Anda di halaman 1dari 53

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Seorang farmasis memegang peranan yang sangat penting dalam
peningkatan mutu pelayanan kesehatan yang berorientasi kepada pasien
(Patient Oriented). Sebagai seorang farmasis, peningkatan mutu
pelayanan ini dapat dilakukan melalui suatu proses pelayanan
kefarmasian (Pharmaceutical care) (Siregar, 2004).
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan No. 58 tahun 2014 dimana
tentang Standar Pelayanan Kesehatan di Rumah Sakit, dimana Seorang
apoteker klinis dituntut untuk dapat memberikan pelayanan kefarmasian
yang baik sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Pharmaceutical Care adalah salah satu elemen penting dalam
pelayanan kesehatan dan selalu berhubungan dengan elemen lain dalam
bidang kesehatan. Farmasi dalam kaitannya dengan Pharmaceutical Care
harus memastikan bahwa pasien mendapatkan terapi obat yang tepat, efesien
dan aman. Hal ini melibatkan tiga fungsi umum, yaitu mengidentifikasi
potensial Drug Related Problems, memecahkan atau mengatasi potensial
Drug Related Problems, mencegah terjadinya potensial Drug Related
Problems. Karena hal tersebut, perlu dilakukan kajian Drug Related
Problems (DRPs) pada pasien penyakit ginjal kronik (Aslam, dkk, 2004;
Siregar, 2004).
Pelayanan farmasi klinik adalah pelayanan langsung yang diberikan
Apoteker kepada pasien dalam rangka meningkatkan outcome terapi dan
meminimalkan risiko terjadinya efek samping karena obat, untuk tujuan
keselamatan pasien sehingga kualitas hidup pasien terjamin. Pelayanan
farmasi klinik yang dimaksud meliputi: pengkajian dan pelayanan resep,
penelusuran riwayat penggunaan obat, rekonsiliasi obat, Pelayanan
Informasi Obat (PIO), konseling, visite, Pemantauan Terapi Obat (PTO);
monitoring efek samping obat, evaluasi penggunaan obat, dispensing

1
sediaan steril; dan pemantauan kadar obat dalam darah (Permenkes 72,
2016).
Indonesia merupakan negara dengan tingkat pasien penyakit ginjal
kronik yang cukup tinggi. Berdasarkan Riset Kesehatan Kementerian
Kesehatan (2013) menyatakan bahwa dari jumlah responden usia ≥15 tahun
sebanyak 722.329 orang (347.823 laki-laki dan 374.506 wanita).
Prevalensi penyakit ginjal kronik bersadarkan diagnosa dokter di
Indonesia sebesar 0,2%. Prevalensi tertinggi di Sulawesi Tengah
sebanyak 0,5%, diikuti Aceh, Gorontalo dan Sulawesi Utara masing-
masing 0,4%. Sementara Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Selatan,
Lampung, Jawa barat, Jawa Tengah, di Yogyakarta dan Jawa Timur
masing-masing 0,3%. Prevalensi penyakit ginjal kronik berdasarkan
wawancara yang didiagnosa dokter meningkat dengan bertambahnya usia,
meningkat tajam pada kelompok 35-44 tahun (0,3%), usia 45-54 tahun
(0,4%), usia 55-74 tahun (0,5%), dan meningkat pada kelompok usia ≥75
tahun sebesar 0,6%. Prevalensi berdasarkan jenis kelamin, lebih tinggi
pada pria sebesar 0,3% dan pada wanita 0,2% (Rikesdas, 2013).
Berdasarkan laporan Indonesian Renal Registry (2014), suatu
registrasi dari Perhimpunan Nefrologi Indonesia (PERNEFRI), pada
tahun 2009 tercatat sebanyak 5.450 pasien penyakit ginjal kronik yang
menjalani terapi hemodialisa, kemudian meningkat pada tahun 2010
sebanyak 8.034 pasien, meningkat pada tahun 2011 sebanyak 12.804
pasien, terus meingkat pada tahun 2012 menjadi sebanyak 19.612
pasien, dan meningkat lagi tahun 2013 menjadi sebanyak 22.115 pasien
penyakit ginjal kronik yang menjalani terapi hemodialisa di Indonesia.
Mengingat pentingnya peran Apoteker dalam pelayanan kefarmasian
di Rumah Sakit, maka dalam Praktek Kerja Profesi Apoteker (PKPA) ini
dilakukan pengkajian study kasus. Dimana studi kasus diambil dari pasien
di Unit Perawatan Zam-Zam di Rumah Sakit Islam Cempaka Putih Jakarta
yang didiagnosa menderita penyakit CKD on HD. Studi kasus ini

2
dimaksudkan agar calon Apoteker dapat belajar tentang hal- hal terkait
pelayanan kefarmasian di Rumah Sakit.

1.2 Tujuan
Tugas khusus ini bertujuan unuk mengkaji profil pengobatan pasien
rawat inap di Rumah Sakit Islam Cempaka Putih Jakarta untuk mengetahui,
mengidentifikasi, dan mengevaluasi adanya Drug Related Problem (DRP)
serta menilai pengobatan rasional yang ditinjau dari Drug Related Problem
(DRP) serta mengedukasi kepada pasien dalam pengobatannya.

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Chronic Kidney Disease (CKD)


2.1.1. Definisi CKD
Chronic Kidney Disease (CKD) atau penyakit ginjal kronik adalah
suatu proses patofisiologis dengan etiologi yang beragam, yang
mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif, dan pada umumnya
berakhir dengan gagal ginjal (Skorecki, 2005). Selanjutnya, penyakit
ginjal adalah suatu keadaan klinis yang ditandai dengan penurunan
fungsi ginjal yang ireversibel, pada suatu derajat yang memerlukan
terapi pengganti ginjal yang tetap, berupa dialisis maupun transplantasi
ginjal. Penyakit ginjal kronik, menurut NKF-K/DOQI, untuk pasien yang
memiliki salah satu kriteria sebagai berikut (Kanitkar, 2009):
1. Kerusakan ginjal ≥ 3 bulan, dimana terdapat abnormalitas struktur
atau fungsi ginjal dengan atau tanpa penurunan GFR, yang
dimanifestasikan oleh satu atau beberapa gejala berupa abnormalitas
komposisi darah atau urin, abnormalitas pemeriksaan pencitraan, dan
abnormalitas biopsi ginjal.
2. GFR < 60 ml/mnt/1,73 m2 selama ≥ 3 bulan dengan atau tanpa
tanda kerusakan ginjal lainnya yang telah disebutkan sebelumnya di atas.
Penyakit ginjal kronik ini dapat dibagi menjadi 5 tahap, tergantung pada
tingkat keparahan kerusakan ginjal dan tingkat penurunan fungsi
ginjal. Pada stadium 5, penyakit ginjal kronik disebut sebagai stadium
akhir penyakit ginjal (end stage renal disease / end stage renal failure)
(ESRD). Tahap ini merupakan akhir dari fungsi ginjal. Ginjal bekerja
kurang dari 15% normal (Corrigan, 2011). ESRD merupakan gangguan
fungsi yang progresif dan irreversibel dimana kemampuan tubuh gagal
untuk mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan dan
elektrolit, menyebabkan uremia (retensi urea dan sampah nitrogen
lainnya dalam darah (Brunner and Suddart ed. 8 vol. 2, 2001).

4
Penyakit ginjal kronik (PGK) yang mulai perlu dialisis adalah
penyakit ginjal kronik yang mengalami penurunan fungsi ginjal
dengan laju filtrasi glomerolus (LFG) <15 mL/menit. Pada keadaan ini,
fungsi ginjal sudah sangat menurun sehingga terjadi akumulasi toksin
dalam tubuh yang disebut dengan uremia. Pada keadaan uremia
dibutuhkan terapi pengganti ginjal untuk mengambil alih fungsi ginjal
dalam mengeleminasi toksin tubuh, sehingga tidak terjadi gejala yang
lebih berat (Cahyaningsih, 2008).
2.1.2 Etiologi
Etiologi dari penyakit ginjal kronik berbeda-beda antara satu
negara dengan negara lain. Menurut Pernefri (2011), penyebab Gagal
Ginjal Kronik (GGK) paling banyak di Indonesia adalah hipertensi (34
%), nefropati diabetika (27 %), dan glomerulopati primer (14 %). Etiologi
penyakit ginjal kronik sangat bervariasi, etiologi yang sering menjadi
penyebab penyakit ginjal kronik diantaranya adalah:
a. Glomerulonefritis
Glomerulonefritis (GN) adalah penyakit parenkim ginjal progesif
dan difus yang sering berakhir dengan penyakit ginjal kronik,
disebabkan oleh respon imunologik dan hanya jenis tertentu saja
yang secara pasti telah diketahui etiologinya. Secara garis besar dua
mekanisme terjadinya glomerulonefritis yaitu Circulating Immune
Complex dan terbentuknya deposit kompleks imun secara insitu.
Kerusakan glomerulus tidak langsung disebabkan oleh kompleks
imun, berbagai faktor seperti proses inflamasi, sel inflamasi,
mediator inflamasi dan komponen berperan pada kerusakan
glomerulus (Suwitra, 2009) Glomerulonefritis ditandai dengan
proteinuria, hematuri, penurunan fungsi ginjal dan perubahan eksresi
garam dengan akibat edema, kongesti aliran darah dan hipertensi.
Manifestasi klinik glomerulonefritis merupakan sindrom klinik
yang terdiri dari kelainan urin asimptomatik, sindrom nefrotik
dan glomerulonefritis kronik. Di Indonesia, glomerulonefritis masih

5
menjadi penyebab utama penyakit ginjal kronik dan penyakit ginjal
tahap akhir (Suwitra, 2009).
b. Diabetes Mellitus
Diabetes Melitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit
metabolik dengan karateristik hiperglikemia yang terjadi karena
kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya (Suwitra,
2009). Hiperglikemia kronik pada diabetes berhubungan dengan
kerusakan jangka panjang, disfungsi atau kegagalan beberapa
organ tubuh, terutama mata, ginjal, syaraf, jantung dan pembuluh
darah (Suwitra, 2009). Masalah yang akan dihadapi oleh penderita
diabetes melitus cukup komplek sehubungan dengan terjadinya
komplikasi kronis baik mikro maupun makroangiopati. Salah satu
komplikasi mikroangiopati adalah nefropati diabetik yang bersifat
kronik progresif (Arsono, 2005).
c. Hipertensi
Hipertensi merupakan salah satu faktor pemburuk fungsi ginjal
disamping faktor lain seperti proteinuria, jenis penyakit ginjal,
hiperglikemi dan faktor lain (Suwitra, 2009). Penyakit ginjal
hipertensi menjadi salah satu penyebab penyakit ginjal kronik.
Insideni hipertensi esensial berat yang berakhir dengan gagal ginjal
kronik < 10 % (Sukandar, 2006).
d. Penyebab lain
Penyebab lain adalah infeksi, penyakit peradangan, penyakit
vaskuler hipersensitif, gangguan jaringan penyambung, gangguan
kongenital dan herediter, gangguan metabolisme, nefropati toksik,
nefropati obstruksi dan intoksikasi obat.

