh rakyat karena berbagai ketegangan psikologis dan frustasi,
maka semakin tersebar luas dan cepat kecenderungan
perubahan yang akan menuju pada kelegaan.
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A

Bab 8

Pendahuluan
Tulisan ini membahas bografi dan pemikiran Mansur Fakih
tentang globalisasi dalam paradigma pembangunan developmental-
isme, aktivisme sosial di Indonesia dan analisis gender sebagai alat
perubahan (transformasi) sosial. Membahas biografi dan pemikiran
Mansur Fakih merupakan hal yang signifikan untuk memahami
bagaimana konteks luas paradigma pembangunan developmental-
isme Indonesia yang secara massif dimulai sejak masa Orde Baru,
dan bagaimana efek paradigma developmentalisme Indonesia
tersebut berdampak terutama terhadap perempuan dari kelompok
masyarakat dengan ekonomi rendah.
Berbeda dengan kaum intelektual Indonesia kebanyakan yang
cenderung untuk berada di menara gading tanpa terlibat dengan
problem real masyarakat akar rumput, Mansur Fakih memilih untuk
menjadi seorang intelektual organik. Mengadopsi istilah Gramsci
tentang intelektualisme organik, Mansur Fakih (2002) mendefinisi-
kan intelektual organik sebagai seorang intelektual yang lahir dan
tumbuh tidak hanya dalam kemegahan menara gading dunia
akademis dan ilmiah, melainkan juga di dalam alam nyata komunitas
akar rumput. Kaum intelektual organik memahami kondisi dan
kebutuhan real masyarakat di mana ia tumbuh, dan menghasilkan
ilmu pengetahuan yang mengakar dan benar-benar ditujukan untuk
meningkatkan kesejahteraan hidup masyarakat. Sepanjang hidupnya,
Mansur Fakih mendedikasikan pengetahuan, pengalaman dan
aktivisme sosialnya dalam dan untuk kelompok-kelompok marginal

186
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A.

di Indonesia demi terciptanya Indonesia yang berkeadilan baik


dalam bidang sosial maupun ekonomi.
Tulisan dalam bab ini terbagi menjadi dua bagian. Bagian
pertama membahas biografi singkat Mansur Fakih sekaligus
menggambarkan kehidupan Mansur Fakih sebagai seorang intelek-
tual dan aktivis gerakan sosial Indonesia. Bagian kedua membahas
pandangan Mansur Fakih terhadap ekonomi dan pembangunan, serta
kaitannya dengan globalisasi dan neoliberalisme, transformasi sosial
melalui pendidikan yang menyadarkan, dan analisis gender sebagai
salah satu alat untuk menganalisis ketidakadilan ekonomi global.

Biografi Singkat Mansur Fakih 1953 – 2004


Mansur Fakih dilahirkan di desa Ngawi, Bojonegoro, Jawa
Timur. Ia merupakan anak tertua dari Sembilan bersaudara. Ayahnya
bernama Mansur bin Yahya dan ibunya bernama Siti Maryam binti
Imam Fakih. Mansur Fakih menikah dengan Nena Lam’anah dan dari
pernikahan tersebut ia memiliki dua orang anak laki-laki.
Karir akademis Mansur Fakih dimulai sejak ia diterima menjadi
seorang mahasiswa di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah yang dulu dikenal sebagai Institut Agama Islam
Indonesia (IAIN). Ia belajar di fakultas Ushuluddin dan menyelesai-
kan kuliah sarjana pada 1979. Pada tahun 1970-an, diskursus
pemikiran Islam Indonesia didominasi oleh ide modernisasi Islam,
dan IAIN Syarif Hidyatullah dengan rektornya, Harun Nasution pada
saat itu aktif menyebarkan ide modernisasi Islam ini dalam tradisi
pemikiran Islam Indonesia. Diantara teman-teman angkatan Mansur
Fakih pada saat itu adalah Azyumardi Azra dan Komaruddin Hidayat,
yang mana keduanya dikenal sebagai ilmuan muslim Indonesia.
Berbeda dengan mayoritas koleganya yang saat itu bergabung
dengan diskursus dan gerakan politik Islam, Mansur Fakih lebih
tertarik untuk memfokuskan diri pada proses dan perkembangan
pendidikan di Indonesia. Pada tahun 1990 Mansur Fakih
mendapatkan gelar Master Pendidikan dan Perubahan Sosial (M.Ed.
in Education and Social Change) dari University of Massachusetts.
Kemudian pada tahun 1994, ia menyelesaikan pendidikan doktor
dari universitas yang sama. Dalam menyelesaikan pendidikan
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A

doktornya, Mansur Fakih menggunakan pengalaman aktivisme


sosialnya di Indonesia untuk membangun sebuah teori dan kritik
terhadap studi pembangunan.
Pemikiran-pemikiran Mansur Fakih dikategorikan sebagai
pedagogi kritis Freire versi Indonesia karena ia menggunakan
metodologi pendidikan kritis dalam pemikiran dan aktivisme
sosialnya. Selain itu, ia juga mengintegrasikan ide aktivisme sosial
dengan alam ideal teorisasi akademis. Melalui pendekatan ini,
Mansur Fakih membangun tradisi intelektual organik di antara
aktivis gerakan sosial dan ilmuan Indonesia. Salah satu falsafah hidup
Mansur Fakih adalah “idealism tanpa ilmu kosong, ilmu tanpa idealism
mubadzir”. Filsafat hidup ini membawa Mansur Fakih kepada
pengembangan pendidikan popular sebagai salah satu fokus
aktivisme sosialnya setelah menyelesaikan program doktoral.
Selama mengikuti training di program doktoralnya, pemikiran
Mansur Fakih diperdalam dengan ide-ide Antonio Gramsci dan teori-
teori gerakan feminisme. Diantara professor pembimbingnya di
University of Massachusetts adalah Arturo Escobar, seorang
antropolog Amerika Latin yang mengembangkan teori dependensi
melalui ide-idenya yang didasarkan kepada kasus kemiskinan dan
ketertinggalan pembangunan di Amerika Latin. Meskipun demikian,
Mansur Fakih menganggap pandangan Escobar terlalu diwarnai oleh
analisis Marxian klasik yang bersifat struktural dan deterministik
sehingga Mansur lebih mengembangkan alternatif pemikiran dan
kritik pembangunan melalui diskusi-diskusinya tentang isu-isu
gender bersama mahasiswa doktoral lainnya, William Smith, murid
langsung Paulo Freire yang berhasil mengembangkan praktek
pedagogi pembebasan ala Freire (Markoes, etal. 2004).
Pada tahun 1994, bersama dengan teman-temannya termasuk
Roem Topatimasang, Zumrotin K. Susilo, Wardah Hafidz, dan lain
lain, Mansur Fakih mendirikan Resource Management and
Development Consultants (REMDEC) di Jakarta. Organisasi ini
ditujukan untuk memfasilitasi capacity building untuk lembaga
swadaya masyarakat atau LSM dan organisasi komunitas. Sebelum
dan khususnya pada tahun 1997, rezim Suharto bereaksi secara
agresif terhadap berbagai bentuk aktivisme sosial di Indonesia yang

