Anda di halaman 1dari 75

NOTA PENGENALAN PERJANJIAN LAMA I

Pensyarah:

PST. SUZANA YUSI, M.A,


78suzanauc@gmail.com

Borneo Theological Seminary (BTS), Namaus,


Peti Surat 125,
89308 Ranau,
Tel: 088-878336
PENGANTAR PERJANJIAN LAMA SATU

DAFTAR ISI :

I. PENTINGNYA PERJANJIAN LAMA

1. Pendahuluan
2. Mengapa penting mempelajari Perjanjian Lama?
a. Perjanjian Lama adalah Bagian dari Rencana Allah
b. Perjanjian Lama adalah Bukti akan Kedaulatan dan Kesetiaan Allah
c. Perjanjian Lama adalah Firman Allah
d. Perjanjian Lama adalah Nubuat bagi Perjanjian Baru
3. Mengapa sulit mempelajari Perjanjian Lama?
a. Halangan Bahasa
b. Halangan Budaya
c. Halangan Ketekunan
d. Halangan Praduga yang Salah
4. Pendekatan kepada Perjanjian Lama.

II. LATAR BELAKANG GEOGRAFIS PERJANJIAN LAMA

1. Kepentingan Mempelajari Latar Belakang Geografi PL


2. Ruang Lingkup Geografi PL
a. Geografis secara fisik
b. Geografis secara politik
c. Geografis secara sejarah
3. Makna Teologis Latar Belakang Geografis PL Tanah Perjanjian

III. SEJARAH PERJANJIAN LAMA

1. Hal-hal penting yang perlu diketahui dalam mempelajari sejarah PL


a. Sejarah PL adalah sejarah KEHIDUPAN MANUSIA YANG NYATA
b. Sejarah PL adalah PEKERJAAN ALLAH
c. Sejarah PL adalah SEJARAH KESELAMATAN
2. Kronologis Sejarah PL
a. Jaman Adam sampai Abraham (kira-kira 5000 – 4000 SM)
b. Jaman Patriakh-Patriakh (kira-kira 2000 - 1400 SM)
c. Jaman Keluaran/Eksodus dari Mesir (kira-kira 2000 - 1400 SM)
d. Jaman Hakim-Hakim (kira-kira 1400-1050 SM)
e. Jaman Kerajaan Bersatu (kira-kira 1050 - 931 SM)
f. Jaman Kerajaan Terpisah (kira-kira 930 - 586 SM)
g. Jaman pembuangan di Babel dan kembali ke tanah Israel (kira-kira 587 B.C).
3. Tinjauan Sejarah Masa PL
4. Sejarah PL
5. Bagan Sejarah PL

IV. BUDAYA PERJANJIAN LAMA

1. Struktur Masyarakat PL
a. Keluarga Lembaga Pernikahan
- Suami
- Istri
- Anak-anak
b. Anggota Masyarakat lain
2. Kehidupan Ibadah PL
3. Sistem Pendidikan PL
4. Poligami dan Perceraian dalam Perjanjian Lama
5. Perbudakan

V. KANON ALKITAB PERJANJIAN LAMA

1. Pengertian/Definisi
a. Arti Etimologis
b. Arti Figuratif
c. Arti Teologis
2. Sejarah Kanon PL
3. Pembentukan Kanon PL
a. Ucapan-ucapan yang Berotoritas
b. Dokumen (Tulisan) yang Berotoritas
c. Kumpulan Tulisan yang Berotoritas
d. Kanon yang Ditetapkan
4. Penerimaan Kanon PL
5. Susunan Kanon PL
6. Susunan PL (Kanon)
7. Kanon PL

VI. HUBUNGAN PERJANJIAN LAMA DAN PERJANJIAN BARU

1. Perbedaan dan Persamaan antara PL dan PB


a. Perbedaan antara PL dan PB
b. Persamaan antara PL dan PB
2. Perjanjian Lama adalah Bagian dari Seluruh Kebenaran Alkitab
3. Perjanjian Lama adalah Bayang-bayang dari apa yang akan datang (PB)
4. Yesus Kristus adalah Puncak dari Berita PL dan PB
5. Hubungan PL dan PB
6. Yang Lama dan yang Baru Masalahnya.

I. PENTINGNYA PERJANJIAN LAMA

PENDAHULUAN

Sebuah buku mengenai Perjanjian Lama sekarang ini tidak akan menjadi buku yang laris.
Bahkan di antara mereka yang berhasrat besar mempelajari Alkitab dan terus-menerus
menjadikannya buku terlaris sepanjang zaman, konferensi-konferensi tentang Perjanjian
lama tidak akan menarik perhatian. Sebabnya sederhana saja. Sering kali orang Kristen
memberikan waktu terbanyak untuk mempelajari Perjanjian Baru, dan hanya sekali-sekali
menyelidiki kitab Mazmur dan Amsal, atau kadang-kadang ditambah dengan kitab nabi-
nabi. Akibatnya ialah bahwa ramai orang Kristen gagal untuk memahami keseluruhan
wawasan pengungkapan Allah tentang diri-Nya sendiri - gambaran mereka tentang maksud-
maksud Allah tidak sempurna. Bahkan Perjanjan Lama tidak diterjemahkan ke dalam semua
bahasa di dunia. Tentu saja dapat difahami mengapa Perjanjian Baru merupakan bagian
pertama yang diterjemahkan kalau dana yang tersedia terbatas, tetapi kalau para misionaris
dan pendeta mendasarkan seluruh pengajaran mereka pada Perjanjian Baru saja maka
mereka tidak akan dapat mengajarkan Firman Allah seutuhnya. Hal ini sangat penting dalam
situasi- situasi penginjilan, di mana sering kali terdapat jembatan alamiah di antara
Perjanjian Lama dengan kebanyakan orang, terutama yang berasal dari kebudayaan bukan
Barat. Ajaran Perjanjian Lama berlatarkan rumah tangga dan pasar, kasih setia Allah
disampaikan dalam bentuk konkret. Jelaslah sudah bahwa Perjanjian Baru tidak dapat berdiri
sendiri.

Tidaklah sulit untuk mendaftarkan contoh-contoh keadaan ini dalam kepustakaan


misionaris. Di China, misalnya, para misionaris zaman dahulu sering kali hanya memakai
Perjanjian Baru dalam khotbah-khotbah mereka. Ketika membahas kelemahan misi-misi di
China Arthur Glasser mencatat: Kekurangan yang nyata dalam pergerakan misionaris adalah
penggunaan Firman Allah yang tidak memadai. Ia hanya menitikberatkan ajarannya pada
sebagian dari Alkitab, yaitu Perjanjian Baru dan Mazmur.... Alkitab tidak hanya berisi
mandat pekabaran Injil dari Perjanjian Baru, tetapi juga mengandung panggilan Allah
kepada tanggung jawab kebudayaan: suatu alur kewajiban yang mengalir sepanjang
Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Kalau Perjanjian Baru terutama berfokus pada seorang
pribadi di hadapan Allah, maka Perjanjian Lama menekankan hubungan yang bersifat umum
(keluarga, masyarakat, dan negara). Di Sinai Allah memberikan kepada umatNya suatu gaya
hidup yang egalitarian (sederajat) dan manusiawi.... Pendek kata, Perjanjian Lama
mengajarkan suatu cara hidup di mana hak-hak setiap orang dilindungi.
(New Forces in Missions, ed. David Cho, Seoul 1976, hal. 194-95)

Maksud penulisan buku ini ialah memberikan penerangan tentang Perjanjian Lama bagi
orang Kristen. Buku ini pantas disebut sebagai buku teologi Perjanjian Lama, dan penting
sekali untuk memahami arti istilah tersebut. Semua teologi yang benar, pastilah lebih kurang
bersifat alkitabiah, tetapi teologi alkitabiah (Biblika) ialah mata pelajaran khusus yang
berusaha mempelajari pokok-pokok Alkitab berdasarkan warna-warninya sendiri. Berbeda
dengan teologia sistematika yang berusaha memahami hubungan timbal balik antara pokok-
pokok Alkitab dengan implikasi-implikasi historis dan filosofisnya, teologi Biblika
mempelajari tema pokok Alkitab menurut perkembangannya selama Allah berurusan dengan
manusia dalam periode alkitabiah. Teologi Biblika bersifat historis dan berkesinambungan
atau progresif. Teologi Biblika berpusat pada penyingkapan diri Allah Penyelamat, yang
terwujud dalam kejadian-kejadian tertentu, di mana Allah memanggil bagi diri-Nya sendiri
suatu bangsa yang akan mencerminkan sifat-Nya serta melanjutkan maksud-maksud-Nya
yang penuh kasih. Teologi Biblika melihat perkembangan-perkembanga ini dengan latar
belakang dunia yang diciptakan Allah sebagai wahana bagi maksud tujuan serta nlai-nilai-
Nya. Akhirnya, teologi Biblika melihat bagaimana Allah menolak meninggalkan maksud
tujuan-Nya, sekalipun umat-Nya tidak setia sehingga Allah bekerja terus untuk menciptakan
umat yang lebih sempurna dan utuh sebagai umat
kepunyaan-Nya sendiri.

Jika kita dapat senantiasa mengingat pemikiran ini dan membaca Perjanjian Baru (dan
sebenarnya juga keseluruhan sejarah) dari sudut pemikiran tersebut, kita telah mengambil
langkah awal yang penting dalam berpikir secara teologis - dan dengan agak nekad dengan
cara Allah sendiri memandang dunia ini. Yang pasti ialah bahwa pokok-pokok pikiran ini
diungkapkan secara khusus dalam Perjanjian Lama.

Hal ini bukan berarti tidak mengakui adanya perbedaaan di antara keduanya. Maksud-
maksud Allah terlihat lebih nyata di dalam Perjanjian Baru. Perjanjian ini telah dimeteraikan
sekali untuk selamanya dengan kematian Kristus, dan bukan lagi berkali-kali seperti hanya
dalam upacara kurban Perjanjian Lama. Perjanjian Lama lebih berurusan dengan bangsa
Israel sedangkan Perjanjian Baru menaruh perhatian yang lebih besar kepada seluruh
dunia. Akan Tetapi, kesamaan di antara kedua perjanjian itu lebih penting daripada
perbedaannya. Kedua perjanjian secara serempak mencatat sejarah tindakan-tindakan Allah
terhadap umat manusia secara tahap demi tahap. Pekerjaan Kristus lebih merupakan puncak
daripada sanggahan atas kebenaran Perjanjian Lama. Meskipun Perjanjian Baru menyajikan
sesuatu yang baru, sebenarnya itu bukanlah sesuatu yang samasekali baru. Ada
kesinambungan penting yang menghubungkan kedua perjanjian tersebut, baik dalam cara
maupun hakikat dari ungkapan Allah dan di dalam cara manusia menanggapi ungkapan tsb.
Seperti dikatakan Yohanes Calvin, "Saya mengakui adanya perbedaan- perbedaan dalam
Alkitab namun sedemikian rupa sehingga tidak mengurangi keutuhannya yang telah
ditetapkan....
Semua ini berkenaan dengan cara penyalurannya dan bukan isi pokok" (Institusio II, II, I).

Pendekatan pada studi Alkitab yang telah terbukti berhasil dalam menggambarkan kesatuan
yang menyeluruh ini ialah tipologi atau ajaran tentang lambang-lambang, suatu studi
persesuaian di antara unsur-unsur tertentu dari kedua perjanjian. Meski cara ini sering kali
menjadi bahan olok-olok dan mengakibatkan penafsiran yang berlebihan terhadap hal-hal
kecil, tetapi kalau dapat dipahami dengan benar maka pendekatan ini akan menolong dalam
menggarisbawahi perkembangan dari ungkapan Allah yang konsisten dan historis. Suatu
tipe atau lambang ialah "suatu peristiwa, seorang tokoh, atau suatu lembaga dalam Alkitab
yang berlaku sebagai contoh atau pola untuk peristiwa- peristiwa, tokoh-tokoh atau
lembaga-lembaga lainnya", dan didasarkan pada konsistensi sifat dan aktivitas Allah (Baker
1977, 267). Artinya, peristiwa atau objek dalam Perjanjian Lama meskipun tetap memiliki
makna yang utuh dalam keseluruhan konteks Alkitab, namun artinya diperluas melalui
tampilnya padanan (dan penggenapan) dalam Perjanjian Baru, yang boleh kita sebut sebagai
konteks Perjanjian Baru. Jalan pemikiran ini melatarbelakangi banyak diskusi dalam buku
ini, apabila saya mengacu kepada Perjanjian baru.

2. MENGAPA PENTING MEMPELAJARI PERJANJIAN LAMA?

Umat Kristen pada umumnya dapat menerima Alkitab Perjanjian Baru (PB) dengan mudah
karena Alkitab PB adalah dokumen yang memberi kesaksian tentang kehidupan, kematian
dan kebangkitan dan pengajaran Kristus yang penuh kuasa serta sejarah pendirian gereja-
Nya. Tetapi, bagaimana dengan Perjanjian Lama? Sering umat Kristen bertanya, apakah
gunanya mempelajari kitab-kitab Perjanjian Lama? Bukankah PL lebih banyak berbicara
tentang cerita usang dari sejarah bangsa Yahudi (Israel) dan tentang raja-raja dan nabi-nabi
dan tokoh-tokoh yang tidak ada hubungan langsung dengan kita sekarang? Dapatkah kita
menerima keseluruhan PL sebagai Firman Allah yang berotoritas mutlak dalam hidup kita?

Pertanyan-pertanyaan di atas sangat penting untuk dijawab. Pelajaran pertama dari Kursus
Pengantar Perjanjian Lama (PPL) ini akan menolong kita untuk melihat PL dari sudut
pandang keseluruhan kebenaran Alkitab supaya kita dapat melihat dengan jelas
relevansinya bagi kehidupan Kristen kita sekarang.

a. Perjanjian Lama adalah Bagian dari Rencana Allah

Cara Allah menyatakan Diri-Nya kepada manusia adalah dengan memberikan Penyataan
Umum dan Penyataan Khusus, iaitu melalui alam, sejarah, hati nurani manusia dan juga
melalui Firman dan Anak-Nya, Yesus Kristus. Di dalam Penyataan-penyataan inilah Allah
menyatakan Diri-Nya dan rencana-Nya kepada manusia (Rom 1:19-20; Yes. 52:10).

Dalam Perjanjian Lama, Allah memakai hamba-hamba-Nya, dengan latar belakang satu
bangsa, yaitu bangsa Israel, untuk menjadi sarana dalam menyampaikan Penyataan-
penyataan rencana-Nya kepada manusia (Yes 49:6). Oleh karena itu sejarah lahirnya bangsa
Israel dan bagaimana Allah menyertai, menghukum dan memberkati bangsa ini (yang kita
pelajari melalui kitab-kitab PL) seharusnya menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari
kehidupan iman Kristen. Karena melalui sejarah bangsa ini Allah sebenarnya sedang
memberitahukan kepada manusia tentang Diri-Nya; siapakah Dia dan apakah rencana- Nya
bagi umat manusia, termasuk rencana-Nya bagi kita yang hidup sekarang. Dengan
mempelajari PL, maka kita akan melihat bagaimana Allah secara progresif menyatakan Diri-
Nya untuk dikenal; pertama melalui bangsa pilihan-Nya (Israel), lalu selanjutnya melalui
orang- orang yang dipilih-Nya pada masa Perjanjian Baru (Rom 1:16).

b. Perjanjian Lama adalah Bukti akan Kedaulatan dan Kesetiaan Allah

Dibalik cerita sejarah bangsa Israel, PL juga menjadi bukti penting akan kedaulatan Allah
atas seluruh alam semesta yang diciptakan- Nya, termasuk di dalamnya manusia. Dialah
yang mengawasi sejarah dan yang akan menyelesaikan rencana-Nya tepat pada waktu yang
sudah ditetapkan-Nya (Fil 1:6). Dia juga yang memilih hamba-hamba-Nya sesuai dengan
kedaulatan-Nya untuk melaksanakan rencana kekal-Nya. Di sini sekaligus PL juga menjadi
bukti penyataan progresif akan kesetiaan Allah (Yes. 25:1). Allah turut bekerja dalam
sejarah, termasuk ketika Israel tidak taat, tetapi Allah tetap setia pada janji-Nya (Rom 3:3).
Oleh karena itu kitab-kitab PB tidak mungkin dilepaskan dari PL; Allah PB adalah juga
Allah
PL yang setia melaksanakan rencana kedaulatan-Nya (keselamatan) bagi umat pilihan- Nya.
c. Perjanjian Lama adalah Firman Allah

Mengakui bahwa PL adalah Firman Allah adalah bagian yang penting dari iman Kristen,
karena apabila kita mengakui otoritasnya maka berarti kita bersedia tunduk pada otoritas tsb.
Namun yang menjadi pertanyaan sekarang, bagaimana kita tahu dan yakin bahwa kitab-
kitab PL adalah Firman Allah yang berotoritas? Berikut ini adalah beberapa bukti
bahwa PL adalah Firman Allah.

Pertama, bukti dari dalam Alkitab sendiri:

1. Yesus mengakui otoritas PL. Selama Yesus hidup di dunia Ia mengakui otoritas PL secara
penuh. Hal ini terbukti jelas dalam kitab-kitab Injil bagaimana Yesus selalu mengutip PL
untuk menunjukkan dasar otoritas dan pengajaran-Nya. Misalnya pada waktu Ia dicobai
(Matius 4:1-11). Juga ketika Yesus harus mengklaim kedudukan-Nya sebagai Anak Allah
(Yohanes 10:31-36). Sikap Yesus yang menjunjung tinggi PL cukup menjadi bukti bahwa
PL
memiliki otoritas sebagai Firman Allah.

2. Para Rasul mengakui otoritas PL. Diantara para Rasul tidak ada bukti satupun yang
memperlihatkan bahwa mereka tidak mempercayai PL sebagai inspirasi dari Allah. Di antara
para rasul, Paulus adalah yang paling jelas memberikan pengakuan secara penuh akan
otoritas PL. 2 Tim. 3:16, "tulisan" yang dimaksud pada waktu itu adalah tulisan dari
kitab-kitab PL.

3. Para penulis Alkitab mengakui otoritas PL. Pola pengakuan otoritas PL juga dijumpai
pada penulis-penulis PB lain, seperti Yakobus atau penulis kitab Ibrani. Mereka melihat PL
bukan sebagai rangkaian sejarah dan peraturan yang mati, tetapi merupakan kisah yang
hidup tentang karya Allah yang menyelamatkan manusia (Yak 1:22-23; Ibr. 4:12).

Bukti dari luar Alkitab:

4. Bapak-bapak gereja menerima dan mengakui otoritas PL melalui pengkanonan Alkitab.


Dinyatakan bahwa masing-masing Kitab PL menunjukkan sifat yang tidak dapat dipisahkan
dari pengilhaman ilahi.

5. Allahlah yang memberi inspirasi kepada para penulis PL. Itulah sebabnya sekalipun para
penulis PL hidup pada jaman dan latar belakang yang berbeda, berita yang mereka
sampaikan tidak ada yang saling bertentangan, malah sebaliknya memberikan satu benang
merah berita yang menunjuk pada karya keselamatan Allah.

6. Secara praktis terbukti bahwa kitab-kitab PL telah menjadi standard kebenaran dan
memberikan manfaat yang sanggup mengubah kehidupan manusia, karena Allahlah yang
ada dibalik penulisan itu.

d. Perjanjian Lama berisi Nubuatan bagi Perjanjian Baru

Kitab-kitab dalam PL banyak menunjuk pada nubuatan-nubuatan yang akhirnya digenapi


pada masa PB (Mat. 9:31; Luk 24:44; Rom 10:4). Keseluruhan dan kelengkapan berita
keselamatan harus dimulai dari PL dan diakhiri dengan PB; sehingga jelas keduanya tidak
dapat dipisah-pisahkan. Oleh karena itu PL harus dipelajari sebagai sumber dan landasan
untuk mengerti penggenapan rencana agung Allah. Kitab-kitab dalam PL juga penuh
dengan tipologi-tipologi yang kalau dipelajari akan menolong pembaca kitab-kitab PB untuk
mengerti lebih jelas KEUTUHAN KESELURUHAN KEBENARAN Alkitab.

PENTINGNYA MEMPELAJARI PERJANJIAN LAMA (Hubungan PL & PB)

Perjanjian Lama adalah kumpulan buku-buku yang dikarang lebih dari dua ribu tahun yang
lalu. Maka bisa saja dipertanyakan apakah Perjanjian Lama itu masih perlu dipelajari pada
zaman yang modern ini. Kalau kita membeli baju baru, yang lama dapat dibuang. Kalau kita
memasuki Orde Baru, yang lama tidak berlaku lagi. Bagaimana tentang Perjanjian Lama?
Apakah masih perlu? Ataukah sudah usang? Apakah tidak ada buku-buku baru yang lebih
penting untuk dibaca dan dihayati pada akhir abad kedua puluh ini? Pertanyaan-
pertanyaan seperti itu dapat dijawab dengan beberapa pokok.

a. Perjanjian lama merupakan Alkitab Yesus Kristus:


- Yesus mengenal sejarah Perjanjian Lama (misalnya Yohanes 3:14; bandingkan Bilangan
21:4-9);
- Yesus mendasarkan pengajaranNya pada Perjanjian Lama (lihat Matius 5:17; bandingkan
Markus 11:17);
- Yesus menggunakan ayat2 PL untuk menentang pencobaan (lihat Matius 4:1-11);
- Yesus menyatakan bahwa nubuat-nubuat Perjanjian Lama digenapi dalam diriNya
(misalnya Lukas 4:16-21; Yohanes 15:25).

b. Perjanjian lama sering dikutip oleh Perjanjian Baru.