2.1.3. Manisfestasi Klinik

Sistem tubuh pada pasien penyakit ginjal kronik dipengaruhi oleh


kondisi uremia, maka pasien akan memperlihatkan sejumlah tanda dan
gejala. Keparahan tanda dan gejala bergantung pada bagian dan tingkat

6
kerusakan ginjal, kondisi lain yang mendasari, dan usia pasien. Manifestasi
kardiovaskuler pada pasien penyakit ginjal kronik mencakup hipertensi
yang diakibatkan oleh retensi cairan dan natrium dari aktivitas sistem
renin angiotensin aldosteron, gagal jantung kongestif dan edema pulmoner
yang diakibatkan oleh cairan berlebih dan perikarditis yang diakibatkan
oleh adanya iritasi pada lapisan perikardial oleh toksik uremik. Gejala
dermatologi yang sering terjadi mencakup rasa gatal yang parah (pruritis)
berupa butiran uremik yaitu penumpukan kristal urea di kulit. Pada
umumnya penderita penyakit ginjal kronik stadium 1-3 tidak mengalami
gejala apa-apa atau tidak mengalami gangguan keseimbangan cairan,
elektrolit, endokrin dan metabolik yang tampak secara klinis
(asimtomatik). Gangguan yang tampak secara klinis biasanya baru
terlihat pada penderita penyakit ginjal kronik stadium 4 dan 5. Beberapa
gangguan yang sering muncul pada pasien penyakit ginjal kronik anak
adalah: gangguan pertumbuhan, kekurangan gizi dan protein, gangguan
elektrolit, asidosis, osteodistrofi ginjal, anemia dan hipertensi (Smeltzer
and Bare, 2001).

2.1.4. Patofisiologi dan Klasifikasi Penyakit Ginjal

A. Patofisiologi
Penyakit ginjal kronik pada awalnya tergantung dari penyakit yang
mendasarinya. Namun, setelah itu proses yang terjadi adalah sama.
Pada diabetes melitus, terjadi hambatan aliran pembuluh darah sehingga
terjadei nefropati diabetik, dimana terjadi peningkatan tekanan glomerular
sehingga terjadi ekspansi mesangial, hipertrofi glomerular. Semua itu
akan menyebabkan berkurangnya area filtrasi yang mengarah pada
glomerulosklerosis (Sudoyo, 2009). Tingginya tekanan darah juga
menyebabkan terjadi gagal ginjal kronik. Tekanan darah yang tinggi
menyebabkan perlukaan pada arteriol aferen ginjal sehingga dapat terjadi
penurunan filtrasi (NIDDK, 2014). Pada glomerulonefritis, saat antigen dari
luar memicu antibodi spesifik dan membentuk kompleks imun yang

7
terdiri dari antigen, antibodi, dan sistem komplemen. Endapan
kompleks imun akan memicu proses inflamasi dalam glomerulus.
Endapan kompleks imun akan mengaktivasi jalur klasik dan
menghasilkan Membrane ATSack Complex yang menyebabkan lisisnya sel
epitel glomerulus (Sudoyo, 2009). Terdapat mekanisme progresif berupa
hiperfiltrasi dan hipertrofi pada nefron yang masih sehat sebagai
kompensasi ginjal akibat pengurangan nefron. Namun, proses
kompensasi ini berlangsung singkat, yang akhirnya diikuti oleh proses
maladaptif berupa nekrosis nefron yang tersisa (Harrison, 2012).
Proses tersebut akan menyebabkan penurunan fungsi nefron secara
progresif. Selain itu, aktivitas dari renin-angiotensin- aldosteron juga
berkontribusi terjadinya hiperfiltrasi, sklerosis, dan progresivitas dari
nefron (Sudoyo, 2009). Hal ini disebabkan karena aktivitas renin-
angiotensin-aldosteron menyebabkan peningkatan tekanan darah dan
vasokonstriksi dari arteriol aferen (Tortora, 2011). Pada pasien penyakit
ginjal kronik, terjadi peningkatan kadar air dan natrium dalam tubuh.
Hal ini disebabkan karena gangguan ginjal dapat mengganggu
keseimbangan glomerulotubular sehingga terjadi peningkatan intake
natrium yang akan menyebabkan retensi natrium dan meningkatkan
volume cairan ekstrasel (Harrison, 2012). Reabsorbsi natrium akan
menstimulasi osmosis air dari lumen tubulus menuju kapiler peritubular
sehingga dapat terjadi hipertensi (Tortora, 2011). Hipertensi akan
menyebabkan kerja jantung meningkat dan merusak pembuluh darah
ginjal. Rusaknya pembuluh darah ginjal mengakibatkan gangguan filtrasi
dan meningkatkan keparahan dari hipertensi (Saad, 2014). Gangguan
proses filtrasi menyebabkan banyak substansi dapat melewati
glomerulus dan keluar bersamaan dengan urin, contohnya seperti
eritrosit, leukosit, dan protein (Harrison, 2012). Penurunan kadar
protein dalam tubuh mengakibatkan edema karena terjadi penurunan
tekanan osmotik plasma sehingga cairan dapat berpindah dari
intravaskular menuju interstitial (Kidney Failure, 2013). Sistem renin-

8
angiotensin-aldosteron juga memiliki peranan dalam hal ini. Perpindahan
cairan dari intravaskular menuju interstitial menyebabkan penurunan aliran
darah ke ginjal. Turunnya aliran darah ke ginjal akan mengaktivasi sistem
renin- angiotensin-aldosteron sehingga terjadi peningkatan aliran darah
(Tortora, 2011). Penyakit ginjal kronik menyebabkan insufisiensi
produksi eritropoetin (EPO). Eritropoetin merupakan faktor pertumbuhan
hemopoetik yang mengatur diferensiasi dan proliferasi prekursor eritrosit.
Gangguan pada EPO menyebabkan terjadinya penurunan produksi
eritrosit dan mengakibatkan anemia (Harrison, 2012).
B. Klasifikasi
Klasifikasi penyakit ginjal kronik didasarkan atas 2 hal yaitu atas
dasar derajat penyakit dan diagnostik etiologi. Klasifikasi penyakit ginjal
kronik dapat diketahui berdasarkan konsentrasi kreatinin dalam plasma,
umur, jenis kelamin, dan etnik. Perhitungan konsentrasi kreatinin dalam
plasma dapat dihitung berdasarkan persamaan dari Kockcroft-Gault , yaitu:

Konsentrasi Kreatinin Dalam Plasma (ml/mnt)

= ¿¿

*keterangan: wanita x 0,85

Tabel 1. Klasifikasi dan tatalaksana CKD (Dipiro, 2015).

9
Berdasarkan derajat penyakit Tatalaksana

1. Kerusakan ginjal dengan LFG Terapi penyakit dasar, kondisi


normal atau meningkat (≥ 90) komorbid, evaluasi pemburukan
fungsi ginjal, memperkecil
resiko kardiovaskuler

2. LFG menurun ringan (60-89) Menghambat pemburukan


fungsi ginjal

3. LFG menurun sedang (30-59) Evaluasi dan terapi komplikasi

4. LFG menurun berat (15-29) Persiapan untuk terapi


pengganti ginjal

5. Gagal Ginjal (< 15 atau dialisis) Terapi pengganti ginjal

2.1.5. Penatalaksanaan Penyakit Ginjal


A. Terapi Non Farmakologi
1. Pengaturan asupan protein
Tabel 2. Pengaturan asupan protein
LFG ml/menit Asupan Protein g/kg/hari
>60 Tidak Dianjurkan
25-60 0,6 – 0,8/kg/hari
5-25 0,6-0,8/kg/hari atau tambahan
0,3g asam amino esensial atau
asam keton
<60 (sindrom nefrotik) 0,8/kg/hari(=1 gr protein /g
proteinuria atau 0,3 g/kg tambahan
asam amino esensial atau asam

10
keton

2. Pengaturan asupan kalori yaitu 35 kal/kgBB ideal/hari.


3. Pengaturan asupan lemak yaitu 30-40% dari kalori total dan
mengandung jumlah yang sama antara asam lemak bebas jenuh dan
tidak jenuh.
4. Pengaturan asupan karbohidrat yaitu 50-60% dari kalori total.
5. Asupan garam (NaCl) yaitu 2-3 gram/hari.
6. Asupan kalium yaitu 40-70 mEq/kgBB/hari.
7. Asupan fosfor:5-10 mg/kgBB/hari, untuk pasien hemodialisa :17
mg/hari.
8. Asupan kalsium: 1400-1600 mg/hari.
9. Asupan besi: 10-18mg/hari.
10. Asupan magnesium: 200-300 mg/hari.
11. Asupan asam folat pada pasien hemodialisa 5mg.
12. Asupan air : jumlah urin 24 jam + 500ml (Insensible Water Loss).

B. Terapi Farmakologis
Penatalaksanaan penyakit gagal ginjal kronik (menurut NICE
guidelines, 2014) adalah:
1. Kontrol tekanan darah
Pada pasien dengan penyakit ginjal kronik, harus mengontrol tekanan
darah sistolik <140 mmHg (dengan target antara 120-139 mmHg) dan
tekanan darah diastolik <90 mmHg. Pada pasien dengan penyakit ginjal
kronik dan diabetes dan juga pada pasien dengan ACR (Albumin Creatinin
Ratio) 70 mg/mmol atau lebih, diharuskan untuk menjaga tekanan darah
sistolik <130 mmHg (dengan target antara 120-129 mmHg) dan tekanan
darah diastolik <80 mmHg.

2. Pemilihan agen antihipertensi

11
a. Pemilihan obat antihipertensi golongan ACE Inhibitor atau ARBs
diberikan kepada pasien penyakit ginjal kronik dan:
 Diabetes dan nilai Albumin Creatinin Ratio (ACR) 3 mg/mmol atau
lebih.
 Hipertensi dan nilai Albumin Creatinin Ratio (ACR) 30 mg/mmol atau
lebih.
 Nilai Albumin Creatinin Ratio (ACR) 70 mg/mmol atau lebih
(terlepas dari hipertensi atau penyakit kardiovaskular).
b. Jangan memberikan kombinasi ACE Inhibitor atau ARBs untuk pasien
penyakit ginjal kronik.
c. Untuk meningkatkan hasil pengobatan yang optimal, sebaiknya
informasikan kepada pasien tentang pentingnya:
 mencapai dosis terapi maksimal yang masih dapat ditoleransi.
 memantau GFR dan konsentrasi serum kalium dalam batas normal.
d. Pada pasien penyakit ginjal kronik, konsentrasi serum kalium dan
perkiraan GFR sebelum memulai terapi ACE inhibitor atau ARBs.
Pemeriksaan ini diulang antara 1 sampai 2 minggu setelah memulai
penggunaan obat dan setelah peningkatan dosis.
e. Jangan memberikan/memulai terapi ACE inhibitor atau ARBs, jika
konsentrasi serum kalium > 5.0 mmol/liter.
f. Keadaan hiperkalemia menghalangi dimulainya terapi tersebut, karena
menurut hasil penelitian terapi tersebut dapat mencetuskan
hiperkalemia.
g. Obat-obat lain yang digunakan saat terapi ACE inhibitor atau ARBs
yang dapat mencetuskan hiperkalemia (bukan kontraindikasi), tapi
konsentrasi serum kalium harus dijaga.
h. Hentikan terapi tersebut, jika konsentrasi serum kalium (potassium)
meningkat > 6,0 mmol/liter atau lebih dan obat-obatan lain yang
diketahui dapat meningkatkan hiperkalemia sudah tidak digunakan lagi.