188
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A.

dianggap berani memberontak serta mengancam kestabilan


kekuasaan dan keamanan nasional. Dengan kondisi demikian,
dibawah pengawasan Orde Baru, REMDEC, organisasi yang didirikan
Mansur Fakih bersama teman-temannya tidak dapat beroperasi
maksimal seperti yang telah dicita-citakan. Berdasarkan dari hasil
diskusi panjangnya dengan Roem Topatimasang atas masalah ini,
Mansur dan Roem berinisiasi mendirikan sebuah organisasi yang
bersifat lebih fleksibel daripada REMDEC. Organisasi yang kemudian
didirikan ini dinamakan Institute for Social Transformation atau
Insist (Tribute to Mansour Fakih, www.umass.edu/cie/off_campus/-
Fakih-Mansour%20tributes.doc).
Insist dibentuk sebagai respons terhadap proses pembangunan
di Indonesia yang termasuk di dalamnya kritik terhadap maraknya
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang menjadi agen dan
pendukung pelaksanaan program-program pemerintah yang tidak
berkeadilan sosial. Selain itu, Insist dibentuk untuk mengevaluasi
LSM yang selama ini sangat bergantung pada dana asing selama era
globalisasi. Lebih lanjut, Insist, sebagaimana dijelaskan dalam
website mereka, berkeinginan untuk mereformasi LSM di Indonesia
dan menjadi representasi utama untuk usaha Indonesia dalam
mengembangkan diskursus kritis, perspektif alternatif, dan diskursus
baru pemikiran. Pada tahun 2004, untuk memperingati 100 hari
meninggalnya Mansur Fakih, bersama dengan anggota organisasi,
Roem Topatimasang mengganti nama organisasi ini menjadi
Indonesian Society for Social Transformation (http://.insist.or.id).
Mansur Fakih menganggap Insist sebagai tempat dimana
berbagai aktivis pergerakan sosial Indonesia dapat bertemu, belajar
dan saling memperkaya keilmuan dan pengalaman satu dengan
lainnya. Dalam pandangannya, Insist berfungsi tidak hanya sebagai
sekolah, melainkan juga sebagai tempat dimana aktivis sosial
Indonesia bergelut tidak hanya dalam level diskursus intelektual
melainkan juga berjuang untuk transformasi sosial (Tribute to
Mansour Fakih, www.umass.edu/cie/off_campus/Fakih-
Mansour%20tributes.doc).
Sejak tahun 1993 hingga tahun 1996, Mansur Fakih ditunjuk
sebagai representasi OXFAM-UK-I untuk Indonesia. Melalui OXFAM,
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A

Mansur Fakih memperkenalkan analisis gender dan beragam


pendekatan gender lainnya secara lebih komprehensif kepada aktivis
gerakan sosial Indonesia. Selain menjadi representasi OXFAM,
Mansur Fakih juga dipilih sebagai utusan Indonesia dalam “Helsinski
Process”, sebuah forum internasional yang diinisiasi pendiriannya
oleh menteri luar negeri Finlandia, beberapa negara selatan dan LSM
internasional untuk membuka dialog inklusif antar stakeholder
utama dengan pemerintahan global dalam mengatasi masalah yang
dihasilkan dari proses globalisasi. Sejak tahun 2002 sampai dengan
2004, Mansur Fakih terpilih menjadi anggota Komnas HAM.
Selanjutnya pada tanggal 16 Februari 2004, berbagai media nasional
mengabarkan bahwa Mansur Fakih telah meninggal dunia dan
dikebumikan di Sleman Jogjakarta setelah serangan jantung yang
ketiga
(http://www.tempo.co/read/news/2004/02/16/05539705/Manso
ur-Fakih-Meninggal-Dunia).

Mansur Fakih, Neoliberalisme, Globalisasi dan Ketidakadilan


Global

Slogan Washington Consensus:


“Trade not Aid.”
Poor countries were to trade their way out of debt (Collins, 2012).

Dalam bukunya, jalan lain Manifesto Intelektual Organik


(Fakih, 2002) dan Neoliberalisme dan Globalisasi (Fakih, 2004),
Mansur Fakih menjelaskan secara kronologis arti globalisasi dalam
konteks pembangunan di Indonesia. Ia menyadari bahwa sejak
kemerdekaannya, Indonesia tidak pernah benar-benar merdeka
secara nasional dalam hal ekonomi dan pembangunan sebagaimana
yang terjadi pada negara-negara di Afrika pada Era postkolonial.
Sependapat dengan Perkins (2004), Phelippe Diaz (2008) dan Susan
George (2011), Mansur Fakih berargumentasi bahwa globalisasi
adalah sebuah istilah yang sangat berkaitan dengan neoliberalisme
dan neoliberalisme pada kenyatannya adalah kepanjangan daripada
kapitalisme dan developmentalisme. Neoliberalisme menurut

190
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A.

Mansur Fakih tidak beranjak dari konsep liberalisme Adam Smith.


Neoliberalisme adalah reinvensi kapitalisme yang telah ditolak oleh
konsep ekonomi baru yang berperspektif keadilan sosial,
perlindungan terhadap tradisi dan hak tanah ulayat, dan bentuk-
bentuk lain dari pergerakan sosial di penghujung abad ke-20 (Fakih,
2004).
Neoliberalisme berpendirian bahwa kesejahteraan sosial pada
dasarnya dihitung dan diukur dengan pertumbuhan ekonomi
nasional atau Gross National Product (GNP). Neoliberalisme percaya
bahwa secara umum pertumbuhan ekonomi nasional akan mencapai
tingkat maksimalnya jika pasar mengikuti prinsip-prinsip ekonomi
neoliberal. Diantara prinsip-prinsip ekonomi neoliberal tersebut
adalah pertama, meliberalkan pasar dan kurs mata uang, kedua,
menstabilkan inflasi dan ekonomi makro, ketiga, memprivatisasi aset
dan pelayanan publik, dan terakhir, tidak adanya intervensi dari
negara. Ide dasar tentang bagaimana ekonomi pasar harus dijalankan
secara global berdasarkan prinsip-prinsip ekonomi neoliberal
berkembang kepada apa yang kita kenal sekarang sebagai globalisasi
yang secara massif dipromosikan dalam Washington Consensus yang
didukung oleh perdana mentri Margareth Thatcher dan presiden
Ronald Reagan (Collins, 2012; Fakih, 2002).
Globalisasi juga dikenal sebagai perkembangan yang cepat dari
kapitalisme melalui pasar global, investasi, dan produksi bahan-
bahan konsumen oleh korporasi transnasional (TNCs). Institusi
internasional seperti International Finance Institution (IFIs),
International Monetary Fund (IMF), World Trade Organization (WTO)
mengatur pelaksanaan struktur ekonomi global ini melalui bank
dunia (Fakih, 2002; George, 2004; Collins, 2007). Dalam penjelasan
sederhananya, Mansur Fakih mendefinisikan globalisasi sebagai
proses pengintegrasian ekonomi negara miskin dan berkembang
kepada apa yang disebut dengan sebuah sistem ekonomi global. Hasil
dari mistifikasi ini adalah bahwa paradigma pasar bebas membuat
negara miskin dan negara berkembang termasuk orang-orang yang
tidak beruntung di dalamnya termarginalkan ke pojok pembangunan
karena dengan menggunakan sistem ekonomi nonregulasi ini, hanya
pemilik modallah yang mendapatkan keuntungan. Adapun negara
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A