Ada kurang lebih 2650 kutipan dari Perjanjian Lama dalam Perjanjian Baru, yaitu kurang
lebih 350 kutipan langsung, dan 2300 kutipan tidak langsung, serta persamaan bahasa.
Dengan kata lain, terdapat rata- rata satu kutipan Perjanjian Lama dalam setiap tiga ayat
Perjanjian baru. Kitab Yesaya dan mazmur paling sering dikutip (masing-masing lebih dari
400 kali); dan hanya kitab Kidung Agung yang tidak dikutip dalam Perjanjian Baru.

c. Perjanjian lama merupakan dasar untuk pengertian Perjanjian Baru antara lain:
- dari segi bahasa (Perjanjian Baru ditulis dalam sejenis bahasa Yunani yang banyak
dipengaruhi oleh bahasa-bahasa Perjanjian Lama);
- dari segi sejarah (sejarah Perjanjian lama dilanjutkan oleh sejarah Perjanjian Baru); dan
- dari segi teologi (tema-tema teologi Perjanjian lama, seperti penciptaan, dosa, hukuman,
pertobatan, kurban, keselamatan dan sebagainya menjadi dasar teologi Perjanjian Baru).

d. Baik dalam Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru menyatakan Allah yang Esa.
Allah Israel adalah sama dengan Bapa Yesus Kristus:
- sifatNya sama (mahakuasa, mahakudus, mahapengasih, dsb.);
- rencanaNya sama (untuk keselamatan manusia dan penyempurnaan dunia yang
diciptakanNya);
- tuntutanNya sama (hidup yang suci; kasih kepada Allah dan sesama manusia).

e. Perjanjian Lama merupakan firman Allah.


Allah berbicara (berfirman) melalui Perjanjian lama, sebagaimana juga melalui Perjanjian
Baru, untuk menyatakan kasihNya dan untuk menyampaikan kehendakNya kepada manusia.

f. Perjanjian Lama mengandung sastra yang indah


Ini termasuk cerita yang termasyur, seperti cerita Yusuf, Rut, Daud, Elisa, Yunus, Ester dan
sebagainya; dan puisi yang bagus seperti dalam Kitab Ayub, Mazmur, Yesaya dan lain-lain.

3. MENGAPA SULIT MEMPELAJARI PERJANJIAN LAMA?

Dari uraian di atas kita melihat bahwa penting sekali kita mempelajari Penyataan Allah yang
bersifat progresif itu mulai dari masa PL supaya kita mendapatkan konteks lengkap
bagaimana Penyataan Allah itu diberikan. Namun demikian mempelajari kitab-kitab PL
tidaklah tanpa halangan. Ada faktor-faktor penghambat yang kadang menyulitkan kita
mengerti maksud sesungguhnya berita dalam PL. Kesulitan-kesulitan tsb. dapat dijelaskan
sbb.:

a. Halangan Bahasa
Kitab-kitab asli PL disampaikan dalam bahasa Ibrani kuno yang kadang tidak dapat secara
jelas diterjemahkan dalam bahasa Indonesia.

b. Halangan Budaya
Seluruh konteks PL adalah budaya bangsa Israel kuno yang informasi sejarahnya tidak dapat
kita pahami dengan lengkap.

c. Halangan Ketekunan
Kurangnya ketekunan dalam mempelajari Alkitab secara menyeluruh dan
berkesinambungan.

d. Halangan Praduga yang Salah


Sering kita telah memiliki praduga yang salah tentang PL sehingga kita cenderung hanya
memilih berita yang kita sukai dan mengerti, tapi kemudian mengabaikan isi berita PL yang
lain.

4. PENDEKATAN KEPADA PERJANJIAN LAMA

Mempelajari Perjanjian Lama adalah tugas yang amat besar, tetapi persiapan yang tepat
dapat menolong mahasiswa untuk menuai panen yang melimpah. Allah yang berdaulat yang
menciptakan alam semesta, yang mengawasi sejarah, dan yang akan menyelesaikan
rencanaNya tepat pada waktu yang sudah ditetapkanNya yang telah memutuskan untuk
berbicara. Hal itu sendiri telah merupakan tindakan anugerah, dan kita berkewajiban untuk
mendengarkan. Walaupun demikian, mendengarkan dapat terhalang oleh banyak faktor yang
menyulitkan. Pertama, wahyu atau penyataan Allah tidak disampaikan dalam bahasa atau
kebudayaan kita. Sebagai akibatnya, kita barangkali harus bekerja lebih keras untuk dapat
menerima berita yang disampaikan dengan jelas. Semakin paham para mahasiswa akan
kebudayaan Timur Dekat purba, khususnya kebudayaan Israel, selama zaman Perjanjian
Lama, semakin mampulah mereka menyingkirkan penghalang-penghalang yang
ada.

Faktor kedua yang mempersulit adalah bahwa kendati kita mendengarkan, kita cenderung
untuk memilih-milih apa yang kita dengar atau mencoba untuk menyesuaikan berita itu
dengan apa yang kita ingin dengar. Jalan keluar untuk ini adalah dengan mengizinkan
Alkitab berbicara sendiri. Kita semua mempunyai berbagai praduga tentang Alkitab.
Praduga-praduga ini perlu dievaluasi terus-menerus dan disaring agar jangan sampai
memutarbalikkan ajaran Alkitab. Tujuan para penulis Alkitab tidak boleh ditempatkan lebih
rendah terhadap maksud tujuan kita sendiri, betapapun berguna maksud tujuan kita itu.
Banyak hal yang sangat berharga dapat dipelajari dari Perjanjian Lama, tetapi tidak
semuanya itu hendak diajarkan oleh Perjanjian Lama. Jika para mahasiswa berkeinginan
untuk memperoleh pengajaran yang absah dari teks Perjanjian lama, maka harus belajar
untuk menambah ide-ide mereka sendiri pada teks tersebut. Apabila Alkitab diizinkan untuk
berbicara dari ketinggiannya sendiri dan menurut agendanya sendiri, pembaca akan
dapat menjadi lebih terbuka untuk memepelajari apa yang hendak diajarkan oleh Alkitab.

PENYATAAN DIRI

Sebagai penyataan diri Allah sasaran Perjanjian Lama adalah agar pembaca akan mengenal
Allah dengan lebih baik. Namun, proses ini tidak dimaksudkan untuk sekedar mengetahui
bahwa Allah ada. Sebaliknya pengenalan akan Allah ini tercapai dengan cara mengalami
sifat- sifatNya. Mampu mencatat semua sifat Allah tidak penting. Yang harus kita capai
adalah bahwa sifat-sifatNya itu menjadi kerangka dari pandangan hidup kita. Yang kami
maksudkan dengan ini adalah bahwa pandangan kita terhadap diri sendiri, masyarakat kita,
dunia kita, sejarah kita, perilaku kita, keputusan-keputusan kita - segala sesuatu - harus
disatukan dengan pandangan yang jelas dan terpadu tentang Allah. Sasaran Perjanjian Lama
bukanlah kehidupan yang diubah, kendatipun pengenalan akan Allah sudah seharusnya
mengubah kehidupan seseorang. Sasaran Perjanjian Lama bukanlah menyetujui suatu sistem
nilai, kendatipun suatu sistem nilai tentu saja akan merupakan akibat dari mengenal Allah
dengan sungguh-sungguh. Perjanjian Lama bukanlah tempat penyimpan berbagai model
peran historis, kidung-kidung yang berdebu, dan perkataan
nubuat yang tidak jelas, tetapi merupakan ajakan Allah untuk mendengarkan kisahNya.

Kisah Allah ini diawali dengan penciptaan. Akan tetapi, yang ditegaskan bukanlah
bagaimana dunia mulai, tetapi bagaimana rencana itu dimulai. Segala sesuatunya sudah tepat
untuk pelaksanaan rencana Allah. Dalam pengertian itu, penciptaan hanya merupakan
pendahuluan dari sejarah. Kedaulatan Allah pada awalnya dijamin oleh kenyataan bahwa Ia
menciptakan. Meskipun kenyataan ini mau tidak mau menyangkal kedaulatan ilah-ilah lain,
maksud tujuannya bukanlah membuka polemik melawan politeisme kafir pada zaman itu.
Tetapi daripada mengadakan pendekatan negatif yang mencela dan membuktikan
ketidakbenaran ilah- ilah lain, Perjanjian Lama mengadakan pendekatan positif dengan
memberitahukan seperti apa Allah yang esa dan benar itu dan
apa yang sudah dikerjakanNya.

Sewaktu sejarah mulai, akan terlihat bahwa Perjanjian lama tidak memberikan perhatian
utama pada aspek-aspek politik dan sosial dari sejarah. Yang terutama diperhatikan dari
sejarah ini adalah bagaimana Allah sudah menyatakan diriNya kepada orang-orang pada
masa lalu. Hal ini dicerminkan dalam nama-nama Allah yang memenuhi halaman-halaman
Perjanjian lama. Nama-nama ini menggambarkan Dia sebagai Allah yang kudus,
mahakuasa, mahatinggi, dan yang menyebabkan terjadinya segala sesuatu. Akan tetapi, Ia
juga adalah Allah yang mendengar, melihat, dan menyediakan. Pembrontakan dan
kelemahan yang biasa terdapat pada umat manusia menunjukkan Dia sebagai Allah yang
penuh kesabaran dan kasih karunia.

Sebagaimana halnya penciptaan memasuki sejarah, demikian juga sejarah memasuki nubuat.
Rencana Allah diawali pada permulaan, dijalankan sepanjang sejarah, dan akan terus
berlangsung sampai semua tercapai. Dengan melihat rencana Allah dijalankan pada masa
lalu (Pentateukh dan kitab-kitab sejarah dan dimaksudkan untuk masa depan kitab-kitab para
nabi), kita mulai menghargai hikmat yang tidak terduga dari Allah yang layak dipuji dan
disembah (Mazmur-mazmur dan sastra hikmat). Dengan demikian, Perjanjian Lama harus
dilihat sebagai penyajian sifat-sifat Allah dalam perbuatan. Kita dapat mengetahui siapa
Allah itu dan seperti apa Dia dengan jalan mendengar apa yang sudah ada yang akan
dilakukanNya. Sesudah kita mengethui siapa Dia itu, dan seperti apa Dia,
maka tanggapan yang selayaknya adalah penyembahan, komitmen, dan pelayanan.

PERJANJIAN ALLAH

Di bagian inti dari penyataan-diri ini, yang menggambarkan rencana Allah, terdapat
perjanjian Allah (covenant). Bahkan nama "Perjanjian Lama" menunjukkan bahwa covenant
itu merupakan konsep inti dari kumpulan kitab-kitab ini. Melalui covenant atau perjanjian
ini Allah menyatakan seperti apa Dia dan mengharuskan diriNya untuk menuruti kelakukan
tertentu. KesetiaanNya (hesed) pada covenant itu sering kali menyebakan Dia melakukan
tindakan kasih karunia dan kemurahan, namun keadilan juga tercakup dalam covenant untuk
memastikan pemberian pertanggungjawaban oleh umatNya. Karena covenant itu merupakan
sarana yang digunakan Allah untuk mengadakan penyataan diri, Perjanjian Lama sering kali
tampil sebagai sejarah covenant, atau dari berbagai aspeknya, lebih dari sekedar sejarah
Israel. Jadi kitab Kejadian 12-50 adalah sejarah pengadaan perjanjian Abraham (atau
Abrahamic Covenant). Kitab Keluaran sampai dengan kitab Ulangan adalah sejarah
mengenai penetapan perjanjian di Sinai. Kitab Yosua adalah catatan mengenai kesetiaan
Allah terhadap perjanjian itu, sedangkan kitab Hakim-hakim adalah catatan mengenai
ketidak-setiaan Israel terhadap perjanjian tsb. Kitab Samuel dan Raja-raja adalah sejarah
perjanjian kerajaan (Perjanjian Daud atau Davidic Covenant). Perjanjian itu sebagai rencana
Allah terlihat dengan lebih jelas daripada orang-orang yang terlibat dari generasi
ke generasi.

Beberapa pendekatan yang berbeda-beda terhadap Perjanjian Lama dapat dibedakan satu
daripada yang lain melalui paham setiap pendekatan itu mengenai gagasan perjanjian dan
kaitan berbagai perjanjian itu terhadap satu sama lain. Adakah banyak perjanjian yang
berbeda-beda yang terlepas dari yang lain mengatur berbagai periode sejarah, ataukah hanya
ada satu atau dua perjanjian yang mengatur yang memiliki beberapa perjanjian tambahan
lainnya yang menawarkan perluasan dan penjelasan? Adakah satu perjanjian yang tidak
bersyarat yang terdiri atas beberapa perjanjian bersyarat sebagai bagian
pelangkapnya, ataukah keseluruhannya merupakan perjanjian bersyarat?

Pertanyaan-pertanyaan ini yang dijawab dalam berbagai cara oleh para sarjana yang
berbeda-beda, menjelaskan berbagai kontroversi teologis tentang Perjanjian Lama,
hubungannya dengan Perjanjian Baru dan keterkaitannya dengan kita dewasa ini. Namun
jawaban-jawaban yang diberikan untuk pertanyaan-pertanyaan ini tidak mengubah citra
Allah yang diberikan oleh perjanjian itu. Hanya bentuk teologinyalah yang dipertaruhkan
dalam persoalan ini, dan bukan sifat Allah sebagaimana Ia dinyatakan dalam Perjanjian
Lama. Bahkan, jika seandainya pun ada yang cenderung untuk membuat garis-garis pemisah
yang jelas di antara perjanjian-perjanjian itu, kesatuan organik dari perjanjian-
perjanjian tersebut tidak boleh diabaikan.

Ciri kesatuan organik inilah yang menolong kita untuk melihat rencana Allah sebagai suatu
wujud yang konsisten dan menyatu. Dalam pandangan ini, perjanjian dengan Abraham
menetapkan Israel sebagai umat Allah "yang menyatakan Allah" maksudnya melalui umat
Israel Allah berkenan menyatakan diriNya kepada dunia. Taurat yang diberikan di Sinai
merupakan satu bagian utama dari penyataan yang akan diberikan oleh perjanjian yang
ditetapkan sebagai sasarannya. Pada waktu yang sama, kitab Imamat, Ulangan, dan Yosua
berisi pembaharuan perjanjian yang memperkuat persetujuan itu. Perjanjian Daud (Davidic
Covenant) menggenapi beberapa dari janji-janji mula-mula Allah kepada Abraham
(misalnya, raja-raja akan berasal dari dia) dan pada waktu yang sama memperluas
persetujuan itu untuk mencakup suatu garis keturunan dinasti. Para nabi berbicara tentang
perjanjian yang akan datang (bandingkan Yesaya 61:8; Yeremia 31:31-34; Yehezkiel 16:60-
63; 34:25- 30; 37:19-28; Hosea 2:18:20), dan semua ini biasanya berhubungan dengan
penggenapan yang akan datang dari aspek-aspek perjanjian terdahulu yang sama sekali
tidak terwujud karena kegagalan umat Israel.

OTORITI

Kendatipun tidaklah salah untuk mempelajari Alkitab dari perspektif sastra dan menghargai
sebagai karya sastra yang agung, kita tidak dapat berhenti di situ. Jika Alkitab hendak
dikenal sebagai penyataan diri Allah, maka Alkitab harus dipandang sebagai karya yang
tidak sekedar mengetengahkan pandangan-pandangan umat yang saleh. Dengan kata lain,
jika Allah tidak dipahami sebagai sumber Perjanjian Lama, maka Perjanjian Lama itu bukan
penyataan-diri Allah. Jika Allah adalah sumber Perjanjian Lama, maka dapat dimengerti
bahwa Perjanjian Lama memiliki otoritas. Kita menelaah Alkitab karena kita berharap akan
memperoleh firman yang memiliki otoritas dari Allah, bukan berbagai pendapat yang
subjektif dari manusia, betapapun berharga atau benar pendapat-pendapat tersebut.
Otoritaslah yang menjadikan Perjanjian Lama lebih dari sekedar sastra yang bagus. Oleh
karena itu Perjanjian Baru mengacu kepada Perjanjian Lama sebagai tulisan yang
dinapaskan Allah, atau "diilhami". Pengilhaman adalah sifat yang menunjukkan Allah
sebagai sumber dan menjamin bahwa karya tulisan yang dihasilkan memiliki otoritas
(II Timotius 3:16).

Maka dapat dimengerti bahwa jika kita mengharapkan Alkitab berisi penyataan yang
berkuasa dan absah dari Allah maka otoritas tersebut harus terdapat dalam apa yang hendak
dikomunikasikan oleh Alkitab, bukan dalam apa yang pembaca ingin dengar. Dalam hal ini
pun Alkitab berbeda dari kepustakaan yang lain. Bila kita membaca sebuah novel atau syair,
daya atau kekuatan buku atau tulisan itu dapat diukur melalui kemampuannya untuk
membangkitkan tanggapan dari pembaca dan memadu hal itu dengan gagasan dari
pengarangnya untuk menciptakan dan menciptakan kembali "berbagai arti" baru setiap kali
buku itu dibaca. Dalam cara ini sebuah syair dapat berarti satu hal bagi seorang pembaca,
sedangkan bagi pembaca lain syair tersebut mempunyai makna yang lain sama sekali.
Kendatipun dinamika seperti ini dapat merupakan hasil dari proses penerapan ketika
membaca Perjanjian Lama, kenyataan bahwa firman tertulis itu memiliki otoritas sedangkan
tanggapan pembaca tidak, hendaknya menjadi peringatan agar kita tidak dapat merasa pias
dengan mempelajari pelajaran-pelajaran kita sendiri dari Alkitab, betapa pun bernilainya
pelajaran-pelajaran tersebut. Kita harus berusaha untuk menemukan apa yang
hendak dikumunikasikan oleh penulis, karena disitulah terkandung otoritas.

Apakah implikasi-implikasi dari otoritas yang dimiliki oleh teks? Yang pertama adalah
bahwa kita menerima apa yang dikatakan teks sebagai kebenaran. Jika Allah tidak pernah
mengadakan perjanjian dengan Abraham atau tidak pernah berfirman kepada Musa di Sinai;
jika penaklukkan negeri perjanjian hanya sekedar suatu polemik khayal bagi Israel untuk
memebela ekspansi wilayahnya; jika perjanjian Daud tidak lebih dari suatu siasat politik
yang dilakukan oleh orang-orang Daud untuk menyatakan bahwa Allah membenarkan
keberlangsungan dinasti mereka, maka Alkitab bukanlah penyataan-diri Allah, melainkan
sekadar propaganda dan tidak ada sangkut paut sama sekali dengan kita. Jika ada pengertian
meskipun sedikit, yang menunjukkan bahwa Alkitab adalah firman
Allah, maka Alkitab harus diterima sebagai kebenaran.

Implikasi kedua adalah bahwa kita perlu menanggapinya. Jika Alkitab benar-benar
pernyataan-diri Allah yang berwenang, maka kita tidak boleh mengabaikannya ataupun
tidak mengambil peduli. Allah tidak hanya menghendaki penyembahan, tetapi juga ketaatan,
keadilan, kesetiaan, kekudusan, kebenaran, dan kasih. Singkatnya, Ia ingin agar kita menjadi
seperti Dia - itulah salah satu alasan Ia menyatakan diri sebagaimana adanya
itu.
II. LATAR BELAKANG GEOGRAFI PERJANJIAN LAMA

1. KEPENTINGAN MEMPELAJARI LATAR BELAKANG GEOGRAFI PL

Pada pelajaran yang pertama telah kita pelajari bahwa melalui kitab-kitab PL, yang berisi
sejarah bangsa Israel, Allah telah menyatakan Diri-Nya dan rencana-Nya kepada manusia.
Untuk itu Allah telah melibatkan Diri dalam sejarah hidup umat pilihan-Nya yang dibatasi
dalam ruang dan waktu. Kisah sejarah bangsa Israel dalam Kitab-kitab PL bukanlah karya
sastra yang direka-reka dan direncanakan oleh pikiran manusia. Kita patut bersyukur bahwa
Alkitab adalah unik dibandingkan dengan kitab suci-kitab suci agama lain, karena Alkitab
menyebutkan banyak sekali nama-nama tempat yang memang pernah ada di dunia ini. Itulah
sebabnya ada dua alasan penting untuk mempelajari latar belakang geografis
dunia PL:

a. Untuk menjadi bukti bahwa sejarah umat Allah dalam PL adalah sejarah yang sungguh
terjadi di suatu tempat, di suatu waktu di dunia ini.

b. Supaya kita dapat mengerti dan menginterpretasikan teks Alkitab dengan lebih baik; ada
ribuan nama tempat, gunung, sungai, bukit, laut dll. dalam Alkitab sehingga diperlukan
pengetahuan yang cukup tentang data-data geografis tsb. untuk dapat menafsirkan ayat
dengan tepat.

2. RUANG LINGKUP GEOGRAFI PL

Adapun lingkup geografis PL dapat dilihat dari beberapa sisi:

a. Geografi secara fisik;


Berhubungan dengan bumi secara fisik: gunung, sungai, lembah, dan struktur tanah, angin
dan cuaca dll. Semua ini mempengaruhi bagaimana masyarakat hidup di daerah itu; tipe
bangunan rumahnya, tipe pekerjaannya, gaya hidupnya dll.

b. Geografi secara politik


Sehubungan dengan pengaturan kelompok masyarakat yang ada, dari kelompok masyarakat
sederhana yang tinggal berpindah-pindah (nomand) sampai akhirnya membentuk suatu
daerah pemukiman yang memiliki daerah teritori yang jelas dan bahkan
menjadi kerajaan yang berkuasa atas daerah yang lebih luas

c. Geografi secara sejarah


Berhubungan dengan perkembangan sejarah masyarakat dalam satu tempat dan satu waktu.
Alkitab mencatat bagaimana, di mana dan kapan Allah menyatakan Diri dan
rencana- Nya pada umat pilihan-Nya.
3. MAKNA TEOLOGIS LATAR BELAKANG GEOGRAFIS PL

Tanah Perjanjian
Wilayah tanah Kanaan memiliki muatan makna teologis yang sangat besar dalam seluruh
kitab PL, karena tanah Kanaan merupakan komponen utama dalam perjanjian Allah dengan
bangsa pilihan-Nya, Israel. Hal ini dimulai ketika Abraham dipanggil untuk pergi ke tanah
yang akan Tuhan berikan kepadanya dan bangsa keturunannya, yaitu Tanah Perjanjian, (Kej.
11:31 - 12:10). Wilayah Tanah Perjanjian itu disebutkan "mulai dari sungai Mesir sampai ke
sungai yang besar itu, sungai Efrat" (Kej. 15:18) dan janji itu dikonfirmasi
lagi kepada Ishak (Kej. 26:3) dan juga kepada Yakub (Kej. 28:13).

