Anda di halaman 1dari 9

HEMODIALISA

DISUSUN OLEH : KELOMPOK 11

Dhea Cantika Oktavia Purba (193011)


Gelsibion Siringo – Ringo (193013)
Rini Ervina (193045)

DOSEN PEMBIMBING :
Ns. Yenny, M.Kep., Sp.Kep.M.B.

AKADEMI PERAWATAN RS PGI CIKINI


PROGRAM D3 KEPERAWATAN
2021
1. Definisi
CKD adalah penyakit ginjal yang progresif dan tidak dapat kembali sembuh
secara total seperti sediakala (ireversibel) dengan laju filtrasi glomerulus (LFG) <60
ml/menit dalam 3 bulan atau lebih, sehingga kemampuan tubuh gagal untuk
mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan elektrolit, yang
menyebabkan uremia. (Kalengkongan, 2018)
Hemodialisa adalah suatu metode terapi dialisis yang digunakan untuk
mengeluarkancairan dan produk limbah dari dalam tubuh ketika secara akut ataupun
secara progresif ginjal tidak mampu melaksanakan proses tersebut. (muttaqin, 2020)

2. Etiologi (Kalengkongan, 2018)


a. Hipertensi
Tekanan darah tinggi membuat pembuluh darah bekerja terlalu keras karena aliran
darah yang terlalu kuat. Kondisi ini dapat menyebabkan pembuluh darah rusak
termasuk pembuluh darah yang ada pada bagian ginjal. Arteri besar dan pembuluh
darah kecil menuju ginjal dapat rusak. Kemudian secara perlahan ginjal
mengalami penurunan fungsi dan menyebabkan banyak cairan limbah yang
menumpuk pada ginjal.
b. Diabetus Militus (DM)
Ketika tubuh memiliki kadar gula yang terlalu tinggi atau lebih sering disebut
dengan kondisi diabetus militus (DM), maka akan menyebabkan ginjal bekerja
terlalu keras. Ginjal akan menyerap darah dalam jumlah yang lebih tinggi
sehingga menyebabkan pembuluh darah yang bertugas menyaring darah bisa
bekerja terlalu banyak. Kemudian setelah beberapa lama ginjal tidak mampu
menyaring semua bagian limbah dari darah dan menyebabkan kebocoran.
Akibatnya maka urin mengandung protein yang seharusnya tinggal dalam tubuh.
Ginjal akan kehilangan fungsinya dengan ditandai penemuan protein tinggi dalam
urin.
c. Serangan Jantung
Ketika penderita mengalami serangan jantung maka aliran darah yang menuju
jantung akan mengalami masalah atau bahkan ginjal tidak menerima darah dari
jantung. Jika kondisi ini terus terjadi maka ginjal tidak dapat berfungsi dan terjadi
penumpukan aliran limbah pada jantung.
d. Penyakit Ginjal Polikistik
Penyakit ginjal polikistik dapat menyebabkan kerusakan kemampuan ginjal
karena banyaknya zat racun yang harus disaring oleh ginjal. Penyakit ini secara
perlahan akan menyebabkan ginjal tidak berfungsi sehingga pada tahap akhir
dapat menyebabkan gagal ginjal.
e. Glomerulonefritis
Penyakit ini menyebabkan peradangan pada bagian penyaringan di ginjal yang
menyerang bagian nfron. Peradangan ini menyebabkan banyak kotoran dari sisa
metabolisme yang seharusnya keluar tapi hanya menumpuk di bagian ginjal.
Penyakit ini bisa menjadi faktor penyebab gagal ginjal dalam waktu yang sangat
cepat.
f. Pielonefritis
Piolonefritis adalah infeksi yang terjadi pada ginjal. Pielonefritis dapat berakibat
akut atau kronik. Pielonefritis ini bisa juga terjadi melalui infeksi hematogen. Bila
infeksi sudah terjadi berulang-ulang maka akan terjadi kerusakan pada ginjal yang
mengakibatkan GGK. Penyakit ini biasanya terjadi oleh karena adanya batu pada
ginjal, obstruksi atau refluks vesiko ureter.
g. Obat-obatan
Kebiasaan mengkomsumsi berbagai jenis obat-obatan yang mengandung bahan
lithium dan siklosporin dapat memicu terjadinya gagal ginjal. Hal ini desebabkan
karena ginjal bekerja terlalu keras untuk menyaring semua limbah yang dihasilkan
dari sisa-sisa obat dalam tubuh.
h. Pola hidup
Berbagai penelitian mengemukakan bahwa merokok, minuman beralkohol, sering
mengkonsumsi daging merupakan salah satu faktor risiko terjadinya gagal ginjal
kronik. Dimana berbagai bahan kimia yang terdapat dalam rokok dan diserap
tubuh dapat menyebabkan penurunan laju GFR.