miskin dan berkembang tidak memiliki kemerdekaan untuk memilih


apa yang mereka perlukan untuk pembangunan ekonomi nasional
mereka, sebaliknya, mereka diwajibkan untuk mengembangkan
kebijakan ekonomi mereka dengan mengikuti syarat dan kondisi
yang ditentukan berdasarkan kebutuhan dan keuntungan pemilik
modal, yakni korporasi transnasional dan negara maju yang
didukung oleh institusi-institusi ekonomi dunia tersebut di atas.
Hutang negara miskin dan berkembang merupakan alat yang
efektif untuk “menjinakkan” negara-negara tersebut sekaligus
memaksa mereka untuk mengikuti model pembangunan yang telah
didesain oleh IMF dan bank dunia melalui structural adjustment
program (SAP). Diantara contoh nyata ketidakadilan economic game
yang menguntungkan negara maju dan merugikan negara
berkembang dan miskin ini adalah retorika terselubung dari tatanan
ekonomi global, yakni, untuk mengurangi beban hutang, negara
miskin dan berkembang serta menambah penghasilan nasional
negara-negara yang berhutang tersebut, WTO bersama IMF, Bank
Dunia dan TNCs, melalui SAP memaksa negara-negara miskin dan
berkembang untuk secara bersamaan memproduksi secara massif
bahan-bahan mentah seperti teh, kopi, kelapa sawit, bahan mentah
dari perut bumi dan lainnya serta mengeksportnya ke negara-negara
maju. Ketersediaan barang yang melimpah dari berbagai negara ini
kemudian menyebabkan over-produksi dan konsekuensi nyata dari
over-produksi adalah penurunan harga barang secara signifikan.
Susan George dalam Sri Wahyuni (2012) mengatakan bahwa, bahkan
seseorang yang tidak pernah belajar sistem ekonomi yang rumit juga
akan mengerti bahwa ketersediaan barang yang melimpah akan
menurunkan harga barang. Penurunan harga barang ini
menguntungkan bagi negara-negara industri karena ketersediaan
bahan mentah dengan harga murah menurunkan biaya produksi
barang-barang eksport mereka, dan merugikan negara miskin atau
negara berkembang yang terbelit hutang karena kemudian
merekalah yang diharuskan untuk membeli barang-barang eksport
negara industri tersebut dengan harga yang mahal (Collins, 2007;
George, 2004; 2011). Mansur, seperti halnya banyak ilmuwan kritis
lain, beranggapan bahwasanya tatanan ekonomi global yang baru ini

192
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A.

tidak adil, karena pemberian pinjaman dan bantuan kepada negara


miskin dan berkembang pada hakikatnya hanyalah memberikan
keuntungan bagi perusahaan transnasional dan negara maju yang
berafiliasi (Fakih, 2004).

Mansur Fakih dan Ide Transformasi Sosial


Dalam karya-karyanya, sebagaimana telah dijelaskan pada
subjudul sebelumnya, Mansur Fakih menyatakan bahwa negara
miskin dan negara berkembang menyerap paradigma globalisasi
sebagai proses pembangunan mainstream di negara mereka melalui
berbagai imposisi Structural Adjustment Programs (SAP) yang
diterapkan oleh organisasi ekonomi dunia untuk negara mereka.
Paradigma developmentalisme yang seperti ini wajib diterapkan di
negara-negara tersebut melalui regulasi nasional dan internasional
mereka. Selain itu, hal ini juga diterapkan melalui adanya penciptaan
stabilisasi dan keamanan nasional (kebanyakan dalam bentuk
pemerintahan otoriter) dan pendidikan.
Analisis di atas mendukung sebagian pandangan yang
mengatakan bahwa di berbagai negara miskin dan berkembang,
terdapat rezim boneka yang menggunakan kekuatan militer untuk
mengamankan berjalannya proses globalisasi ekonomi di negara dan
pemerintahan mereka. Selain itu, proses pendidikan juga kerap
digunakan untuk melestarikan pembenaran rezim dan kekuasaan.
Muhammad Agus Nuryatno (2005) berargumentasi bahwa pendidik-
an dan proses kependidikan di Indonesia bukanlah sebuah arena
yang netral. Pendidikan di Indonesia yang seharusnya bersifat netral
dan digunakan untuk memupuk nilai-nilai kebenaran, keadilan dan
kemanusiaan lebih sering dimanfaatkan untuk keberlangsungan
kekuasaan pemerintah dalam kurun waktu yang selama mungkin.
Mansur Fakih (2003) menyatakan bahwa pendidikan seringkali
disalahgunakan untuk menyebarluaskan propaganda ideologi,
kekuasaan dan politik yang mendukung keberlanjutan paradigma
developmentalisme. Kondisi pendidikan yang seperti ini pada
akhirnya menciptakan suatu kondisi sosial dimana mempertanyakan
dan mengkritisi struktur sosial yang tidak berkeadilan menjadi suatu
hal yang mustahil untuk dilaksanakan. Dengan demikian, diperlukan
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A

pendidikan yang bersifat kritis yang dapat membangun kesadaran


masyarakat untuk mempertanyakan struktur sosial dan mengganti
sistem guna melaksanakan proses transformasi sosial.

Mansur Fakih dan Gender Analisis Sebagai Alat Transformasi


Sosial
Tidak hanya dikenal sebagai bapak pendidikan pedagogi kritis
Indonesia, Mansur Fakih juga dianggap sebagai pionir gender
mainstraiming Indonesia di kalangan penggiat perempuan Indonesia.
Menurut Fakih, langkah untuk mentransformasi masyarakat adalah
dengan menciptakan hubungan yang berkeadilan dalam relasi
gender. Meskipun gender telah dikenal sebagai istilah yang populer
dalam diskursus keadilan sosial di Indonesia, implementasi riil
daripada keadilan gender di banyak aspek dalam masyarakat di
Indonesia terutama dalam level pemerintahan masihlah sekedar
hiasan bibir. Masih banyak terdapat kesalah pahaman tentang gender
sebagai isu aktivisme sosial bahkan diantara para pekerja keadilan
sosial itu sendiri. Hal ini terjadi karena isu sensitivitas gender
kerapkali dianggap dan didistorsi sebagai melulu gerakan perempu-
an mencari pembebasan dari laki-laki. Padahal, gerakan keadilan
gender adalah payung lebar untuk segala bentuk pergerakan
perempuan yang mengkritisi struktur ketidakadilan sosial yang saat
ini sangat dipengaruhi oleh terutama struktur ekonomi baru.
Dalam bukunya, Analisis Gender dan Transformasi Sosial
(2008), Mansur Fakih menjelaskan bahwa gender analisis
merupakan analisis baru dalam sejarah diskursus keadilan sosial.
Analisis gender, sebagaimana ia jelaskan lebih lanjut, mempertajam
analisis kritis yang telah ada, sebagai contoh, kritik budaya dan
hegemoni ideologi Antonio Gramsci akan lebih kontekstual jika
Gramscians juga menganalisa isu-isu gender. Dalam buku yang sama,
Mansur juga menyebutkan membangun hubungan gender yang
berkeadilan dalam masyarakat merupakan hal yang sulit, tidak hanya
karena hal itu mempertanyakan kembali hubungan perempuan dan
laki-laki dalam masyarakat, melainkan juga karena pemikiran
berbasis gender dan aktivisme sosial berbasis gender seringkali
dianggap sebagai produk Barat yang dianggap tidak sesuai untuk