Luas tanah yang dijanjikan Tuhan kepada Abraham tidaklah jelas batasnya. Namun dapat
dipastikan lebih luas dari negeri Kanaan, karena ketika Lot memilih untuk tinggal di lembah
Yordan yang subur dan banyak air di sebelah timur, Abraham tinggal di tanah Kanaan, dan
di situlah Tuhan berkata kepada Abraham: "Pandanglah sekelilingmu dan lihatlah dari
tempat engkau berdiri itu ke timur dan barat, utara dan selatan, sebab seluruh negeri yang
kaulihat itu akan Kuberikan kepadamu dan kepada keturunanmu untuk selama- lamanya."
(Kej. 13:14-15).

Ratusan tahun kemudian ketika Musa mengingatkan bangsa Israel akan Tanah Perjanjian
yang Tuhan telah berikan kepada mereka, maka Musa menjelaskan batas-batas tanah itu
sebagai, "Majulah, berangkatlah, pergilah ke pegunungan orang Amori dan kepada semua
tetangga mereka di Araba-Yordan, di Pegunungan, di Daerah Bukit, di Tanah Negeb dan di
tepi pantai laut, yakni negeri orang Kanaan dan ke gunung Libanon sampai Efrat, sungai
besar itu. Ketahuilah, Aku telah menyerahkan negeri itu kepadamu; masukilah, dudukilah
negeri yang dijanjikan Tuhan dengan sumpah kepada nenek moyangmu, yakni Abraham,
Ishak dan Yakub, untuk memberikannya kepada mereka dan kepada keturunannya." (Ul.
1:7-8). Dan saat itu bangsa Israel telah menduduki tanah bahkan sampai ke TransJordan,
yang lebih luas dari batas Tanah Perjanjian.

Pada masa Yosua, Tuhan memberi perintah kepada Yosua untuk mengambil seluruh teritori
seperti yang telah disebutkan oleh Musa (Yos. 1:4). Namun selama masa itu Israel gagal
untuk mendapatkan seluruh tanah yang telah Tuhan janjikan, sebab utamanya adalah karena
ketidaktaatan mereka kepada Tuhan, sehingga Tuhan menghukum mereka dengan tidak
memberikan seluruh tanah itu kepada bangsa Israel. Dan selama masa raja-raja Israel, tidak
ada satu raja pun yang berhasil mendapatkan seluruh Tanah Perjanjian itu kecuali Daud
(itupun masih ada satu bagian tanah, Tanah orang Het yang tidak menjadi kekuasaan
Israel).

Sebagai kesimpulan dapat di katakan bahwa konsep Tanah dan Perjanjian dalam PL saling
memiliki kaitan yang erat. Tanah merupakan anugerah Tuhan yang dijamin di atas
perjanjian (covenant) yang sah. Oleh karena itu Tanah Perjanjian merupakan simbol akan
ketergantungan mereka pada Tuhan. Hubungan Israel dengan tanah itu merupakan indikasi
hubungan mereka dengan Tuhan. Apabila mereka taat kepada Tuhan maka kemakmuran
yang luar biasa akan terjadi di atas tanah itu (Ul. 22). Sebaliknya, ketidaktaatan bangsa
Israel akan perintah Tuhan akan berakhir dengan dibuangnya mereka dari Tanah Perjanjian
(Ul. 4:25-28; 28:63-68; Yos. 23:13-16; I Raj. 9:6- 9; 2 Raj. 17:22-23; dll.). Dan akibatnya
pada masa-masa itu orang Israel harus hidup di tanah pembuangan dan dijajah bangsa-
bangsa lain. Namun karena janji bahwa Tuhan akan setia menyertai bangsa ini, maka tidak
untuk selamanya bangsa Israel tinggal di tanah pembuangan. Pada jaman Ezra, sejarah PL
mulai diwarnai dengan pertobatan dan perjanjian untuk menjauhkan diri dari pemcemaran
dosa dari bangsa kafir (Ez. 9:10-15) sehingga bangsa Israel akhirnya pulang kembali ke
tanah
airnya dan tinggal di tanah yang Tuhan janjikan itu.

III. SEJARAH PERJANJIAN LAMA

SEJARAH SINGKAT PERJANJIAN LAMA

Seperti yang telah disinggung sebelumnya bahwa sebagian besar Kitab-kitab dalam
Perjanjian Lama berisi cerita sejarah, khususnya tentang sejarah bangsa Israel. Cerita-cerita
tsb. bukanlah cerita yang sekedar kita dengar lalu kita lupakan, karena ada makna teologis
yang dapat ditarik kalau kita mempelajari dengan teliti dan dengan tujuan yang benar.

Mempelajari sejarah PL harus dimulai dengan kerinduan untuk mengerti maksud dan
rencana Allah berintervensi (turut campur tangan) dalam sejarah manusia. Hal inilah juga
yang mendorong para ahli Alkitab untuk meneliti dan menyusun urutan kejadian-kejadian
dalam Alkitab untuk melihat kembali bagaimana Allah berkarya, menyatakan Diri-Nya dan
bagaimana Ia bertindak dan berhubungan dengan manusia. Tindakan Allah dalam sejarah
ciptaan-Nya ini membuktikan akan penyertaan dan pemeliharaan Allah terhadap ciptaan-
Nya. Apa yang Allah kerjakan dan tunjukkan di masa lampau dalam sejarah Perjanjian
Lama, memberikan dampak dan pengharapan bagi kita yang hidup pada masa kini.
Untuk lebih jelasnya di bawah ini adalah hal-hal penting yang perlu diketahui dalam
mempelajari sejarah PL ini.

1. HAL-HAL PENTING YANG PERLU DIKETAHUI DALAM MEMPELAJARI


SEJARAH PL

a. Sejarah PL adalah Sejarah KEHIDUPAN MANUSIA YANG NYATA

Sejarah PL bukanlah cerita-cerita usang belaka dari suatu bangsa yang hanya rekaan
manusia. Sejarah PL adalah kisah dari sebuah bangsa yang betul-betul ada di dunia, yang
telah dipilih Allah untuk menjadi saluran kasih-Nya. Setiap kejadian yang ada dalam sejarah
PL merupakan sebuah mata rantai sejarah Keselamatan Allah yang panjang yang saling
menyambung, karena kisah yang ada dalam PL tsb. satu dengan yang lain memiliki
hubungan/kaitan yang sangat erat, baik hubungan sebagai kelanjutan cerita, tapi juga
hubungan akan penggenapan atas nubuat yang telah diberikan sebelumnya.

b. Sejarah PL adalah PEKERJAAN ALLAH

Alkitab PL bukan saja meliputi cerita kronologis bangsa Israel dari permulaan pemilihan
sampai jaman Yesus Kristus, tapi adalah sejarah pekerjaan Allah yang terus menerus
dinyatakan di dalam kehidupan orang-orang Israel agar mereka mengerti tujuan pekerjaan
dan rencana karya Allah untuk keselamatan mereka serta menjadikan mereka rekan kerja
Allah.

c. Sejarah PL adalah SEJARAH KESELAMATAN

Dari peristiwa-peristiwa yang disusun secara kronologis maka terlihatlah suatu benang
merah berita inti dalam seluruh sejarah umat manusia, yaitu Sejarah Keselamatan yang
Allah anugerahkan kepada manusia. Manusia yang telah jatuh dalam dosa dan terputus
hubungan dengan Allah diberikan pengharapan baru; dan pada setiap generasi, sejarah
mencatat, Allah selalu mengulangi panggilan-Nya agar manusia berbalik dan menerima
keselamatan yang dari Tuhan.

Dari tiga hal di atas jelaslah bahwa untuk mempelajari sejarah PL kita harus melihat
keseluruhan beritanya dalam konteks yang tepat. Sejarah PL bukan berisi perintah-perintah
yang harus kita ikuti atau cerita yang bisa kita ambil dan mengerti secara terpisah- pisah,
karena masing-masing peristiwa memiliki latarbelakang historis yang menuju ke satu berita
utama, yaitu berita Keselamatan. Oleh karena itu mempelajari sejarah PL akan menolong
kita secara langsung untuk mempelajari konteks dalam menafsirkan berita PL secara benar.

2. KRONOLOGIS SEJARAH PL

Sebelum memberikan garis besar sejarah seluruh PL, perlu terlebih dahulu kita mengerti
bagaimana para ahli Alkitab dan sejarah menentukan waktu terjadinya peristiwa-peristiwa
tersebut secara kronologi.

Penentuan waktu kronologi sejarah PL (dari masa penciptaan, Adam dan seterusnya) tidak
begitu mudah untuk dipastikan, karena Alkitab sendiri tidak ditulis untuk maksud
memberikan catatan kronologi yang urut dan lengkap. Tujuan Alkitab mencatat peristiwa-
peristiwa penting adalah untuk memberikan gambaran sehubungan dengan bagaimana Allah
bertindak terhadap manusia pada tempat dan waktu saat itu. Salah satu cara menentukan
waktu kejadian penciptaan Adam adalah dengan teori Ussher (sekalipun sekarang teori ini
tidak populer), iaitu dengan cara menjumlahkan kebelakang genealogi- genealogi (silsilah)
dan data-data kronologis lain yang terdapat dalam PL (dengan asumsi bahwa silsilah-silsilah
PL semua lengkap dan berurutan). Dengan cara ini ditentukan bahwa waktu penciptaan
Adam adalah thn. 4004 SM (Sebelum Masehi). Banyak orang masih memakai pedoman
pentarikhan waktu Ussher ini sebagai pedoman pengurutan
kronologisnya saja, sedangkan penentuan tahunnya tidak diikuti.

Berikut ini adalah garis besar pembagian sejarah PL secara kronologi:

a. Zaman Adam sampai Abraham (kira-kira 5000 - 4000 SM)


Zaman ini oleh beberapa sarjana ditempatkan dalam ruang waktu antara 5000-4000 SM,
walaupun ada banyak pandangan yang berbeda- beda tentang penetapan waktu ini.

Dalam zaman ini dicatat dua peristiwa besar:


1. Air bah (Kejadian 6:13; 9:17) - 3000 SM, tahun ini ditentukan dengan memperhatikan
kesamaan antara Air Bah di dalam Alkitab dengan sebuah kisah air bah yang berasal dari
Babel.
2. Menara Babel (Kejadian 11:1-9) - 3000-2000 SM, karena kejadiannya ini tidak lama
sesudah air bah, (dimana semua manusia masih tinggal di satu daerah).

b. Zaman Patriakh-Patriakh (kira-kira 2000 - 1400 SM)

Kisah pengembaraan Abraham dalam Kejadian 12-50 dapat diyakinkan dari berbagai
keterangan yang sesuai sekali dengan lingkungan kebudayaan periode tahun 2000-1600 SM,
dimana cara hidup orang-orang zaman itu adalah mengembara (nomandik). Tanah Palestina
saat itu masih jarang penduduknya sehingga pengembaraan masih dapat dilakukan dengan
bebas di daerah-daerah yang subur, bahkan dari daerah Mesopotamia
(tempat asal Abraham) ke Palestina.

c. Zaman Keluaran/Eksodus dari Mesir (kira-kira 2000 - 1400 SM)

Ada dua periode besar pada zaman ini yang berjalan kira-kira 430 tahun (Kel. 12:40-41).
Pertama adalah masa Abraham dipanggil Tuhan sampai Yakub masuk ke Mesir (Kej. 12:4;
2:15; 25:26; 47:9). Dan kedua adalah masa bgs. Israel di Mesir sampai keluar dari Mesir.
Thn. 1290 SM diperkirakan sebagai tahun keluarnya (Eksodus) bangsa Israel dari Mesir.
Saat itu diperkirakan umur Musa adalah 80 tahun.

d. Zaman Hakim-Hakim (kira-kira 1400-1050 SM)

Jaman ini adalah masa sesudah kematian Yosua. Dalam periode ini ada 13 hakim yang
ditunjuk Tuhan untuk memimpin bangsa Israel hidup di Tanah Perjanjian.
Masa Hakim-hakim ini dianggap sebagai masa gelap bangsa Israel, diungkapkan sebagai
masa dimana "setiap orang berbuat apa yang benar menurut pandangannya sendiri." (Hak.
17:6). Pada masa ini sepertinya Tuhan tidak bekerja, baik melalui mujizat maupun tanda-
tanda lain yang menyertai. Kehidupan bangsa Israel sangat mundur bukan hanya secara
rohani tapi juga dalam hal keamanan dan kesejahteraan jasmani. Mereka sering dikalahkan,
dirampok dan diperlakukan sangat buruk oleh bangsa-bagsa lain yang lebih kuat. Kunci dari
masalah ini adalah karena dosa-dosa yang diperbuat oleh bangsa Israel,
sehingga Tuhan meninggalkan mereka.

e. Zaman Kerajaan Bersatu (kira-kira 1050 - 931 SM)

Dalam rangkaian sejarah bangsa Israel, periode jaman ini dapat dikatakan sebagai jaman
yang paling gemilang dan makmur. Israel menjadi bangsa yang memiliki derajat tinggi
diantara bangsa- bangsa di sekitarnya. Hal ini ditandai dengan kemajuan-kemajuan yang
dicapai dalam berbagai bidang (ilmu pengetahuan, kesusasteraan, pembangunan dll.)
Tapi pada pihak yang lain sistem pemerintahan "Teokrasi", iaitu kepemimpinan langsung
oleh Tuhan, mulai ditinggalkan oleh bangsa Israel. Tuhan mengijinkan mereka memiliki raja
sendiri untuk memerintah karena kedegilan hati bangsa ini. Tetapi Tuhan memberikan
peringatan yang jelas (I Sam. 8) bahwa mereka akan menyesal dikemudian hari.

f. Zaman Kerajaan Terpecah (kira-kira 930 - 586 SM)

Kejayaan kerajaan Israel berakhir setelah pemerintahan raja Salomo, karena kemudian
kerajaan ini mulai pecah dan runtuh sedikit demi sedikit dan akhirnya hancur karena
kejahatan mereka di mata Tuhan dan penyembahan-penyembahan mereka kepada patung-
patung berhala. Karena janji dan kesetiaan Tuhan pada bangsa ini maka tak henti-hentinya
Tuhan berbicara dengan mengirimkan utusan-utusan-Nya. Pada jaman ini beberapa nabi
dibangkitkan Tuhan untuk menyampaikan Firman-Nya kepada raja dan
rakyat dari kedua kerajaan yang pecah ini.

g. Zaman pembuangan di Babel dan kembali ke tanah Israel (kira-kira 587 B.C).

Periode pertama jaman ini adalah masa yang sulit bagi bangsa Israel. Mereka berkali-kali
jatuh ke tangan bangsa lain, dijajah dan ditindas, bahkan mereka sempat dibuang ke tanah
asing untuk menjadi bangsa tawanan. Hal ini Tuhan ijinkan terjadi karena Tuhan sedang
menghukum bangsa Israel atas dosa dan kejahatan mereka dengan harapan supaya mereka
mengoreksi diri lalu berbalik kepada Tuhan. Pada saat yang sama Tuhan juga mengirimkan
nabi-nabi-Nya untuk berbicara tentang janji kesetiaan Tuhan bahwa Tuhan tidak akan
meninggalkan mereka asal mereka mau berbalik dan mentaati perintah Tuhan.
Di tanah pembuangan inilah bangsa Yahudi dan Yudaisme dilahirkan. Orang-orang yang
Tuhan pakai, seperti Ezra dan Nehemia, berhasil memimpin bangsa ini untuk kembali
menegakkan "monotheisme" dan menghargai firman Tuhan yang diajarkan oleh nenek
moyang dari generasi-generasi sebelumnya, termasuk di dalamnya adalah Hukum Taurat
sebagai pusat pengajaran mereka.

Periode kedua dari zaman ini adalah kembalinya bangsa Yahudi ke tanah Palestina iaitu
setelah tahun 539 SM, ketika Raja Koresy dari Persia menaklukkan Babel dan bangsa Israel
pulang ke tempat asal dan membangun bangsa dan tempat ibadah mereka kembali.

• Rombongan pertama dipimpin oleh seorang yang bernama Sesbazar (Ezra 1:11; 5:14) 538
SM dimana fondasi Bait Suci diletakkan.
• Rombongan kedua dipimpin oleh Hagai dan Zakharia 520 SM berjumlah 42.360 orang
(Ezra 2:64). Bait Suci selesai dibangun.
• Tahun 458 SM ada pengutusan dilakukan oleh Ezra beserta serombongan besar orang
Yahudi (Ezra 7:1-7) dan tahun 445 SM Nehemia datang ke Yerusalem menyelesaikan
pembangunannya.

Pada akhir sejarah Perjanjian Lama kita ketahui bahwa orang-orang Yahudi yang pulang ke
tanah air mereka memiliki komitmen untuk menjunjung tinggi Hukum Taurat dan tempat
ibadah Bait Suci karena mereka memiliki keyakinan yang teguh bahwa merekalah umat
pilihan Allah. Sampai pada permulaan sejarah Perjanjian Baru kita masih melihat bahwa
bangsa dan agama Yahudi berkembang terus dengan subur.

3. TINJAUAN SEJARAH MASA PERJANJIAN LAMA

KRONOLOGI

Sepatah kata tentang kronologi perlu untuk suatu tinjauan sejarah masa Perjanjian Lama.
Para pembaca barangkali bertanya-tanya bagaimana tanggal-tanggal dapat ditetapkan untuk
semua peristiwa dan tokoh dari sejarah dahulu kala bilamana catatan-catatan, paling banter,
hanya mengetengahkan sebuah ungkapan seperti "Dalam tahun ketiga pemerintahan raja X."
Ada banyak sumber dari Israel dan Timur Dekat Kuno yang memberikan kronologi yang
relatif (tahun ketiga seorang raja anu adalah tahun pertama raja yang lain), dan dari data
tersebut maka suatu kerangka yang berkenaan dengan berbagai orang dan peristiwa dapat
disusun. Untuk menetapkan suatu kronologi yang pasti (raja mulai pemerintahannya pada
thun 465 SM), suatu waktu yang pasti harus ditentukan
yang dapat dikaitkan dengan jaringan kronologi yang relatif itu.

Untuk Timur Dekat Kuno, waktu yang pasti ini disediakan oleh daftar Eponim dari Asyur.
Daftar Eponim setiap tahunnya mencatat pejabat tertentu yang mendapatkan penghargaan
dengan menamai tahun itu menurut nama pejabat tersebut. Dalam daftar tersebut namanya
dicatat bersama- sama dengan satu atau dua peristiwa yang paling penting dari tahun"nya",
biasanya aksi militer. Secara kebetulan, dalam tahun Ishdi- Sagale, gubernur Guzana,
daftarnya melaporkan terjadinya gerhana matahari. Para ahli astronomi dapat menghitung
kapan gerhana matahari terjadi, oleh karena itu tahun Ishdi-Sagale dapat ditentukan dengan
pasti sebagai tahun 763 SM. Ini merupakan tautan utama untuk kronologi yang pasti dari
Timur Dekat Kuno, dan hal itu tidak ditentang. Sebagai akibatnya, dapat dipastikan bahwa
daftar Eponim meliputi tahun 893-666 SM. Karena setiap raja Asyur selama masa ini (sudah
dapat dikethaui termasuk diantara orang-orang yang dihormati, maka tanggal-tanggal
kerajaan Asyur dapat ditetapkan untuk masa yang lebih dari dua abad itu. Ini adalah zaman
Kerajaan Neo-Asyur, jadi semua peristiwa dari kebanyakan bangsa Timur Dekat Kuno
disinkronisasikan dengan Asyur pada waktu itu.
Dengan demikian Asyur sudah menjadi dasar untuk kronologi Timur Dekat Kuno.

Akan tetapi, kita tidak boleh menganggap bahwa dengan demikian semua persoalan
kronologis terpecahkan. Seringkali data yang bertentangan dengan skema kronologi relatif
yang memperkenalkan ketidakpastian untuk penentuan tanggal yang pasti. Dalam
kesempatan lain berbagai peristiwa atau tokoh tidak berhubungan dalam materi naskah
dengan jaringan kronologi relatif - misalnya kelalaian kitab Keluaran untuk menyebutkan
nama firaun yang memerintah waktu itu. Persoalan-persoalan lain lagi terjadi manakala
sumber-sumber kuno tidak mencatat secara memadai kerumitan dari suatu keadaan -
misalnya berbagai kesenjangan dalam kronologi, pemerintahan oleh seorang wali dinasti
atau penguasa yang memerintah dalam waktu yang bersamaan dengan dinasti atau
penguasa lain dalam negara yang sama.
Yang terakhir, beberapa sumber menyediakan informasi mengenai jangka waktu yang lebih
panjang. Misalnya, dalam catatan Tiglat-Pileser I dari Asyur dinyatakan bahwa bait suci
yang dibangun oleh Shamshi-Adad I sudah mau runtuh dalam waktu lebih dari 641 tahun;
dalam doa Salomo yang tercatat di I Raja-raja 6:1 dinyatakan bahwa 480 tahun sudah berlalu
antara peristiwa Keluaran dan Penahbisan bait Allah oleh Salomon. Fakta-fakta ini dapat
menimbulkan berbagai masalah jika tidak bertautan dengan informasi yang
disediakan oleh jaringan kronologi relatif.

Akibatnya ialah bahwa masih ada banyak ketidakpastian tentang kronologi yang tepat.
Dalam hal raja-raja Israel dan Yehuda, ketidakpastian itu biasanya hanya sekitar satu atau
paling banyak dua tahun, walaupun kadang-kadang sebanyak dua belas tahun membedakan
teori yang satu dari yang lain. Semakin jauh seseorang kembali ke dalam sejarah, semakin
banyaklah ketidakpastian yang terjadi. Peristiwa paling awal dari Perjanjian Lama yang
dapat disinkronkan 2dengan seseorang yang dikenal dari catatan Timur Dekat Kuno adalah
serangan yang dilakukan oleh Sisak (Sheshonk I), raja Mesir, terhadap Yerusalem pada
tahun kelima masa pemerintahan Rehabeam (925 SM, I Raja-raja 14:25-26). Dengan
demikian, maka masa hakim-hakim dan oleh karena itu masa para bapa leluhur, tetap
terselubung dalam misteri kronologis dan karenanya dijadikan sasaran dari
banyak penetapan yang spekulatif.

