Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pertusis (batuk rejan/whooping cough) adalah penyakit saluran
pernapasan atas akut yang disebabkan oleh Bordetella pertussis, sebuah
bakteri coccobacilus gram negatif dengan host manusia. Pada tahun 1696,
Sydenham menamai Pertusis dari bahasa latin yang artinya “batuk yang
intensif”. Sebelum vaksin ditemukan, penyakit ini sering sekali
menyerang anak-anak di bawah usia 10 tahun.( Sydenham, 1696)
Batuk rejan atau pertusis merupakan batuk yang sangat menular
akibat infeksi bakteri Bordetella pertussis di saluran pernapasan. Kondisi
ini dapat berlangsung selama 4-8 minggu sehingga dikenal juga dengan
sebutan batuk seratus hari. Selain batuk berkepanjangan, pertusis juga
disertai dengan tarikan napas mengi (berbunyi ngik-ngik). Mulanya batuk
berlangsung ringan, tapi semakin bertambah parah dan dapat disertai
beberapa gangguan kesehatan lainnya, seperti hidung tersumbat, mata
berair, tenggorokan kering, dan demam. Pertusis dapat menular dengan
cepat umumnya di antara anak-anak dan remaja dan berpotensi
menimbulkan komplikasi atau dampak kesehatan yang berbahaya.
Untungnya, Anda bisa mencegah batuk rejan atau pertusis dengan
memberikan vaksin DPT (difteri, pertusis, dan tetanus).
Anak-anak dan balita adalah kelompok usia yang paling rentan
terjangkit batuk rejan. Terutama bayi berumur 12 bulan dan anak-anak
kecil berusia 1-4 tahun yang tidak melakukan vaksinasi. Dalam riset yang
dipublikasikan The Lancet tahun 2017, terdapat 24,1 juta kasus batuk
rejan per tahunnya di seluruh dunia yang umumnya diderita oleh anak-
anak. Badan Kesehatan Dunia (WHO), mengestimasi setidaknya terdapat
300.000 kasus kematian pada anak di negara berkembang yang
disebabkan oleh pertusis setiap tahunnya. Akan tetapi, bayi yang masih
berumur kurang dari 12 bulan belum bisa mendapatkan vaksin pertusis.
Oleh sebab itu, ia lebih mungkin terkena batuk rejan jika semasa
mengandung ibunya tidak melakukan vaksinasi. Meskipun batuk pertusis
lebih umum dialami anak-anak, penyakit ini juga mugkin saja terjadi pada
orang dewasa.
Pertusis menyebar dengan mudah dari orang ke orang terutama
melalui tetesan yang dihasilkan oleh batuk atau bersin. Penyakit ini paling
berbahaya pada bayi, dan merupakan penyebab penyakit dan kematian
yang signifikan pada kelompok usia ini.
Gejala pertama umumnya muncul 7 sampai 10 hari setelah infeksi.
Mereka termasuk demam ringan, pilek dan batuk, yang dalam kasus-
kasus khas secara bertahap berkembang menjadi batuk rejan diikuti oleh
rejan (karenanya nama umum batuk rejan). Pneumonia adalah komplikasi
yang relatif umum, dan kejang serta penyakit otak jarang terjadi. Orang
dengan pertusis paling menular sampai sekitar 3 minggu setelah batuk
dimulai, dan banyak anak yang tertular infeksi mengalami batuk yang
berlangsung 4 sampai 8 minggu. Antibiotik digunakan untuk mengobati
infeksi.
Pada makalah ini akan dijelaskan tentang Pertusis Pada Anak serta
bagaimana asuhan keperawatan Pertusis Pada Anak. Pertusis adalah suatu
infeksi akut saluran nafas yang mengenai setiap pejamu yang rentan,
tetapi paling sering dan serius pada anak-anak. (Behrman, 1992).
Penyakit ini ditandai dengan demam dan perkembangan batuk
semakin berat. Batuk adalah gejala khas dari batuk rejan atau pertusis.
Seranagn batuk terjadi tiba-tiba dan berlanjut terus tanpa henti hingga
seluruh udara di dalam paru-paru terbuang keluar. Akibatnya saat napas
berikutnya pasien pertusis telah kekurangan udara shingga bernapas
dengan cepat, suara pernapasan berbunyi separti pada bayi yang baru lahir
berumur kurang dari 6 bulan dan pada orang dewasa bunyi ini sering tidak
terdengar. Batuk pada pertusis biasanya sangat parah hingga muntah-
muntah dan penderita sangat kelelahan setelah serangan batuk.
B. Rumusan Masalah

