ekatusyana07@gmail.com,rayitrengginas72@gmail.com,yadi.uinjogja@gmail.com
Abstrak
18
ISSN : 2598-6244
Jurnal Inventa Vol III. No 1 Maret 2019 P-ISSN: 2622-819X
19
ISSN : 2598-6244
Jurnal Inventa Vol III. No 1 Maret 2019 P-ISSN: 2622-819X
20
ISSN : 2598-6244
Jurnal Inventa Vol III. No 1 Maret 2019 P-ISSN: 2622-819X
21
ISSN : 2598-6244
Jurnal Inventa Vol III. No 1 Maret 2019 P-ISSN: 2622-819X
ingin tau yang tinggi ketika dihadapan berdasarkan siswa yang saya teliti
orang lain hal ini terlihat anak tersebut tercapai karena siswa tersebut dapat
berani bertanya kepada guru dan menempatkan emosionalnya berdasarkan
menjawab pertanyaan yang berkaitan tempatnya, siswa tersebut dapat bekerja
dengan materi pembelajaran maupun sama dengan baik ketika ada
bertanya kepada teman sesama, pembelajaran yang bersifat kelompok dan
mengeksperikan emosi yang sesuai ketika dapat menyelesaikan permasalahan yang
beriteraksi dengan teman sebangku baik terhadap sesama teman sebayanya,
terlihat ketika proses pembelajaran siswa tersebut mampu menyelesaikan
berlangsung ketika teman sebangku masalah dengan cara bermusyawarah
bertanya siswa tersebut menjawab terhadap sesama teman untuk menemukan
pertanyaan yang berkaitan dengan materi solusi demi untuk mencapai tujuan
pembelajaran dan menunjukaan interaksi bersama.
yang baik terhadap teman hal ini b. Analisis perkembangan Sosial-emosional
menunjukkan perkembangan emosional di luar kelas bermain bersama teman
yang menggambarkan sikap kasih sayang, sebaya.
berpartisipasi dalam kegiatan kerjasama Bersadarkan hasil observasi dapat
terlihat ketika melakukan kerja sama ditarik kesimpulan bahwa partisipasi
siswa tersebut berpartisipasi dan ikut serta siswa yang diteliti menunjukkan siswa
dalam menyelesaikan masalah untuk mampu menunjukkan partisipasi yang
mencapai tujuan tertentu dan Ketika baik dan mendorong teman yang lain
dibagi kelompok kecil oleh guru siswa untuk ikut bersama hal ini membuktikan
mampu untuk menyesuaikan diri dengan bahwa proses perkembangan sosial-
teman di luar kelompoknya. Hal ini emosional tercapai, membatu siswa lain
menunjukkan tingkat sosial anak tersebut saat membutuhkan pertolongan saat
dalam menyesuaikan diri dengan bemain hal ini membuktikan bahwa
lingkungan cukup baik, siswa juga perkembanagan sosial anak tersebut
mampu menyelesaikan tugas secara tercapai, memberikan respon feedback
bersama. Maka dari itu dari hasil ketika diajak teman lain bermain bersama
observasi yang peneliti lakukan dengan ekspresi bahagia dan gembira,
menunjukan adanya sikap sosial siswa tersebut mampu menempatkan
emosional siswa yang tercapai. peran dirinya dan tidak memaksakan
Berdasarkan hasil wawancara dengan kehendak diri sendiri melainkan bersama-
wali kelas guru kelas V maka dapat sama memberikan gagasan dan ide saat
ditarik kesimpulan bahwa kemampuan bermain, menerima bantuan lain saat ia
siswa tersebut ketika berinteraksi atau membutuhkan pertolongan saat bermain
berkomunikas baik dengan guru maupun contohnya ketika terjatuh saat bermain,
teman sebaya siswa tersebut mampu siswa tersebut mampu menyelesaikan
menunjukkan komunikasi dengan baik masalah saat bermain dengan sesama
dan sopan baik dengan guru maupun teman terlihat ketika ada perbedaan
dengan siswa, siswa tersebut pendapat saat bermain ia mampu
menunjukkan sikap toleransi dan kasih menyelesaikan permasalahan yang
sayang kepada teman sebaya saat dikelas bersifat sederhana maupun masalah yang
ditunjukkan dengan adanya interaksi dan berat dengan baik, menyapa teman
komunikasi yang baik saat berkomunikasi dengan baik saat berinteraksi bermain,
dan bekerja sama yang membahas berpartisipasi dengan baik dalam sebuah
mengenai materi pembelajaran, anak permainan yang bertujuan untuk
menunjukkan feedback yang tepat dengan menciptakan permainan yang sempurna,
teman sebaya ketika ada teman yang selain itu Siswa tidak marah ketika diajak
bertanya kepadanya, sikap emosionalnya bercanda oleh temannya. Marah
22
ISSN : 2598-6244
Jurnal Inventa Vol III. No 1 Maret 2019 P-ISSN: 2622-819X
23
ISSN : 2598-6244
Jurnal Inventa Vol III. No 1 Maret 2019 P-ISSN: 2622-819X
24
ISSN : 2598-6244
Jurnal Inventa Vol III. No 1 Maret 2019 P-ISSN: 2622-819X
untuk bergaul dengan sesamanya dan belajar dan Guru menciptakan hubungan
dengan lebih baik, juga dalam aktivitas perkembangan sosial-emosional yang baik
lingkungan sosial. (Nurjanah, 2017). terhadap siswa selain itu guru juga harus
Berdasarkan hasil analisis penelitian bersikap sebagai figur yang harus dicontoh
perkembangan sosial-emosional di SD yang baik kepada siswa.
Jaranan menunjukkan bahwa perkembangan
sosial emosional salah satu siswa kelas V 4. Kesimpulan
menunjukkan sosial emosional yang baik Berdasarkan hasil penelitian dapat
yakni mudah bergaul saat bermain, dan disimpulkan bahwa analisis perkembangan
mudah beriteraksi dengan sesaman teman sosial-emosional siswa SD Jaranan tergolong
saat bermain bersama, mengajak teman lain perkembangan sosial-emosional baik dan
untuk ikut serta dalam permainan, membantu tercapai. Hal ini di buktikan berdasarkan
teman lain saat membutuhkan pertolongan hasil penelitian salah satu siswa kelas V,
saat bermain, dan mampu menyelesaikan siswa tersebut tergolong perkembangan
permasalahan dengan kelompok bermain dan sosial-emosional sangat baik hal ini
mampu memelihara kelompok bermain agar dibuktikan dengan hasil penelitian didalam
tidak terjadi perselisihan, dan mengayomi kelas menunjukkan perkembangan sosial-
teman lain saat bermain. emosional dengan sikap kasih sayang, selalu
Perkembangan sosial-emosional diluar berpartisipasi dalam kegiatan pembelajaran,
kelas kedua perkembangan sosial emosional menunkukkan komunikasi dan interaksi yang
adalah perkembangan perilaku dalam baik, mampu menyesuaikan diri dalam
pengendalian dan peneyesuaian diri dengan kelompok belajar, menunjukkan rasa percaya
aturan masyarakat. Perkembangan sosial- diri, mempunyai rasa ingin tau yang tinggi,
emosional sangat dipengaruhi oleh dan mampu mengekspresikan emosi yang
lingkungan sosial emosional yakni orang tua, sesuai.
guru dan teman sebaya. (Suryati, 2016). Hasil penelitian perkembangan sosial-
Berdasarkan hasil analisis menunjukkan emosional salah satu siswa diluar kelas
bahwa sosial- emosional SD Jaranan menunjukkan perkembangan sosial-
tergolong baik pernyataan ini bisa di lihat emosional tercapai dan baik hal ini
hasil analisis perkembangan sosial emosional dibuktikan dengan sikap siswa dapat
siswa tersebut mudah berinteraksi dan mengontrol emosi dengan baik saat bermain
mudah bergaul dengan teman sebaya karen bersama dengan teman, membantu siswa lain
guru atau wali kelas V selalu memberikan saat membutuhkam pertolongan saat
stimulus atau dukungan anak tersebut saat bermain, mendorong teman untuk ikut
berhubungan dengan orang lain maupun bermain bersama, tidak memaksakan
teman sebaya. kehendak sendiri ketika bermain, menerima
Berdasarkan hasil penelitian maka ‘’ bantuan orang lain ketika merasakan
siswa dalam perkembangan sosial- kesulitan saat bermain, mampu
emosionalnya membutuhkan bantuan dan berkomunikasi dan berinteraksi dengan baik
program yang sesuai dengan kebutuhan dan saat bermain, dan mampu menyelesaikan
usianya dalam dunia pendidikan baik saat konflik ketika terjadi permasalahan saat
berhubungan dengan lingkungan sosial, bermain.
maupun keluarga’’. (Latipah, 2017). Maka Berdasarkan hasil analisis perkembangan
dalam perkembangan sosial-emosional siswa sosial-emosional salah satu siswa di SD
perlu adanya bimbingan, arahan, dari pihak Jaranan baik didalam kelas maupun diluar
orang tua maupun guru untuk mendorong kelas menunjukkan perkembangan sosial-
tercapainya perkembangan sosial-emosional emosional tergolong baik karena siswa
dan mempertahankan perkembangan sosial- tersebut menunjukkan indikator
emosional yang telah dimiliki oleh siswa perkembangan sosial-emosional yang sesuai
yang baik dimasa masa yang akan datang dengan kriteria berdasarkan teori yang ada.
25
ISSN : 2598-6244
Jurnal Inventa Vol III. No 1 Maret 2019 P-ISSN: 2622-819X
26
ARTIKEL
E-ISSN: 2615-5028
Muhamad Zuldin
(FISIP UIN SGD Bandung; muhammadzuldin@yahoo.com)
Abstract
This article reviews the relationship between inequality and social conflict in society. This
literature review finds that there are at least four schools of thought in contemporary conflict theory that
examine the relationship of inequality to conflict. The first is the flow of positive thought which includes
the theory of structural conflict. Second is the flow of humanism thinking which consists of symbolic
interactions and social construction theory. The third is the school of thought which consists of the
thoughts of Jurgen Habermas and Pierre Bourdieu. And the last is a multi-disciplinary school built
by Johan Galtung and Anthony Giddens. The four schools of thought develop classical conflict theory,
especially Marx's thought that argues that economics is the only factor of conflict in society.
Abstrak
Artikel ini mengkaji ulang hubungan antara ketimpangan dengan konflik sosial
di masyarakat. Kajian pustaka ini menemukan bahwa setidaknya ada empat aliran
pemikiran dalam teori konflik kontemporer yang mengkaji hubungan ketimpangan
dengan konflik. Yang pertama adalah aliran pemikiran positif yang mencakup teori
konflik struktural. Kedua adalah aliran pemikiran humanisme yang terdiri dari interaksi
simbolik dan teori konstruksi sosial. Yang ketiga adalah mazhab pemikiran yang terdiri
dari pemikiran Jurgen Habermas dan Pierre Bourdieu. Dan yang terakhir adalah
mazhab multi disiplin ilmu yang dibangun oleh Johan Galtung dan Anthony Giddens.
Keempat aliran pemikiran tersebut mengembangkan teori konflik klasik, khususnya
pemikiran Marx yang berpendapat ekonomi adalah satu-satunya faktor konflik dalam
masyarakat.
Kata kunci: Teori konflik, ketimpangan sosial, mazhab kritis, pendekatan multi
disiplin
A. PENDAHULUAN
tentang konflik ini sejalan dengan masa awal perkembangan sosiologi. Teori konflik
awal atau klasik, yang diwakili oleh Marx, memiliki asumsi yang sederhana tentang
cerita panjang pertentangan kelas antara kaum proletar dan borjuis. Dalam pangangan
dengan pandangan klasik, teori konflik kontemporer mengganggap konflik tidak hanya
didominasi oleh faktor ekonomi. Konflik dalam pandangan ini merupakan sesuatu
yang permanen terjadi di semua lapisan masyarakat yang disebabkan antara lain oleh
perebutan kekuasaan, prestise, dan juga kekayaan, yang memang jumlahnya sangat
terbatas. Teori konflik kontemporer tidak hanya melihat konflik yang bersifat
destruktif, namun juga menganalisis fungsi konflik yang bersifat konstruktif bagi
masyarakat.1
Ide Marx dikembangkan juga oleh George Sorel. Sorel menganggap konflik
sebagai fenomena positif. Dia berpendapat bahwa konflik antar kelas akan
mengakibatkan berkuranganya kesatuan sosial di kalangan kelas itu. Oleh karena itu,
perbedaan di antara kelas dan dalam keadaan yang ekstrem, kesatuan dan identitas kelas
akan terus hilang. Max Gluckman, seorang antropolog Inggris, telah menekankan
Afrika, dia membuat kesimpulan bahwa konflik, dalam hubungan tertentu, dapat
Dari penjelasan di atas, tampak bahwa teori konflik telah mengalami revolusi,
dari yang bersifat destruktif ke yang lebih bersifat konstruktif. Dengan demikian,
B. TINJAUAN TEORI
diwakili oleh empat mazhab, yakni mazhab positivis (Ralph Dahrendorf dan Lewis
Coser), mazhab humanis (Herbert Blumer dan Peter Berger), mazhab kritis (Bourdieu
dan Jurgen Habermas), dan mazhab multidisipliner (Johan Galtung dan Anthony
Giddens).
nilai, universal, ahistoris, analisis makro, dan objektif. Teori yang tercakup adalah
konflik struktural: Dialektika konflik wewenang, dan fungsi konflik. Penganut mazhab
ini menganalisis dinamika dan pergeseran kelembagaan dari struktur sosial dan konflik
siklus tak berakhir dari adanya konflik wewenang dari berbagai macam tipe kelompok
kehadiran konflik dan konsensus. Jadi tidak akan ada konflik tanpa kehadiran
3 Novri Susan. Sosiologi Konflik: Isu-isu konflik kontemporer. (Jakarta: Kencana, 2009). Hlm 52. Cetakan
pertama.
kaum fungsionalis, dia menegaskan bahwa sistem sosial dipersatukan oleh kerjasama
sukarela atau konsesnsus keduanya. Bagi pendukung teori konflik, dia menegaskan
bahwa masyarakat dipersatukan oleh pembatasan yang dipaksakan. Ini berarti bahwa
dilegasikan dari satu pihak atas pihak lainnya. Fakta tentang kehidupan sosial ini
kelas Marxian guna membangun teori kelas dan pertentangan kelas dalam menganalisis
produksi (seperti yang dilakukan oleh Marx) tetapi lebih pada pemilikan kekuasaan,
yang mencakup hak absah untuk menguasai orang lain. Perjuangan kelas dalam
pemikiran Marx yang cenderung hanya menekankan aspek ekonomi sebagai faktor
dominan. Menurut Marx konflik terjadi karena ada ketimpangan pemilikan materi oleh
masyarakat yang disebabkan oleh adanya ekploitasi berlebihan dari kelompok pemilik
modal (kapitalis) terhadap kelompok yang tidak memiliki (lumpen proletar), sehingga
kesenjangan antara yang memiliki dan yang tidak memiliki semakin lebar. Faktor materi
4 Judistira K Garna dalam Sunarta. Integrasi dan Konflik: Kedudukan Politik Jawara dan Ulama dalam Budaya
Politik Lokal (Bandung: PPS Unpad Bandung, 1997) hlm 25. Disertasi.
5 Margaret M. Poloma. Sosiologi Kontemporer. (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003) hlm 144. Cetakan
ke-5. Diterjemahkan oleh tim penerjemah Yosogama dari judul asli Contemporary Socilogical Theory.
inilah menurut Marx, yang menjadi sumber dan penyebab kecemburuan sosial.
Dahrendorf memang mengakui bahwa materi merupakan salah satu elemen penyebab
ketimpangan dalam masyarakat dapat ditelusuri dengan konsep kekuasaan (power) dan
wewenang (authority) yang dimiliki masyarakat. Perbedaan dalam posisi, kekuasaan, dan
wewenang yang tidak merata akan berdampak pada perbedaan dan perolehan
atau faktor dominan konflik dalam masyarakat adalah tidak terdistribusinya secara
(1) Relasi wewenang yaitu selalu relasi-relasi antar super subordinasi; (2) di
mana ada relasi-relasi wewenang, kelompok-kelompok superordinasi selalu
diharapkan mengontrol perilaku kelompok-kelompok subordinasi melalui
permintaan dan perintah serta peringatan dan larangan; (3) berbagai harapan
tertanam relatif permanen dalam posisi sosial dari pada karakter individu; (4)
dengan keberadaan fakta ini atau kekuasaan superordinasi, mereka selalu
melibatkan spesifikasi subjek-subjek perorangan untuk mengontrol dan; (5)
spesifikasi dari ruang sosial yang kontrol mungkin dilakukan; dan (5)
wewenang menjadi hubungan terlegitimasi, tanpa protes dengan perintah-
perintah otoritatif dapat diberi sanksi; sesungguhnya ini merupakan fungsi
sebenarnya dari sistem legal untuk mendukung pemberlakuan wewenang yang
memiliki legitimasi.6
Kekuasaan dan otoritas merupakan sumber-sumber yang menakutkan dan
Dahrendorf mengatakan hal ini merupakan kepentingan objektif yang terbentuk dalam
peran-peran itu sendiri, bersamaan dengan kepentingan atau fungsi dari semua peran
6 Ralf Darendorf. Class and Class Conflict in Industrial Society (California: Stanford University Press, 1959)
.hlm 166-167.
Ketimpangan dan konflik itu tidak terjadi hanya pada masyarakat kapitalis dan
proletar, tetapi juga pada semua bentuk masyarakat, seperti keluarga, organisasi,
militer, negara atau dalam semua aspek kehidupan seperti ekonomi, sosial, budaya,
agama, hukum, dan keamanan. Jadi konflik sosial, menurut Dahrendorf, meliputi
aspek yang sangat luas, tidak seperti yang dikatakan Marx yang hanya terbatas pada
perpecahan, tetapi juga mengarah pada perubahan sosial dan perkembangan, seperti
Briefly, Dahrendorf argued than once conflict groups emerge, they engage in actions that lead
to changes in social strructure. When the conflict is intense, the changes that accur are radical.
When it is accompanied by violence, structural change will be sudden. Whatever the nature
of conflict, sociologist must be attuned to the relationship between conflict and change as well
as as that between conflict and the status quo.9
mengkaji setiap fenomena konflik sosial yang tidak terbatas pada determinasi ekonomi
saja atau pemilik modal dengan memilili modal. Teori ini, disamping untuk
menganalisis konflik struktural yang disebabkan faktor kekuasaan, tetapi juga bisa
digunakan untuk menganalisis derivasi dari kekuasaan seperti konflik yang bersumber
7 Ian Craib. Teori-Teori Sosial Modern dari Parsons sampai Habermas hlm 98
8 Yohanes Bahari. Resolusi Konflik Berbasis Pranata Adat Pamakang dan Pati Nyawa pada Masyarakat Dayak
Kanayatn di Kalimantan Barat (Bandung, Program PPS Unpad, 2005) hlm 33-34. Disertasi.
9 George Ritzer. Sociological Theory. (Singapore: McGraw-Hill, 1992) hlm 266. Third Edition.
Namun demikian, karya Simmel ini telah diperluas oleh Lewis Coser yang menyatakan
berikut: ”1) Conflict with one group may serve to produce coheesion by leading to a series of alliances
with other groups. 2) Within society, conflict can bring some ordinarily isolated individuals into active
Lebih jauh lagi, proposisi Simmel dan Coser tentang konflik dan integrasi
10 Lewis Coser. The function of social conflict. (New York: Free Press, 1956) dalam Sunarta. Integrasi dan
Konflik: Kedudukan Politik Jawara dan Ulama dalam Budaya Politik Lokal. Hlm 26-27. Lihat juga George
Ritzer. Sociological Theory. Hlm 268-269.
11 Ahmad Fedyani Saifuddin, Konflik dan Integrasi: Perbedaan Faham dalam Agama Islam. (Jakarta: Rajawali,
1986) hlm 44
Lebih lanjut Coser berasumsi bahwa konflik akan fungsional bagi sistem sosial
akan menghasilkan keadaan yang lebih stabil, fleksibel, dan sistem sosial yang lebih
terpadu.12
Coser membagi konflik menjadi dua: konflik eksternal (external conflict) dan
batasan di antara dua kelompok dalam sistem sosial dengan memperkuat kesadaran
kelompok dalam sistem.”13 Sedangkan fungsi konflik internal adalah memberi fungsi
positif terhadap kelompok identitas mengenai adanya kesalahan perilaku. Selain itu,
Coser juga membedakan dua tipe dasar konflik, yaitu konflik realistis dan konflik
non realistis. Konflik realistik memiliki sumber yang kongkrit atau bersifat material,
seperti perebutan sumber ekonomi atau wilayah. Jika mereka telah memperoleh
sumber rebutan itu, dan bila dapat diperleh tanpa perkelahian, maka konflik akan
segera diatasi dengan baik. Konflik non realistis didoroang keinginan yang tidak
12 Graham C. Kinloch. Perkembangan dan Paradigma Utama Teori Sosiologi. (Bandung: Pustaka Setia, 2005)
hlm 228. Cetakan Pertama. Editor: Dadang Kahmad. Diterjemahkan dari Sociological Theory: Its
Development and Major Paradigm.
13 Lewis Coser. The function of Social Conflict. Hlm 37 dalam Novri Susan hlm 53.
rasional dan cenderung bersifat ideologis, seperti konflik antar agama, antar etnis, dan
konflik antar kepercayaan lainnya. Konflik adalah tujuan itu sendiri, baik diizinkan atau
tidak. Konflik non realistis merupakan suatu cara menururnkan ketegangan atau
kekejian yang sesungguhnya turun dari sumber-sumer lain. Antara konflik pertama dan
kedua, konflik non realistis cenderung sulit untuk menemukan resolusi konflik,
konsensus dan perdamaian tidak akan mudah diperoleh. Menurut Coser, sangat
Menurut Wallace dan Wolf, fungsi positif konflik internal terhadap kelompok
bisa berlaku tatkala konflik tidak menyertakan nilai-nilai dan prinsip dasar. Hal ini
terkait dengan tipe kelompok menurut Coser yakni bahwa konflik yang menyertakan
nilai-nilai dan prinsip dasar biasanya bersifat nonrealistis. Melalui pengelolaan konflik
yang baik, sebagai safety valve, maka sistem akan berjalan dengan stabil dan berperan
Teori konflik Coser yang membahas konflik internal dan konflik ekternal dan
konflik realistis dan konflik non realistik sangat relevan dipakai untuk menganalisis
konflik kelompok keagamaan. Demikian pula dengan konsep savety valve yang
14 Ibid. hlm 54-55. Bandingkan dengan Nasikun yang membagi dua macam tingkatan konflik: Konflik
ideologis dan konflik politis. Konflik ideologis terwujud dalam bentuk konflik antar sistem nilai yang
dianut dan menjadi ideologi dari berbagai kesatuan sosial. Konflik ini mudah disimak di dalam hubungan
perbedaan agama dan keyakinan, dan konflik antar suku bangsa. Konflik bersifat politis terjadi dalam
bentuk pertentangan di dalam pembagian status kekuasaan dan sumber-sumber ekonomi yang terbatas
di masyarakat. Nasikun. Sistem Sosial Indonesia. (Jakarta: CV Rajawali, 1992). Hlm 63. Cetakan ketujuh.
15 Wallace & Wolf .Reading in Contemporary Sociological Theory from Modernity to Post Modernity.(New Jersey:
dikemukan oleh Simmel dan ditegaskan kembali oleh Coser yang berfungsi sebagai
jalan tengah solusi konflik sangat berguna untuk menganalisis resolusi konflik.
konflik mikro atau konflik antar individu dan individu terhadap kelompok. Teori-teori
yang berada dalam mazhab ini teori interaksi simbolik dan teori konstruksi sosial.
sangat penting adalah Mind, Self, and Society.16 Mind atau pikiran didefinisikan Mead
sebagai proses percakapan seseorang dengan diri sendiri, tidak ditemukan di dalam diri
individu; pikiran adalah fenomena sosial. Pikiran muncul dan berkembang dalam
proses sosial dan merupakan bagian integral dari proses sosial. Proses sosial
mendahului pikiran, proses sosial bukanlah produk dari pikiran. Karakteristik istimewa
dari pikiran adalah kemampuan individu untuk memunculkan dalam dirinya sendiri
tidak hanya satu respon saja, tetapi juga respon komunitas secara keseluruhan. Mead
juga melihat pikiran secara pragmatis, yakni pikiran melibatkan proses berpikir yang
16 George Ritzer dan Douglas J. Goodman. Teori Sosial Modern .(Jakarta: Kencana, 2004) hlm 271. Edisi
pertama. Diterjemahkan oleh Alimandan dari buku aslinya Modern Sociological Theory, Sixth Edition.
17 Ibid. hlm 280
Self atau diri adalah kemampuan menerima diri sendiri sebagai suatu objek. Diri
Diri adalah di mana orang memberi tanggapan terhadap apa yang ia tujukan
kepada orang lain dan di mana tanggapannya sendiri menjadi bagian dari
tindakannya, di mana ia tidak hanya mendengar dirinya sendiri, tetapi juga
merespon dirinya sendiri, berbicara dan menjawab dirinya sendiri sebagaimana
orang lain menjawab pada dirinya, sehingga kita mempunyai perilaku di mana
individu menjadi objek untuk dirinya sendiri.
Karena itu diri adalah aspek lain dari proses sosial menyeluruh di mana individu
adalah bagiannya. Ahirnya Mead mengatakan, ” Hanya dengan mengambil peran orang
Diri, menurut Mead, pada dasarnya merupakan proses sosial yang berlangsung
dua fase yang dapat dibedakan, yaitu ”I” dam ”Me”. ”I’ adalah tanggapan spontan
terhadap orang lain. ”Me” merupakan penerimaan atas orang lain yang digeneralisir.
Kontrol sosial terbentuk karena keunggulan ekpresi ”Me” di atas ekpresi ”I”.
Society atau masyarakat berarti proses sosial tanpa henti yang mendahului
pikiran dan diri. Menurut Mead, masyarakat penting perannya dalam membentuk
diambil alih oleh individun dalam bentuk ”me”. Pada tingkat kemasyarakatan yang
lebih khusus, Mead mendefinisikan pranata sosial sebagai ”tanggapan bersama dalam
melalui artikelnya Man and Society (1969). Ia menyebutkan tujuh prinsip dasar teori ini,
sebagai berikut:
c. Dalam interaksi sosial manusia mempelajari arti dan simbol yang memungkinkan
berinteraksi.
e. Manusia mampu mengubah arti dan simbol yang mereka gunakan dalam tindakan
mereka, dan memilih salah satu diantara serangkaian peluang tindakan itu.
g. Pola tindakan dan interaksi yang saling berkaitan akan membentuk kelompok dan
masyarakat.20
2. Makna tersebut berasal dan interaksi sosial seseorang dengan orang lain.
adanya interaksi simbolis. Melalui simbol-simbol yang telah mereka maknai bersama
tersebut disampaikan pada pihak lain. Simbol yang umum digunakan adalah bahasa,
berbagai fenomena konflik pada skala mikro dan lingkungan yang lebih spesifik.
Simbol bisa dimaknai secara variatif oleh masing-masing aktor dalam interaksi sosial.