Beberapa orang percaya bahwa Alkitab menyediakan kunci untuk menguak misteri-misteri
kronologis. Teks yang kami kutip dalam I Raja-raja 6:1 tampaknya menentukan tanggal
terjadinya peristiwa Keluaran pada tahun 1446 SM, sedangkan Keluaran 12:40
menunjukkan bahwa Israel tinggal di Mesir selama 430 tahun. Berdasarkan data ini, Yakub
dan keluarganya pindah ke Mesir pada tahun 1876 SM, dan dengan demikian usia yang
diberikan untuk para patriarkh akan menghasilkan suatu tabel kronologis yang mundur
sampai Abraham. Akan tetapi, ahli-ahli yang lain tidak dapat menerima sistem ini, karena
mereka berpendapat bahwa hal itu bertentangan dengan informasi arkheologis yang sudah
tersedia selama satu abad yang terakhir. Jadi, angka-angka dalam I Raja-raja dan Keluaran
kadang-kadang dianggap sebagai perkiraan atau diartikan dalam cara-cara yang tidak
harfiah, dan kronologi masih tetap menimbulkan pertentangan.

4. SEJARAH PERJANJIAN LAMA


Catatan:
Tidak ada sistem Kronologi Alkitab yang diterima secara umum. Tahun-tahun yang dipakai
di bawah ini adalah penurut pentahunan Ussher, tetapi tahun-tahun tsb. hanya sebagai
patokan kerja saja bukan sebagai pentahunan yang lengkap dan tepat.

Catatan : (SM = Sebelum Masehi)


IV. BUDAYA PERJANJIAN LAMA

Membicarakan tentang sosio-budaya PL adalah sangat luas, oleh karena itu dalam pelajaran
ini pembahasan akan dibatasi hanya pada struktur masyarakat, kehidupan ibadah, dan sistem
pendidikan masa PL.

1. STRUKTUR MASYARAKAT PERJANJIAN LAMA

KELUARGA adalah unit utama dalam struktur masyarakat PL, karena memang sejak dari
semula Allah memulai rencana penebusan-Nya melalui satu keluarga, yaitu keluarga
Abraham. Dan melalui keluarga Abraham inilah Allah memanggil keluar umat-Nya untuk
membina suatu hubungan yang istimewa dengan Dia, yang dikokohkan dengan membuat
suatu Perjanjian (Covenant). Itu sebabnya anggota yang termasuk dalam Perjanjian ini
adalah mereka yang disebut sebagai "keturunan" (secara jasmani) Abraham - dan
selanjutnya keturunan Ishak dan Yakub (Im. 26:42,45). Kata "keturunan" ini (Ibr. 'ab'
artinya bapak) muncul seribu dua ratus kali dalam PL. Konsep "keturunan" secara fisik
sangat penting bagi bangsa Israel, karena disitulah ikatan keanggotaan dalam Perjanjian
didasarkan. Oleh sebab itu tidak heran jika banyak sekali ditemui catatan silsilah dalam
Alkitab, termasuk dalam kitab-kitab PB (Mat. 1 dan Luk. 3). Jika mereka termasuk dalam
silsilah itu maka mereka memiliki hak sebagai anggota masyarakat Yahudi yang terikat
dalam hubungan Perjanjian dengan Allah.

A. Keluarga
Dasar pelembagaan keluarga diletakkan oleh Allah sendiri dalam Kej. 2, sebagai kesatuan
ikatan yang permanen antara seorang laki-laki dan seorang perempuan. Istilah Ibrani yang
dipakai untuk keluarga adalah 'misphahah' dan 'bayit' yang arti harafiahnya adalah "rumah"
(bhs. Inggris 'household' atau dalam bhs. Indonesia lebih tepat "rumah tangga") yaitu
diartikan sebagai mereka yang tinggal dalam satu atap rumah. Namun demikian, dalam PL
sering kali keluarga bukan hanya terdiri dari suami, istri dan anak-anak, karena (tergantung
dari konteksnya) yang dimaksud keluarga dalam PL lebih cenderung sebagai perluasan
keluarga, yaitu suami, istri, anak-anak (sampai dua/tiga generasi), budak-budaknya dan
termasuk juga keluarga dekat lain yang tinggal bersama, bahkan kadang
seluruh suku juga disebut sebagai satu keluarga (1 Taw.13:14).
Lembaga Perkawinan

Ikatan permanen antara seorang laki-laki dan seorang perempuan dalam perkawinan yang
diresmikan oleh Allah sendiri sebelum kejatuhan manusia dalam dosa (Kej. 1:26-27).
Perkawinan dalam PL diterima sebagai suatu norma umum (tidak ada kata "bujangan" dalam
bahasa Ibrani). Ketika Allah memberikan Hawa kepada Adam, dikatakan, "Inilah dia, tulang
dari tulangku dan daging dari dagingku" (Kej. 2:23) sebagai pengakuan Adam akan
keserupaan dan kesepadanannya dengan Hawa. Hubungan permanen perkawinan/pernikahan
yang harmonis yang diciptakan oleh Allah ini rusak setelah manusia jatuh dalam dosa. Dan
sejak itu, institusi pernikahan menjadi kabur dan akibatnya manusia lebih cenderung untuk
merusak daripada mempertahankannya. Dalam seluruh PL ada ditunjukkan bentuk-bentuk
penyelewengan pernikahan yang dilakukan oleh nenek
moyang bangsa Israel, misalnya dalam praktek-praktek poligami dan perceraian

1.Suami
Dalam masyarakat PL, suami mempunyai kedudukan sebagai "tuan" yang memerintah atas
istri dan anak-anak dan keluarga anak- anaknya, juga seluruh anggota keluarga yang lain dan
budak- budaknya. Tapi pada sisi yang lain, suami juga menjadi penangungjawab atas semua
tindakan yang dilakukan oleh seluruh anggota keluarganya. Oleh karena itu tidak jarang
kepala keluarga akan menanggung hinaan, bahkan hukuman, untuk tindakan yang dilakukan
oleh anak-anaknya (keluarganya). Suami juga mempunyai tanggungjawab untuk mencarikan
istri/suami bagi anak- anaknya. Untuk itu ia harus paham betul hal-hal apa yang boleh dan
tidak boleh dilakukan sehubungan dengan pernikahan menurut hukum bangsa Israel (Im. 18;
Ul. 7; 20). Silsilah keluarga PL diurutkan dengan mengikuti keturunan dari suami, karena
suamilah yang memberi identitas dan nama bagi keluarganya. Itu sebabnya dalam hukum
Israel disebutkan berbagai peraturan untuk melindungi
kelangsungan keluarga (Im. 25:47-49; Yer. 32:68; Ruth 2,3,4).

Suami PL juga mempunyai fungsi sebagai imam bagi keluarganya. Ia diharapkan memimpin
seluruh keluarganya dalam mengikuti perayaan-perayaan keagamaan Yahudi. Seluruh
tanggungjawab pendidikan anak-anak, khususnya anaknya laki-laki juga ada di tangannya.
Sebagai negara yang dikelilingi oleh bangsa-bangsa kafir, tugas ini merupakan tugas yang
tidak ringan.
2. Istri
Sekalipun kelihatannya tanggungjawab suami lebih besar, namun tidak berarti bahwa istri
PL pasif. Amsal 31 menceritakan secara panjang lebar tentang tugas-tugas seorang istri yang
berbudi dan ideal. Dari tugas yang begitu banyak itu, tugas utama istri adalah untuk
menghasilkan keturunan. Tapi itu bukan berarti tugas satu-satunya. Dari Amsal 31 dapat
diambil kesimpulan bahwa istri PL tidak hanya melakukan tugas yang sehubungan dengan
anak-anak dan rumah saja, Alkitab pada dasarnya memberikan tanggung-jawab yang besar
bagi istri PL untuk menguasai bidang- bidang lain di luar rumahnya. Dalam peristiwa-
peristiwa khusus, PL juga mencatat istri-istri menjalankan tugas-tugas yang tidak lazim
dilakukan dalam budaya Israel, mis. memimpin perang (Debora), menjadi nabi (Miryam),
bertindak untuk suami (Abigail), dll.

Dalam perkawinan Yahudi, istri dengan kerelaan menundukkan diri di bawah suaminya dan
mengambil kedudukan sebagai "penolong" (Kej, 2:18). Setelah melahirkan anak mereka
akan menyusui anak- anaknya sampai usia dua atau tiga tahun. Pendidikan anak sampai usia
lima tahun adalah tanggung jawab ibu, namun kemudian anak laki-laki akan dididik oleh
ayahnya, sedangkan anak perempuan akan diajar oleh ibunya bagaimana menjadi seorang
istri dan ibu yang sukses. Kesuksesan istri menjalankan keluarga seringkali menjadi
ukuran bagaimana suami Yahudi akan dihormati di antara para pemimpin Israel.

3. Anak-anak
Anak-anak adalah berkat dari Tuhan, buah yang diharapkan dari perkawinan. Itu sebabnya
keluarga PL selalu mengharapkan sebuah keluarga yang besar. Merupakan suatu dukacita
dan aib bagi keluarga PL yang tidak dikaruniai anak, seperti peristiwa yang menimpa Sara
dan Hana. Sebaliknya banyak puji-pujian yang ditujukan bagi wanita yang melahirkan
banyak anak (Maz. 128).

Anak dalam PL diterima sebagai anggota masyarakat Israel secara penuh. Oleh karena itu
tanggungjawab memelihara dan mendidik mereka adalah juga tanggungjawab masyarakat,
selain tentu saja keluarganya. Ul. 6:4-9 merupakan perintah langsung dari Tuhan akan
pentingnya pendidikan anak, untuk itu yang harus diperhatikan adalah:
- Orang tua yang mengasihi Tuhan dan menyimpan Firman Tuhan dalam hatinya menjadi
teladan bagi anak-anaknya (ay. 4-6).
- Firman Tuhan harus menjadi percakapan utama dalam keluarga supaya tertanam dalam diri
anak-anak (ay. 7).
- Firman Tuhan harus dilahirkan dalam tingkah laku sehari-hari (ay. 7-9).

Anak laki-laki dalam keluarga Yahudi adalah tumpuan harapan bagi pemeliharaan masa tua
orang tuanya, yaitu supaya mereka mendapat penguburan yang layak. Anak sulung dalam
keluarga Yahudi, baik laki-laki maupun perempuan, mendapat tempat yang istimewa.
Sepanjang hidupnya ia akan dituntut untuk memiliki tanggung jawab yang lebih besar atas
tindakannya dan tindakan saudara- saudaranya yang lain. Apabila orang tuanya mati, anak
sulung akan mendapat bagian warisan dua kali lipat. Jika ayahnya tidak memiliki anak laki-
laki maka anak perempuan akan mewarisi seluruh harta ayahnya jika ia menikah dengan
kaum keluarganya sendiri. Dibandingkan dengan bangsa-bangsa tetangga Israel, anak
perempuan Yahudi mendapatkan perlakukan yang jauh lebih baik.

Anak perempuan Yahudi diijinkan menikah sesudah usia 12 tahun. Pada usia itu diharapkan
ia telah mempelajari semua kecekapan mengurus rumah tangga dan bagaimana menjadi
isteri dan ibu yang baik. Sebelum menikah maka ayahnya memiliki hak penuh atas putrinya.
Ayah jugalah yang bertanggungjawab mencarikan suami bagi putrinya. Sesudah menikah
maka ibu mertuanya akan mengambil alih pendidikan selanjutnya. Apabila karena sesuatu
hal suaminya mati, maka ia akan dinikahkan dengan saudara laki-laki dari suaminya untuk
menyelamatkan garis keturunan keluarganya. Namun jika suaminya tidak memiliki saudara
laki-laki lain yang dapat menikahinya, maka seringkali ia akan kembali ke rumah ayahnya
lagi (contoh kasus Ruth dalam keluarga Naomi).

B. Strata Dalam Masyarakat PL

Sekalipun tidak ditonjolkan, ada perbedaan klas-klas dalam masyarakat PL, khususnya
setelah jaman kerajaan terbentuk. Perbedaan antara mereka yang kaya dan miskin menjadi
sangat nyata. Beberapa orang mendapat penghasilan dari tanah yang berlebihan dan
akhirnya menjadi kaya. Tapi ada juga yang karena melakukan praktik- praktik yang tidak
adil sehingga menekan pihak lain untuk mendapatkan keuntungan, sehingga mereka yang
tidak diuntungkan menjadi miskin. Berikut ini adalah perbedaan strata dalam masyarakat
PL secara umum:
a. Kelompok masyarakat yang berpengaruh
Mereka adalah para tua-tua agama dan kepala rumah tangga. Setelah jaman kerajaan,
muncul kelompok yang disebut sebagai para pemuka, yaitu pembantu-pembantu raja dan
juga para pahlawan.

b. Penduduk asli setempat


Mereka yang memiliki tanah dan tinggal sebagai penduduk asli di Palestina.

c. Penduduk asing
Mereka adalah pendatang dan orang bebas (bukan budak) tetapi tidak memiliki hak penuh
sebagai warganegara Palestina.

d. Pekerja upahan
Mereka tidak memiliki tanah, hidup sebagai tenaga upahan.

e. Pedagang
Mereka adalah orang-orang asing yang datang untuk berdagang.

f. Budak-budak
Mereka bukan hanya orang Israel saja (yang miskin), tetapi juga pendatang asing yang hidup
sebagai tawanan perang. Perbudakan adalah salah satu kebiasaan cara hidup pada masa PL.

2. SISTEM IBADAH PL
Israel dikelilingi oleh bangsa-bangsa tetangga yang tidak mengenal Allah (kafir). Itu
sebabnya Allah berkali-kali harus mengingatkan bangsa Israel untuk tidak mengikuti
kebiasaan peribadahan bangsa- bangsa tsb. Namun demikian telah berulang kali terjadi
bangsa Israel tidak taat dan selalu jatuh pada dosa yang sangat dibenci Allah yaitu
menyembah kepada ilah yang lain. Tidak jarang Tuhan menghukum mereka, bahkan dengan
menyerahkan mereka untuk dikalahkan dan dijajah oleh bangsa-bangsa lain. Cara-cara
beribadah bagaimanakah yang diikuti bangsa Israel sehingga membuat Allah Yahweh
murka dan menghukum mereka?

Berikut ini adalah beberapa karakteristik penyembahan agama kafir:


a. Mereka memiliki banyak tuhan (dewa), karena kebanyakan agama kafir adalah
politheistik.
b. Mereka menyembah kepada patung-patung, atau gambaran-gambaran yang menyerupai
binatang, manusia atau benda-benda lain sebagai simbol akan allah mereka.
c. Keselamatan adalah usaha manusia untuk melepaskan diri dari kecenderungan berbuat
dosa.
d. Mereka percaya bahwa persembahan-persembahan yang mereka bawa kepada ilah-ilah
mereka dapat memberikan kekuatan gaib yang akan menghindarkan mereka dari kecelakaan
atau bahaya.

Dibandingkan dengan penyembahan yang dilakukan oleh bangsa Israel kepada Allah
Yahweh, Israel sendiri sebenarnya mempunyai cara-cara ritual yang telah dipelihara sejak
masa Adam dan Hawa; juga Kain dan Habel. Dari contoh-contoh itu jelas bahwa Allah
menerima penyembahan manusia (Kej. 4:6). Tidak dikatakan dengan jelas oleh Alkitab
mengapa mereka harus memberikan korban persembahan, tapi dari konteks Kejadian 4,
terlihat bahwa persembahan itu diberikan sebagai ucapan syukur atas pemeliharaan Tuhan
yang disertai dengan harapan bahwa Allah akan senantiasa memelihara mereka di hari-hari
kemudian. Tetapi Alkitab juga tidak menjelaskan mengapa Allah menerima persembahan
Habel tetapi Kain tidak. Tapi inilah pertama kali disebutkan dalam Alkitab korban
persembahan memakai binatang. Dan sejak itu persembahan binatang dipakai sebagai
korban bakaran untuk menjadi salah satu tata upacara yang dilakukan dalam ibadah.

Pada masa Musa penyembahan kepada Allah tidak lagi dilakukan di tanah terbuka, tapi di
kemah pertemuan Bait Suci, sedangkan penjelasan secara lengkap diberikan dalam Kel.
27:1-3, sesuai perintah yang diterima Musa dari Allah, dan Musa sendiri bertindak sebagai
imam, menjadi perantara antara Allah dan umat Israel. Pada masa iman-iman, bangsa Israel
telah memiliki kelompok imam yang dipilih dari keturunan keluarga Harun, suku Lewi,
yang bertugas untuk mengatur tata ibadah kepada Allah. Kitab Imamat mencatat berbagai
macam peraturan tata ibadah bagi bangsa Israel. Tidak selalu bangsa Israel melakukan
ibadah yang benar, karena ibadah yang sejati bukanlah tergantung dari tempat dan tata
caranya tetapi dari sikap hati yang benar. Tapi sering kali bangsa Israel tidak
memiliki hati yang tertuju kepada Tuhan, sehingga tata ibadahpun tidak ada gunanya.

Ketika akhirnya bangsa Israel dihukum karena telah meninggalkan Tuhan, dan Tuhan
menyerahkan mereka sebagai tawanan kepada bangsa- bangsa lain, barulah bangsa Israel
menyadari betapa pentingnya kembali beribadah kepada Tuhan dan memelihara Taurat-Nya.
Oleh karena itu dalam rangka menyelamatkan kehancuran bangsa ini karena tidak lagi
hidup sebagai umat Tuhan, maka Ezra, Bapak Yudaisme, mulai mengembalikan atau
membangkitkan kesukaan untuk beribadah dan memelihara Firman Tuhan agar bangsa ini
boleh berjalan sesuai dengan jalan Tuhan. Tetapi karena di tanah pembuangan mereka tidak
dapat lagi pergi beribadah ke Yerusalem (apalagi Bait Allah di Yerusalem telah dihancurkan
musuh), maka didirikanlah tempat ibadah sinagoge di tanah pembuangan Babel. Di sinilah
akhirnya agama Yudaisme lahir dan berkembang. Sekalipun di sinagoge mereka tidak lagi
memberikan korban bakaran seperti di Bait Suci, namun di sinagoge ini bangsa Israel belajar
Taurat Tuhan dengan teliti dan tradisi nenek moyang mereka
terpelihara dengan baik sampai dengan masa Perjanjian baru.

3. SISTEM PENDIDIKAN PL

Keluarga menjadi pusat dimana pendidikan diberikan pada masa PL, khususnya oleh
mereka yang telah berumur. Sumber bijaksana dan pengetahuan, dipercaya oleh bangsa
Israel, didapatkan dari pertambahan umur seseorang. Oleh karena itu orang-orang muda
akan belajar segala sesuatu dari orang-orang tua (tua-tua) yang ada di sekitar mereka.
Keluarga memiliki tanggung jawab penuh bagi pendidikan anak-anaknya, khususnya
pendidikan rohani. Tidak ada pilihan untuk mereka menyerahkan pendidikan ini kepada
orang lain karena alasan kesibukan.

Seperti telah disebutkan sebelumnya, anak-anak Israel pada usia balita dididik oleh ibu
mereka. Ketika anak laki-laki cukup besar maka ayah akan memperkenalkan mereka pada
pekerjaannya sehari-hari, dan sejak itu anak akan terus mendengar didikan ayahnya sambil
bekerja. Sedangkan ibu akan bertanggung jawab terhadap pendidikan anak perempuannya,
untuk menjadikannya istri dan ibu yang baik. Setiap makan malam orang tua akan
menggunakan waktu berkumpul dengan keluarganya dan mengajarkan nilai-nilai luhur
ajaran nenek moyang mereka, dengan meminta anak-anak yang terkecil dalam keluarga
untuk menanyakan apa saja yang dilakukan oleh nenek moyang mereka.

Jika seorang anak Yahudi mendapat didikan dari orang lain selain ayahnya sendiri, maka ia
juga akan memanggilnya "ayah". Hal pertama yang diajarkan kepada mereka adalah
pelajaran tentang sejarah bangsa Israel, dalam bentuk kredo-kredo dimana inti sari sejarah
Israel telah diformulakan. Dan untuk itu anak harus menghafal luar kepala selama satu
tahun. Namun demikian pada dasarnya tidak ada sekolah formal pada masa PL. Anak belajar
bersama dengan orang tuanya dan orang dewasa yang lain dengan terlibat dalam urusan
kehidupan sehari-hari. Mereka bertanya dan belajar sepanjang kehidupan mereka melalui
setiap kesempatan yang datang, dan orang tua akan selalu siap memberikan
penjelasan.

4. POLIGAMI DAN PERCERAIAN DALAM PERJANJIAN LAMA

a. Poligami
Walaupun poligami memang ada dalam Perjanjian Lama, namun jangkauannya jangan
dilebih-lebihkan, karena hampir terbatas pada raja-raja atau para pemimpin atau pejabat
tinggi. Kecuali Salomo, umumnya yang sering terdapat adalah bigami, bukan poligami.

Monogami tampaknya biasa terdapat dikalangan rakyat. Bapak-bapak leluhur kadang-


kadang dianggap sebagai contoh untuk poligami. Tetapi poligami harus dibedakan dari
perseliran. Pembedaan itu kelihatannya tidak penting bagi kita, tetapi sangat penting di dunia
kuno. Seorang selir adalah budak, sangat berbeda dan jauh lebih rendah dalam hubungannya
dengan tuannya, bila dibandingkan dengan istrinya. Baik Abraham maupun Ishak
membunyai hanya satu istri, sedang Yakub, yang sebenarnya menginginkan hanya satu istri,
mengenal empat perempuan dalam kehidupannya (dua istri dan dua selir) akibat
tipu daya dan iri hati.