Rumusan masalah pada makalah ini adalah hal-hal apa saja yang
berkaitan dengan asuhan keperawatan pertusis pada anak.

C. Tujuan Penulisan
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui konsep pertusis dan asuhan keperawatan
pertusis pada anak.
2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui definisi dan etiologi dari pertusis.
b. Untuk mengetahui patofisiologi dan PATHWAY dari
pertusis.
c. Untuk mengetahui manifestasi klinis dan penatalaksanaan
dari pertusis.
d. Untuk mengetahui pencegahan dan komplikasi dari pertusis.
D. Metode Penulisan
Adapun metode penulisan yang digunakan dalam pembuatan makalah
ini adalah dengan menggunakan metode kepustakaan yaitu dengan
mencari sumber dari berbagai literature baik itu buku maupun dari
berbagai media elektronik.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Pertusis adalah infeksi berat saluran napas yang disebabkan oleh Bordetella
pertussis. Penularan penyakit ini melalui droplet pasien pertusis atau individu
yang belum diimunisasi/imunisasi tidak adekuat, dengan attack rate mencapai
angka 100% (Kilgore et al., 2016).

Masa inkubasi berlangsung selama 7 sampai 10 hari. Gejala klasik pertusis


adalah batuk rejan (whooping cough) yang ditandai dengan batuk yang cepat
dan ekspulsi udara paru yang cepat dimana pasien kemudian dipaksa untuk
menghirup udara dengan suara keras (whooping). Pada bayi dan anak-anak
perjalanan penyakit dibagi menjadi 3 fase berturut-turut setelah infeksi dan
masa inkubasi yaitu fase kataral, paroksismal dan konvalesen. Masing-masing
fase berlangsung selama 1-2 minggu dan biasanya tidak sepenuhnya pulih
selama 2-3 bulan (Kilgore et al., 2016).

B. Etiologi
Bordetella pertussis adalah bakteri gram-negatif, kokobasil aerobik pleomorfik
yang tumbuh secara optimal pada kedua media agar Bordet-Gengou atau
Regan-Lowe antara 35°C dan 37°C. B. pertussis adalah bakteri fastidious,
nonmotile, catalase- and oxidative positive spesies. B. pertussis adalah kuman
yang spesifik menginfeksi manusia. Organisme ini menghasilkan toksin yang
merusak epitel saluran pernapasan dan memberikan efek sistemik berupa
sindrom yang terdiri dari batuk yang spasmodik dan paroksismal disertai nada
mengi karena pasien berupaya keras untuk menarik napas, sehingga pada akhir
batuk disertai bunyi yang khas (Kilgore et al., 2016).

C. Pathogenesis Pertusis
Pertusis dihasilkan dari interaksi yang terkoordinasi dari beberapa faktor
virulensi (Kilgore et al., 2016):
1. Toksin B. pertussis seperti pertussis toxin (PT), adenylate cyclase toxin
(AC), dermonecrotic toxin (DNT), dan tracheal cytotoxin (TCT).
2. Struktur permukaan B. pertussis seperti filamentous hemagglutinin (FHA),
fimbriae (FIM), pertactin (PRN), the type III secretion system, and
lipopolysaccharide (LPS), and metabolic proteins (e.g., BrkA, BapC, and
BatB).
3. Pada B. pertussis gen bvgAS positif mengontrol ekspresi beberapa faktor
virulensi termasuk PT, AC, DNT, FHA, TcfA, pertactin,
FIM, BrkA, BipA, BcfA, and Vag8. Dua komponen sistem transduksi sinyal
BvgAS pada B. pertussis memainkan peranan penting dalam patogenesis
pertusis.