194
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A.

diterapkan dalam kultur di Indonesia. Indonesia, kaitannya dengan


hal ini, adalah negara Muslim terbesar dunia, sehingga Indonesia
mengakui persamaan hak dan kemuliaan perempuan dan laki-laki di
mata Tuhan. Islam memuliakan perempuan dan ketidak adilan yang
dialami oleh terutama perempuan kaum marginal sebagai
konsekuensi dari penerapan sistem ekonomi global perlu dianalisis
dan ditransformasi melalui salah satunya alat analisis gender yang
dianggap tajam untuk mendapatkan data-data akurat subordinasi
gender.
Berdasarkan riset analisis gender Mansur (1997)
menyampaikan bahwa diantara bentuk ketidakadilan sosial yang
umum terjadi di masyarakat di era pembangunan adalah
marginalisasi gender dan perempuan. Proses marginalisasi
perempuan menyebabkan kemiskinan perempuan. Para ilmuwan
membuktikan bahwa perempuan termarginalkan dari sumber
ekonomi tradisional mereka dikarenakan globalisasi, modernisasi,
dan industrialisasi. Dalam kasus Indonesia, Mansur mengatakan
bahwasanya petani perempuan di pedesaan Indonesia
termarginalkan dari lahan mereka dengan adanya revolusi hijau yang
hanya berfokus pada mesin dan petani laki-laki selama masa Orde
Baru. Lebih lanjut Mansur menjelaskan bahwa proses marginalisasi
tersebut menciptakan kondisi kemiskinan baru baik bagi laki-laki
maupun perempuan.
Perempuan menjadi pihak yang paling dipojokkan oleh sistem
ekonomi neoliberal karena setelah dimarginalkan dari sumber
pendapatan ekonomi tradisional mereka, perempuan kemudian
dipaksa untuk berpartisipasi sebagai pekerja utama sistem ini. Untuk
mendapatkan keuntungan lebih, sebagai nafas utama sistem
neoliberalisme, korporasi transnasional membutuhkan tangan
terampil perempuan untuk produksi massal berbagai produk
mereka. Tangan perempuan dianggap lebih terampil untuk
pekerjaan-pekerjaan massal sehingga waktu produksi yang
diperlukan akan menjadi lebih singkat dan hasil pekerjaan menjadi
lebih baik (Eisenstein, 2010). Selain itu, korporasi transnasional lebih
memilih perempuan sebagai pekerja juga dikarenakan oleh anggapan
bahwa perempuan tidak memiliki aliansi yang kuat dengan
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A

organisasi dan pergerakan, sehingga perempuan dianggap lemah dan


dapat dibayar dengan gaji yang lebih rendah. Dari penjelasan ini,
dapat kita pahami mengapa banyak dari laki-laki yang merupakan
tulang punggung keluarga dalam sistem sosial Indonesia kehilangan
pekerjaan dan selanjutnya tidak mendapatkan lowongan pekerjaan,
sedangkan perempuan, dalam sistem ekonomi yang seperti ini
menjadi tulang punggung utama keluarga jika tidak sebagai tulang
punggung kedua.
Berdasarkan sejarah struktur sosial ini, Mansur berargumen-
tasi bahwasanya merupakan hal yang penting untuk membangun
ketertarikan dalam isu-isu gender di lingkaran institusi pendidikan
LSM yang bergerak dalam bidang hak asasi manusia, yakni dengan
menjadikan hak perempuan sebagai bagian dari hak asasi manusia.
Selain itu, penulis beranggapan bahwa penting untuk menanamkan
pemahaman akan mistifikasi globalisasi dan sistem ekonomi
neoliberal di institusi pendidikan tanah air, sehingga manusia Indo-
nesia ke depannya dapat bertransformasi kepada suatu kesadaran
kritis yang selanjutnya menjadi pemicu untuk menciptakan sistem
ekonomi Indonesia yang independent dari hutang dan hegemoni
internasional.

Kesimpulan
Selama rezim Soeharto berkuasa seringkali dinyatakan
bahwasanya pembangunan Indonesia diperlukan untuk modernisasi
Indonesia secara keseluruhan. Ide pembangunan yang seperti ini
didiseminasikan melalui berbagai bentuk propaganda, yang mana
melalui propaganda ini, Presiden Soeharto dipercaya sebagai bapak
pembangunan Indonesia dan karenanya dianggap sebagai pahlawan
Indonesia. Mempelajari kehidupan dan pandangan Mansur Fakih
bagaimanapun juga membuat kita berpikir untuk mempertanyakan
kembali proses modernisasi dan developmentalisme yang bahkan
sampai saat ini masih dilaksanakan di Indonesia secara massif.
Sebagai seseorang yang telah lama berkecimpung dalam sosial
aktivisme Indonesia, Mansur Fakih percaya bahwa memahami
analisis gender dalam kaitannya dengan ketidakadilan dalam
berbagai komunitas yang dihasilkan dari sistem ekonomi dan politik

196
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A.

global, neoliberalisme dan liberalisasi adalah hal yang sangat


penting. Mendiseminasikan ide-idenya tidak hanya melalui dunia
akademis tetapi juga melalui aktivisme sosial, Mansur Fakih percaya
bahwa diantara jalan untuk mengubah kondisi ketidakadilan sosial
adalah melalui transformasi sosial. Adapun transformasi sosial
berdasarkan analisis gender adalah salah satu cara efektif untuk
mengakhiri berbagai macam bentuk penindasan, pemarginalan, dan
diskriminasi. Sebagai kesimpulan di akhir tulisan ini, sebagaimana
yang telah diungkapkan Mansur Fakih di atas, analisis gender
melengkapi analisis kritik sosial yang lain.
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A

