Anda di halaman 1dari 13

PENGARUH MEMBACA BUKU NOVEL TERHADAP

PENINGKATAN RASA EMPATI PADA REMAJA

Chika Rohimsyah1, Windiana Br Gulo1, Ravika Glori Oktavia Hutagalung2

Teknik Industri1, Teknik Geofisika2

Institut Teknologi Sumatera, Jl. Terusan Ryacudu, Way Huwi, Kec. Jati Agung,
Kabupaten Lampung Selatan, Lampung 35365
chika.120190075@student.itera.ac.id
windiana.120190065@student.itera.ac.id
ravika.120120069@student.itera.ac.id.

ABSTRAK
Banyaknya remaja yang mengabaikan pentingnya literasi terutama dalam kegiataan
membaca buku novel atau cerita fiksi yang sebenarnya sangat penting dalam meningkatkan rasa
empati karena adanya perkembangan zaman dan terknologi yang pesat. Tujuan dari penelitian ini
adalah untuk menganalisis tingkat empati pada remaja saat ini. Membaca cerita fiksi dapat
membantu perkembangan rasa empati, Saat membaca cerita fiksi pembaca dibawa untuk melihat
dunia yang berada di dalam buku, merasakan segala macam keadaan emosional tokoh-tokoh,
meletakkan pembaca di dalam diri orang lain, membantu pembaca mengerti kondisi yang berbeda.
Subjek penelitian yang berumur 12-24 tahun akan diberikan quisioner yang berisi pertanyaan
seberapa sering mereka membaca buku novel atau cerita fiksi dan 16 pertanyaan lainnya untuk
menilai seberapa besar EQ atau Emotional Quotient masing-masing pribadi. Hasil penelitian
menunjukan persentase minat membaca buku novel atau cerita fiksi pada remaja menurun dan
nilai emotional equotient yang didapatkan berada diambang rata-rata.

kata kunci: Remaja, Membaca, Buku Novel, Cerita Fiksi, Empati.

PENDAHULUAN
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, pengertian remaja adalah seseorang
yang memiliki umur sudah sampai untuk kawin atau dalam kasus WHO atau
world health organization mereka yang berumur 12 sampai 24 tahun. Novel
merupakan karangan prosa atau cerita fiksi rangkaian cerita kehidupan panjang
seseorang dengan orang di sekelilingnya dengan menonjolkan watak dan sifat
setiap pelaku yang mana diterbitkan dalam bentuk sebuah buku literatur. Cerita
fiksi adalah karya cerita imajinasi pengarang yang menampilkan keadaan dunia
dan relasi antar manusia (Kathleen Lynne Lane, 2007). Empati memiliki
pengertian dimana keadaan psikis yang menempatkan seseorang dalam keadaan
pikiran yang sama dengan kelompok yang berbeda sehingga mampu merasa
atau mengidentifikasi dirinya dalam perasaan orang lain. Empati memiliki dua
komponen: kognitif dan afektif. Empati kognitif adalah kemampuan untuk
memahami dunia dari orang lain sudut pandang dan untuk menyimpulkan
keyakinan dan niat, sedangkan empati afektif mengacu pada kemampuan
seseorang untuk memahami atau merasakan perasaan dan emosi orang lain
(Blair, 2005). Fiksi memberikan kita rasa empati: menempatkan kita dalam
pikiran orang lain, memberikan kita kurnia untuk dapat melihat dunia dari sudut
pandang orang lain, fiksi merupakan sebuah kebohongan yang membicarakan
tentang kebenaran lagi, dan lagi (Gaiman, n.d.). Manstead dan Hewstone
(dalam Rahman, 2012) memiliki pandangan bahwa empati berkolerasi positif
dengan perilaku proposional dan kompetensi individu (Shapiro J, 2006).
Sebagian besar fiksi berkaitan dengan pemahaman dan kesalahpahaman
protagonis tentang keyakinan dan motif karakter lain dan hanya bisa dipahami
jika pembaca sedang melatih empati kognitif (Lodge, 2002). Empati afektif
juga telah diusulkan sebagai komponen penting dari pemahaman dan
kenikmatan fiksi (Hogan, 2010).Dalam cerita fiksi terdapat dunia dimana
permainan imajinasi antara korelasi dunia fiksi dan dunia nyata hampir sama,
disini pembaca cenderung akan mengaitkan kejadian yang berada di dalam
buku novel dengan kejadian sehari-hari, dimana tingkat kekreatifan pembaca
akan meningkat, karena alur buku novel akan sama dengan apa yang pembaca
rasakan sehari-hari.