Patogenesis B. pertusis dipengaruhi oleh perubahan lingkungan seperti


perubahan suhu yang menentukan ekspresi faktor virulensi didalam tubuh
manusia (host). Selama transmisi dari orang ke orang, B. pertussis berpindah
dari suhu lingkungan lokal/sekitar ke suhu tubuh yang lebih tinggi yang
muncul untuk mempengaruhi regulasi gen bvgA dan bvgS. Sistem regulasinya
dikodekan oleh bvgA dan bvgS yang dapat diaktifkan oleh suhu (seperti sulfat
SO4 dan nikotinat) dan kemudian meregulasi ekspresi faktor virulensi B.
pertussis dan E. coli. Mekanisme virulensi B. pertusis terdiri dari kaskade
kejadian yang diinisiasi oleh adheren/perlekatan bakteri melalui FHA dan
fimbriae ke epitel trakea dan paru-paru sebagai langkah utama yang penting.
Setelah terjadi perlekatan, sel B. Pertusis bermultiplikasi secara lokal,
mengeluarkan toksin, melawan mekanisme pertahanan tubuh host (misalnya,
mukosiliar clearance, peptida antimikroba, dan sel-sel inflamasi), dan
menyebabkan kerusakan lokal pada saluran pernapasan bagian atas dan bawah
dengan manifestasi sistemik. Kerusakan pada saluran napas dapat berupa
menurunnya pergerakan silia dan nekrosis epitel sehingga terjadi penumpukan
mukus yang menyebabkan obstruksi jalan napas (Kilgore et al., 2016).
D. Patofisiologi
Percikan droplet infeksius dari penderita pertusis dapat menularkan penyakit
kepada orang disekitarnya terutama pada bayi yang belum mendapatkan
imunisasi pertusis. Pada orang yang terinfeksi, masa inkubasi berlangsung 6-12
hari sampai munculnya gejala. Bakteri yang masuk melalui saluran pernapasan
bagian atas akan menempel pada sel-sel epitel bersilia yang diperantarai oleh
FHA dan fimbriae bakteri. Setelah terjadi perlekatan, sel B. Pertusis
bermultiplikasi secara lokal dan menyebar ke seluruh permukaan sel epitel
saluran napas disertai dengan pengeluaran toksin. Adenylate cyclase toxic
dapat menyebabkan kerusakan epitel saluran napas dan hiperplasia jaringan
limfoid sehingga terjadi pengeluaran mukus. Sitokin trakea dapat
menyebabkan stasis silia sehingga terjadi gangguan pengeluaran benda asing
termasuk mukus, sehingga merangsang refleks batuk dan terjadi batuk yang
terus-menerus. Ketika batuk, posisi diafragma akan turun menyebabkan
penekanan pada abdomen dan dapat terjadi muntah ketika batuk. Selain itu,
kurangnya oksigen ketika batuk dapat menyebabkan hipoksia sehingga timbul
sianosis. Toksin pertusis yang dikeluarkan dapat merangsang pengeluaran
histamin yang dapat merangsang pusat batuk dan menginduksi leukosit
sehingga terjadi leukositosis (Bocka, 2016).

