Anda di halaman 1dari 21

Nama : Dwi Shinta Pujiastika

NPM : 2622130291

PERKEMBANGAN SOSIAL EMOSIONAL ANAK USIA 5-6 TAHUN

DI TK MNU MASYITHOH BONGKOK

PENDAHULUAN

Perkembangan adalah bertambahnya kemampuan dalam struktur dan fungsi tubuh yang
lebih kompleks dalam pola yang teratur dan dapat diramalkan sebagai hasil proses pematangan.
Perkembangan anak usia dini merupakan proses perubahan yang berkesinambungan secara
progesif dari masa kelahiran sampai usia delapan tahun. Dalam hal ini, anak mengalami
pertumbuhan dan perkembangan sangat cepat dari beberapa aspek. Salah satu aspek
perkembangan yang cukup penting pada anak usia dini adalah perkembangan sosial emosional
(Membangun Kecerdasan Emosi Dan Sosial Anak Sejak Usia Dini - Google Books, n.d.

Perkembangan sosial adalah proses kemampuan belajar dan tingkah laku yang
berhubungan dengan individu untuk hidup sebagai bagian dari kelompoknya. Sedangkan emosi
adalah kecenderungan untuk memiliki perasaan yang khas bila berhadapan dengan objek tertentu
dalam lingkungannya. Emosi dapat berbentuk sesuatu yang spesifik seperti rasa senang, takut,
marah dan seterusnya tergantung dari ineraksi yang dialami (Membangun Kecerdasan Emosi Dan
Sosial Anak Sejak Usia Dini - Google Books, n.d.)

Perkembangan sosial emosional pada anak usia dini akan menjadi pondasi bagi anak-
anak untuk menjadi orang dewasa yang bertanggung jawab, peduli kepada orang lain, dan
produktif. Anak yang kurang mendapatkan stimulasi perkembangan sosial emosional banyak
mengalami kelaparan emosi yang kemudian berkembang menjadi pribadi yang labil, memiliki
hambatan dalam penyesuaian diri, dan menjadi pribadi yang tidak bahagia pada tahap
perkembangan selanjutnya. Fisik anakpun menjadi lemah, kurang berkembang dan tidak berdaya
(Adrianindita, 2015).
Pada kenyataannya aspek perkembangan anak usia dini belum berkembang secara optimal. Seperti
halnya aspek perkembangan sosial emosional, tidak semua anak mampu bersosialisasi dengan
baik, seperti anak-anak yang masih senang bermain sendiri, berebut mainan, egois yang tinggi,
belum mau mengenal lingkungan dengan orang disekitarnya selain ibu dan ayahnya, dan masih
banyak lagi. Sehingga penulis merasa perlu untuk meneliti perkembangan aspek sosial emosional
anak usia dini melalui salah satu metode yaitu metode kisah.

Metode kisah merupakan cara yang paling baik dalam menyampaikan apa yang kita
ajarkan kepada anak-anak, baik nilai- nilai agama, akhlak, atau pengarahan prilaku dan sosial.
Kisah memiliki keistimewaan yang dampaknya pada psikologi dan pendidikan sangat kuat, jelas,
dan berjangka panjang (Ulum, 2020).

Metode kisah merupakan salah satu strategi yang banyak digunakan pada pembelajaran.
Kisah dapat memberikan pengalaman dan manfaat untuk anak. Dalam kegiatan sehari – hari, anak
usia 2-3 tahun, belum mengerti tentang sosial emosionalnya, sehingga dengan cara berkisah anak
bisa mengerti tentang lingkungan sekitar. Anak tidak merasa bosan saat mendengarkan, tetapi
anak-anak lebih semangat untuk mendengarkan. Apa yang didengarkan anak, bisa menjadikan
acuan bagi anak. Anak lebih suka mempraktekan apa yang sudah diceritakan oleh orang tuanya.
Sehingga berkisah bisa digunakan oleh orang tua untuk menjadikan pengetahuan dan pengalaman
bagi anak (Adrianindita, 2015). Ulum (Ulum, 2020) mengatakan bahwa dalam mengasuh para
Sahabat-sahabat kecilnya (shigoru sohabah), Rasulullah saw menggunakan berbagai metodologi,
salah satunya adalah Metode Kisah, di mana metode ini sangat cocok dengan pertumbuhan akal
anak usia dini. Oleh karena itu menstimulasi perkembangan sosial emosional anak melalui metode
kisah merupakan suatu hal yang penting untuk diteliti. Tujuan penelitian ini adalah untuk
mengetahui alasan orang tua menggunakan metode kisah dalam menstimulasi aspek
perkembangan sosial emosional anak usia dini, bagaimana penerapan metode kisah oleh orang tua
dan kendalanya dalam mengembangkan aspek sosial emosional anak usia dini serta indikatornya.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif deskriptif. Analisis
dilakukan dengan pendekatan fenomenologis, observasi dan self report. Subjek penelitian pada
penelitian ini sejumlah lima ibu rumah tangga dengan latar belakang pendidikan yang bervariasi.
Ada ibu rumah tangga yang latar belakang pendidikannya SMA, Sarjana dan Magister. Subjek
penelitian adalah lima ibu rumah tangga yang berada di Kota Magetan. Mereka semua memiliki
anak usia dini dengan berbagai ragam umur.

Data dikumpulkan melalui wawancara, observasi dan self report. Wawancara dilakukan
untuk memperoleh informasi tentang stimulasi perkembangan aspek sosial emosional anak usia
dini melalui metode kisah. kegiatan ini dilakukan berdasarkan panduan wawancara yang telah
disusun. Observasi dilakukan untuk memperoleh data tentang perilaku dan kegiatan subjek dalam
menstimulasi perkembangan aspek sosial emosional melalui metode kisah yang dilakukan di
rumah. Self report dilakukan dengan serangkaian pertanyaan yang bersifat terbuka, sehingga
diperoleh informasi yang original berasal dari subjek penelitian.

Pelaksanaan penelitian dilakukan melalui tahap persiapan yang meliputi penentuan,


penyusunan pedoman wawancara dan self report. Subjek diperoleh dengan menghubungi beberapa
ibu rumah tangga yang ada di Kota Magetan dan sekitarnya. Berdasarkan kesediaan mereka
terpilih lima orang ibu rumah tangga. Setelah itu dilakukan pelaksanaan penelitian dengan
menggunakan wawancara dan self report secara daring (telpon maupun mengisi google form)
untuk mengumpulkan informasi tentang metode kisah sebagai stimulasi aspek perkembangan
sosial emosional anak usia dini. Setelah data terkumpul dilakukan analisis.