Menurut (Nurgiyantoro, 2007) Individu cenderung menikmati cerita,


menghibur diri, dan memperoleh kepuasan batin saat membaca cerita fiksi.
Hanya saja kebanyakan remaja sudah tidak merasakan perasaan yang seperti itu
lagi, terbukti dari quisoner yang kami adakan. Masalah kurangnya minat
membaca pada remaja ialah bosannya remaja pada novel yang dibaca,
beranggapan bahwa membaca novel dapat membuat seseorang memiliki tingkat
hayalan yang terlalu tinggi, serta selektifnya remaja dengan genre novel
tertentu. Dengan mudahnya akses internet, remaja cenderung mengisi waktu
luang mereka dengan berselancar di dunia jagat maya. Internet menyediakan
berbagai macam hal yang tidak kalah menarik dan dapat dipilih sesuai selera
penggunanya masing-masing. Dari video dan film yang dapat bergerak secara
andal dan penuh banyak warna, rekaman suara, musik, komunikasi elektronik
yang terjangkau, dan bacaan informatif yang tersebar secara gratis diseluruh
bagian koneksi jaringan. Dengan seseorang menggunakan akses internet, kita
tidak dapat menyatakan dengan pasti apakah orang tersebut melakukan kegiatan
yang kurang bermanfaat, terdapat kemungkinan bahwa orang tersebut membaca
buku novel dengan telah tersedianya fitur e-book, hanya saja perbandingan
kemungkinan orang tersebut membaca buku sangat kecil jika disandang dengan
sekian banyaknya hal yang dapat mengalihkan peminat membaca. Kemampuan
empati rendah berkolerasi dengan tindakan kenakalan remaja, bullying,
gangguan mental, atau gangguan lainnya yang bersifat merusak (Katie A.
Gleason, 2009) (Noorden, 2015).Penggunaan internet yang berlebihan dapat
mengakibatkan hal yang buruk, seperti kurangnya kegiatan literasi yang penting
untuk meningkatkan rasa empati dan mencegah terjadinya perilaku anti-sosial
pada anak remaja. Anak dengan empati tinggi memiliki penerimaan sangat
baik, dan terhindar dari kenakalan remaja (Katie A. Gleason, 2009).
Kekurangan empati menyebabkan perilaku antisosial yang dapat merusak diri
sendiri dan orang lain (Ruth Castillo, 2013); (Darrick Jolliffe, 2011); (Tirza H.
J. van Noorden, 2015). Tujuan penelitian ini ialah untuk mengetahui seberapa
besar pengaruh yang dihasilkan oleh membaca buku fiksi dengan
perkembangan rasa empati pada kalangan remaja saat ini serta diharapkan
penelitian ini dapat menambah informasi tentang bagaimana caranya
meningkatkan rasa empati, serta sebagai bukti bahwa kegiatan literasi
merupakan budaya yang perlu ditanamkan sejak dini.
TEORI DAN METODE
Landasan Teori
Empati merupakan pemahaman seseorang tentang apa yang dirasakan oleh
orang lain, dalam regulasi emosi, memahami emosi sendiri adalah prasyarat yang
diperlukan untuk kemampuan mengendalikan ekspresi emosional seseorang. Hal
ini membuktikan bahwa empati tersebut berhubungan dengan emosi. Perasaan
iba, kasihan, pilu atau sedih yang timbul dari seseorang merupakan bentuk
ekspresi dari emosi itu sendiri. Ada kalanya emosi tidak dalam keadaan stabil,
pada saat ini lah dibutuhkan perasaan empatik, sehingga seseorang dapat
menunjukkan sikap profesionalnya, baik dalam hal bekerja ataupun hal lainnya.
Banyak remaja mengembangkan emosi melalui aspek empati, yaitu prospek atau
pengambilan perspektif melalui memahami perasaan, keinginan, atau pikiran
orang lain (Taufik, 2012). Pada saat ini remaja pada umumnya dituntut untuk
mampu mengembangkan kemampuan-kemampuan yang mereka miliki dengan
cara menganalisis keadaan atau informasi. Analisis tersebut dapat dilakukan
dengan rajin membaca buku fiksi atau novel.