Makna negatif dalam bentuk kebencian akan mengakibatkan prasangka (prejudice) dan
Teori interaksi simbolik ini dapat juga digunakan untuk menganalisis konfllik
agama. Beberapa simbol agama yang dipahami secara berbeda dari suatu kelompok
menunjukkan rasa permusuhan (hostile feeling) satu kelompok dengan kelompok lain, di
Teori lainnya dalam mazhab humanisme adalah teori konstruksi sosial. Teori
ini dikembangkan oleh Peter L.Berger dan Luckman (1966) dalam The Social
sosiologi pengetahuan yang melihat konflik sebagai manifestasi sosial dari dialektika
sosial.
individu (self) dengan dunia sosial. Proses dialektik ini mencakup tiga unsur yaitu
objektivasi, dan internalisasi merupakan tiga proses yang berjalan terus menerus.
disebut sebagai sosialisasi primer, yaitu saat seseorang berusaha mendapatkan dan
membangun tempatnya dalam masyarakat. Kedua fase ini membuat orang memandang
masyarakat sebagai realitas objektif atau man in society. Tahap internalisasi, yang lebih
lanjut agar pranata ini dapat dipertahankan, harus ada pembenaran terhadap pranata
tersebut, tetapi pembenaran itu dibuat juga oleh manusia sendiri melalui proses
legitimasi yang disebut dengan objektivasi sekunder. Pranata sosial merupakan hal yang
objektif dan independen. Kenyataan sosial merupakan suatu konstruksi sosial buatan
masyarakat sendiri dalam perjalanan sejarahnya dari masa silam, ke masa kini dan
menuju masa depan. Konstruksi sosial in pada gilirannya bersifat plural, relatif, dan
dalam membangun realitas sosial, dan setiap kehendak tersebut harus berhadapan satu
sama lain dan saling mendominasi. Oleh karenanya, konflik di antara kelompok-
Konflik tidak hanya terjadi pada seseorang, tetapi orang merupakan peserta aktif
dalam menciptakan situasi dan interaksi yang mereka ambil pengalaman sebagai
konflik.
3. Konflik muncul melalui proses interaktif yang melandaskan pada pencarian dan
5. Pemaknaan muncul sebagaimana manusia meletakkan diri mereka sendiri dan sosial
kesadaran, tetapi lebih jauh petualangnan yang dalam arti penemuan dan penggalian
seperti kepercayaan yang mereka yakini, bahkan seringkali melakukan ekspansi. Agama
sebagai lembaga sosial, menurut Berger, menjadi sumber pembenaran yang paling
kewajiban moral mengajak dan melakukan kritik terhadap dominasi penguasa terhadap
masyarakat dalam struktur sosial. Oleh karenanya, teori kritis adalah merupakan
yang menindas masyarakat oleh sekelompok penguasa. Kelompok ini diwakili oleh
Jurgen Habermas dan Pierre Bourdieu. Mereka semuanya dipengaruhi oleh Karl
Marx.
Habermas mengakui bahwa konflik adalah sesuatu yang inheren dalam sistem
masyarakat. Hal ini tidak terlepas dari hubungan kekuasaan dalam sistem sosial dan
berbagai bentuk kebijakan pada orang lain di luar wewenang dan kekuasaannya.
dihasilkan dari kondisi ini selalu memuat kepentingan penguasa untuk menundukkan.
intrumental hanya memberi peluang pada pemilik kekuasaan, dan tidak akan
25 Jurgen Habermas. On The Pragmatics of Communication. (Massachusetts: The MIT Press, 1998) hlm 2
dalam Novri Susan. Sosiologi Konflik: Isu-isu konflik kontemporer. Hlm 69.
mengusai. Birokrasi modern adalah struktur negara yang menggunakan kesadarn dan
ruang publik bisa mengakibatkan kekesalan, frustasi, dan bentuk kekerasan dalam
perlawanan politik. Untuk itu Habermas mengajukan kondisi ini atau komunikasi
membuka ruang-ruang dialog yang bebas dari dominasi penguasa. Para penguasa yang
setara dan terbuka sehingga dapat menghindari konflik antara pengambil keputusan
Teori Habermas ini juga bisa digunakan untuk menganalisis konflik antar
semua pihak. Keputusan yang diambil kadang diabaikan bahkan terjadi penolakan baik
Tokoh teori sosiologi kritis lainnya adalah Pierre Bourdieu yang berasal dari
hubungan kelas dan ditentukan oleh kepentingan materi. Ia menggunakan istilah field
(lapangan) yang berarti arena sosial orang-orang yang menciptakan berbagai manuver,
Menurut Bourdieu, posisi tertentu memiliki kekuasaan yang lebih dari posisi
yang ada dibawahnya. Sumber kekuasaan adalah modal (capital), yang terbagi menjadi
tiga: Modal ekonomi (economic capital), modal sosial (social capital), dan modal budaya
(cultural capital). Modal ekonomi merupakan sumber kekuasaan yang bersifat materi.
Semakin banyak materi yang dimiliki, semakin besar kekuasannya. Modal sosial
merupakan sumber kekuasaan yang diperoleh melalui jaringan (network) dan pengaruh
Legitimasi inilah yang sering melahirkan kekerasan simbolik, yaitu kekerasan melalui
praktik bahasa. Reproduksi dari sistem reproduksi melalui modal budaya bisa dipahami
melalui praktek habitus. Dalam Language and Symbolic Power (1992), Bourdieu
dominasi kelas melalui sistem pendidikan di Perancis. Namun demikian, teori ini juga
kelompok lainnya.
Johan Galtung dan Anthony Giddens. Mazhab multidisipliner ini dalam menganalisis
konflik tidak hanya menggunakan satu teori atau pendekatan, tetapi menggunakan
harus netral. Ini adalah ciri dari mazhab positivistik, namun Galtung menyarankan
masing-masing. Kepentingan itu bisa berwujud dalam bentuk ekonomi dan politik.
Dua kelompok sosial dengan kepentingan ekonomis dalam satu lingkungan yang sama,
Proses ini akan membawa pada bentuk prilaku-prilaku tertentu yang menciptakan
kontradiksi dan situasi ketegangan. Segitiga konflik ini merupakan analisis hubungan
sebab akibat atau interaksi yang memungkinkan terjadinya konflik sosial. Tiga segitiga
tersebut terdiri dari sikap, perilaku, dan kontradiksi. Sikap adalah persepsi anggota etnis
tentang isu-isu tertentu yang berkaitan dengan kelompok laian. Perilaku dapat berupa
melibatkan problem sikap dan perilaku sebagai proses. Hal ini dapat digambarkan
sebagai berikut:
KONTRADIKSI
SIKAP PERILAKU
26 Johan Galtung Peace by Peaceful Means: Peace and conflict Development and civilization.(London: IPRIO, 1996)
dalam Yohanes Bahari. Hlm 51-52. Lihat pula Johan Galtung. Kekerasan Budaya dalam Thomas Santoso
(ed) Teori-Teori Kekerasan (Jakarta: Ghalia, 2002) hlm 183-184. Jamil Salmi membagi empat jenis
kekerasan: Kekerasan langsung, kekerasan tidak langsung, kekerasan repsesif, dan kekerasan alienatif.
Kekerasan langsung merujuk pada tindakan yang menyerang fisik atau psikologis seseorang secara
langsung, seperti pemusnahan etnis, penganiayaan, dan pengusiran paksa terhadap masyarakat.
Kekerasan tidak langsung adalah tindakan yang membahayakan manusia, bahkan kadang-kadang
ancaman kematian, tetapi tidak melibatkan hubungan langsung antara korban dan pihak yang
bertanggung jawab atas tindakan tersebut, termasuk kekerasan yang dibiarkan dan dimediasi. Kekerasan
represif berkaitan dengan pencabutan hak-hak dasar selain hak untuk bertahan hidup dan hak untuk
dilindungi darikesakitan atau penderitaan. Kekerasan alienatif merujuk pada hak-hak individu yang lebih
tinggi, misalnya hak pertumbuhan kejiwaan (emosi), hak budaya dan hak intelektual. Jamil Salmi. Violence
and Democratic Society: Hooligansime dan Masyarakat Demokrasi. (Yogyakarta: 2005, Nuansa Aksara) hlm 32-
kekerasan yang pada lapisan bagian bawah terdapat arus stabil melalui waktu kekerasan
kultural, yaitu substrata yang mengalirkan semacam nutrient (zat gizi) bagi kedua jenis
kekerasan lainnya, Dalam strata selanjutnya, terletak irama kekerasan struktural. Pada
bagian atas, yang terlihat oleh mata telanjang, adalah strata kekerasan langsung dengan
record kekejaman langsung yang dilakukan oleh manusia terhadap manusia lainnya dan
terhadap bentuk-bentuk lain atau kehidupan dan alam pada umumnya. Cara kerja
ketiga bentuk kekerasan tersebut berdasarkan arus kausal yang berantai dan satu titik
tersebut bisa bermula dari titik yang mana saja, dari kekerasan kultural melalui
Kekerasan
langsung
Kekerasan
kultural
Kekerasan
struktural
Bahwa kekerasan langsung sebagai peristiwa di puncak strata dan karena itu
gampang terlihat. Berikutnya adalah pola-pola perubahan eksploitasi dengan
mekanisme yang dibutuhkannya baik dalam mencegah pembentukan
kesadaran maupun menghambat pengorganisasian terhadap eksploitasi dan
penindasan. Inilah strata kekerasan struktural yang dilihat sebagai proses
perubahan. Ia tidak begitu terlihat dan karenanya lebih berbahaya. Strata dasar
adalah yang tetap mengalir sepanjang masa yakni kekerasan struktural, yang
menopang kedua strata di atas.30
Berdasarkan pemikiran Galtung itu dapat disimpulkan bahwa konflik
Teori kekerasan Galtung ini tepat untuk menganalisis kekerasan budaya yang
berbasis agama. Kekerasan agama secara struktural sering bermula dari pemahaman
dari para pemeluknya sehingga muncul tafsir-tafsir yang berbeda dengan kelompok-
primordial yang dikemukkan oleh Giddens. Menurut Giddens persoalan konflik dalam
masyarakat juga mendapatkan perhatian dari para pengamat entitas dan ras sebagai
suatu kelompok identitas dan kepentingan mereka dalam struktur sosial. Analisis ini
disebut dengan pendekatan primordial yang melihat konflik sebagai akibat dari
pergesekan kelompok identitas, seperti identitas yang berbasis etnik dan agama. Teori
ini memahami konflik sebagai akibat pertemuan dari berbagai budaya, ras, agama,
dalam suatu georgafis yang melahirkan suatu identitas dan rasa solidaritas. Pendekatan
ini berpandangan bahwa konflik adalah di semua level masyarakat dan negara di mana
agama, kasta, dan lainnya. Aliran ini menolak teori yang berpandangan bahwa
primordial.31
D. KESIMPULAN
Teori konflik muncul seiring dengan munculnya sosiologi. Dilihat dari segi
historis, teori konflik terbagi dua, teori konflik klasik dan kontemporer. Teori konflik
konflik sebagai sesuatu yang melekat dalam setiap tingkatan masyarakat. Faktor
penyebab konflik tidak lagi determinasi ekonomi, namun juga disebabkan faktor lain,
seperti kekuasaan dan prestise. Konflik tidak hanya dipandang sesuatu yang destruktif
Ada empat mazhab teori konflik. Pertama mazhab positivis yang ditokohi oleh
Ralph Dahrendorf dan Lewis Coser. Mazhab ini memandang konflik struktural yang
disebabkan oleh kekuasaan dan analisis fungsi konflik bagi masyarakat. Mazhab
humanis yang ditokohi oleh Herbert Blumer dan Peter Berger. Mazhab ini memandang
fenomena konflik pada skala mikro dan lingkungan yang lebih spesifik. Simbol bisa
dimaknai secara variatif oleh masing-masing aktor dalam interaksi sosial. Makna negatif
permusuhan (hostile feeling). Teori lainnya dalam mazhab humanisme adalah teori
konstruksi sosial konflik. Teori ini dikembangkan oleh Peter L. Berger dan Luckman.
Konstruksi sosial merupakan kajian yang berkembang dari sosiologi pengetahuan yang
31Anthony Giddens. Human Societies A Reader. (Cambridge: Polity Press, 1992) dalam Novri Susan hlm
84-85
melihat konflik sebagai manifestasi sosial dari dialektika sosial. Ketiga mazhab kritis
yang ditokohi oleh Bourdieu dan Jurgen Habermas. Mazhab ini berusaha menganalisis
multidisipliner yang ditokohi oleh Johan Galtung dan Anthony Giddens. Mereka
menganalisis konflik tidak hanya menggunakan satu teori atau pendekatan, tetapi
menggunakan berbagai macam teori atau disiplin ilmu berdasarkan kebutuhan analisis,
seperti trancend approach oleh Galtung dan pendekatan primordial oleh Giddens.
DAFTAR PUSTAKA
Anand, Chaiwat S. Agama dan Budaya Perdamaian (Yogyakarta: Fk BA dan QIA UGM,
2002).
Bahari, Yohanes. Resolusi Konflik Berbasis Pranata Adat Pamakang dan Pati Nyawa pada
2005).
Coser, Lewis. The function of social conflict.( New York: Free Press, 1956).
Craib, Ian. Teori-Teori Sosial Modern dari Parsons sampai Habermas (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 1994). Cetakan ke-3. Diterjemahkan oleh Paul S. Bault dan T. Effendi.
Dahrendorf, Ralf. Class and Class Conflict in Industrial Society (California: Stanford
Galtung, Johan Peace by Peaceful Means: Peace and conflict Development and
1998).
Cetakan ke-5. Diterjemahkan oleh tim penerjemah Yosogama dari judul asli
Rahman, M. Taufiq. Glosari Teori Sosial, (Bandung: Ibnu Sina Press, 2011).
Ritzer, George dan Douglas J. Goodman. Teori Sosial Modern .(Jakarta: Kencana, 2004)
Saifuddin, Ahmad Fedyani. Konflik dan Integrasi: Perbedaan Faham dalam Agama Islam.
Salmi, Jamil. Violence and Democratic Society: Hooligansime dan Masyarakat Demokrasi.
Sunarta. Integrasi dan Konflik: Kedudukan Politik Jawara dan Ulama dalam Budaya Politik
Susan, Novri. Sosiologi Konflik: Isu-isu konflik kontemporer. (Jakarta: Kencana, 2009).
Cetakan pertama.
Wallace, Ruth A. and Alison Wolf. Reading in Contemporary Sociological Theory from
Yakin, Haqqul. Agama dan Kekerasan dalam Transisi Demokrasi di Indonesia. (Yogyakarta:
ABSTRACT
Qualitative method has brought new perspective in research and academic
world. One of qualitative method is interpretative approach. Interpretative paradigm
includes many sociologists and philosophises that share general characteristics in
understanding and explaining social world. Furthermore, this paradigm also
motivates scholars to explore social world from people who involves directly in
social process.
Interpretative approach consists of many approaches. Some of them are
ethnography, ethomethodology and phenomenology. Ethnography means a writing
or report in terms of anthropology. Ethnomethodology is a knowledge collection
based on healthy minds and procedures in order to make society understood and
acted based on situation. Lastly, phenomenology is a philosophy that implicates
moral value from observation, data collection and conclusion phase.
PENDAHULUAN
Paradigma interpretif merupakan pendekatan subyektif yang lebih melihat
secara implisit daripada eskplisit (Burrell dan Morgan, 1979). Paradigma ini yang
mencakup berbagai pemikiran filosofis dan sosiologis yang berbagi karakteristik
umum dalam mencoba untuk memahami dan menjelaskan dunia sosial terutama
dari sudut pandang pelaku yang terlibat langsung dalam proses sosial. Paradigma
interpretif yang bertentangan dengan positivisme ini berawal dari tradisi idealis
Jerman, Immanuel Kant. Kant berpandangan bahwa realitas alam semesta terletak
pada spirit atau gagasan daripada persepsi akal (Burrell dan Morgan, 1979). Kant
juga merupakan filosofi pertama yang mengemukakan dasar ontologis dan
epistemologi akan pandangan ini.
Idealisme awalnya mendapat tempat sekunder dari positivisme, akan tetapi
pada akhir abad ke 19, kemunculannya mulai menjadi perhatian sehingga dikenal
dengan neo-idealisme atau neo-kantian.Dalam dasar idealisme dengan asumsi yang
sederhana, manusia hidup mungkin menjadi produk dari keterkaitan kompleks
antara pengetahuan priori dan kenyataan empiris dimana menurut Kant titik
awalnya adalah pikiran dan intuisi (Burrell dan Morgan, 1979). Kant
mengatakan pengetahuan priori harusmendahului pemahaman akan pengalaman
empiris. Dalam penjelasannya, harus ada kesatuan, prinsip pengorganisasian dalam
125
kelahiran kesadaran manusia dimana setiap dan semua data indera terstruktur,
diatur dan akhirnya dipahami. Pengetahuan priori dianggap sebagai independen
dari setiap realitas eksternal dan data indera yang memancarkan, sehingga itu
dilihat sebagai produk dari pikiran dan proses interpretasi di dalamnya.
Dilthey berpendapat bahwa ada 2 jenis sains yang secara mendasar berbeda
yaitu Naturwissenschaften dan Gcisteswissenschafien (Neuman, 2013). Dari sudut
pandang interpretif dan mengacu kepada 2 jenis sains diatas, paradigma positivisme
tidak memuaskan dan bermasalah dalam 2 hal sebagai berikut (Burrell dan Morgan,
1979), masalah pertama ada pada ilmu-ilmu alam. Jelas terlihat dalam ilmu-ilmu
alam (Naturwissenschaften) bahwa nilai-nilai kemanusiaan terdapat dalam proses
penyelidikan ilmiah. Itu adalah bukti bahwa metode ilmiah tidak bisa lagi dianggap
sebagai bebas nilai. Kerangka acuan peneliti scientific semakin dilihat sebagai sebuah
kekuatan aktif yang menentukan cara di mana pengetahuan ilmiah
diperoleh. Masalah kedua ada dalam bidang ilmu-ilmu budaya. Dalam bidang ilmu-
ilmu budaya (Gcisteswissenschafien), masalah timbul karena materi pelajaran
dibedakan oleh karakter dasarnya spiritualnya. Hal yang perlu disadari bahwa
manusia sebagai aktor, tidak dapat dipelajari melalui metode-metode ilmu alam,
terlebih lagi dengan kepedulian mereka atas pengembangan hukum secara umum.
Dalam budaya, manusia tidak tunduk pada hukum dalam arti fisik, tetapi
bebas. Dari 2 masalah diatas akan positivisme maka idealisme dianggap sebagai hal
baru dalam sosiologi. Dengan demikian, terjadi pergeseran khas dalam fokus
perhatian intelektual sepanjang dimensi subjektif-obyektif dari skema analisis yang
melibatkan teori tertentu dalam menjelaskan landasan intelektual apa yang
digambarkan sebagai paradigma interpretatif.
Beberapa ahli mencoba membuat jembatan antara idealisme dan positisme
khususnya Dilthey dan Weber. Dilthey (1833-1911) dan Weber (1864-1920)
mengemukakan bahwa hal yang bisa dilakukan setidaknya menempatkan ilmu
budaya pada dasar yang kuat dalam validitas yang obyektif (Burrell dan Morgan,
1979). Jika ilmu budaya didefinisikan oleh karakter spiritual maka inti dari situasi
sosial atau jenis institusi adalah kunci penting. Akan tetapi, itu membuat tantangan
besar bagi para filosofi sosial dalam memberikan penjelasan urusan sosial dan
historis tanpa merujuk positivisme. Dengan demikian, penjelasan dalam tradisi
idealis hanya tersedia melalui jalan lain untuk intuisi atau metafisika.
Melalui verstehen, masalah yang timbul untuk menjembatani positivisme
dan idealisme dapat diatasi.Untuk memahami ilmu-ilmu budaya diperlukan suatu
metode analisis baru berdasarkan verstehen atau pemahaman berempati. Dilthey
mengatakanbahwa untuk mengatasi masalah ini ditemukan pada
gagasan verstehen (pemahaman berempati) (Burrell dan Morgan, 1979). Konsep
verstehen digunakan sebagai analisis pemahaman yang diperoleh melalui
pemaknaan bersama atau intersubyektivitas. Pemakaian konsep verstehen
disebabkan karena hal yang dikaji adalah fenomena ideal atau spiritual yang
membahas sesuatu dibalik tindakan sehingga tidak ada pemilahan subyek-obyek.
Verstehen atau pemahaman berempati diartikan dengan keadaan dimana penyidik
126
dapat berusaha untuk memahami manusia, pikiran batin mereka dan perasaan
mereka, dan cara ini diekspresikan dalam tindakan dan prestasi (Burrell dan
Morgan, 1979).
Dengan beberapa ahli, paradigma interpretif telah terbentuk dan
dipengaruhi oleh Dithley, Weber dan Hussrel. Berdasarkan hal itu, paradigma
interpretif juga dikenal sebagai fenomena abad 20 (Burrell dan Morgan, 1979).
Paradigma interpretif dapat dibedakan dalam 4 kategori yang dibedakan
berdasarkan tingkat subyektivitas dalam dimensi subyektif-obyektif. Kategori
paradigma interpretif adalah solipism, fenomologi, sosiologi fenomologikal dan
hermeneutik (Burrell dan Morgan, 1979). Ada pemikiran-pemikiran sosiologi yang
berhubungan dekat dengan fenomologi dalam paradigma interpretif. Pemikiran-
pemikiran tersebut adalah etnometodologi dan interaksi simbiolis fenomologi
(Burrell dan Morgan, 1979)
I. ETNOGRAFI
Etnografi merupakan metode yang memiliki posisi cukup penting di antara
metode-metode kualitatif dan ilmu sosial lain. Perkembangan metode ini bermula
pada paruh kedua abad ke-20 dan dikenal dengan metode penelitian yang khas.
Etnografi ditinjau secara harafiah berarti tulisan atau laporan tentang suatu suku
bangsa yang ditulis oleh antropolog atas hasil penelitian lapangan selama sekian
bulan atau sekian tahun (Spradley, 2007). Intinya, belajar etnografi seperti
mempelajari jantung dari ilmu antropologi. Etnografi mempelajari kultural yang
menyajikan pandangan hidup subyek yang menjadi obyek penelitian. Etnografi
dikembangkan menjadi metode penelitian dengan menggunakan landasan filsafat
phenomenologi dengan melihat cara berpikir, hidup dan perilaku suatu subyek
(Muhadjir, 2011). Etnografi tidak hanya untuk memahami manusia tetapi juga untuk
memenuhi kebutuhan manusia serta mensinkronisasikan kedua manfaat penelitian
tersebut (Spradley, 2007).
Spradley memandang kajian lapangan etnografi sebagai tonggak antropologi
tunggal (Spradley, 2007). Seiring perkembangan antropologi, etnografi tidak lagi
menguasai trademark antropologi, namun tetap ikut mewarnai kajian-kajian di
lapangan yang berkembang. Etnografi dimaknai sebagai prosedur atau metode kerja
sekaligus hasil kerja. Ciri-ciri khas penelitian lapangan etnografi adalah holistik-
integratif, thick, deskriptif, dan analisa kualitatif yang bertujuan mendapatkan
pandangan orang lokal (Spradley, 2007). Ciri khas tersebut sesuai dengan pendapat
Mishler akan etnografi dan penjelasan Goetz dan LeCompte dalam bukunya
Ethnography an Qualitative Design. Menurut Mishler, etnografi menekankan
dipergunakannya metode kualitatif dan analisis holistis (Muhadjir, 2011). Sedangkan
Gietz dan LeCompte mengemukakan bahwa ilmu sosial yang menggunakan model
penelitian manapun, memfokuskan pada etnografi, menekankan pembentukan teori
berdasarkan data empirik atau teori yang dikonstruksi di lapangan (Muhadjir, 2011).
Sesuai dengan cirinya yang holistic-integratif, etnografi tidak hanya
mempelajari suatu lingkungan atau masyarakat tetapi etnografi juga belajar dari
masyarakat atau lingkungan. Inti dari etnografi adalah memperhatikan makna-
127
makna tindakan atau kejadian yang menimpa obyek yang diamati (Spradley, 2007).
Penelitian dengan etnografi dilakukan untuk memahami secara mendalam konteks
yang diteliti tanpa membawa prakonsep atau praduga atau teori yang dimilikinya
(Muhadjir, 2011). Dengan memahami sudut pandang obyek, maka dapat
mendefinisikan subyek penelitian dengan cara merefleksikannya. Peneliti dapat
memulainya dengan membangun konsep berdasar proses induktif atas empiris dan
dibangun dengan sudut pandang masyarakat bukan teori yang dimiliki oleh peneliti.
Etnografi tidak hanya memulai dari masalah-masalah teoritis tetapi juga memulai
dengan informasi dari obyek penelitian kemudian mengembangkan agenda
penelitian untuk menghubungkan topik-topik tertentu dalam masalah yang selalu
ada dalam ilmu sosial (Spradley, 2007). Dengan demikian, peneliti etnografis
berupaya memasuki kawasan tak dikenalnya tanpa membuat generalisasi
berdasarkan pengalamannya sendiri (Muhadjir, 2011).
Etnografi mempunyai 2 fungsi yang terkait satu dengan yang lainnya. Etnografi
merupakan laporan dari suatu penelitian yang khas akan tetapi etnografi juga
digunakan sebagai metode penelitian untuk menghasilkan laporan tersebut
(Spradley, 2007). Secara garis besar, Etnografi menyangkut peristiwa yang berkaitan
dengan proses deskripsi, komparatif dan analisis budaya yang bersifat menjelaskan
yang terdokumentasi. Dalam etnografi terdapat konseptualisme yang dipakai unttuk
dijadikan asumsi atau dasar metodologi penelitian. Menurut Muhadjir,
konseptualisme metodologis model penelitian etnografi dapat dikerangkakan
menjadi 4 dimensi yaitu (Muhadjir, 2011) yaitu:
a. Induksi-deduksi
Dimensi induksi-deduksi menunjuk kedudukan teori dalam studi penelitian.
Penelitian deduktif berharap data empirik dapat mendukung teori. Penelitian
induktif berharap dapat menemukan teori yang dapat menjelaskan datanya.
b. Generatif-verifikatif
Dimensi generatif-verifikatif menunjukkan kedudukan evidensi dalam
penelitian. Penelitian generatif lebih kepada penemuan konstruksi dan proposisi
dengan data sebagai evidensi. Selanjutnya, penelitian verfikatif berupaya
mencari evidensi agar hipotesisnya dapat diaplikasikan lebih luas dan dapat
diperlakukan universal.
c. Konstruktif-enumeratif
Dimensi ini menunjukkan seberapa unit analisis suatu penelitian dirumuskan
atau dijabarkan. Penelitian dengan strategi konstruktif mengarahkan
penelitiannya untuk menemukan konstruksi atau kategori lewat analisis dan
proses mengabstraksi. Sedangkan penelitian dengan strategi enumeratif dimulai
dengan menjabarkan atau merumuskan unit analisis.
d. Subyektif-obyektif
Pendekatan subyektif adalah merekonstruksi penafsiran dan pemaknaan hasil
penelitian berdasar konseptualitas masyarakat yang menjadi obyek. Pendekatan
128
obyektif adalah penerapan kategori konseptual dan tata relasi yang telah
dirancang pada oyek penelitian.