12
i. Dosis terapi tidak boleh ditingkatkan, bila batas GFR saat sebelu
terapi kurang dari 25% atau kreatinin plasma meningkat dari batas
awal kurang dari 30%.
j. Apabila ada perubahan GFR 25% atau lebih dan perubahan kreatinin
plasma 30% atau lebih:
 investigasi adanya penggunaan NSAIDs.
 Apabila tidak ada penyebab (yang diatas), hentikan terapi tersebut atau
dosis harus diturunkan dan alternatif obat antihipertensi lain dapat
digunakan.
3. Pemilihan statins dan antiplatelet
 Terapi statin digunakan untuk pencegahan primer penyakit
kardiovaskular. Pada pasien penyakit ginjal kronik, penggunaannya
pun tidak berbeda.
 Penggunaan statin pada pasien penyakit ginjal kronik merupakan
pencegahan sekunder dari penyakir kardiovaskular.
 Penggunan antiplatelet pada pasien penyakit ginjal kronik merupakan
pencegahan sekunder dari penyakit kardiovaskular. Penyakit ginjal
kronik bukan merupakan kontraindikasi dari penggunaan aspirin dosis
rendah, tetapi dokter harus memperhatikan adanya kemungkinan
perdarahan minor pada pasien penyakit ginjal kronik yang dieberikan
antiplatelet multiple.
4. Komplikasi lainnya
a. Metabolisme tulang dan osteoporosis
 Jangan rutin mengukur kalsium, fosfat, hormon paratiroid (PTH) dan
kadar vitamin D pada orang dengan GFR 30 mL/ menit /1,73 m² atau
lebih (pada pasien penyakit ginjal kronik stadium 1,2,3).
 Melakukan pengukuran kadar kalsium, fosfat dan konsentrasi PTH
pada pasien dengan GFR kurang dari 30 mL /menit/1,73 m² (pada
pasien penyakit ginjal kronik stadium 4 atau 5)

13
 Pemberian bifosfonat, jika ada indikasi untuk mencegah dan
mengobati osteoporosis pada pasien dengan GFR 30 mL/menit/1,73 m²
atau lebih (pada pasien penyakit ginjal kronik stadium 1, 2, 3).
b. Pemberian suplemen vitamin D
 Jangan rutin memberikan suplemen vitamin D untuk mengelola
atau mencegah gangguan mineral dan tulang pada pasien penyakit
ginjal kronik.
 Pemberian cholecalciferol atau ergocalciferol untuk mengobati
kekurangan vitamin D pada pasien dengan penyakit ginjal kronik dan
kekurangan vitamin D.
 Jika kekurangan vitamin D telah diatasi dan gejala gangguan mineral
dan kelainan tulang masih ada, dapat diberikan alfacalcidol (1-
alphahidroksikolekalsiferol) atau calcitriol (25/1-
dihidroksikolekalsiferol) kepada pasien dengan GFR kurang dari 30 ml /
menit / 1,73 m² (pada pasien penyakit ginjal kronik stadium 4 atau 5).
 Memantau konsentrasi serum kalsium dan fosfat pada pasien
yang mendapat alfacalcidol atau calcitriol.
5. Anemia
 Jika belum diukur, periksa kadar hemoglobin pada pasien dengan
GFR kurang dari 45 mL/menit/1,73 m² (pada pasien penyakit ginjal
kronik stadium 3B, 4 atau 5) untuk mengidentifikasi anemia
(hemoglobin kurang dari 110 g/L atau 11,0 g/dL).
 Tentukan apakah anemia disebabkan oleh penyakit ginjal kronik atau
bukan, dengan memperhatikan GFR kurang dari 60 mL/menit/1,73
m².

2.2. Hemodialisa
2.2.1. Definisi
Hemodialisa adalah proses perpindahan massa berdasarkan difusi
antara darah dan cairan dialisis yang dipisahkan oleh membran
semipermiabel. Alat yang sering digunakan adalah Hollow Fiber atau

14
Capillaty Dialyzer terdiri dari ribuan serabut kapiler halus yang tersusun
paralel. Suatu sistem dialisis terdiri dari dua sirkuit, satu untuk darah dan
satunya lagi untuk cairan dialisis. Bila sistem ini bekerja, darah
mengalir dari penderita melalui tabung plastik (jalur arteri), melalui
Hollow Fiber pada alat dialisis dan kembali ke penderita melalui jalur
vena. Komposisi cairan dialisis diatur sedemikian rupa untuk
memperbaiki gangguan cairan dan elektrolit yang menyertai gagal ginjal
(Wilson & Price, 2006).
2.2.2. Prinsip Dasar Hemodialisa
A. Program Hemodialisa
Hemodialisa merupakan terapi pengganti faal ginjal dengan tujuan
untuk mengeluarkan (eliminasi) sisa-sisa metabolisme protein dan
koreksi gangguan keseimbangan air dan elektrolit antara
kompartemen darah pasien dengan kompartemen larutan dialisat
(konsentrat) melalui selaput (membran) semipermiabel yang
bertindak sebagai ginjal buatan (Sukandar, 1997).
1. Mekanisme proses hemodialisa
Pergeseran / transport (eleminasi) zat terlarut (solute = toksin
uremia) dan air melalui membran semi-permiabel atau dializer
berhubungan dengan proses difusi dan konveksi (Sukandar, 1997).
a. Proses difusi (konduksi)
Difusi artinya proses pergeseran (translokasi) spontan dan pasif zat
yang terlarut dari kompartemen darah ke dalam kompartemen dialisat
melalui membran semi-permiabel (dializer). Kecepatan proses
difusi zat terlarut tergantung banyak faktor, antara lain :
 Koefisien difusi zat terlarut dalam darah, membran dializer,
dan dialisat.
 Luas permukaan membran dializer.
 Perbedaan konsentrasi.

15
b. Proses Konveksi
Proses konveksi artinya proses pergeseran secara simultan zat
terlarut dan pelarut dari kompartemen darah ke dalam
kompartemen dialisat (dan sebaliknya) melalui membran semi-
permiabel. Kecepatan proses konveksi tergantung dari beberapa
faktor:
 Hydraulic permeability.
 The sieving coefficient of the solute.
 Luas permukaan membran dializer.
 Konsentrasi zat terlarut dalam darah.
 Perbedaan tekanan (Pressure Gradient)
B. Kemampuan Fungsi Ginjal Buatan (dializer)
Ginjal buatan memiliki fungsi :
 Fungsi ekskresi untuk sisa-sisa metabolisme nitrogen (toksin
uremia) terbatas tergantung BM (berat molekul) toksin dan
tipe (macam) dializer.
 Fungsi regulasi gangguan keseimbangan air dan elektrolit.
 Tidak mempunyai kemampuan untuk mengatur gangguan
fungsi endokrin dan hormonal (Sukandar, 1997).

2.3. Congestif Heart Failure (CHF)


2.3.1. Definisi
CHF atau sering disebut juga gagal jantung adalah sindrom klinis
yang disebabkan oleh ketidakmampuan jantung untuk memompa darah
dalam jumlah yang cukup untuk kebutuhan metabolisme tubuh (Dipiro,
2015).
Gagal jantung merupakan kumpulan gejala yang kompleks dimana
seorang pasien harus memiliki tampilan berupa: Gejala gagal jantung (nafas
pendek yang tipikal saat istrahat atau saat melakukan aktifitas disertai / tidak
kelelahan); tanda retensi cairan (kongesti paru atau edema pergelangan

16
kaki); adanya bukti objektif dari gangguan struktur atau fungsi jantung saat
istrahat (PERKI, 2015).
Klasifikasi gagal jantung dibedakan berdasarkan kelainan struktural
jantung atau berdasarkan gejala yang berkaitan dengan kapasitas fungsional
NYHA (New York Heart Assotiation) terlihat pada Tabel 2.2.

Tabel 3. Klasifikasi Gagal Jantung (PERKI, 2015)


Klasifikasi berdasarkan kelainan Klasifikasi berdasarkan kapsitas
struktural jantung fungsional (NYHA)

Stadium A. Memiliki risiko tinggi untuk Kelas I. Tidak terdapat batasan dalam
berkembang menjadi gagal jantung. melakukan aktifitas fisik. Aktifitas
Tidak terdapat gangguan struktural atau fisik sehari-hari tidak menimbulkan
fungsional jantung, tidak terdapat tanda kelelahan, palpitasi atau sesak nafas
atau gejala
Stadium B. Telah terbentuk penyakit Kelas II. Terdapat batasan aktifitas
struktur jantung yang berhubungan ringan. Tidak terdapat keluhan saat
dengan perkembangan gagal jantung, istrahat, namun aktifitas fisik sehari-
tidak terdapat tanda atau gejala hari menimbulkan kelelahan, palpitasi
atau sesak nafas

Stadium C. Gagal jantung yang Kelas III. Terdapat batasan aktifitas


simtomatik berhubungan dengan penyakit bermakna. Tidak terdapat keluhan saat
struktural jantung yang mendasari istrahat, tetapi aktfitas fisik ringan
menyebabkan kelelahan, palpitasi atau
sesak
Stadium D. Penyakit jantung struktural Kelas IV. Tidak dapat melakukan
lanjut serta gejala gagal jantung yang aktifitasfisik tanpa keluhan. Terdapat
sangat bermakna saat istrahat walaupun gejala saat istrahat. Keluhan
sudah mendapat terapi medis maksimal meningkat saat melakukan aktifitas

2.3.2. Etiologi Gagal Jantung


Gagal jantung disebabkan oleh keadaan atau hal-hal yang dapat
melemahkan atau merusak miokardium. Keadaaan atau hal-hal tersebut
dapatberasal dari dalam jantung itu sendiri, atau disebut faktor intrinsik, dan
faktor luaryang mempengaruhi kerja jantung, atau disebut dengan faktor
ekstrinsik. Kondisi yang paling sering menyebabkan gagal jantung adalah
kelainan struktur danfungsi jantung yang mengakibatkan kegagalan fungsi
sistolik ventrikel kiri(Cowie & Kirby, 2003).