3. Patofisiologi
Kegagalan ginjal adalah hasil akhir dari penyakit ginjal kronis (CKD), yang
merupakan akibat kehancuran nefron secara bertahap dan progresif dan menurunkan
kecepatan filtrasi glomerulus (GFR) seiring waktu, mengakibatkan hilangnya fungsi
ginjal yang menghasilkan perubahan besar dalam semua sistem tubuh. (Doenges,
2014) Seluruh unit nefron secara bertahap akan mengalami kerusakan dan hancur.
Pada fase awal, saat nefron hilang, nefron fungsional yang masih ada akan mengalami
hipertropi. Aliran kapiler glomerulus dan tekanan meningkat dalam nefron dan lebih
banyak partikel zat terlarut disaring untuk mengkompensasi massa ginjal yang hilang.
Kebutuhan yang meningkat ini menyebabkan nefron yang masih ada mengalami
sklerosis (jaringan parut) glomerulus, menimbulkan kerusakan nefron pada akhirnya.
Proteinuria akibat kerusakan glomerulus diduga menjadi penyebab cedera tubulus.
Proses hilangnya fungsi nefron yang kontinu ini dapat terus berlangsung meskipun
setelah proses penyakit awal telah teratasi. Perjalanan CKD berbed-beda, berkembang
selama periode bulanan hingga tahunan. Nefron yang fungsinya masih baik akan
mengkompensasi nefron yng hilang. GFR sedikit turun dan pada pasien asimtomatik
diserti BUN dan kadar kereatinin serum normal. Ketika penyakit berkembang dan
GFR turun lebih lanjut, hipertensi dan menisfestasi lain dapat muncul. Serangan
berikutnya pada ginjal di tahap ini (misalnya infeksi, dehidrasi, atau obstruksi saluran
kemih) dapat menurunkan fungsi dan memicu gagal ginjal atau uremia nyata lebih
lanjut. Kadar serum kreatinin dan BUN naik secara tajam, pasien menjadi oliguria,
dan menisfestasi uremia akan muncul. Disaat GFR menurun menyebabkan kegagalan
mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan dan elektrolit. Membuat
volumen cairan meningkat terjadilah hipernatremia, hiperkalemia, pH turun,
hiperpospatemia dan hipoklasemia. Sehingga didapat diagnosa keperawatan
Hipervolemia. (muttaqin, 2020) Pada ESRD, tahap akhir CKD, GFR kurang dari 10%
normal dan terapi penggantian ginjal diperlukan untuk mempertahankan kehidupan,
salah satunya adalah hemodialisa. (Lemone, 2016)