Cara terbaik dalam mempelajari etnografi adalah dengan melakukannya dan
mengerjakannya (Spradley, 2007). Dengan melakukan dan mengerjakan pendekatan
etnografi, maka pemahaman dan pengetahuan tentang etnografi akan lebih
mendalam dan terbangun atas pengalaman. Akan tetapi, dalam melakukan
penelitian sesuai dengan pendekatan etnografi diperlukan sistem yang sistematis,
terarah dan efektif. Metode dengan karakteristik tersebut disebut oleh Spradley
sebagai the developmental research sequence atau alur penelitian maju bertahap. Dalam
alur penelitian maju bertahap dikenal 5 prinsip yaitu (Spradley, 2007):
a. Teknik tunggal
Yang dimaksud dengan teknik tunggal adalah memilih salah satu teknik yang
akan dipakai dalam satu tahapan penelitian. Spradley menganjurkan peneliti
untuk berkonsentrasi dalam menggunakan suatu teknik sehingga dapat
menguasai satu teknik dalam suatu tahapan penelitian.
b. Identifikasi tugas
Setelah menetapkan teknik yang akan digunakan, maka peneliti disarankan
untuk membuat alur atau langkah-langkah penelitian yang harus dilalui untuk
penelitian ini. Metode alur penelitian maju bertahap mengidentifikasi tugas-
tugas dasar serta tujuan-tujuan spesifik yang dibutuhkan suatu teknik lapangan
tertentu. Hal ini bertujuan agar penelitian dapat dilakukan secara sistematis dan
terarah.
c. Maju bertahap
Pada prinsip ini, Spradley menyarankan agar tahapan penelitian dilakukan
secara terarah dan berurutan. Spradley mengistilahkannya dengan maju
bertahap. Sifat berurutan dari langkah-langkah mengimplikasikan yaitu
mendorong seseorang untuk memperbaiki keterampilan penelitian dasar dengan
cara sistematik dan memungkinkan seseorang untuk mempelajari suatu suasana
dengan cara efisien.
d. Penelitian orisinal
Dalam melakukan penelitian, selayaknya teknik yang dilakukan untuk
penelitian sesungguhnya bukan hanya untuk latihan. Seperti ketika melakukan
teknik wawancara, maka itu adalah praktek dalam penelitian sungguhan.
e. Problem solving
Metode alur penelitian maju bertahap memandang bahwa penelitian harus
didasari dengan proses problem solving. Spradley berpendapat bahwa pandangan
ilmu untuk ilmu sudah ketinggalan dan lebih memandang bahwa ilmu harus
mempunyai kegunaan praktis dalam menyelesaikan masalah-masalah sehingga
peneliti harus dapat menjadi problem solver. Ada 6 langkah yang merupakan
proses penyelesaian masalah yaitu mendefinisikan masalah, mengidentifikasikan
129
ETHNOMETHODOLOGY
Istilah ethnometodologi berakar dari bahasa yunani yang berarti metode yang
digunakan prang dalam menyelesaikan msalah kehidupan sehari-hari (Ritzer dan
Morgan, 2012). Ethnomethodology sebagian besar berasal dari fenomenologi Schutz.
Pada dasarnya, Ethnomethodology berusaha untuk mengobati kegiatan praktis,
situasi praktis, dan penalaran sosiologis praktis sebagai topik studi empiris, dan
memperhatikan kegiatan yang paling umum dari kehidupan sehari-hari, biasanya
perhatian diberikan ke peristiwa luar biasa, serta berusaha untuk belajar tentang
mereka sebagai fenomena mereka sendiri (Burrell dan Morgan, 1979).Untuk lebih
jelasnya definisi dari ethnometodologi adalah kumpulan pengetahuan berdasarkan
akal sehat dan rangkaian prosedur dan pertimbangan yang dengannya masyarakat
132
biasa dapat memahami, mencari tahu dan bertindak berdasarkan situasi dimana
mereka menemukan dirinya sendiri (Ritzer dan Morgan, 2012).
Belajar tentang cara-cara di mana orang mengatur dan memahami kegiatan
sehari-hari mereka adalah cata dimana mereka membuat dirinya akuntabel kepada
orang lain, dalam arti yang diamati dan dilaporkan. Interaksi antara orang-orang
dalam kehidupan sehari-hari dapat dianggap sebagai pencapaian yang sedang
berlangsung, di mana mereka yang terlibat imbang pada berbagai asumsi, konvensi,
praktek dan jenis sumber daya yang tersedia dalam situasi mereka untuk
mempertahankan bentuk dengan berbagai cara (Burrell dan Morgan,
1979). Ethnomethodology berusaha untuk memahami pencapaian tersebut dalam
pemahaman mereka sendiri. Ini berusaha untuk memahami mereka dari dalam.
Etnometodologi berupaya untuk memahami bagaimana masyarakat memandang,
menjelaskan dan menggambarkan tat hidup mereka sendiri (Muhadjir, 2011).
Sehingga etnometodologi adallah metodologi dari laporan etnografik.
Istilah ethnomethodology diciptakan oleh Harold Garfinkel sebagai hasil
karyanya padaproyek juri(Burrell dan Morgan, 1979). Proses dari juri telah disadap
dan pekerjaan Garfinkel untuk mendengarkan kaset dan untuk berbicara dengan
para juri dengan mempertanyakan apa yang membuat mereka juri. Garfinkel dan
rekan yang tertarik dengan pertanyaan bagaimana juri tahuapa yang mereka
lakukan dalam melakukan pekerjaan juri. Mereka mengakui bahwa juri, untuk pergi
sebagai juri, mengambil berbagai metode untuk membuat kegiatan mereka sebagai
juri dinilai akuntabel pada diri sendiri maupun orang lain. Mereka terlibat dalam
proses yang beralasan dari praktek kerja juri. Mereka khawatir dengan hal-hal
seperti rekening yang memadai, deskripsi memadai dan 'bukti yang cukup. Mereka
berusaha untuk menghindari 'berpikir dengan akal sehingga mereka berusaha
untuk bertindak dengan cara yang mereka pikir juri harus bertindak. Istilah
ethnomelhcdology diciptakan untuk mengkarakterkan keterlibatan para anggota
juri dalam sebuah metodologi yang berkaitan dengan area spesifik pengetahuan
yang masuk akal. Mereka terlibat dalam suatu proses untuk menggunakan satu set
khusus praktek berpikir dengan akal kegiatan sosial tertentu. Namun,
ethnomelhodologydapat berarti banyak hal yang berbeda.Garfinkel mencatat
bahwaitu telah berubah menjadi sebuah semboyan dan ia terus terang
menolak tanggung jawab atas apa yang orang yang perbuat
denganethnomethodology (Burrell dan Morgan, 1979).
Karya ethnomethodologysangat mengambil berat dalam mengidentifikasi
asumsi taken for grantedyang mencirikan situasi sosial dan cara-cara di mana anggota
yang terlibat, melalui penggunaan praktek sehari-hari, membuat aktivitas yang
rasional dan bertanggung jawab (Burrell dan Morgan, 1979). Dalam analisis ini
pengertian tentang indexicalitydan refleksivitas memainkan peranan
penting. Kegiatan sehari-hari dianggap sebagai diatur dan dapat dijelaskan secara
rasional dalam konteks di mana terjadi. Cara di mana mereka terorganisir membuat
penggunaan ekspresi dan kegiatan yang dibagi dan belum tentu dijadwalkan secara
eksplisit (indexicality) dan ini tergantung pada kemampuan untuk melihat kembali
133
apa yang telah terjadi sebelum (refleksivitas) (Burrell dan Morgan, 1979). Situasi
sosial dipandang sebagai proses aksi akuntabel yang didukung oleh usaha peserta,
Peserta dilihat mencoba untuk mengatur pengalaman mereka untuk
mempertahankan pengandaian sehari-hari, masuk yang mencirikan rutinitas
kehidupan sehari-hari. Pengurungan atau bracketing merupakan latihan mental
dengan peneliti mengidentifiksi dan kemudian memisahkan asumasi menerima apa
adanya atau taken for granted yang digunakan dalam ilmu sosial (Neuman, 2013).
Maynard dan Clayman mengilustrasikan sejumlah variasi dalam
etnometodologi tetapi hanya 2 yang menonjol yaitu (Ritzer dan Morgan, 2012):
1. Setting institutional
Karrya Garfinkel dan teman-temannya berlansung dalam seting biasa dan
tidak diinstitutionalkan, kemudian bergeser pada penelitian kegiatan sehari-
hari pada setting institutional. Tujuan dari settiing institutional adalah
memahami orang lain dalam melaksanakan tugas kantor dan proses yang
terjadi dalam institusi tempat tugas itu berlansung. Setting institutional
memusatkan perhatian pada struktur, aturan formal dan prosedur resmi
untuk menerangkan apa yang dilakukan orang didalamnya. Sehingga
paksaan eksternal tidak memadai untuk menjelaskan apa yang terjadi dalam
institusi itu. Orang tidak ditentukan oleh kekuatan eksternal, menggunakan
institusi untuk menyelesaikan tugas dan mencipakan institusi didalamnya.
Dengan demikian orang menggunakan prosedur yang berguna bukan hanya
untuk kehidupan sehari-hari tapi juga untuk menciptakan produk institusi.
2. Analisis percakapan.
Tujuan analisis percakapan adalah untuk memahami secara rinci struktur
fundamental interaksi percakapan. Dalam perspektif etnometodologi,
percakapan adalah aktivitas interaksi yang menunjukkan aktivitas yang stabil
dan teratur yang merupakan kegiatanyang dapat dianalisis. Zimmerman
mengutarakan ada 5 prinsip dasar dalam menganalisis percakapan yaitu:
pengumpulan dan analisis data, percakapan rinci sebagai pencapaian yang
teratur, interaksi umum dan percakapan khususnya mempunyai sifat stabil
dan teratur yang dicapai aktor yang terlibat, kerangka percakapan
fundamental adalah organisasi yang teratur dan rangkaian interaksi
percakapan dikelola atas dasar tempat atau bergiliran.
PHENOMENOLOGY
Dalam sosiologi ada terdapat kontribusi pengetahuan dari Edmund Husserl
yang dikenal dengan fenomologi. Fenomologi menempati pertengahan dasar
paradigma. Gerakan fenomenologi bukan merupakan satu kesatuan karena
direfleksikan dalam sejumlah pengembangan serta tidak mempunyai definisi yang
sederhana dan mudah. Fenemonologi merupakan filsafat yang mengimplikasikan
moral value sejak dari observasi memperoleh data, membuat analisis dan membuat
134
Gagasan transendental Husserl telah diadopsi sampai batas tertentu oleh ahli
teori beroperasi dalam karakteristik perspektif paradigma humanis radikal.
Ttransendensi, dari sudut pandang mereka, telah dilihat sebagai menunjukkan
potensi pelepasan dari ikatan kehidupan sehari-hari (Burrell dan Morgan,
1979). Karya Sartre, khususnya, mencerminkan pengaruh langsung Hussrel.
2. Existential Phenomenology
Fenomenologi eksistensial paling sering dikaitkan dengan karya Heidegger,
MerleauPonly, Sartre dan Schutz. Filosofis-filosofis tersebut berbagi keprihatinan
bersama untuk apa Hussreldisebut hidup-dunia (Lehenswelt), untuk dunia
pengalaman sehari-hari yang bertentangan dengan alam kesadaran transcendental
(Burrell dan Morgan, 1979). Namun, terlepas dari keprihatinan ini dengan
duniakehidupan dan cara di mana manusia ada di dalamnya, hal tersebut salah
mengartikan untuk melihat pekerjaan mereka serupa. Masing-masing
mengembangkan perspektif teoretis yang mengikuti posisi hampirsama dalam
berbagai hal pada dimensi subjektif-obyektif, akan tetapi masing-masing membahas
isu dan masalah yang sangat berbeda (Burrell dan Morgan, 1979).
Schutz merasa yakin bahwa itu tidak cukup dalam untuk meletakkan dasar-
dasar yang sendiri dimana banyak masalah dari ilmu manusia bisa diselesaikan
(Burrell dan Morgan, 1979). Berangkat dari dasar ini, dalam berdasar pada Hussrel,
Schutz mengidentifikasi sejumlah ambiguitas dalam posisi Weber dan dikenakan
mereka untuk analisis filosofis menyeluruh. Sementara setuju dengan Weber bahwa
fungsi penting dari ilmu sosial adalah menjadi interpretatif , yaitu memahami makna
subjektif dari aksi sosial, Schutz merasa bahwa Weber telah gagal untuk menyatakan
karakteristik penting dari verstehenyang berarti subjektif dan action (Burrell dan
Morgan, 1979). Untuk Schutz,. analisis mendalam berlangsung dari konsep-konsep
ini sangat penting dalam rangka untuk menempatkan subyek dan metode ilmu-ilmu
sosial di atas dasar yang jelas.
Schutz menekankan pada analisis fenomenologis makna, mencari asal-usul
dalam aliran kesadaran (Burrell dan Morgan, 1979). Gagasan ini, berasal dari
Bergson, sangat penting bagi analisisnya. Hal itu disebabkan karena telah
memperkenalkan dimensi temporal yang mendasari konsep refleksivitas. Schutz
berpendapat bahwa kesadaran dasarnya adalah aliran tak terputus pengalaman
hidup yang tidak memiliki makna dalam diri mereka sendiri. Dengan kata lain, itu
tergantung pada refleksivitas yaitu proses untuk mengubah kembali diri sendiri dan
melihat apa yang telah terjadi (Burrell dan Morgan, 1979). Sehingga itu melekat pada
tindakan retrospektif, hanya yang sudah jadi pengalaman yang bermakna, bukan
apa yang ada dalam proses yang sedang dialami.
Schutz juga berpendapat proses ini menghubungkan makna refleks tergantung
pada aktor yang mengidentifikasi tujuan atau tujuan yang dicari (Burrell dan
Morgan, 1979). Konsep tindakan yang berarti mengandung unsur masa depan dan
masa lalu, sehingga memiliki dimensi temporal secara intrinsik.Analisis Schulz dari
proses ,yangmerupakan waktu kesadaran internal,adalah aplikasi langsung
dariphenomeology reductionseperti yang dijelaskan oleh Hussrel. Schutz mengakui
137
DAFTAR PUSTAKA
Burrell, Gibson dan Gareth Morgan, 1979, Sosiological Paradigm and Organizational
Analysis, Heinemann, London
Chua, Wai fong, 1986, Radical development in Accounting thought, The Accounting
Review, Vol 61, No. 4, pp. 601-632.
Gioia, Dennis dan Evelyn Pitre, 1990, Multiparadigm Perspectives on Theory
Building, The Academy of Management Review, 15, 4, pp. 584-602
Held, David, 1980, Introduction in Critical Theory: Horkheimer to Habermas, Berkeley
University of California Press.
Muhadjir, Noeng Prof DR. H., 2011, Metodologi Penelitian, Edisi Keenam, Rake
Sarasin, Yogyakarta,
Neuman, W. Lawrence, 2013, Metodologi Penelitian Sosial: Pendekatan Kualitatif
dan Kuantitatif, Edisi 7, Terjemahan Bahasa Indonesia, Pearson, Jakarta
Ritzer, George dan Douglas J. Goodman, 2012, Teori Sosiologi Modern, Edisi
Keenam, Prenada Media Group, Jakarta.
Rosenau, Pauline Maric, 1992, Post Modernism and The Social Science: Insights, Inroads
amd Intrusions, Princeton University Press, UK.
Spradley, James P, 2007, Metode Etnografi, Edisi Kedua, Tiara Wacana, Yogyakarta.
MENIMBANG TEORI-TEORI SOSIAL
POSTMODERN: SEJARAH, PEMIKIRAN, KRITIK
DAN MASA DEPAN POSTMODERNISME
Abstrak
Artikel ini memaparkan latar belakang sejarah lahirnya teori-teori sosial postmodern, konsep-konsep
pemikiran tokoh-tokoh teori sosial postmodern, serta kritik dan prospek masa depan teori-teori sosial
postmodern. Harus diakui, teori-teori sosial postmodern dewasa ini cenderung berada dalam ketegangan
pendapat antara kubu yang memandang bahwa teori-teori sosial postmodern masih menjadi bagian dari
era modern dan kubu yang meyakini bahwa teori-teori ini telah terpisah sama sekali dari era modern.
Kedua pandangan di atas, dengan landasan argumentasi masing-masing, akan dicoba dilacak di dalam
artikel ini. Dengan memanfaatkan metode kajian kepustakaan (literature studies), artikel ini pada
akhirnya hendak memberikan gambaran kritis tentang posisi penting teori-teori sosial postmodern dalam
kajian sosiologi kontemporer dewasa ini, serta potensi kemungkinan-kemungkinan perkembangannya di
masa depan.
Abstract
This article explains the historical background of postmodern social theory, the concepts of postmodern
social theory from its prominent figures, also critics and future prospect of postmodern social theory.
It must be admitted, the recent postmodern social theory tend to be in conflict between party who sees
postmodern social theory is a part of modern era and party who believes that these theory has been
separated from modern era. Those two opinions, with their own argumentative cornerstone, will be
tracking down in this article. Using literature studies method, this article will give critical insight about
the importance of postmodern social theory in recent contemporary sociological studies and its potential
development in the future.
dibanding masa sebelumnya. Modernitas inilah, atau salah satu dari berbagai gerakan sebagai
merujuk Calinescu, yang merupakan era yang lebih reaksi terhadap modernisme yang dicirikan oleh
dewasa, lebih utuh dan mendasar dalam aspek-aspek sikap kembali ke bentuk dan bahan tradisional
rasio, religi dan estetika dibanding era sebelumnya (dalam arsitektur) atau oleh sikap referensi-diri
(Smart, 1990). Modernitas sekaligus juga menjadi yang ironis dan absurd (dalam sastra)", atau juga
titik awal baru lantaran ia menawarkan hal-hal "yang berhubungan dengan atau suatu teori yang
baru seperti: pengetahuan, moral, ilmu, kebudayaan, melibatkan penolakan radikal atas asumsi-asumsi
politik dan seni. modern mengenai kebudayaan, identitas, sejarah
Modernisasi (modernization) berarti proses dan bahasa".
berlangsungnya proyek mencapai kondisi Sementara itu, American Heritage Dictionary
modernitas. Modernisasi mencakup proses menjelaskan istilah yang sama sebagai "sesuatu
pengucilan karya-karya klasik, warisan masa yang berhubungan dengan seni, arsitektur, atau
lampau dan sejarah purbakala, karena modernitas sastra yang bereaksi menolak prinsip-prinsip
pada hakekatnya mengambil posisi yang berlawanan modernisme, dengan cara memperkenalkan kembali
dengan hal-hal lama demi terciptanya hal-hal unsur-unsur gaya tradisional atau klasik atau dengan
baru. Dengan demikian, modernisasi adalah cara membawakan gaya atau praktik modernisme
pandangan dan sikap hidup yang dianut untuk secara ekstrim”.
menghadapi masa kini, yakni pandangan dan Postmodernisme awalnya memang merupakan
sikap hidup dalam menghadapi kenyataan hidup reaksi terhadap modernisme. Postmodernisme
masa kini. merujuk pada bentuk-bentuk kebudayaan,
Modernisasi ditandai oleh pemutusan hubungan intelektual, dan seni yang telah kehilangan hirarki
secara tegas terhadap nilai-nilai tradisional; atau prinsip kesatuan serta disarati kompleksitas
berkembangnya sistem ekonomi kapitalisme ekstrim, kontradiksi, ambiguitas, perbedaan, dan
progresif; rasionalisasi administratif; serta kesalingtautan sehingga sulit dibedakan dengan
diferensiasi sosial dan budaya (Featherstone, parodi.
1988). Kembali merujuk Berman, realitas modern Sementara itu, terma postmodernitas adalah
yang dicapai melalui proses modernisasi ini istilah turunan postmodernisme yang merujuk pada
memiliki beberapa komponen utama, yakni aspek-aspek non-seni sejarah yang dipengaruhi
industrialisasi, urbanisasi, konsep negara-bangsa oleh berbagai gerakan baru, terutama perkembangan
(nation-state), struktur birokrasi, pertumbuhan dalam dunia sosial, ekonomi dan kebudayaan
penduduk yang tinggi, sistem komunikasi dan sejak tahun 1960-an. Ketika pemikiran tentang
kekuasaan baru, serta pasar kapitalisme dunia penolakan terhadap modernisme diadopsi oleh ranah
(Turner, 1990). teori yang lain, dalam beberapa hal ia menjadi
Jika merujuk makna kamus, Oxford English sama dengan postmodernitas. Istilah postmodernitas
Dictionary mendefinisikan terma postmodernisme sendiri juga sering dikaitkan dengan poststruktural-
sebagai "suatu gaya dan konsep dalam seni yang isme (ala Michel Foucault) dan dengan modernisme,
dicirikan oleh sikap ketidakpercayaan terhadap teori dalam pengertian penolakan terhadap budaya
dan ideologi." Dalam kamus Merriam-Webster borjuis elit.
Dictionary, postmodern didefinisikan sebagai Istilah postmodern pertama kali dipergunakan
"yang berhubungan dengan atau sebuah era setelah sekitar tahun 1870-an dalam berbagai bidang. Sebagai
era modern " atau "yang berhubungan dengan contoh, John Watkins Chapman menyuarakan
"lukisan gaya postmodern" yang berbeda dengan kesadaran kritis dan reflektif terhadap paradigma
Impressionisme Perancis. Selanjutnya J.M. modernisme yang dianggap banyak melahirkan
Thompson, dalam sebuah artikelnya di tahun 1914 patologi modernitas. Setidaknya terdapat enam
di jurnal The Hibbert Journal, menggunakannya patologi modernitas yang digugat oleh para
untuk menggambarkan perubahan sikap dan pemikir postmodern.
kepercayaan dalam wilayah kritik agama Pertama, lantaran pandangan dualistiknya
(Smart, 1990). yang membagi seluruh kenyataan menjadi subjek-
Pada tahun 1917 Rudolf Pannwitz menggunakan objek, spiritual-material, manusia-dunia, dan
istilah postmodern untuk menjelaskan sebuah lain-lain, paham modernisme telah melakukan
kebudayaan yang berorientasi filsafat. Gagasan tindakan objektivasi alam secara berlebihan dan
Pannwitz tentang postmodernisme datang dari eksploitasi alam secara semena-mena. Kedua,
analisis Nietzsche tentang modernitas dan sejarahnya pandangan modern yang cenderung objektivistik
yang berakhir pada dekadensi dan nihilisme dan instrumentalis-positivistik akhirnya jatuh
(Turner, 1990). Istilah potmodernisme selanjutnya pada pembendaan (reifikasi) manusia dan
digunakan pada tahun 1926 oleh B.I. Bell dalam masyarakat. Sebagai akibatnya modernisme yang
artikelnya "Postmodernism and Other Essays." dahulu emansipatif kini justru bersifat dehuman.
Pada tahun 1925 dan 1921 istilah itu digunakan Ketiga, dominasi ilmu-ilmu empiris-positivistik
untuk menjelaskan bentuk baru seni dan musik. terhadap nilai moral dan religi menyebabkan
Tahun 1942 H. R. Hays menggunakannya untuk meningkatnya tindak kriminalitas, kekerasan fisik
merujuk sebentuk karya sastra baru. Tahun 1939, maupun kesadaran keterasingan dan pelbagai
Arnold J. Toynbee, seorang sejarawan terkemuka bentuk depresi mental.
pada zamannya menggunakan istilah post- Keempat, merebaknya pandangan materialisme,
modernisme untuk menjelaskan sebuah sejarah yakni prinsip hidup yang memandang materi dan
pemikiran (Turner, 1990). segala strategi pemuasannya sebagai satu-satunya
Istilah postmodern selanjutnya digunakan tujuan. Kelima, berkembangnya militerisme karena
untuk menggambarkan seluruh gerakan, terutama moral dan agama tidak lagi memiliki kekuatan
dalam seni, musik dan sastra yang menentang disiplin dan regulasi. Keenam, bangkitnya kembali
modernisme dan secara tipikal ditandai dengan tribalisme, semangat rasisme dan diskriminasi,
dilahirkannya kembali unsur-unsur dan teknik-teknik yang merupakan konsekuensi logis hukum
tradisional. Pemikiran teoritis postmodern dalam survival of the fittest ala Charles Darwin
filsafat dan analisis kebudayaan serta masyarakat (Sugiharto, 1996).
telah memperluas arti penting teori ini dan menjadi Di sisi lain, kesemarakan yang menyertai
titik berangkat berbagai gerakan untuk mengevaluasi perkembangan teori sosial postmodern telah pula
sistem nilai Barat yang berlangsung sejak tahun melahirkan euforia berlebihan yang menganggap
1960-an. paham postmodernisme akan mengubur paham
Munculnya teori sosial postmodern selanjutnya modernisme dan menjadi satu-satunya pandangan
telah mendorong perkembangan ilmu-ilmu sosial dunia yang benar. Sikap demikian tentu saja
kontemporer dewasa ini. Di satu sisi, munculnya bertolak belakang dengan keyakinan postmodern-
teori sosial postmodern patut diapresiasi. Merujuk isme yang justru menolak segala bentuk narasi
Pauline M. Rosenau (1992), kemunculan teori-teori besar (grand narratives) dan absolutisme
sosial postmodern ini telah mendorong lahirnya kebenaran.
KRISIS ERA MODERN DAN LAHIRNYA diwarnai oleh benih-benih konflik, perbedaan dan
TEORI-TEORI SOSIAL POSTMODERN anomali. Lenturnya ikatan sosial, runtuhnya
keyakinan tradisional dan agama, serta pesatnya
Jejak-jejak pemikiran yang bernaung di bawah perkembangan sosial, telah mendorong
payung postmodernisme – seni, sastra, politik, munculnya berbagai masalah yang sebelumnya
ekonomi, arsitektur, sosiologi, antropologi dan tidak diperhitungkan.
filsafat – sebenarnya dapat dilacak jauh ke alur Fase ketiga, adalah modernisme yang dimulai
sejarah modernitas. Secara historis, modernisme ketika terjadi proses modernisasi global dan
bisa ditelusuri semenjak era Renaisans abad ke-16 pembentukan kebudayaan dunia modern secara
M. Bahkan Arnold Toynbee, seorang filsuf massal dimana semakin banyak terjadi kekacauan
sejarawan, melalui bukunya A Study of History sosial dan politik, ketidakpastian dan ancaman
(1947), menyatakan bahwa awal Era Modern terhadap realitas dunia yang baru terbentuk. Inilah
dalam sejarah masyarakat Barat terjadi pada paruh puncak anomali realitas modern, yang ternyata tidak
kedua abad ke-15 M, dimana saat itu muncul mampu mewujudkan impian menciptakan kehidupan
fenomena teknologi penguasaan samudera secara yang lebih baik. Dan justru sebaliknya, menciptakan
ekstensif (Smart, 1990). Fenomena ini, menurut berbagai masalah besar yang menyengsarakan
Toynbee, merupakan titik awal kedewasaan dan umat manusia (Smart, 1990: 16).
kematangan manusia untuk mulai berani menguasai Sementara itu modernisme (modernism)
alam dan melepaskan diri dari dogma-dogma umumnya dilihat sebagai paradigma kebudayaan,
institusi agama. Dengan keberanian inilah manusia khususnya aliran seni dan sastra. Ia mengacu pada
telah memasuki era baru, era pasca Abad gaya dan gerakan seni yang mula-mula muncul
Pertengahan, yakni era modern. sebagai konsekuensi perlawanan terhadap seni
Di sisi lain, Marshall Berman, dalam kajiannya Abad Pertengahan. Tokoh-tokoh seni yang dianggap
tentang modernisme, menyatakan bahwa era mewakili gerakan modernisme misalnya adalah
modern telah dimulai sejak era Renaisans abad Kafka, Mann, dan Gide dalam dunia sastra;
ke-16 M dan berkembang dalam tiga fase sejarah Stravinsky, Schoenberg dan Berg dalam musik;
modernisme. Strindberg, Pirandelo dan Wedehind dalam
Fase pertama, adalah modernisme yang drama; serta Picasso, Matisse dan Cezanne dalam
berkembang semenjak awal abad ke-16 M hingga seni lukis (Featherstone, 1988). Dalam konteks
akhir abad ke-18 M, dimana orang baru mulai ini, modernisme dianggap bermula pada akhir
merasakan pengalaman kehidupan modern. abad ke-19 M (Lash, 1990). Modernisme merupakan
Modernisme pada tahap ini ditandai oleh mulai keyakinan yang cenderung mensubordinasikan
diyakininya rasio, keberanian menghadapi yang tradisional di bawah yang baru.
kehidupan secara nyata, memudarnya religiusitas Dalam wilayah seni, ia merupakan tindak
dalam berbagai segi kehidupan, serta lahirnya diferensiasi terhadap dunia nyata yang bersifat
pemberontakan kreatif dalam dunia seni. non-referensial dan anti-realis (Lash, 1990). Akibat
Fase kedua, adalah modernisme yang ditandai praksis tindakan ini bisa terbagi dua: konservatif
dengan Revolusi Perancis dan kekacauan sosial, dan radikal. Modernisme menjadi konservatif
politik dan ekonomi yang seringkali dihubungkan manakala proses subordinasi yang lama di bawah
dengan momentum Gelombang Revolusi Besar yang baru justru menyelamatkan yang lama dari
1790. Inilah wajah modernisme yang mulai kehancuran. Sebaliknya, modernisme menjadi
radikal manakala proses subordinasi tadi mengambil Weber ini adalah adanya fenomena otonomisasi
bentuk pengingkaran bahkan penghapusan yang wilayah-wilayah nilai terutama wilayah nilai estetis.
tradisional. Modernisme konservatif seringkali Dengan merosotnya agama, lapangan estetika
terdapat dalam lapangan agama. Sementara seolah menjadi satu-satunya tempat pelarian
modernisme radikal banyak terdapat pada wilayah dalam dunia yang sarat beban mencapai rasionali-
kebudayaan, terutama seni. tas tujuan (Lash, 1990).