Anak usia dini mempunyai beberapa aspek perkembangan yang perlu ditingkatkan.
Wortham menyatakan bahwa aspek perkembangan anak meliputi perkembangan fisik-motorik,
perkembangan kognitif, perkembangan bahasa, dan perkembangan sosial-emosional.
Perkembangan semua aspek tersebut saling mempengaruhi satu sama lain (M. Ramli, 2005).

Yudha M. Saputra dkk menyatakan bahwa perilaku emosional anak sangat dipengaruhi
oleh reaksi sosial terhadap perilaku emosional anak, cara mengembangkan sosial emosional anak
yaitu dengan memberikan rangsangan, rangsangan tersebut antara lain rangsangan pendengaran,
rangsangan perabaan, rangsangan sosial, rangsangan penglihatan (Yudha M. Saputra dkk, 2005).

Dari pendapat tersebut dapat dilihat bahwa dalam mengembangkan social emosional anak
dipengaruhi oleh rangsangan dari lingkungan sekitar, melalui lingkungan sekolah guru dapat
memfasilitasi dan memberikan rangsangan untuk mengembangkan sosial emosional anak secara
maksimal.
Kemampuan sosial emosional anak usia dini perlu dikembangkan karena social emosional
merupakan kemampuan awal bagi anak untuk berinteraksi dengan lingkungannya yang lebih luas.
Hal ini sesuai dengan pendapat Rita Eka dkk bahwa banyak keluarga dan pendidik anak usia dini
menekankan pentingnya perkembangan sosial emosional selama masa kanak-kanakawal atau
tahun-tahun prasekolah (Rita Eka dkk, 2008).

Berdasarkan pendapat tersebut, pengembangan sosial emosional anak pada waktu awal
sekolah perlu dikembangkan karena sebelum memasuki lingkungan sekolah anak hanya mengenal
lingkungan keluarga. Oleh sebab itu saat anak memasuki lingkungan sekolah anak sudah memiliki
dasar kemampuan sosial emosional sehingga dapat menyesuikan diri dengan lingkungan yang
baru.

Patmonodewo mengungkapkan bahwa perkembangan sosial dimaksudkan sebagai


perkembangan tingkah laku anak dalam menyesuaikan diri dengan aturan-aturan yang berlaku di
dalam masyarakat di mana anak berada. Tingkah laku sosialisasi adalah sesuatu yang dipelajari,
bukan sekedar hasil dari kematangan. Perkembangan social seorang anak diperoleh selain dari
proses kematangan juga melalui kesempatan belajar dari respons terhadap tingkah laku anak
(Patmonodewo, 2003).

Perkembangan sosial emosional dapat meliputi kompetensi sosial (menjalin hubungan


dengan kelompok sosial), kemampuan sosial (perilaku yang digunakan dalam situasi sosial),
kognisi social (pemahaman terhadap tujuan dan perilaku diri sendiri dan orang lain), perilaku
prososial (kesediaan untuk berbagi, membantu, bekerjasama, merasa nyaman dan aman, dan
mendukung orang lain) serta penguasaan terhadap nilai-nilai kemanusiaan dan moralitas
(perkembangan dalam menentukan standar baik dan buruk).

Perkembangan sosialisasi dan emosi pada anak tidak terlepas dengan kondisi emosi dan
kemampuan anak merespon lingkungannya di usia sebelumnya. Kemampuan sosialisasi dan emosi
anak akan berkembang seiring dengan penambahan usia dan pengalaman yang diperolehnya.
Aspek kognitif juga berperan penting dalam hal ini dimana dengan kematangan di segi kognitif,
anak dapat membedakan hal yang baik dan buruk berdasarkan nilai-nilai yang ada di masyarakat.

Tingkat pencapaian perkembangan sosial emosional anak usia 5- 6 tahun menurut


Peraturan Menteri Nomor 58 Tahun 2009 yaitu, bersikap kooperatif dengan teman, menunjukkan
sikap toleran, mengekspresikan emosi yang sesuai dengan kondisi yang ada, mengenal tata krama
dan sopan santun sesuai dengan nilai social budaya setempat, memahami peraturan dan disiplin,
menunjukkan rasa empati, memiliki sikap gigih (tidak mudah menyerah), bangga terhadap hasil
karya sendiri, dan menghargai keunggulan orang lain.

Berdasarkan hal tersebut, yang termasuk tingkat pencapaian perkembangan anak pada usia
5-6 tahun dalam aspek sosial di antaranya seperti bersikap kooperatif dengan teman, menunjukkan
sikap toleran, serta menunjukkan rasa empati. Bersikap kooperatif ditunjukkan dengan kemauan
anak untuk ikut bekerja sama dalam melakukan kegiatan bersama teman-temannya.

Menunjukkan sikap toleran terlihat ketika anak mau berbagi dengan teman-temannya tanpa
membedakan satu sama lain. Sedangkan menunjukkan rasa empati terlihat dari kesediaan anak
untuk menolong temannya yang memerlukan bantuan atau menunjukkan rasa kepeduliannya
dengan terlibat dalam kegiatan bermain atau kegiatan lainnya.

Diantara beberapa aspek perkembangan sosial emosional tersebut dibatasi beberapa point
yang akan dibahas, yaitu: bersikap kooperatif dengan teman, bersikap toleran dengan teman, anak
mengekspresikan emosinya, mengenal tata krama dan menunjukkan rasa empati dengan teman.
Alasan penulis membatasi aspek perkembangan sosial emosional tersebut karena aspek-aspek
tersebut sangat perlu dikembangkan oleh anak.

Menurut Suyadi, ada beberapa strategi yang dapat digunakan guru untuk menstimulasi
perkembangan sosial emosi anak, yaitu :1) Menjadi contoh yang baik, 2) Mengajarkan pengenalan
emosi, 3) Memahami dan menanggapi perasaan anak, 4) Melatih pengendalian diri dan mengelola
emosi, 5) Menerapkan disiplin dengan konsep empati, 6) Melatih keterampilan komunikasi sosial,
7) Tidak mudah marah, sedih, dan cemas, 8) Melatih empati dan peduli pada orang lain, 9)
Mengajari akibat perilaku (Suyadi, 2013).

Sikap kooperatif pada anak usia dini dapat dilihat dari beberapa aspek diantaranya anak
ikut serta dalam kegiatan kelompok, ikut membantu teman saat melakukan kegiatan kelompok,
melakukan kegiatan bersama- sama dengan teman kelompok, membina hubungan yang baik
dengan teman kelompoknya, dan mau bermain dengan teman kelompoknya.

Sikap kooperatif ini sangat penting untuk anak dapat meningkatkan kinerja akademiknya,
dan dapat menerima temantemannya dari latar belakang yang berbeda. Ada pun faktor-faktor yang
mempengaruhi sikap kooperatif menjelaskan bahwa timbal balik, orientasi individu dan
komunikasi penting untuk mencapai tujuan dalam pembelajaran.