4. Manajemen Antar Disiplin (muttaqin, 2020)


a. Dialisis. Dialisis dapat dilakukan untuk mencegah komplikasi gagal ginjal yang
serius, seperti hiperkalemia, perikarditis, dan kejang. Dialisis memperbaiki
abnormalitas biokimia; menyebabkan cairan, protein, dan natrium dapat
dikonsumsi secara bebas; menghasilkan kecenderungan perdarahan dan
membantu penyembuhan luka.
b. Koreksi hiperkalemia. Mengendalikan kalium darah sangat penting karena
hiperkalemia dapat menimbulkan kematian mendadak. Hal yang pertama harus
diingat adalah jangan menimbulkan hiperkalemia. Selain dengan pemeriksaan
darah, hiperkalemia juga dapat didiagnosis dengan EKG dan EEG. Bila terjadi
hiperkalemia, maka pengobatannya adalah dengan mengurangi intake kalium,
pemberian Na Bikarbonat, dan pemberian infus glukosa.
c. Koreksi anemia. Usaha pertama harus ditujukan untuk mengatasi faktor defisiensi,
kemudian mencari apakah ada perdarahan yang mungkin dapat diatasi.
Pengendalian gagal ginjal pada keseluruhan akan dapat meninggikan Hb.
Transfusi darah hanya dapat diberikan bila ada indikasi yang kuat, misalnya
adainsufisiensi koroner.
d. Koreksi asidosis. Pemberian asam melalui makanan dan obat-obatan harus
dihindari. Natrium bikarbonat dapat diberikan peroral atau perental. Pada
permulaan 100 mEq natrium bikarbonat diberi intravena perlahan-lahan, jika
diperlukan dapat diulang. Hemodialisa dan dialisis peritoneal dapat juga
mengatasi asidosis.
e. Pengendalian Hipertensi. Pemberian obat beta bloker, alpha metildopa, dan
vasodilator dilakukan. Mengurangi intake garam dalam pengendalian hipertensi
harus hati- hati karena tidak semua gagal ginjal disertai retensi natrium.
f. Transplantasi ginjal. Dengan pencangkokan ginjal yang sehat ke ginjal GGK,
maka seluruh faal ginjal diganti oleh ginjal yang baru.