Rasionalitas modernisme memiliki dua karakter Menurut Weber, modernitas merupakan
mendasar. Pertama, sebagai rasionalitas tujuan konsekuensi proses modernisasi, dimana realitas
(Zweckrationalitat). Kedua, sebagai rasionalitas sosial berada di bawah bayang-bayang dan dominasi
nilai (Wertrationalitat). Merujuk Max Weber, asketisme, sekularisasi, klaim universalistik tentang
sosiolog Jerman yang mengkaji modernisme rasionalitas instrumental, diferensiasi bidang-
secara mendalam, karakter pertama rasionalitas bidang kehidupan, birokratisasi ekonomi, praktek-
modernisme mengacu pada pengertian perhitungan praktek politik dan militer, serta tumbuhnya
yang masuk akal untuk mencapai sasaran moneterisasi nilai-nilai.
berdasarkan pilihan-pilihan yang masuk akal dan Modernitas lahir bersamaan dengan
dengan sarana-sarana yang efisien serta mengacu menyebarnya imperialisme Barat abad ke-16 M;
pada perumusan nilai-nilai tertinggi yang dominasi kapitalisme Eropa Utara, khususnya di
mengarahkan tindakan dan orientasi-orientasi Inggris dan Belanda; pengakuan dan penerapan
yang terencana secara konsisten dari pencapaian metode ilmiah Francis Bacon dan Isac Newton;
nilai-nilai tersebut. institusionalisasi keyakinan dan praktek-praktek
Rasionalitas ini berwatak formal, karena hanya Calvinisme di Eropa Utara; pemisahan konsep
mementingkan cara-cara mencapai tujuan dan tidak keluarga dari kelompok kekerabatan yang umum;
mengindahkan nilai-nilai yang dihayati sebagai serta pembentukan konsep negara-bangsa
intisari kesadaran. Karakter kedua rasionalitas (nation-state) abad ke-19 M (Turner, 1990).
modernisme mengacu pada kesadaran akan nilai-nilai Modernitas juga menunjuk pada perubahan sosial
etis, estetis dan religius. Rasionalitas ini berwatak budaya secara massif, pemutusan hubungan
substantif, karena lebih mementingkan komitmen secara radikal terhadap tradisi dan kemapanan
rasional terhadap nilai-nilai yang dihayati secara sosial peradaban yang mandeg. Dengan kata lain,
pribadi. Namun, di antara kedua bentuk rasionalitas modernitas adalah sejarah penaklukan nilai-nilai
ini yang sangat dominan dalam realitas dunia lama Abad Pertengahan oleh nilai-nilai baru
modern adalah rasionalitas tujuan. Modernisme (Turner, 1990).
Dalam kajian pentingnya tentang modernisme Secara epistemologis, modernitas meliputi
tersebut, selanjutnya Weber menyatakan bahwa empat unsur pokok. Pertama, subjektivitas reflektif,
pada dasarnya modernitas adalah gagasan yang yakni pengakuan akan kekuatan-kekuatan rasional
menyangkut persoalan pemisahan bidang-bidang dalam memecahkan masalah-masalah kehidupan.
nilai dan tatanan kehidupan. Ia berpendapat bahwa Kedua, subjektivitas yang berkaitan dengan
wilayah-wilayah nilai ekonomi, etika, hukum dan kritik atau refleksi, yakni kemampuan untuk
estetika, yang sebelumnya terstruktur dengan satu menyingkirkan kendala-kendala kebebasan dari
prinsip kesatuan dalam wilayah religius Abad tradisi dan sejarah. Ketiga, kesadaran historis
Pertengahan, kemudian mulai dipisahkan oleh yang dimunculkan oleh subjek, bahwa waktu
rasionalisme Pencerahan. Landasan utama argumen berlangsung secara linear, unik, tak terulangi
dengan titik berat pada kekinian sebagai sumber yang lebih baik. Membaca modernisme dengan sikap
sejarah. Oleh sebab itu, modernisme memiliki ironi ini berarti menolak anggapan bahwa modernitas
kata-kata kunci: revolusi, evolusi, transformasi membawa nilai-nilai universal (Sahal, 1994).
serta progresi. Dengan kata lain, modernitas Pauline M. Rosenau, dalam kajiannya mengenai
mendukung rasio (di atas wahyu), kemajuan (di atas postmodernisme dan ilmu-ilmu sosial, mencatat
kemapanan) dan kebaruan (di atas kelampauan). setidaknya lima alasan penting terjadinya krisis
Keempat, universalisme yang mendasari modernisme (Rosenau, 1992). Pertama, modern-
ketiga unsur sebelumnya. Dengan universalisme isme dipandang gagal mewujudkan perbaikan-
dimaksudkan bahwa elemen-elemen modernitas perbaikan ke arah masa depan kehidupan yang
bersifat normatif untuk masyarakat yang akan lebih baik sebagaimana diharapkan oleh para
melangsungkan modernisasi. Dengan modernisasi, pendukungnya. Kedua, ilmu pengetahuan modern
kebenaran wahyu diuji di hadapan rasio, legitimasi tidak mampu melepaskan diri dari kesewenang-
kekuasaan digugat melalui kritik dan kesahihan wenangan dan penyalahgunaan otoritas keilmuan
tradisi dipertanyakan berdasarkan harapan akan demi kepentingan kekuasaan.
masa depan yang lebih baik. Ketiga, terdapat banyak kontradiksi antara
Dengan kata lain, semenjak suatu masyarakat teori dan fakta dalam perkembangan ilmu-ilmu
menyatakan diri melaksanakan proses modernisasi, modern. Keempat, ada semacam keyakinan bahwa
maka masyarakat tersebut harus siap meninggalkan ilmu pengetahuan modern mampu memecahkan
sikap-sikap naif, dogmatis dan anti-perubahan, segala persoalan yang dihadapi manusia. Namun
untuk kemudian meleburkan diri dalam suatu ternyata keyakinan ini keliru dengan munculnya
proyek sejarah umat manusia mencapai tujuan berbagai patologi sosial. Kelima, ilmu-ilmu
tertentu di masa depan. Modernisme yang rasional, modern kurang memperhatikan dimensi-dimensi
ketat, serius, sistematis dan tertib inilah wacana mistis dan metafisis manusia karena terlalu
dominan yang mengisi sejarah modernitas hingga menekankan atribut fisik individu.
sekarang. Semangat emansipasi, optimisme dan Krisis modernitas inilah yang selanjutnya
heroisme menghadapi situasi zaman seolah mendorong lahirnya gerakan dan pandangan post-
merupakan satu-satunya tanggapan terhadap modernisme di berbagai bidang kehidupan,
proyek sejarah modernisme. termasuk dalam wilayah teori-teori ilmu-ilmu
Padahal, sebagaimana diungkap Michel Foucault, sosial kontemporer dewasa ini.
pada waktu itu terdapat pula tanggapan menyimpang
terutama dari kalangan seniman yang bernada
ironi terhadap modernisme. Terdapat pula pelbagai POSTMODERNISME DAN KONDISI
nilai, keyakinan, realitas dan praktek-praktek sosial MASYARAKAT POSTMODERN
yang ternyata menyimpang dari rasionalitas era
modern. Suara-suara minoritas modernisme: Semenjak awal paruh kedua abad ke-20 M,
subkultur, hippies, punk, skin head, masyarakat tepatnya pada kisaran tahun 1960-an, post-
terasing, dunia ketiga, kaum gay, gerakan modernisme telah muncul sebagai diskursus
lingkungan hidup, kaum feminis, budaya tanding kebudayaan yang banyak menarik perhatian.
mulai menggugat pandangan modernisme yang Berbagai bidang kehidupan dan disiplin ilmu
dianggap gagal merampungkan proyek heroisme seperti: seni, arsitektur, sastra, sosiologi, sejarah,
Pencerahan untuk membangun sebuah masa depan antropologi, politik dan filsafat hampir secara
bersamaan memberikan tanggapan terhadap tema Jika modernitas dipahami sebagai kurun waktu
postmodernisme. sejarah yang berkembang semenjak era Renaisans,
Istilah postmodernisme, merujuk Ihab Hassan, maka postmodernitas adalah kurun waktu sejarah
dipergunakan pertama kali dalam dunia intelektual yang seringkali dikaitkan dengan perubahan reali-
oleh Federico de Onis, seorang kritikus seni, pada tas dunia seusai Perang Dunia II (Featherstone,
tahun 1930 dalam tulisannya Antologia de la 1988). Postmodernitas ditandai dengan lahirnya
Poesia Espanola a Hispanoamericana untuk totalitas struktur sosial baru, perkembangan
menunjuk kepada reaksi minor terhadap era teknologi dan informasi yang pesat, serta terben-
modernitas saat itu (Featherstone, 1988). Istilah tuknya masyarakat komputerisasi, dunia simulasi
ini kemudian sangat populer di tahun 1960-an dan hiperrealitas.
ketika seniman-seniman muda, penulis dan krikitus Merujuk Mike Featherstone, seorang sosiolog
seni seperti Hassan, Rauschenberg, Cage, dan kritikus kebudayaan, postmodernisme memiliki
Barthelme, Fielder dan Sontag menggunakannya tiga ruang pengertian yang berada dalam wilayah
sebagai nama gerakan penolakan terhadap seni kebudayaan. Pertama, sebagai perubahan bentuk
modernisme lanjut. teorisasi, presentasi dan diseminasi karya seni dan
Seni postmodern memiliki ciri-ciri yang intelektual yang tidak dapat dipisahkan dari
berbeda dengan seni modernisme lanjut. Beberapa perubahan mikro dalam wilayah kebudayaan.
ciri seni postmodern diantaranya adalah hilangnya Kedua, sebagai perubahan ruang budaya yang
batas antara seni dan kehidupan sehari-hari, lebih luas mencakup bentuk-bentuk produksi,
runtuhnya distingsi antara budaya tinggi dan konsumsi dan sirkulasi tanda dan simbol yang
budaya massa/populer, maraknya gaya eklektis dapat dikaitkan dengan perubahan yang lebih luas
dan campur aduk, munculnya kitsch, parodi, pula dalam relasi keseimbangan dan kekuasaan
pastiche, camp dan ironi, merosotnya kedudukan dalam masyarakat. Ketiga, sebagai perubahan
pencipta seni, serta adanya asumsi seni sebagai praktek dan pengalaman keseharian berbagai
pengulangan, perpetual art (Featherstone, 1988). kelompok yang menggunakan rezim penandaan
Penggunaan istilah postmodernisme dan (regime of signification) dalam berbagai cara dan
berbagai turunannya selanjutnya perlahan-lahan gaya, serta mengembangkan sarana-sarana baru
mulai menyentuh bidang-bidang yang lain. bagi orientasi dan pembentukan identitas
Dalam bidang arsitektur, istilah postmodernisme (Featherstone, 1988).
mengacu kepada perlawanan bentuk-bentuk Sementara itu, Daniel Bell, seorang sosiolog,
arsitektur modern. Arsitektur modern dikenali bahkan melihat postmodernisme sebagai puncak
dari ciri-cirinya yang menonjolkan keteraturan, tendensi perlawanan terhadap modernisme, dengan
rasionalitas, objektif, praktis, ruang isotropis dan hasrat, insting dan kegairahan untuk membawa
estetika mesin, dimana prinsip bentuk mengikuti logika modernisme sampai ke titik terjauh yang
fungsi menjadi dewa. Arsitektur postmodernisme, mungkin bisa dicapai (Featherstone, 1988). Agak
sebaliknya, menawarkan konsep bentuk asimetris, berbeda dengan Bell, Jean Baudrillard, salah
ambigu, naratif, simbolik, terpiuh, penuh kejutan seorang pembicara terdepan postmodernisme,
dan variasi, ekuivokal, penuh ornamen, metafor memandang postmodernisme lebih sebagai strategi
serta akrab dengan alam (Siswanto, 1994). pembacaan realitas dengan objek sentral prinsip
Doktrin bentuk mengikuti fungsi dibalik menjadi reproduksi tanda-tanda, kapitalisme multinasional
fungsi mengikuti bentuk. yang membawa akibat perluasan luar biasa dalam
dunia sosial dan meledaknya budaya massa. Keenam, semakin terbukanya peluang bagi
Postmodernisme dengan demikian adalah metode pelbagai kelas sosial atau kelompok minoritas
analisa kritis yang mencoba membongkar mitos untuk mengemukakan pendapat secara lebih bebas
dan anomali paradigma modernisme, membuka dan terbuka. Dengan kata lain, era postmodernisme
ironi, intertekstualitas dan paradoks, mencoba telah turut mendorong proses demokratisasi.
menemukan suatu teori masyarakat postmodern Ketujuh, munculnya kecenderungan bagi
atau postmodernitas, dan menggambarkannya tumbuhnya ekletisisme dan pencampuradukan
dalam realitas sosial yang ada dalam masyarakat berbagai diskursus, nilai, keyakinan dan potret
kontemporer Barat dewasa ini (Featherstone, serpihan realitas, sehingga sekarang sulit untuk
1988). menempatkan suatu objek budaya secara ketat
Merujuk Akbar S. Ahmed, dalam bukunya pada kelompok budaya tertentu secara eksklusif.
Postmodernism and Islam (1992), terdapat delapan Kedelapan, bahasa yang digunakan dalam
ciri karakter sosiologis postmodernisme. Pertama, diskursus postmodernisme seringkali mengesankan
timbulnya pemberontakan secara kritis terhadap tidak lagi memiliki kejelasan makna dan konsistensi,
proyek modernitas, memudarnya kepercayaan sehingga bersifat paradoks (Ahmed, 1992).
pada agama yang bersifat transenden dan semakin Pauline M. Rosenau, dalam bukunya
diterimanya pandangan pluralisme-relativisme Postmodernism and Social Sciences (1992),
kebenaran. Kedua, meledaknya industri media selanjutnya membedakan postmodernisme menjadi
massa, sehingga ia seolah merupakan perpanjangan dua bentuk. Pertama, postmodernisme sebagai
dari system indera, organ dan syaraf manusia. paradigma pemikiran. Sebagai paradigma pemikiran,
Kondisi ini pada gilirannya menjadikan dunia dan postmodernisme meliputi tiga aspek ontologi,
ruang realitas kehidupan terasa menyempit. Lebih epistemologi dan aksiologi. Ketiga aspek dasar ini
dari itu, kekuatan media massa telah menjelma menjadi kerangka berpikir dan bertindak penganut
menjadi Agama dan Tuhan baru yang menentukan postmodernisme bentuk pertama (misalnya Lyotard,
kebenaran dan kesalahan perilaku manusia. Derrida, Foucault). Kedua, postmodernisme
Ketiga, munculnya radikalisme etnis dan sebagai metode analisis kebudayaan. Dalam konteks
keagamaan. Fenomena ini muncul sebagai reaksi ini, prinsip dan pemikiran postmodernisme
manakala orang semakin meragukan kebenaran digunakan sebagai lensa membaca realitas sosial
ilmu, teknologi dan filsafat modern yang dinilai budaya masyarakat kontemporer (misalnya Rortry
gagal memenuhi janji emansipatoris untuk dan Baudrillard).
membebaskan manusia dan menciptakan kehidupan Sementara itu, sejumlah kalangan memandang
y ang l e b i h b a ik. K eemp at, muncu lnya postmodernisme sebagai bagian dari proyek
kecenderungan baru untuk menemukan identitas modernisme yang belum usai (misalnya Juergen
dan apresiasi serta keterikatan romantisme dengan Habermas dan Mahzab Frankfurt generasi kedua),
masa lampau. Kelima, semakin menguatnya namun sejumlah kalangan yang lain memandang
wilayah perkotaan (urban area) sebagai pusat postmodernisme sebagai penolakan radikal
kebudayaan dan sebaliknya, wilayah pedesaan terhadap nilai-nilai dan asumsi-asumsi modernisme
(rural area) sebagai daerah pinggiran. Pola ini (misalnya Lyotard, Derrida, Foucault).
juga berlaku bagi menguatnya dominasi negara Postmodernisme juga sering dirujukkan pada
maju (Negara Dunia Pertama) atas negara berbagai fenomena realitas masyarakat kontemporer
berkembang (Negara Dunia Ketiga). dewasa ini sebagai masyarakat post-industri
(post-industrial society), masyarakat komputer Quebec yang ditandai dengan penolakan terhadap
(computerized society), masyarakat konsumer apa yang ia sebut sebagai narasi besar (Grand
(consumer society), masyarakat media (media Narratives). Dalam bukunya inilah untuk yang
society), masyarakat tontonan (spectacle society) pertama kali istilah “postmodernisme” digunakan
atau masyarakat tanda (semiurgy society). dalam diskursus filsafat dan ilmu sosial.
Lyotard meninggal pada tahun 1998 di Paris.
Ketika meninggal, ia adalah Professor Emeritus di
TOKOH-TOKOH TEORI SOSIAL University of Paris VIII, serta Professor di Emory
POSTMODERN University, Atlanta, Amerika Serikat.
Jean Francois Lyotard adalah pemikir filsafat
1. Jean Francois Lyotard: Narasi Besar dan dan sosial Perancis yang mulai meletakkan dasar
Masyarakat Komputerisasi argumentasi filosofis dalam diskursus postmodern-
Jean François Lyotard lahir di Versailles, isme. Melalui bukunya yang telah menjadi klasik,
Perancis pada tahun 1924. Karir akademiknya The Condition of Postmodern: A Report on
diawali sebagai guru sekolah menengah di Knowledge (1984), Lyotard mencatat beberapa
Constantine, Algeria pada tahun 1950. Tahun ciri utama kebudayaan postmodern. Menurutnya,
1959 ia menerima tawaran untuk mengajar di kebudayaan postmodern ditandai oleh beberapa
University of Paris, Sorbonne. Selain mengajar di prinsip yakni: lahirnya masyarakat komputerisasi,
Sorbonne, Lyotard juga aktif sebagai anggota runtuhnya narasi-narasi besar modernisme, lahirnya
kelompok kiri militan Perancis, Socialisme ou prinsip delegitimasi, disensus, serta paralogi.
barbarie yang sangat terkenal pada saat itu. Tahun Masyarakat komputerisasi adalah sebutan
1966 Lyotard meninggalkan Sorbonne untuk yang diberikan Lyotard untuk menunjuk gejala
mengajar di University of Nanterre. post-industrial masyarakat Barat menuju
Tahun 1970, Lyotard meninggalkan Nanterre the information technology era. Realitas sosial
untuk mengajar di University of Paris VIII- budaya masyarakat dewasa ini seperti yang
Vencennes. Tahun 1971, ia menyelesaikan studi ditelitinya secara seksama di Quebec Kanada
doktoralnya dan mempublikasikan buku Discourse, adalah masyarakat yang hidup dengan ditopang
Figure, sebuah karya filsafat pertamanya. Dua tahun oleh sarana teknologi informasi, terutama komputer.
kemudian ia menerbitkan buku Dérive à partir de Dengan komputerisasi, prinsip-prinsip produksi,
Marx et Freud (1973) dan Libidinal Economy konsumsi dan transformasi mengalami revolusi
(1974). Tahun 1979, Lyotard mempublikasikan radikal. Penggunaan tenaga manusia yang semakin
Just Gaming dan karya monumentalnya yang kini terbatas dalam sektor ekonomi, pelipatan ruang
telah menjadi klasik The Postmodern Condition: dalam dunia telekomunikasi, percepatan pengolahan
A Report on Knowledge. Karya Lyotard ini data dan informasi yang mampu mengubah bahkan
awalnya adalah sebuah laporan hasil penelitian memanipulasi realitas, penyebaran pengetahuan
mengenai perubahan masyarakat yang dipesan dan kekuasaan secara massif, adalah beberapa
oleh Conseil des universités du Québec, Kanada. konsekuensi perkembangan teknologi (Sarup, 1989).
Dalam penelitian ini Lyotard meneliti kondisi Dalam masyarakat komputerisasi seperti ini,
pengetahuan, ilmu dan teknologi dalam nilai-nilai serta asumsi dasar modernisme: rasio,
masyarakat kapitalisme lanjut. Ia menyimpulkan hukum sejarah linear, subjek, ego, narasi besar,
bahwa telah terjadi perubahan realitas masyarakat otonomi, identitas tidak lagi mampu menggambarkan
realitas. Bahkan, realitas telah berubah sesuai (rue d'Ulm), sekolah prestisius yang dianggap
dengan perubahan karakter masyarakat post- sebagai pintu masuk karir akademik terbaik di
modernisme. Realitas masyarakat seperti inilah bidang humaniora di Perancis. Foucault sangat
yang menjadi wadah, arena perjuangan, nilai-nilai dikenal karena karya-karya kritisnya mengenai
baru postmodernisme. institusi sosial peripheral (pinggiran), penjara,
Menggarisbawahi sifat transformatif masyarakat rumah sakit jiwa, kegilaan, ilmu ilmu kemanusiaan,
komputerisasi yang lebih terbuka, majemuk, plural dan sejarah seksualitas. Pemikiran Foucault
dan demokratis, Lyotard selanjutnya menyatakan tentang kekuasaan, hubungan kuasa, pengetahuan
bahwa kebenaran yang dibawa oleh narasi-narasi dan diskursus serta arkeologi pengetahuan banyak
besar (Grand Narratives) modernisme sebagai diperbincangkan dalam kajian post-strukturalisme.
metanarasi kini telah kehilangan legitimasinya. Beberapa karya penting Michel Foucault yang
Hal ini karena dalam masyarakat kontemporer, hingga saat ini masih menjadi bahan diskusi di
sumber pengetahuan dan kebenaran pengetahuan kalangan pemikir ilmu-ilmu sosial diantaranya
tidak lagi tunggal. Realitas kontemporer tidak lagi adalah Madness and Insanity: History of Madness
homolog (homo: satu, dan logi: tertib nalar), in the Classical Age (1961), The Birth of the
melainkan paralog (para: beragam, dan logi: Clinic: An Archaeology of Medical Perception
tertib nalar) (Awuy, 1995). Pengetahuan dan (1963), The Order of Things: An Archaeology of
kebenaran kini menyebar dan plural. the Human Sciences (1966), The Archaeology of
Konsekuensinya, prinsip legitimasi modernisme Knowledge (1969), Discipline and Punish: The
harus dibongkar dengan prinsip delegitimasi. Birth of the Prison (1975) dan The History of
Dengan delegitimasi, berarti diakui adanya berba- Sexuality: An Introduction (1976). Dalam kajian
gai unsur realitas yang memiliki logikanya postmodernisme, nama Foucault disejajarkan
sendiri. Dengan delegitimasi, menurut Lyotard, dengan pemikir-pemikir postmodern seperti J.F.
prinsip lain yakni disensus menjadi lebih bisa Lyotard, J. Baudrillard, J. Derrida dan F. Jameson.
diterima ketimbang prinsip konsensus seperti Foucault memulai karir akademik pada tahun
ditawarkan Juergen Habermas. Disensus adalah 1951 dengan mengajar di École Normale.
prinsip yang mengakui perbedaan dan keunikan Dari tahun 1953-1954 ia mengajar psikologi di
setiap unsur dalam realitas, yang memiliki logika Université Lille Nord de France. Tahun 1954
dan hak hidupnya sendiri. Foucault menjadi duta budaya Perancis dan
mengajar di University of Uppsala, Swedia.
2. Michel Foucault: Kuasa-Pengetahuan Era Tahun 1958 Foucault meninggalkan Uppsala dan
Postmodern mengajar di Warsaw University serta University
Michel Foucault adalah filsuf, sejarawan dan of Hamburg, Jerman. Tahun 1960 Foucault
sosiolog kontemporer Perancis. Ia dilahirkan di kembali ke Perancis dan mengajar Filsafat di
Poitiers, Perancis pada tanggal 15 Oktober 1926 University of Clermont-Ferrand. Terakhir Foucault
dengan nama Paul-Michel Foucault, dari sebuah mengajar Sejarah Sistem Pemikiran dan menjadi
keluarga kaya. Ayahnya, Paul Foucault, adalah Rektor Collège de France.
seorang dokter bedah terkenal di Perancis pada Foucault mencatat beberapa karakter khas
saat itu. Pendidikan dasarnya diselesaikan di sekolah kebudayaan postmodern. Berangkat dari Kant,
Katolik, Jesuit Collège Saint-Stanislas dan Foucault bersepakat bahwa Era Pencerahan
dilanjutkan ke École Normale Supérieure adalah saat dimana rasio mendapatkan tempat
istimewa dalam sejarah perkembangan kebudayaan. masa kini. Ketika teknologi kekuasaan masa lalu
Namun ia menolak anggapan Kant bahwa rasio diuraikan secara rinci, maka asumsi-asumsi masa
berlaku universal. Baginya rasio hanyalah salah kini yang memandang masa lalu sebagai “irasional”
satu cara untuk menanggapi situasi zaman saat itu. akan runtuh. Dengan menawarkan konsep
Menurutnya terdapat tanggapan lain terhadap genealogi sejarah, Foucault juga sekaligus menolak
Pencerahan seperti diwakili Baudelaire yaitu ironi. model sejarah teleologis Hegelian: yakni sejarah
Ironi adalah keberanian, yang disertai kegetiran, yang bergulir mengikuti alur linear maju yang
untuk terlibat secara aktif dengan situasi kini dan berakhir pada satu tujuan tertentu. Lebih lanjut,
disini, historis dan lokal (locally determined), menurut Foucault, genealogi berfokus pada
tanpa harus mencantolkan diri pada status-status pengetahuan lokal yang bersifat diskontinu,
khusus dari kebenaran kebenaran absolut, di luar remeh-temeh dan yang kerapkali dianggap tidak
diri manusia, baik atas nama Tuhan, logos, atau sah dihadapan klaim teori-teori besar.
yang lainnya. Dalam bukunya yang lain Madness and
Ironi juga berarti menjalani kehidupan tanpa Insanity: History of Madness in the Classical Age
dibebani oleh prinsip baku, yang sudah terpatok (1961), Foucault meneliti sejarah kegilaan dan
sebelumnya (Sahal, 1994). Dengan ironi, Foucault peradaban masyarakat Barat. Menurut Foucault,
menerima keyakinan bahwa sejarah modernitas kegilaan sebenarnya memiliki sumbangan tersendiri
bukanlah sejarah tunggal, dengan narasi besar yang terhadap peradaban Barat. Berdasarkan penelitian
monolog: rasionalitas. Lebih jauh ia menyingkapkan yang dilakukannya, menurut Foucault genealogi
bahwa narasi-narasi besar modernisme hanyalah kegilaan sejak abad ke-17 M memperlihatkan
mistifikasi yang bersifat ideologis dan semu. telah terjadinya praktik pemenjaraan moral yang
Ia misalnya, menolak pandangan para filsuf dilakukan melalui mekanisme disiplin dan
Pencerahan yang mengatakan bahwa manusia adalah penghukuman orang-orang gila. Penghukuman
subjek otonom, mandiri dan mampu menentukan orang-orang gila, sejatinya bukan sekedar
dirinya sendiri. Sebaliknya menurut Foucault, pemenjaraan fisik semata, namun lebih dari itu
manusia modern sebagai subjek ataupun objek adalah sebuah praktik pemenjaraan moral.
sebenarnya tidak lebih dari individu yang lahir Dalam sejarah peradaban Barat abad pertengahan,
dan diciptakan oleh multiplisitas kekuasaan melalui pada awalnya orang gila (yang dianggap sebagai
disiplin, normalisasi dan regulasi, pengakuan dan masalah sosial) dibiarkan berkeliaran di jalan-jalan.
penguasaan diri (Sahal, 1994). Teknik penanganan orang gila dalam rentang
Dalam bukunya The Order of Things: An sejarah berikutnya kemudian berubah dengan cara
Archaeology of the Human Sciences (1966), mengasingkan orang gila ke dalam “kapal-kapal
Foucault membahas konsepsi sejarah dan orang gila.” Dalam tradisi budaya masyarakat
memperkenalkan istilah genealogi sejarah, sebuah Eropa, terdapat ide bahwa "air laut, pelaut dan
istilah yang dipengaruhi oleh gagasan genealogi orang gila" adalah sebuah perpaduan yang sempurna.