Bab 9

Dorongan Indigenisasi Teori Sosial


Perkembangan ilmu sosial tidak pernah lepas dari hegemoni
Barat dengan teori-teori sosialnya yang dipakai, dirujuk dan
dijadikan basis pijakan untuk pembelajaran dan analisis fenomena
lokal yang ada di Indonesia. Di satu sisi ketergantungan itu
melahirkan keuntungan karena negara-negara dunia ketika termasuk
Indonesia, mendapatkan dasar pijakan, aplikasi teori yang
dikembangkan di Eropa dan Amerika untuk kemudian tinggal
diaplikasikan di Indonesia. Hal ini akan memudahkan ilmuwan lokal
untuk menganalisis dan memberikan solusi bagi permasalahan yang
muncul di ranah lokal. Paling tidak ilmu sosial Barat membuka dan
mencerahkan cakrawala keilmuawan lokal sehingga memprovokasi
teoretisi lokal untuk melakukan hal yang sama dengan subjek ranah
yang berbeda.
Perkembangan ilmu sosial Barat yang massif di Indonesia tidak
seluruhnya menguntungkan, karena justru penggunaan teori-teori
Barat mampu menganalisis dengan baik, memetakan dan mendes-
kripsikan tetapi kurang pas dan tepat untuk menjawab berbagai
permasalahan di ranah lokal yang memiliki ke khasan dan
karakteristik yang berbeda di bandingkan dengan Barat. Kondisi ini
sudah lama di ketahui hanya saja inferioritas ilmuwan lokal
membuat berbagai solusi atas dasar kearifan lokal tidak muncul dan
tergantikan dengan ilmu sosial Barat yang tidak pas ketika
diterapkan di Indonesia.
Selama beberapa dekade, ilmuwan sosial kita terperangkap
untuk selalu berpijak pada teori-teori bentukan Barat dalam
198
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A.

menganalisis berbagai persoalan yang tumbuh dan berkembang di


Indonesia. Meskipun hal tersebut sah-sah saja, tetapi yang harus
dipahami adalah bahwa sebuah teori sosial dibentuk berdasarkan
referensi sosial yang dihadapinya, sehingga memunculkan jawaban
yang sesungguhnya berdasarkan realitas sosial yang ada (Santoso,
2003). Hal inilah yang mendorong gerakan indigenisasi, indegenisasi
teori sosial lokal untuk menghasilkan teori sosial yang lahir dari
permasalahan sosial lokal, dianalisis dengan pendekatan lokal dan
tepat solusinya untuk diterapkan di aras lokal.
Upaya untuk memindigenisasikan ilmu-ilmu sosial diperlukan
untuk mendobrak dominasi hegemoni teori sosial Barat yang sarat
kepentingan. Teori sosial Barat bukan tidak baik dan bagus, hanya
saja karena teori sosial Barat lahir dan dibesarkan dalam masyarakat
Barat yang berbeda karakter dengan masyarakat Indonesia,
menyebabkan apabila langsung diterapkan hampir pasti tidak akan
tepat sasaran. Industrialisasi dengan turunan teori pembangunan,
teori ekonomi kapitalis dan sebagainya merupakan hasil dari
dominasi Barat yang ingin pula diterapkan dinegara-negara dunia
ketiga dengan cita-cita yang sama untuk menjadikan negara dunia
ketiga memiliki perkembangan yang sama dengan negara Eropa.
Akan tetapi hasil yang berbeda justru didapat karena perbedaan
karakter masyarakatnya. Industrialisasi sukses diterap-kan di
negara-negara Eropa karena masyarakatnya sudah maju dan
memang memiliki keinginan untuk mengembangkan industri. Hal
tersebut berbanding terbalik dengan negara-negara dunia ketiga,
dimana mayoritas masyarakatnya belum memiliki fondasi budaya
maju, sehingga yang terjadi justru industrialisasi menghasilkan
masyarakat yang gegar budaya karena tahapan perubahannya
melompat tidak sesuai dengan tahapan yang memang telah
dikondisikan untuk perkembangan industri.
Masyarakat tradisional secara langsung dipaksa untuk masuk
ke ranah industri dengan budaya yang jauh berbeda. Masyarakat
tradisional sangat terbiasa dengan pola kekerabatan, kekeluargaan
yang mendorong masyarakat dengan tipe ini untuk bekerja secara
kelompok. Pola ini jauh berbeda dengan industri di mana justru pola
individu yang ditonjolkan dengan semangat kompetisinya untuk
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A

menghasilkan efisiensi kerja. Belum lagi masalah budaya kerja yang


berbeda, pendapatan yang tinggi yang tidak didukung dengan
edukasi yang baik bagi masyarakat untuk mengelola keuangannya
secara efisien. Kondisi ini mengakibatkan bukan kesejahteraan yang
meningkat seperti yang diimpikan oleh ilmuwan Barat dengan
adanya industrialisasi, tetapi justru yang muncul adalah tipikal
masyarakat yang haus akan konsumsi. Masyarakat yang justru
menjadi obyek dari industrialisai bukan subyek pendorong
industrialisasi. Pada akhirnya justru yang menikmati keuntungan
paling besar adalah negara-negara Eropa dan Amerika.
Belum lagi dominasi pengetahuan Barat yang diajarkan melalui
lembaga formal terutama di bidang pendidikan yang banyak
mengadopsi dan menggunakan teori-teori Barat sebagai sumber
belajar dan analisis yang dikembangkan di tingkat pendidikan.
Ironisnya hal ini justru diperbarah dengan anggapan kebanggaan
ketika hampir semua materi dan teori bersumber pada Barat akan
menaikkan gengsi dan kualitas pembelajaran, sehingga anak didik
hanya dicekoki berbagai teori yang muncul di Barat tanpa tahu
apakah nanti teori-teori ini akan bisa diterapkan di tingkat lokal. Pun
demikian dengan ilmuwan lokal, dimana kearifan lokal yang ada
justru tidak tergali dengan maksimal, akibat kemalasan dan
ketidakbanggaan pada lokalitas.
Banyak ilmuwan sosial kita yang sering kali merasa bangga
dengan penguasaan teori-teori Barat yang kemudian dipaksakan
dipakai untuk menganalisis setiap fenomena sosial lokal yang terjadi.
Padahal setiap teori sosial selalu dibentuk berdasarkan kondisi-
kondisi tertentu, yang setiap kondisi belum tentu sama. Mengguna-
kan teori sosial yang tidak sesuai dengan kondisi yang hendak
dijelaskan sama saja memberlakukan fenomena sosial selalu sama
(Santoso, 2003). Sehebat apapun sebuah teori, kalau tidak memiliki
hubungan terhadap kondisi yang hendak dijelaskan, maka ia hanya
akan menjadi teori sosial yang tidak bermakna sama sekali. Oleh
sebab itu perlu memang untuk melakukan gerakan indigenisasi,
terutama yang dilakukan di ranah akademik untuk mulai mengenal-
kan dan mendorong peserta didik untuk memformulasikan teori-

200
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A.