"Tetapi sejak semula tidaklah demikian" (Mat. 19:18). Kata-kata yang diucapkan Yesus
tentang perceraian itu berlaku juga untuk poligami. Riwayat penciptaan secara jelas
berbicara tentang satu suami satu istri, "satu daging" antara satu laki-laki dan satu
perempuan (Kej. 2:24). Di samping itu, ada bagian-bagian dalam tulisan-tulisan hikmat yang
mendorong, atau setidak-tidaknya menganjurkan, monogami yang kokoh (Ams. 5:15-20;
18:22; 31:10-31, Kidung Agung) dan ada penggunaan gambaran pernikahan untuk
melukiskan hubungan yang eksklusif antara Allah dan Israel. Meskipun orang sadar bahwa
dari segi teologis poligami adalah kurang ideal, namun poligami ditoleransi di Israel sebagai
suatu kebiasaan sosial. Tetapi ada hukum-hukum yang membatasi dampak-dampaknya
yang mungkin menghina pihak perempuan.
Seperti dikatakan di atas, kedudukan seorang selir adalah jauh di bawah kedudukan seorang
istri, tetapi para selir mempunyai hak legal, sebagaimana dinyatakan dalam Keluaran
21:7:11. Ia tidak dapat dijual kembali oleh tuannya; ia harus diperlakukan sebagai selir satu
orang saja, bukan mainan keluarga. Kalau tuannya mengambil selir lain, ia tidak boleh
mengabaikan kewajibanya kepada selir yang pertama dalam hal materi maupun seksual.
Kalau demikian hak-hak selir, maka hak-hak istri dalam keadaan poligami tentu saja tidak
kurang dari itu. Ulangan 21:10-14 juga melindungi hak seorang perempuan tawanan perang
yang diambil menjadi istri. Ia harus diperlakukan secara layak dan manusiawi dan tidak
dapat diperlakukan sebagai budak. Hukum warisan dalam Ulangan 21:15-17 secara tidak
langsung mengecam bigami bahwa seorang laki-laki tidak dapat mencintai dua orang
perempuan secara sama, atau pada akhirnya salah seorang sama sekali tidak dicintainya lagi.
Istri yang tidak dicintai itu dilingdungi dari perlakukan yang tidak adil; jika anak laki-
lakinya adalah anak sulung maka anak itu tidak bileh kehilangan warisannya karena ibunya
tidak dicintai. Cerita tentang Elkana dan istri-istrinya yang saling bersaing (1 Sam. 1)
memang tidak untuk mengkritik bigami secara langsung, tetapi bisa menjadi ilustrasi yang
hidup tentang kesengsaraan yang dapat ditimbulkan oleh praktik
tersebut.

b. Perceraian
Poligami diterima tanpa persetujuan yang jelas, namun ada hukum yang mengecamnya
secara tidak langsung. Perceraian juga diijinkan, tetapi akhirnya dikecam pula secara
langsung. Perceraian hampir tidak disinggung dalam hukum Perjanjian Lama, sebab
pernikahan dan perceraian bukanlah kasus perdata seperti dalam kebudayaan masa kini.
Kedua-duanya termasuk yuridiksi rumah tangga. karena itu, orang tidak harus pergi ke
pengadilan untuk bercerai.

Hukum-hukum mengenai perceraian menyebutkan tentang keadaan yang tidak mengijinkan


adanya perceraian dan aturan-aturan mengenai hubungan kedua belah pihak setelah
perceraian terjadi. Dalam kedua kasus ini perlindungan terhadap perempuan rupanya
menjadi pokok utama hukum-hukum tersebut. Dalam, Ulangan 22:28-29 ada larangan untuk
menceraikan perempuan yang harus dinikahi oleh laki-laki yang telah memeperkosanya.
Peraturan dalam Ulangan 24:1-4 menjadi pokok pertentangan antara Yesus dan orang Farisi.
Peraturan itu tidak "memerintahkan" perceraian tetapi mengandaikan bahwa perceraian
sudah terjadi. Dalam kasus ini, sang suami diminta menulis surat cerai untuk melindungi
istrinya. Jika tidak, ia atau suami barunya yang kemudian dapat dituduh berzinah. Suami
pertama dilarang mengambil kembali perempuan apabila suaminya yang berikut
menceraikannya atau meninggal dunia. Dapat disebutkan lagi kasus perempuan tawanan
yang hendak diceraikan dan tidak boleh dijual sebagai budak, kalau suaminya tidak merasa
puas. Dalam hal itu perceraian tampaknya lebih baik daripada perbudakan. Setidak-tidaknya
martabat dan kemerdekaan masih dipertahankan,
bila dibandingkan dengan perbudakan (Ul 21:4).

Dengan demikian perceraian ditoleransi dalam batas-batas hukum. Dibandingkan dengan


poligami, perceraian lebih jauh dari kehendak Allah. Dalam Maleakhi 2:13-16 ada serangan
yang tidak mengenal kompromi terhadap perceraian, yang memuncak dengan kecaman yang
terang-terangan: "Aku membenci perceraian, firman Tuhan, Allah Israel". Tidak ada
kecaman atas poligami yang setajam atau dilengkapi dengan argumen teologis yang kuat
seperti itu, barangkali karena poligami hanya merupakan "perluasan" pernikahan yang
melampaui batasan monogami yang dimaksudkan Allah, tetapi perceraian sama sekali
menghancurkan pernikahan. Dalam kata Maleakhi, perceraian berarti "menutup [diri]
dengan kekerasan"". Poligami menggandakan hubungan tunggal yang Allah kehendaki,
sedangkan perceraian menghancurkan hubungan itu atau mengandaikan hubungan itu
sudah hancur.

5. PERBUDAKAN
Perjanjian lama, sebagaimana juga Rasul Paulus, sering dikecam karena membiarkan
perbudakan. Dalam dunia kuno pada zaman Perjanjian Lama perbudakan adalah bagian
integral dari kehidupan sosial, ekonomi dan kelembagaan, sehingga sulit membayangkan
masyarakat tanpa perbudakan itu atau bagaimana Israel dapat menghapuskannya secara
efektif. Namun demikian, ada dua hal yang dapat dicatat.

Pertama, perbudakan dalam masyarakat yang relatif kecil seperti Israel sangat berbeda
dengan perbudakan dalam peradapan yang besar, seperti kekaisaran-kekaisaran Timur
Tengah kuno sezamannya dan khususnya kekaisaran-kekaisaran Yunani dan Romawi
kemudian. Di sana pasar-pasar budak penuh dengan tawanan perang dan orang-orang
buangan. Para budak diperlakukan sebagai mesin kerja tanpa perikemanusiaan. Tetapi dalam
masyarakat Israel yang bertani dan beternak, budak biasanya melayani dan tinggal dalam
suatu rumah tangga; tenaganya melengkapi tetapi tidak menggantikan tenaga anggota-
anggota rumah tangga yang bebas. Dengan kata lain, tenaga kerja budak tidak melepaskan
orang Israel yang bebas dari kerja fisik, seperti dalam masyarakat Yunani kuno. Sepanjang
mereka diperlakukan secara manusiawi (seperti yang dituntut oleh hukum), perbudakan itu
dapat dikatakan tidak begitu berbeda dengan berbagai jenis pekerjaan upahan. Dan seperti
yang kita akan lihat di bawah, budak-budak mempunyai lebih banyak hak dan perlindungan
hukum di Israel daripada di masyarakat lain sezamannya. Sungguh, budak-budak menikmati
lebih banyak jaminan hukum dan ekonomi daripada orang- orang
yang bebas tetapi tidak mempunyai tanah, para pekerja sewaan dan tukang sewaan.

Kedua, perbudakan dalam Perjanjian Lama tidak dibiarkan tanpa kritik. Beberapa segi
pemikiran dan praktik Perjanjian lama dalam bidang ini sebenarnya "menetralkan"
perbudakan sebagai suatu lembaga dan menjadi benih penolakan yang radikal terhadap
perbudakan dalam pandangan Kristen kemudian. Tentu saja segi-segi itu membuat Israel
menjadi unik di dunia kuno dalam sikapnya terhadap perbudakan, suatu hal yang diakui
secara bulat oleh para ahli Timur Tengah kuno. Ada tiga pokok yang perlu diperhatikan.

Faktor pertama dan yang paling berpengaruh dalam pandangan teologis dan perlakukan
hukum Israel terhadap perbudakan adalah sejarah Israel sendiri. Israel tidak pernah
melupakan bahwa asal usulnya ialah sekelompok rakyat miskin dari budak-budak yang
dibebaskan. Hal ini memang luar biasa, kalau tidak unik, di antara cerita- cerita tentang asal
usul suatu bangsa. Karena kebanyakan mitos etnis mengagungkan masa lalu nenek moyang
bangsanya. tetapi Israel melihat kembali perbudakan para leluhurnya selama empat abad di
negeri asing, yang semakin lama menjadi semakin menindas, tidak manusiawi dan tidak
tertahankan. Pengalaman itu benar-benar mewarnai sikap mereka selanjutnya terhadap
perbudakan. Pada satu pihak, orang Israel tidak diperbolehkan memperbudak atau
memaksakan syarat-syarat kerja atas teman sebangsanya. Perbuatan itu tidak sesuai dengan
kedudukan mereka sebagai saudara-saudara yang sama- sama ditebus Allah, budak-budak
Allah sendiri (bdn. Im. 25:42-43, 46, 53, 55). Pada pihak lain, perlakukan Israel terhadap
orang asing dalam masyarakatnya, baik sebagai orang merdeka yang menjadi pekerja
sewaan tanpa memiliki tanah ataupun budak belian, harus ditandai dengan belas kasihan,
mengingat perbudakan di Mesir yang tidak mengenal belas kasihan. Prinsip ini sangat jelas
dalam hukum Perjanjian lama yang tertua, yaitu Kitab Perjanjian dalam Keluaran 21-23:
"Orang asing janganlah kamu tekan, karena kamu sendiri telah mengenal keadaan jiwa
orang asing, sebab kamupun dahulu adalah orang asing di tanah Mesir" (Kel.
23:9; bnd. 22:21; Ul. 15:15).

Kedua, sikap yang lahir dari sejarah itu diterjemahkan ke dalam perundang-undangan
khusus yang memberikan budak-budak di Israel kedudukan, hak, perlindungan yang tidak
terdapat pada bangsa-bangsa lain. Budak-budak pun diikutsertakan dalam kehidupan
keagamaan masyarakat. Mereka dapat disunat dan ikut ambil bagian dalam perjamuan
Paskah (Kel. 12:44). Mereka boleh mengikuti perayaan- perayaan besar (UL. 16:11-14;
khususnya ay. 12). Mengingat tugas mereka mungkin yang paling bermanfaat adalah
perintah yang memberi kesempatan bagi budak-budak, laki-laki dan perempuan, untuk ikut
beristirahat pada hari sabat (Kel. 20:10). Bahkan dalam Keluaran 23:12 dikatakan bahwa
perintah itu memang diperuntukkan bagi para budak dan binatang yang bekerja.

Tidak hanya dalam bidang sosio-kultis, budak-budak juga mendapat perlindungan dalam
hukum perdata. Ada dua buah hukum dari Kitab Perjanjian (Kel. 21:20-21, 26-27) yang
berkenaan dengan perlakukan seorang majikan atas budak-budak sendiri. Itulah sebabnya
hukum- hukum itu bersifat unik di antara hukum-hukum Timur Tengah kuno. Dalam
perundang-undangan yang lain ada banyak hukum mengenai pemukulan atau pembunuhan
atas budak-budak orang lain, tetapi tidak ada hukum mengenai budak sendiri. Dalam hukum
Israel, kalau seorang majikan memukul seorang budak sehingga mati, maka budak itu harus
"dibalaskan"". Demikianlah makna harafiah kata kerja yang dipakai di sini. Dalam konteks
lain kata itu berarti pihak yang bersalah akan dibunuh oleh keluarga korban. Meskipun
beberapa penafsir ragu- ragu menerimanya, arti yang wajar dari hukum itu adalah bahwa
majikan yang membunuh budaknya harus dihukum mati oleh
masyarakat atas nama budak itu, yang tidak mempunyai keluarga untuk membalasnya.

Hukum yang berikutnya melindungi seorang budak dari kecelakaan tubuh. Jika ia dilukai
oleh tuannya ia harus dibebaskan. Kata "gigi" memperlihatkan bahwa luka yang dimaksud
bukan hanya luka yang mengurangi kemampuan budak untuk bekerja. Di situ ada
keprihatinan yang mendalam atas kemanusiaan budak itu. Perlu dicamkan bahwa peraturan
ini adalah hukum perdata, bukan seruan untuk berbuat baik. Oleh sebab itu dalam keadaan
demikian, seorang budak dapat naik banding kepada peradilan para tua-tua melawan
majikannya sendiri. Hal ini juga menjadi hak yang unik. Kelihatannya Ayub menunjuk pada
peraturan ini ketika ia menyatakan tidak pernah berbuat tidak adil

terhadap budak-budaknya ketika mereka beperkara dengannya (Ayb. 31:13).

Setelah melayani selama enam tahun, seorang budak diberi kesempatan untuk bebas pada
tahun ketujuh. Karena ia tetap tidak memiliki tanah, sangat mungkin "kemerdekaan" itu
hanya berarti dapat berganti majikan. Dalam Ulangan 15: 13-14 hukum asli itu diperluas
dengan pemberian yang melimpah, yakni suatu bentuk tunjangan pengangguran pada zaman
itu. Perbudakan tidak harus bersifat menindas. Hal ini tampak dari hukum Taurat yang
mengandaikan seorang budak sering lebih suka tinggal dalam rumah tangga tuannya
daripada kebebasan (Ul. 15:16-17). Namun yang paling unik dan mengagumkan ialah
hukumt tentang suaka yang terdapat dalam Ulangan 23:15-16. Budak yang melarikan diri
tidak dihukum atau dikembalikan pada tuannya, tetapi diijinkan hidup bebas di tempat
pilihannya. Dalam masyarakat lain pada waktu itu budak yang melarikan diri dihukum keras
dan siapa saja yang membantunya juga dihukum. Tetapi hukum Israel tidak hanya memberi
kebebasan bahkan memerintahkan agar ia dilindungi.

"Luar biasa sekali, satu-satunya masyarakat Timur Tengah kuno yang hukumnya melindungi
budak yang melarikan diri adalah masyarakat yang berasal dari kelompok budak-budak yang
melarikan diri dari Mesir! .... Israel telah mengalami Allah sebagai Allah yang bersimpati
kepada budak-budak yang melarikan diri. Jadi peraturan ini bukanlah hanya suatu prinsip
etis atau hukum yang mempertahankan hak-hak asasi manusia saja, tetapi mencerminkan
pengalaman keagamaan Israel sendiri dan itulah ciri khusus etika Alkitab."
(Clines: hal. 8)

Sedemikian tajam perbedaan sehingga sebagian ahli berpikir, hukum ini hanya dapat berlaku
pada budak-budak asing yang mencari suaka di Israel. Tetapi hukum tersebut tidak
menyatakan demikian. Seandainya pandangan mereka benar, hal ini tetaplah unik dan
memperlihatkan bahwa masyarakat Israel menarik budak-bduak untuk mencari perlindungan
di dalamnya. Kalau benar berlaku di Israel, hukum itu mulai memperlemah perbudakan itu
sendiri. Perbudakan tidak dilindungi atau dianggap pranata hakiki yang tidak boleh
diganggu gugat di bawah hukum Israel. Setidak-tidaknya dapat dikatakan bahwa hukum itu
menganggap budak-budak yang melarikan diri adalah kekecualian, yang tidak terus menerus
terjadi. Ini mendukung pandangan bahwa pada umumnya perbudakan di Israel bukanlah
penindasan yang kejam. Tentu saja kalau semangat dari hukum-hukum
tentang perbudakan dalam Kitab Keluaran dan Ulangan diwujudkan dalam praktik.

Hal ketiga yang perlu dikatakan tentang perbudakan dalam Perjanjian Lama muncul dari
catatan di atas bahwa perbudakan tidak dilindungi sebagai pranata Israel yang hakiki. Itu
berarti perbudakan tidak pernah dipandang sebagai hal yang wajar, suatu bagian ciptaan
yang diatur secara ilahi seolah-olah budak dan orang bebas adalah jenis manusia yang
berbeda. Bagian pertama yang menyebut tentang budak- budak dan perbudakan berada
dalam konteks kutukan. Dalam Kejadian 9:25-27 status perbudakan Kanaan di kemudian
hari dikaitkan dengan kutukan Nuh. Perbudakan dilihat sebagi hal yang tidak wajar dan
terkutuk akibat kejatuhan manusia ke dalam dosa. perbudakan sama sekali bukanlah keadaan
manusia yang hakiki dan tidak dapat diubah. Tetapi titik puncak kritik etis Perjanjian lama
atas perbudakan ditemukan dalam ucapan Ayub yang menegaskan kesetaraan majikan dan
budak sebagai ciptaan Allah. Berbicara tentang budak-budaknya sendiri ia berkata:
"Bukankah Ia yang membuat aku dalam kandungan, membuat orang itu
juga? Bukankah satu juga yang membentuk kami dalam rahim?" (Ayub 31:15).

Ayat nas dari etika penciptaan dalam Perjanjian lama sangat dekat dengan penegasan Paulus
bahwa budak dan orang merdeka adalah satu di dalam Kristus (Gal. 3:28). Walaupun
penegasan Paulus itu cukup jelas, namun penghapusan perbudakan tidak terselesaikan dalam
negeri-negeri Kristen selama berabad-abad, apalagi oleh jemaat Perjanjian Baru. Mengingat
itu, kita tidak dapat mengecam Israel pada zaman Perjanjian Lama yang memang
membiarkan perbudakan tetapi dengan derajat kemanusiaan dan belas kasihan
yang tinggi.

V. KANON ALKITAB PERJANJIAN LAMA

1. Pengertian / Definisi “Kanon”


Untuk mengerti lebih jelas apa yang dimaksud dengan Kanon Alkitab PL, marilah terlebih
dahulu kita mempelajari pengertian kata "Kanon"

a. Arti Etimologis
"Kanon" berasal dari kata Yunani 'kanon', artinya "buluh". Karena pemakaian buluh dalam
kehidupan sehari-hari jaman itu adalah untuk mengukur, maka kata "kanon" dipastikan
memiliki arti harafiah sebagai batang tongkat/kayu pengukur atau penggaris. (Yeh. 40:3;
42:16 = tongkat pengukur)

b. Arti Figuratif
Namun demikian kata "kanon" juga memiliki arti figuratif sebagai peraturan atau standard
norma (kaidah) dalam hal etika, sastra, dsb.

c. Erti Theologi
Dalam sejarah gereja abad pertama kata "kanon" dipakai untuk menunjuk pada peraturan
atau pengakuan iman. Tetapi pada pertengahan abad keempat (dimulai oleh Athanasius),
kata ini lebih sering dipakai untuk menunjuk pada Alkitab yang memiliki dua arti, iaitu:

1. Daftar naskah kitab-kitab, yang berjumlah 66 kitab, yang telah memenuhi standard
peraturan-peraturan tertentu, yang diterima oleh gereja sebagai kitab kanonik yang diakui
diinspirasikan oleh Allah.

2. Kumpulan kitab-kitab, yang berjumlah 66 kitab, yang diterima sebagai Firman Tuhan
yang tertulis, yang berotoritas penuh (menjadi patokan= Gal. 6:16) bagi iman dan
Kehidupan manusia.

2. Sejarah Kanon PL
Kanon PL tidak mengalami banyak kesulitan untuk diterima karena pada waktu kita-kitab
PL itu selesai ditulis, saat itu juga langsung diterima sebagai kitab-kitab yang memiliki
otoritas yang diinspirasikan oleh Allah. Kitab-kitab (yang berupa gulungan- gulungan)
disimpan bersama-sama dengan Tabut Perjanjian yaitu di Kemah Tabernakel dan kemudian
dibawa ke Bait Allah. Para imam memelihara kitab-kitab itu dan mereka juga yang membuat
salinan- salinannya apabila diperlukan. Ul. 17:18; 31:9; 24:26; 1 Sam. 10:25; 2
Raj. 22:8; 2 Taw. 34:14.

Pada waktu bangsa Yahudi dibuang ke tanah Babel, dan Yerusalem dihancurkan pada tahun
587 SM, kitab-kitab itu dibawa bersama-sama ke tanah pembuangan (Dan. 9:2). Pusat
ibadah mereka kini bukan lagi Bait Allah di Yerusalem, tetapi beralih kepada kitab-kitab
yang berotoritas itu. Setelah pembangunan kembali Bait Allah, kitab- kitab itupun tetap
dipelihara dan dipindahkan ke tempat yang baru. (Ezr. 7:6; Neh. 8:1; Yer. 27:21-22).

Penyusunan seluruh kitab-kitab PL selesai pada tahun 430SM. Menurut tradisi diakui bahwa
imam Ezralah yang memainkan peranan penting dalam proses pengumpulan dan
penyusunan kitab-kitab PL ini. Selain kitab-kitab Pentateuk (Kejadian sampai Ulangan)
yang sangat dihargai, kitab-kitab para nabi juga biasa dibaca dalam ibadah Yahudi (di
sinagoge),
juga pada waktu jaman PB (Luk. 4:16-19).

Pada tahun 90M para ahli Taurat dan pemimpin bangsa Yahudi melakukan persidangan di
Yamnia. Salah satu keputusan yang diambil dalam persidangan itu adalah penerimaan
Kanon PL, iaitu 39 kitab sebagai Kanon Alkitab PL (seperti yang kita pakai sekarang). Jadi
penetapan itu sebenarnya hanya memberikan pengakuan akan kitab- kitab yang memang
sudah lama dipakai dalam ibadah orang Yahudi.