Nietzsche. Menurut Foucault, genealogi sejarah Karena itulah muncul praktik pengasingan "kapal
adalah konsepsi sejarah yang secara sadar orang gila." Ide "kapal orang gila" menjadi sangat
mendelegitimasi masa kini dan memisahkannya populer pada abad ke-16 M sebagai tempat terbaik
dari masa lalu. Tujuannya adalah untuk bagi orang-orang gila untuk hidup diluar lingkungan
menghapuskan legitimasi masa kini sehingga "normal" masyarakat Eropa. Karya seni dan sastra
dapat menemukan perbedaan khas masa lalu dan pada abad-abad inipun kerap diwarnai dengan
Kekuasaan menciptakan realitas dan wacana pemikir sosial berkebangsaan Perancis yang lahir
pengetahuan serta kebenaran yang baru. Kekuasaan pada tanggal 15 Juli 1930, di El Biar, Algeria.
melahirkan pengetahuan baru. Sebaliknya, Dididik dalam tradisi pendidikan Perancis, tahun
pengetahuan adalah kekuasaan untuk mendefinisikan 1949 ia belajar di École Normale Supérieure
yang lain. Pengetahuan menciptakan pengaruh- (ENS), sebuah sekolah elit di Paris dan kemudian
pengaruh kekuasaan. Tanpa pengetahuan, tidak ada mengajar filsafat di Universitas Sorbonne (1960
kuasa. Inilah: kuasa-pengetahuan (pouvoir-savoir). hingga 1964), École Normale Supérieure (1964
Kekuasaan dalam pandangan Foucault ini berbeda hingga 1984), dan di École des Hautes Études en
sama sekali dengan yang dipahami oleh kaum Sciences Sociales (1984 hingga 1999). Sejak
Weberian dan Marxian. Bagi kaum Weberian, tahun 1960-an ia mulai mempublikasikan buku
kekuasaan adalah kemampuan subjektif untuk dan karya ilmiah di jurnal-jurnal ternama. Ia juga
mempengaruhi orang lain. Sementara bagi kaum banyak memberikan kuliah di universitas terkenal
Marxian, kekuasaan adalah artefak material yang di Amerika Serikat, termasuk di Yale University
bisa dikuasai dan digunakan untuk mendominasi dan University of California. Derrida meninggal
dan menekan kelas lain. Menurut Foucault, pada tanggal 8 Oktober 2004 di Paris Perancis.
kekuasaan bukanlah kekuatan, institusi atau Derrida mencoba menyingkap sifat paradoks
struktur yang bersifat menundukkan. Kekuasaan modernisme dengan karya-karyanya. Melalui
adalah label nominal bagi relasi strategis yang Derrida terbongkar karakter kekerasan dan teror
kompleks dalam masyarakat. Ia menyebar dan yang disebar oleh modernisme semenjak
hadir di mana-mana, dimiliki oleh siapa saja. dirayakannya prinsip logosentrisme. Dalam
Untuk itu, ketimbang berusaha mengimami gagasan logosentrisme, salah satu ciri yang menonjol
besar yang cenderung manipulatif, Foucault lebih adalah cara berpikir oposisi biner yang bersifat
memilih untuk menyibuki persoalan-persoalan hierarkis (esensi - eksistensi, substansi -
kecil dan lokal yang seringkali tak jamak dibicarakan. aksidensi, jiwa - badan, makna - bentuk,
Tema-tema seperti rumah sakit, penjara, barak-barak transenden - imanen, positif - negatif, lisan -
tentara, sekolah, pabrik, pasien, seks, orang gila tulisan, konsep - metafor) dengan anggapan
dan para kriminal menjadi titik perhatian utama bahwa yang pertama adalah pusat, sedang yang
selama karir kefilsafatannya. kedua adalah derivasi, pinggiran. Cara berpikir ini
Dengan upaya besar dan cerdasnya ini, Foucault mendorong sejarah filsafat Barat cenderung bersifat
telah memberikan dua sumbangan besar terhadap totaliter karena menganggap bahwa yang bukan
postmodernisme. Pertama, keberhasilannya pusat, yang pinggiran, yang lain, the others, harus
menyingkap mitos-mitos modernisme yang disubordinasikan ke dalamnya.
menampilkan dirinya sebagai kebenaran absolut, Derrida terutama dikenal sebagai pendukung
yang universal, namun sebenarnya palsu. Kedua, utama dekonstruksi, sebuah istilah yang merujuk
pemihakannya terhadap persoalan-persoalan yang pada strategi kritis yang menggugat konsep
selama ini ditindas oleh rasionalitas modern, pembedaan atau oposisi biner, yang melekat
tersisih, marjinal dan dikucilkan agar lebih didengar dalam sejarah pemikiran Barat. Oposisi biner
dan diperhatikan. senantiasa mengandaikan adanya hirarki dimana
istilah yang satu selalu lebih penting atau utama
3. Jacques Derrida: Dekonstruksi Modernitas ketimbang yang lain. Contoh oposisi biner alam
Jacques Derrida adalah seorang filsuf dan dan budaya, ucapan dan tulisan, pikiran dan
tubuh, kehadiran dan ketidakhadiran, di dalam ras kulit hitam, kelompok gay, hippies, punk, atau
dan di luar, makna literal dan metaforis, bentuk gerakan peduli lingkungan kini mulai diperhatikan.
dan makna, dan lain sebagainya. Untuk Dengan dekonstruksi, sejarah modernisme
“mendekonstruksi” oposisi biner, Derrida hendak ditampilkan tanpa kedok, apa adanya.
melakukan pelacakan ketegangan dan kontradiksi Oposisi biner antara ucapan dan tulisan
antara kedua istilah, terutama yang bersifat implisit. misalnya, diterima sebagai konstruksi bahwa ucapan
Analisis dekonstruksi menunjukkan bahwa oposisi lebih penting ketimbang tulisan. Kebenaran ini
biner tidak bersifat alamiah namun merupakan mengasumsikan bahwa melalui ucapan ide dan
produk atau “konstruksi” sosial dan budaya. maksud pembicara bisa secara langsung “hadir”,
Istilah “dekonstruksi” awalnya berasal dari sementara melalui tulisan ide dan maksud pem-
Martin Heidegger, yang menyuarakan dilakukannya bicara relatif berjarak atau malah “tidak hadir”
destruksi atau dekonstruksi sejarah ontologi Barat. dan karena cenderung disalahpahami. Dengan
Dalam penggunaannya kemudian, “dekonstruksi” dekonstruksi Derrida tidak sekedar ingin mengubah
menjadi sebuah metode penting yang banyak oposisi ucapan dan tulisan – bahwa tulisan lebih
digunakan oleh para filsuf dan pemikir sosial. penting ketimbang ucapan – namun lebih dari itu
Dekonstruksi, menurut Derrida adalah juga strategi ia ingin menyusun ulang atau “meruntuhkan”
untuk memeriksa sejauh mana struktur-struktur oposisi biner sehingga tidak ada yang lebih penting
yang terbentuk hendak dimapankan batas-batasnya diantara ucapan dan tulisan.
dan ditunggalkan pengertiannya, yakni melalui Pada tahun 1960-an karya-karya Derrida mulai
pembalikan hierarki oposisi biner secara terus- diterima di Perancis dan di luar Perancis sebagai
menerus (Sahal, 1994). Dengan dekonstruksi gerakan interdisipliner yang dikenal dengan nama
hendak dimunculkan kembali dimensi-dimensi strukturalisme. Strukturalisme menganalisis berbagai
metaforis dan figuratif dari bahasa yang menjadi fenomena kebudayaan seperti mitos, ritual agama,
pembentuk realitas. Implikasinya adalah mulai cerita sastra, fashion dan lain-lain, sebagai sebuah
melumernya batas-batas antara konsep dan metafor, sistem tanda yang hampir sama dengan bahasa
antara kebenaran dan fiksi, antara filsafat dan dengan aturan dan strukturnya yang khas.
puisi, dan antara keseriusan dan permainan. Beberapa karya Derrida juga dianggap sebagai kritik
Dengan dekonstruksi pula, cerita-cerita besar terhadap pemikiran tokoh-tokoh strukturalisme
modernitas dipertanyakan, dirongrong dan disingkap awal seperti Saussure, Claude Lévi-Strauss, dan
sifat paradoksnya. Lebih jauh dekonstruksi hendak Michel Foucault sehingga beberapa kalangan
memunculkan dimensi-dimensi yang tertindas di menyebutnya sebagai penyokong “poststruktural-
bawah totalitas modernisme. isme”. Lebih dari semua itu, terutama karena
Melalui dekonstruksi, Derrida mencoba keberhasilannya membongkar sifat paradoks
meletakkan kembali kedudukan struktur dalam cerita-cerita besar modernitas melalui metode
keadaan asalinya, yakni keadaan dimana relasi dekonstruksi, Derrida banyak digolongkan sebagai
antara pusat dan pinggiran belum lagi mengeras. salah satu pemikir utama teori sosial postmodern.
Dengannya diinginkan pluralitas dan heterogenitas
kehidupan yang membeku dan tertindas selama 4. Jean Baudrillard: Dunia Simulasi dan Hiper-
masa modernisme kembali terhampar. Dengan realitas Postmodern
dekonstruksi, wacana-wacana yang sebelumnya Jean Baudrillard dilahirkan di kota Riems,
tertindas: kelompok etnis, kaum feminis, dunia ketiga, Perancis Barat, pada 5 Januari 1929.
Bersama saudara-saudaranya yang lain Baudrillard segala upaya ditujukan pada penciptaan dan
hidup dalam tradisi keluarga petani urban yang peningkatan kapasitas konsumsi melalui pemassalan
sederhana. Ia adalah orang pertama dalam produk, diferensiasi produk dan manajemen
keluarganya yang bekerja sebagai ilmuwan secara pemasaran. Iklan, teknologi kemasan, pameran,
serius. Pada tahun 1966 Baudrillard menyelesaikan media massa dan shopping mall merupakan ujung
tesis sosiologinya di Universitas Nanterre di tombak strategi baru era konsumsi. Dalam
bawah bimbingan Henry Lefebvre, seorang anti- masyarakat konsumer, objek-objek konsumsi
strukturalis Perancis kondang saat itu. Setahun yang berupa komoditi tidak lagi sekedar memiliki
setelah lulus, ia kemudian masuk ke Universitas manfaat (nilai-guna) dan harga (nilai-tukar)
Nanterre, untuk mengajar disana. Setelah setahun seperti dijelaskan Marx. Namun lebih dari itu ia
mengajar di Universitas Nanterre, selanjutnya kini menandakan status, prestise dan kehormatan
Baudrillard bergabung dengan Roland Barthes (nilai-tanda dan nilai-simbol). Objek komoditi dibeli
mengajar di Ecole des Hautes Etudes. karena makna simbolik yang ada di dalamnya,
Melalui bukunya For a Critique of The Political dan bukan karena harga atau manfaatnya (Lechte,
Economy of The Sign (1981), Baudrillard 1994). Sebuah mobil Porsche atau BMW
menyatakan bahwa dalam masyarakat postnmodern, misalnya, dinilai bukan karena manfaatnya sebagai
nilai tanda (sign-value) dan nilai-simbol alat transportasi atau harganya yang mahal,
(symbolic-value) telah menggantikan nilai-guna melainkan karena ia menjadi simbol gaya hidup,
(use-value) dan nilai-tukar (exchange-value). prestise, kemewahan dan status sosial pemiliknya.
Dengan mengambil alih pemikiran Marx mengenai Melalui objek-objek atau komoditi-komoditi
nilai-guna dan nilai-tukar, pemikiran Barthes itulah seseorang dalam masyarakat konsumer
mengenai semiologi, pemikiran Marcel Mauss menemukan makna dan eksistensi dirinya.
mengenai gift atau pemberian, dan pemikiran Sejalan dengan pemikirannya tentang perubahan
Georges Bataille mengenai expenditure atau prinsip dari nilai-guna dan nilai-tukar ke nilai-tanda
belanjaan (Lechte, 1994) Baudrillard menolak dan nilai-simbol, Baudrillard kemudian mengubah
prinsip nilai-guna dan nilai-tukar Marx dan pula periodisasi sejarah masyarakat yang dibuat
menyatakan bahwa aktivitas konsumsi manusia Marx. Menurut Marx, terdapat tiga tahap struktur
pada dasarnya merupakan aktivitas non-utilitarian. masyarakat, yakni masyarakat feodal, masyarakat
Ia mengatakan bahwa dalam institusi semacam kapitalis dan masyarakat komunis. Baudrillard
Kula dan Potlach dalam masyarakat primitif, mengajukan periodisasi perubahan struktur
kebiasaan memberi sesuatu dan membelanjakan masyarakat, yakni dari masyarakat primitif,
sesuatu ternyata didasarkan pada prestise dan masyarakat hierarkis dan masyarakat massa
kebanggaan simbolik, bukan pada kegunaan. (Lechte, 1994). Menurut Baudrillard, masyarakat
Menurut Baudrillard, perkembangan kapitalisme primitif ditandai dengan tidak adanya elemen
lanjut semenjak tahun 1920-an menunjukkan tanda dalam interaksi seluruh aspek kehidupan
perubahan dramatis karakter produksi dan konsumsi masyarakatnya. Objek dipahami secara murni dan
dalam masyarakat konsumer. Bila dalam era alamiah berdasarkan kegunaannya.
kapitalisme awal, produksi menjadi faktor dominan Selanjutnya dalam masyarakat hierarkis, lahir
yang membentuk pasar kapitalisme kompetitif, elemen tanda yang beroperasi masih dalam lingkup
maka dalam era kapitalis lanjut, konsumsi adalah yang terbatas. Tanda dipahami sebagai makna
determinan pasar monopolis. Dalam era ini, yang ditanamkan oleh segolongan kelas kepada
kelas yang lain. Tanda juga mulai menggantikan oleh logika simulasi ini, dimana kode dan model-
kedudukan objek murni, yang kini memiliki model menentukan bagaimana seseorang harus
nilai-tukar. Akhirnya, pada tahapnya yang tertinggi, bertindak dan memahami lingkungannya.
terbentuklah masyarakat massa. Dalam masyarakat Ruang realitas kebudayaan dewasa ini, menurut
massa, tanda mendominasi seluruh aspek kehidupan. Baudrillard merupakan cerminan apa yang
Tidak ada lagi objek murni, kecuali objek tanda. disebutnya sebagai simulacra atau simulacrum.
Individu dalam masyarakat massa berperan sebagai Simulacra adalah ruang realitas yang disarati oleh
konsumen tanda tanpa memiliki status kelas tertentu. proses reduplikasi dan daur-ulang berbagai fragmen
Tahun 1983, melalui karya magnum opus-nya, kehidupan yang berbeda (dalam wujud komoditas
Simulations (1983), Baudrillard mengintrodusir citra, fakta, tanda, serta kode yang silang-
sebuah karakter khas kebudayaan masyarakat sengkarut), dalam satu dimensi ruang dan waktu
Barat dewasa ini. Dengan mengambil alih dan yang sama (Piliang, 1998). Simulacra tidak memiliki
mengembangkan gagasan para pendahulunya: acuan, ia adalah duplikasi dari duplikasi, sehingga
semiologi Saussure, fetishism commodity Marx, perbedaan antara duplikasi dan yang asli menjadi
teori differance Derrida, mythologies Barthes, kabur. Dalam ruang ini tidak dapat lagi dikenali
serta genealogy Foucault, Baudrillard menyatakan mana yang asli dan mana yang palsu, mana hasil
bahwa kebudayaan Barat dewasa ini adalah sebuah produksi dan mana hasil reproduksi, mana objek
representasi dunia simulasi. Jika era pra-modern dan mana subjek, atau mana penanda dan mana
ditandai dengan logika pertukaran simbolik petanda. Ruang simulacra ini memungkinkan
(symbolic exchange), era modern ditandai dengan seseorang menjelajahi berbagai fragmen realitas,
logika produksi, maka era postmodern ditandai baik nyata maupun semu; mereproduksi,
dengan logika simulasi. Dalam masyarakat simulasi, merekayasa dan mensimulasi segala sesuatu
segala sesuatu ditentukan oleh relasi tanda, citra sampai batasannya yang terjauh.
dan kode. Tanda adalah segala sesuatu yang Dunia simulacra, yang menjadi wacana dominan
mengandung makna, yang mengikuti teori semiologi kesadaran masyarakat Barat dewasa ini, papar
Saussurean memiliki dua unsur, yakni penanda Baudrillard, sebenarnya telah ada semenjak era
(bentuk) dan petanda (makna). Citra adalah segala Renaisans. Realitas simulacra memiliki tiga tingkatan
sesuatu yang nampak oleh indera, namun sebenarnya periode historis, semenjak era Renaisans hingga
tidak memiliki eksistensi substansial. Sementara sekarang, yakni simulacra Orde Pertama, simulacra
kode adalah cara pengkombinasian tanda yang Orde Kedua dan simulacra Orde Ketiga.
disepakati secara sosial, untuk memungkinkan Simulacra Orde Pertama, berlangsung
satu pesan dapat disampaikan dari seseorang semenjak era Renaisans-Feodal hingga permulaan
kepada orang yang lain (Piliang, 1998). Revolusi Industri. Dalam orde ini, realitas dunia
Dalam dunia simulasi, identitas seseorang dipahami berdasarkan prinsip hukum alam, dengan
misalnya, tidak lagi ditentukan oleh dan dari ciri ketertiban, keselarasan, hierarki alamiah serta
dalam dirinya sendiri. Identitas kini lebih ditentukan bersifat transenden. Alam menjadi pendukung utama
oleh konstruksi tanda, citra dan kode yang sekaligus determinan kebudayaan. Tanda-tanda
membentuk cermin bagaimana seorang individu yang diproduksi dalam orde ini adalah tanda-tanda
memahami diri mereka dan hubungannya dengan yang mengutamakan integrasi antara fakta dan
orang lain. Lebih lanjut, realitas-realitas ekonomi, citra secara serasi dan seimbang. Hal ini berkaitan
politik, sosial dan budaya, kesemuanya diatur erat dengan kehendak manusia zaman itu untuk
mempertahankan struktur dunia yang alamiah. karya monumentalnya Simulations (1983), dalam
Dengan demikian, prinsip dominan yang menjadi ciri edisi bahasa Inggris. Dalam karyanya tersebut,
simulacra Orde Pertama adalah prinsip representasi. Baudrillard mengembangkan gagasannya tentang
Bahasa, objek dan tanda adalah tiruan dari realitas masyarakat hiperrealitas. Adalah Marshall McLuhan
alamiah yang dibentuk secara linear dan tunggal. sebenarnya yang pertama-tama membuka
Sebagai tiruan, bahasa, objek dan tanda masih pembicaraan mengenai gagasan hiperrealitas
memiliki jarak dengan objek aslinya (Kellner, 1994). dalam kebudayaan masyarakat Barat dewasa ini.
Simulacra Orde Kedua, berlangsung bersamaan Melalui dua bukunya, The Gutenberg Galaxy:
dengan semakin gemuruhnya era industrialisasi yang The Making of Typographic Man (1962) dan
merupakan konsekuensi logis Revolusi Industri. Understanding Media: The Extensions of Man
Revolusi Industri, di satu sisi telah memberikan (1964), McLuhan meramalkan bahwa peralihan
sumbangan besar bagi perkembangan kebudayaan. teknologi dari era teknologi mekanik ke era
Namun disisi lain, Revolusi Industri juga telah teknologi elektronik akan membawa peralihan
menimbulkan ekses-ekses negatif bagi kebudayaan. pula pada fungsi teknologi sebagai perpanjangan
Logika produksi, yang menjadi prinsip simulacra badan manusia dalam ruang, menuju perpanjangan
Orde Kedua, telah mendorong perkembangan system syaraf (Kellner, 1994). Baudrillard menarik
teknologi mekanik sampai pada batasannya yang garis tajam pemikiran McLuhan sampai batasannya
terjauh. Baudrillard menyatakan bahwa dengan yang terjauh. Ia mengangkat pandangan-
teknologi reproduksi mekanik sebagai media dan pandangan McLuhan tentang perpanjangan badan
prinsip produksi objek-objek alamiah telah manusia dan global village ke dalam konteks
kehilangan aura dan sifat transendensinya. Objek perkembangan mutakhir dunia Barat, yang dewasa
kini bukan lagi tiruan yang berjarak dari objek ini telah menjelma menjadi desa besar yang
asli, melainkan sepenuhnya sama persis seperti disebut Baudrillard sebagai hiperreal village.
yang asli. Dengan kemajuan teknologi reproduksi Menurut Baudrillard, perkembangan ilmu dan
mekanik inilah, prinsip komoditi dan produksi massa teknologi dewasa ini dengan micro processor,
menjadi ciri dominan era simulacra Orde Kedua. memory bank, remote control, telecard, laser disc
Simulacra Orde Ketiga, lahir sebagai dan internet, tidak saja dapat memperpanjang
konsekuensi logis perkembangan ilmu dan badan atau pusat sistem syaraf manusia, namun
teknologi informasi, komunikasi global, media bahkan lebih fantastis lagi, mampu mereproduksi
massa, konsumerisme dan kapitalisme pada era realitas, masa lalu dan nostalgia; menciptakan
Pasca Perang Dunia II. Lebih dari masa-masa realitas baru dengan citra-citra buatan; menyulap
sebelumnya, pada orde ini relasi berbagai unsur dan fantasi, ilusi bahkan halusinasi menjadi kenyataan.
struktur budaya mengalami perubahan mendasar. Lebih jauh, realitas yang dihasilkan teknologi baru
Tanda, citra, kode dan subjek budaya tidak lagi ini telah mengalahkan realitas yang sesungguhnya
merujuk pada referensi dan realitas yang ada. dan bahkan menjadi model acuan yang baru bagi
Simulacra Orde Ketiga ini ditandai dengan masyarakat. Citra lebih meyakinkan ketimbang
hukum struktural. Tanda membentuk struktur dan fakta dan mimpi lebih dipercaya ketimbang
memberi makna realitas. Inilah era yang disebut kenyataan sehari-hari. Inilah dunia hiperrealitas:
Baudrillard sebagai era simulasi. realitas yang lebih nyata dari yang nyata, semu
Tahun 1989, terbit karya Baudrillard, Simulacra dan meledak-ledak. Dalam dunia hiperrealitas,
and Simulacrum (1989), yang merupakan kelanjutan objek-objek asli yang merupakan hasil produksi
bergumul menjadi satu dengan objek-objek hiperreal Eropa yang pindah ke Amerika setelah pecah
yang merupakan hasil reproduksi. Realitas- Perang Dunia II seperti Theodor Adorno, karya-karya
realitas hiper, seperti media massa, Disneyland, sastra beraliran Marxian masih jarang dikenal di
shopping mall dan televisi nampak lebih real daripada dunia akademik Amerika hingga akhir tahun
kenyataan yang sebenarnya, dimana model, 1950-an dan awal tahun 1960-an.
citra-citra dan kode hiperrealitas bermetamoforsa Pergeseran minat Jameson menuju paham
sebagai pengontrol pikiran dan tindak-tanduk Marxisme juga didorong oleh hubungan politik
manusia (Kellner, 1994). Tokoh Rambo, boneka pribadinya yang semakin meningkat dengan
Barbie, Jurrasic Park, atau Star Trek Voyager tokoh-tokoh gerakan Kiri Baru. Tema-tema
yang merupakan citra-citra buatan adalah realitas penelitiannya kemudian terfokus pada tokoh-tokoh
tanpa referensi, namun nampak lebih dekat dan seperti Kenneth Burke, Gyorgy Lukács, Ernst
nyata dibanding keberadaan tetangga kita sendiri. Bloch, Theodor Adorno, Walter Benjamin,
Sementara melalui karyanya The Ecstasy of Herbert Marcuse, Louis Althusser, dan Sartre,
Communication (1987), Baudrillard menyatakan yang melihat kritik kebudayaan sebagai ciri yang
bahwa dengan transparansi makna dan informasi, melekat kuat dalam teori Marxian. Dalam banyak
masyarakat Barat dewasa ini telah melampaui hal, Jameson bersama dengan pemikir kritik
ambang batas menuju keadaan permanent ecstasy: kebudayaan Marxian lainnya yaitu Terry Eagleton,
ekstasi sosial (massa), ekstasi tubuh (kegemukan), berusaha menjelaskan peran penting pandangan
ekstasi seks (kecabulan), ekstasi kekerasan (teror), Marxisme terhadap trend filsafat dan sastra
dan ekstasi informasi (simulasi). kontemporer. Setelah pindah ke University of
California, San Diego pada tahun 1967, Jameson
5. Fredrich Jameson: Kapitalisme Lanjut dan menerbitkan buku berjudul Marxism and Form:
Postmodernisme Twentieth-Century Dialectical Theories of Literature
Fredrich Jameson adalah pemikir sosial Marxian (1971) dan The Prison-House of Language:
berkebangsaan Amerika Serikat yang lahir di A Critical Account of Structuralism and Russian
Cleveland, Ohio, Amerika Serikat. Setelah lulus Formalism (1972).
dari Haverford College pada tahun 1954, ia pergi Karya penting Fredrich Jameson mengenai
ke Eropa dan belajar di Aix-en-Provence, Munich pemikiran postmodernisme adalah bukunya yang
serta Berlin, dimana ia mempelajari perkembangan berjudul Postmodernisme or the Cultural Logic of
terbaru dalam kajian filsafat, terutama strukturalisme. the Late Capitalism. Dalam buku ini Jameson
Ia kembali ke Amerika Serikat untuk menyelesaikan menyatakan bahwa kapitalisme saat ini telah menjadi
studi doktoral di Yale University. Setelah cara pandang dominan masyarakat kontemporer
mendapatkan gelar doktor, Jameson sempat dewasa ini. Jameson menolak pandangan seperti ini.
mengajar di Harvard University selama tahun Dengan buku ini Jameson bermaksud mengkritik
1960 hingga 1965. postmodernisme dan menolak pendapat sebagian
Awalnya, minat besar Jameson terhadap besar pemikir postmodernisme, terutama Jean
karya-karya Sartre membuatnya tertarik untuk Francois Lyotard dan Jean Baudrillard.
mempelajari teori sastra Marxian. Meskipun Karl Buku ini sendiri awalnya merupakan artikel
Marx telah mendapat tempat semakin penting yang diterbitkan dalam jurnal New Left Review
dalam kajian ilmu sosial di Amerika Serikat, pada tahun 1984, ketika Jameson menjabat sebagai
sebagian juga karena pengaruh para pemikir profesor Sastra dan Sejarah Kesadaran University
of California, Santa Cruz, Amerika Serikat. atau kelesuan emosi; (3) postmodernisme ditandai
Artikel kontroversial ini kemudian dikembangkan oleh hilangnya makna sejarah; (4) terdapat sejenis
menjadi buku pada tahun 1991. Dalam buku ini teknologi baru seperti televisi dan komputer yang
Jameson terutama melihat pandangan "skeptis melekat amat erat dengan masyarakat postmodern.
postmodern terhadap metanarasi" sebagai “sebentuk Diantara pemikir-pemikir postmodern yang lain,
pengalaman" yang muncul di kalangan buruh Fredrich Jameson adalah salah satu pemikir yang
terdidik yang ditanamkan oleh sistem produksi secara terbuka bersikap negatif dan mengkritik
kapitalisme lanjut. pandangan teoritis pemikiran sosial postmodern
Dengan mengikuti analisis Adorno and yang berkembang di awal abad ke-20 M.