teori sosial baru yang nantinya akan menjadi dorongan untuk


mengglobalkan teori lokal.
Pada dasarnya gerakan indigenisasi berawal dari situasi ilmu
sosial di Indonesia yang menghadapi berbagai kendala, baik ditinjau
dari aspek historis, sosiologis maupun filosofis. Secara historis, ilmu
sosial yang dikembankan di Indonesia berasal dari Barat, seperti
teori ideologi, modernisme, struktural dan teori kritis. Secara
sosiologis, kondisi ilmuwan ilmu sosial di Indonesia dinilai belum
kondusif untuk tumbuhnya tradisi ilmiah yang kuat. Akibatnya belum
lahir teori-teori besar yang berpengaruh di percaturan ilmu sosial
secara global yang mampu menawarkan paradigma alternatif bagi
pengembangan ilmu sosial. Secara filosofis, dasar-dasar pengem-
bangan ilmu sosial, seperti paradigma, teori dan metodologi belum
berkembang secara maksimal (Santoso, 2003).
Indigenisasi (indigenisasi) diperlukan untuk membentuk ilmu
sosial yang khas, yang berwajah Indonesia yang diambil dan
dibangun berdasarkan preferensi lokal yang sesuai dengan
kebutuhan lokal yang juga dijelaskan dalam konteks lokal.
Indigenisasi diartikan sebagai domestifikasi, upaya untuk
membangun teori yang khas dan digali dari unsure etnik, budaya
atau agama yang sesuai dengan komunitas pendukungnya. Atau bisa
juga diartikan sebagai bentuk penyeleksian teori asing yang sesuai
dengan keadaan Indonesia.
Menurut Ignas Kleden (1987:14-15) indigenisasi terjadi karena
tiga alasan:
1. Secara akademis
Ilmu sosial di negara dunia ketiga berawal mula dari Barat.
Kerangka teoretis, prinsip-prinsip metodologi dan pengetahuan
teknis penelitian dibentuk di Barat, yang tentu saja sejalan dengan
kebutuhan dan preferensi Barat serta filsafat dan kepercayaan
Barat. Sebagai akibat dari pengambilalihan serta penerapan ilmu
sosial Barat, maka perlu banyak waktu untuk melakukan seleksi
serta penyesuaian. Alih teknologi telah memberikan banyak
pelajaran bahwa betapa sulit berurusan dengan perangkat lunak
yang dalam kenyataannya merupakan bagian terbesar dari tubuh
ilmu sosial yang meliputi asumsi nilai, preferensi idieologis,
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A

apriori kognitif dan orientasi filosofis. Dilihat dari fakta tersebut,


maka akan jauh lebih efisien jika para ilmuwan sosial di negara
dunia ketiga membentuk temuan-temuan lokal, diorganisasikan
menurut cara penjelasan setempat atau interpretasi pribumi, yang
diorientasikan kepada kebutuhan-kebutuhan lokal dan
diharapkan dapat memberikan jawaban langsung terhadap
masalah-masalah setempat.
2. Secara ideologis
Penduduk di negara dunia ketiga belum dapat melepaskan diri
dari perasaan umum bahwa negaranya sudah biasa menjadi objek
kolonisasi
3. Secara teoretis
Tidak hanya berhubungan dengan daya penjelas teori-teori tema
sosial, tetapi juga dengan implikasi politis dan impilkasi nilainya.
Ketiga kondisi alasan tersebut yang mendorong perlunya
dilakukan banyak kajian lokal yang mulai diangkat untuk
mengembangkan teori-teori sosial lokal yang berbasis pada etnisitas,
budaya dan kepercayaan lokal. Termasuk pengembangannya untuk
pengetahuan akademik di ranah pendidikan yang perlu diajarkan
dan mulai diapresiasi untuk mendorong superiority lokalitas.

Perkembangan Ilmu Sosial dalam Kerangka Indigenisasi


Dinamika kajian ilmu sosial di Indonesia tidak pernah terlepas
dari dikotomi Barat dan Timur dimana pembagian tersebut
memunculkan superioritas vs inferioritas antara negara-negara maju
dengan negara-negara dunia ketiga. Istilah yang memunculkan ada
dikotomi dalam hal penentuan klasifikasi negara pun sebenarnya
sudah menampakkan kecenderungan sikap superior itu. Hal inilah
yang mendorong negara-negara yang terhegemoni atas Barat
melakukan perlawanan pengetahuan dengan mendorong tumbuh
kembangnya pengetahuan lokal dengan upaya untuk mendudukkan
ilmu-ilmu sosial dalam kerangka lokal yang kemudian disebut
sebagai indigenisasi.
Arti kata indigenisasi sendiri memiliki beberapa makna
(Santoso, 2003:54-56) indigenisasi diartikan sebagai pembentukan
teori dan metode pribumi. Dengan kata lain indigenisasi tidak hanya

202
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A.

berhenti pada tataran teoretis, tetapi juga tataran metodologis. Di


Indonesia indigenisasi sering kali diartikan sebagai reaksi terhadap
gerakan sekularisasi. Indigenisasi dalam konteks ini diartikan
sebagai pengembangan ilmu sosial yang didasarkan pada ajaran
Islam yang dianut oleh sebagian masyarakat muslim sebagai reaksi
dan alternatif atas dominasi ilmu sosial Barat yang dinilai terlalu
rasionalistik, materialistik, individualistik dan sekularistik. Pribumi-
sasi merupakan cita-cita untuk memunculkan paradigma ilmu sosial
yang digali dari ajaran Islam, sekaligus kritik atas ajaran Islam yang
cenderung normative dan melangit, agar lebih membumi dan
langsung berhubungan dengan realitas konkret masyarakat. Model
ini yang dibahas penulis di dalam bab terdahulu tentang pemikiran
Kuntowijoyo tentang konsep pengetahuan profetik.
Indigenisasi ilmu sosial di Indonesia sudah dimulai sejak awal
1980-an. Awalnya indigenisasi muncul sebagai reaksi atas dominasi
filosofi dan ideology Barat dalam ilmu sosial. Dari sinilah yang
mendorong ilmuwan untuk mengembangkan gagasan pemikiran
alternatif untuk membangun ilmu sosial. Salah satu alternatif yang
hingga sekarang sering kali diungkapkan adalah gagasan untuk
menggali filosofi dan ideologi Pancasila sebagai dasar perkembangan
ilmu. Dewasa ini seiring dengan kemajuan pendidikan dan dorongan
kepercayaan juga mendorong alternatif lain dalam kajian ilmu sosial
terutama yang berwawasan pada aspek keagamaan.
Gagasan untuk mendorong pengembangan ilmu sosial yang
didasarkan pada filosofi dan ideology Pancasila muncul pada
kongres-kongres Hispisi yang ditindaklanjuti dengan berbagai
kebijakan terutama yang berkaitan dengan kurikulum pendidikan
yang dilandasi semangat untuk menggelorakan Pancasila sebagai
ideology dan dasar pengetahuan.
Indigenisasi dalam ilmu sosial kemanusiaan dirintis oleh
Sartono Kartodirjo (Santoso, 2003: 61) khususnya dalam bidang
sejarah. Sartono mencoba mengembangkan ilmu sejarah yang lebih
mengarah pada historiografi dari Barat sentries menjadi Indonesia
sentries. Dengan kata lain ada pergeseran materi ajar dari yang
semula berorientasi pada kebudayaan Barat diubah menjadi sejarah
kebudayaan Indonesia.
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A