3. Pembentukan Kanon PL
Seperti sudah disebutkan sebelumnya bahwa pada umumnya kitab-kitab PL langsung
diterima sebagai kitab yang berotoritas. Namun demikian bukan berarti tidak ada proses
pembentukan sampai akhirnya kitab- kitab itu dikanonkan. Paling tidak ada 4 tahap yang
dikenal dalam proses pembentukan kanon kitab PL:

a. Ucapan-ucapan yang Berotoritas


Prinsip pengkanonan kitab dimulai ketika bgs. Israel menerima 10 perintah/hukum-hukum
dari Tuhan melalui Musa di gunung Sinai. Perintah-perintah itu disampaikan kepada Musa
sebagai perkataan (ucapan) Tuhan yang memiliki otoritas penuh. Dan umat Tuhan yang
menerima Perintah-perintah itu wajib tunduk kepada wewenangnya, bahkan generasi-
generasi berikutnya juga tunduk pada otoritas Perkataan Tuhan itu.

b. Dokumen (Tertulis) yang Berotoritas


Agar Perintah/Perkataan Tuhan itu menjadi warisan yang akan menuntun generasi-generasi
berikutnya, maka Musa secara teliti menjabarkannya (memberikan tambahan penjelasan)
dalam bentuk tulisan (Kel. 24:3), lalu umat Lewi diperintahkan untuk menyimpan
tulisan/dokumen itu di samping Tabut Perjanjian Allah (Ul. 31:24- 26). Demikian juga
dengan perkataan-perkataan Tuhan lain yang Tuhan sampaikan sepanjang sejarah bangsa
Israel melalui nabi-nabi-Nya, Tuhan seringkali memerintahkan agar apa yang Tuhan
ucapkan itu dituliskan untuk menjadi peringatan bagi umat-Nya. (Ul. 31:19, Yes. 30:2; Hos.
2:2). Tulisan-tulisan itu menjadi dokumen-dokumen yang sangat berotoritas, karena di
sanalah bangsa Israel telah diikat dalam perjanjian (covenant)
dengan Allah sebagai bangsa umat pilihan-Nya.

c. Kumpulan Tulisan yang Berotoritas


Menurut tradisi, selama ratusan tahun, tulisan/dokumen-dokumen yang berotoritas itu
dikumpulkan sebagai kitab-kitab Ibrani, yang dibagi menjadi 3 kelompok, yaitu:
1. Kitab-kitab Hukum (5 Kitab Pentateukh)
2. Kitab-kitab Nabi-nabi (Nabi Besar dan Nabi Kecil)
3. Kitab-kitab Mazmur/Ucapan Bijaksana (Mazmur, Amsal, dll.)

Pengelompokan ini mungkin sekaligus menunjukkan bagaimana tahap- tahap pembentukan


kanon itu terjadi, sesuai dgn. pokok bahasannya. Namun demikian prosedur penyortiran
tulisan-tulisan itu memang tidak jelas. Yang dapat diketahui hanyalah bahwa para pemuka
agama Yahudi dengan dipimpin oleh Roh Allah menyepakati pilihan kumpulan
tulisan itu sebagai tulisan-tulisan yang berotoritas yang harus diterima oleh seluruh umat.

d. Kanon yang Diresmikan


Sebagian besar Tulisan-tulisan yang berotoritas (yang sudah dikelompokkan di atas) telah
ditulis dan dikumpulkan sesudah masa Pembuangan yaitu kira-kira thn. 550 SM (sebelum
Masehi). Namun Pengesahan pengelompokan "Kanon Ibrani" itu dikenal baru sesudah thn.
150 SM. Kemungkinan besar Kanon inilah yang juga dikenal oleh masyarakat Yahudi pada
jaman Yesus, karena Yesus menyebutkan: "dalam kitab Taurat Musa dan kitab nabi-nabi
dan kitab Mazmur" (Luk. 24:44).

Suatu Konsili di Yamnia pada thn. 90 M, yang dihadiri oleh tokoh- tokoh utama agama
Yahudi (rabi), melalui suatu konsensus bersama, akhirnya memberikan penetapan terhadap
Kanon PL yang terdiri dari 39 kitab (sama dengan yang dimiliki dalam Alkitab
agama Kristen).

4. Penerimaan Kanon PL
Istilah penerimaan Kanon PL lebih disukai dari pada penetapan Kanon PL, karena memang
pada dasarnya manusia/gereja hanya menerima kitab-kitab PL tsb. sebagai tulisan-tulisan
yang berotoritas. Adapun dasar penerimaan "Kanon PL" adalah sbb.:

a. Adanya bukti dari dalam Alkitab sendiri.


Alkitab memberikan kesaksian bahwa perkataan-perkataan yang ditulis bukan berasal dari
manusia, seperti dikatakan: "Beginilah Firman Tuhan......" atau "Tuhan berkata....."

b. Ditulis oleh orang-orang yang hidupnya dipimpin oleh Roh Allah


Pada umumnya penulis-penulis kitab PL adalah mereka yang ditunjuk oleh Allah dan
menduduki jabatan seperti imam, nabi, hakim, dan raja.

c. Pengaruh kuasa Allah dalam tulisan-tulisannya


Perkataan ilahi yang dituliskan mempunyai kuasa untuk memberikan pengajaran kebenaran
yang mengubah hidup manusia.

d. Adanya bukti tentang keaslian naskah dan tulisannya.


Bukti-bukti arkeologi memberikan dukungan akan keotentikannya.

e. Secara aklamasi diterima oleh umat Allah secara luas.


Otoritas tulisan tsb. diakui oleh para pemimpin masyarakat keagamaan Ibrani melalui
pimpinan Roh Allah.

5. Susunan Kanon Kitab PL

a. Pembentukan Kitab-kitab PL
Perjanjian Lama disusun selama periode seribu tahun lebih yang kira- kira dimulai sekitar
pertengahan milenium kedua sampai ke pertengahan milenium pertama SM. Walaupun
Perjanjian Baru menguraikan bahwa Allah adalah pengarang Perjanjian Lama dengan ilham
Roh Kudus (2Timotius 3:16), paling tidak empat puluh orang telah disebut sebagai
penulisnya. Teks Perjanjian Lama semula dicatat dalam dua bahasa, bahasa Ibrani klasik
atau alkitabiah dan bahasa kerajaan Aram (Kejadian 31:47; Yeremia 10:11; Ezra 4:8 - 6:18;
7:12-26 saja). Di antara para penulis kuno itu terdapat tokoh-tokoh Alkitab yang terkenal
seperti Musa, Daud, dan Salomo. Penulis-penulis yang kurang dikenal termasuk wanita-
wanita Ibrani seperti Debora (bandingkan Hak. 5:1) dan Miriam (bd. Keluaran 15:20-21)
serta orang bukan Ibrani seperti Agur dan Lemuel (bd. Amsal 30:1; 31:1). Perjanjian Lama
terdiri atas empat gaya atau jenis sastra dasar, termasuk hukum, kisah sejarah, syair, dan

perkataan nubuat.

b. Teks dan Transmisi

1. Tulisan Dalam Masa Timur Dekat Kuno


Sistem tulisan paling awal yang dimiliki oleh manusia telah ada sebelum 3000 SM dan
dibuktikan dalam kehidupan masyarakat kuno baik di Mesir maupun di Mesopotamia.
Tingkat awal dalam pengembangan tulisan adalah piktogram, di mana gambar-gambar
melambangkan obyek-obyek material yang sama (gambar 2.1). Akhirnya piktogram
berkembang menjadi ideogram di mana simbol-simbol gambar mengetengahkan ide-ide
juga. Seiring dengan perjalanan waktu, piktogram dan ideogram ini menjadi lebih abstrak
(sejenis steno atau tulisan cepat) dan menandakan kata (logogram) dan suku kata. Tingkat
terakhir dari tulisan merupakan peralihan dari sistem penulisan suku kata kepada tulisan
bersifat abjad, di mana satu simbol melambangkan satu huruf dari sistem penulisan abjad.

Bahasa Ibrani dari Perjanjian Lama adalah suatu sistem penulisan abjad dan tergolong
sebagai bahasa Semit Barat Laut yang berbeda dengan sistem penulisan suku kata dari
Asyur dan Babilonia di Mesopotamia (gambar 2.2). Bahasa Ibrani dan Fenisia, Moab, Amon
Edom, dan Ugarit semuanya adalah dialek abjad yang diperoleh dari suatu sistem bahasa
abjad proto-Semit yang lazim (lihat Yesaya 19:18, di mana nabi menyebut bahasa Ibrani
sebagai suatu dialek orang Kanaan).

2. Bahan-bahan untuk Tulis


Berbagai macam bahan dipergunakan sebagai permukaan untuk menulis oleh bangsa-bangsa
dari Timur dekat kuno. Berbagai inskripsi penting terpelihara di tembok-tembok batu dan
lempengan-lempengan batu (lihat daftar ilustrasi). Misalnya, inskripsi Behistun yang
tersohor dalam tiga bahasa dari Raja Darius dari Persia itu digoreskan ada permukaan batu
dari sebuah tebing. Batu Roseta dan batu Moab merupakan contoh- contoh lain yang
terkenal dari dokumen-dokumen yang diukirkan pada batu padat. Perjanjian Lama
menunjukkan bahwa Dekalog (Sepuluh Hukum) dituliskan pada "loh-loh batu" (Keluaran
32:15-16) dan bahwa kemudian Yosua membuat salinan dari Hukum Musa di atas batu
(Yosua 8:32).

Bahan-bahan kuno lain untuk tulis menulis termasuk lempengan tanah liat dan kayu
(terutama di Mesopotamia, tetapi juga dikenal di Siro- Palestina di Ebla dan Ugarit, bdg
Yesaya 30:8; Habakuk 2:2), manuskrip dan kitab gulungan dari papirus (dipergunakan mulai
dari milenium ketiga sampai milenium pertama SM, bdg. Ayub 8:11, Yesaya 18:2), dan
perkamen kulit binatang yang disamak). (Kitab gulungan Yeremia yang dibakar oleh Raja
Yoyakim mungkin merupakan papirus atau perkamen bdg. Yeremia 36:2). Ostraka
(pecahan-pecahan tembikar) biasanya dipergunakan sebagai bahan untuk tulis yang bukan
hanya berlimpah ruah tetapi juga tidak mahal di seluruh wilayah Timur Dekat Kuno,
kendatipun bahan itu tidak disebut dalam Perjanjian Lama. Kitab gulungan logam yang
ditempa kadang-kadang dipergunakan untuk suatu tujuan khusus. (Sebuah kitab gulungan
tembaga ditemukan di antara tulisan-tulisan yang ditinggalkan dalam gua-gua sepanjang
Laut Mati oleh masyarakat Qumran; lihat pasal 5 untuk suatu uraian tentang kitab-kitab
gulungan Laut Mati.

Perjanjian Lama tidak menyebut penggunaan tinta untuk menulis pada kitab gulungan, tetapi
menulis mengenai besi pengukir atau pena besi (Ayub 19:24; Yeremia 17:1), pena buluh
(Yeremia 8:8), pisau raut untuk menajamkan pena (Yeremia 36:23), dan tempat tinta
(Yeremia 36:18) sebagai alat-alat yang dipergunakan untuk menulis. Sifat dari proses
penyalinan dengan tangan dalam dunia kuno sangat mengutamakan pendengaran,
penghafalan, dan pembacaan dokumen-dokumen di hadapan umum - karena itu Perjanjian
Lama selalu menekankan hal "mendengarkan" firman Tuhan. Menyebarluaskan perkataan
yang tertulis juga menyebabkan diperlukannya pelayan-pelayan seperti pelari cepat
pembawa kabar, bentara yang mengumumkan berita, dan juru tulis (bdg. 2Samuel 18:19-
23; Daniel 3:4).

3. Para Juru Tulis Perjanjian Lama


Pengembangan sistem menulis di Timur Dekat Kuno menyebabkan munculnya golongan
juru tulis yang profesional. Hal ini juga berlaku bagi masyarakat Ibrani pada zaman
Perjanjian Lama. Di Israel pada masa sebelum pembuangan para sekretaris atau panitera
negara merupakan tokoh penting baik di bidang keagamaan maupun di pemerintahan sipil
(lihat 2Samuel 8:16-17; 20:23-26).

Selama zaman kerajaan-kerajaan Ibrani para juru tulis sedikit banyak berfungsi sebagai
"diplomat" karena keahlian mereka dalam bahasa- bahasa dan kesusastraan pada waktu itu
memudahkan hubungan surat- menyurat secara internasional (bdg. 2Raja-Raja 18:18-26).
Para juru tulis ini juga menulis surat-surat pribadi dan dokumen-dokumen yang berkaitan
dengan kepentingan masyarakat umum (misalnya, Yesaya 50:1; Yeremia 36:18) dan
mencatat data yang sah mengenai kemiliteran dan keuangan untuk kerajaan (bdg. 1Raja-
Raja 4:3; 2Raja-Raja 22:3-4; 2Tawarikh 24:11; 26:11). Orang -orang Lewi juga
melayani sebagai juru tulis dan pencatat untuk Bait Allah (2Tawarikh 34:13,15).

Sesudah kejatuhan kerajaan Ibrani golongan juru tulis pada masa pasca pembuangan Israel
semata-mata dihubungkan dengan Bait Allah dan fokus pekerjaan mereka lebih dipersempit.
Para juru tulis Bait Allah ini pada dasarnya adalah cendekiawan yang mengabdikan diri
mereka untuk menyalin, melestarikan, menerbitkan, dan menafsirkan Hukum Musa. Ezra
sering kali disebut sebagai pelopor dari golongan ahli kitab atau ahli Taurat ini (Ezra 7:1-
10). Pada masa Perjanjian Baru, para ahli Taurat merupakan suatu golongan agama dan
politik yang berpengaruh di kalangan Yudaisme. Mereka merupakan penentang utama dari
pelayanan Yesus, menuduh Dia telah melanggar hukum-hukum
Yahudi (bdg. Matius 23:2).

4. Teks dan Berbagai Versi Perjanjian Lama


Naskah-naskah yang paling awal dari Perjanjian Lama ditulis dalam dua puluh dua huruf
konsonan dari abjad Ibrani. Tulisannya diatur dalam baris-baris berlajur tanpa disertai
pemisahan kata-kata untuk menghemat tempat. Para ahli kitab melanjutkan pemindahan
teks-teks konsonan itu sampai pada zaman para Masoret (kira-kira tahun 500-900 TM). Para
Mazoret adalah cendekiawan dan ahli kitab Yahudi yang memperbaiki pembagian kata-kata
dan menambahkan huruf hidup atau tanda huruf hidup, tanda baca, dan pembagian ayat pada
Perjanjian Lama Ibrani. Sekarang ini teks Ibrani Perjanjian Lama disebut teks Masoret
(MT), yang menunjukkan pentingnya sumbangan para Masoret pada
pemeliharaan Alkitab Ibrani.

Di samping catatan-catatan di pinggir halaman yang dibuat oleh para Masoret yang
menunjukkan peningkatan atau pembetulan versi dari kata- kata atau ayat-ayat, maka
perkembangan-perkembangan yang terjadi kemudian dalam Alkitab Ibrani meliputi
pembagian tambahan dari kitab- kitab Perjanjian Lama ke dalam pasal-pasal. Pertama
kalinya diperkenalkan dalam Alkitab bahasa Latin oleh Stephen Langdon (1150- 1228),
pembagian pasal-pasal dipergunakan di Alkitab Ibrani dalam tahun 1518 (Edisi Bomberg).
Pasal-pasal diberi nomor dalam Alkitab Ibrani oleh Arius Montanus (sekitar tahun 1571),
sedangkan cara ini sudah dipakai dalam Perjanjian Lama edisi Latin (sekitar 1555).

Perubahan nasib dalam sejarah dan politik yang dialami bangsa Israel mengharuskan
penerjemahan Alkitab Ibrani ke dalam bahasa- bahasa lain. Beberapa versi kuno ini masih
tersedia dalam bentuk manuskrip dan dianggap sebagai saksi-saksi penting sehubungan
dengan teks Perjanjian Lama Ibrani. Versi yang lebih penting lagi termasuk Pentateukh versi
Samaria (Alkitab orang Samaria yang tanggalnya ditentukan sekitar abad keempat atau
kelima SM), Targum versi Aram (saduran pra-Kristen dari Perjanjian Lama dalam bahasa
Aram, bahasa pergaulan dari zaman Babilonia dan awal zaman Persia, bdg. Neh. 8:8).
Septuaginta Yunani (hasil tambahan dari dampak Helenisme pada bangsa Yahudi, sekitar
tahun 250 SM), Vulgata Latin dari Hieronimus (382-405 TM) dan Pesyita Siria
(sekitar tahun 400 Tm).

5. Kritik Teks
Penyalinan dan penerjemahan Perjanjian Lama Ibrani selama berabad-abad telah
melipatgandakan jumlah naskah yang tersedia sehingga terdapat beribu-ribu salinan yang
masih ada dalam bahasa yang berbeda-beda dari berbgai periode. Dengan sendirinya proses
penyalinan yang terus dilakukan dengan tangan menyebabkan terjadinya berbagai
kekeliruan transmisi. Kekeliruan-kekeliruan dari penglihatan, pendengaran, tulisan, daya
ingat dan penilaian manusia ini disebut sebagai varian (ejaan atau bunyi yang berbeda-
beda dari kata yang sama) atau bacaan yang berbeda dari teks.

Kritik teks, atau kritik rendah terhadap penulisan Alkitab adalah ilmu pengetahuan
perbandingan naskah. Tujuan penelitian naskah adalah menetapkan atau memulihkan teks
tertulis Perjanjian Lama sedapat mungkin kepada bacaannya yang asli. Praktik atau
metodologi penelitian naskah termasuk mengumpulkan, menyortir, dan mengevaluasi
bacaan- bacaan yang berbeda-beda dari ayat atau bagian tertentu di Alkitab, kemudian
dilanjutkan dengan menilai bukti naskah itu untuk memilih bacaan yang paling cocok dari
teks yang diteliti atas dasar data yang tersedia (bdg. catatan tepi dalam Alkitab bahasa
Inggris modern di 1Samuel 13:1, di mana penelitian naskah digunakan untuk memperbaiki
angka yang menunjukkan lama pemerintahan Raja Saul).

Sepatah kata peringatan diperlukan di sini, agar kita tidak disesatkan oleh orang-orang yang
menekankan berbagai varian dalam naskah-naskah Perjanjian Lama sebagai bukti yang
menentang integritas dan kebenaran Alkitab. Mengingat usianya yang sudah berabad-abad,
Perjanjian lama sebenarnya berada dalam keadaan terpelihara yang sangat baik. Hal ini
antara lain disebabkan oleh prosedur penyalinan yang cermat sekali dari para ahli kitab
Ibrani dan Kristen, penyaluran naskah-naskah Alkitab ke mana-mana sejak awal, dan sikap
hormat dan komitmen terhadap Alkitab sebagai "Firman Allah yang diilhami" baik oleh
orang Ibrani maupun orang Kristen selama berabad-abad. Yang sama pentingnya adalah
pekerjaan Roh Kudus, yang mengilhami penulis manusia, menerangi para pembacanya, dan
menjadi pengawas dalam proses kanonisasi.

6. SUSUNAN PERJANJIAN LAMA (KANON)


Dalam mempelajari setiap buku, sangat penting kita mengetahui susunan isinya. Demikian
juga untuk Alkitab, dan dalam hal ini perlu diketahui suatu istilah, yaitu "kanon", yang
berarti "susunan kitab- kitab Alkitab" atau "daftar isi Alkitab". Ada dua kanon Perjanjian
Lama yang penting, yakni "Kanon Ibrani" dan "Kanon Yunani". Isinya sebenarnya sama,
hanya susunan kitab-kitabnya yang berbeda.

Kanon Ibrani ialah daftar isi yang berlaku untuk Alkitab dalam bahasa Ibrani. Kanon Ibrani
itu terdiri dari 24 kitab, yang dibagi atas tiga kelompok sebagai berikut:

KANON IBRANI = SUSUNAN ALKITAB BAHASA IBRANI

1. TAURAT (bahasa Ibrani: Torah)


1. Kejadian
2. Keluaran
3. Imamat
4. Bilangan
5. Ulangan
2. NABI-NABI (bahasa Ibrani: Nevi'im)
(a) Nabi-nabi yang dahulu
6. Yosua
7. Hakim-hakim
8. Samuel
9. Raja-raja
(b) Nabi-nabi yang kemudian
10. Yesaya
11. Yeremia
12. Yehezkiel
13. 12 nabi
3. KITAB-KITAB (bahasa Ibrani: ketuvim)
14. Mazmur
15. Amsal
16. Ayub
17. Kidung Agung
18. Rut
19. Ratapan
20. Pengkhotbah
21. Ester
22. Daniel
23. Ezra-Nehemia
24. Tawarikh

Yesus menyebut ketiga bagian kanon Ibrani dalam Lukas 24:44 (bagian ketiga disebut
"Mazmur", sesuai dengan nama kitab yang pertama dan terpenting dalam bagian itu). Dalam
Matius 23:35 Dia menyebut dua pembunuhan, yaitu yang pertama dan yang terakhir
dilaporkan dalam kanon Ibrani (Kej 4:8; 2Taw 24:20-21). Agaknya Yesus membaca Alkitab
dalam bahasa Ibrani dan mengenal Kanon Ibrani, sebagaimana biasa di antara
orang-orang Yahudi di Palestina pada zaman itu.