Sikap toleransi anak usia dini adalah kebiasaan bersabar, tenggang rasa dan

kemampuan menahan emosi ketika melihat adanya perbedaan pendapat. Kemendiknas


menyebutkan beberapa indikator yang menunjukkan anak sudah mampu mengembangkan sikap
toleransi adalah; a) senang bekerja sama dengan teman, b) mau berbagi makanan atau mainan
dengan teman, c) selalu menyapa bila bertemu, d) menunjukkan rasa empati, e) senang berteman
dengan siapa saja, g) menghargai pendapat teman dan tidak memaksakan kehendak sendiri, h) mau
menengahi teman yang sedang berselisih, i) tidak suka membuat keributan atau mengganggu
teman, j) tidak suka menang sendiri, k) senang berdiskusi dengan teman, dan l) senang menolong
teman dan orang dewasa (Kemendiknas, 2012).

Ali Nugraha mendefinisikan emosi sebagai perasaan yang ada dalam diri kita, dapat berupa
perasaan senang atau tidak senang, perasaan baik atau buruk (Ali Nugraha, 2011). Stewart et all
mengutarakan ada beberapa basic emotions diantaranya adalah: (1) Gembira yaitu emosi gembira
akan dirasakan apabila seseorang merasa bahagia, dan itu berarti ada suatu hal yang
menyenangkan hatinya. (2) Marah, pengekspresian dari emosi marah biasanya agresif, dan kadang
dibarengi dengan tindakan yang merugikan dirinya dan orang lain. (3) Takut, perasaan takut
mengembangkan sinyal-sinyal adanya bahaya dan menuntun individu untuk bergerak dan
bertindak. (4) Sedih, perasaan terasing, ditinggalkan, ditolak atau tidak diperhatikan dapat
membuat individu bersedih (dalam Ali Nugraha, 2008).

Menurut Muhadi tata krama dan sopan santun dengan nilai sosial budaya setempat meliputi
sopan santun terhadap pergaulan, sopan santun terhadap lingkungan, sopan terhadap orang lain,
menerima sesuatu dengan tangan kanan, tidak berkata-kata kotor, kasar dan sombong serta tidak
meludah disebarang tempat (Muhadi, 2012).

Bentuk praktik tata krama sederhana yang harus diajarkan kepada anak sejak mereka
berumur 5 tahun adalah (1) Mengucapkan tolong dan terima kasih (2) Izin Dulu, baru Ambil (3)
Meminta Maaf dengan Tulus (4) Menutup Mulut ketika Bersin atau Batuk (5) Mengetuk Pintu
Terlebih dahulu (6) Mengucapkan Permisi (7) Mengajarkan anak betapa menyenangkannya
membantu orang lain Hurlock mengungkapkan bahwa empati adalah kemampuan seseorang untuk
mengerti tentang perasaan dan emosi orang lain serta kemampuan untuk membayangkan diri
sendiri di tempat orang lain (Hurlock, 1999). Goleman menyatakan terdapat 3 (tiga) karakteristik
kemampuan seseorang dalam berempati, yaitu (1) Mampu Menerima Sudut Pandang Orang Lain
(2) Memiliki Kepekaan Terhadap Perasaan Orang Lain (3) Mampu Mendengarkan Orang Lain
(Goleman, 1997) Untuk mempermudah para guru membantu meningkatkan perkembangan sosial
emosional anak perlu adanya sejumlah pedoman yang harus diperhatikan, yaitu (1) Menghargai,
menerima dan memperlakukan anak sesuai dengan martabatnya. (2) Memahami karakteristik anak
(3) Mendorong anak berkolaborasi atau bekerjasama sesame teman (4) Menggunakan strategis
pembelajaran yang luas, untuk memperkaya pengalaman pembelajaran anak (5) Mempasilitasi
anak untuk meningkatkan rasa tanggung jawab akan dirinya sendiri (Nugraha, 2011).

METODE

Dalam melakukan penelitian, seorang peneliti akan menentukan metode dalam


memecahkan masalah yang dihadapi agar peneliti dapat mengetahui langkah-langkah apa yang
akan digunakan. Sugiyono (2011) menyatakan bahwa metode penelitian pada dasarnya merupakan
cara ilmiah untuk mendapatkan data dengan tujuan dan kegunaan tertentu (Sugiyono, 2011).

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif. Metode penelitian
deskriptif adalah mencatat secara teliti segala gejala (fenomena) yang dilihat dan didengar serta
dibacanya (via wawancara atau bukan, catatan lapangan, foto, video tape, dokumen pribadi,
catatan atau memo, dokumen resmi atau bukan, dan lain-lain), dan peneliti harus
membandingbandingkan, mengombinasikan, mengabstraksikan, dan menarik kesimpulan (dalam
Burhan, 2009).

Data-data yang diperoleh peneliti dalam penelitian ini bersumber dari hasil pengamatan
yang dilakukan pada anak kelompok B1, wawancara yang dilakukan peneliti dengan guru
kelompok B1 dan dokumentasi untuk memperoleh data-data mengenai perkembangan social
emosionalanak 5-6 tahun di TK MNU Masyithoh Bongkok.

Subjek dalam penelitian ini adalah guru yang akan diwawancara mengenai perkembangan
sosial emosional anak 5-6 tahun di TK MNU Masyithoh Bongkok dan 16 orang anak kelompok
B1 yang akan diobeservasi untuk mengetahui perkembangan sosial emosionalnya. Penelitian ini
menggunakan teknik pengumpul data observasi, wawancara, dan dokumentasi. Alat pengumpul
data yang digunakan adalah pedoman observasi, panduan wawancara, dan dokumenter berupa
foto. Untuk menguji keabsahan data peneliti menggunakan triangulasi. Menurut Denzin triangulasi
adalah aplikasi studi yang menggunakan multimetode untuk menelaah fenomena yang sama
(dalam Danin, 2013)

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Hasih

Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan peneliti yaitu perkembangan sikap


kooperatif dengan teman dari pertemuan pertama sampai pertemuan ke enam terdapat 8 anak
sampai 15 anak mau bekerja sama dengan teman dan saling membantu satu sama lain. Pada aspek
tidak melakukan pertentangan satu dengan yang lainnya, dari pertemuan ke 1 sampai ke 6 tidak
terdapat anak melakukan pertentangan satu dengan yang lainnya.

Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan peneliti yaitu perkembangan sikap


kooperatif dengan teman dikarenakan adanya bimbingan dan arahan guru. Tidak semua anak mau
bersikap kooperatif dengan temannya. Untuk mengatasinya guru mengajak anak berkomunikasi
dengan cara bercerita.