Dalam bidang ekonomi upaya indigenisasi dirintis oleh


Mubyarto yang menawarkan konsep ekonomi Pancasila. Gagasan
Mubyarto (Santoso, 2003:61-62) menawarkan lima ciri sistem
ekonomi Pancasila yaitu:
1. Roda ekonomi digerakkan oleh rangsangan ekonomi, sosial dan
moral
2. Kehendak kuat dari seluruh masyarakat kearah keadaan
kemerataan sosial sesuai dengan asas kemanusiaan
3. Prioritas kebijakan ekonomi adalah penciptaan perekonomian
nasional yang tangguh yang berarti nasionalisme menjiwai setiap
kebijakan ekonomi
4. Koperasi sebagai soko guru perekonomian dan merupakan
bentuk paling konkret dari usaha bersama
5. Adanya imbangan yang jelas dan tegas antara perencanaan di
tingkat nasional dengan desentralisasi dalam pelaksanaan
kegiatan ekonomi untuk menjamin keadilan ekonomi dan sosial
Di bidang sosiologi dan ilmu sosial kemasyarakatan muncul
nama Selo Sumardjan, yang mendorong gagasan atas perubahan
sosial yang dilihat bukan dari perspektif Barat, tetapi justru dilihat
dari perpektif lokal terutama dalam kajiannya yang menitik beratkan
pada perubahan sosial di masyarakat Yogyakarta era setelah
kemerdekaan. Karya beliau ini justru membalikkan fakta
pengetahuan yang selama ini mengadopsi pemikiran Barat, dalam
karya ini justru Barat yang belajar untuk memahami Indonesia
melalui teori pemikiran Selo Sumardjan.
Pemikiran-pemikiran dari para tokoh lokal ini tidak serta
merta mendorong kemunculan ilmu-ilmu sosial lokal. Perlu gerakan
secara menyeluruh termasuk juga kebijakan dari pemerintah yang
mendorong terus lahirnya teori-teori yang berorientasi pada ranah
lokal. Salah satu aktualisasi yang bisa dilakukan adalah dengan
mendorong diskursus ilmu sosial lokal dalam ranah akademik
kognitif di perguruan tinggi dengan mengajak mahasiswa berdiskusi,
meneliti kajian lokal untuk melahirkan solusi aplikatif bagi realitas
sosial masyarakat.

204
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A.

DAFTAR PUSTAKA

Abu-Lughod, L. (2002). Do Muslim women really need saving?


anthropological reflections on cultural relativism and its
others. American anthropologist 104(3), 783-790.

Fikri, A.F. & Dharwis, E. (peny.). (1996). Anarki kepatihan.


Yogyakarta: LKiS.

Al Banna, H. (2000). Risalah pergerakan (Jilid 2). Solo:Intermedia.

Alatas, S. F. (2010). Diskursus alternatif dalam ilmu sosial Asia.


Yogyakarta: Mizan.

Amal, T.A. (1993). Islam dan tantangan modernitas: studi atas


pemikiran hukum Fazlur Rahman. Bandung: Mizan.

An Nahlawi, A. (1403). Ushulut tarbiyah Islamiyah wa asalibiha fil


baiti wal madrasati wal mujtama. Libanon: Dar Al- Fikr Al –
Mu’asyir.

Azali, K. Metodologi Sejarah. Diakses tanggal 20 Agustus 2014 dari


http://c2o-library.net/2013/01/metodologi-sejarah,.

Budiman, A. (1976). Peranan mahasiswa sebagai intelegensia. Prisma


11, V.

Budiman, A. (1983). Peranan mahasiswa sebagai cendekiawan.


Cendekiawan dan Politik. Jakarta: LP3ES.

Beilharz, P. (2003). Teori-teori sosial: observasi kritis terhadap para


filosof terkemuka. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A

Beilharz, P. (2003). Teori-teori sosial: observasi kritis terhadap para


filosof terkemuka. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Berger, P. L. & Luckman, T. (1990). Tafsir sosial atas Kenyataan.


Jakarta: LP3ES.

Biografi Kuntowijoyo. diakses 28 September 2014 dari x


http://profil.merdeka.com/indonesia/k/kuntowijoyo/.

Bourdieu, P. (1998). Practical reason, on the theory of action.


California: Stanford University Press.

_________, (1990). The logic of practice. California: Stanford University


Press.

Bryman, A. (2004). Sosial research methods. (Edisi kedua). Britain:


Oxford Uni Press

Rahman, B. M. (1995). Dari tahap moral ke periode sejarah:


pemikiran neo-modernisme Islam di Indonesia. Ulumul
Qur’an, 3 (6).

Cheung, M. (2003). From 'theory' to 'discourse': the making of a


translation anthology. Bulletin of the School of Oriental and
African Studies, 66 (3), 390-401.

Collins, E. F. (2007). Indonesia betrayed how development fails.


Honolulu: University of Hawai’i Press.

Collins, E. F. (2012, July 14). Winners and losers neoliberal


globalization. Course Lecture. Ohio University. Athens, Oh.

Danim, S. (2002). Menjadi peneliti kualitatif. Bandung: Pustaka Setia.

206
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A.

Diaz, P. (Director/Writer). (2008). The end of poverty (Docementary


movie). Cinema libre studio in collaboration with the Robert
schalkenbach, DVD (2012).

Effendi, S. (1996). Membangun martabat manusia peranan ilmu-ilmu


sosial dalam Pembangunan. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press.
Eisenstein, H. (2010). Feminism seduced how global elites use women’s
labor and ideas to exploit the world. London: Paradigm
Publisher.

Escobar, Arthuro, 2005, Encountering Development: The making and


Making of the Third World, Princeton New Jersey, Princeton
University Press

Ali, F. & Efendy, B. (1986). Merambah jalan baru Islam: rekonstruksi


pemikiran Islam Indonesia masa Orde Baru. Bandung: Mizan.

Fakih, M. (1996). Posisi kaum perempuan dalam Islam: tinjauan dari


analisis gender. Membincang feminisme: diskursus gender
perspektif Islam. Surabaya: Risalah Gusti.

Fakih, M. (2002). Jalan lain manifesto intelektual organik. Yogyakarta:


Pustaka Pelajar.

Fakih, M. (2002). Runtuhnya teori pembangunan dan globalisasi.


Yogyakarta: Insist Press.

Fakih, M. (2008). Analysis gender & transformasi sosial (12th ed.).


Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Fakih, M., & Antonius, M. I., & Eko, P. (2003). Menegakkan keadilan
dan kemanusiaan: pegangan untuk membangun gerakan hak
asasi manusia. Yogyakarta: Insist Press.
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A

Fakih, M., & Roem, T., & Toto, R. (2000). Pendidikan popular:
membangun kesadaran kritis. Yogyakarta: REaD book.

Faucault, M. (1997). Seks dan kekuasaan. Jakarta: Gramedia.

Francis, F. (1992). The end of history and the last man. Penguin Book

George, S. (2004). Another world is possible if. New York: Verso.

George, S. (2011). Susan George on Neoliberalism. Diunduh pada 20


Agustus 2014,
(http://www.youtube.com/watch?v=_viNHVzadeM)

Giddens, A. (2004). The constitution of society – teori strukturasi


untuk analisis sosial. Pasuruan: Pedati.