Horkheimer mengenai industri budaya, Jameson
mendiskusikan fenomena postmodernisme dan
menyatakan bahwa era postmodernitas dicirikan KESIMPULAN:
oleh pastiche dan krisis sejarah. Jameson menyatakan KRITIK DAN MASA DEPAN
bahwa parodi (yang mensyaratkan penilain moral TEORI-TEORI SOSIAL POSTMODERN
atau perbandingan dengan norma-norma sosial)
telah digantikan oleh pastiche (yakni kolase dan Lahirnya teori-teori sosial postmodern dengan
berbagai bentuk penyempalan tanpa landasan berbagai aksentuasi dan kontroversinya telah
normatif apapun). Selanjutnya Jameson juga memunculkan banyak tanggapan kritis dari para
menyatakan bahwa era postmodern mengalami pemikir filsafat dan sosial kontemporer. Suara kritis
krisis sejarah dengan mengatakan bahwa: "sepertinya terhadap teori-teori sosiologi postmodern salah
tidak ada lagi hubungan organik antara sejarah satunya dikemukakan oleh Mark Poster, seorang
Amerika yang kita pelajari di dalam buku-buku sosiolog dan komentator karya-karya pemikir
sekolah dengan pengalaman hidup kota-kota potmodern. Poster mencatat bahwa setidaknya
metropolitan dengan gedung-gedung tinggi dan terdapat lima kelemahan teori-teori sosiologi
perusahaan-perusahaan multinasional dan postmodern (Kellner, 1994). Pertama, para
kehidupan sehari-hari kita." pemikir teori-teori sosial postmodern seringkali
Lebih jauh Jameson menyatakan bahwa terdapat tidak mampu menjelaskan dengan gamblang
3 tahap perkembangan kapitalisme. Pertama, tahap pengertian istilah-istilah kunci yang ada dalam
kapitalisme pasar atau munculnya pasar nasional karya-karya mereka. Hal ini mengakibatkan
yang dipersatukan. Kedua, tahap imperialis yang kekaburan pemahaman akan gagasan-gagasan
ditandai dengan munculnya jaringan kapitalisme orisinal yang dikemukakan para pemikir postmodern.
global. Ketiga, tahap kapitalisme lanjut yang Kedua, Poster memandang gaya menulis para
ditandai dengan ekspansi luar biasa hingga ke pemikir teori-teori sosiologi postmodern, misalnya
kawasan yang hingga kini belum dieksplorasi Baudrillard, aneh dan ganjil karena seringkali
secara maksimal. tidak dibarengi dengan argumentasi yang sistematik
Dalam bukunya yang telah menjadi klasik dan logis. Kelemahan ini, dengan sendirinya,
tersebut, Jameson juga memberikan ciri-ciri menjadikan pemikiran-pemikiran sosiologi post-
masyarakat postmodern yang cenderung negatif modern kehilangan dasar argumentasi yang
sebagai berikut: (1) postmodernisme ditandai oleh rasional. Ketiga, para pemikir teori sosiologi
kedangkalan dan kekurangan kedalaman; postmodern, tanpa disadarinya, telah terjatuh ke
(2) postmodernisme ditandai oleh kepura-puraan dalam sikap mentotalisasikan ide-ide pemikirannya,
dan menolak untuk mengubah atau membatasi inkonsestensi modernisme, namun menolak
pemikirannya. untuk mengikuti norma konsistensi itu sendiri.
Keempat, para pemikir teori-teori sosiologi 7. Para pemikir teori-teori sosial postmodern
postmodern terkesan terlalu menafikan kenyataan berkontradiksi di dalam dirinya sendiri dengan
bahwa terdapat keuntungan-keuntungan dari menyampaikan klaim-klaim kebenaran dalam
perkembangan teknologi informasi dan komunikasi. tulisan-tulisan mereka sendiri.
Televisi, media massa dan internet dalam
tampilannya yang positif juga memberikan manfaat Kritik lain disampaikan oleh Terry Eagleton,
seperti misalnya mempercepat penyebaran informasi seorang kritikus sastra Marxian, dalam bukunya
tentang pendidikan, HAM dan lingkungan, The Illusions of Postmodernism (1996). Dalam
menyampaikan berita peristiwa-peristiwa aktual buku ini Terry Eagleton memaparkan ambivalensi,
yang tengah terjadi dan lebih membuka pemahaman sejarah, kesalahpahaman dan kontradiksi teori-teori
akan sifat pluralisme dan humanisme kebudayaan sosial postmodern. Menurutnya, postmodernitas
dewasa ini. Kelima, sikap fatalis dan nihilis yang adalah sebuah gaya pemikiran yang selalu
secara sadar banyak dipilih para pemikir teori-teori mencurigai ide tentang kebenaran, akal, identitas
sosial postmodern, menjadikan pemikiran-pemikiran dan obyektivitas, ide kemajuan universal atau
mereka jauh dari nilai-nilai moral dan agama. emansipasi, dan narasi besar. Menolak norma-norma
Sementara itu Pauline M. Rosenau (1992), Pencerahan ini, postmodernitas melihat dunia
seorang pengamat teori sosial kontemporer modern sebagai realitas yang kontingen, tidak
Amerika melihat terdapat setidaknya 7 kontradiksi perpijak, beragam, tidak stabil, serta kebudayaan
dalam pemikiran teori-teori sosial postmodern: yang penuh dengan sikap skeptis mengenai
1. Posisi anti-teori dari para pemikir teori-teori obyektivitas kebenaran, sejarah, dan norma serta
sosial postmodern sebenarnya justru merupakan koherensi identitas.
sebuah pendirian teoritis. Sementara itu, Jurgen Habermas, seorang
2. Sementara tokoh-tokoh teori-teori sosial post- filsuf kontemporer Jerman, juga memberikan
modern menekankan hal-hal yang bersifat kritikan terhadap pandangan postmodernisme.
irasionl, akal pikiran tetap digunakan untuk Dalam bukunya Modernity, an Incomplete Project
memperluas pandangannya. (1984), Habermas mengatakan bahwa proyek
3. Sikap teori-teori sosial postmodern untuk modernitas yang dimulai sejak abad ke-19 demi
berfokus pada hal-hal yang terpinggirkan dalam membangun ilmu yang obyektif, hukum dan
dirinya sendiri sebenarnya merupakan penekanan moralitas universal, serta seni yang otonom
evaluatif atas hal-hal yang diserangnya. belumlah selesai. Para pemikir postmodern,
4. Teori-teori sosial postmodern menekankan inter- menurut Habermas, terlalu tidak sabar untuk
tekstualitas namun seringkali memperlakukan menuntaskan proyek modernitas yang seharusnya
teks secara tertutup. bisa mereka selesaikan. Dalam perdebatannya
5. Dengan menolak kriteria modernisme untuk dengan beberapa pemikir postmodern, terutama
menilai sebuah teori, para pemikir teori-teori Baudrillard dan Lyotard, Habermas tetap
sosial postmodern tidak dapat menyatakan berpendirian bahwa modernisme masih bisa
bahwa tidak ada kriteria yang absah untuk dibenahi, yakni dengan prinsip konsensus dan
digunakan sebagai sarana penilaian. komunikasi partisipatif. Bagi Habermas, masa depan
6. Teori-teori sosial postmodern mengkritik modernitas masih panjang sementara masa depan
Ketentuan Pidana
Pasal 72:
1. Barangsiapa dengan sengaja atau tanpa hak melakukan
perbuatan sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 2 ayat
(1) atau pasal 49 ayat (1) dan (2) dipidanakan dengan
pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu)
bulan dan/atau denda paling sedikit Rp1.000.000,00 (satu
juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh)
tahun dan/atau denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00
(lima miliar rupiah).
2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan,
mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu ciptaan
atau barang hasil Pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait
sebagaimana dimaksudkan dalam ayat (1) dipidanakan
dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun
dan/atau denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima
ratus juta rupiah).
ii
Oleh :
2016
iii
Oleh:
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A.
ISBN: 978-602-7981-94-2
© 2016 nasiwan, yuyun sri wahyuni
Edisi Pertama
iv
KATA PENGANTAR
Teori-teori sosial Indonesia sekaligus para intelektual
Indonesia kebanyakan masih mengamini dan didominasi oleh
pemikiran asing (Barat) yang memiliki realitas berbeda dengan
realitas bangsa Indonesia, sehingga yang terjadi kemudian adalah
keberlanjutan ribuan jarak antara ilmu sosial dengan masyarakat
sosial. Ilmu sosial selama ini masih berdiri di atas menara gading,
jauh dari jangkauan komunitas akar rumput. Begitu pula, ilmu sosial
selama ini masih menjadi alat hegemoni bagi pihak-pihak yang
berkuasa, global maupun nasional, sehingga alih-alih membangun
manusia, peradaban, dan kesejahteraan, ilmu-ilmu sosial terjebak
kepada penghambaan materi dan kekuasaan yang menambah beban
bangsa untuk benar-benar merdeka. Dalam kondisi yang sedemikian,
buku ini hadir sebagai usaha kritis anak bangsa untuk mengakhiri
kondisi penjajahan intelektual yang berimbas kepada penjajahan
ekonomi bangsa Indonesia dan membawa Indonesia kepada suatu
transformasi sosial yang memerdekakan.
Sesuai dengan terminologi yang digunakan buku ini,
pembahasan dalam buku ini mengarah kepada teori-teori sosial yang
berkembang dan dikembangkan oleh para pemikir dan ilmuwan
sosial di Indonesia. Dengan langsung masuk ke pembahasan teori-
teori sosial Indonesia, atau paling tidak dengan mengetengahkan
pemikiran ilmuwan sosial Indonesia, para pembaca diajak langsung
untuk sampai pada situasi, keadaan, fenomena-fenomena yang
tumbuh dan berkembang di Indonesia. Dengan langkah ini
diharapkan pembaca segera mengenali dan memahami kondisi
kehidupan masyarakat Indonesia, yang menjadi bahan berlimpah
untuk menyusun berbagai konsep pemikiran teori sosial Indonesia.
Buku ini adalah kontribusi dari beberapa orang penulis yang
memiliki concern serta kegelisahan yang sama tentang ilmu-ilmu
sosial Indonesia. Buku ini juga merupakan endapan pemikiran dari
berbagai persimpangan ilmu-ilmu sosial termasuk di dalamnya
pendidikan, politik, ekonomi, dan budaya sehingga buku ini adalah
salah satu upaya serius untuk membangun struktur bangunan teori
ilmu-ilmu sosial Indonesia. Secara garis besar, buku ini terbagi
menjadi dua kategori pembahasan, yakni, pertama, kritik bangunan
teori-teori sosial Indonesia. Bagian pertama ini bermaksud untuk
membangkitkan kesadaran pembaca bahwa betapa ilmu sosial yang
v
berkembang dan diajarkan selama ini terbangun dari sebuah sejarah
yang sama sekali berbeda dengan sejarah Indonesia dan ketimuran,
singkatnya, bagian pertama buku ini membahas tentang perkem-
bangan ilmu sosial Indonesia sejak masa indologi sampai dengan
masa pasca Orde Baru. Bagian kedua buku ini membahas pemikiran-
pemikiran ilmuan sosial yang direpresentasikan oleh tiga pemikir,
yaitu, Kuntowijoyo, Selo Sumardjan, dan Mansur Fakih.
Prof. Dr. Kuntowijoyo adalah cendekiawan tersohor dari UGM,
beliau juga dikenal dengan beberapa novel dan puisi yang pernah
ditulisnya. Dalam pembahasan buku ini perhatian difokuskan pada
tulisan Kuntowijoyo, yang terkait dengan gagasan ilmu sosial
profetik. Menurut Kuntowijoyo gagasan ilmu sosial profetik yang
bertumpu pada tiga konsep kunci yakni transcendency, liberasi dan
humanisasi dihadirkan untuk merespon kemandegan ilmu sosial
akademik serta ilmu sosial kiritis yang kurang mampu memberikan
solusi atas berbagai persoalan sosial yang muncul pada masyarakat
Indonesia. Prof. Dr. Selo Sumardjan adalah ilmuwan sosial yang
berjasa mengkonsepsikan Perubahan Sosial yang berangkat dari
fenomena yang hidup dan berkembang di Indonesia, khususnya yang
terjadi di Daerah Istemewa Yogyakarta, Beliau menemukan 15 tesis
tentang perubahan sosial yang ada di Yogyakarta. Dengan 15 tesis
yang telah diwariskan oleh Prof. Selo Sumardjan, ilmuwan sosial
yang hidup selanjutnya dapat meneruskan kajian tersebut dengan
menyesuaikan kosepsi tersebut dengan perkembangan masyarakat
Yogyakarta pada khususnya serta perkembangan masyarakat
Indonesia. Sedangkan Mansur Fakih adalah seorang pemikir
keIndonesiaan sekaligus aktivis lembaga swadaya sosial. Melalui
tulisan-tulisan dan kegiatan-kegiatan aktivismenya, Mansur Fakih
membangun sebuah kesadaran kritis akan pentingnya menjadi
sebuah bangsa yang merdeka dari segala bentuk penjajahan baru
global (neo-imperialisme). Dalam buku ini pemikiran Mansur Fakih
difokuskan pada neoliberalisme dan upaya-upaya untuk mengurai
mistifikasi konsep globalisasi, pasar bebas serta terminologi struktur
ekonomi global lainnya yang selama ini didengungkan melalui
berbagai propaganda global untuk menguasai ekonomi serta sumber
daya negara miskin dan berkembang.
Dengan mengetengahkan tiga pemikir besar dalam konteks
perkembangan ilmu sosial di Indonesia, penulis berharap dapat
memberikan inspirasi kepada para pembaca untuk meneliti dan
vi
menemukan para pemikir ilmu sosial Indonesia lainnya, untuk
diperkenalkan kepada para pecinta ilmu sosial untuk memperkaya
konsepsi ilmu sosial yang lebih bercorak keindonesiaan. Dengan
langkah-langkah kecil tersebut suatu hari kita bisa berharap
perkembangan ilmu sosial Indonesia akan lebih mandiri, para anak-
anak kita, kaum terpelajar, akan bisa menikmati uraian ilmu sosial
yang lebih dekat di pikir dan di hati.
Pada akhirnya, ilmu sosial Indonesia akan mampu
membebaskan diri dari penjajahan pemikiran, tidak terjadi lagi
diajari bagaimana membaca Indonesia dengan lensa akademik dari
bangsa lain. Akan datang saatnya kita bisa membahas persoalan yang
muncul di Indonesia dengan lensa akademik dan sudut pandang yang
bercitra rasa Indonesia.
Berikut adalah daftar judul bab sekaligus daftar penulis yang
berkontribusi dalam buku ini. Bab I Diskursus Alternatif Indigenisasi
Ilmu Sosial ditulis oleh Nasiwan. Bab II Konstruksi Ilmu Sosial
Indonesia dalam Perspektif Komparatif: Menggali Ilmu Sosial
Bercorak Keindonesiaan ditulis oleh Mestika Zed. Bab III,
Indigenisasi dalam peta perkembangan teori ilmu sosial ditulis oleh
Nasiwan, Cholisin, Yanuardi, dan Grendi Hasto. Bab IV Teori Sosial
Refleksi Pemikiran Kuntowijoyo ditulis oleh Ajat Sudrajat dan
Muhammad Miftahuddin. Bab V Kesadaran Sejarah, Ilmu Sosial
Profetik dan Pendidikan Politik Profetik oleh Nasiwan dan
Miftahuddin. Bab VI Pergulatan Intelektual Kuntowiojoyo menuju
ISP ditulis oleh Nasiwan. Bab VII Refleksi Pemikiran Selo Sumarjan
dan Perubahan Sosial ditulis oleh Nasiwan dan Grendi Hasto. Bab VIII
Mansur Fakih: Menyoal Globalisasi (Neoliberalisme) Pembangunan
ditulis oleh Yuyun Sri Wahyuni, sedangkan bab terakhir yang
merupakan epilog dari buku ini, Dialektika Ilmu Ilmu Sosial
Indonesia ditulis oleh Nasiwan dan Yanuardi.
Hormat kami,
Penulis
vii
viii
DAFTAR ISI
Halaman judul - i
Pengantar - v
Daftar isi - ix
ix
x
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A.
Bab 1
Aku bertanya,
Tetapi pertanyaan-pertanyaanku membentur meja-meja kekuasaan
yang macet, dan papan tulis-papan tulis, para pendidik yang terlepas
dari persoalan kehidupan…
Kita harus berhenti membeli rumus-rumus asing,
Diktat-diktat hanya boleh memberi metode,
Tetapi kita sendiri mesti merumuskan keadaan,
Kita mesti keluar ke jalan raya,
Keluar ke desa-desa,
Mencatat sendiri semua gejala,
Dan menghayati persoalan yang nyata.
(WS Rendra, Sajak Sebatang Lisong, 19 – 8 1977).
Pendahuluan
Perkembangan Ilmu-ilmu sosial di Asia termasuk di dalamnya
di Indonesia dalam waktu yang lama berada dalam pengaruh,
dominasi serta mengadopsi ilmu-ilmu sosial yang berkembang di
Eropa atau Amerika. Kondisi yang demikian sudah berlangsung
dalam waktu yang sangat lama lebih dari satu abad, jauh sebelum
Indonesia merdeka pada tahun 1945. Kondisi perkembangan Ilmu
Sosial yang demikian telah mengundang beberapa intelektual di Asia
dan juga Indonesia, untuk mempertanyakan sekaligus mencari jalan
keluar, kondisi perkembangan ilmu Sosial yang memprihatinkan dari
suatu kondisi ketidakberdayaan-ketergantungan (captive mind)
dengan ilmu-ilmu sosial Barat.
Solusi yang dapat ditawarkan untuk menghadapi kondisi
tersebut ialah pentingnya ikhtiar untuk membangun suatu diskursus
alternatif Ilmu-ilmu sosial di luar arus besar diskursus ilmu-ilmu
sosial Barat. Dari diskursus alternatif inilah kemudian muncul
berbagai gagasan kritis tentang pentingnya melakukan indigenisasi
Ilmu-ilmu sosial, salah satunya, muncul gagasan pentingnya Ilmu
Sosial Profetik (ISP).
Langkah strategis berikutnya adalah bagaimana menurunkan
gagasan indigeneousisasi, Ilmu Sosial Profetik, pada tataran yang
lebih institusional dan kurikulum, praxis. Tulisan ini berusaha untuk
memberikan inspirasi-inspirasi serta kontribusi pemikiran mozaik
percik-percik pemikiran ilmu sosial profetik.
Diskusi tentang pentingnya membangun suatu diskursus
alternatif ilmu-ilmu sosial di Indonesia, memiliki makna strategis
bagi perkembangan ilmu-ilmu sosial di Indonesia. Hal tersebut
sangatlah mendesak untuk dilakukan oleh para ilmuwan Indonesia
dikarenakan adanya kenyataan bahwa perkembangan ilmu–ilmu
sosial di Indonesia setelah sekian abad berjalan masih memiliki
2
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A.
4
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A.
6
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A.
8
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A.
10
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A.
12
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A.
ikhtiar yang aksiomatik yang harus ada demi hadirnya umat yang
terbaik (khoiro umat). Kegiatan tarbiyah setidak-tidaknya harus
mampu mengantarkan manusia secara individu dan umat secara
umum, agar mampu membangun instrumen untuk mengajak
kebaikan (al ma’ruf, humanisme), memiliki kapasitas untuk
mencegah terjadinya kejahatan( al mungkar,liberasi) serta
mengokohkan keimanan kepada Allah ( keimanan,transedental).
Kiranya perlu diketengahkan definisi tarbiyah secara etimologi
memiliki arti Lihat, Abdurrahman An Nahlawi, Ushulut Tarbiyah
Islamiyah wa Asalibiha fil Baiti wal Madrasati wal Mujtama, Penerbit
Dar Al- Fikr Al –Mu’asyir, Bairut Libanon, 1403. Dalam kamus bahasa
Arab setidak-tidaknya dapat ditemukan tiga akar kata untuk istilah
tarbiyah: (1) raba-yarbu (bertambah dan berkembang), (2) rabiya-
yarba (tumbuh dan berkembang), dan (3) rabba-yurobbi
(memperbaiki, mengurusi kepentingan, mengatur, menjaga atau
merawat, dan memperhatikan). Ketiga akar kata tarbiyah tersebut
secara muatan dan substansinya saling berkaitan dan mendukung.
Selain itu, ketiga akar kata tarbiyah tersebut digunakan pula secara
luas dalam Al-Qur`an dan syair-syair bahasa Arab. Di samping itu,
dalam perbendaharaan bahasa Arab, dapat ditemukan pula beberapa
kata yang searti dan senada dengan kata tarbiyyah, yaitu kata
ziyadah, nas’ah, taghdiyah, ri’ayah dan muhafazhah (penambahan
atau pembekalan, pertumbuhan, pemberian gizi, pemeliharaan dan
penjagaan). Abdurrahman Al-Bani menyatakan, dalam dunia
tarbiyah selalu tercakup tiga unsur berikut: (1) menjaga dan
memelihara, (2) mengembangkan bakat dan potensi sesuai dengan
karakter dan karakteristik mutarabbi, dan (3) mengarahkan seluruh
potensi sampai mencapai kebaikan dan kesempurnaan. Dalam kamus
Mu’jam Al-Wasith disebutkan, kalimat ‘rabba Al-rajul waladahu’,
berarti merawat. Sedangkan kalimat ‘rabb Al-qawma’, berarti
memimpin. Meskipun secara harfiah masing-masing kata-kata
tersebut memiliki arti khasnya, namun dalam proses aktivitas
tarbiyah, satu sama lainnya saling melengkapi dan berhubungan
dalam maknanya. Sedangkan definsi Tarbiyah yang dimengerti oleh
komunitas jamaah ikhwan (manhaj tqrbiyah ’indah ikhwanul
muslimin) adalah cara ideal dalam berinteraksi dengan fitrah
14
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A.
pertanyaan ini. Hal ini dikarenakan ilmu sosial pada dekade ini masih
mengalami kemandekan. Ilmu sosial yang dibutuhkan adalah bukan
hanya mampu menjelaskan fenomena sosial, namun juga
mentransformasikan fenomena sosial tersebut, memberi petunjuk
kearah mana transformasi dilakukan, untuk apa dan oleh siapa.
Menurut refleksi Kuntiwijoyo dalam menghadapi persoalan ini ilmu
sosial akademis dan ilmu sosial kritis, belum bisa memberikan
jawaban yang jelas.
Jalan keluar yang ditawarkan oleh Kuntowijoyo adalah dengan
membangun ilmu sosial profetik, yaitu suatu ilmu sosial yang tidak
hanya menjelaskan dan mengubah fenomena sosial tetapi juga
memberi petunjuk ke arah mana transformasi itu dilakukan, untuk
apa dan oleh siapa. Oleh karena itu ilmu sosial profetik, tidak sekedar
mengubah demi perubahan, tetapi mengubah berdasarkan cita-cita
etik dan profetik tertentu. Dalam pengertian ini maka ilmu sosial
profetik secara sengaja memuat kandungan nilai dari cita-cita
perubahan yang diidamkan masyarakatnya. Menurut Kuntowijoyo
arah perubahan yang diidamkan adalah didasarkan pada cita-cita
humanisasi/emansipasi, liberasi dan transendensi, suatu cita-cita
profetik yang diderivasikan dari misi historis Islam sebagaimana
terkandung dalam surat Ali Imron ayat 110.” Engkau adalah umat
terbaik (khoiro umat) yang dikeluarkan di tengah manusia untuk
menegakan kebaikan ( al ma’ruf), mencegah kemungkaran (al
munkar) dan beriman kepada Allah (transendental).” Dengan muatan
nilai inilah yang menjadi karakteristik ilmu sosial profetik, ilmu
sosial profetik diarahkan untuk rekayasa masyarakat menuju cita-
cita sosio-etiknya di masa depan.
Dengan Ilmu sosial profetik, akan dilakukan orientasi terhadap
epistemologi, yaitu orientasi terhadap mode of thought dan mode of
inquiry, bahwa sumber ilmu pengetahuan itu tidak hanya dari rasio
dan empiris, tetapi juga dari wahyu. Dengan gagasan ilmu sosial
profetik ilmuwan sosial Muslim tidak perlu terlalu khawatir yang
berlebihan terhadap dominasi ilmu sosial Barat di dalam proses
theory building. Islamisasi pengetahuan dengan proses peminjaman
dan sistesis ini tidak harus diartikan sebagai westernisasi Islam.
16
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A.
Bab 2
Pendahuluan
Ilmu sosial Indonesia memiliki warisan yang bercampur-aduk
dan identitas yang beragam pula. Sebagian amatiran, sebagian
profesional, sebagian lain bersifat literer. Namun warisan paling
mendasar, dalam arti kualitas karakternya yang paling jelas tampak
dari latar belakangnya yang bercampur aduk itu, kemudian diikuti
oleh siklus perkembangan yang berulang dengan tambal-sulam di
sana sini. Selama hampir dua abad perkembangan ilmu-sosial di
Indonesia kita dapat menyaksikan garis perkembangan ilmu-ilmu
sosial Indonesia dari bentuknya yang paling awal hingga masa kini.
Dewasa ini berkembang apa yang disebut indigenisasi ilmu-ilmu
sosial Indonesia, tetapi hasilnya lebih merupakan seruan
keprihatinan dan tawaran-tawaran parsial ketimbang solusi yang
menyeluruh. Kertas kerja ini membincangkan konstruksi ilmu sosial
di Indonesia dalam perspektif komparatif, khususnya dengan
memperbandingkan perkembangan ilmu sosial dari masa ke masa,
khususnya dalam kaitannya dengan upaya membaca perkembangan
dewasa ini. Pertanyaan pokoknya ialah, perubahan fundamental
macam apakah yang telah terjadi selama hampir dua abad terakhir
dan kesulitan-kesulitan apakah yang merintanginya sejak beberapa
dekade terakhir, sehingga ilmu sosial di negeri ini terkesan berjalan
di tempat dan masih ditanggapi dengan nada pesimistik? Solusi
macam apakah yang mungkin dapat ditempuh ke depan, sehingga
18
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A.
1
Pembahasan pada bagian ini sebagian besar bersandar pada tulisan saya (Mestika
Zed, 2006).
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A
20
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A.
2
Tentang perkembangan tradisi akademik di bidang ilmu-ilmu sosial paska-perang di
Belanda lihat Philip Quarles van Ufford, Frans Husken dan Dirk Kruijt , eds. (1989).
22
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A.
regional untuk kawasan Amerika Latin, Afrika, Uni Soviet, Asia Timur
(Cina dan Jepang), Asia Selatan, dan belakangan Eropa Barat
(Wallerstein, 1997: 57).
Studi kawasan Asia Tenggara, khususnya Indonesia, dianggap
menjadi labor bagi kerja sama akademik paling menarik bagi AS.
Bahkan menurut Benda (1982:13) tidak ada satu pun negara di
kawasan Asia Tenggara yang memperoleh perhatian lebih besar dan
dukungan dana yang lebih banyak dari AS selain Indonesia. Negara
adidaya itu tidak hanya mengeluarkan dana besar untuk program
bantuan pembangunan, melainkan juga program pertukaran lewat
jalur pendidian, dengan mengirim tim penelitinya ke Indonesia,
sebaliknya memberi kesempatan kepada sarjana Indonesia untuk
melanjutkan studinya di AS. Salah satu program kerja sama yang
lebih awal berada di bawah suatu kelompok kerja proyek penelitian
MIT (Massachussettss Institute of Technology) yang datang ke
Indonesia pada pertengahan 1950-an. Mereka adalah sejumlah
mahasiswa tingkat doktoral AS yang bekerja untuk penelitian
disertasi mereka. Dalam perkembangan kemudian, proyek ini, tidak
hanya menghasilkan sejumlah disertasi doktor (Ph.D), tetapi juga
berkelanjutan dengan menerbitkan sejumlah buku yang kemudian
menjadi bahan rujukan yang penting dalam studi ilmu-ilmu sosial di
Indonesia. Dua seorang yang paling terkemuka di antara mereka
karena reputasi akademik mereka yang mendunia ialah Clifford
Geertz, seorang antropolog yang sangat produktif dan dan kemudian
Ben Anderson dalam ilmu politik dan sejarah.