Sikap agar anak mau membantu temannya dalam bekerja kelompok selalu dipacu oleh
guru. Keterlibatan guru dalam mengatasi anak yang tidak mau membantu satu sama lainnya
dengan cara guru selalu memperhatikan ketika anak sedang bermain bersama. Anak-anak pernah
melakukan pertentangan sesamanya karena temannya tidak mau ikut aturan, misalnya teman
memasang lego tidak sesuai dengan yang diinginkannya. Jika terjadi pertentangan kegiatan
pembelajaran guru selalu bersikaptenang dan menanyakan permasalahannya.

Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan peneliti yaitu perkembangan sikaptoleran


dengan teman, dari pertemuan pertama sampai pertemuan ke enam terdapat 14 sampai 15 yang
selalu menunjukkan sikap tenggang rasa dan dapat menahan emosi dan keinginan. Namun pada
aspek membiarkan adanya perbedaan pendapat dari pertemuan ke 1 sampai ke 6 tidak semua
anakmembiarkan adanya perbedaan pendapat.

Berdasarkan hasil wawancara yang di lakukan peneliti yaitu perkembangan sikap toleran
dengan teman masih diarahkan guru dengan cara mengajar anak untuk selalu berbagi kepada teman
dan menghargai teman. Pengarahan yang guru lakukan tersebut cukup berhasil. Meskipun
terkadang ada anak yang jahil kepada temannya namun anak tersebut tidak melakukan pembalasan
dan tidak melaporkan kepada guru tetapi hanya berdiam sedih. Adanya kejadian tersebut guru tetap
melakukan penyelesaian agar tidak berkepanjangan dan menjadi kebiasaan. Terjadi anak yang
menjahili teman biasanya pada saat bermain. Dalam kegiatan pembelajaran tidak pernah terjadi
perbedaan pendapat diantara anak-anak. Jika terjadi guru cepat melakukan mediasi agar anak-anak
saling meminta maaf agar tidak terjadi perbedaan pendapat diantara anak didiknya.

Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan peneliti yaitu mengekspresikan emosi diri,
dari pertemuan pertama sampai pertemuan ke enam terdapat 16 anak menunjukkan ekspresi
gembira, tidak ada yang mengekspresikan perasaan marah, terdapat 1 anak yang memperlihatkan
eksperesi takut dan ekspresi sedih terlihat pada 2 anak pada pertemuan pertama, di pertemuan ke
2 terdapat 1 anak dan pada pertemuan ke 3 sampai ke 6 tidak terlihat lagi anak yang
mengeksperesikan perasaan sedih.

Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan peneliti yaitu mengekspresikan emosi diri
anak dalam kegiatan pembelajaran selalu mengekspresikan emosi bergembira. Jika anak tidak
menunjukkan emosi yang gembira guru mengajak anak-anak bernyanyidan memberikan
pengertian bahwa bersekolah menjadi banyak teman dan harus senang. Anak-anak biasa
menunjukkan perasaan marah kepada temannya jika tidak meminjamkan alat pelajaran atau
mainan. Ini terjadi pada anak laki-laki, namun marah anak tersebut hanya berupa melaporkan
kepada guru dan tidak dalam bentuk kekerasan fisik. Dalam kegiatan pembelajaran biasa terjadi
perasaan marah, sedih dan takut dialami anak tetapi dapat diselesaikan guru.

Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan peneliti yaitu mengenal tata karma dan
sopan santun, dari pertemuan pertama sampai pertemuan ke enam terdapat 16 anak yang
mengucapkan tolong dan terima kasih. Pada aspek izin dulu baru ambil, menutup mulut ketika
bersin atau batuk dan mengucapkan permisi dari pertemuan ke 1 sampai pertemuan ke 6 Terdapat
15 anak yang selalu melakukannya.

Berdasarkan wawancara yang dilakukan peneliti bahwa mengenal tata krama dan sopan
santun pada anak selalu diajarkan dan dibiasakan oleh guru. Anak meminjam sesuatu barang
temannya selalu diajarkan untuk meminta izin terlebih dahulu baru boleh mengambil barang yang
akan dipinjam. Apabila ada anak yang mau bersin atau batuk selalu menutup mulutnya. Anak
selalu mengucapkan kata permisi apabila mau melintasi atau melawati orang-orang di sekitarnya.

Anak-anak selalu mengetuk pintu apabila mau masuk ruangan belajar atau kantor dan
mengucapkan kalimat assalamualaikum. Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan peneliti,
bahwa mengembangkan rasa empati dengan teman, pada aspek mau bekerjasama dengan teman
dari pertemuan ke 1 sampai ke 6 terdapat 14 anak yang melakukannya. Pada aspek saling
membantu satu sama lain dari pertemuan ke 1 sampai pertemuan ke 6 terdapat 15 anak
yangmelakukannya dan pada aspek tidak melakukan pertentangan dengan lainnya secara
keseluruhan atau 16 anak tidak pernah melakukannya.

Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan peneliti, bahwa mengembangkan rasa empati
dengan teman pada anak terlihat dari proses pembelajaran anak-anak mau menerima usulan atau
sudut pandang temantemannya.

Guru selalu memberikan dukungan kepada anak-anak yang mau menerima sudut pandang
temannya dengan memberikan pujian dan acungan jempol. Jika temannya diejek tidak mau
berteman terlihat perasaan sedih temannya sebagai bentuk sikap empati dengan teman. Perasaan
empati dengan temannya dapat diketahui yaitu anak tersebut diam saja, tidak mau berbicara serta
wajahnya cemberut. Dalam proses pembelajaran anak-anak mau mendengarkan anak-anak lainnya
karena sudah disepakati bersama pada memulai kegiatan pembelajaran di dalam kelas. Jika
terdapat anak yang tidak mau mendengarkan anakanak lainnya terlebih dahulu suasana dalam
kelas ditenangkan dan anak-anak diminta duduk yang rapi dan memperhatikan apa yang
disampaikan guru.

Pembahasan

Berdasarkan hasil dari observasi, wawancara, dan dokumentasi, bahwa perkembangan


sikap kooperatif dengan teman yaitu sikap agar anak mau membantu temannya dalam bekerja
kelompok selalu dipacu oleh guru. Keterlibatan guru dalam mengatasi anak yang tidak mau
membantu satu sama lainnya dengan cara guru selalu memperhatikan ketika anak sedang bermain
bersama. Anak-anak pernah melakukan pertentangan sesamanya selama melakukankegiatan
bersama dapat terjadi ketika temannya tidak mau ikut aturan, misalnya teman memasang lego tidak
sesuai dengan yang diinginkannya. Pertentangan sesamanya dalam suatu kegiatan pembelajaran
diatasi guru dengan bersikap tenang dan menanyakan permasalahannya. Kemudian si anak
diberikan pengertian dan mengajak anak-anak tersebut saling meminta maaf kepada temannya.