E. Manifestasi Klinis
Perjalan penyakit pertussis berlangsung selam 6-8 minggu atau lebih dengan
masa inkubasi 6-20 hari. Perjalan klinis penyakit ini berlangsung dalam 3
stadium:
1. Stadium Kataral
Stadium ini berlangsung 1-2 minggu yang ditandai dengan gejala yang
menyerupai infeksi saluran napas bagian atas seperti rinore dengan lendir
yang cair dan jernih, demam ringan, malaise, batuk ringan, lakrimasi dan
injeksi konjungtiva. Pada stadium ini diagnosis pertusis belum bisa
ditegakan karena sulit dibedakan dengan common cold. Sejumlah besar
organisme tersebar dalam droplet dan anak sangat infeksius, pada tahap ini
kuman mudah diisolasi (IDAI, 2011; Kilgore et al., 2016)
2. Stadium Paroksimal
Frekuensi dan derajat batuk bertambah, terdapat pengulangan 5-10 kali
batuk kuat selama ekspirasi yang diikuti oleh usaha inspirasi masif yang
mendadak dan menimbulkan bunyi melengking (whoop). Beberapa
serangan paroksismal dapat terjadi pada waktu malam hari dan
frekuensinya meningkat pada minggu ke 1-2 pada fase ini sampai minggu
ke 2-3. Selain adanya episode batuk paroksismal, stadium ini juga ditandai
dengan adanya muntah setelah batuk (post-tussive vomiting), sianosis, mata
menonjol, lidah menjulur, lakrimasi, hipersalivasi, distensi vena leher
selama serangan. Episode batuk paroksismal dapat dipicu oleh pemberian
makan (bayi), menangis dan tertawa serta dapat terjadi lagi sampai mucous
plug pada saluran napas menghilang (IDAI, 2011; Kilgore et al., 2016)
3. Stadium Konvalesens
Fase penyembuhan lamanya kira-kira 1-2 minggu. Pada fase ini derajat dan
keparahan batuk paroksismal berkurang, meskipun dapat bertahan hingga 6
minggu. Selain itu, fase ini ditandai pula dengan berhentinya whoop dan
muntah serta nafsu makan timbul kembali (IDAI, 2011; Kilgore et al.,
2016).

F. Pemeriksaan Diagnostik
1. Anamnesa dan pemeriksaan fisik. Perlu ditanyakan adanya kontak dengan
penderita pertusis, gejala khas yaitu batuk paroksismal yang diikuti suara
whoop saat inspirasi dan sering muntah, dan riwayat imunisasi (CDC,
2006; IDAI, 2011).
2. Pemeriksaan sputum.
3. Pemeriksaan ELISA dipakai untuk menentukan IgM, IgG, dan IgA serum
terhadap FHA dan PT. Nilai IgM serum FHA dan PT menggambarkan
respons imun primer baik disebabkan oleh penyakit atau vaksinasi. IgG
toksin pertusis merupakan tes yang paling sensitif dan spesifik untuk
mengetahui infeksi alami dan tidak tampak setelah imunisasi pertusis.
G. Tatalaksana
1. Antibiotic
Antibiotik golongan makrolid (misalnya, azithromycin, clarithromycin,
atau azitromisin) terbukti efektif dan merupakan andalan pengobatan untuk
pasien dengan pertusis. Efektivitas terapi antibiotik tergantung pada fase
pertusis di mana terapi dimulai. Pada 3 minggu pertama (fase kataral)
adalah waktu yang optimal untuk pemberian antibiotik untuk memperbaiki
gejala pertusis dan membasmi B. pertusis (Kilgore et al., 2016).

2. Suportif umum
Berikan oksigen pada anak bila pernah terjadi sianosis atau berhenti nafas
atau batuk paroksismal berat atau yang saturasi oksigennya rendah <90%
pada oksimetri. Letakan nasal prongs pada lubang hidung, atur aliran
oksigen 1-2 liter per menit (0.5 liter per menit untuk bayi muda)
(WHO,2013).

Selama batuk paroksismal, letakan anak dengan posisi kepala lebih rendah
dalam posisi telungkup atau miring untuk mencegah aspirasi muntahan dan
membantu pengeluaran sekret. Bila anak mengalami episode sianotik, isap
lendir dari hidung dan tenggorokan dengan lembut dan hati-hati. Bila
apnea, segera bersihkan jalan nafas, beri bantuan pernafasan manual atau
dengan pompa ventilasi dan berikan oksigen (WHO, 2013).