Dengan demikian, ilmu sosial di Indonesia secara lambat laun
tapi pasti mulai bergeser dari tradisi indologie yang berorientasi
Eurosentrisme ke ilmu sosial developmentalis, yang berorientasi AS.
Istilah ilmu sosial developmentalis (pembangunan) bukan tidak
ditemukan dalam katalog epsitemologi ilmu sosial yang pernah
berkembang sampai saat ini, terutama dalam kelompok disiplin-
disiplin tertentu seperti sosiologi, antropologi, sejarah dan ekonomi.
Beberapa cirinya dapat diidentifikasi sebagai berikut.
1. Paradigma ilmu sosial developmentalis, pada dasarnya tidak
mengalami perubahan signifikan dengan pendahulunya, indologie,
atau ilmu sosial kolonial. Hanya saja zeitgeist yang melatar-
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A
24
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A.
3
Lihat catatan Daniel S. Lev dalam “Introduction” untuk buku Anderson dan Audrey
Kahin (eds.) (1982), hal. 2-3 dan ulasan Tamara (1997: 23ff) tentang generasi
pertama dan kedua ahli ilmu sosial Amerika Serikat sebagai kelompok “American
school”.
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A
26
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A.
Baru dan sesudahnya. Jadi istilah itu agak bersifat “arbitrer”, dan
pengertian semacam itu bisa dipahami dalam arti, bahwa dalam
banyak hal ia mencerminkan kelanjutan dari perkembangan
sebelumnya, tetapi pada saat yang sama beberapa ciri pokoknya
sebagaimana yang akan ditunjukkan berikut ini, masih tetap ada dan
bertahan sampai sekarang.
Untuk satu hal perlu dicatat, bahwa sampai pertengahan
pertama 1960-an kita agaknya belum bisa berbicara tentang statistik
perkembangan ilmu sosial Indonesia, baik mengenai profesi dan/
atau komunitas ilmuwan sosialnya, maupun lembaga penelitian dan
pendidikan ilmu-ilmu sosial yang lebih profesional. Namun sejak
awal Orde Baru, khususnya setelah memasuki tahun 1970-an --
sejalan dengan pulangnya sejumlah sarjana ilmu sosial yang
menyelesaikan studi mereka di luar negeri,4 tampaknya terdapat
loncatan-locatan penting.
Mengamati perkembangan ilmu sosial sampai tahun 1980-an,
pada umumnya orang berpendapat bahwa tingkat dukungan dan
minat pemerintah terhadap ilmu sosial di Indonesia melebihi negara
mana pun di Asia Tenggara (Mofit, 1983: 63). Peluang ini dalam satu
lain hal jelas merupakan buah yang disemaikan sejak tahun 1950-an,
ketika ilmu sosial developmentalis makin mengikis tradisi ilmu sosial
kolonial alias indologie. Jika kita menoleh kembali ke keadaan ilmu
sosial di masa Orde Baru, setidaknya ada beberapa karaktersitik
menarik untuk dicatatkan berikut ini.
1. Kian berkembangnya minat sarjana luar negeri untuk
mempelajari Indonesia. Mula-mula Amerika Serikat, kemudian
Australia dan beberapa negara Eropa seperti Inggris, Perancis,
4
Kuncaraningrat, ed. (1979), dan Taufik Abdullah (1983) telah mendokumentasikan
dengan baik data mengenai perkembangan ini, begitu juga pencapaian-pencapaian
ilmu sosial dan kemanusiaan, di samping rintangan-rintangan struktural yang
dihadapi selama dekade 1970-an dan awal 1980-an. Sekedar ilustrasi, nama-nama
sarjana ilmu sosial, termasuk ekonom Indonesia yang belajar di AS dan kembali ke
tanah air sekitar akhir 1950-an dan pertengahan 1960-an dan judul tesis mereka
(Master dan Ph.D. mereka) dapat ditemukan dalam Koentjaraningrat, ed (1979), pp.
269-285; Benny Subianto (1989): pp. 68 dan 70.
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A
5
Tentang sejarah perkembangan studi Indonesia di berbegai belahan dunia, seperti
di Amerika Serikat antara lain lihat Utrecht (1973), Szanton (1981), Anderson and
Kahin (1982), Frederick (1989), Tamara (1997); di Australia lihat Viviani (1982),
Brewster and Reid (copy tt); di Eropa antara lain lihat Bahrin, et.al. (1981), khusus di
Inggris Basset (1981), Smith (1981), King (1989); di Perancis Pelras (1978), Lombard
(1981), Lecrec (1990); di Jerman Dahm (1975, 1991); di Belanda Uffords and Husken
eds. (1989).
6
Tentang internasionalisering (internasionalisasi) studi Indonesia di Belanda lihat
esei Frank Vermeulen, “Leiden word zwaartpunt voor Indonesiche studies” dalam
Mare, [Tabloid Universitas Leiden], 27 Januari 1990; Lihat juga Ufford, et.al. (1989).
28
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A.
30
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A.
7
Lihat Bambang Purwanto, makalah disampaikan pada Seminar Nasional Dies Natalis
Fisipol UGM ke-47 dengan tema "Kemacetan Ilmu-ilmu sosial dan Tantangan
Perubahan ke Depan", Yogyakarta, 25 September 2002.
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A
sosial itu tetap berada pada kedudukan yang lemah, karena lembaga
tempat mereka bekerja (PNS) yang menjadi subordinasi dari rejim
otoriter yang sedang berkuasa dan sedikit banyak juga merupakan
konsekuensi logis dari arus paradigma ilmu sosial developmentalis
yang membawa mereka terperangkap di dalamnya. Agaknya dalam
hubungan inilah Kleden (dalam Nordholt & L. Visser, 1997:35),
menyebut ilmu sosial di Indonesia pada masa ini cenderung menjadi
ilmu milik negara dalam arti “ilmu tentang segala hal ihwal yang
menjadi kepentingan negara.” Jika demikian halnya maka pada fase
ini negara tampaknya ikut bertanggung jawab terhadap kemandegan
ilmu-ilmu sosial di Indonesia, di samping faktor-faktor lain yang
disebutkan di atas.
Dalam hubungan ini izinkan saya secara ringkas mengemu-
kakan agrumen berikut. Pertama, secara teoretis dan metodologis
tidak ada yang menghalangi ilmuwan Indonesia untuk mengutip atau
menyetujui temuan ilmuwan Barat atau di mana pun, bahkan dari
kajian indologi sekali pun, dan ilmu sosial jenis apa pun, karena ilmu
pengetahuan (termasuk ilmu sosial) berkembang dinamis. Teori-
teori baru lahir dari kuburan teori-teri lama. Ilmu-ilmu sosial Barat
berkembang di aats fondasi paradigma yang jelas, sehingga saat ini
kita dapat mengenal setidaknya, empat paradigma ilmu sosial (ilmu
sosial positivistik, ilmu sosial interpertatif (humanistik), ilmu sosial
kritis dan ilmu sosial paska-kolonial). Masing-masing bisa
diidentifikasi, sebagaimana halnya dengan garis perkembangan ilmu
sosial Indonesia seperti yang disinggung di muka.
Kedua, lagi pula ilmu sosial yang pernah berkembang di
Indonesia, apapun tipenya, tetap berupaya menggali realitas fakta
sosial lokal di Nusantara, termasuk ilmu sosial versi indologi.
Terlepas dari plus-minus temuannya, Snouck Hurgronje, misalnya,
menemukan tipologi agama orang Aceh dan menafsirkan realitas
sosial di sana sesuai dengan kerangka teori yang dimilikinya.
Demikian pula Geertz, juga menemukan prilaku kebergamaan (Islam)
orang Jawa dengan kategori-kategori lokal (abangan, santri dan
priyayi). Betapapun teori Geertz telah dikritik oleh banyak ilmuwan,
termasuk ilmuwan Indonesia, teori Geertz tetap saja dikutip, paling
tidak untuk menunjukkan kelemahan inheren dalam konsep-konsep
32
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A.
8
Lihat Mestika Zed, “Konsep Merantau Minangkabau hingga Perantauan ke Negeri
Sembilan”, Kertas kerja dibentangkan pada Simposium bertajuk: “Diaspora Minang:
Sejarah, Budaya dan Teknologi serta Senibina”, Port Dickson, Negeri Sembilan,
Malaysia, 25-27 April 2014.
9
Mestika Zed, Kepialangan, Politik dan Revolusi. Palembang 1900-1950 (Jakarta:
LP3ES, 2003).
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A
34
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A.
Penutup
Bagi para sarjana ilmu sosial hari ini, pertanyaannya sekarang
agaknya tidak lagi soal apakah tipe ilmu sosial macam apakah yang
ingin dikembang berikutnya, melainkan sumbangan apa (teoretis-
metodologis) yang dapat diberikannya bagi memperdalam dan
memperkaya pemahaman kita tentang realitas pengalaman
masyarakat Indonesia yang semakin kompleks dan mondial.
Relevansi pertanyaan ini tidak sesederhana menjawab keprihatian
karena merasa dimarginalkan. Yang lebih penting ialah bahwa
memperbandingkan “kemajuan” atau sebaliknya “kemerosot-an”
ilmu sosial Indonesia, harus dimulai dengan mempelajari kembali
lintasan sejarah (historical trajectory) yang dilewati oleh rumpun
disiplin ini di masa lalu dan adakah tragedi kemanusian yang
berulang di zaman kontemporer ini (bencana asap, korupsi,
ketewasan sia-sia di pelintasan jalan kereta api, bencana alam
(banjir. longor dan kebakaran) mampu mengubah cara pandang baru
kita dalam memperkembangkan ‘ilmu sosial profetik’ seperti yang
diusulkan mendiang sejarawan Kuntowijoyo. Bagaimana pun sifat
kritis ilmu sosial merupakan prasyarat utama dalam menyikapi ilmu
sosial dalam era globalisasi dewasa ini dengan beragam ide dan
praktek yang harus dijawab, bukan secara instan, melainkan suatu
kajian yang rinci dan kerangka teoretis yang baru pula. Kemenangan
visi teori moderniasasi yang menyebar begitu cepat dalam dunia
akademik sejak 1950-an, ternyata membuat kita kian lebih berhati-
hati memahami konsep pembangunan bangsa sebagai proses yang
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A
36
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A.
Bab 3
Pendahuluan
Ada kebutuhan mendesak secara akademik untuk menjawab
sebuah pertanyaan penting yaitu dimana posisi Indigenisasi ilmu-
ilmu sosial dalam peta perkembangan teori-teori sosial. Pertanyaan
ini perlu segera mendapatkan jawaban yang konseptual, mengingat
konsep indigenisasi ilomu-ilmu sosial sejak tahun 2015 telah resmi
menjadi visi Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Yogyakarta.
Dalam uraian tulisan ini terlebih dahulu akan dipaparkan
perkembangan ilmu sosial yakni ilmu sosial konvensional dan ilmu
sosial non konvensional. Jika menggunakan terminologi ini kiranya
upaya Indigenisasi ilmu-ilmu sosial dapat diklasifikasikan dalam
kelompok ilmu sosial non konvensional.
Ilmu sosial adalah Ilmu yang sudah berkembang sejak sejak
lama, yaitu semenjak zaman yunani sudah muncul ahli-ahli yang
mengembangkan teori ideal tentang manusia yang terkait dengan
interaksi sosialnya baik dalam hal ekonomi, sosial dan politik. Dari
perkembangan tersebut memunculkan teori-teori yang mampu
mendominasi dan menjadi rujukan. Namun teori-teori yang
dikembangkan oleh ilmuwan sosial tersebut tidak dapat dikatakan
sebagai teori yang netral. Setiap teori yang mampu mendominasi
praktik ilmu sosial adalah teori yang mampu merepresentasikan
kepentingan yang dominan dari sebuah kelompok masyarakat.
Sejak Revolusi Industri hingga saat ini, ilmu sosial yang
dominan lebih merepresentasikan kepentingan dari sebuah
kelompok kelas dominan yaitu kapitalis. Kepentingan kelas dominan
ini telah mengakibatkan perkembangan ilmu sosial lebih mengarah
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A
38
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A.
Kerangka Pemahaman
Dalam rangka memahami perkembangan teori sosial, tulisan
ini mengacu pada tulisan Dr. Arief Budiman yang memahami Ilmu
sosial dari dua Filsafat berfikir besar yaitu idealisme dan
materialisme. Dua Fisafat berfikir ini akan ditambah lagi dengan ide
yang merupakan kombinasi dari keduanya yang dikenal dengan
pendekatan poststuktural/poskolonial dan postmodernisme yang
mengkombinasi ide dan struktur. Tulisan ini akan menelusuri teori
ini dalam konteks sejarah pemikiran teori sosial di Indonesia.
Sebelumnya akan dijelaskan apa yang dimaksusd dengan idealisme,
materialisme dan postrukturalisme.
Idealisme
Idealisme adalah filsafat berpikir yang memandang bahwa
perubahan sosial dalam masyarakat terjadi dari ide-ide yang ada
dalam pemikiran manusia. Kemajuan sebuah bangsa terjadi karena
adanya ide-ide yang mendorong kemajuan pada bangsa tersebut,
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A
Teori Domein
Teori domein adalah teori yang sangat berpengaruh dalam
sejarah agraria di Indonesia. Teori ini diprodusksi untuk
melegetimasi kekusaan pemerintah kolonial, teruatama terkait
dengan upaya untuk mengontrol tanah-tanah di negara jajahan.
Teori ini dikenalkan oleh Gubernur Jendaral Belanda Thomas
40
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A.
Dominasi idealisme
Sepanjang pemerintahan Oder Baru berkuasa teori-teori ilmu
sosial yang berkembang adalah teori-teori sosial yang merujuk pada
idealisme, sedangkan teori-teori sosial yang merujuk pada analisis
struktural kurang mendapatkan angin dalam era regim Orde Baru.
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A
42
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A.
Post Struktural
Perkembangan berikutnya adalah kemunculan Teori Post
Struktural. Kemunculan perspektif teori ini secara langsung atau
tidak langsung berhubungan dengan kekurangan dan keberhasilan
teori –teori sebelumnya, yakni membaca perkembangan masyarakat
modern serta minimnya kontribusi teori-teori sosial yang ada
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A
44
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A.
kehidupan sosial dan ekonomi pada abad baru ini. Dalam hal teori
konvensional awal, yaitu teori ekonomi klasik yang mengenalkan
konsep akumulasi kapital dan pasar bebas mempunyai peran penting
dalam proses awal perubahan ini. Dengan demikian kemunculan
teori-teori konvensional tidak dapat dilepaskan dari kepentingan
kelas kapitalis.
Teori-teori sosial yang muncul dari perkembangan masyarakat
Eropa yang melegitimasi pertumbuhan dan perkembangan
kapitalisme juga mengalami perkembangan dari filsafat moral yang
bersifat abstrak dan spekulatif menajdi ilmu sosial yang berbasis
pada fakta sosial.
46
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A.
48
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A.
saja tidak dapat dilepaskan dari kepentingan dari kelas sosial pemilik
modal besar yang sedang muncul.
C. Pasca kolonialisme
Setelah era kolonialisme perkembangan ilmu sosial tetap tidak
dapat dilepaskan dari kepentingan kekuasaan. Konteks kepentingan
kekuasaan yang mempengaruhi perkembangan ilmu sosial masa itu
adalah kemunculan dua Blok besar di dunia yaitu, Blok Barat yang
beridelogi kapitalis dan Blok Timur yang berideologi komunis. Dalam
rangka mengontrol masyarakat dunia ketiga dan mencegah
perkembangan ideologi komunis di negara-negara yang baru
merdeka maka Amerika Serikat bersama dengan negar-negara
sekutunya mengenalkan sebuah kebijakan yang disebut dengan
developentalism. Teori-teoris sosial masa ini di produski dan
direproduski dalam rangka kepentingan ini. Sehingga dikalangan
ilmuan sosial yang kritis, ilmu sosial pada masa ini disebut dengan
Amerikanisasi.
Developmentalism atau dikenal juga dengan istilah pemba-
ngunanisme adalah proyek besar yang dikembangkan untuk
merobah masyarakat dunia ketiga menjadi masyarakat modern, yaitu
kondisi mapan yang mengidealkan sistem sosial, politik dan ekonomi
yang telah terjadi dan berkembang di masyarakat Barat. Dalam
50
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A.
52
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A.
54
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A.
56
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A.
58
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A.
60
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A.
62
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A.
bagi para calon ilmuwan dan ilmuwan sosial di era pasca otoritarian
Orde Baru (Anton Novenanto, 2012).
Masing-masing kebudayaan sama kedudukannya, tidak ada
yang lebih tinggi ataupun rendah. Masalahnya “kaca mata” yang
dipakai seringkali bersifat kesukuan (etnosentris) sehingga
pandangan bahwa kebudayaan A lebih tinggi daripada kebudayaan B
nyata terjadi, terlebih setelah masa Orde Baru berkuasa selama 32
tahun. Perbedaan dalam cara melihat dan merumuskan realitas akan
melahirkan perbedaan proposisi tentang hakekat realitas tersebut
beserta konsekuensi-konsekuensinya. Perbedaan pemahaman tentang
sesuatu yang dianggap riil, akan diikuti pula oleh munculnya cara
yang berbeda dalam memilih data yang relevan bagi realitas
tersebut, dan strategi yang berbeda dalam mengumpulkan data
(Sunjoto Usman, 1998).
Dalam studi sosial ekonomi (politik) perhatian pada isu alat
produksi, modal, dan tenaga kerja sangatlah penting. Perhatian ilmu
sosial di Indonesia pada rentang periode pasca Perang Dingin yang
ditandai dengan naiknya Orde Baru, isu penguasaan alat produksi
yang mendasari terbentuknya kelas sosial cenderung dihindari,
bahkan diharamkan (Hilmar Farid dalam Ahmad Nasih Lutfi, 2012).
Aspek aksiologis ilmu sosial pada masa Orde Baru lebih banyak
dimanfaatkan untuk menyenangkan penguasa dan mempertahankan
kekuasaan. Dhakidae (2003) meyakini bahwa bahwa perkembangan
pokok dalam ilmu sosial dan disiplin-disiplinnya semua tergantung
kepada soal kekuasaan. Hubungan ilmu sosial dan kekuasaan sangat
sulit untuk dipisahkan. Kontrol penguasa atas dunia pendidikan dari
SD sampai perguruan tinggi, melahirkan keseragaman wacana.
Dampaknya di perguruan tinggi diantaranya adalah hasil-hasil
penelitian ilmu sosial di masa Orde Baru merepresentasikan
ketakaburan-ketakaburan proyek modernisasi dan pembangunan
rezim, misalnya, ini benar adanya. Bukti-bukti interaksi mutualistis
negara dengan dunia akademik yang tak mungkin disangkal berdiri
kokoh di tempatnya.
Ahli-ahli sosial asing yang dikenal dengan sebutan indonesianis
telah mengidentifikasi Indonesia. Baik untuk kepentingan akademis
maupun praktis. Banyak ahli sosial asing yang sangat paham
64
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A.
66
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A.
68
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A.
70
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A.
10
Tulisan ini diambil dari pemikiran Dawam Raharjo
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A
72
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A.
74
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A.
dimensi vertikal, perlu pula dikembangkan ilmu fiqih sosial dan ilmu
tasawuf sosial yang berdimensi horisontal.
76
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A.
78
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A.
11
Lihat uraian mengenai konsep ummah dalam Dawam Rahardjo
(1992).
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A
Namun ilmu fiqih ini tidak didukung dengan ilmu kalam yang
kokoh, sehingga menimbulkan persoalan legitimasi kekuasaan,
ketika berhadapan dengan para filsuf Persi yang cenderung beraliran
Syi’ah. Karena itu khalifah merasa terancam legitimasi kekuasaannya,
karena tidak mampu menandingi filsafat Parsi yang metafisik-
sufistis.
Menurut pemikir kontemporer Maroko al Jabirie, dalam upaya
menandingi filsafat Parsi, Khalifah al Ma’mun mendatangkan
pemikiran dari luar, yakni dari Yunani guna menandingi filsafat Persi
sehingga menimbulkan proses Hellenisasi ilmu Kalam. Arus
Helenisasi ini didukung oleh para pemikir Arab sendiri, seperti al
Kindi dan al Farabi yang menjadi penafsir filsafat Plato dan
Aristotelas, namun dengan menyisihkan filsafat politik sehingga
dunia keilmuan Arab-Islam kurang mengetahui filsafat politik,
khususnya demokrasi dan negara republik, sebab filsafat ini
berpotensi mendelegitimasi kekuasaan khilafah. Itulah sebabnya
maka di Dunia Islam tidak timbul filsafat sosial semacam teori
Thomas Hobbes, John Locke, Jean Jaques Rousseau yang melahirkan
berebagai revolusi sosial berdasarkan wacana hak-hak azasi
manusia, karena dalam filsafat Islam hanya dibahas teori kekuasaan
berdasarkan syari’ah dan tidak dibahas filsafat kewargaan yang
melahirkan teori kontrak sosial dan masyarakat warga (civil society)
yang menjadi tradisi kajian ilmu sosial hingga sekarang yang
memuncak pada teori keadilan John Rawls pada tahun 1970-an.
Proses Helenisasi mencapai puncaknya pada kelahiran aliran
pemikiran rasionalis Mu’tazilah. Teori teori ini terjebak dalam
perselingkuhan kekuasaan dengan khilafah Abbasiyah sehingga
menimbulkan reaksi untuk kembali kepada paradigma tradisional
yang berbasis pada ilmu kalam, fiqih dan tasawuf yang cenderung
melegitimasikan kekuasaan al Mutawakkil, pengganti al Ma’mun
yang despotik dan tertutup. Akibatnya, Dunia Islam kembali
didominasi oleh ortodoksi kalam-fiqih-tasawuf tradisional yang
mendasari kekuasaan absolute-dispotik khalifahan.
Maka pada saat itulah lahir sintesis al Ghazali dengan opus
magnusnya Ihya Ulumuddin (Menghidupkan kembali ilmu-ilmu
keagamaan). Maksudnya melawan filsafat yang rasional. Sejak itu
80
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A.
82
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A.
84
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A.
86
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A.
88
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A.
Bab 4
Pendahuluan
Kuntowijoyo bukanlah nama yang asing di kalangan dunia
intelektual atau akademik. Dia tidak hanya dikenal sebagai seorang
sejarahwan, sastrawan, dan budayawan tapi juga seorang
cendekiawan muslim yang banyak memberikan sumbangsih bagi
dunia pemikiran Islam di Indonesia. Dari karya-karyanya dalam
bentuk tulisan mencerminkan bahwa Kuntowijoyo layak dijuluki
semua itu. Dalam kalangan Islam, beliau adalah pemikir Islam
kontekstual yang sangat Indonesianis, sehingga konsep Islamnya
tepat jika diaplikasikan untuk aksi di bumi Indonesia ini. Tepatnya,
dalam bahasa Islam beliau adalah sosok manusia alim, yang banyak
membaca dan banyak tahu. Tampaknya tidak salah apabila kita
banyak belajar dari beliau, terutama dari ilmu dan pesan-pesan yang
beliau tuliskan dalam berbagai karyanya.
Dalam bidang sejarah, misalnya, Kuntowijoyo sangat tepat
apabila diberi gelar sejarawan profesional. Beliau tidak hanya
menulis karya sejarah, akan tetapi juga menulis bagaimana
seharusnya sejarah ditulis. Kuntowijoyo mengenalkan baik metode
maupun metodologi sejarah sesuai dengan perkembangan ilmu
sejarah. Bahkan ketika kita teringat pesan Sukarno dengan
JASMERAH-nya, Kuntowijoyo-lah orang yang benar-benar
menyuarakan. Dapat dilihat, dalam setiap tulisannya, Kutowijoyo
sering kali mengungapkan peristiwa sejarah sebagai bahan pelajaran
bagi para pembaca. Beliau juga menegaskan bahwa
”kita sebagai bangsa haruslah belajar dari sejarah, supaya lebih arif,
dan tidak terpelosok pada lubang yang sama. Dalam proses belajar
90
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A.
dari sejarah itu, kita jangan jadi tawanan masa lalu, biarkan sejarah
itu terbuka dan bergerak maju” (Kuntowijoyo, 1997: 82).
92
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A.
94
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A.
96
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A.
98
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A.
100
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A.
main-main dengan masa lalu; sejarah dituntut untuk setia pada masa
lalu. Sejarawan tentu saja tidak bisa melepaskan diri dari
kepentingan, kekuasaan, dan subjektivitas sendiri. Akan tetapi,
sejarawan yang baik akan meletakkan kepentingan, kekuasaan, dan
subjektivitas itu pada tempat sendiri, yaitu dalam tema dan topik
yang dipilih. Seorang sejarawan yang bersimpati dengan buruh dapat
menulis secara sah, misalnya, “Sejarah Pemogokan Buruh pada
Zaman Orde Baru”. Sejarawan tetap harus mencari sumber setuntas
mungkin, tidak boleh menyembunyikan sumber. Pendek kata
sejarawan harus mengeramatkan sumber sejarah; sumber harus
dicocokkan dengan berbagai pihak. Dengan kata lain, sejarawan
harus berusaha agar segala pengaruh itu tidak mengurangi tugasnya
sebagai pencari kebenaran. Penulis yang membiarkan semua
pengaruh menuntunnya dalam seluruh proses penulisan, tidak
berhak menjadi menjadi sejarawan, tetapi penulis pamflet, “sejarah
resmi”, atau tukang othak-athik mathuk (Kuntowijoyo, 2002: 57).
Kuntowijoyo menyorot adanya perkembangan baik sejarah
yang makin bersifat lintas disiplin, mempelajari dan berkembang
bersama ilmu-ilmu sosial lainnya seperti antropologi, geografi,
linguistik, sosiologi, dan sebagainya. Tapi tentunya, sebagai ilmu,
sejarah tetap harus memiliki kaidah-kaidahnya, terutama sifatnya
yang diakronis, memanjang dalam waktu. Yang menurut saya
menarik adalah, di kala banyak orang (ilmu sosial) menafikan
pendekatan kuantitatif (yang dikatakan “terlalu positivis”), Kunto
menggarisbawahi bahwa bidang sejarah pun perlu memperluas
wawasan dalam pendekatan kuantitatif (Azali, 2013).
َاّللِ ۗ ََلَُْ آ َمه َّ َُِف ََتَ ْىٍَُْ نَ َع ِه ْال ُمى َك ِر ََتُ ْؤ ِمىُُنَ بِ اس تَأْ ُمرَُنَ بِ ْال َم ْعر ْ ُكىتُ ْم َخ ْي َر أُ َّم ٍة أ ُ ْخ ِر َج
ِ َّت لِلى
َب لَ َكانَ َخ ْيرًا لٍَُّم ۗ ِّم ْىٍُ ُم الْ ُم ْؤ ِمىُُنَ ََأَ ْكثَ ُرٌُ ُم ْالفَا ِسقُُن
ِ أَ ٌْ ُل ْال ِكتَا
102
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A.
104
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A.
Selain itu ada teknologi, ekonomi, dan budaya. Ada perubahan yang
tak dapat direncanakan manusia, yang kita hanya bisa berdoa,
seperti kesadaran individu, komposisi seksual, struktur sosial, dan
keberadaan kelompok etnis. Semua itu berpengarus atas sejarah,
tidak hanya politik (Kuntowijoyo, 2011: 72).
