“SYARI’AH”
Oleh : Kelompok 6
Alhamdulillah segala puji dan syukur ditujukan semata-mata kepada Allah pencipta
dan pemelihara seluruh alam, yang telah menerangi hati hambanya yang taqwa dengan nur
(cahaya) yang mendekatkan kepada-Nya. Sehingga kami dapat menyelesaikan tugas
pembuatan makalah Pendidikan Agama Islam dengan judul “Syari’ah ”.
Shalawat serta salam tetap tersanjungkan kepada junjungan kita Nabi Besar
Muhammad SAW yang mana beliaulah yang membawa umatnya dari zaman jahiliyah
menuju zaman islamiyah yakni agama islam.
Dengan selesainya tugas ini, maka harapan kami semoga makalah ini dapat
memberikan suatu gambaran tentang materi Pendidikan Agama Islam. Kami sadar bahwa
keberhasilan kami dalam menyelesaikan makalah ini bukan hanya karena usaha kami, namun
dengan adanya kerjasama yang baik dalam pelaksanaan dan penyusunan makalah ini.
Akhir dari penutup pengantar, kami berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat
khususnya pada diri kami pribadi dan juga para pembaca. Amin.
Kelompok 6
i
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL.....................................................................................................i
KATA PENGANTAR...................................................................................................i
DAFTAR ISI.................................................................................................................. ii
BAB I. PENDAHULUAN............................................................................................1
A. Latar Belakang....................................................................................................1
B. Rumusan Masalah...............................................................................................1
C. Tujuan Penulisan.................................................................................................2
A. KESIMPULAN...................................................................................................15
B. SARAN...............................................................................................................16
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................17
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Syariat merupakan landasan bagi fiqh, dan fiqh merupakan pemahaman orang yang
memenuhi syarat tentang syari’at. Oleh karena itu seseorang yang akan memahami hukum
Islam dengan baik dan benar harus dapat membedakan antara syari’at Islam dan fiqh Islam.
Syari’ah digunakan orang Arab untuk mengacu kepada jalan (agama) yang lurus (al-thariqat
al mustaqim). Fiqh merupakan usaha untuk mengkaji serta mendalami ilmu-ilmu keagamaan
(Islam) secara keseluruhan sedangkan hukum Islam yaitu makna yang berarti memutuskan
perkara atau mengadili.
Dalam pembagian hukum islam di bedakan menjadi 2 bentuk hukum yang terdiri atas
hukum al-taklifi dan wadh’i. Tujuan syari’ah adalah membimbing umat manusia untuk
menempuh jalan yang benar menuju ridha Allah agar tercapai keselamatan dan kebahagiaan
hidup di dunia akhirat. Ruang lingkup syari’ah meliputi aturan-aturan atau hukum yang
mengatur hubungan manusia dengan Allah, hubungan manusia dengan manusia, dan
hubungan manusia dengan alam semesta meliputi hewan, tumbuhan-tumbuhan sera
lingkungan hidup. Pengaplikasian pada hukum islam bertujuan untuk menunjukkan
kepatuhan Allah SWT dan mencapai ridha-Nya juga untuk memberikan panduan/bimbingan
kepada manusia dalam menempah kehidupannya demi terwujudnya atau terciptanya
keselamatan duni dan kebahagiaan akhirat.
B. Rumusan Masalah
2
BAB II
PEMBAHASAN
Secara etimologi kata syari’ah berarti sumber air/aliran air yang digunakan untuk
minum. Dalam perkembangannya, kata syari’at digunakan orang Arab untu mengacu
kepada jalan (agama) yang lurus (al-thariqat al mustaqim) (Dahlan, Ed., 2006). Bila kata
hukum dirangkai dengan kata syara’ yaitu Hukum Syara; berarti : “Seperangkat peraturan
berdasarkan kepada ketentuan Allah tentang tingkah laku manusia yang diakui dan
diyakini berlaku serta mengikat untu semua umat yang diakui dan diyakini berlaku serta
mengikat untuk semua umat yang beragama Islam”. (Amir Syarifuddin aia, 1997).
Sehubungan dengan ini Allah berfirman dalam QS. Al-Jasiyah: 18:
Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syari’at (peraturan) dari urusan
(agama itu), maka ikutilah syari’at itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang
yang tidak mengetahui.