Pertumbuhan dan perkembangan komponen kognitif, afektif, dan komunikatif


empati dalam masing-masing individu juga dipengaruhi oleh faktor dari dalam
diri sendiri dan faktor luar atau faktor yang berasal dari lingkungan sekitar.
Penting untuk ketiga komponen itu saling berjalan beriringan, pengukuran empati
akan lebih akurat apabila mengkombinasikan ketiga komponen tersebut. Menurut
Hoffman (1999) terdapat enam faktor yang mempengaruhi bagaimana seseorang
mampu merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain, faktor tersebut ialah
sebagai berikut:

a) Sosialisasi
Bersosialisasi dengan orang lain dapat membuat kita menemukan
emosi dan merasakan perasaan lawan bicara, bagaimana caranya
memberikan respon yang baik dan penuh perhatian, dimana membuka
pintu menuju berempati yang baik.
b) Mood dan Feeling
Perasaan juga bermain penting dalam melakukan interaksi sosial, jika
perasaan seseorang baik, maka otak dan hati mereka akan menunjukan
kesempatan yang lebih rancak untuk lebih mengenal dan mengerti
perasaan orang lain.
c) Proses Belajar dan Indentifikasi
Proses belajar memberikan seseorang pengetahuan dan ilmu akan apa
yang terjadi pada lingkungan sekitarnya, terutama dalam proses
pembelajaran yang tinggi, memerlukan analisis, respon, dan prosedur
yang disesuaikan dengan pengaturan. Belajar dan menindetifikasikan
masalah tidak memandang tempat dan situasi, hal inilah yang membuat
belajar merupakan hal yang krusial. kesimpulan, ide dan
perkembangan emosi dapat datang darimana saja, terutama saat
membaca buku.
d) Situasi atau Tempat
Pada situasi tertentu seseorang dapat berempati lebih baik
dibandingkan dengan situasi yang lain. Hal ini disebabkan situasi dan
tempat yang berbeda dapat memberikan suasana yang berbeda pula,
suasana yang berbeda inilah yang dapat meninggi-rendahkan empati.
e) Komunikasi dan bahasa
Komunikasi dan bahasa sangat mempengaruhi seseorang dalam
menggungkapkan dan menerima empati. Hal ini terbukti dalam
penyampaian atau penerimaan bahasa yang disampaikan dan diterima
olehnya. Bahasa atau komunikasi yang baik akan mendefinisikan rasa
empati yang akan diterima atau diberikan, mengambarkan bagaimana
perasaan positif dan pengertian dari atau untuk lawan bicara.
f) Pengasuhan
Lingkungan yang berempati dari suatu keluarga sangat membantu
dalam menumbuhkan empati. Seorang anak yang dibesarkan dalam
lingkungan yang broken home atau dibesarkan dalam kehidupan rumah
yang penuh cacian, makian dan persoalan akan cenderung
menumbuhkan empati buruk. Sebaliknya, pengasuhan dalam suasana
rumah yang ramah akan menyebabkan empati dan rasa hati lebih baik.