Hakikat pergerakan umat Islam adalah dari etika idealistik ke
etika profetik. Kita harus meniru para nabi, dengan kata lain,
mempunyai etika profetik. Dalam QS Ali Imran (3): 110, disebutkan:
“kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan di tengah manusia untuk
berbuat kebajikan, mencegah kemungkaran, dan beriman kepada
Allah”. Jadi unsurnya tiga, yaitu amar ma’ruf, nahi munkar, dan
tu’minuna billahi (humanisasi, liberasi, transendensi). Sebenarnya
rumusan etika profetik hampir sama dengan rumusan amar “ma’ruf
nahi munkar”, hanya saja unsur “iman” dibuat lebih eksplisit.
Misalnya, Nabi Muhammad Saw. berpihak pada perempuan dan
budak, Nabi Isa a.s. pada proletariat Roma, Nabi Musa a.s. pada orang
tertindas Nabi Israel, Nabi Nuh a.s. pada orang non-elite
(Kuntowijoyo, 2011: 72).
Jadi, perlu ditegaskan bahwa humanisasi, liberasi, dan
transendensi adalah tujuan pergerakan manusia hidup di muka bumi
sesuai dengan garis etika profetik. Humanisme bertujuan
memanusiakan manusia. Diketahui bahwa sekarang umat manusia
mengalami proses dehumanisasi, karena masyarakat industrial
menjadikan sebagian manusia menjadi masyarakat abstrak tanpa
wajah kemanusiaan. Manusia mengalami objektivasi ketika berada di
tengah-tengah mesin-mesin politik dan mesin-mesin pasar. Ilmu dan
teknologi juga telah membantu kecenderungan reduksionistik yang
melihat manusia dengan cara parsial. Humanisasi model
Kuntowijoyo, menurut penjelasan dalam Wikipedia, sesuai dengan
semangat liberalisme Barat. Hanya saja perlu segera ditambahkan,
jika peradaban Barat lahir dan bertumpu pada humanisme
antroposentris, konsep humanisme Kuntowijoyo berakar pada
humanisme teosentris. Karenanya, humanisasi tidak dapat dipahami
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A
106
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A.
108
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A.
Bab 5
Pendahuluan
Cendekiawan, sebagaimana dinyatakan oleh Lewis Coser,
adalah orang-orang yang tidak pernah puas menerima kenyataan
sebagaimana adanya. Mereka selalu mempertanyakan kebenaran
yang berlaku pada suatu saat dalam hubungannya dengan kebenaran
yang lebih tinggi, lebih luas, dan lebih ideal. Sementara itu, menurut
Edward Shils, kaum cendekiawan adalah orang-orang yang mencari
‘kebenaran’, mencari prinsip-prinsip yang terkandung dalam
kejadian-kejadian serta tindakan-tindakan, atau dalam proses
penjalinan hubungan antara pribadi (the self) dan hakikat (the
essentials), baik hubungan yang bercorak pengenalan (cognitive),
penilaian (appreciative) ataupun pengutaraan (expressive) (Budiman,
1983: 143-144).
Terkait dengan motif yang berperan dan dimainkan para
cendekiawan memang ada mainstream yang berbeda. Cendekiawan
non-Marxist misalnya, mengemukakan bahwa motif mereka adalah
kegairahan untuk berbakti kepada kebenaran. Kaum cendekiawan
tidak punya pamrih dan kepentingan duniawi, baik berupa
keuntungan sosial maupun keuntungan politik bagi dirinya.
Pemihakannya betul-betul murni kepada kebenaran dan
kemaslahatan untuk semua. Oleh karena itu Julien Benda
menyatakan bahwa cendekiawan adalah orang-orang yang kegiatan
hakikinya bukan mengejar tujuan-tujuan praktis. Cendekiawan
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A
110
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A.
112
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A.
114
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A.
116
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A.
118
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A.
120
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A.
122
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A.
karena itu, maka banyak disiplin ilmu yang secara orisinal dapat
dikembangkan menurut konsep-konsep al-Quran. Pada akhirnya,
konsep-konsep tersebut dapat diformulasikan dalam bentuk dan
menjadi teori-teori sosial Islam.
4. Mengubah pemahaman yang a historis menjadi historis. Selama
ini, pemahaman mengenai kisah-kisah yang ditulis dalam al-Quran
cenderung sangat a-historis, padahal maksud al-Quran mencerita-
kan kisah-kisah itu adalah justru agar yang memahaminya
berpikir historis. Misalnya kisah tentang bangsa Israel yang
tertindas pada zaman Fir’aun sering hanya dipahami dalam
konteks zaman itu. Melalui kisah tersebut sesungguhnya
tersimpan misi bahwa kaum tertindas itu sebenarnya ada di
sepanjang zaman dan ada pada setiap sistem sosial. Pada zaman
feodalisme, pada sistem kapitalisme, pada sistem sosialisme,
selalu terdapat apa yang disebut ‘kaum tertindas’. Oleh karena itu,
sesungguhnya harus dapat dijelaskan siapakah golongan-
golongan yang ada pada posisi tertindas itu dalam sejarah;
termasuk pada saat sekarang ini, yaitu pada sistem sosial ekonomi
yang memungkinkan terjadinya konsentrasi kapital di tangan
segelintir elit. Contoh lain misalnya adalah berkaitan dengan
sebuah ayat yang memerintahkan untuk ‘membebaskan mereka
yang terbelenggu’. Melalui cara berpikir historis, harus dapat
diidentifikasi siapakah yang dimaksudkan sebagai ‘golongan yang
terbelenggu’ itu dalam sistem sosial politik dewasa ini.
5. Merumuskan formulasi wahyu yang bersifat umum menjadi
formulasi yang spesifik dan empiris. Dalam hal konsep umum
tentang kecaman terhadap sirkulasi kekayaan yang hanya
berputar pada orang-orang kaya harus dapat diterjemahkan ke
dalam formulasi-formulasi spesifik dan empiris ke dalam realitas
yang kita hadapi sekarang. Dengan menterjemahkan pernyataan
umum secara spesifik untuk menatap gejala yang empiris,
pemahaman terhadap Islam akan selalu menjadi kontekstual,
sehingga dapat menumbuhkan kesadaran mengenai realitas
sosial dan pada gilirannya akan menyebabkan Islam menjadi
agama yang lebih mengakar di tengah-tengah masyarakat.
124
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A.
126
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A.
128
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A.
meniru para Nabi, dengan kata lain, mempunyai etika profetik. Dalam
QS Ali Imran (3): 110, misalnya, telah disebutkan: bahwa “kamu
adalah umat terbaik yang dilahirkan di tengah manusia untuk
berbuat kebajikan, mencegah kemungkaran, dan beriman kepada
Allah”. Intinya adalah bahwa landasan pergerakan manusia di dunia
ini adalah harus melakukan amar ma’ruf, nahi munkar (memerintah
kepada hal kebaikan dan mencegah perbuatan yang munkar) dan
tu’minuna billahi (yang mengandung nilai-nilai humanisasi, liberasi,
transendensi).
Model Pendidikan
Pendidikan Politik Islam atau Tarbiyah Siyasiyah Islamiah
menurut Ikhwanul Muslimin sebagaimana dikutip oleh Abu Ridha
(2002: 46) adalah “rangkaian upaya sistematis dan intensional yang
dilakukan institusi siasah dan tarbiyah untuk memantapkan
kesadaran siyasah dan berjuang dalam memenangkan “izzu al-islam
wa al-muslimin” (kemuliaan Islam dan umat Islam)”.
Definisi di atas menjelaskan beberapa unsur yang ada dalam
setiap proses tarbiyah siyasiyah, meliputi: kepribadian siasah,
kesadaran siasah, partisipasi siasah, lembaga-lembaga siasah, budaya
siasah, dan individu atau warga negara.
Karakteristik tarbiyah siyasiyah Islamiah yang paling khas adalah
referensinya yang baku, yaitu: wahyu dan seluruh perjalanan sejarah
Nabi Muhammad saw yang menurut Sayyid Qutb melalui empat
tahap, yaitu: membentuk jama’ah, berhijrah ke Madinah, melakukan
konsolidasi, tahap perjuangan bersenjata, sementara menurut
Imaduddin Khalil, yaitu: penegakkan Islam dalam skup
kemanusiaan, penegakkan Islam dalam skup daulah, dan penegakkan
Islam dalam skup peradaban (catatan kaki Abu Ridha, 2002).
Tarbiyah Siyasiyah Islamiyah dilakukan agar setiap warga
mampu, senang, dan aktif berpartisipasi dalam siasah terhadap
bermacam persoalan masyarakat umum. Keterlibatan warga
merupakan wujud dari berbagai bentuk partisipasi yang dapat
merealisasikan prinsip-prinsip Islam dalam pemerintahan dan
urusan umat, baik yang berkaitan dengan urusan dalam negeri
ataupun luar negeri. Keterlibatan tersebut merupakan refleksi utuh
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A
130
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A.
132
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A.
Khatimah
Dari pemaparan di atas tentang urgensi hadirnya diskursus
alernatif Ilmu-ilmu sosial di Asia lebih khusus lagi Indonesia, yang
didalamnya memberikan peluang untuk terjadinya proses
Indigenisasi Ilmu-Ilmu Sosial, Kiranya dapat diberikan penegasan
bahwa kehidupan politik di Indonesia pasca reformasi politik tahun
1998, dan lebih khusus lagi para aktivis mahasiswa yang dimasa
mendatang akan menjadi penerus perjuangan perlu sekali
mendapatkan suatu jenis pendidikan politik profetik. Bukan sekedar
134
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A.
Bab 6
Biografi Kuntowijoyo
Kuntowijoyo lahir di Desa Ngawonggo, Kecamatan Ceper,
Kabupaten Klaten, 18 September 1943. Pendidikan SD dan SMP
ditempuhnya di Sekolah Rakyat Negeri Klaten (1956) dan SMP
Negeri Klaten (1959). Lalu melanjut ke SMA Negeri Solo (1962).
Kemudian melanjutkan studinya di Fakultas Sastra UGM Yogyakarta
(1969). Kunto meraih master di University of Connecticut, AS (1974)
dan gelar doktor Ilmu Sejarah dari Universitas Columbia, AS (1980)
dengan disertasi Social Change in an Agrarian Society: Madura 1850-
1940.
Sebagai seorang sejarawan, dia sangat menghargai kearifan dan
budaya Jawa. Kedalaman pengetahuan tentang sejarah, memang
mengajarkannya kearifan itu. Baginya, belajar sejarah adalah proses
belajar kearifan. Dia mengimplementasikan dalam kesehariannya.
Dia rendah hati dan bisa bergaul dengan semua golongan. Selain
sebagai sastrawan dan budayawan yang arif, dia juga pemikir
(intelektual) Islam yang cerdas, jujur dan berintegritas. Buku-
bukunya, seperti Paradigma Islam dan Politik Islam, Intelektualisme
Muhammadiyah: Menyongsong Era Baru, Identitas Politik Umat Islam,
sungguh mencerminkan kecerdasan, kejujuran dan integritasnya
sebagai seorang intelektual muslim. (http://www.tokohindonesia.-
com/biografi/article/285-ensiklopedi/1515-sejarawan-beridentitas-
paripurna) latar belakang itu pulalah yang mendorongnya
merumuskan pemikiran tentang ilmu sosial profetik.
136
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A.
13
Ikhtiar untuk melakukan reorientasi pada Ilmu-Ilmu yang berasal dari
Peradaban Barat dilakukan juga oleh Ilmuwan sebelum Kuntowijoyo, Misalnya
Ismail Al Faruqi, Naquib Al Atas, Am Saefuddin. Lihat Am Saefuddin,
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A
Bagan 1
Pencairan polarisasi hubungan antara santri, abangan dan
priyayi
Priyayi
Santri Abangan
Wong cilik
14
Dr. Nur Cholis Majdid, Menjelang Pemilu 2004 pernah mencoba untuk
mengikuti Konvensi Nasional Partai Golkar, untuk maju melalui Partai Golkar
menjadi calon presiden. Faktga ini dapat dibaca pula bahwa penggagas utama
tokoh prejuangan Islam kultural dengan kredonya “ Islam yes, Partai IslamNo”,
dipenghujung perjalanan hidupnya juga tertarik untuk bereksperimen
menggunakan instrumen partai politik untuk bersaing meraih posisi jabatan
presiden. Tentu posisi tersebut dalam rangka mencapai visi yang telah
dirumuskan oleh Nur Cholis Majdid, yang dirumuskan sebelum deklarasinya
maju dalam Konvensi Nasional Partai Golkar.
140
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A.
Bagan 2
Perbandingan Strategi Perjuangan umat Islam kultural dan
Struktural (Suwarno, 2000: 33)
Perbedaan strategi
Indikator
Kultural Struktural
Ciri pokok Substantif/inklusif Formalistik/skriptualistik/Ide
ologis
Sifat Horisontal- Vertikal-elitis
kemasyarakatan
Arah/tujuan/ Mempengaruhi perilaku Mempengaruhi/mengubah
Sasaran Sosial/cara berfikir Struktur (legislatif, eksekutif)
masyarakat
Metode Penyadaran dan moral Pemberdayaan dan aliansi
force
Sarana Simposium, seminar, Sarana politik/struktur teknis,
diskusi berupa birokrasi, lembaga-
ceramah, da’wah, lobi, lembaga, partai-partai dan
penerbitan media massa, semua usaha yang
Lembaga Pendidikan mempengaruhi pada
pengambilan keputusan
politik
Jangkauan Titik berat pada individu Mobilitas kolektivitas untuk
keperluan jangka panjang keperluan jangka pendek
Grafik 1
Keterangan grafik
Garis menunjukan Islam politik
Garis menunjukan Islam kultural
142
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A.
144
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A.
146
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A.
148
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A.
150
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A.
152
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A.
154
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A.
156
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A.
15
Ibnu Khaldun, pada buku dengan judul , Kitaab al-„Ibar , wa Diiwaan- al-
Mubtada‟ wal Khabar, Fii ayyaa-mil “Arab wal „Ajam wal Barbar, wa man
„Aaa-sharahum min Dzawis-Sulthaan al- Akbar, menyebutkan sedikitnya ada
beberapa kesalahan yang sering dilakukan oleh para ilmuwan, antara lain ialah
sikap tasyayu ( tidak menjaga jarak) menjadi pengikut mahzhab pemikiran
tertentu sehingga sulit untuk bersikap kritis dalam analisanya, yang kedua ialah
tiadanya sikap tarjih (selektif) dalam menerima informasi, ketiga menerima
asumsi yang tidak beralasan (Kaldun, 1986: 58-59).
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A
suatu ilmu, juga bagi kemajuan umat, kecuali hanya untuk sekedar
pelipur lara, sementara waktu saja untuk menyembunyikan
kelemahan dan keterbelakangan yang ada.
Sementara itu di pihak yang lain, juga ada sikap sebagian
cendekiawan (ulama) yang menafikan segala sesuatu yang datang
dari selain Islam, sikap menutup diri seperti ini disamping tidak
membawa banyak kemajuan bagi umat Islam juga tidak sesuai
dengan model kehidupan yang Nabi Muhammad SAW, wasiatkan
kepada umatnya, yang justru menyuruh umatnya untuk bersunguh-
sunguh mencari ilmu sampaipun ke negeri Cina. Kedua sikap
sebagaimana dikemuakan di atas, nampaknya tidak cukup untuk
mendorong agar umat ini memiliki harga diri, memiliki keunggulan
di depan umat Manusia, seperti Allah ilustrasikan sebagai umat
terbaik (khoiro ummat).
Kedua, adalah sikap sebahagian cendekiawan yang disatu sisi
memberikan kritik yang tajam pada perspektif teoretis yang diajukan
oleh para cendekiawan muslim abad pertengahan yang dikatakannya
normatif, sementara itu ia tidak mampu memberikan kritik yang
tajam dan cerdas pada perspektif teoretis yang ditawarkan oleh
cendekiawan dari Barat. Tipe cendekiawan seperti ini, dengan
mudah menyatakan bahwa Islam tidak memiliki konsep tentang
politik, kalau ada konsep politik Islam, mana tunjukkan! Sikap seperti
ini dalam kadar tertentu adalah menunjukan sikap pesimis, tidak ada
etos dan kreativitas, untuk menghasilkan dan menggali pemikiran
Islam untuk dapat disumbangkan bagi kemanfaatan umat manusia.
Sikap cendekiawan seperti dikemukakan di atas dari sisi
pengembangan teoretis tidak memberikankan sumbangan apa-apa,
kecuali hanya ikut menyebarkan teori-teori yang di impor dari
bangsa lain, yang sebetulnya belum tentu sesui untuk menganalisis
problem yang timbul di Indonesia.
Sikap yang fair bagi seorang cendekiawan – khususnya dari
negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam – seharusnya
tidak memilih satu diantara perspektif sebagai telah dsebutkan di
atas. Ia idealnya memiliki dua kemampuan sekaligus yakni disatu sisi
ia tetap konsisten dengan prinsip keimanannya serta dalam waktu
yang bersaman ia juga dapat berdialog dengan cerdas dengan
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A
160
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A.
162
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A.
164
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A.
166
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A.
perjuangan yang berbasis pada ilmu. Posisi pandangan Kunto ini jika
ditelusuri konsisten sejak awal pemikiran beliau sampai tahun-tahun
akhir kehidupan Beliau sebagai intelektual Islam. Hal tersebut
misalnya dapat kita baca pada orasi/pidato ilmiah untuk
pengukuhan guru besar Kuntowijoyo, dibidang ilmu sejarah tahun
2001, Kuntowijoyo tetap konsisten dengan pendiriannya bahwa
pentingnya umat Islam menyadari tahapan-tahapan perkembangan
sejarah yang mengharuskan dilakukannya reorientasi strategi
perjuangan umat dari berbasis pada ideologi bergeser pada
paradigma Islam sebagai Ilmu. Menurut hemat peneliti, mengingat
pandangan Kuntowijoyo tersebut dikemukakan di forum ilmiah yang
sangat penting maka nampaknya hal tersebut dapat juga dimaknai
sebagai pandangan khususnya dalam hal pemikiran politik Islam,
keterkaitannya dengan konteks dinamika sejarah umat Islam yang
memformulasikan paradigma Islam sebagai ilmu sudah selesai
(khatam) dan tidak akan mengalami perubahan pandangan yang
berarti sampai akhir hayatnya.
Dengan kata lain, partai politik Islam, lebih kental nuansa
simbol dan ideologinya maka beliau tidak memberikan rekomendasi
untuk berjuang melalui partai Islam, tentu mempunyai argumen
untuk posisi pandangannya ini. Kuntowijoyo memberikan
rekomendasi untuk berjuang melalui partai politik yang secara
substantif memperjuangkan nilai-nilai Islam seperti keadilan,
membelaan pada orang tertindas, pemberantasan korupsi,
pembelaan kaum perempuan, kebebasan berpendapat, berpolitik dan
lain-lain. Tetapi bukan partai politik yang secara vulgar
mengeksploitasi simbol-simbol Islam. Posisi pandangan Kunto ini
tentu bertentangan dengan pandangan tokoh-tokoh Islam yang
berpandangan pentingnnya berjuang melalui partai Islam. Untuk
menilai pandangan mana yang benar, sejarahlah yang akan
memberikan jawabannya kepada kita.
Dalam kaitannya dengan posisi politik umat Islam secara
makro Kuntowijoyo telah meninggalkan warisan pemikiran yang
merupakan embrio dari ilmu sosial profetik. Beliau mencoba untuk
melakukan teoretisasi tentang politik Islam dari Al Qur’an surat Ali
imron ayat 104 dan 110 serta surat Fushilat ayat 51-53. Dari teks
168
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A.
170
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A.
172
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A.
Islam adalah melalui partai politik. Tidak banyak tersedia pilihan lain
kecuali lewat partai politik. Disinilah titik persoalan dan dilema mulai
ditemukan. Mengapa? Yakni karena muslim harus melewati pintu
partai, dalam memasuki ranah negara, oleh karenanya menjadi
berpeluang dan diberi cap partisan.Tidak merupakan wakil seluruh
warga bangsa dan karena hal tersebut menjadi banyak kendala untuk
lahir menjadi Muslim negarawan dari kalangan aktivis Partai Islam di
Indonesia.
Menghadapi kondisi yang kompleks ini, kita perlu bertanya masih
adakah secercah harapan untuk memulai langkah-langkah
dekonstruksi? Dalam pandangan peneliti sebenarnya dalam sejarah
gerakan Islam di Indonesia cukup tersedia eksperimen yang bisa
menjadi inspirasi untuk melakukan dekonstruksi hegemoni yang
meminggirkan Islam. Eksperimen yang dimaksud adalah adanya
strategi gerakan dakwah politik kultural yang lebih populer dengan
istilah kembali ke khittah NU 26. Dalam konteks pembahasan ini
gerakan kembali ke khitah 26 dapat dibaca sebagaih benih-benih
pemikiran agar keislaman seseorang tidak menjadi barrier untuk
menjadi negarawan di Indonesia (Islam subtansial). Demikian juga
langkah yang sama dilakukan oleh Muhammadiyah dengan kembali
ke khittoh 1971, serta gerak Dewan Dakwah Indonesia pada era
pemerintahan Orba dalam batas tertentu dapat dibaca sebagai untuk
melakukan dekonstruksi hegemoni yang memonopoli pengelolaan
negara untuk kelompok tertentu.
Mempertimbangkan dilema dan kompleksitas persoalan yang
dihadapi oleh umat Islam mungkin bermanfaat untuk
dipertimbangkan suatu pandangan bahwa Keislaman itu tidak harus
dinilai dari syariah, tetapi keislaman itu dapat dimulai dari sisi
akhlak, yang kemudian menjadi kenyataan sosiologis, menjadi
perilaku masyarakat yang kemudian pada tahapannya menjadi
norma, lembaga, dan sruktur sosial, ekonomi dan harus diakomodasi
dalam berbagai kebijakan negara.
Partai-partai Islam seperti halnya PKS, PPP dan lain lain berada
dalam posisi unik karena pada satu sisi masuk wilayah partai siap
untuk dicap sektarian tetapi inline untuk menjadi negarawan, dengan
demikian tingkat kesulitan yang dihadapinya menjadi lebih rumit.
174
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A.
Karena tatanan seperti itu tidak diterima secara luas maka tentara
diminta kembali kebarak, tentara profesional tapi juga menghadapi
masalah baru tidak punya anggaran.
Bagaimana negarawan secara real dapat berada dalam politik
Indonesia? Kiranya dapat dinyatakan bahwa negarawan tidak bisa
lepas dari politik. Siapapun yang akan menjadi negarawan harus
mampu mengarungi medan politik. Sampai sejauh ini Muslim belum
bisa menjadi icon negarawan, karena terjebak politik identitas,
politik muslim, dipertontonkan lebih untuk menggalang mobilitas
loyalitas secara periodik untuk kursi, politik muslim terseret
loyalitas kelompok, tidak menggarap nilai substansi Islam, termasuk
politik identitas negara Islam.
Muslim negarawan adalah muslim yang mengelola negara
dengan akhlak Islam. Dalam konteks berfikir negara maka
mensubsidi orang miksin melalui birokrasi, melalui data based yang
jelas, melalui anggaran, yang kemudian hadir dalam kebijakan, serta
standar operasional. Orang bisa menjadi Indonesia (nasionalis,
negarawan) dan menjadi muslim yang baik. Kecuali ada eksepsi
dalam hal aqidah.
Birokrasi selama ini belum bekerja untuk menjadi instrumen
negara, begitupun Muslim, belum menjadi orang Islam yang
negarawan. Kalau ada isntrumen negara untuk menjalankan
kebijakan untuk membela orang Miskin dan sejenisnya maka hal itu
merupakan hal yang selaras dengan nilai-nilai Islam. Kemudian
berujung pada kebijakan publik, tidak disadari oleh partai.
Seharusnya materi pengkaderan partai menuju kepada keadaan di
mana birokrasi menjadi inrtumen bagi pembela orang miskin. Negara
bisa menjadi instrumen. Bisa di nilai dengan nilai-nilai apapun. Hal
teresebut menjadi mungkin jika aktivis partai juga nenjadi social
movement dan motor sosial movement bisa dari kalangan partai,
betapa indahnya negeri ini kalau menjadi penggerak memproduk
nilai.
Ada kerangka advanted politik dan penguatan negara. Dengan
merujuk pada pespektif diatas kiranya perlu disadari bahwa Negara
Islam bisa terjatuh pada perilaku membajak negara untuk
kepentingan Islam, tetapi kalau akhlak Islam ada lebih dahulu
176
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A.
Bab 7
178
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A.
180
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A.
182
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A.
184
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A.
Bab 8
Pendahuluan
Tulisan ini membahas bografi dan pemikiran Mansur Fakih
tentang globalisasi dalam paradigma pembangunan developmental-
isme, aktivisme sosial di Indonesia dan analisis gender sebagai alat
perubahan (transformasi) sosial. Membahas biografi dan pemikiran
Mansur Fakih merupakan hal yang signifikan untuk memahami
bagaimana konteks luas paradigma pembangunan developmental-
isme Indonesia yang secara massif dimulai sejak masa Orde Baru,
dan bagaimana efek paradigma developmentalisme Indonesia
tersebut berdampak terutama terhadap perempuan dari kelompok
masyarakat dengan ekonomi rendah.
Berbeda dengan kaum intelektual Indonesia kebanyakan yang
cenderung untuk berada di menara gading tanpa terlibat dengan
problem real masyarakat akar rumput, Mansur Fakih memilih untuk
menjadi seorang intelektual organik. Mengadopsi istilah Gramsci
tentang intelektualisme organik, Mansur Fakih (2002) mendefinisi-
kan intelektual organik sebagai seorang intelektual yang lahir dan
tumbuh tidak hanya dalam kemegahan menara gading dunia
akademis dan ilmiah, melainkan juga di dalam alam nyata komunitas
akar rumput. Kaum intelektual organik memahami kondisi dan
kebutuhan real masyarakat di mana ia tumbuh, dan menghasilkan
ilmu pengetahuan yang mengakar dan benar-benar ditujukan untuk
meningkatkan kesejahteraan hidup masyarakat. Sepanjang hidupnya,
Mansur Fakih mendedikasikan pengetahuan, pengalaman dan
aktivisme sosialnya dalam dan untuk kelompok-kelompok marginal
186
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A.
188
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A.
190
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A.
192
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A.
194
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A.
Kesimpulan
Selama rezim Soeharto berkuasa seringkali dinyatakan
bahwasanya pembangunan Indonesia diperlukan untuk modernisasi
Indonesia secara keseluruhan. Ide pembangunan yang seperti ini
didiseminasikan melalui berbagai bentuk propaganda, yang mana
melalui propaganda ini, Presiden Soeharto dipercaya sebagai bapak
pembangunan Indonesia dan karenanya dianggap sebagai pahlawan
Indonesia. Mempelajari kehidupan dan pandangan Mansur Fakih
bagaimanapun juga membuat kita berpikir untuk mempertanyakan
kembali proses modernisasi dan developmentalisme yang bahkan
sampai saat ini masih dilaksanakan di Indonesia secara massif.
Sebagai seseorang yang telah lama berkecimpung dalam sosial
aktivisme Indonesia, Mansur Fakih percaya bahwa memahami
analisis gender dalam kaitannya dengan ketidakadilan dalam
berbagai komunitas yang dihasilkan dari sistem ekonomi dan politik
196
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A.
Bab 9
200
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A.
202
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A.
204
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A.
DAFTAR PUSTAKA
206
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A.
Fakih, M., & Antonius, M. I., & Eko, P. (2003). Menegakkan keadilan
dan kemanusiaan: pegangan untuk membangun gerakan hak
asasi manusia. Yogyakarta: Insist Press.
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A
Fakih, M., & Roem, T., & Toto, R. (2000). Pendidikan popular:
membangun kesadaran kritis. Yogyakarta: REaD book.
Francis, F. (1992). The end of history and the last man. Penguin Book
208
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A.
210
Dr. Nasiwan, M.Si.,
Yuyun Sri Wahyuni, M.A., M.A.
212