Istilah syara’ juga sering disebut dengan hukum. Dua istilah ini secara terminology
sama, bahkan istilah syara’ dalam pemakaiannya dipersempit pada aspek-aspek hukum
yang dipahami sekarang yaitu aturan-aturan Allah berkenaan dengan kehidupan atau
aktivitas manusia. Allah berfirman dalam QS. Al-Maidah: 48:
3
“… untuk tiap-tiap umat diantaranya kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang.
Sekiranya Allah menghendaki, niscaya amu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah
hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu apa yang telah kamu
perselisihkan itu”.
“Dan tanyakanlah kepada Bani Israil tentang negerinya yang terletak di dekat laut ketika
mereka melanggar aturan pada hari Sabtu, di waktu datang kepada mereka ikan-ikan
(yang berada di sekitar) mereka terapung-apung di permukaan air, dan di hari-hari yang
bukan Sabtu, ikan-ikan itu tidak datang kepada mereka Demikianlah Kami mencoba
mereka disebabkan mereka berlaku fasik”.
Bila kita perhatikan ketiga ayat diatas berisi kandungan makna syari’ah yang
berarti peraturan. Meskipun masing-masingnya diungkapkan dalam bentuk kata yang
berbeda dari akar kata yang terbentuk dari - ﺵ- ﺯ Hﻉ, namun tetap mengandung makna
yang sama. Dengan demikian jelaslah bahwa konotasi kata syari’ah itu dapat menampung
beberapa makna di dalam bahasa Indonesia yakni peraturan, hukum atau undang-undang.
Bahkan kata syari’ah itu dapat menampung beberapa makna di dalam bahasa Indonesia
yakni sendiri juga sudah terserap kedalam bahasa daerah yaitu sarak seperti terungkap
dalam sebuah adagium “Adat basandi sarak, sarak basandi Kitabullah” (Adat bersendikan
4
syari’at, syari’at bersendikan Kitabullah), yang menjadi falsafah hidup masyarakat
Minangkabau. Mungkin juga ungkapan serupa ada didaerah lain yang berpenduduk
mayoritas muslim.
Sebagian ahli membedakan antara syari’at dala, arti yang terbatas dan syari’at
dalam arti luas. Misalnya Zaki Yamani (1974) mengemukakan, syari’ah dalam pengertian
yang sempit terbatas pada hukum-hukum yang tegas yang tak dapat digugat, berasal dari
Al-Quran dan Sunnah yang sah atau ditetapkan oleh ijma’. Syari’at dalam arti yang
terbatas ini sebagai alat untuk memecahkan masalah. Sedangkan syari’at dalam pengertian
yang luas mencakup segala apa yang telah dibukukan oleh ahli-ahli fikih Islam tentang
masalah-masalah yang terjadi dengan menariknya langsung dari Al-Quran dan Sunnah atau
dari sumber-sumber yurisprudensi lainnya seperti ijma’, qiyas, istihsan, istishab dan
mashalih-mursalah.
Hukum Islam
Kata hukum berasal dari bahasa Arab yang secara etimologi berarti memutuskan,
menetapkan dan menyelesaikan. Sebagaimana firman Allah dalam Q.S. Al-Nisa’ ayat 105:
Kata litahkuma dalam ayat ini mengandung makna hukm yang berarti memutuskan
perkara atau mengadili. Pengertian kata hukum memiliki rumusan yang sangat luas.
Meskipun demikian secara sederhana dapat dikatakan bahwa hukum itu adalah
“seperangkat peraturan tentang tingkah laku manusia yang masyarakat” (Amir Syarifuddin
I, 1997). Jadi hukum sangat erat kehidupan masyarakat dengan tingkat pola kehidupan
yang lebih tinggi peran hukum yang sangat sentral. Sebaliknya dalam pola kehidupan
masyarakat dengan peradaban lebih rendah, peran hukum juga lebih rendah.