5. Asuhan Keperawatan
a. Pengkajian Fokus (muttaqin, 2020)
1) Demografi
Lingkungan yang tercemar oleh kadmium, kroomium, timah, merkuri dan
sunber air tinggi kalsium beresiko untuk penyakit ginjal kronik,
kebanyakan menyerang unur 20-50 tahur, jenis kelanin lebih banyak
perempuan, kebanyakan ras kulit hitam.
2) Riwayat penyakit dahulu
Riwayat penyakit diabetes mellitus, hipertensi, obstruksi traktus urinarius,
infeksi ginjal glomerulonefritis kronik, Lupus eritematosus sistemik,
penyalahgunaan analgesik pielonefritis kronik atau refluks batu.
3) Riwayat kesehatan keluarga
Riwayat penyakit batu ginjal, hipertensi, DM dalam keluanga, penyakit
ginjal polikistik,gout.
4) Pola kesehatan fungsional
a. Pemeliharaan kesehatan
Konsumsi obat nefrotoksik yang berkepanjangan (analgesik, aspirin,
antacid, laktasif). Konsumsi makanan tinggi kalsium, purin, oksalat.
Fostat, protein, kebiasaan minum suplemen, control tekanan darah dan
gula darah tidak teratur pada penderita hipertensi dan diabetes mellitus.
b. Pola nutrisi dan metabolic
Perlu dikaji adanya peningkatan berat badan cepat (edema), penurunan
berat badan (malnutrisi), anoreksia, nyeri ulu hati, mual, muntah, rasa
metalik tak sedap pada mulut (pernafasan amonia), penggunaan
diuretik.
c. Pola eliminasi
Penurunan frekuensi urine, oliguria, anuria (gagal tahap lanjut),
abdomen kembung, diare, konstipasi, perubahun warna urine.
d. Pola aktivitas dan latihan
Kelemahan ekstem, kelemahan otot, penurunan rentang gerak
e. Pola istirahat dan tidur
Gangguan tidur (insomnia,gelisah atau somnolen)
f. Pola persepsi sensori dan kognitif
Pengkajian persepsi sensori CKD diperolch data sakit kepala,
penglihatan kabur, kram otot kejang, restless leg syndrom, kebas rasa
terbakar pada telapak kaki, kebas/ kesemutan dan kelemahan
khususnya pada ekstremitas bawah (nefropati penifer).
g. Hubungan dengan orang lain
Kesulitan menentukan kondisi, contoh tak mampu bekeja,
mempertahunkan fungsi peran biasanya dalam bekerja.
h. Reproduksi dan seksual
Penurunan libido, amenorea, infertilitas.
i. Persepsi dini dan konsep diri
Faktor stres, perasaan tak berdaya, tak ada harapan, tak ada kekuatan,
menolak, ansietas, takut, marah, mudah terangsang. penibahan
kepribadian.
5) Pengkajian fisik
a. Keluhan umum : malaise, lemah, tampak sesak
b. Tingkat kesadaran: komposmentis sampai koma.
c. Pengukuran antropometri: berat budan menurun.
d. Tanda vital tekanan darah meningkat, suhu meningkat, nadi lemah,
disritmia, pernapasan kusmaul, tidak teratur.
e. Kepala
 Mata: konjungtiva anemis, penglihatan kabur, edema
periorbital.
 Rambut: rambut mudah rontok, tipis dan kasar, kotor.
 Hidung penapasan cuping hidung
 Mulut: nafas berbuu ammonia, ulsenasi dan pendarahan, mual,
muntah serta cegukan, peradangan gusi.
 Leher : pembesaran vena leher.
f. Dada dan thoraks : penggunaan otot bantu pernafasan, pernafasan
dangkal dan kusmaul serta krekels, nafas dangkal, edema pulmoner,
efusi pleura.
g. Abdomen: nyeri area pinggang, asites.
h. Ekstremitas : melambat, kuku rapuh dan kusam serta tipis, kelemahan
pada tungkai, rasa panas pada telapak kaki, kekuatan otot.
i. Kulit kering, pigmentasi, bekas garukan, ekimosis, pucat, lecet, warna
mengkilat/ abu-abu.
6) Pemeriksaan penunjang
a. Urine
 Volume: biasanya kurang dari 400 ml/24 jam (oliguria) atau
urine tak ada (anuria).
 Warna: secara abnormal urine keruh mungkin disebabkan oleh
pus, bakteri, lemak, partikel koloid, fosfat atau sedimen koor,
kecoklatan menunjukkan adanya darah, Hb.
 Berat jenis kurang dari 1,015 (menetap pada 1,010
menunjukkan kenusakan ginjal berat).
 Natrium: lebih besar dari 40 mEg/L karena ginjal tidak mampu
mereabsorbsi natrium
 Protein: dapat tinggi proteinuria (3-4+) secara kuat
menunjukkan kerusakan glomerulus bila SDM dan fragmen
juga ada.
b. Darah
 BUN/ kreatinin : meningkat diatas nomal
 Hitung darah lengkap : Hb menurun biasanya kurang dani 7-8
g/dL
 Kalium: meningkat
 Natrium serum: mungkin rendah atau normal
 Magnesium fosfat meningkat
 Kalsium : menurun
 Protein (khususnya albumin): kadar serum menurun dapat
menunjukkan kehilangan protein melalui urine, perpindahan
cairan, penurunan pemasukan atau penurunan sintesis karena
asam amino esensial.
 Osmolaritas serum: lebih besar dani 285 mOsm/kg sering sama
dengan urine
c. Pemeriksaan Radio diagnostic
 Biopsi ginjal mungkin dilakukan secarn endoskopik untuk