Metode
Teknik yang digunakan pada penelitian kali ini ialah menyebaran angket atau
kuesioner yang sudah dibuat sebelumnya, demi mengumpulkan data dari 81
orang, laki-laki dan perempuan yang berumur 12 sampai 24 tahun atau remaja
tentang seberapa sering mereka membaca buku novel atau cerita fiksi dan
menanyakan pertanyaan yang dapat mengukur EQ atau Emosional Quotient
seseorang. Penelitian yang kami lakukan yakni menggunakan metode penelitian
deskriptif kuantitatif yaitu dengan melihat persentase minat baca remaja dan
apakah melalui membaca dapat mempengaruhi rasa atau nilai rata-rata empati
dalam diri mereka.
Kami menggunakan 12 pertanyaan dengan skala dari 1-5 seberapa setujunya
anda dengan pertanyaan yang diberikan dan 4 pertanyaan pilihan ganda yang
berasal dari website IQ Elite. Website IQ Elite menyediakan tempat test
kecerdasan, seperti kecerdasan IQ atau Intelligence Quotient, EQ atau
Emotional Quotient, dll. Website IQ Elite bekerja sama dengan SRH University
Heidelberg demi mengembangkan test psikometrik secara online. Dari semua
jawaban yang masuk, kita akan menggambil jawaban terbanyak untuk
digunakan dalam EQ test yang berada di web IQ Elite demi mendapatkan rata-
rata nilai emosional dari 81 remaja yang telah mengikuti quisioner.
HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambar 1. Presentase umur remaja yang melakukan quisioner

Umur Subjek penelitian yang paling mendominasi dengan nilai 39,5% atau 32
dari 81 orang ialah remaja yang berumur 18 tahun, 37% atau 30 dari 81 orang
merupakan remaja yang berumur 19 tahun, 7,4% atau 6 dari 81 orang
merupakan remaja yang berumur 17 tahun, 4,9% atau 4 dari 81 orang
merupakan remaja yang berumur 15 tahun, 3,7% atau 3 dari 81 orang
merupakan remaja yang berumur 22 tahun, 2,5% atau 2 dari 81 orang
merupakan remaja yang berumur 21 tahun, lalu dengan skor yang sama,
masing-masing terdapat satu remaja yang memiliki umur 12, 16, 20, dan 24
tahun dengan presentase 1,2% dalam data, dimana tidak adanya remaja berumur
13, 14, dan 23 tahun yang mengikuti quisioner ini.

Gambar 2. Presentase minat baca pada remaja yang mengikuti quisioner

Disini dapat terlihat bahwa 42% atau 32 dari 81 orang remaja jarang
membaca buku novel, dengan presentase kedua paling besar selanjutnya ialah
24,7% atau 20 dari 81 orang remaja sesekali membaca cerita fiksi, selanjutnya
dengan 23,5% atau 19 dari 81 orang remaja sering membaca buku novel dan
9,9% atau 8 dari 81 orang remaja tidak pernah sama sekali membaca buku
novel atau cerita fiksi.
4.5

3.5

2.5

1.5

0.5

0
n
1
n
2
n
3
n
4
n
5
n
6
n
7
n
8
n
9 10 11 12
yaa yaa yaa yaa yaa yaa yaa yaa yaa a an a an a an
rta
n
rta
n
rta
n
rta
n
rta
n
rta
n
rta
n
rta
n
rta
n ny ny ny
e e e e e e e e e rta rta rta
P P P P P P P P P Pe Pe Pe

Grafik 1. Rata-rata presentase taksiran subjek penelitian oleh setiap pertanyaan

Pada aksis x atau garis horizontal paling bawah pada grafik merupakan
pertanyaan yang tertera pada quisioner yang ditanyakan kepada subjek
penelitian demi mengetahui nilai Emosional Quotient atau kecerdasan
emosional pada remaja. Pada aksis atau poros y terdapat nomor yang
menunjukan setuju atau tidaknya subjek penelitian pada pertanyaan, dengan
angka 1 memiliki arti sangat setuju, angka 2 sering kali setuju, angka 3 agak
setuju, angka 4 sering kali tidak setuju, dan angka 5 sangat tidak setuju.

Grafik 3. Presentase jawaban soal nomor satu pertanyaan pilihan ganda

Pada soal pilihan ganda pertama, berbicara ringan dengan orang tak dikenal
merupakan jawaban dengan presentase paling banyak yaitu 38.3% atau sekitar
31 dari 81 remaja memilih opsi tersebut, 24.7% merupakan nilai presentase
paling besar kedua dengan 20 dari 81 remaja mengatakan tidak melakukan hal
satupun dari hal diatas untuk pertanyaan pilihan ganda pertama, 17 dari 81 atau
21% orang remaja memilih akan menganalisa perilaku sosial orang lain sebagai
jawaban pertanyaan, 14.8% atau 12 dari 81 orang remaja akan makan sendiri,
minum dan mengamati lingkugan sekitar pada acara-acara perkumpulan sosial,
dan 1 dari 81 orang remaja memilih untuk berdansa ditengah kerumunan orang
dengan presentase 1.2%.