5
Menurut Nurcholis Madjid (1992) wahyu yang turun kepada Nabi Muhammad
dalam periode Madinah menyangkut masalah-masalah kemasyaraatan mencerminkan
pentingnya segi tertib hukum, Nabi Saw mengatur dan menerima masyarakat Madinah
sebagai suatu negara (city state) dengan sistem hukum yang tegas. H.R. Gibb dalam Rifal
Ka’bah (1999) mengemukakan, huum dalam pandangan ilmuan muslim merupakan aspek
praktis doktrin social dan keagamaan yang diajarkan oleh Nabi Muhammad.
Fiqh
Kata fikih (fiqh) pada awalnya meliputi pengertian usaha untuk mengkaji serta
mendalami ilmu-ilmu keagamaan (Islam) secara keseluruhan. Sebagaimana firman Allah
dalam QS. At-Taubah: 122:
Dan tidak sepatutnya orang-orang mukmin itu semuanya pergi (ke medan perang).
Mengapa sebagian dari setiap golongan di antara mereka tidak pergi untuk memperdalam
pengetahuan agama mereka dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila
mereka telah kembali, agar mereka dapat menjaga dirinya.
Kata fikih yang terkandung yang mengandung dalam ayat di atas mengandung
makna mengkaji secara mendalam untuk sampai kepada suatu pemahaman. Dengan
demikian, fikih bertujuan memberikan pemahaman tentang agama islam secara
keseluruhan. Pada perkembangan selanjutnya fikih mengandung penyempitan arti yakni
pemahaman terhadap syari’at islam yang khusus di bidang hukum. Fikih merupakan
interprestasi (tafsiran) para ulama terhadap nash Al-Quran dan hadis dalam mendudukan
suatu perkara. Karena fikih itu merupakan tafsiran terhadap nash syari’ah, maka
pembicaraan fikih bisa menjadi luas dan manampung banyak perbedaan pendapat yang
6
melahirkan mazhab. Seperti diungkapkan oleh Muhammad Jawad Mughniyah (2001)
“Fikih adalah sebuah lautan yang tidak diketahui tepinya”. Ulama fikih dan ushul fikih
menyatakan bahwa fikih merupakan pemahaman yang mendalam dari an-mushush al-
muqaddasah (teks-teks suci Al-Quran dan hadis) dan merupakan upaya mujtahid dalam
menangkap makna serta ilat yang dikandung oleh al-mushush al-muqaddasah tersebut.
Dengan demikian, fikih merupakan hasil ijtihad ulama terhadap ayat Al-Quran atau sunnah
Nabi SAW. (Dahlan, Ed., 2006).
Berdasarkan berbagai definisi dan pandangan tentang hukum islam seperti yang
dikemukakan di atas, ulama ushul fiqh membedakan hukum Islam itu menjadi dua bentuk
hukum yang terdiri atas hukum al-taklifi dan wadh’i.
1. Hukum taklifi
Hukum taklifi ialah titah Allah yang berbentuk tuntunan dan pilihan. Dinamakan
hukum taklif karena titah ini langsung mengenai perbuatan orang yang sudah
mukallaf. Yang dimaksud dengan mukallaf dalam kajian hukum islam adalah setiap
orang yang sudah baligh (dewasa) dan waras. Anak-anak, orang gila/mabuk dan orang
tertidur tidak dapat dikenakan sanksi hukum. Ada dua bentuk tuntutan di dalam
hukum islam, yaitu tuntutan untuk mengerjakan dan tuntutan untuk meninggalkan.
Dari segi kekuatan tuntutan tersebut terbagi pula ke dalam dua bentuk yaitu tuntutan
yang bersifat mesti dan tututan yang tidak mesti, dan pilihan yang terletak di antara
mengerjakan dan meninggalkan.
Menurut jumhur ulama hukum taklif itu ada lima macam yang disebut dengan
hukum yang lima (al-ahkam al-khamsah), yaitu
a. Wajib, yaitu tuntutan yang mengandung suruhan yang mesti dikerjakan, sehingga
orang yang mengerjakan mendapatkan ganjaran (pahala), dan kalau ditinggalkan
mendapat ancaman (dosa).
b. Sunat, yaitu tuntutan yang mengandung suruhan tetapi tidak mesti dikerjakan,
hanya berupa anjuran untuk mengerjakannya. Orang yang melaksanakan
7
mendapatkan ganjaran (pahala) karena kepatuhannya, tetapi bila ditinggalkan
tidak mendapat ancaman dosa.
c. Haram, yaitu tuntutan yang mengandung larangan yang mesti dijauhi. Bila
seseorang meninggalkannya berarti dia telah patuh kepada yang melarang, karena
itu dia mendapat ganjaran pahala. Orang melanggar, karena itu dia mendapat
ancaman (dosa).
d. Makruh, yaitu tuntutan yang mengandung larangan tetapi tidak mesti dijauhi.