Guru mengajak anak berkomunikasi adalah suatu kebiasaan positif. Melalui komunikasi
guru dapat bercerita berbagai kiasan dan perumpamaan kepada anak agar dapat mempengaruhi
pola pikir anak tentang manfaat dan pentingnya saling bekerja sama dengan teman. Demikian juga
jika sering bertentangan dengan teman maka guru harus mendapatkan solusi yang arif serta netral
tanpa memihak.

Pada umumnya anak usia dini sangat mudah terpengaruh dengan cerita-cerita guru
sehingga pada akhir cerita guru dapat menyimpulkan bagaimana perilaku tokoh yang baik menjadi
objek cerita guru tersebut. Oleh karena itu, untuk mengembangkan sikap kooperatif anak tanpa
harus menggunakan kata-kata yang keras, bernada ancaman maupun perintah, tetapi lebih
bijaksana dengan menggunakan cerita-cerita yang menggambarkan tokoh yang suka bekerja sama
dengan dengan orang lain.

Berdasarkan hasil dari observasi, wawancara, dan dokumentasi, bahwa perkembangan


sikap toleran dengan teman yaitu dengan pengarahan yang guru lakukan berkaitan dengan sikap
tenggang rasa dengan temannya cukup berhasil. Meskipun terkadang ada anak yang jahil kepada
temannya sehingga terkadang tidak dapat menahan emosinya. Akan tetapi tidak selalu terjadi pada
setiap kegiatan pembelajaran terdapat anak yang suka menjahil teman-temanya. Apabila anak-
anak melakukan pertentangan sesamanya dalam suatu kegiatan pembelajaran guru selalu bersikap
tenang dan menanyakan permasalahannya.

Pada umumnya pengarahan guru di sekolah lebih didengar dari pada pengarahan orangtua
di rumah. Realitas ini merupakan momentum yang sangat efektif untuk memberikan pesan atau
pengarahan kepada anak agar mau mengembangkan sikap toleransi atau tenggang rasa dengan
teman. Sikap toleransi sangat penting dikembangkan sejak dini karena dapat membentuk karakter
anak pada masa pertumbuhannya. Rendahnya sikap toleransi dapat berdampak sikap egois yang
maunya menang sendiri. Anak yang terbiasa bersikap egois ada kecenderungan melecehkan
maupun menjahili temannya. Hal ini disebabkan anak tersebut selalu merasa benar dan memiliki
argumentasi yang tegas meskipun tidak rasional. Jika bertemu dengan temannya yang memiliki
sikap egois maka dapat menimbulkan pertentangan. Kondisi tersebut memerlukan guru sebagai
penengah untuk mendamaikan pertentangan terjadi.
Sikap toleran penting dikembangkan sejak anak usia dini, karena jika tidak dibiasakan
memiliki sikap toleran jika anak dewasa sulit untuk berubah. Sikap toleran dapat terjadi dalam
permasalahan yang positif dan negatif. Oleh karena itu mengembangkan sikap toleran pada anak
usia dini betul-betul dijelaskan sikap toleran yang bagaimana harus dimiliki dan dikembangkan
anak. Sikap toleran dalam hal positif dan negatif harus diketahui oleh anak sehingga tidak semua
hal dapat ditunjukkan dengan sikap toleran.

Berdasarkan hasil dari observasi, wawancara, dan dokumentasi, bahwa mengeksperesikan


emosi diri yaitu anak-anak dalam kegiatan pembelajaran selalu mengekspresikan emosi
bergembira. Jika anak tidak menunjukkan emosi yang gembira guru mengajak anak-anak
bernyanyi serta memberikan pengertian kepada anak yaitu kita sekolah menjadi banyak teman dan
harus senang. Meskipun kadang anak-anak biasa menunjukkan perasaan marah kepada temannya
jika tidak dipinjamkan alat pelajaran atau mainan. Untuk mengatasi emosi anak yang terlihat
marah-marah dengan temannya guru menanyakan masalahnya terlebih dahulu, kemudian
diberikan nasehat dan meminta maaf kepada temannya.

Ada anak-anak mengekspresikan perasaan takut, yaitu kalau tidak bias menyelesaikan
kegiatan yang berlangsung saat itu. Apabila melihat kondisi tersebut guru cepat memberikan
support dan mengatakan kamu pasti bias menyelesaikannya dengan cepat dan baik. Terjadinya
perasaan takut pada anak cenderung disebabkan ditinggalkan orangtua yang mengantarnya pulang
ke rumah.

Dalam lingkungan sekolah taman kanakkanak anak-anak harus selalu dibuat gembira
sehingga menimbulkan kesan bahwa sekolah itu sesuatu yang menyenangkan dan bukantempat
yang menakutkan. Perasaan takut atau ekspresi yang tidak menunjukkan perasaangembira dari
anak harus dapat diketahui gurusehingga dapat dengan cepat diatasi guru sehingga anak-anak
selalu merasa gembira berada di sekolah.

Mengekspresikan emosi gembira, takut maupun marah merupakan suatu hal yang normal
atau alamiah karena berdasarkan perasaan yang dialami. Meskipun demikian jika
mengekspresikan suatu perasaan yang terlalu berlebihan dapat berdampak negatif. Misalnya
terlalu mengekspresikan perasaan gembira akan dapat menjadi lalai dan ceroboh sehingga tidak
menyadari bahaya yang dapat terjadi.
Demikian juga perasaan takut yang berlebihan dapat membuat anakmenjadi penakut untuk
melakukan berbagai kegiatan yang bermanfaat sehingga menjadi pendiam atau pemurung.
Mengekspresi emosi marah yang berlebihan juga tidak baik bagi anak dapat membentuk
temperamental anak menjadi bersikap kasar dan emosional.

Ekspresi emosi anak penting diperhatikan dan diatasi guru agar tidak menjadi suatu
karakter permanen anak. Berdasarkan hasil dari observasi, wawancara, dan dokumentasi, bahwa
mengenal tata krama dan sopan santun yaitu anak meminta bantu dengan temannya meminta
tolong selalu diajarkan supaya mengucapkan kata terima kasih.

Anak meminjam sesuatu barang temannya selalu diajarkan untuk meminta izin terlebih
dahulu baru boleh mengambil mengambil barang yang akan dipinjam. Anak yang mau bersin atau
batuk selalu menutup mulutnya. Anak selalu mengucapkan kata permisi apabila mau melintasi
atau melawati orang-orang di sekitarnya. Anak-anak selalu mengetuk pintu apabila mau masuk
ruangan belajar atau kantor dan mengucapkan kalimat assalamualaikum.