17
a. Faktor Intrinsik
Penyebab utama dari gagal jantung adalah penyakit arteri
koroner, Penyakit arteri koroner ini menyebabkan berkurangnya aliran
darah ke arteri koroner sehingga menurunkan suplai oksigen dan
nutrisi ke otot jantung. Berkurangnya oksigen dan nutrisi
menyebabkan kerusakan atau bahkan kematian otot jantung sehingga
otot jantung tidak dapat berkontraksi dengan baik kematian otot
jantung atau disebut infark miokard merupakan penyebab tersering
lain yang menyebabkan gagal jantung.Keadaan infark miokard
tersebut akan melemahkan kemampuan jantung dalam memompa
darah untuk memenuhi kebutuhan oksigen dan nutrisi tubuh.
Penyebab intrinsik lain dari gagal jantung kelainan katup,
cardiomyopathy, dan aritmia jantung (Black & Hawks, 2009).
b. Faktor Ekstrinsik
Beberapa faktor ekstrinsik yang dapat menyebabkan gagal
jantung meliputi kondisi yang dapat meningkatkan afterload (seperti
hipertensi),peningkatan stroke volume akibat kelebihan volume atau
peningkatan preload ,dan peningkatan kebutuhan (seperti
tirotoksikosis, kehamilan). Kelemahan pada ventrikel kiri tidak
mampu menoleransi perubahan yang masuk ke ventrikel kiri.Kondisi
ini termasuk volume abnormal yang masuk ke ventrikel kiri, otot
jantungventrikel kiri yang abnormal, dan masalah yang menyebabkan
penurunan kontraktilitas otot jantung (Black & Hawks, 2009).
c. Faktor resiko Individu yang dapat menimbulkan CHF
Gagal jantung dapat disebabkan oleh kondisi-kondisi yang
melemahkan jantung. Kondisi-kondisi tersebut dapat menyebabkan
gangguan pada jantung, baik sebagai faktor intrinsik maupun
ekstrinsik. Beberapa faktor risiko tersebut antara lain peningkatan
usia, hipertensi, diabetes melitus, merokok, obesitas, dan tingginya
tingkat kolesterol dalam darah (Brown & Edwards, 2005).

18
2.3.3. Manifestasi Klinis Gagal jantung
Manifestasi klinis gagal jantung terlihat pada Tabel 2.3.

Tabel 4. Manifestasi klinis Gagal jantung (PERKI, 2015)


Gejala Tanda
Tipikal Spesifik
- Sesak nafas - Peningkatan JVP
- Ortopneu - Refluks hepatojugular
- Paroxysmal nocturnal dyspnoe - Suara jantung S3 (Gallop)
- Toleransi aktifitas yang berkurang - Apex jantung bergeser ke
- Cepat lelah lateral
- Begkak di pergelangan kaki - Bising jantung
Kurang tipikal Kurang tipikal
- Batuk di malam / dini hari - Edema perifer
- Mengi - Krepitasi pulmonal
- Berat badan bertambah > 2 kg/minggu - Sura pekak di basal paru
- Berat badan turun (gagal jantung) pada
stadium lanjut) perkusi
- Perasaan kembung/ begah - Takikardia
- Nafsu makan menurun - Nadi ireguler
- Perasaan bingung (terutama pasien usia - Nafas cepat
lanjut) - Heaptomegali
- Depresi - Asites
- Berdebar - Kaheksia
- Pingsan

2.3.4. Patogenesis Gagal Jantung


Patogenesis Gagal Jantung menurut Dipiro, 2015 yaitu:
 Penyebab disfungsi sistolik (penurunan kontraktilitas) berkurang massa
otot {misalnya, Infark Miokard (MI)}, kardiomiopati dilatasi, dan
hipertrofi ventrikel. Hipertrofi ventrikel dapat disebabkan oleh
kelebihan tekanan (misalnya sistemik atau paru-paru hipertensi dan
stenosis katup aorta atau pulmonalis) atau kelebihan volume (misalnya,
regurgitasi katup, keadaan keluaran tinggi).
 Penyebab disfungsi diastolik (pembatasan pengisian ventrikel)
meningkat-kan kekakuan ventrikel, hipertrofi ventrikel, penyakit

19
miokard infiltratif, miokardiskemia dan MI, stenosis katup mitral atau
trikuspid, dan penyakit perikardial (misalnya,perikarditis dan
tamponade perikardial).
 Penyebab utama gagal jantung adalah penyakit arteri koroner dan
hipertensi.
 Saat fungsi jantung menurun setelah cedera miokard, jantung
bergantung pada mekanisme kompensasi: (1) takikardia dan
meningkatnya kontrak-tilitas melalui simpatiaktivasi sistem saraf; (2)
mekanisme Frank-Starling, dimana meningkat preload meningkatkan
volume stroke; (3) vasokonstriksi; dan (4) hipertrofi ventrikel dan
remodeling. Meskipun mekanisme kompensasi ini pada awalnya
dipertahankanfungsi jantung, mereka bertanggung jawab atas gejala
gagal jantung dan berkontribusiperkembangan penyakit.
 Pada gagal jantung neurohormonal, kejadian awal (misalnya MI akut)
mengarah kepenurunan curah jantung; keadaan gagal jantung kemudian
menjadi penyakit sistemik yang perkembangannya dimediasi sebagian
besar oleh faktor neurohormon dan faktor autokrin/parakrin. Zat ini
meliputi angiotensin II, norepinefrin, aldosteron, natriuretik peptida,
arginin vasopresin, peptida endotelin, dan biomarker sirkulasi
lainnya(misalnya protein C-reaktif).
 Faktor pengendapan yang umum dapat menyebabkan pasien gagal
jantung yang sebelumnya diberi kompensasi untuk dekompensasi
meliputi iskemia miokard dan Miokard Infark, atrial fibrillation,
pulmonary infeksi, ketidakpatuhan dengan diet atau terapi obat, dan
pengobatan yang tidak tepat menggunakan. Obat-obatan dapat memicu
atau memperburuk jantung karena inotropinya yang negatif,
kardiotoksik, atau cairan penahan natrium dan air.
2.3.5. Tatalaksana Farmakologi Gagal Jantung
Tujuan diagnosis dan terapi gagal jantung yaitu untuk mengurangi
morbiditas dan mortalitas. Tindakan preventif dan pencegahan perburukan
penyakit jantung tetap merupakan bagian penting dalam tatalaksana

20
penyakit jantung. Gambar 2.1 menyajikan tatalaksana farmakologi pada
pasien gagal jantung.

Gambar 1. Tatalaksana Farmakologi Gagal jantung Stadium A dan B


(Dipiro, 2015)

21
Gambar 2. Tatalaksana Farmakologi Gagal jantung Stadium C (AHA, 2016)

2.4. Uraian Obat


1. Candesartan (Medscape, 2018)
Komposisi : Candesartan
Indikasi : Hipertensi, gagal jantung awal
Efek samping : Pusing, sakit kepala, vertigo, sakit punggung, infeksi saluran
pernapasan bagian atas, radang tenggorokan, rinitis, hipotensi,
hiperkalemia, peningkatan kreatinin serum.
Perhatian :Sejarah angiodema, Hipovolemia, pada gangguan hati,
hiperkolesterolemia, hiperkalsemia, penyakit paratiroid,
insufisiensi ginjal yang sudah ada sebelumnya, lupus
eritematosus sistemik, anuria
Kontraindikasi : Gangguan hati parah atau kolestasis. Bersamaan menggunakan
aliskiren pada pasien dengan DM. Kehamilan

22
Mekanisme Kerja : Pemblokir reseptor angiotensin II (ARB); mencegah
angiotensin II untuk mengikat reseptornya, yang pada gilirannya
menghambat efek vasokonstriksi dan aldosteron dari angiotensin
II
Dosis pakai : Hipertensi : 16mg/hari , maksimal : 32 mg / hari sebagai dosis
tunggal atau dalam 2 dosis terbagi.
Gagal jantung Awal: 4 mg sekali sehari. Bisa berlipat ganda
pada interval tidak <2 minggu. Max: 32 mg sekali sehari.
2. Clonidine 0.15 mg (Medscape, 2018)
Komposisi : Clonidine
Indikasi : Hipertensi, profilaksis migrain, nyeri kanker parah
Efek samping : Sakit kepala, pusing, kantuk, mulut kering, konstipasi, depresi,
kegelisahan, mual, kelelahan, anoreksia, nyeri parotid,
parestasis, persepsi delusional, gangguan tidur, mimpi yang
hidup, impotensi dan hilangnya libido, retensi urin atau
inkontinensia, hipotensi ortostatik, gatal atau gangguan sensasi
di mata, gangguan akomodasi, penurunan lakrimasi, retensi
cairan, pruritus dan ruam (transdermal).
Perhatian : Epidural: Pasien hemodinamik yang tidak stabil (risiko
hipotensi berat), Jangan berhenti mendadak (resiko rebound
hipertensi), Patch: Mungkin perlu dikeluarkan jika eritema parah
dan / atau pembentukan vesikel lokal berkembang di tempat
aplikasi atau ruam umum; konsultasikan dengan dokter,
Insufisiensi koroner berat
Kontraindikasi : Hipersensitivitas; antikoagulan bersamaan, diatesis pendarahan
adanya infeksi di tempat suntikan, administrasi di atas dermatom
C4, karena kurangnya data keamanan yang memadai, nyeri
obstetrik / perioperatif
Mekanisme Kerja: Simpatolitik sentral melalui stimulasi reseptor alfa pusat;
Hasilnya mengurangi aliran simpatis, menyebabkan penurunan
PVR, HR, BP, dan resistensi vaskular ginjal; menghasilkan

23
analgesia adrenoreseptor alpha-2 presynaptic dan postjunctional
dengan mencegah transmisi sinyal nyeri ke otak
Dosis pakai : Hipertensi : 0.1 – 0.2 mg/ hari tiap 12 jam tidak lebih dari 2.4
mg/hari ;Profilaksis migrain 50 mcg, meningkat menjadi 75 mcg
jika tidak ada remisi setelah 2 minggu. IV Krisis hipertensi 150-
300 mcg dapat diulang sampai maksimal 750 mcg selama 24
jam. Hipertensi transdermal sebagai pelepasan patch 100-300
mcg / 24 jam: Epidural Nyeri kanker parah Awal: 30 mcg / jam,
dikombinasikan dengan opioid.
3. CaCO3 (MIMS, 2016)
Komposisi : Calcium Carbonat
Indikasi : Hiperfosfatemia
Efek samping : Sembelit, perut kembung; hiperkalsemia; alkalosis metabolik;
sindroma susu-alkali, kalsifikasi jaringan. Hipersekresi ganas
dan asam rebound (dengan penggunaan jangka panjang
Kontraindikasi : Pasien dengan kalkulus ginjal atau riwayat kalkuli ginjal;
hiperkalsemia; hipofosfatemia.
Mekanisme Kerja: Kalsium karbonat dapat menetralkan asam lambung dengan
cepat dan efektif. Namun, hal itu dapat mempengaruhi proses Ca
dependent, yang menyebabkan sekresi asam lambung dan
hidroklorida. Ini dapat menyebabkan sekresi asam rebound dan,
dosis tinggi yang berkepanjangan dapat menyebabkan
hiperkalsemia, alkalosis dan sindrom susu-alkali.
Dosis pakai : Hiperfosfataemia pada gagal ginjal kronis Awal: 2,5 g / hari,
sampai 17 g / hari dalam dosis terbagi
4. Folic Acid (MIMS, 2016)
Komposisi : Asam Folat
Indikasi : Profilaksis anemia megaloblastik pada kehamilan, Suplemen
untuk wanita hamil, Anemia megaloblastik defisiensi folat,
Profilaksis defek tabung saraf pada kehamilan