H. Pencegahan
1. Imunisasi pasif yaitu diberikan human hyperimmune globulin.
2. Imunisasi aktif yaitu dengan vaksinasi. Ada dua vaksin yang digunakan
saat ini yaitu acelllular pertusis vaksin (aP) dikombinasikan dan whole cell
pertusis vaksin (wP) dengan difteri dan tetanus toksoid menjadi DTaP dan
DTwP. DTwP merupakan vaksin DPT yang berisi sel bakteri pertusis utuh
yang tersedia sejak tahun 1940, namun terkait dengan alasan keamanan,
maka dilakukan pengembangan vaksin pertusis asellular (aP). Remaja usia
11-18 tahun (terutama usia 11-12 tahun) harus mendapat dosis tunggal
Tdap 0,5 mL i.m. di daerah m. deltoideus. Kontraindikasi bila terdapat
riwayat reaksi anafilaksis terhadap komponen vaksin dan ensefalopati
(koma, kejang lama) dalam 7 hari pemberian vaksin pertusis (Klein et al.,
2013).

Pencegahan penyebarluasan penyakit dilakukan dengan cara (CDC, 2007) :

1. Isolasi : pasien diisolasi (terutama bayi) selama 4 minggu, diutamakan


sampai 5-7 hari selesai pemberian antibiotik. Gejala batuk paroksismal
setelah terapi antibiotik tidak berkurang, namun terjadi penurunan transmisi
setelah pemberian terapi hari ke-5. Atau 3 minggu setelah batuk paroksismal
reda bilamana pasien tidak mendapatkan antibiotik.

2. Karantina : kasus kontak erat terhadap kasus yang berusia <7 tahun, tidak
diimunisasi, atau imunisasi tidak lengkap, tidak boleh berada di tempat
publik selama 14 hari atau setidaknya mendapat antibiotik selama 5 hari dari
14 hari pemberian secara lengkap.

3. Disinfeksi : direkomendasikan untuk melakukan pada alat atau ruangan


yang terkontaminasi sekret pernapasan dari pasien pertusis.

I. Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
a. Identitas Klien
Nama, TTL, umur, alamat, agama, suku bangsa, dll.
Diagnosa : Pertusis
b. Keluhan utama
Batuk rejan.
c. Riwayat kesehatan
1) Riwayat penyakit sekarang
2) Riwayat penyakit dahulu
3) Riwayat penyakit keluarga
d. Observasi dan pemeriksaan fisik
1) Observasi tanda-tanda vital TD, N, RR, S.
2) Pemeriksaan Fisik
a) Pernapasan
Bentuk dada : normal
o Pola nafas : tidak teratur
o Suara napas : ronchi
o Batuk : ya, ada sekret
o Retraksi otot bantu napas : ada
b) Kardiovaskular
o Irama jantung : regular
o Nyeri dada : tidak
o Bunyi jantung ; normal
o Akral : panas
c) Persyarafan
o Keluhan pusing (+)
o Gangguan tidur (+)
o Penglihatan (mata) : anemia
o Pendengaran (telinga) : tidak ada gangguan
o Penciuman (hidung) : tidak ada gangguan
d) Perkemihan
o Kebersihan : bersih
o Bentuk alat kelamin : normal
o Uretra : normal
e) Pencernaan
o Nafsu makan : menurun
o Porsi makan : tidak habis, 3 kali sehari
o Mulut : bersih
o Mukosa : lembap
f) Musculoskeletal
Kemampuan pergerakan sendi : bebas

2. Diagnosa Keperawatan
a. Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan peningkatan
produksi mucus.
b. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan tidak adekuatnya
ventilasi.
c. Hyperthermy berhubungan dengan infeksi salurn nafas.
d. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan ketidakseimbangan
perfusi-ventilasi.
e. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan umum.
f. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan intake klien yang
kurang.
g. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
mual muntah.