Tata krama dan sopan santun merupakan sesuatu hal yang penting untuk dibiasakan pada
anak usia dini. Dengan memiliki tata krama dan sopan santun anak akan mudah bergaul dan
diterima dan disenangi temantemannya. Jangan beranggapan bahwa anak yang tidak menunjukkan
nilai tata krama dan sopan santun itu sebatas anak usia dini nanti jika sudah tumbuh dewasa pasti
berubah.

Pada dasarnya tata krama dan sopan santun anak remaja atau dewasa terbentuk sejak anak
usia dini sehingga menginjak usia remaja sudah menjadi kebiasaan yang sulit ditinggalkan. Oleh
karena itu di lingkungan sekolah menjadi tanggung jawab guru-guru untuk mengembangkan dan
menerapkan kebiasaan tata krama dan sopan santun yang berlaku umum dan di rumah merupakan
tanggung jawab orang tua.

Sepintas kilas kebiasaan tata krama dan sopan santun seperti mengucapkan kata permisi,
mohon izin, terima kasih, mohon maaf dan memberi salam merupakan hal yang kecil dan sepele.
Sesungguhnya kata- kata tersebut memiliki makna yang sangat dalam dan dapat menurunkan
emosi negative orang yang mendengarnya.

Kebiasaan yang menjadi tata krama dan sopan santun harus dapat menjadi dasar dalam
kegiatan pembelajaran bagi anak-anakusia dini sehingga dalam pelaksanaan pembelajaran anak
anak tidak merasa terintimidasi oleh teman-temannya. Hal ini disebabkan jika temanya ingin
meminjam sesuatu minta izin terlebih dahulu, jika ada kesalahan selalu disertai kata maaf dan
selalu mengucapkan terima kasih serta memberi salam kepada teman-temannya.

Berdasarkan hasil dari observasi, wawancara, dan dokumentasi, bahwa mengembangkan


rasa empati dengan teman yaitu selama proses pembelajaran kadangkadang anak-anak mau
menerima usulan atau sudut pandang teman-temannya. Guru menyikapi apabila ada anak-anak
tidak mau menerima sudut pandang anak lain dengan cara memberikan dukungan kepada
anakanak yang mau menerima sudut pandang temannya dengan memberikan pujian dan acungan
jempol. Terdapat juga diantara anakanak yang memiliki perasaan sensitive terhadap perasaan
anak-anak lainnya.

Dalam proses pembelajaran anak-anak mau mendengarkan anak-anak lainnya. Jika ada
anak yang memiliki perasaan empati dengan temannya dapat diketahui yaitu anak tersebut diam
saja, tidak mau berbicara serta wajahnya cemberut. Jika terdapat anak yang tidak mau
mendengarkan anak-anak lainnya terlebih dahulu suasana dalam kelasditenangkan.

Dalam usia dini seorang anak juga memiliki rasa empati dengan temannya. Perasaan
empati tersebut dapat bersifat positif maupun negatif. Menyikapi hal itu guru memiliki peran yang
penting mengembangkan perasaan empati anak dengan temannya serta memberikan penjelasan
mengenai perasaan empati yang cenderung bersifat negatif.

Guru harus menjelaskan apabila temannya bertindak negatif tidak mesti didukung karena
mendukung perbuatan yang salah dan keliru dapat merugikan diri sendiri. Dalam hal ini bukan
berarti tidak memiliki perasaan empati dengan teman tetapi harusmemandang segi positif dan
negatifnya. Perasaan empati anak relatif lebih cepat muncul jika ada teman akrabnya yang
mengalami pelecehan dari teman lainnya.

Anak yang memiliki rasa empati yang tinggi terhadap temannya biasanya memiliki
perasaan yang sensitif sehingga perlu diberikan pengertian oleh guru bahwa perasaan empati perlu
dimiliki setiap orang tetapi jangan sampai menyebabkan anak tersebut menjadi emosional dan
menanamkan perasaan dendam yang berkepanjangan. Oleh karena itu, rasa empati terhadap teman
harus dipilah-pilah berdasarkan konteks permasalahan yang ada sehingga tidak melebar dan
merembet pada hal-hal tidaksemestinya. Pemahaman ini perlu ditegaskanagar tidak
mengkultuskan seseorang itu jahat terus menerus.

Kebingungan dalam mengoptimalkan aspek-aspek perkembanga khususnya aspek


perkembangan sosial emosional dialami oleh kebanyakan orang tua, terutama ibu muda. Di
jelaskan oleh Suryana (Suryana, n.d.) perkembangan emosi adalah suatu keadaan yang
kompleks, dapat berupa perasaan ataupun getaran jiwa yang ditandai oleh perubahan biologis yang
muncul menyertai terjadinya suatu perilaku. Basic emotion dan bentuk-bentuk emosi yang umum
terjadi pada awal masa kanak-kanak, yaitu amarah, takut, cemburu, ingin tahu, iri hati, gembira,
sedih, dan kasih sayang. Sedang perkembangan sosial merupakan proses melatih kepekaan diri
terhadap rangsangan yang berhubungan dengan tuntutan sosial sesuai dengan norma, nilai, atau
harapan sosial.

Dengan kemajuan tehnologi, para ibu rumah tangga ini memperoleh kemudahan dalam
mendapatkan wawasan mengenai metode-metode dalam menstimulasi aspek perkembangan anak
usia dini. Tak jarang para ibu rumah tangga ini memilih metode kisah dalam menstimulasi aspek
perkembangan sosial emosional pada anak-anak mereka. Metode kisah ini mudah untuk dilakukan
oleh orang tua dan secara natural bisa dilakukan kapan saja. Dikemukakan oleh Nuryanto
(Nuryanto, n.d.) alasannya bahwa dengan menggunakan kisah dapat mengambil hikmah tanpa
merasa menggurui. Berbeda halnya ketika anak diceramahi dengan berbagai perintah yang boleh
dilakukan dan tidak dilakukan. Melalui kisah anak akan dapat berpikir tantang dampak yang
diakibatkan jika melakukan hal yang baik dan tidak baik. Kelebihan lain dengan kisah adalah dapat
bertahan relatif lama dalam ingatan anak. Meskipun sudah beberapa tahun, maka kisah yang
menginspirasi bagi anak aka bertahan dan dijadikan panduan dalam mereka bertindak maupun
bertingka laku.