24
Efek samping : Gangguan Gastrointestinal yang tidak terdiagnosis, reaksi
hipersensitivitas; bronkospasme anemia megaloblastik; anaemia
yang merusak, aplastik atau normositik.
Perhatian : Perlakuan resistensi dapat terjadi pada pasien dengan
haematopoiesis tertekan, alkoholisme, kekurangan vitamin
lainnya. Neonatus
Kontraindikasi : Anemia megaloblastik yang tidak terdiagnosis; anaemia yang
merusak, aplastik atau normositik.
Mekanisme Kerja: Farmakokinetik; Penyerapan: Cepat diserap terutama dari
duodenum dan jejunum. Distribusi: Ekstensif terikat pada
protein plasma. Situs utama penyimpanan adalah hati. Hal ini
juga terkonsentrasi di CSF dan memasuki ASI. Metabolisme:
Menjalani konversi dalam plasma dan hati ke metabolisme aktif
5-methyltetrahydrofolate. Ekskresi: Via urine (sebagai obat dan
metabolit yang tidak berubah). Dihapus oleh hemodialisis.
Dosis pakai : Dewasa: defisiensi natrium anemia megaloblastik 5 mg / hari ;
hhselama 4 m, sampai 15 mg / hari pada keadaan malabsorpsi.
Profilaksis anemia megaloblastik pada kehamilan 0,2-0,5 mg /
hari. Profilaksis defek tabung saraf pada kehamilan 4 atau 5
mg / hari. Suplemen untuk wanita berpotensi melahirkan anak
0,4 mg / hari.
5. Pro renal (MIMS, 2016)
Komposisi : Asam DL-3-metil-2-okso-valerat 67 mg, asam 4-metil-2-okso-
valerat 101 mg, asam 2-okso-3-fenil-propionat 68 mg, 3-metil-
2-okso-butir asam-asam 76 mg, L-triptofan 23 mg, L-histidin 38
mg, L-tirosin 30 mg, asam-asam 86 mg, asam DL-2-hidroksi-4-
metilthio-butirat 59 mg, L-lisin monoasetat 105 mg, L-threonine
53 mg
Indikasi : Insufisiensi ginjal kronik bersamaan dengan diet protein
rendah kalori tinggi pada retensi kompensasi atau dekompensas
Efek samping : Dapat menyebabkan hiperkalsemia.

25
Kontraindikasi :Hiperkalsemia, gangguan metabolisme asam amino, kehamilan,
anak
Dosis pakai : Dewasa 70 kg insufisiensi ginjal kronis 4-8 tab 3 kali sehari.
Retensi kompensasi 4-6 tab 3 kali sehari dengan protein rendah
kalori rendah. Retensi dekompensasi 4-8 tab 3 kali sehari
dengan nutrisi protein rendah kalori rendah. Max: 50 tab / hari
6. Cap NaCl (MIMS, 2016)
Komposisi : Natrium Clorida
Indikasi : Hipernatremia, pengganitian cairan obat dan elektrolit, Irigasi
kandung kemih, mata, kulit umum dan pembersihan luka,
hidung tersumbat, Profilaksis kram otot selama hemodialisis
rutin.
Efek samping : Hypernatraemia; haus, mengurangi air liur dan lachrymation,
demam, takikardia, hipertensi, sakit kepala, pusing, gelisah,
lekas marah dan lemah.
Berpotensi Fatal: Intra-ketuban injeksi larutan hipertonik:
koagulasi intravaskular diseminata, nekrosis ginjal, lesi serviks
dan rahim, emboli paru, pneumonia.
Kontraindikasi : Kondisi dimana admin natrium klorida akan merugikan. Tidak
digunakan untuk menginduksi emesis. Tablet pelepasan
berkelanjutan: Gangguan Gastrointestinal yang terkait dengan
striktur atau divertikula
Mekanisme Kerja: Farmakokinetik; Penyerapan: Terserap dengan baik dari
saluran GI. Ekskresi: Terutama dalam urin, dengan jumlah kecil
diekskresikan dalam keringat, kotoran, air mata dan air liur.
Dosis pakai : Dewasa: PO Kondisi kehilangan garam kronis Pelepas rilis
2.4-4.8 g / hari, sampai 12 g / hari. Pencegahan kram otot
selama hemodialisis rutin Extended Release 6-10 g / sesi cuci
darah. Mulut / tenggorokan kebersihan mulut seperti obat
kumur.

26
7. Lansoprazole (Medscape, 2018))
Komposisi : Lansoprazole
Indikasi : Peptic ulcer, Esophagitis eosif, Infeksi Helicobacter pylori,
Penyakit refluks gastroesofagus, dispepsia terkait asam,
profilaksis ulkus yang diinduksi NSAID, Esophagitis eosif,
Ulserasi terkait NSAID, Sindrom Zollinger-Ellison
Efek Samping : Sakit kepala, diare, konstipassi, mual, nyeri perut
Perhatian : Hipomagnesemia dapat terjadi dengan penggunaan jangka
panjang (yaitu> 1 tahun); Efek samping dapat terjadi dan
mencakup tetani, aritmia, dan kejang; Pada 25% kasus yang
ditinjau, suplementasi magnesium saja tidak memperbaiki kadar
magnesium serum rendah dan PPI harus dihentikan. Penggunaan
jangka panjang harian (mis., Lebih dari 3 tahun) dapat
menyebabkan malabsorpsi atau kekurangan sianokobalamin.
Kontraindikasi : Bersamaan menggunakan dengan rilpivirine dan atazanavir.
Mekanisme Kerja: Proton pump inhibitor; berikatan dengan H + / K + -melacak
ATPase (pompa proton) pada sel parietal lambung, sehingga
menekan sekresi asam basal dan terstimulasi.
Dosis pakai : Dewasa: Dispepsia terkait PO Asam 15-30 mg sekali di pagi
hari selama 2-4 minggu. GERD 15-30 mg sekali di pagi hari
selama 4-8 minggu. Pemeliharaan: 15-30 mg sekali sehari.
Eesophagitis eosif 30 mg sekali di pagi hari sampai 8 minggu.
Pemeliharaan: 15 mg sekali sehari. Ulkus peptik 30 mg sekali di
pagi hari sampai 4 minggu (duodenum ulkus) atau sampai 8
minggu (tukak lambung). Infeksi Helicobacter pylori 30 mg,
biasanya dengan klaritromisin dan amoksisilin atau
metronidazol. Ulserasi terkait NSAID 30 mg sekali di pagi hari
selama 4-8 minggu. Profilaksis ulkus yang diinduksi NSAID 15-
30 mg sekali di pagi hari. Sindrom Zollinger-Ellison Awal: 60
mg sekali di pagi hari. Dosis harian> 120 mg harus diberikan

27
dalam 2 dosis terbagi. IV Esophagitis Erosif 30 mg lebih dari 30
menit sampai 7 hari.
8. Ambroxol Syr (MIMS, 2016)
Komposisi : Ambroxol HCl 15mg/5ml
Indikasi : Sekretolitik pada gangguan saluran nafas akut dan kronis.
Efek Samping :Ringan pada saluran saluran cerna; reaksi alergi (jarang) berupa
reaksi pada kulit, pembengkakan wajah, dispnea, demam.
Kontraindikasi :Hipersensitif terhadap ambroksol.
Mekanisme Kerja: Ambroxol adalah metabolit bromheksin dan digunakan juga
sebagai mucolytic.
Dosis pakai : Dewasa: kapsul lepas lambat 1 kali sehari 75 mg, sesudah
makan. Dewasa dan anak di atas 12 tahun:1 tablet (30 mg) 2-3
kali sehari; Sirup 15 mg/5 mL,1 kali 30 mg, dosis harian 60-
120 mg/hari
9. Paracetamol (MIMS, 2016)
Komposisi : Paracetamol
Indikasi : Nyeri ringan sampai sedang dan demam
Efek samping : Trombositopenia, leucopenia, pansitopenia, neutropenia,
agranulositosis, rasa sakit dan sensasi terbakar di tempat ini.
jarang, hipotensi dan takikardia.
Berpotensi Fatal: Sindrom Stevens-Johnson, nekrolisis
epidermal toksik, pustulosis eksantematosa umum akut, nekrosis
tubulus ginjal akut dan hepatotoksisitas.
Perhatian : Pasien dengan alkoholisme kronis, kekurangan G6PD yang
diketahui, hipovolemia berat, malnutrisi kronis. Renal dan hati
gangguan. Kehamilan dan menyusui.
Kontraindikasi : Gangguan fungsi hati berat, hipersensitivitas
Mekanisme Kerja: Parasetamol menunjukkan aksi analgesik dengan penyumbatan
perifer pada dorongan nyeri. Ini menghasilkan antipiretik
dengan menghambat pusat pengatur panas hipotalamus.

28
Aktivitas anti-inflamasinya yang lemah terkait dengan
penghambatan sintesis prostaglandin di SSP.
Dosis pakai : Dewasa: PO 0.5-1 g tiap 4-6 jam. Max: 4 g / hari rektum untuk
suppositoria: 0,5-1 g tiap 4-6 jam. Max: 4 g / hari IV 33-50 kg:
15 mg / kg sebagai dosis tunggal, minimal 4 jam. Max: 60 mg /
kg / hari sampai 3 g / hari; > 50 kg: 1 g sebagai dosis tunggal,
minimal 4 jam. Max: 4 g / hari Admin dengan infus lebih dari
15 mnt
10. Combivent
 Ipatropium Bromida (MIMS, 2016)
Indikasi :Bronkospasme yang berkaitan dengan pada pasien yang diterapi
dengan ipratropium dan salbutamol.
Efek Samping :Tremor (terutama di tangan), ketegangan, sakit kepala, kram
otot, dan palpitasi. Efek samping lain termasuk takikardi,
aritmia, vasodilatasi perifer, gangguan tidur dan tingkah laku.
Bronkospasme paradoksikal, urtikaria, angiodema, hipotensi.
Kontra Indikasi :Hipersensitif terhadap ipratropium, turunan atropin, obstruksi
hipertropi kardiomiopati, takiaritmia.
Dosis pakai :Dewasa dan lansia: 1 dosis 3-4 kali sehari. Penderita obstruksi
paru kronis yang memiliki kebiasaan merokok, dianjurkan
konseling dengan dokter untuk menentukan dosis dan kebiasaan
merokok sebaiknya dihentikan jika tidak ada perbaikan pada
obstruksi paru kronis(MedScape, 2017; IONI, 2015).
 Salbutamol (IONI, 2015)
Indikasi :Bronkospasme yang berkaitan dengan pada pasien yang diterapi
dengan ipratropium dan salbutamol.
Efek Samping :Tremor (terutama di tangan), ketegangan, sakit kepala, kram
otot, dan palpitasi. Efek samping lain termasuk takikardi,
aritmia, vasodilatasi perifer, gangguan tidur dan tingkah laku.
Bronkospasme paradoksikal, urtikaria, angiodema, hipotensi.

29
Kontra Indikasi :Hipersensitif terhadap ipratropium, turunan atropin, obstruksi
hipertropi kardiomiopati, takiaritmia.
Dosis pakai :Dewasa dan lansia: 1 dosis 3-4 kali sehari. Penderita obstruksi
paru kronis yang memiliki kebiasaan merokok, dianjurkan
konseling dengan dokter untuk menentukan dosis dan kebiasaan
merokok sebaiknya dihentikan jika tidak ada perbaikan pada
obstruksi paru kronis(MedScape, 2017; IONI, 2015).