Grafik 4. Presentase jawaban soal nomor dua pertanyaan pilihan ganda

75.3% atau 61 dari 81 orang remaja memiliki tujuan hidup untuk melakukan
yang terbaik bagi pekerjaan dan keluarganya, 7 dari 81 remaja bertujuan untuk
meraih kedamaian jiwa dengan presentase 8.6%, dengan nilai skor 7.4% atau 6
dari 81 remaja masing-masing dengan seimbang belum memiliki tujuan hidup
yang jelas atau ingin mendirikan badan amal untuk orang miskin, lalu 1 dari 81
orang remaja memilih untuk mendapatkan banyak uang dan pensiun dini
sebagai jawaban untuk soal pilihan ganda nomor dua.

Grafik 5. Presentase Jawaban soal nomor tiga pertanyaan pilihan ganda

51 dari 81 atau 63% remaja menetapkan bahwa prioritas yang paling cocok
untuk mereka adalah bekerja sebelum bersenang-senang, 24.7% atau 20 dari 81
orang remaja menyatakan bahwa prioritas yang mereka pilih tidak ada dalam
opsi jawban nomor tiga, 5 dari 81 atau 6.2% orang remaja memiliki prioritas
untuk bersenang-senang terlebih dahulu sebelum bekerja, 4 dari 81 atau 4.9%
remaja dalam pertanyaan ini memilih untuk menempatkan teman sebelum
pekerjaan sebagai prioritas mereka, dan 1 dari 81 atau 1.2% orang remaja
mendahulukan cinta terlebih dahulu daripada uang.
Gambar 6. Presentase Jawaban soal nomor empat pertanyaan pilihan ganda

Untuk pertanyaan dengan pilihan ganda yang terakhir 48.1% atau 39 dari 81
orang remaja memilih untuk mengatakan bahwa mereka akan ada untuk
temannya yang kehilangan pasangannya dan menunggu temannya untuk
menghubungi mereka, 39.5% atau 32 dari 81 orang remaja memilih
mengatakan bahwa hidup akan terus berjalan sebagai jawaban untuk pertanyaan
ini, 9.9% atau 8 dari 81 orang remaja akan menghibur teman yang disebutkan
dalam pertanyaan untuk mencairkan suasana, 2 dari 81 atau 2.5% orang remaja
akan menghindar untuk beberapa waktu agar temannya dapat melupakan
kesedihannya, dan tidak ada satupun remaja yang mengisi kuisioner ini memilih
untuk mengajaknya ke pertunjukan komedi untuk membuatnya tertawa.

Setelah semua jawaban yang diberikan telah dimasukan kedalam test


emosional quotient yang disediakan oleh website IQ Elite, kami mendapatkan
hasil data sebagai berikut:

Gambar 7. Hasil test EQ

Nilai rata-rata skor remaja yang telah mengisi kuisioner ialah sebesar 102,
meskipun nilai atau skor EQ yang didapatkan berada diatas rata-rata, masih ada
beberapa aspek kecerdasan emosi yang perlu diperbaiki. Keseluruhan hasil EQ
dibagi menjadi beberapa komponen, meliputi kesadaran diri, manajemen diri,
auto motivasi, kesadaran sosial, dan manajemen hubungan.
Gambar 7. Hasil Kesadaran Diri

Grafik diatas mengindikasikan bahwa kebanyakan remaja yang mengisi


kuisioner kami mempunyai emosi negatif tanpa menyadarinya. Dan mungkin
tidak menyadari alasan apa yang memicu emosi menjadi negatif, dari orang lain
maupun lingkungan. Namun, pada usia remaja seperti ini, mempunyai pikiran
negatif untuk beberapa saat tanpa menyadarinya merupakan hal yang wajar,
karena pada usia remaja emosi rentan kurang stabil. Mencatat seluruh pikiran
negatif pada penghujung hari merupakan tindakan yang dapat dilakukan agar
adanya disposisi tentang emosi negatif yang dirasakan setiap hari dan mencari
solusi untuk menghilangkannya. Mereka relatif menyadari kelebihan dan
kekurangannya, karena hal ini perlu adanya peninjauan tentang kekurangan dan
kelebihan yang dimikili, agar kesadaran remaja semakin tinggi dan
pengambilan keputusan maupun tindakan menjadi lebih terkendalikan.