Artinya orang yang meninggalkan larangan berarti telah mematuhi yang
melarangnya, karena itu ia berhak mendapat ganjaran pahala. Tetapi karena
larangan tersebut tidak bersifat mesti, maka orang yang melanggarnya tidak dapat
disebut menyalahi yang melarang, dan tidak berhak mendapat ancaman dosa.
e. Mubah, yaitu titah Allah SWT untuk memilih antara mengerjakan atau
meninggalkan. Bila seorang mengerjakan dia tidak diberikan ganjaran dan tidak
pula ancaman atas perbuatannya itu. Dia juga tidak dilarang berbuat, karena itu
bila dia melakukan perbuatan itu dia tidak diancam dan tidak diberi ganjaran.
2. Hukum Wadh’i
Hukum wadh’I ini merupakan prasyarat bagi terlaksananya hukum taklifi. Ulama
ushul fiqh membagi hukum wadh’I menjadi lima macam yaitu : “sabab, syarth, mani’,
shah dan bathil” (Nasrun Haroen, 1995). Sedangkan menurut Al-Amidi hukum taklifi
itu ada tujuh macam yaitu : “sabab, syarth, mani’, shah, bathil, azimah dan
rukhsah’(Al-Amidi, 1983).
a. Sabab, yaitu titah yang menetapkan bahwa sesuatu itu dijadikan sebab bagi wajib
dikerjakannya suatu pekerjaan.
b. Syarath, yaitu titah yang menerangkan bahwa sesuatu itu dijadikan syarat bagi
sesuatu.
c. Mani’ (penghalang), yaitu sesuatu yang nyata kederadaanya menyebabkan tidak
ada hukum.
d. Shah, yaitu suatu hukum yang sesuai dengan tuntutan syara’ Maksudnya hukum
itu dikerjakan jika ada penyebab, memenuhi syarat-syarat dan tidak ada sebab
penghalang untuk melaksanakannya.
e. Bathil, yaitu terlepasnya hukum syara’ dari ketentuan yang ditetapkan dan tidak
ada akibat hukum yang ditimbulkannya.
8
f. Azimah, yaitu hukum asal atau pelaksanaan hukum taklifi berdasarkan dalil
umum tanpa memandang keadaan mukallaf yang melaksanakannya.
g. Rukhsah, yaitu keringanan atau pelaksanaan hukum taklifi berdasarkan dalil yang
khusus sebagai pengecualian dari dalil yang umum karena keadaan tertentu,
walaupun secara umum memakan bangkai itu haram.
9
99) bahwa bagi orang yang tidak mampu mengerjakan shalat dalam keadaan berdiri,
maka ia boleh melakukannya sambil duduk, dan selanjutnya boleh sambil berbaring.
c. Tidak memberatkan
Semua syariat Allah tidak ada yang berat sehingga manusia tidak mampu
melaksanakannya. Contoh ibadah shalat yang diwajibkan Iima kali dalam 24 jam,
yang hanya membutuhkan waktu minimal kira-kira 5x7 menit 35 menit, zakat harta
hanya berkisar 2,5%, 5% dan 10%, ibadah haji cukup sekali seumur hidup, begitu
juga dengan benda-benda yang diharamkan hanya sebahagian kecil apabila
dibandingkan dengan yang dihalalkan.
d. Penetapan hukum secara bertahap
Allah mengharamkan suatu hal tidak secara langsung. melainkan melalui
tahapan. Contoh pengharaman minuman keras, tidak langsung sekaligus dilarang
tetapi berangsur-angsur setahap demi setahap sampai akhirnya diharamkan. Allah
SWT menurunkan ayat larangan minuman keras dengan larangan secara bertahap
Prosesnya diawali dengan turunnya Q.S 2:219 yang menyatakan bahwa pada khamar
dan judi terdapat dosa besar dan ada manfaatnya bagi manusia, tetapi dosa keduanya
lebih besar dari manfaatnya. Setelah itu Allah turunkan Q.S 4:43 berupa larangan
mendekati shalat orang-orang yang sedang mabuk. Kemudian Allah turunkan Q.S
5:90 yang menyatakan secara tegas tentang haramnya minuman keras dan ditegaskan
oleh hadis Rasul walaupun sedikit diminum maka statusnya sama, yaitu hukumnya
haram.
e. Tujuan syari'ah adalah keadilan.