12. Isosorbid Dinitrat (Medscape, 2018)


Komposisi : Isosorbid Dinitrat
Indikasi :Profilaksis dan pengobatan angina; gagal jantung kiri.
Efek Samping :Sakit kepala berdenyut, muka merah, pusing, hipotensi postural,
takikardi (dapat terjadi bradikardi paradoksikal).
Perhatian : Alergi pada nitrat, trauma kepala / perdarahan serebral
(kontraindikasi potensial), kardiomiopati hipertrofik,
peningkatan tekanan intraokular, hipotensi postural, infark
miokard akut (MI), gagal jantung kongestif, hipertiroidisme.
Ketidakmampuan untuk meredakan nyeri dada setelah 3 dosis
mungkin menandakan MI akut yang memerlukan penanganan
darurat
Kontra Indikasi :Hipersensitivitas terhadap nitrat; hipotensi atau hipovolemia;
kardiopati obstruktif hipertrofik, stenosis aorta, tamponade
jantung, perikarditis konstruktif, stenosis mitral; anemia berat,
trauma kepala, perdarahan otak glaukoma sudut sempit.
Mekanisme Kerja: Agen vasodilatasi (donor nitrat oksida); Mengendurkan otot
polos melalui pelebaran arteri dan vena yang bergantung dosis
untuk mengurangi preload dan afterload, serta kebutuhan
oksigen miokard; juga meningkatkan sirkulasi kolateral koroner,
menurunkan tekanan darah, meningkatkan denyut jantung, dan
kadang menyebabkan bradikardia paradoksal.
Dosis pakai :1 kali pemakaian 5-10 mg , dosis harian 10 – 30mg/hari. Dosis
Pemeliharaan 20-120 mg/Hari

30
13. Aspilet (MIMS, 2016)
Komposisi : Aspirin
Indikasi :Profilaksis penyakit serebrovaskuler atau infark miokard. Anti
Inflamasi
Efek Samping :Bronkospasme; perdarahan saluran cerna, juga perdarahan lain
(misal subkonjungtiva)
Perhatian : Riwayat ulkus peptik atau yang rentan terhadap dispepsia dan
lesi mukosa lambung, asma atau gangguan alergi, pasien yang
mengalami dehidrasi, hipertensi yang tidak terkontrol, gangguan
fungsi ginjal atau hati, lansia.
Kontra Indikasi :Anak di bawah 16 tahun dan yang menyusui (sindrom Reye);
tukak peptik aktif; hemofilia dan gangguan perdarahan lain.
Mekanisme Kerja: Aspirin adalah analgesik, antiinflamasi dan antipiretik. Ini
menghambat siklooksigenase, yang bertanggung jawab untuk
sintesis prostaglandin dan tromboksan. Ini juga menghambat
agregasi trombosit.
Dosis pakai :Dosis Harian 75-325 mg/hari

31
BAB III
TINJAUAN KASUS

3.1. Identitas Pasien


Tabel 5. Identitas Pasien

NamaPasien Tn. Y

Jenis Kelamin Laki-laki

Usia 33 Tahun

BB/Tinggi badan 37 Kg/ 155 Cm

Ruang Zam Zam

Penjamin BPJS Non PBI

No.Pendaftaran -

No. Rekam Medik 00 9xxxxx

DPJP dr. F, Sp.PD


NamaDokter
dr. A, Sp.JP (konsulen jantung)

Sesak nafan sejak 1 hari sebelum masuk


Anamnesa
rumah sakit dan batuk sudah 3 hari

CKD on HD dan Hipertensi sejak 3 tahun


Riwayat Penyakit Dulu
yang lalu
Riwayat Penyakit
-
Keluarga
Riwayat Alergi -
Diagnosa Utama CKD on HD
Diagnosa Sekunder CHF
Tanggal Masuk 01 Desember 2017

32
3.2. Data Subjektif Pasien
Tabel 6. Data Subjektif Pasien
1/12 1/12
KELUHAN 2/12 3/12 4/12 5/12 6/12 7/12
(IGD) (OBS)
Sesak nafas ++ ++ + + + + + +
Batuk ++ + + + + + + +
Mual - - - - - - + ++
Muntah - - - - - - - ++
Pusing ++ + + + + + + -
BB - 37kg - - - - 35kg -

3.3. Data Objektif Pasien


3.3.1. Tanda-tanda vital pasien
Tabel 7. Tanda-tanda vital pasien
Pemer Nilai 01/12 01/12
2/12 3/12 4/12 5/12 6/12 7/12
iksaan normal UGD OBS
TD <140/90 170/ 170/ 170/ 150/ 160/ 150/ 150/ 110/
mmHg 100 110 100 100 100 100 100 90
Nadi 60-100 110 110 64 96 65 84 84 96
(HR) x/menit
Suhu 36,5- 36 37 39 38 36 37,8 36,6 37,4
37,5oC
RR 14-20 26 22 24 24 26 26 24 24
x/menit
Skala 0-10 3 3 3 2 2 2 2 2
Nyeri
Dada

33
3.3.2. Hasil pemeriksaan Laboratorium Hematologi
Tabel 8. Hasil Pemeriksaan Laboratorium Hematologi
Pemeriksaan
Hasil Satuan Nilai Rujukan
Tgl 01-12-2017
KIMIA KLINIK
FAAL GINJAL
Ureum Darah 130 (H) mg/dL 10-50
Kreatin Darah 11.3 (H) mg/dL <1.4

hasil tgl hasil tgl hasil tgl


Pemeriksaan 01/12 02/12 05/12 satuan nilai rujukan
Hematologi rutin
HB 8.1 (L) 7.4 (L) 10.9 (L) g/Dl 11 - 15.5
Jumlah leukosit 4.60 103µL 3.60 – 11.00
Hematrokit 24 (L) % 35 – 47
Jumlah trombosit 333 103µL 150 – 440
eritrosit 3.00 (L) 103µL 3.80 - 5.20
MCV/VER 80 (L) fL 80 – 100
MCH/HER 27 Pg 26 – 34

3.3.3. Pemeriksaan Radiologi

Jenis pemeriksaan :
THORAX

Kesan : Cardiomegali,
Effusi Pleura Kanan

Gambar 3. Pemeriksaan Radiologi

34
3.3.4 Rekonsiliasi Obat

Tabel 9. Rekonsiliasi Obat

Obat yang dibawa Aturan Jml Ket. Obat order pertama Aturan
dari rumah pakai pakai
Lansoprazole 2x1 13 Lanjut Furosemid inj 1 x 2 amp
30mg 20mg/2ml
Candesartan 16mg 1x1 7 Lanjut Ranitidine inj 2 x 1 amp
50mg/2ml
Clonidine 0.15mg 2x1 21 Lanjut Ambroxol syr 3 x 1 c1
15mg/5ml
Folic acid 5mg 1x1 8 Lanjut Combivent 2x1
Candesartan 8mg 1x1 8 Stop
Prorenal 1x1 8 Lanjut
Cap NaCl 500mg 3x1 2 Lanjut
Ambroxol HCl 1x1 5 Stop
30mg
CaCO3 500mg 3x1 33 Lanjut
Loratadine 10mg 2x1 2 Stop
Dexametasone 2x1 2 Stop
0.5mg

3.3.5 Perhitungan Kreatinin dalam Plasma

( 140−umur ) x BB
LFG = mg
72 x kreatinin plasma ( )
dL

( 140−33 ) x 37
LFG = mg
72 x 11.3 ( )
dl

LFG = 4.86 ml/menit

Level CKD pada pasien ini adalah stage 5

35
3.4. Profil Pengobatan Pasien

Tabel 10.a. Terapi Obat Selama Perawatan


Regi- 01/12 02/12 03/12 04/12 05/12
Nama Obat Rute
men P S So M P S So M P S So M P S So M P S So M
Candesartan 16 mg 1x1 PO 07 07 07 07 07
Clonidine 0.15 mg 2x1 PO 07 18 07 18 07 18 07 18 07 18
CaCO3 500 mg 3x1 PO 07 12 18 07 12 18 07 12 18 t u n D a
Folic Acid 5 mg 1x1 PO 07 07 07 t u n D a
Pro renal 1x1 PO 07 07 07 t u n D a
Lansoprazole 30 mg 2x1 PO 07 18 07 18 07 18 07 18 07 18
Cap NaCl 500 mg 3x1 PO 07 12 18 07 12 18 07 12 18 07 12 18 07 12 18
Paracetamol 500 mg 4x1 PO 18 24 07 12 18 20 07 12 18 20 07 12 18 20
Ambroxol syr
3x1c1 PO 18 07 12 18 07 12 18 07 12 18
15mg/5ml
ISDN 5 mg 1x2 PO 12 12
Aspilet 80 mg 1x1 PO 12 12

Furosemid 20mg/2ml 2x1amp IV 24 24 24 


Ranitidine 50mg/2ml 2x1amp IV 16 06 18 06 18 06 18 06 18
Furosemid 20mg/2ml 3x2amp IV 06 18 24 06 18 24
Combivent 2x1 Nebul 10 22 10 22 10 22 10 22 10 22

36
Tabel 10.b. Terapi Obat Selama Perawatan
Regi- 06/12 07/12
Nama Obat Rute
men P S So M P S
Candesartan 16 mg 1x1 PO 06 06
Clonidine 0.15 mg 2x1 PO 07 18 07
CaCO3 500 mg 3x1 PO s T o p
Folic Acid 5 mg 1x1 PO s T o p
Pro renal 1x1 PO s T o p
Lansoprazole 30 mg 2x1 PO 07 18 07
Cap NaCl 500 mg 3x1 PO 07 12 18 07 12
Paracetamol 500 mg 4x1 PO 06 12 18 20
Ambroxol syr
3x1c1 PO 06 12 18
15mg/5ml
ISDN 5 mg 1x2 PO 12 12
Aspilet 80 mg 1x1 PO 12 12
Furosemid 20mg/2ml 2x1amp IV
Ranitidine 50mg/2ml 2x1amp IV 16 06
Furosemid 20mg/2ml 3x2amp IV 08 18 24 08
Combivent 2x1 Nebul 10 22 10

37
3.5. Assesment
3.5.1. Telaah Resep
Tabel 11. Telaah Resep
Aspek Telaah Ya Tidak Keterangan
Tepat Pasien  - -
Tepat Obat  - -
Tepat Dosis -  Terlampir
Tepat Frekuensi  - -
Tepat Pemberian -  Candesartan
Duplikasi -  -
Interaksi Obat  - Terlampir
Kontra Indikasi -  -

3.5.2. Analisa DRP (Drug Related Problem)

Tabel 12. Analisa DRP

Kategori DRP Ada / tidak Penilaian


ada
Indikasi yang tidak di Ada Hasil laboratorium hemoglobin
Tangani rendah 10.9 mg/dL pada hari ke-5
menandakan bahwa pasien anemia.