Gambar 8. Hasil Manajemen Diri

Hasil manajemen diri menunjukan bahwa, remaja yang mengisi kuisioner


kami dapat mengendalikan emosi secara baik, bahkan ketika emosi negatif
mereka memuncak. Ini adalah keterampilan yang sangat penting, karena itu
wajib untuk mengembangkannya. Mereka dapat memperbaiki emosi negatif
dengan penekanan mental dan mengganti keadaan psikologinya. Ketika
dihadapkan dalam masalah, remaja-remaja ini memperlihatkan taraf optimisme
dan kepercayaan diri yang wajar untuk keluar dari masalah yang mereka alami.
Gambar 9. Hasil Auto Motivasi

Remaja-remaja ini cenderung memiliki kemampuan untuk mengontrol


kebutuhan akan kepuasan sesaat demi kepentingan jangka panjang. Mereka
dapat mengorbankan hari ini dan bertahan dalam kesulitan guna mencapai
tujuan jangka panjang. Ini menunjukkan bahwa para remaja ini adalah seorang
yang bersungguh-sungguh, bertanggung jawab dan dapat diandalkan untuk
menyelesaikan tugas yang telah diamanahkan.

Gambar 10. Hasil Kesadaran Sosial


Remaja saat ini dapat memahami orang lain dengan sangat baik. Sering kali,
mereka dapat mengetahui apa yang orang lain pikirkan dan rasakan, mengetahui
motivasi di balik keputusan dan tindakan orang lain, dan mempunyai
pemahaman yang baik akan dinamika dari kelompok-kelompok dan institusi-
institusi sosial.

Gambar 11. Hasil manajemen Hubungan


Subjek pada penelitian kuisioner kali ini dapat mengekspresikan emosi
dengan cara yang sehat, namun terkadang mereka membatasi ekspresi
emosional wajahnya. Hal ini bukan merupakan kecakapan yang sepenuhnya
buruk, dapat membatasi ekspresi emosional pada wajah menunjukan bahwa
mereka memiliki tingkat kontrol diri yang tinggi dimana merupakan tindakan
yang tepat dalam situasi tertentu. Namun, melakukan hal ini dalam jangka
panjang dan terus menerus akan menimbulkan konsukuensi negatif terhadap
kesehatan mental. Ekspresi emosional merupakan dasar bagi segala bentuk
hubungan manusia, menunjukan dan membagi rasa emosi juga merupakan
bagian dari empati atau emosional quotient. Jika tidak adanya pengekspresian
emosi, kepribadian seseorang akan terganggu dalam bentuk kecacatan
kesehatan mental dan gangguang kepribadian. Tingkat keterampilan
komunikasi mereka merupakan dalam tingkatan cukup wajar. Subjek penelitian
biasanya mampu menyesuaikan komunikasi untuk situasi yang berbeda dalam
cara yang tepat. Dengan keterampilan komunikasi yang mereka miliki, sering
kali mereka berhasil mencapai tujuan serta membangun ikatan hubungan pada
saat yang bersamaan.