3. Intervensi

No. Diagnosa NIC NOC


1. Bersihan jalan Airway management  Status pernafasan :
napas tidak efektif ventilasi
b/d peningkatan  Buka jalan nafas  Status pernafasan :
produksi mucus.  Posisikan klien potensi jalan nafas
untuk  Control aspirasi
memaksimalkan
ventilasi
 Identifikasi klien
perlunya
pemasangan alat
jalan nafas buatan
 Keluarkan secret
dengan batuk atau
suction
 Auskultasi suara
nafas
 Atur intake cairan.
 Monitor respirasi
No. Diagnosa NIC NOC
dan status oksigen

2. Pola napas tidak Airway management  Status pernafasan :


efektif b/d tidak ventilasi
adekuatnya  Buka jalan nafas  Status pernafasan :
ventilasi.  Posisikan klien potensi jalan nafas
untuk  Control aspirasi
memaksimalkan
ventilasi
 Identifikasi klien
perlunya
pemasangan alat
jalan nafas buatan
 Keluarkan secret
dengan batuk atau
suction
Terapi oksigen

 Bersihkan mulut,
hidung dan secret
trakea
 Pertahankan jalan
nafas yang paten
 Monitor aliran
oksigen
 Observasi adanya
tanda – tanda
hipoventilasi
 Monitor adanya
kecemasan pasien
terhadap oksigenasi
Management TTV

 Monitor TTV
 Catat adanya
fluktuasi TD
 Monitor TTV saat
pasien berbaring,
duduk atau berdiri
 Monitor TTV
No. Diagnosa NIC NOC
sebelum, selama
dan setelah aktifitas
 Monitor suhu,
warna dan
kelembaban kulit
 Identifikasi
penyebab perubahan
TTV

3. Hypertermy b/d Fever threathment Termoregulasi:


infeksi saluran  Suhu tubuh dalam
nafas.  Monitor suhu rentang normal
sesering mungkin  Nadi dan RR dalam
 Monitor warna dan rentang normal
suhu kulit
 Monitor TTV
 Monitor penurunan
tingkat kesadaran
 Monitor intake dan
output
 Berikan antipiretik
 Kompres pada lipat
paha dan aksila
Monitor TTV

 Monitor TTV
 Catat adanya
fluktuasi TD
 Monitor TTV saat
pasien berbaring,
duduk atau berdiri
 Monitor TTV
sebelum, selama dan
setelah aktifitas
 Monitor suhu, warna
dan kelembaban kulit
 Identifikasi penyebab
perubahan TTV

4. Gangguan Airway management  Status respirasi :


No. Diagnosa NIC NOC
pertukaran gas pernapasan normal
berhubungan  Status respirasi :
dengan  Buka jalan nafas ventilasi normal
ketidakseimbangan  Posisikan klien untuk  TTV status normal
perfusi-ventilasi. memaksimalkan
ventilasi
 Identifikasi klien
perlunya pemasangan
alat jalan nafas
buatan
 Keluarkan secret
dengan batuk atau
suction
Monitor respirasi

 Monitor rata – rata,


kedalaman, irama dan
usaha respirasi
 Catat pergerakan
dada, kesimetrisan,
penggunaan otot
bantu pernasafan
 Monitor suara nafas
 Monitor pola nafas :
bradipnea, takipnea,
kussmual,
hiperventilasi, dhyna
stokes, dll.
 Catat lokasi
 Tentukan kebutuhan
suction

5. Intoleransi aktivitas Terapi aktivitas Toleransi aktivitas


berhubungan
dengan kelemahan  Menentukan
umum. penyebab intoleransi
aktivitas
 Berikan periode
aktivitas selama
beraktivitas
No. Diagnosa NIC NOC
 Minimalkan kerja
kardiovaskular
 Pastikan perubahan
posisi klien secara
perlahan dan monitor
gejala intoleransi
aktivitas
 Monitor intake
nutrisis untuk
memastikan
kecukupan sumber
energy
 Ajarkan pada klien
bagaimana
menggunakan teknik
mengontrol
pernafasan ketika
beraktivitas