Kanon Yunani berlaku untuk Alkitab berbahasa Yunani dan juga dipakai untuk Alkitab
dalam bahasa Indonesia. Dalam Kanon Yunani beberapa kitab yang terdiri dari lebih dari
satu bagian dihitung sesuai dengan jumlah bagian tersebut, misalnya Kitab Samuel menjadi
39, yang dibagi atas empat kelompok sebagai berikut:

KANON YUNANI = SUSUNAN ALKITAB BAHASA YUNANI/INDONESIA

1. TAURAT
1. Kejadian
2. Keluaran
3. Imamat
4. Bilangan
5. Ulangan
2. SEJARAH (a) Sejarah yang pertama
6. Yosua
7. Hakim-hakim
8. Rut
9. 1Samuel
10. 2Samuel
11. 1Raja-raja
12. 2Raja-raja

(b) Sejarah yang kedua


13. 1Tawarikh
14. 2Tawarikh
15. Ezra
16. Nehemia
17. Ester
3. SASTRA / PUISI
18. Ayub
19. Mazmur
20. Amsal
21. Pengkhotbah
22. Kidung Agung
4. NUBUAT
(a) Kitab-kitab nabi besar
23. Yesaya
24. Yeremia
25. Ratapan
26. Yehezkiel
27. Daniel
(b) Kitab-kitab nabi kecil
28. Hosea

29. Yoel
30. Amos
31. Obaja
32. Yunus
33. Mikha
34. Nahum
35. Habakuk
36. Zefanya
37. Hagai
38. Zakaria
39. Maleakhi

Kalau kita membandingkan Kanon Ibrani dengan Kanon Yunani, ternyata bahwa urutan
kitab-kitab adalah sama dalam kedua kanon untuk kelompok kitab yang merupakan dasar
Perjanjian Lama, yakni "Taurat". Kitab- kitab yang lain disusun menjadi tiga kelompok,
sesuai dengan jenis masing-masing kitab, yaitu sejarah, sastra dan nubuat. "Nabi-nabi yang
dahulu" sebenarnya mengandung lebih banyak sejarah daripada nubuat, maka digolongkan
sebagai sejarah. Sedangkan "Nabi-nabi yang kemudian" kebanyakan terdiri dari nubuat-
nubuat dan digolongkan dalam bagian terakhir sebagai nubuat. Kelompok "Kitab-kitab"
dibagi dalam kanon Yunani menurut jenis masing-masing: Rut, Ester, Ezra-Nehemia dan
Tawarikh berjenis sejarah; Mazmur, Amsal, Ayub, Kidung Agung dan Pengkhotbah
dikumpulkan sebagai tulisan-tulisan sastra; dan Ratapan serta Daniel digolongkan sebagai
kitab nubuat.

Kanon Yunanilah yang dikenal oleh orang Kristen pada umumnya, karena diikuti oleh
Alkitab dalam bahasa Latin, Inggris, Indonesia dan hampir semua terjemahan Kristen. Oleh
karena itu maka kanon Yunani yang menjadi dasar buku pengantar ini.

Perjanjian Lama boleh dilukisan sebagai suatu perpustakaan kecil, yang terdiri dari 39
kitab pada 6 rak, sesuai dengan pembagian kanon Yunani, sebagaimana nampak dalam
gambar berikut ini:

1.4 Kitab-kitab Apokrifa/Deuterokanonika


Kitab-kitab Perjanjian Lama yang disebut di atas adalah kitab-kitab yang diterima oleh
gereja-gereja Protestan (Reformasi). Perlu diketahui bahwa ada juga beberapa tulisan yang
diterima oleh gereja Katolik Romawi dan termuat dalam Alkitab terbitan pihak Katolik dan
dalam beberapa Alkitab terbitan ekumenis, yaitu:

• riwayat Tobit;
• riwayat yudit;
• Kitab I dan II Makabe;
• Kebijaksanaan Salomo;
• hikmat Yesus bin Sirakh;
• Kitab Barukh serta Surat Yeremia;
• tambahan-tambahan pada Kitab Ester dan Daniel.

Tulisan-tulisan tersebut dinamakan "Apokrifa" ('tersembunyi') atau "Deuterokanonika"


('kanon yang kedua').

Pada umumnya kitab-kitab Apokrifa/Deuterokanonika dikarang sesudah Perjanjian Lama


yang lain, dan sebagian dikarang dalam bahasa Yunani, sehingga tidak termuat dalam
Alkitab bahasa Ibrani. Sewaktu Alkitab diterjemahkan ke dalam bahasa Yunani
(Septuaginta) maka kitab-kitab tersebut diikutsertakan, ditambah juga dengan beberapa
tulisan lainnya.

Agama Yahudi dan gereja-gereja Prostestan hanya menerima kitab-kitab dari Perjanjian
Lama Ibrani sebagai firman Allah, sedangkan gereja Katolik Romawi menerima juga
beberapa kitab dari Septuaginta. Akibatnya, kitab-kitab Aprokifa/Deuterokanonika dianggap
sebagai buku bacaan saja oleh gereja Protestan; sedangkan oleh gereja Katolik
Romawi diakui sebagai kitab suci.

7. KANON PERJANJIAN LAMA

I. Nama dan Konsepsi


Kata Yunani kanon, berasal dari bahasa Semit (bnd Ibrani qaneh, Yeh. 40:3 dst). Pada
mulanya berarti alat pengukur, kemudian dalam arti kiasan berarti 'peraturan'. Kata itu
mendapat tempat dalam bahasa gerejawi. Pertama, menunjukan kepada rumusan pengakuan
iman, khususnya simbol (pengakuan) baptis, atau gereja pada umumnya. Kata kanon juga
dipakai mengacu pada peraturaran-peraturan gereja yang sifatnya berbeda-beda, tapi hanya
dalam arti 'daftar', 'rentetan'. Baru pada pertengahan abad 4 kata itu diterapkan kepada
Alkitab. Dalam pemakaian Yunani kata 'kanon' agaknya menunjuk hanya kepada daftar
tulisan- tulisan kudus, tapi dalam bahasa Latin kata ini juga menjadi sebutan bagi Alkitab
sendiri, jadi menyatakan bahwa Alkitab menjadi patokan bagi perbuatan yang mempunyai
kuasa ilahi. Maksud yang terkandung dalam pemakaian istilah 'Kanon PL' ialah bahwa PL
adalah wujud lengkap dan utuh dari kumpulan Kitab-Kitab yang tak boleh dikutak-kutik
lagi, yaitu Kitab-Kitab yang diilhamkan oleh Roh Allah. Dan Kitab-Kitab itu mempunyai
wibawa normatif serta dipakai sebagai patokan bagi kepercayaan dan
kehidupan kita.

II. Sifatnya membuktikan keotentikannya


Kitab-kitab PL sama dengan Kitab-kitab PB, yakni dilhamkan oleh Allah. ILHAM,
PENGILHAMAN. Tapi Roh Kudus bekerja dalam hati umat Allah, sehingga mereka
menerima Kitab-kitab itu sebagai Firman Allah, dan menundukkan diri kepada wibaan
ilahinya. Pemeliharaan Allah secara khusus meliputi baik asal usul masing-masing kitab
maupun pengumpulannya, oleh pemeliharaan Allah secara khusus inilah maka bilangan-
bilangan
Kitab PL seperti yang ada sekarang ini, tidak lebih dan tidak kurang.

Inilah kebenaran asasi mengenai Kanon PL dan asal usulnya. Dan apa yang telah dikatakan
di atas mengandung gagasan, bahwa Allah menyediakan Kanon, Ia memakai manusia
sebagai alat-Nya; perbuatan- perbuatan dan pemikiran-pemikiran manusia turut berperan
dalam seluruh proses ini. Karena itu timbul persoalan. Apakah yang kita ketahui mengenai
perbuatan-perbuatan dan penalaran manusia itu? Sejak kapan Kanon ini atau bagian-
bagiannya diakui kanonik? Bagaimana cara pengumpulan Kitab-kitab kudus itu? Pengaruh
siapa yang berperan dan menentukan dalam tahapan-tahapan perkembangannya yang
bermacam-macam?

Data-data berikut perlu guna menjawab persoalan-persoalan itu. Tapi baiklah di perhatikan,
bahwa data-data itu sedikit sekali, justru tidak dapat menarik kesimpulan yang pasti
berdasarkan data itu. Penelitian historis hanya menunjukkan sedikit peranan sinode-sinode
atau lembaga-lembaga berwenang mengenai rumusan Kanon PL. Hal ini dapat dimaklumi,
sebab tidak dapat menarik kesimpulan yang pasti berdasarkan data itu. Penelitian historis
hanya menunjukkan sedikit peranan sinode-sinode atau lembaga-lembaga berwenang
mengenai rumusan Kanon PL. Hal ini dapat di maklumi, sebab itu diperlukan badan atau
lembaga berwibawa seperti itu yang harus mendapat peranan besar dalam perumusannya.
Alkitab memiliki wibawanya bukan dari pernyataan- pernyataan
gerejawi, juga bukan dari wibawa manusia apa pun.

Alkitab bersifat autopistos, 'membuktikan sendiri keotentikannya' dengan menyinarkan


sendiri wibawa ilahinya. Karena kesaksian Roh Kudus maka orang di mampukan menjadi
cakap menangkap terang ini. Seperti dikatakan oleh Confessio Belgica (Pengakuan Iman
Gereja-gereja di Nederland), art 5, 'Kita percaya tanpa sedikit meragukan segala sesuatu
yang tercakup di dalamnya; bukan karena gereja menerimanya dan menganggapnya
demikian, tapi khususnya Roh Kudus memberi kesaksian di dalam hati kita, bahwa kitab-
kitab itu datangnya dari Allah'(bdg Westminster Confession, I, 4, 5). Konsili-konsili gereja
dan badan- badan yang berwibawa lainnya telah mengambil kesimpulan mengenai kanon
itu, dan pertimbangan-pertimbangan ini memang mempunyai fungsi penting dalam
menjadikan Kanon itu diakui. Tapi bukan suatu konsili gereja, juga bukan wibawa manusia
apa pun yang lain, yang membuat Kitab-kitab dari Alkitab itu menjadi Kanon atau yang
memberikan wibawa ilahi kepadanya. Kitab-kitab itu pada dirinya memiliki sendiri dan
menggunakan sendiri wibawa ilahinya sebelum badan-badan seperti itu membuat pernyataan
mereka; wibawa kitab-kitab itu diakui dikelompok besar ataupun kelompok kecil. Konsili-
konsili gerejawi tidak memberikan wibawa ilahi kepada Kitab-kitab itu, tapi mereka justru
beroleh dan mengakui bahwa Kitab-kitab itu memiliki wibawa dan
menggunakannya.

III. Pengakuan terhadap masing-masing Kitab


Kita akan membicarakan data-data yang disajikan sendiri oleh PL, berkaitan dengan
pengumpulan dan pengakuan terhadap Kitab-kitab itu. Dalam rangka ini kita akan mengikuti
urutan Kitab-kitab itu sesuai Alkitab Ibrani. Sambil lalu baiklah mengamati bahwa
kehadiran beberapa dari kitab itu secara tersendiri, berkaitan dengan pekerjaan pengumpulan
yang mendahuluinya. Hal ini menjadi amat jelas, antara lain, dengan Mazmur
(lihat ump Mazmur 75:20) dan Amos (lih ump Amsal 25:1).

a. Taurat
Sedini zaman Musa, pengumpulan hukum Taurat disertai pelestariannya dalam bentuk
tertulis. Seperti nampak dari Kel. 24:4-7, Musa membuat 'kitab perjanjian' dan orang-orang
mengakui wibawa ilahinya. Ul.31:9- 13 (lih juga ay 24 dab) memberitakan bahwa Musa
menulis 'hukum Taurat itu', yakni inti UI, dan mengambil langkah-langkah untuk
memastikan, bahwa wibawa ilahinya akan diakui sampai jauh di masa depan. Perlu
diperhatikan, di sini telah dinubuatkan bahwa umat itu akan sering gagal untuk mengakui
wibawa ilahi itu. Banyak kesaksian menunjukkan bahwa sepanjang sejarah Israel, Taurat
Musa dipandang sebagai tolok ukur ilahi bagi iman dan hidup (ump Yos 1:7,8; 1Raj 2:3;
2Raja 14:6, dab). Kita tidak tahu pasti bilamana Pentaeukh (Kitab Lima Jilid) lengkap
seutuhnya, tapi boleh dianggap, bahwa sejak awal telah dihormati berwibawa tinggi.
Pentateukh berisi hukum Taurat yang diberikan Allah kepada Israel dengan perantaraan
Musa, dan sebagai tambahan, laporan tentang awal sejarah Israel, yakni perlakuan Allah
terhadap umat pilihanNya. Dua catatan dapat ditambahkan.

1. Pada zaman dahulu orang tidak memperlakukan Kitab-kitab yang dianggap Kudus
sebagaimana kita memperlakukannya sekarang. Dalam beberapa kitab ada bagian-bagian--
kecil atau besar--yang dianggap tambahan dari zaman yang lebih kemudian. Satu hukum
dapat diganti dengan hukum lain, karena keadaan-keadaan yang berubah mengharuskan
kebijaksanaan itu (bnd Bil. 26:52-56 dengan 27:1-11;36; dan bnd Bil. 15:22 dab dengan Im
4). Sekalipun demikian, jelas orang Israel sangat berhati-hati dalam memperlakukan naskah-
naskah tertulis yang berisi sejarah Israel atau hukum-hukum mereka. Penambahan atau
perubahan agaknya terbatas dan hanya dilakukan oleh orang-orang yang berwenang berbuat
demikian karena jabatan mereka. Sekedar catatan bernada lebih umum dapat diberikan:
kenyataan bahwa orang Israel sangat hati-hati memperlakukan tulisan-tulisan kudusnya
nampak dari cara para penulis PL memakai sumber-sumber mereka. Mereka tidak
memperlakukan seperti para penulis modern, tapi menyalin bagian-bagian yang perlu
seharafiah mungkin.

2. PL mencatat bahwa pada dua kesempatan, orang Israel dengan tulus berjanji untuk
mentaati kitab Taurat yang diberikan Allah dengan perantaraan Musa, yakni pada
pemerintahan Yosua (2Raj. 22, 23; 2Taw. 34, 35; 'kitab Taurat' mungkin berarti Kitab UI)
dan pada zaman Ezra dan Nehemia (Ezr. 7:6, 14; Neh. 8-10; 'kitab Taurat' di sini mungkin
berarti seluruh Pentateukh).

b. Nabi-nabi
Tiga faktor khusus memberi sumbangan kepada pengakuan terhadap 'nabi- nabi terdahulu'
(Yos, Hak, Sam, Raj) sebagai Kitab-kitab yang berwibawa. Pertama, Kitab-kitab ini
menguraikan perlakuan Allah terhadap umat-Nya yang telah dipilih-Nya. Kedua, Kitab-
kitab ini menguraikan perlakuan Allah terhadap pilihan-Nya itu dalam jiwa hukum Taurat
dan para Nabi-nabi. Ketiga, para penulis Kitab itu tentu adalah penjabat khusus, dalam arti
setidak-tidaknya demikian. Menarik sekali membaca Yosua 24:26, bahwa beberapa
tambahan kemudian diberikan kepada 'kitab perjanjian Allah', yang anaknya ialah kitab
hukum Taurat yang disebutkan dalam Ul. 31:24, dab.

Karena sifatnya khas maka tulisan 'nabi-nabi yang kemudian' (Yes, Yer, Yeh dan ke-12
'Nabi-nabi kecil') dihormati berwibawa sejak semula oleh kelompok kecil atau besar. Bahwa
nubuat-nubuat mereka mengenai bencana digenapi dalam Pembuangan, secara pasti
mendampakkan peluasan wibawa mereka. Fakta bahwa seorang nabi kadang-kadang
mengutip nabi lain, jelas menyatakan bahwa mereka mengakui wibawa nabi terdahulu itu.
Justru lebih dari sekali seorang nabi memarahi Israel karena mereka tidak mendengarkan
para nabi yang mendahuluinya (bnd Za. 1:4 dab; Hosea 6:5, dst). Yesaya 34:16 agaknya
menyebut gulungan yang di dalamnya dituliskan nubuat-nubuat Yesaya dan disebut sebagai
'kitab Tuhan'. Daniel 9:2 menyebut 'kumpulan Kitab' yang dengannya jelas dimaksudkan
kumpulan tulisan nabi-nabi, di antaranya termasuk nubuat- nubuat Yeremia. Dari
hubungannya jelas bahwa tulisan para nabi ini dihormati sebagai memiliki wibawa
ilahi.

c. Tulisan-tulisan
Bagian ketiga dari Kanon Ibrani berisi Kitab-kitab yang sifatnya berbeda-beda, sehingga
beberapa dari antara kitab itu dihormati sebagai tulisan kudus. Mengenai Kid sering
dikemukakan, bahwa tempatnya di dalam Kanon adalah disebabkan oleh penafsiran alegoris
yang dikenakan kepadanya. Tapi keterangan ini tak dapat dibuktikan. Pertama, penempatan
demikian bermula pada suatu konsepsi yang keliru tentang 'kanonisasi' (lih butir II di atas).
Kedua, sekalipun seandainya Kid belum lengkap seutuhnya sebelum Zaman Pembuangan,
namun kitab itu masih memuat bahan-bahan kuno (ump Kid. 6:4). Tiada alasan untuk
menyangkal kemungkinan, bahwa pada zaman kuno kidung-kidung cinta ini, yang di
dalamnya Salomo menjadi salah seorang tokoh utama, pada dasarnya dipandang tulisan
kudus. Akhirnya, seruan bagi pengakuan-pengakuan formal dalam kepustakaan Yahudi
(ump di Aboth de- Rabbi Nathan, 1) adalah lemah, karena pengakuan-pengakuan
formal itu tidak berasal dari zaman.

Tak perlu mempersoalkan mengapa Mazmur dihormati sebagai tulisan kudus. Banyak dari
mazmur mungkin berfungsi sebagai rumusan-rumusan bagi tempat kudus; Daud memberi
sumbangan penting dalam penulisan mazmur; beberapa mazmur bernada nubuat (ump
Mazmur 50; 81; 110), mengenai Kitab-kitab hikmat, diantaranya Amsal dan Pengkotbah
dan, sampai taraf tertentu, Ayub, baiklah diingat, bahwa hikmat dan khususnya kuasa untuk
berbuat sebagai guru hikmat, dipandang sebagai kekecualian anugerah Allah (bnd
1Raj. 3:28; 4:29; Ayb. 38, dab; Mzm. 49:1-4; Ams. 8; Pengkotbah 12:11, dst).

Kenyataan bahwa banyak Amsal berasal dari Salomo tentu telah memberi sumbangan bagi
pengakuan amsal. Pengamatan-pengamatan yang sama seperti di lakukan dibutir (b) di atas,
dapat diterapkan atas Kitab- kitab historis dan nabiah: Ezr, Neh, Rut, Est dan Rat. Halnya
sama dengan kedua Kitab Tawarikh, yang sekalipun dengan cara yang berbeda
dengan Kitab Raja-Raja, namun ditulis dalam jiwa hukum Taurat dan Nabi-nabi.

Sajian di atas tentu sama sekali tidak menjawab segala persoalan yang mungkin timbul.
Marilah kita bahas salah satu dari persoalan itu. Mengapa sumber-sumber yang dipakai bagi
penulisan Tawarikh tidak dimasukkan ke dalam Kanon? Benar, bahwa beberapa kitab yang
ada selama waktu penulisan Kitab-kitab PL telah hilang, ump 'Kitab Orang Jujur' (Yos.
10:13; 2Sam.1:18). Tapi bertalian dengan sumber-sumber Tawarikh persoalan lebih gawat
dan hangat, karena Kitab-kitab sumber data itu ada selama waktu penyusunan Tawarikh, dan
karena Kitab-kitab sumber itu ditulis, paling sedikit sebagian, oleh nabi-nabi (ump 1 Taw.
29:29; 2Taw. 9:29; 32:32). Kita harus menganggap bahwa kitab-kitab itu - atau apakah
itu satu kitab? - diungguli dan diganti oleh Tawarikh.

VI. HUBUNGAN PERJANJIAN LAMA DAN PERJANJIAN BARU

Satu pertanyaan penting akan timbul ketika kita mulai mempelajari Alkitab Perjanjian Lama
secara serius, yaitu apa hubungan Perjanjian Lama (PL) dengan Perjanjian Baru (PB)?
Memang PL adalah bagian dari Alkitab, yang berotoritas, namun bagaimana
menempatkannya dalam KESELURUHAN KEBENARAN Firman Tuhan? Apakah PL dan
PB mempunyai nilai dan arti yang sama? Hal ini bisa membingungkan, karena seringkali
peranan PL dalam iman dan kehidupan tidak begitu ditekankan dan dipahami oleh gereja.
Sebaliknya PB kelihatan lebih sering ditonjolkan karena dianggap maksud-maksud Allah
bagi gereja-Nya lebih nyata diungkapkan di sana.

Meskipun alasan di atas tidak seluruhnya salah, namun sangat tidak tepat kalau kita hanya
mendasarkan diri pada pengetahuan PB saja untuk mengerti KESELURUHAN
KEBENARAN Alkitab, karena pengenalan tentang Allah dalam Alkitab dimulai dari PL.
Oleh karena itu dalam pelajaran ini kita akan secara khusus melihat hubungan antara PL dan
PB, supaya

dalam mempelajari Alkitab kita mengerti sistematika keutuhan kebenaran berita Alkitab.

1. PERBEDAAN DAN PERSAMAAN ANTARA PL DAN PB

a. Perbedaan antara PL dan PB

Apakah ada perbedaan antara PL dan PB? Ya ada, tetapi ketika kita membicarakan tentang
perbedaan PL dan PB, perlu dimengerti bahwa perbedaan di sini bukan berarti adanya
pertentangan. Kita melihat ada perbedaan dalam hal jangkauan dan keluasan pembahasan
antara PL dan PB, namun demikian hal-hal tsb. tidak saling bertentangan.

Misalnya:
- PL bercerita tentang hubungan Allah dengan bangsa Israel, tetapi PB lebih banyak
bercerita tentang hubungan Allah (melalui Yesus dan Para Rasul) dengan jemaat-Nya
(gereja-Nya).
- PL menolong kita mengerti sifat-sifat Allah yang suci, adil dan benar, tetapi PB lebih
menekankan kepada sifat-sifat Allah yang kasih, sabar dan pemurah.
- PL memberikan panggilan keselamatan dari satu orang (Abraham) kepada satu bangsa
(Israel). Tetapi PB memberikan panggilan keselamatan dari satu bangsa (Israel) kepada
bangsa-bangsa lain.
- PL memberikan gambaran penebusan dosa melalui korban bakaran yang tidak sempurna
karena harus dilakukan berkali-kali, tetapi PB memberikan aplikasi penebusan yang
sempurna dalam Yesus Kristus, yang dilakukan sekali dan untuk selama-lamanya.

b. Persamaan antara PL dan PB

Persamaan antara PL dan PB tidak dimaksudkan untuk mensejajarkan kedudukan dan nilai
antara PL dan PB, namun persamaan di sini untuk menyatakan bahwa tidak ada
pertentangan antara PL dan PB. Sebaliknya kita melihat bahwa PL dan PB adalah dua
perjanjian yang kebenarannya saling menguatkan satu dengan yang lain.