Sesuai juga dengan yang dikatakan Irfangi (Irfangi, 2017) bahwa di antara metode yang
efektif dalam pembelajaran pendidikan agama Islam adalah metode kisah. Dalam metode ini
teknik yang digunakan adalah mengungkapkan peristiwa- peristiwa bersejarah yang bersumber
dari al-Qur'an dan mengandung nilai pendidikan moral, rohani, dan sosial, baik mengenai kisah
yang bersifat kebaikan, maupun kezaliman, atau ketimpangan jasmani-rohani, material dan
spiritual.
Penerapan metode kisah bisa dilakukan melalui pembacaan kisah setiap saat, walaupun
anak sedang bermain dan terlihat tidak mendengarkan secara seksama, apa yang kita sampaikan
akan selalu terekam pada otak anak. Berkisah bisa juga dibiasakan oleh orang tua pada waktu
sebelum tidur. Untuk anak-anak yang terbiasa dengan

kisah-kisah dari buku-buku yang telah disampaikan, diulang-ulang oleh orang tuanya,
mereka akan meminta secara mandiri kepada orang tuanya untuk berkisah setiap saat semau
mereka. Orang tua juga bisa mengarang kisah yang disesuaikan dengan nasihat yang akan di
sampaikan kepada anak. Martani (Martani & Psikologi, 2009) juga menyampaikan bahwa anak
berkembang melalui interaksi dengan lingkungan. Salah satu lingkungan yang berperan adalah
orang tua.

Dalam metode kisah orang tua harus memperhatikan aspek- aspek dalam berkisah. Seperti
yang disampaikan Ulum (Ulum, 2020) kisah tersebut memiliki kekhususan dalam
pertumbuhan anak, mengajak pada keutamaan dan menjauhi keburukan, memberi pengetahuan
dan informasi untuk membangun anak dalam pertumbuhannya, adanya keteladanan dari tokoh
kisah, peristiwa atau alur jalan ceritanya mudah difahami yang dibantu oleh cara mengisahkankan
dan intonasi yang menarik sehingga tidak membosankan, penyajian dan alur kisah yang
menarik akan mendorong anak-anak bersemangat untuk mendengarkannya.

Penerapan metode kisah dapat memberi contoh kepada anak usia dini mengenai perilaku
yang baik, diantaranya perilaku menolong, berbagi, hidup rukun dengan teman, saling menyayangi
dan bersama- sama belajar dengan teman tanpa bertengkar dan berebut. Tingkat usia kanak- kanak
merupakan kesempatan pertama yang sangat baik bagi orang tua untuk mengembangkan aspek-
aspek perkembangan terutama aspek sosial emosional yang akan berpengaruh pada masa depan
mereka. Penanaman nilai-nilai agama sebaiknya dilaksanakan kepada anak pada usia pra-sekolah,
sebelum mereka dapat berpikir secara logis dan memahami hal-hal yang abstrak serta belum dapat
membedakan hal yang baik dan buruk. Agar semenjak kecil sudah terbiasa dengan nilai- nilai
kebaikan dan dapat mengenal Tuhannya yaitu Allah SWT (Ice Aisah, 2019).

Anak yang bosan dengan metode kisah dan tergoda untuk belajar melalui media gadget
merupakan kendala yang dialami kebanyakan orang tua. Kendala lain dalam metode kisah adalah
orang tua yang terlalu sibuk dengan hal-hal lain seperti bekerja, sehingga membuat waktu berkisah
dengan anak kurang konsisten. Perlu keteguhan orang tua dalam mempertahankan penerapan
metode kisah ini sehari-sehari. Hal ini sejalan dengan yang disampaikan Martani (Martani &
Psikologi, 2009) pada tahun terakhir jumlah orang tua terutama ibu yang bekerja semakin
meningkat. Ketika orang tua merasa kelelahan sangat mungkin terjadi orang tua
mengenyampingkan waktu berkisah dengan anak dan memilih untuk beristirahat.

Orang tua yang menerapkan metode kisah merasakan efek dari berkisah itu sendiri seperti,
anak-anak yang mudah diatur dalam kebaikan, orang tua juga lebih mudah dalam mengendalikan
emosi anak, anak menjadi mandiri, mengetahui mana baik mana buruk, bersikap sopan, dan lain
sebagainya. Hewi (Hewi, 2020) juga menjelaskan, perkembangan sosial emosional dalam
pendidikan anak usia dini memiliki beberapa indikator yang terbagi dalam tiga aspek yaitu aspek
kesadaran diri, aspek rasa tanggung jawab untuk diri sendiri dan orang lain serta aspek perilaku
prososial.

Metode kisah akan memudahkan anak mengembangkan Sosial emosionalnya apabila


diimbangi dengan interaksi mereka dengan orang lain. Jika yg diterapkan metode kisah saja,
apalagi dilakukan sendiri antara orang tua dan anak, maka kemampuan sosial emosionalnya belum
terlalu terdukung oleh metode ini. Karena Sosial emosional perlu dibentuk melalui interaksi
langsung antara anak dengan interaksi lingkungannya. Seperti yang disampaikan Nurmalitasari
(Nurmalitasari, 2015) perkembangan sosial anak sangat dipengaruhi oleh proses perlakuan atau
bimbingan orang tua terhadap anak dalam mengenalkan berbagai aspek kehidupan sosial atau
norma dalam masyarakat. Proses ini biasanya disebut dengan sosialisasi. Tingkah laku
sosialisasi adalah sesuatu yang dipelajari, bukan sekedar hasil dari kematangan. Perkembangan
sosial anak diperoleh selain dari proses kematangan juga melalui kesempatan belajar dari respons
terhadap tingkah laku. Metode kisah yang diterapkan sekaligus dengan interaksi anak terhadap
lingkungan, maka perkembangan sosial emosional akan sangat mudah untuk tercapai secara
optimal.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dilakukan oleh peneliti secara
umum dapat disimpulkan bahwa perkembangan sosial emosional anak usia 5-6 tahun di Taman
Kanak-Kanak Islamiyah Pontianak Tenggara meliputiperkembangan sikap kooperatif, sikap
toleran, eksperesi emosi diri, tata krama dan sopan santun dan rasa empati dengan teman cukup
memuaskan.

Secara khusus dapat diambil kesimpulan, bahwa (1) Perkembangan sikap kooperatif
dengan teman pada aspek maubekerja sama dengan teman, saling membantu satu sama lain dan
tidak melakukan pertentangan satu dengan yang lainnya masih perlu diperlu bimbingan dan
pengarahan dari guru. Sebelum memulai melaksanakan tugas-tugas dari proses pembelajaran guru
selalu menginstruksikan agar anak-anak menyelesaikan pekerjaannya bersama dengan teman. (2)
Perkembangan sikap toleransi dengan teman pada aspek sikap tenggang ras, dapat menahan emosi
dan keinginan dan membiarkan adanya perbedaan pendapat menjadi lebih baik karena berhasilnya
pengarahan guru. Anak-anak sangat patuh dan mengikuti apa yang disaran dan diarahkan guru. (3)
Mengeksperesikan emosi diri pada aspek ekspresi emosi gembira, marah, takut dan sedih dalam
proses pembelajaran sangat dominan menunjukkan esksperesi gembira. Ekspresi emosi marah
takut dan sedih jarang terjadi dan kalau ada cepat diselesaikan guru. (4) Mengenal tata krama dan
sopan pada aspek mengucapkan tolong dan terima kasih, izin dulu baru ambil, menutup mulut
ketika bersin atau batuk dan mengucapkan permisi selalu dilakukan oleh anak-anak. Kebiasaan ini
merupakan materi wajib bagi guru untuk disampaikan kepada anak pada setiap proses
pembelajaran. (5) Mengembangkan rasa empati dengan pada aspek mau bekerja sama dengan
teman, saling membantu satu sama lain dan tidak melakukan pertentangan satu dengan lainnya
lebih dominan diprakarsai oleh guru, yaitu dalam proses pembelajaran anak-anak mau
mendengarkan anak-anak lainnya dan sudah disepakati bersama pada memulai kegiatan
pembelajaran di dalam kelas.