menentukan sel jaringan untuk diagnosis histologik
 KUB foto menunjukkan ukuran ginjal/ureter kandung kemih
dan adanya obstruksi (batu)
 Pielogram retrograd menunjukkan abnormalitas pelvis ginjal
dian ureter
 Arteriogram ginjal mengkai sirkulasi ginjal dan
mengidenifikasi ekstravaskuler, massa
 Sistouretrogram berkemih menunjukkan ukuran kandung
kemih refluks kedalam ureter, retensi.
 Ultrasono ginjal: terbetnuk adanya atropi
 Endoskopi ginjal, nefroskopi dilakukan untuk menentukan
pelvis ginjat, keluar batu, hematuria dan pengangkatan tumor
selektif.
 EKG: mungkin abnormal menunjukkan ketidakseimbangan
elekarolit dan asam basa.
 Foto kaki, tengkorak. kolumna spinal, dan tangan dapat
menunjukkin demineralisasi.
b. Masalah Keperawatan
Hipervolemia (PPNI, 2017)
c. Rencana Asuhan Keperawatan (Tindakan dan Rasional)
1. Observasi
 Periksa tanda dan gejala hypervolemia
 Identifikasi penyebab hypervolemia
 Monitor status hemodinamik, tekanan darah, MAP, CVP, PAP,
PCWP, CO jika tersedia
 Monitor intake dan output cairan
 Monitor tanda hemokonsentrasi ( kadar Natrium, BUN, hematocrit,
berat jenis urine)
 Monitor tanda peningkatan tekanan onkotik plasma
 Monitor kecepatan infus secara ketat
 Monitor efek samping diuretik
2. Therapeutik
 Timbang berat bada setiap hari pada waktu yang sama (rasional:
Penurunan berat badan selama waktu yang diukur secara tepat
adalah ukuran dari ultrafiltrasi dan penghilangan cairan. Berat
kering menentukan berapa banyak kelebihan cairan)
 Batasi asupan cairan dan garam(rasional:Pembatasan cairan perlu
dilakukan untuk mengurangi rasa haus &Kadar natrium yang tinggi
berhubungab dengan kelebihan cairan, edema, hipertensi dan
kompikasi jantung)
 Tinggikan kepala tempat tidur 30-40 derajat
3. Edukasi
 Anjurkan melapor jika haluaran urine <0.5 ml/kg/jam dalam 6 jam
(rasional: Membantu dalam mengevaluasi status cairan)
 Anjurkan melapor jika BB bertambah > 1 kg dalam sehari
(rasional: Penurunan berat badan selama waktu yang diukur secara
tepat adalah ukuran dari ultrafiltrasi dan penghilangan cairan. Berat
kering menentukan berapa banyak kelebihan cairan)
 Ajarkan cara mengukur dan mencatat asupan dan haluaran cairan
(rasional: Membantu dalam mengevaluasi status cairan, terutama
bila dibandingkan dengan berat badan. Haluaran urin merupakan
evaluasi fungsi ginjal yang tidak akurat pada klien dialisis.
Beberapa individu memiliki keluaran air dengan sedikit
pembersihan racun ginjal l, sedangkan yang lain memiliki oliguria
atau anuria)
 Ajarkan cara membatasi cairan (rasional: Sifat interminen
hemodialisa menghasilkan retensi cairan dan kelebihan volume
antara prosedur dan mungkin memerlukan pembatasan cairan.
Membatasi cairan membantu mengurangi rasa haus)
4. Kolaborasi
 Kolaborasi pemberian diuretik (rasional: selain terapi hemodialisa,
perlu diberikan obat diuretik karena fungsi ginjal sudah menurun
sehingga perlu diberikan untuk membuang kelebihan garam, air
dan zat lain)
 Kolaborasi penggantian kehilangan kalium akibat diuretic
 Kolaborasi pemberian continuous renal replacement therapy
(rasional : Memberikan respons fisiologis yang lebih normal
dengan mengeluarkan air plasma lebih lambat, sehingga
mengkompensasi hilangnya volume intravaskular yang sangat
berguna dalam perawatan intensif)
(PPNI, Standar Intervensi Keperawatan Indonesia, 2017) (Doenges,
2014)
d. Hasil Yang diharapkan/Keluaran
Dengan dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam diharapkan
Keseimbangan cairan meningkat dengan kriteria hasil:
1. Edema menurun
2. Asites menurun
3. Tekanan darah membaik
4. Tekanan Arteri rata-rata membaik
5. Berat badan membaik
(PPNI, Standar Luaran Keperawatan Indonesia , 2017)
DAFTAR PUSTAKA

Doenges, M. E. (2014). Nursing Care Plans. Philadelpia: Davis Co.

Kalengkongan, D. J. (2018). FAKTOR-FAKTOR RISIKO YANG BERHUBUNGAN


DENGAN CHRONIK KIDNEY DISEASE (CKD) PENDERITA YANG DIRAWAT DI
RUMAH SAKIT DAERAH LIUNKENDAGE TAHUNA. Jurnal Ilmiah Sesebanua , 100-
115.

Lemone, P. (2016). Keperawatan Medikal Bedah : Gangguan Eliminasi. Jakarta: EGC.

muttaqin, A. (2020). Asuhan Keperawatan Gangguan Sistem Perkemihan . Jakarta: Salemba


Medika.

PPNI. (2017). Standar Diagnosa Keperawatan Indonesia. Jakarta: DPP PPNI.

PPNI. (2017). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia. Jakarta: DPP PPNI.

PPNI. (2017). Standar Luaran Keperawatan Indonesia . Jakarta: DPP PPNI.

Anda mungkin juga menyukai