Pilihan obat yang Ada Aspilet sebaiknya dihindari pada


kurang tepat pasien dengan GFR <10mg/min
Penggunaan obat tanpa Tidak ada -
indikasi
Dosis terlalu kecil Ada Combivent dan pro renal
Dosis terlalu besar Ada Ambroxol syr
Reaksi obat yang tidak Tidak ada -
diinginkan
Interaksi obat Ada Terlampir

38
3.5.3. Kesesuaian Dosis

Tabel 13. Kesesuaian Dosis Lazim dan Dosis Terapi


Rut Dosis Peny. Dosis Dosis
Nama Obat Indikasi Ginjal Ket
e Literatur Resep
Ranitidine CrCl <50 2 x 50
50-200
50mg/2ml IV Tukak peptik mL/min IV = mg = Sesuai
50-100 mg/hari
(Medscape) mg/hari 100 mg

Aspilet 80 CrCl <10 mg 1 x 80


75-81 Tidak
mg PO Infark miokard = tidak mg = 80
direkomendasi mg/hari sesuai
(Medscape) kan mg
Dosis awal :
20-40 mg IV.
Dapat diulang
dengan dosis
yang sama
atau
meningkat 20 3x2
Furosemid Edema,
IV mg lebih cepat 20 mg/hari amp = Sesuai
(drugs.com) hipertensi
dari 2 jam 120 mg
setelah dosis
sebelumnya
sampai efek
yang
diinginkan
diperoleh
Tidak ada 1 x 16
Candesartan Hipertensi, penyesuaian
PO 8-32 mg/hari mg =16 Sesuai
(medscape) jantung dosis mg
Clonidine Tidak ada 2 x 0.15
penyesuaian 0.1-2.4
0,15 mg PO Hipertensi mg = 0,3 Sesuai
dosis mg/hari
(Medscape) mg
Tidak ada 3 x 500
CaCO3 900-2500
PO Hiperfosfatemia penyesuaian mg = Sesuai
(medscape) dosis mg/hari
1500mg
Lansoprazol Tidak ada 2 x 30
GERD, Gastric penyesuaian 15-60
e (medscape) PO mg = 60 Sesuai
ulcer dosis mg/hari
mg
Cap NaCl PO Mukolitik Tidak ada 2.4-4.8 g / 3 x 500 Tidak
500 mg penyesuaian hari, sampai mg = Sesuai
(MIMS) dosis 1500mg

39
12 g / hari

Paracetamol PO Analgetik Tidak ada 325-3250 4 x 500 Sesuai


(MIMS) penyesuaian mg/hari mg =
dosis 2000 mg
ISDN 5 mg PO Angina pektoris Tidak ada 15-40 3 x 10 Sesuai
(medscape) penyesuaian mg/hari mg =30
dosis mg
Folic acid 5 PO Anemia Tidak ada 5 mg- 15 1 x 5 mg Sesuai
mg (MIMS) penyesuaian mg/hari = 5 mg
dosis
Ambroxol PO Mukolitik Tidak ada 30-120 3 x 45 Tidak
syr penyesuaian mg/hari mg= 135 sesuai
15mg/5ml dosis mg
(MIMS)
Pro renal PO Insufisiensi Tidak ada Insufisiensi 1x1 Tidak
(MIMS) ginjal kronik penyesuaian ginjal kronik: tablet sesuai
dosis 4-8 tablet
3x/hari
Retensi yang
terkompensa
si: 4-6 tablet
3x/hari
dengan
nutrisi tinggi
kalori rendah
protein
Retensi yang
tak
terkompensa
si : 4-8 tablet
3x/hari
dengan
nutrisitinggi
kalori
rendah
protein
Combivent Neb Broncophasm Tidak ada Ipratopium Ipratopri Tidak
nebu ul penyesuaian Br = 0.5-2 um: 0.5 sesuai
(ipatropium dosis mg/hari mg x 2 =
Br 0.5mg Salbutamol = 1
dan 3.75mg- mg/hari
salbutamol 30mg/hari Salbutam
3.0 mg) ol: 3 mg
(medscape) x2=6
mg/hari

40
3.5.4. Waktu Paruh Obat

Tabel 14. Waktu Paruh Obat


Nama Obat Waktu Paruh
Candesartan 5-9 jam
Aspilet 80 mg Dosis rendah 2-3Jam, dosis tinggi 15-30Jam
ISDN 5mg 1 Jam
Clonidine 12-16 jam
CaCO3 -
Folic acid 5 mg
Pro renal -
Lansoprazole 30 mg 0.9-1.5 jam
Cap NaCl 500 mg -
Paracetamol 500 mg 1.25-3 jam
Albuterol 3-8 Jam
Lasix 20mg/2ml 30-120 menit (normal) 9 jam (gangguan
ginjal)
Ambroxol 8,8 Jam
Ranitidine 50mg/2ml 2.5-3 jam (normal) 4.8 jam (gangguan ginjal)

3.5.5. Interaksi Obat

Tabel 15. Interaksi Obat yang Beresiko Terjadi


Interaksi obat Level Efek interaksi Rekomendasi
Candesartan Monito 1. Candesartan 1. Monitor efek perdarahan
dan aspirin r meningkatkan seperti tinja berwarna merah
toksisitas aspirin atau hitam dan monitor
(Pendarahan). aspirin tekanan darah pasien serta
meningkatkan monitoring hasil lab (Cr, Cl,
toksisitas candesartan BUN)
(Hipotensi) dan dapat 2. Monitor tekanan darah
mengakibatkan tanda hipertensi (pusing,
kerusakan fungsi sakit kepala, kelelahan)
ginjal 3. Monitoring kalium darah
2. Aspirin dan tanda hiperkalemi

41
menurunkan efek (palpitasi jantung)
candesartan akibat
antagonisme
farmakodinamik
(hipertensi)
3. candesartan dan
aspirin keduanya
meningkatkan kalium
(hiperkalemia)

Candesartan Monito Candesartan Monitoring kalium dan efek


dan r meningkatkan kalium hiperkalemia (gejala
furosemid serum dan furosemid hiperkalemi seperti mual,
menurunkan kalium kelelahan, kelemahan otot
dan kesemutan) dan
monitoring efek hipokalemia
(kram perut, palpitasi atau
jantung berdebar)

Aspirin dan Monito Aspirin meningkatkan Monitoring kalium dan efek


combivent r kalium dan combivent hiperkalemia (gejala
menurunkan kalium hiperkalemi seperti mual,
kelelahan, kelemahan otot
dan kesemutan) dan
monitoring efek hipokalemia
(seperti kram perut, palpitasi
atau jantung berdebar)

Aspirin dan Monito Aspirin meningkatkan Monitoring kalium dan efek


furosemid r kalium dan furosemid hiperkalemia (gejala
menurunkan kalium hiperkalemi seperti mual,
kelelahan, kelemahan otot
dan kesemutan) dan
monitoring efek hipokalemia
(kram perut, palpitasi atau
jantung berdebar)

Combivent Monito Combivent dan Monitor kalium dan efek


dan r furosemid keduanya hipokalemia (seperti kram
furosemid menurunkan kalium perut, palpitasi atau jantung
(hipokalemia) berdebar)

CaCo3 dan Minor kalsium karbonat dan Monitor efek pendarahan


aspirin aspirin. Mekanisme: yang ditandai dengan melena
reabsorpsi tubulus dan muntah darah
ginjal pasif akibat

42
peningkatan pH.
Tingkat aspirin
meningkat
(pendarahan)

Combivent Minor Combivent dan Monitoring kadar kalium


dan furosemid keduanya darah, efek hipokalemia dan
furosemid menurunkan kadar kecepatan nadi.
kalium darah.
Farmakodinamik
sinergisme
hipokalemia: aritmia
jantung

Furosemid Minor Furosemid Monitor efek hiperfosfatemia


dan CaCo3 menurunkan kadar (mual, muntah, sesak)
kalsium karbonat
dengan meningkatkan
pembersihan ginjal
(hiperfosfatemia)

Aspirin dan Minor Aspirin menurunkan Berikan jarak pemberian ,


asam folat kadar asam folat berikan asam folat pagi hari
dengan menghambat dan aspirin siang
penyerapan GI

Furosemid Minor Furosemid Monitor pemeriksaan


dan asam menurunkan kadar laboratorium hemoglobin
folat asam folat dengan pasien
meningkatkan
pembersihan ginjal

3.5.6. Daftar Obat Pulang

Tabel 16. Daftar Obat Pulang


Obat Keterangan
Candesartan 1 x 1 malam
Clonidine 0.15 mg 2 x 1 tablet
Lansoprazole 30 mg 2 x 1 capsul, sebelum makan
Cap NaCl 3 x 1 tablet
ISDN 5 mg 3 x 2 tablet
Aspilets 80 mg 1x1 Tablet

43
44
BAB IV
PEMBAHASAN

4.1. Pembahasan

Tingginya insiden Drug Related Problem (DRP) di antara pasien rawat inap
dengan penyakit kardiovaskular dan diabetes melitus tipe 2 yang memiliki
dampak potensial pada morbiditas dan mortalitas sehingga penting untuk
mengidentifikasi DRP pada pasien tersebut, sehingga memerlukan pemantauan
terapi obat yang lebih ketat. DRP didefinisikan sebagai keadaan yang melibatkan
terapi obat yang benar atau berpotensi mengganggu hasil terapi yang diinginkan.
Pada pasien dengan gagal jantung dan penyakit kardiovaskular lainnya, frekuensi
DRP dilaporkan setinggi 69% dan 78% (Olats Urbina et al, 2014)
Pemantauan terapi obat (PTO) adalah suatu proses yang mencakupkegiatan
untuk memastikan terapi obat yang aman, efektif dan rasional bagi pasien.
Kegiatan tersebut mencakup: pengkajian pilihan obat, dosis, cara pemberian obat,
reaksi obat yang tidak dikehendaki (ROTD),)dan rekomendasi perubahan atau
alternatif terapi. Pemantauan terapi obat harus dilakukan secara
berkesinambungan dan dievaluasi secara teratur pada periode tertentu agar
keberhasilan ataupun kegagalan terapi dapat diketahui (DEPKES, 2009).
Drug related Problem (DRP) menurut DEPKES, 2009 dapat dikategorikan
sebagai berikut, yaitu ada indikasi tetapi tidak di terapi, pemberian obat tanpa
indikasi, pemilihan obat yang tidak tepat, dosis terlalu tinggi, dosis terlalu rendah,
Reaksi Obat yang Tidak Dikehendaki (ROTD), interaksi obat dan pasien gagal
menerima obat karena suatu sebab.
Pasien Tn. Y masuk ke UGD RS Cempaka Putih Jakarta pada tanggal 01
Desember 2017 dengan keluhan sesak nafas 1 hari, dan batuk selama 3 hari.
Diagnosa utama CKD on HD sedangkan diagnosa sekunder Congestive Heart
Failure (CHF). Pasien memiliki riwayat CKD on HD dan menjalani hemodialisa
setiap hari rabu dan sabtu dan Hipertensi sejak 3 tahun lalu.