Pencapaian keadilan di dalam syari'ah secara eksplisit tampak pada adanya
penjelasan tentang pokok-pokok akhlak yang baik yang terdapat di dalam syari' ah
tersebut. Allah menjelaskan hal itu di dalam Q.S 16:90.
Syari'ah Islam mempunyai tiga watak yang tidak berubah rubah yaitu: 1) takammul
(lengkap), 2) wathiyyah (pertengahan/ moderat)dan 3) harakah (dinamis). Watak takammul
memperlihatkan bahwa syari'ah itu dapat melayani golongan yang tetap pada apa yang
sudah ada (konsisten), dan dapat pula melayani golongan yang menginginkan
pembaharuan. (Dahlan Il, ed. 1997). Konsep wasthiyah menghendaki keselarasan dan
keseimbangan antara segi kebendaan dan segi kejiwaan. Keduanya sama-sama
diperhatikan tanpa mengabaikan salah satu dari padanya. Watak wasthiyah ini seperti
10
dikemukakan oleh Yusuf Al-Qradhawi (2000) ialah adanya keseimbangan antara dua jalan
atau dua arah yang saling berhadapan atau bertentangan, dimana salah satu dari dua jalan
tadi tidak bisa berpengaruh dengan sendirinya sambil mengabaikan yang lain. seperti
antara aspek ruhiyah (spiritualisme) dengan madiyah (materialisme), fardiyah (individu)
dengan jama 'iyah (kolektit), waqi 'iyah (realitas) dengan mitsaliyah (idealisme), tsabit
(tetap) dengan taghayyur (perubahan) dsb. Misalnya dalam hal berpakaian, Al-Quran
menyebutkan dalam surat Al-A'raf ayat 31:
“Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) mesjid, makan
dan minumlah, dan janganlah berlebih- lebihan. Sesungguhnrya Allah tidak menyukai
orang-orang yang berlebih-lebihan."
Menurut Mufti Agung Mesir, Ali-Jum'ah (2013), konteks ayat ini mencakup buat
semua anak Adam, baik laki-laki maupun perempuan, muslim ataupun non muslim. Yang
dimaksud dengan pakaian yang indah di sini ialah pakaian yang menutup aurat Ayat ini
tidak menentukan jenis dan bentuk pakaian yang harus dipakai, karena Islam mempunyai
syari'at yang relevan di setiap masa dan tempat. Pesan ayat tersebut, hendaklah manusia
mengenakan pakaian yang indah setiap bertemu dengan orang lain sesuai dengan
kemampuannya. Selain itu, hendaklah selaras dengan kebiasaan di masanya dan adat
istiadat kaumnya. Rasulullah tidak pernah memiliki pakaian khusus yang berbeda dengan
pakaian orang-orang di masanya. Beliau Juga tidak pernah membuat bentuk khusus
pakaian, agar tidak menyusahkan umatnya.
Sedangkan dari segi harakah (kedinamisan), syari'ah mempunyai kemampuan
untuk bergerak dan berkembang. untuk mengiringi perkembangan itu di dalam syari'ah ada
konsep ijtihad. Selain watak yang tiga ini, Yusut Al-Qardhawi (2000) menyebutkan bahwa
syari'at Islam itu juga bersifat syumul dalam arti bahwa syari'at Islam meliputi semua
zaman kehidupan dan eksistensi manusia. Dengan demkian jelas bahwa syari' ah itu
mengakomodasikan semua hajat/kebutuhan hidup manusia. Mulai dari aspek yang sekecil-
kecilnya seperti tatacara wudhu dan bersuci (Q.S.5:6) sampai kepada persoalan kenegaraan
11
atau pemerintahan (Q.S.4:58- 59) bahkan hubungan antarbangsa (Q.S.49:13) dan
hubungan antar umat beragama (Q.S.60:8-9).