6. Kekurangan Management cairan Keseimbangan volume


volume cairan b/d cairan
intake klien yang  Monitor BB/hari
kurang.  Pertahankan intake
dan output yang
akurat
 Monitor status hidrasi
(membrane mukosa)
yang adekuat
 Monitor intake dan
output
 Monitor status nutrisi
 Monitor status
hemodinamik

7. Ketidakseimbangan Management nutrisi Status nutrisi : intake


nutrisi kurang dari makanan dan cairan
kebutuhan tubuh  Kaji adanya alergi  BB sesuai dengan
berhubungan makanan TB
dengan mual  Anjurkan pasien  Tidak ada tanda
muntah untuk meningkatkan malnutrisi
 Tidak terjadi
No. Diagnosa NIC NOC
intake Fe penurunan BB yang
 Berikan substansi berarti
gula Mampu
mengidentifikasi
 Anjurkan pasien
kebutuhan nutrisi
untuk meningkatkan
protein dan vitamin C
 Diet tinggi serat
 Berikan makanan
kesukaan dan terpilih
 Monitor jumlah
nutrisi dan
kandungan kalori
Monitor nutrisi

 Ukur BB pasien
 Monitor adanya
penurunan BB
 Monitor mual muntah
 Monitor kadar
albumin, total
protein, Hb, dan Ht.
 Monitor makanan
kesukaan
 Monitor kalori dan
intake nutrisi
BAB III

SARAN DAN KESIMPULAN

A. Kesimpulan
Pertusis adalah infeksi berat saluran napas yang disebabkan oleh Bordetella
pertussis. Penularan penyakit ini melalui droplet pasien pertusis atau individu
yang belum diimunisasi/imunisasi tidak adekuat, dengan attack rate mencapai
angka 100% (Kilgore et al., 2016).

Perjalan penyakit pertussis berlangsung selam 6-8 minggu atau lebih dengan
masa inkubasi 6-20 hari. Penyakit ini ditandai dengan pilek, rasa lelah, demam,
dan diikuti whoop (batuk yang berbunyi nyaring).

Cara terbaik untuk mencegah pertusis (batuk rejan) untuk bayi, anak-anak,
ataupun dewasa adalah dengan melakukan vaksinasi. Selain itu, kita juga harus
menjaga diri dari orang yang terinfeksi pertusis. Di Indonesia, vaksin yang
direkomendasikan untuk bayi dan anak-anak adalah vaksin DPT. Vaksin
tersebut merupakan kombinasi vaksin yang berguna untuk melindungi tubuh
dari tiga jenis penyakit, yaitu difteri, pertusis, dan tetanus.

B. Saran
Sebagai perawat diharapkan mampu untuk melakukan asuhan keperawatan
terhadap penderita pertussis. Sering kali penderita pertussis disertai komplikasi.
Perawat juga dapat berperan sebagai pendidik dalam melakukan penyuluhan
mengenai pentingnya imunisasi dilakukan sesuai program, selain itu perawat
harus mampu memberikan pengetahuan pada orang tua mengenai penyakit
pertussis secara jelas dan lengkap terutama mengenai manifestasi, pencegahan
dan penanganannya.

DAFTAR PUSTAKA
Bocka J.J. 2016. Pertussis. Available at :
http://emedicine.medscape.com/article/967268-overview

Kilgore P.E., Abdulbaset M.S., Marcus J.Z. dan Heinz-Josep S. 2016. Pertussis :
Microbiology, Diasease, Treatment and Prevention. American Society For
Microbiology 29(3) : 449-86

Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2011. Pedoman Pelayanan Medis Jilid II. Jakarta :
Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia

World Health Organization. 2013. Guidlines for The Management of Common


Childhood Illnesses. Geneva : WHO Press

Centers for Disease Control and Prevention. 2007. Diphtheria, Tetanus, and
Pertussis (DTaP). Vaccine Information Statements Vol 24 : 1-2

Anda mungkin juga menyukai