KESIMPULAN
Dari penyebaran Google form dan studi literatur diantara remaja saat ini yang
telah dilakukan, dapat ditarik kesimpulan bahwa minat baca remaja sekarang ini
sangatlah minim. Hal ini dibuktikan dari 81 jumlah peserta remaja, 41 atau
setengah diantaranya jarang membaca buku terutama buku novel atau cerita
fiksi. Walaupun hasil nilai Emotional Quotient atau kecerdasan emosional
berada diatas rata-rata, nilai Emotional Quotient disini tidak menunjukan nilai
yang jauh signifikan dari rata-rata nilai kecerdasan emosional pada umumnya.
Hasil test Emotional Quotient yang telah dilakukan mendapatkan nilai rata-rata
sebesar 102. Hasil tersebut berada diatas rata-rata Emotional Quotient, rata-rata
nilai Emotional Quotient adalah 90 sampai 100 dan dapat dinyatakan bahwa
yang mempengaruhi etika dari remaja umumnya dari umur 12 sampai 24 tahun
tidak hanya dilandaskan dengan membaca buku novel saja. Karena dengan
seiring perkembangan zaman banyaknya situs dan platform untuk
menggembangkan bakat menulis. Dan kegiatan membaca atau literasi buku
novel, cerita fiksi, atau berita informatif yang dapat meningkatkan kualitas
emosional menjadi lebih mudah dan efektif karena sifat internet yang memiliki
informasi yang bermacam-macam, portable dan tidak memakan banyak tempat.
Karena minimnya kegiatan membaca, adanya kemungkinan para pemaja saat
ini lebih memiliki banyak waktu luang untuk bersosialisasi dengan orang
disekitarnya, melakukan interaksi dengan orang lain secara tatap muka maupun
daring. Memang demi meningkatkan nilai empati tidak hanya dapat dilakukan
dengan membaca buku, hanya saja sudah dipastikan oleh para ahli bahwa
mereka yang membaca buku pasti memiliki nilai empati yang lebih tinggi atau
jauh diatas rata-rata dan lebih efektif.
DAFTAR PUSTAK
Ayu, A. (2017). PENGARUH MEMBACA CERITA FIKSI .
Blair, R. (2005). Responding to the emotions of others: Dissociating forms of
empathy through the study of typical and psychiatric populations.
Consciousness and Cognition, 698-718.
Darrick Jolliffe, D. P. (2011). Is low empathy related to bullying after controlling
for individual and social background variables? Journal of Adolescence,
59-71.
Gaiman, N. (n.d.). The Power of Cautionary Questions: Neil Gaiman on Ray
Bradbury’s ‘Fahrenheit 451,’ Why We Read, and How Speculative
Storytelling Enlarges Our Humanity. From brainpickings:
https://www.brainpickings.org/2016/05/31/neil-gaiman-the-view-from-
the-cheap-seats-bradbury/
Hogan, P. C. (2010). Fictions and Feelings: On the Place of Literature in the
Study of Emotion. Emotion Review, 184-195(DOI:
https://doi.org/10.1177/1754073909352874), 2(2).
Kathleen Lynne Lane, T. S.-C. (2007). Teacher and Parent Expectations of
Preschoolers' Behavior: Social Skills Necessary for Success . sage
journals.
Katie A. Gleason, L. A.-C. (2009). The Role of Empathic Accuracy in
Adolescents' Peer Relations and Adjustment. Personality and Social
Psychology Bulletin.
Lodge, D. (2002). Consciousness and the Novel. Cambridge, MA: Harvard
University Press.
Nikolajeva, M. (2014). NARRATIVE EMOTIONS AND THE . Empathy and
Identity in Young Adult Fiction.
Noorden, G. J. (2015). Empathy and Involvement in Bullying in Children and
Adolescents: A Systematic Review. Journal of Youth and Adolescence, 44,
637-657.
Nurgiyantoro, B. (2007). Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta : Gadjah Mada
University Press.
RAYMOND A. MAR, K. O. (2014). Exploring the link between reading fiction
and empathy. Ruling out individual differences and examining outcomes.
Ruth Castillo, J. M.-B. (2013). Effects of an emotional intelligence intervention
on aggression and empathy among adolescents. Journal of Adolescence,
883-892.
Shapiro J, R. L. (2006, Maret). A method for increasing medical students'
empathy, identification and expression of emotion, and insight. Educ
Health (Abingdon), pp. 19(1):96-105.
Stansfield, J. a. (2014). The Relationship Between Empathy and . Separate Roles
for Cognitive and Affective Components.
Tirza H. J. van Noorden, G. J. (2015). Attribution of human characteristics and
bullying involvement in childhood: Distinguishing between targets. wiley
online library, 394-403.

Anda mungkin juga menyukai