Gunawan, A. (2010). Kematian ilmu-ilmu sosial di Indonesia. Diakses


pada 13 Maret 2012, dari
http://sosbud.kompasiana.com/2010/03/01/kematian-
ilmu-ilmu-sosial-di-indonesia/

Hadi, N. (2008). Diskursus (wacana) dan kekuasaan: sebuah


investigasi kritis Diakses pada 26 April 2012, dari
http://bahas.multiply.com/journal/item/33

Jakson. (1986). Teori sosiologi klasik dan modern, Jakarta: Gramedia.

Jadilah Sejarawan yang Profesional, Ok? diakses pada 4 April 2012


dari
http://nasional.kompas.com/read/2010/11/03/15263539/j
adilah.

Jurdi, S. (2012). Dekontruksi ilmu sosial Indonesia. Diakses pada 1


Maret 2012, dari
http://makassar.tribunnews.com/2012/01/26/dekonstruksi
-ilmu-sosial-indonesia.

208
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A.

Kaelan. (2010). Metode penelitian agama kualitatif interdisipliner.


Yogyakarta: Paradigma.

Kuntowijoyo. (1984). Islam sebagai Suatu Ide. Prisma Ekstra.

Kuntowijoyo. (1991). Paradigma Islam: interpretasi untuk aksi.


Bandung: Mizan.

Kuntowijoyo. (1993). Dinamika internal umat Islam di Indonesia.


Yogyakarta: Lembaga Studi Informasi Pembangunan (LSIP).
Kuntowijoyo. (1997). Identitas politik umat Islam. Bandung: Mizan.

Kuntowijoyo. (2001). Muslim tanpa masjid: esai-esai agama, budaya,


dan politik dalam bingkai strukturalisme transcendental.
Bandung: Mizan.

Kuntowijoyo. (2002). Selamat tinggal mitos selamat datang realitas.


Bandung: Mizan.

Kuntowijoyo. (2006). Islam sebagai ilmu: epistemologi, metodologi,


dan etika. Yogyakarta: Tiara Wacana.

Kuntowijoyo. (2013). Pengantar ilmu sejarah. Yogyakarta: Tiara


Wacana.

Kuntowijoyo. diakses tanggal 20 Oktober 2014 dari


http://www.tamanismailmarzuki.co.id/tokoh/kuntowijoyo.h
tml,

Lin, N. (1976). Foundations of sosial research. New York: McGraw-Hill.

Maarif, S. Cendekiawan harus tiru sosok Kuntowijoyo. diakses 2 April


2014 dari
http://www.aktual.co/politik/153610cendekiawan-harus.
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A

Maarif, S. (1993). Peta bumi intelektualisme Islam di Indonesia.


Bandung: Mizan.

Mangunwijaya, Y.B. (1976). Cendekiawan dan pijar-pijar kebenaran.


Prisma 11, V.

Marcoes, L. (2004). Pokok-pokok pikiran Dr. Mansour Fakih refleksi


kawan seperjuangan. Yogyakarta: SIGAB-OXFAM.

Masruri, S. (2005). Humanitarianisme soedjatmoko: visi kemanusiaan


kontemporer. Yogyakarta: Pilar Media.

Mata, A. (2005) Perangkat-perangkat tarbiyah Ikhwanul Muslimin.


Solo: Intermedia.

McEwan, C. (2001). Postkolonialism, feminism and development:


intersections and dilemmas. Progress in development studies
1, 93-111.

Mohanty, C. T. (2004). Feminism without borders: decolonizing theory,


practicing solidarity. Durham, NC: Duke University Press.

Moser, C. O. N. (1993). Gender planning and development: theory,


practice and training. New York: Routledge.

Nagar, R. (2002). Footloose researchers, traveling, theories, and the


politics of transnational feminist praxis. Gender, place and
culture 9, 179-186.

Nasiwan, dkk. (2012). Menuju Indigenisasi ilmu sosial Indonesia:


sebuah atas penjajahan akademik. Yogyakarta: FISTRANS
Institute.

Nuryanto, M. A. (2005). In search of Paulo Freire’s perception in


Indonesia. Convergence XXVIII(1), 50-68.

210
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A.

Purwanto, B. (5-7 Juli 2011). Membincangkan kembali historiografi


Indonesiasentris, sebuah pemikiran awal. Konferensi Nasional
Sejarah ke-9 yang diselenggarakan oleh Direktotar Jenderal
Sejarah dan Purbakala Kementerian Kebudayaan dan
Pariwisata. Jakarta.

Rahman, F. (1968). Islam. New York: Anchor Book.

Rahman, F. (1980). Islam and modernity. Chicago: The University of


Chicago.

Rahman, F. (1980). Islamic studies and the future of Islam. California:


Malibu.

Rahman, F. (1980). Major themes of the Qur’an. Chicago: Minneapolis


Bibliotheca Islamica.

Ridha, A. (2002) Pengantar pendidikan politik. Jakarta: Syammil.

Rogers, Rebecca, et al. (2005) Critical discourse analysis in education:


a review of the literature. Review of educational research, 75
(3), 365-416.

Ruslan, U. A. M. (2000). Pendidikan politik ikhwanul muslimin. Solo:


Inter Media.

Said, E. (2010). Orientalisme, menggugat hegemoni Barat dan


menundukkan Timur sebagai subjek. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.

Sarup, M. (1996). Identity, Culture and The Postmodern World. diakses


pada 24 Desember 2008, dari
http://books.google.com/books?id=V0-
PX0QDCU0C&dq=Identity,+Culture+and+The+Postmodern+
World+madan+sarup&printsec=frontcover&source=bn&hl=e
n&sa=X&oi=book_result&resnum=5&ct=result#PPA48,M1.
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A

Singarimbun, M. & Effendy, S. (1989). Metode penelitian survei.


Jakarta: LP3ES.

Situngkir, H. Impotensi kronis ilmu Sosial di Indonesia, diakses pada


10 Maret 2012, dari bandungfe.net/hs/wp-
content/uploads/impo.pdf

Soemardjan, S. (1976). Peranan cendekiawan dalam pembangunan


nasional. Prisma 11, V.

Sriwahyuni, Y. (2012, July). The never ending poverty (understanding


the meanings and links of globalization, free trade, and
globalization). Paper dipresentasikan pada Program Studi
Kajian International, Konsentrasi Asia Tenggara, Universitas
Ohio.
Sumartana, Th. (1996). Kebebasan dan para cendekiawan. Anarki
Kepathan, Yogyakarta: LKiS.

Wilford, C. A. & George, M. K. (2005). Spirited politics: religion and


public life in contemporary South East Asia. Itacha, New York:
Southeast Asia Program, Cornel University.

Yasmin. (2002). Ummu, materi tarbiyah panduan kurikulum da’i dan


murabbi. Solo: Media Insani Press.

Yunus, F. (2010). Filsafat sosial; indigenisasi ilmu-ilmu sosial di


Indonesia. Diakses dari:
http://www.lkas.org/filsafat/detail/33/filsafat_sosial_indige
nisasi_ilmu-ilmu_sosial_di_indonesia.html

212

Anda mungkin juga menyukai