Saran

Beberapa saran yang dapat dijadikansebagai bahan pertimbangan bagi pihakpihak yang
berkepentingan mengenai perkembangan sosial emosional anak 5-6 tahun di TK MNU Masyithoh
Bongkok. yaitu (1) Bagi Guru (a) Hendaknya guru selalu menjelaskan terlebih dahulu sisi positif
dan negatif dari sikap kooperatif sehingga anak tidak salah penafsiran untuk mengembangkan
sikap kooperatif dengan teman, karena hal negatif tidak perlu untuk bersikap kooperatif (b)
Hendaknya guru menjelaskan kepada anak mengapa perlu adanya sikap toleran dengan teman. Hal
ini dilakukan agar sikap toleran yang dikembangkan anak semata-mata untuk tujuan yang baik. (c)
Hendaknya guru membiarkan anak mengekspresikan emosi diri, baik emosi bergembira, emosi
marah, emosi takut dan emosi sedih. Kemudian guru menjelaskan apa manfaat dan kerugian jika
emosi tersebut terus menerus berkembang. (d) Hendaknya dalam mengenalkan tata krama dan
sopan santun guru harus mengajarkan secara kontinyu, memberikan contoh konkrit dan menyuruh
anak mempraktekkan ajaran tata krama dan sopan santun yang berlaku umum. (e) Dalam
mengembangkan rasa empati dengan teman guru menjelaskan rasa empati yang perlu
dikembangkan serta menyarankan agar perasaan empati tersebut mengganggu perasaan terlalu
jauh. (2) Bagi Anak, yaitu guru lebih memperhatikan anak yang nangis jika ditinggalkan orangtua
yang mengantarnya agar tidak mengganggu dan menjadi pusat perhatian anak-anak lainnya. (3)
Bagi Peneliti Lainnya, yaitu supaya diperoleh hasil penelitian yang lebih akurat seharusnya peneliti
menggunakan sampel dalam jumlah yang besar.

Berdasarkan temuan dalam penelitian ini dapat disimpulkan bahwa stimulasi aspek
perkembangan sosial emosional melalui metode kisah memberikan dampak yang baik walaupun
belum optimal karena beberapa kendala yang dialami orang tua dalam menerapkan metode kisah
ini. Perkembangan sosial emosional dalam pendidikan anak usia dini memiliki beberapa indikator
yang terbagi dalam tiga aspek yaitu aspek kesadaran diri, aspek rasa tanggung jawab untuk diri
sendiri dan orang lain serta aspek perilaku prososial.
DAFTAR RUJUKAN

Burhan Bungin. (2009). Analisis Penelitian Data Kualitatif. Jakarta: Raja Grafindo.

Hurlock, Elizabeth B. (1978). Perkembangan Anak Jilid 1. (Penerjemah Meitasari Tjandrasa).


Jakarta: Erlangga.

Izzaty, Rita Eka. dkk. (2008). Perkembangan Peserta Didik.Yogyakarta: UNY Press.
Kemendiknas. (2012). Pedoman Pendidikan Karakter Pada Anak Usia Dini. Jakarta: Departemen
Pendidikan Nasional.Nugraha, Ali. (2011). Metode Pengembangan Sosial Emosional. Jakarta:
Universitas Terbuka.

Ramli, M. (2005). Pendampingan Perkembangan Anak Usia Dini. Jakarta: Dirjen Dikti PPLPTK

Departemen P dan K.

Adrianindita, S. (2015). 32 BELIA 4 (2) (2015) UPAYA MENINGKATKAN


KETERAMPILAN SOSIAL- EMOSIONAL ANAK USIA 2-3 TAHUN MELALUI
METODE BERCERITA DI KB SITI SULAECHAH 04 SEMARANG.

http://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/belia

Hewi, L. (2020). Pengembangan Sosial Emosional Anak Melalui Permainan


Dadu. 9(1), 72–81.

Ice Aisah. (2019). Strategi Penumbuhan Perilaku Prososial Anak Usia Dini Melalui Metode
Bercerita (Studi Kasus Di Pendididkan Anak Usia Dini (Paud) Matahari Rw X1V Kelurahan
Citeureup Kecamatan Cimahi Utara Kota Cimahi). Journal of Chemical Information and
Modeling, 1(2), 2252–4738.

Irfangi, M. (2017). Implementasi Metode Kisah dalam Pembelajaran Akidah Akhlak di Madrasah
Aliyah. Jurnal Kependidikan, 5(1), 87–104. https://doi.org/10.24090/jk.v5i1.1255

Martani, W., & Psikologi, F. (2009). Metode Stimulasi dan Perkembangan Emosi Anak Usia
Dini. Juni, 39(1), 112– 120.
Membangun Kecerdasan Emosi dan Sosial Anak Sejak Usia Dini
- Google Books. (n.d.). Retrieved December 7, 2021, from
https://www.google.co.id/books/edition/Membangun_Ke
cerdasan_Emosi_dan_Sosial_An/V9oWEAAAQBAJ?hl

=id&gbpv=1&dq=S OSIAL+EMOSIONAL&printsec=frontcover

Nurmalitasari, F. (2015). Perkembangan Sosial Emosi pada Anak Usia Prasekolah. Buletin
Psikologi, 23(2), 103. https://doi.org/10.22146/bpsi.10567

Nuryanto, S. (n.d.). BERKISAH METODE PENGUATAN NILAI KARAKTER ISLAMI


PADA ANAK USIA DINI.

Suryana, D. (n.d.). Pendidikan Anak Usia Dini Stimulasi dan Aspek Perkembangan Anak
by Dr. Dadan Suryana (z-lib.org).pdf.

Ulum, B. (2020). METODE KISAH PENDIDIKAN ANAK USIA DINI DALAM HADITS
NABI.

Ta’allum: Jurnal Pendidikan Islam, 8(2), 202–221.


https://doi.org/10.21274/taalum.2020.8.2.202-221

Anda mungkin juga menyukai