12
5. Siyasa, yaitu yang menyangkut masalah-masalah kemasyarakatan (politik),
diantaranya : ukhuwa (persaudaraan) musyawarah (persamaan), ‘adalah (keadilan),
ta’awun (tolong menolong), tasamu (toleransi), takafulul ijtimah (tanggung jawab
sosial), zi’amah (kepemimpinan) pemerintahan dan lain-lain.
6. Akhlak, yaitu yang mengatur sikap hidup pribadi, diantaranya : syukur, sabar,
tawadlu, (rendah hati), pemaaf, tawakal, istiqomah (konsekwen), syaja’ah (berani),
birrul walidain (berbuat baik pada ayah ibu), dan lain-lain.
7. Peraturan-peraturan lainnya seperti : makanan, minuman, sembelihan, berburu,
nazar, pemberantasan kemiskinan, pemeliharaan anak yatim, mesjid, da’wah,
perang, dan lain-lain.
Selain itu, ibadah juga diartikan sebagai suatu sikap pasrah dan tunduk total kepada
semua aturan Allah dan Rasul-Nya. Lebih dari itu, ibadah dalam pandangan Islam
merupakan refleksi syukur pada Allah swt atas segala nikmatnya yang timbul dari dalam
lubuk hati yang dalam dan didasari kepahaman yang benar. Pada gilirannya, ibadah tidak
13
lagi dipandang semata-mata sebagai kewajiban yang memberatkan, melainkan suatu
kebutuhan yang sangat diperlukan.
14
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Syariah Islam memberikan tuntunan hidup khususnya pada umat Islam dan
umumnya pada seluruh umat manusia untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat.
Muamalah dalam syariah Islam bersifat fleksibel tidak kaku. Dengan demikian Syariah
Islam dapat terus menerus memberikan dasar spiritual bagi umat Islam dalam
menyongsong setiap perubahan yang terjadi di masyarakat dalam semua aspek kehidupan
Syariah Islam dalam muamalah senantiasa mendorong penyebaran manfaat bagi semua
pihak, menghindari saling merugikan, mencegah perselisihan dan kesewenangan dari pihak
yang kuat atas pihak-pihak yang lemah. Dengan dikembangkannya muamalah berdasarkan
syariah Islam akan lahir masyarakat marhamah, yaitu masyarakat yang penuh rahmat.
Syariah adalah tata cara pengaturan tentang perilaku hidup manusia untuk mencapai
keridhaan Allah SWT. Hukum Islam itu menjadi dua bentuk hukum yang terdiri atas
hukum al-taklifi dan wadh’i. Ruang lingkup yaitu mencakup : ibadah, muamalah,
murakahat, jinayat, siyasah akhlak, peraturan-peraturan lainnya. Fungsi Syariah Islam
(Hukum Islam) adalah Fungsi ibadah, Fungsi amar ma’ruf nahi munkar, Fungsi zawajir
dan Fungsi tanzim wa Islah al-ummah.
15
B. Saran
Demikianlah makalah yang dapat kami susun dan kami sangat menyadari makalah ini jauh
dari kesempurnaan, maka kritik dan saran yang membangun demi perbaikan dan
pengembangan, sangat kami harapkan dan semoga ini dapat menambah pengetahuan kita
dan bermanfa’at. Amin
16
DAFTAR PUSTAKA
Anwar Fuandi, dkk. 2008. Pendidikan Agama di Perguruan Tinggi Umum. Padang: UNP
Press Padang
DR. Hapni Laila Siregar, M.A. (Ed.). (Agustus 2021). Islam Kaffah. Medan: CV. Kencana
Emas Sejahtera.
H.S Nasrul, dkk. 2011. Pendidikan Agama Islam Bernuansa Soft Skill untuk Perguruan
Tinggi. Padang: UNP Press
Khailani. 2000. Islam dan Aspek-aspek Kemasyarakatan. Jakarta. PT.Bumi Aksara
Nandag L. Hakim. 1988. Pendidikan Agama Islam. Bandung. Ganeca Exac.
Rachman Fazlur. 1987. ISLAM. Jakarta. PT.bumi Aksara
17