45
DRP indikasi tanpa terapi terjadi pada pasien Tn. Y yaitu pada tanggal 5
desember 2017, hasil pemeriksaan hemoglobin pasien 10.9 (rendah) tetapi
pengobatan asam folat di tunda sehingga direkomendasikan untuk peresepan
eritropoetin 2-3x seminggu setiap setelah hemodialisa karena penelitian
membuktikan bahwa, saat sejumlah erotropoetin diberikan IV 3x seminggu
setelah setiap dialisa, pasien reguler hemodialisis merespon dengan
peningkatan Hematokrit dengan dosis tertentu dalam beberapa minggu (Singh
dkk, 2006). Pada tanggal 7 desember 2017 terdapat indikasi tanpa terapi yaitu Tn.
Y masih merasa batuk tetapi obat untuk batuknya di stop, sehingga
direkomendasikan untuk melanjutkan terapi batuk pasien ambroxol 15mg/5ml 3
kali sehari 2 sendok obat (10 ml) (MIMS, 2006). Pada tanggal 7 desember 2017
terdapat indikasi tanpa terapi pasien Tn. Y mual dan muntah 2x pada pagi hari
sebelum dia pulang sehingga direkomendasikan untuk peresepan obat pulang
ondansentron 4 mg 2 x 1 tablet, diminum 30 menit sebelum makan digunakan jika
mual atau muntah.
DRP dosis terlalu kecil pasien Tn. Y terjadi pada tanggal 1 Desember 2017
yaitu pasien diresepkan prorenal 1 x 1, sedangkan dosis prorenal 4-8 tablet 3x
sehari (MIMS,2016), sehingga direkomendasikan untuk meningkatkan dosis 4
tablet 3x sehari. DRP dosis terlalu kecil pada Tn. Y juga terjadi pada tanggal 1
desember 2017 yaitu pasien diresepkan combivent 2 x 1, sedangkan dosis untuk
ipratopium 1.5-2mg perhari dan salbutamol 3,75-30mg perhari sehingga
direkomendasikan untuk meningkatkan dosis combivent menjadi 3x sehari`
DRP dosis terlalu besar pada Tn. Y terjadi pada tanggal 2 Desember 2017
pasien diresepkan Ambroxol syr (15 mg/5 mL) sebagai mukolitik dengan regimen
dosis 3 kali 15 mL (1 sendok makan) sehingga pasien mendapat dosis terapi 45
mg pada satu kali pemakaian sedangkan dosis satu kali pemakaian Ambroksol syr
hanya 30 mg. Sehingga direkomendasikan untuk penurunan dosis menjadi 3 kali
10 mL ( 2 kali sendok obat 5 mL) (MIMS, 2015).
DRP pilihan obat yang kurang tepat pada Tn. Y terjadi pada tanggal 4
Desember 2017 terdapat terapi tambahan aspilet untuk jantung pasien, tetapi
penggunaan aspilet untuk CrCl<10 tidak direkomendasikan (medscape), sehingga

46
direkomendasikan untuk mengganti aspilet dengan ticagrelol 90 mg 2 x 1, karena
menurut anderson et.al pasien yang mengalami kontraindikasi atau tidak dapat
mentoleransi aspirin direkomendasikan menerima icagrelor (90 mg 2 kali sehari).

DRP pemberian obat yang kurang tepat pada Tn. Y terjadi pada tanggal 1
desember 2017 candesartan diberikan pada siang hari, direkomendasikan untuk
mengganti waktu pemberian candesartan pada malam hari karena candesartan
lebih efektif diberikan pada malam hari menurut JCH (The Journal of Clinical
Hypertension).
DRP interaksi obat pada Tn. Y bisa terjadi pada tanggal 1 Desember 2017
yaitu pasien diresepkan penggunaan bersamaan Candesartan dan Furosemid
beresiko interaksi obat monitor, candesartan dapat meningkatkan kalium dan
furosemid dapat menurunkan kalium sehingga harus dipantau efek hiperkalemia
(seperti mual, kelelahan, kelemahan otot dan kesemutan) dan pantau efek
hipokalemia (seperti kram perut, palpitasi dan jantung berdebar). Pasien
diresepkan penggunaan bersamaan Aspirin dan Combivent beresiko interaksi
monitor, Aspirin meningkatkan kalium dan combivent menurunkan kalium
sehingga harus dipantau efek Hiperkalemia (seperti mual, kelelahan, kelemahan
otot dan kesemutan) dan pantau efek hipokalemia (seperti kram perut, palpitasi
dan jantung berdebar). Pasien juga diresepkan penggunaan bersamaan Furosemid
dan CaCO3 beresiko interaksi obat dengan level monitor yang dapat
menyebabkan Furosemid menurunkan kadar kalsium karbonat dengan
meningkatkan pembersihan ginjal sehingga selama terapi harus monitor efek
hiperkalsemia (seperti kebingungan, depresi dan halusinasi) dan pasien juga
diresepkan secara bersamaan furosemid dan asam folat yang beresiko interaksi
monitor yang dapat menyebabkan furosemid menurunkan kadar asam folat
dengan meningkatkan pembersihan ginjal sehingga selama terapi perlu di monitor
hasil laboratorium hemoglobin pasien.

47
4.2. Asuhan Kefarmasian
 Pasien disarankan untuk tetap banyak istirahat untuk meminimalisir resiko
perburukan kerja ginjal dan kerja jantung.
 Pasien disarankan untuk menjaga asupan protein, kalori, lemak,
karbohidrat, garam, kalium, fosfor, kalsium, besi, magnesium, asam folat,
dan air sesuai dengan literatur.
 Pasien diedukasi terkait obat pulang, penggunaan obat yang baik dan benar
sesuai regimen terapi yang diberikan.
 Pasien disarankan untuk kontrol ke dokter sesuai jadwal yang telah
ditetapkan.

48
BAB V
PENUTUP
5.1. Kesimpulan
 Pasien dengan riwayat CKD on HD dan Hopertensi sejak 3 tahun yang
lalu dan didiagnosa CHF
 Pasien mendapatkan terapi candesartan, clonidine, lansoprazole, cap NaCl,
ranitidine, furosemid, paracetamol, ambroxol syr, ISDN, aspilet, CaCO3,
folic acid, pro renal, combivent nebulizer.
 Pada tanggal 4 pasien mendapatkan obat aspilet yang tidak
direkomendasikan pada pasien dengan GFR <10 ml/min sehingga
direkomendasikan untuk mengganti aspilet dengan ticagrelol 90 mg 1 x 1
(MIMS, 2016).
 Pada tanggal 5 hasil laboratorium Hb pasien rendah (10.5) ,
direkomendasikan untuk pemberian eritropoetin IV 2-3x sehari setiap
setelah hemodialisa
 Pada tanggal 7 pasien mengalami muntah 2x sehingga direkomendasikan
untuk peresepan obat pulang ondansentron 4mg 2 x 1 tablet.
 Pada tanggal 7 pasien masih merasa batuk sehingga direkomendasikan
untuk melanjutkan ambroxol tetapi dengan dosis diturunkan menjadi
15mg/5ml 3 kali sehari 2 sendok obat ( 2 kali sendok obat 5 mL) 10 ml
(MIMS, 2015).

5.2. Saran
1. Perlunya kerjasama antara semua tenaga medis kesehatan untuk
melaksanakan Pemantaun Terapi Obat, sehingga dapat meminimalkan
terjadinya DRP.
2. Pasien diharapkan untuk mengontrol asupan dan pola makan
3. Memberi Komunikasi, Informasi dan Edukasi (KIE) kepada pasien,
keluarga pasien dan perawat tentang cara penggunaan obat yang tepat

49
DAFTAR PUSTAKA

Anderson JL, Adams CD, Antman EM, Bridges CR, Califf RM, Casey DE Jr, et
al.2012 ACCF/AHA focused up date incorp orated into the ACCF/AHA
2007 guidelines for the management of patients with unstable angina/non–
ST-elevation myocardial infarction: a rep or t of the American College of
Cardiology Foundation/ American Heart Association Task Force on Practi
ce Guidelines. Circulation. 2013;127:e663–e828.

Aslam M., Tan C.K & Prayitno A. 2004. Farmasi Klinis: Menuju
Pengobatan Rasional Dan Penghargaan Pilihan Pasien. Jakarta:
Penerbit PT. Elex Media Komputindo. Gramedia.

Ayuandira, Ega. 2014. Pengaruh dukungan sosial terhadap penerimaan diri


pasien gagal ginjal dengan terapi hemodialisa di RSUP Dr M Djamil
Padang Jurnal Keperawatan Universitas Andalas

Brenner BM, Lazarus JM. 2000. Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam. Volume 3.
Edisi 13. Jakarta: EGC.1435-1443.

Cahyaningsih, N.D. 2008. Hemodialisa (Cuci Darah) Panduan Praktis


Perawatan Gagal Ginjal. Yogyakarta : Mitra Cendekia Pres.

Corrigan,R. M. 2011. ”The experience of the older adult with end stage
renal disease on hemodialysis”. Thesis. Queen’s University. Canada.

Depkes. 2006. Pharmaceutical Care Untuk Penyakit Hipertensi. Jakarta:


Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik Ditjen Bina Kefarmasian
dan Alat Kesehatan Departemen Kesehatan.

50
Dipiro, J. T., R. L. Talbert, G. C. Yee, G. R. Matzke. B. G. Wells. L. M. Posey.
2008. Pharmacotherapy, A Pathophysiologic Approach 7th Edition.
United States of America : The McGraw-Hill Companies, Inc.

Kanitkar CM. Chronic Kidney Disease in Children: An Indian Perspective,


update. MJAFI 2009;65:45-49.

Kementerian Kesehatan. 2014. PERMENKES RI No. 58 tentang Standar


Pelayana Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit. Jakarta.

Kementerian Kesehatan. 2014. PERMENKES RI No. 72 tentang Standar


Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit. Jakarta.

Kidney Disease : Improving Global Outcomes (KDIGO) Anemia Work


Group. (2012). KDIGO Clinical Practice Guidline for Anemia in Chronic
Kidney Disease, Kidney Inter., Suppl.
National Institute for Health and Care Excellence guideline 182. 2014. Early
Identification and Management of Chronic Kidney Disease In Adults
In Primary and Secondary Care.

Rikesdas. 2013. Riset Kesehatan Dasar. Jakarta: Badan Penelitian dan


Pengembangan Kesehatan Kementrian Kesehatan RI.

Saad, Ehab. 2014. High Blood Pressure/Kidney Disease. Medical College


of Wisconsin.

Skorecki K. Green J, Brenner BM. 2005. Chronic Renal Failure. In:


Bramwald. E, Harrison’s Principles of Internal Medicine Vol II, 15th
editor, Mc. Graw- Hill. Pp 1551 – 1558.

51
Singh AK, Szczech L, Tang KL, Barnhart H, Sapp S, Wolfson M, et al.
Correction of anemia with epoetin alfa in chronic kidney disease. N Engl J
Med 2006; 355: 2085-98

Siregar, C. 2004. Farmasi Klinis Teori dan Penerapan. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran. EGC.

Smeltzer, S. C., Bare, B. G., Hinkle, J. L. & Cheever, K. H. 2008. Texbook


of Medical Surgical Nursing. 12th edition. Philidelphia : LippincoTS
Willian & Wilkins.

Sudoyo. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Balai Penerbit
FKUI.

Suwitra. 2009. Penyakit Ginjal Kronik dalam: Sudoyo A W, Setyohadi B, Alwi I,


Simadibrata M, Setiati S (eds). Buku Ajar Ilmu Penyakit Penyakit Dalam
Jilid II. ed. 5th. Balai Penerbit Ilmu Penyakit - Penyakit Dalam FKUI.
1035.

Sukandar, E. 2006. Neurologi Klinik, Edisi ketiga. Bandung: Pusat Informasi


Ilmiah (PII) Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
UNPAD.

Tortora GJ, Derrickson B. 2011. Principles of Anatomy and Physiology


Maintanance and Continuity of the Human Body. 13th Edition. Amerika
Serikat: John Wiley & Sons, Inc

52
s

53

Anda mungkin juga menyukai