Misalnya:
- PL percaya pada Allah sebagai Pencipta alam semesta dan isinya demikian juga PB.
- PL menceritakan tentang kejatuhan manusia ke dalam dosa, PB menegaskan bahwa dosa
telah menguasai manusia.
- PL mencatat bagaimana Allah menyatakan Diri-Nya dan kehendak- Nya dan PB secara
konsisten melihat penyataan Diri Allah itu secara lebih luas dan lengkap.
- PL melihat bayang-bayang janji keselamatan, PB melihat fakta janji keselamatan itu
dengan jelas.
- PL membicarakan nubuat Mesias yang akan datang sedangkan PB menggenapkan nubuat
datangnya Mesias di dalam Yesus Kristus.
2. PERJANJIAN LAMA ADALAH BAGIAN DARI KESELURUHAN KEBENARAN
ALKITAB

Untuk mengerti hubungan antara PL dan PB, perlu terlebih dahulu dipahami bahwa PL dan
PB adalah satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. PL dan PB yang berdiri sendiri adalah
seperti satu bagian cerita yang belum selesai atau seperti satu pembahasan yang tidak
memiliki kesimpulan (konklusi). Namun demikian PL adalah sepenuhnya Firman Allah
yang berisi penyataan Allah tentang Diri- Nya dan rencana-Nya dan yang secara progresif
terus menerus dibukakan menjadi lebih dalam dan lebih lengkap sampai kepada puncaknya
yaitu ketika Ia menyatakan Diri-Nya dalam Yesus Kristus di PB. Oleh karena itu sebagai
Penyataan Allah yang progresif, baik PL dan PB adalah Firman Allah dan masing-masing
adalah bagian dari Kebenaran Allah. Namun demikian bagian bukanlah keseluruhan.
Masing-masing bagian tidak lengkap tanpa bagian yang lain. PB jelas tidak lengkap tanpa
PL. Ketergantungan PB pada PL ditunjukkan bahkan dari pertama halaman kitab PB
dimulai, yaitu Mat. 1:1 "Inilah silsilah Yesus...." Seluruh urutan dan nama-nama dalam
silsilah Tuhan
Yesus tsb. hanya akan dipahami kalau kita terlebih dahulu mempelajari PL.

3. PERJANJIAN LAMA ADALAH BAYANG-BAYANG DARI APA YANG AKAN


DATANG (PB)

Seperti telah dibahas pada pelajaran sebelumnya bahwa dalam PL Allah telah menyatakan
tentang Diri-Nya dan rencana-Nya kepada manusia melalui sejarah bangsa Israel. Dari
bagaimana Allah berhubungan dengan bangsa Israel kita bisa memahami sifat-sifat Allah.
Juga dari hal-hal yang Allah nyatakan kita melihat kerinduan dan rencana Allah untuk
memanggil bangsa Israel dan bangsa-bangsa lain untuk kembali kepada-Nya dan bersekutu
dengan-Nya. Namun demikian tidak mudah memahami secara penuh PL, baik yang
menceritakan sifat-sifat, kerinduan atau rencana Allah, karena PL banyak sekali dipenuhi
dengan simbol-simbol, gambaran-gambaran dan nubuatan-nubuatan yang tidak dapat secara
langsung dimengerti maksudnya. Banyak dari simbol-simbol, gambaran-gambaran,
nubuatan- nubuatan, dan hukum-hukum dan upacara-upacara yang ditujukan sebagai janji
dan menjadi bayang-bayang untuk hal-hal yang akan Allah lakukan dan genapi di masa yang
Perjanjian Baru (Ibr. 10:1). Oleh karena itu untuk mengerti hal-hal yang Allah nyatakan
dalam PL kita perlu sekali mendapatkan penerangan dari PB. Tanpa diterangi oleh PB, maka
PL akan selamanya menjadi kitab-kitab yang misterius yang tidak akan dipahami beritanya.

4. YESUS KRISTUS ADALAH PUNCAK DARI BERITA PL DAN PB

Kemanakah sebenarnya PL ingin memimpin pembacanya? Kepada Kristus! Kristus adalah


puncak berita yang ingin disampaikan oleh Alkitab, karena Ia adalah Pengantara bagi
Perjanjian yang baru (Ibr. 9:15). Seluruh rangkaian peristiwa PL, juga termasuk pengajaran-
pengajaran hukum dan nubuatan-nubuatan yang disampaikan oleh para nabi-nabi PL,
semuanya itu (baik secara langsung maupun tidak langsung) menunjuk kepada gambaran
akan kedatangan, hidup dan misi Kristus di dunia ini, yaitu melaksanakan rencana
keselamatan Allah kepada manusia.

Bukti-bukti Alkitab

a. Yesus adalah pusat dari sejarah PL


Ketika berjalan dengan dua murid di jalan Emaus, Lukas mencatat bahwa "Ia (Yesus)
menjelaskan kepada mereka apa YANG TERTULIS TENTANG DIA dalam SELURUH
KITAB SUCI, mulai dari KITAB-KITAB MUSA dan segala KITAB NABI-NABI."

b. Yesus adalah penggenapan Hukum Taurat


Dalam Mat. 5:17 Yesus berkata, "jangan kamu menyangka, bahwa Aku datang untuk
meniadakan HUKUM TAURAT atau KITAB PARA NABI. Aku datang bukan untuk
meniadakannya, melainkan untuk menggenapinya."

c. Yesus adalah penggenapan dari nubuat-nubuat PL


Tuhan Yesus berkata kepada 10 murid-Nya yang dicatat di Lukas 24:44-47, "Inilah
perkataan-Ku, yang telah Kukatakan kepadamu ketika Aku masih bersama dengan kamu,
yakni bahwa harus digenapi semua YANG ADA TERTULIS tentang AKU dalam KITAB
TAURAT MUSA dan KITAB NABI-NABI DAN KITAB MAZMUR. Lalu Ia membuka
pikiran mereka, sehingga mereka mengerti Kitab Suci. Kata-Nya kepada mereka: Áda
tertulis demikian: Mesias harus menderita dan bangkit dari antara orang mati pada hari yang
ketiga, dan lagi: dalam nama-Nya berita tentang pertobatan dan pengampunan dosa harus
disampaikan
kepada segala bangsa, mulai dari Yerusalem."

Namun suatu teguran yang sangat ironis karena sekalipun Allah telah menyatakan maksud
rencana-Nya dalam Yesus Kristus melalui para nabi dan utusan-utusan-Nya, bangsa Israel
tetap saja menolak Yesus dan tidak mau menerima Dia. Seperti yang dikatakan dalam Yoh.
5:39 and 40, ketika Yesus sedang bercakap-cakap dengan orang-orang Yahudi, Ia berkata:
"Kamu menyelidiki KITAB-KITAB SUCI, sebab kamu menyangka bahwa oleh-Nya kamu
mempunyai hidup yang kekal, tetapi walaupun Kitab- kitab Suci itu memberi kesaksian
tentang Aku, namun kamu TIDAK MAU DATANG KEPADA-KU untuk memperoleh
hidup itu."

Oleh karena itu pada bahasan yang terakhir ini, marilah kita menyadari betapa pentingnya
menempatkan Kristus sebagai pusat sejarah PL dan PB karena di dalam Kristuslah kita dapat
melihat kepenuhan Allah dinyatakan. Biarlah mulai saat ini kita bisa melihat PL dengan
terang PB untuk kita dapat menggali kekayaan Firman Tuhan (Alkitab) ini dengan sebaik
mungkin. Seperti teladan penulis-penulis PB yang menggunakan PL untuk
menjelaskan tentang Yesus dan juga menggunakan Yesus untuk menjelaskan PL.

5. HUBUNGAN PERJANJIAN LAMA DAN PERJANJIAN BARU

Gereja Yesus Kristus hanya dapat hidup apabila dibangun di atas Firman Allah, yaitu
Alkitab. Tidak ada hal lain yang dapat menjamin bahwa Gereja secara keseluruhan, atau
anggota-anggotanya secara perorangan, akan dapat berdiri teguh. Setiap orang yang ingin
menjadi orang Kristen harus menerima petunjuk-petunjuk dan petunjuk-petunjuk itu
didasarkan pada Alkitab. Iman Kristen dipelihara dengan pelajaran- pelajaran Alkitab.

Tetapi Alkitab tidak selamanya mudah dimengerti. Dan salah pengertian dapat menimbulkan
bidat. Bidat adalah suatu cara berpikir dan kepercayaan yang tidak sesuai dengan ajaran
Firman Allah secara keseluruhan. Bidat mengambil sebagian dari ajaran Alkitab dan
menganggap hal itu sebagai sesuatu yang utama, sedangkan hal-hal yang lain yang tidak
kurang pentingnya, sama sekali dikesampingkan. Misalnya, kita mengambil sebagian dari
ajaran Paulus tentang perkawinan (I Korintus 7) dan mengatakan bahwa perkawinan itu
dilarang dan semua orang yang hidup bersama sebagai keluarga, tidak menaati Firman
Allah. Tetapi, itu bukanlah ajaran seluruh Alkitab. Kita harus menempatkan kata-kata Rasul
Paulus itu pada tempat yang sebenarnya dan dalam hubungan dengan ayat-ayat sebelum dan
sesudahnya Jika tidak, kita akan sesat.
Alkitab itu terdiri dari dua bagian: Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Kita akan
mempelajari hubungan antara keduanya. Apakah masing- masing mempunyai nilai dan arti
yang sama? Apakah ada perbedaan- perbedaannya? Jika ada, apakah perbedaannya.

Gereja Kristen yang mula-mula mempunyai dua pedoman Alkitab bangsa Yahudi, yaitu
Perjanjian Lama dan ucapan-ucapan serta ajaran Yesus. Kemudian surat-surat para rasul dan
kitab-kitab lain digabungkan dengan Injil sehingga terbentuklah Perjanjian Baru.
Kebanyakan orang Kristen yang mula-mula itu adalah bangsa Yahudi. Tetapi ada banyak
pertentangan antara orang-orang Yahudi dan orang- orang Kristen. Oleh karena itu, dengan
segera orang Kristen harus membuat keputusan tentang sikap mereka terhadap Perjanjian
Lama. Mereka tetap mengakui bahwa Perjanjian lama adalah Firman Allah. Namun mereka
bukan lagi orang-orang Yahudi, mereka adalah murid-murid Mesias, Mesias yang tidak
diakui oleh bangsa Yahudi yang masih kukuh berbegang kepada adatnya. Ada tiga macam
pandangan terhadap Perjanjian Lama:

1. Yang pertama: Gereja itu menyatakan Yesus sebagai Tuhannya, dan hanya Perjanjian
Baru yang menceritakan tentang kehidupanNya dan ajaranNya. Oleh sebab itu, tidak ada
gunanya kita berpegang pada Perjanjian Lama. Pada abad kedua, seseorang bernama
Marcion mencoba agar pendapat ini diterima oleh gereja. Tetapi untung Gereja memutuskan
bahwa ia adalah seorang yang sesat dan ajarannya itu salah serta
membahayakan.

2. Yang kedua. Gereja itu didirikan atas dasar Firman Allah dan Yesus selalu emngutip
Perjanjian Lama dan mengakui bahwa Perjanjian Lama adalah sama seperti Perjanjian Baru
serta mempunyai wewenang yang sama.

Pendapat ini mungkin nampaknya sangat kuat, tetapi ada bahayanya. Untuk menunjukkan
bahwa Injil terdapat dalam Kitab Imamat, misalnya, maka kitab itu harus ditafsirkan dengan
cara yang sangat aneh. Pada abad yang pertama, tafsiran semacam itu sangat populer dan
para cendekiawan, seperti Origen, membahas Perjanjian Lama dengan cara demikian.
Tetapi, baik orang-orang Yahudi maupun orang-orang kafir merasa berkeberatan sebab cara
menafsirkan Alkitab seperti itu tidak jujur. Anda dapat membuatnya sesuka hati anda.
Keberatan yang lebih besar adalah: jika di dalam segala hal Perjanjian lama itu sama dengan
Perjanjian Baru, apa gunanya Yesus datang? Di mana letak nilai berita yang dibawaNya dan
pekerjaan yang dilakukanNya? Apakah Gereja Kristen memiliki alasan yang
kuat untuk hidup?

3. Pandangan yang lain: Perjanjian Lama itu tidak dapat dihilangkan, karena tanpa
Perjanjian lama, kita tidak dapat mengerti Perjanjian Baru. Kedua "Perjanjian" itu tidak
sama. Masing-masing merupakan sebagian dari satu keseluruhan: keduanya seia sekata,
karena Alkitab itu satu. Tetapi keduanya berbeda dalam hal isi dan cara memandang
peristiwa-peristiwa.

6. YANG LAMA DAN YANG BARU MASALAHNYA

Bagi orang Kristen, PL senantiasa penting karena kutipannya terdapat pada hampir setiap
halaman PB. Namun, PL juga menjadi masalah bagi kekristenan dan bahkan sejak masa
awal gereja makna dan relevansi PL telah menjadi sumber perdebatan dan kontroversi yang
hangat. Hal-hal tersebut merupakan salah satu isu yang menyebabkan gesekan dan
perpecahan dari gereja-gereja muda di tahun-tahun segera setelah kematian dan kebangkitan
Yesus. Yesus sendiri telah mengklaim bahwa hidup-Nya sendiri adalah penggenapan PL.
Namun banyak tindakan-Nya seakan mengabaikan pengajaran-pengajaran utama PL (Mat.
5:17), terutama pada subjek seperti peraturan Sabat (Mrk 2:23-28), hukum mengenai
makanan (Mrk. 7:14-23), bahkan juga beberapa pengajaran moralnya (Mat. 5:21-48). Jadi,
otoritas seperti apakah seharusnya dimiliki PL dalam

kehidupan pengikut-pengikut Yesus?

Tidak timbul masalah khusus bagi generasi pertama Kristen yang adalah juga orang Yahudi.
Sejauh ini, mereka terus mengikuti cara hidup yang sudah mereka terima sejak kecil, yang
mendasarkan diri kepada PL sesuai yang dimengerti oleh agama Yahudi abad pertama.
Namun, setelah jelas bahwa berita Kristen ditujukan kepada orang-orang non-Yahudi, dan
bahwa orang Romawi dan Yunani juga bisa menjadi pengikut Yesus, pertanyaan mengenai
otoritas PL muncul dalam bentuk yang lebih mendesak. Apakah orang kafir perlu menjadi
Yahudi terlebih dahulu sebelum menjadi Kristen? Paulus dan penulis PB dengan tegas
menjawab: tidak perlu (Gal., lPet., Ibr.). Namun, mereka tetap menerima PL sebagai kitab
suci mereka, dan sering menggunakannya sebagai dasar penjelasan iman Kristen.

Justru di sinilah letak masalahnya. Kalau bagian-bagian tertentu PL bisa diabaikan sebagai
tidak relevan lagi bagi iman dan tindakan Kristen, bagaimana kita bisa membedakannya,
dan apa yang harus kita lakukan dengan bagian sisanya?

Mencari Jalan Keluar

Pertanyaan mengenai hubungan antara PL dan PB diungkapkan dengan lantang oleh seorang
Kristen abad ke-2, Marcion. Ia bukan hanya melihat sikap para rasul yang ambigu mengenai
masalah ini, tetapi ia juga memperhatikan masalah-masalah lain di dalam kepercayaan
Kristen kepada PL. Yesus telah berbicara tentang kasih Allah yang memedulikan
kesejahteraan semua manusia. Akan tetapi, ketika membaca PL, Marcion sering melihat
gambaran Allah yang agak berbeda, di mana Ia kelihatannya dihubungkan dengan
kekejaman dan kebuasan yang ekstrem. Jauh dari kehendak menyelamatkan manusia, Ia
kadang-kadang dihubungkan dengan penghancuran mereka. Tentu saja, Marcion sedikit
melenceng di dalam melihat gambaran itu: penghakiman yang keras merupakan bagian
penting dari pengajaran Yesus, dan kasih Allah tidak pernah absen dari
iman PL, seperti yang telah kita lihat dalam berbagai cara.

Namun, bagaimanapun pembaca modern seringkali merasakan hal yang sama, dan beberapa
orang Kristen sekarang akan mengalami kesulitan untuk mendamaikan beberapa aspek dari
pandangan PL tentang Allah dengan apa yang mereka anggap sebagai pandangan umum
Kristen tentang PB. Selain permasalahan yang diangkat oleh Marcion, mereka juga
menunjuk kepada perbedaan antara berita kasih Allah yang universal dalam Yesaya 40-55
dengan apa yang tampak sebagai suatu nasionalisme sempit dari kitab seperti Ezra. Bahkan
penafsir yang ulung sekalipun sangat kesulitan untuk mendamaikan sikap sentimentil
Mazmur 137:8-9 dengan pernyataan untuk mengasihi musuh di dalam khotbah di bukit
Yesus (Mat. 5:43-48). Juga, banyak orang sekarang ini sulit memahami beberapa aspek
ibadah PL, terutama persembahan korban yang (paling tidak menurut pandangan
barat) kelihatannya primitif dan kejam, bahkan sama sekali tidak masuk akal.

Jawaban Marcion terhadap semua ini adalah sederhana: robek PL dan buang ke dalam
tempat sampah! Namun pandangan itu tidak didukung secara luas oleh gereja awal, terlebih
karena Marcion juga ingin menyingkirkan sebagian besar PB. Hal itu kelihatannya
menimbulkan tanda tanya terus akan kesejatian iman Kristennya.

Namun, para pemimpin gereja mula-mula dapat mengerti dengan cukup baik permasalahan
yang dipertanyakan Marcion. Pertanyaan mengenai PL itu sungguh nyata. Kalau kedatangan
Yesus adalah tindakan yang baru dan menentukan dari Allah dalam dunia ini, lalu apa
relevansinya yang dapat dimiliki sejarah umat purba untuk iman di dalam
Yesus?

Jawaban umum yang diberikan ialah bahwa ketika PL dimengerti dengan tepat maka PL
akan mengatakan hal yang persis sama dengan yang dikatakan PB. Namun, untuk dapat
membuktikan hal ini maka perlulah menafsirkan PL sedemikian sehingga dapat
menunjukkan bahwa arti sebenarnya entah bagaimana tersembunyi bagi pembaca biasa.

Secara kebetulan, sarjana-sarjana Yahudi telah menghadapi pertanyaan ini dalam konteks
yang berbeda. Lebih dari satu abad sebelumnya, penafsir agung Yahudi, Filo (sekitar 20SM-
45M), yang tinggal di Aleksandria, Mesir, telah mencoba menyelaraskan PL dengan
pemikiran para filsuf besar Yunani. Ada sedikit kaitan yang jelas antara PL dengan filsafat
Yunani. Namun, dengan menerapkan penafsiran alegoris yang mistis terhadap PL, Filo
berhasil menunjukkan (paling tidak sampai ia merasa puas) bahwa Musa dan para penulis
PL lainnya sebenarnya telah menyatakan kebenaran-kebenaran filsafat Yunani beberapa
abad sebelum para pemikir Yunani memikirkannya!

Beberapa pemimpin Kristen awal, terutama mereka yang di Aleksandria, mengadopsi


pendekatan seperti ini dengan penuh semangat. Mereka segera juga menggunakan teknik
yang sama untuk menunjukkan bahwa PL memuat segala sesuatu yang ada dalam PB, bagi
mereka yang memiliki mata untuk melihat.
Bahkan hal-hal mendetail yang kelihatannya tidak penting dari kisah PL dijadikan lambang-
lambang bagi Injil Kristen. Apa pun yang berwarna merah dapat dimengerti sebagai
referensi kepada kematian Yesus di kayu Salib (sebagai contoh, lembu betina merah dari
Bil.19, tali kirmizinya Rahab dari Yos. 2:18). Air kemudian menjadi gambaran akan
baptisan Kristen. Kisah Keluaran, dengan kombinasi dengan darah (di ambang pintu pada
saat Paskah) dan air (ketika menyeberangi laut Teberau), menghasilkan banyak penjelasan
yang kompleks akan hubungan antara salib dan keselamatan Kristen, juga dengan dua
sakramen
Kristen, baptisan dan perjamuan kudus!
Uskup Hilary dari Poitiers, Perancis (315-368 M) menjelaskan cara pembacaan PL ini
sebagai berikut:

"Setiap karya yang termuat di dalam kitab-kitab suci mengumumkan melalui kata,
menjelaskan melalui fakta, dan mensahkan melalui contoh- contoh kedatangan Tuhan kita
Yesus Kristus .... Sejak permulaan dunia ini, Kristus melalui prafigurasi yang otentik dan
mutlak dalam pribadi para patriakh melahirkan, membersihkan, menguduskan, memilih,
memisahkan dan menebus gereja: melalui tidurnya Adam, banjir besar pada masa Nuh,
berkat dari Melkisedek, pembenaran Abraham, kelahiran Ishak, penawanan Yakub ... Tujuan
karya ini adalah untuk menunjukkan bahwa dalam setiap pribadi dalam setiap masa, dan
dalam setiap tindakan, gambaran tentang kedatangan, pengajaran, kebangkitan-Nya, dan
tentang gereja kita direfleksikan seperti pada cermin"
(Hilary, Introduction to The Treatise of Mysteries).

Tidak semua pemimpin gereja senang dengan pendekatan terhadap PL di atas: terutama
mereka yang berhubungan dengan pusat Kekristenan besar lainnya di Antiokhia, Siria.
Namun, biasanya diterima begitu saja bahwa PL adalah kitab Kristen, dan dengan satu dan
lain cara isinya berkaitan dengan kepercayaan mendasar teologi Kristen.

Selama Reformasi Protestan, keseluruhan pokok pembicaraan ini sekali lagi dibuka untuk
diperiksa. Martin Luther (1483-1546) dan John Calvin (1509-1564) menekankan pentingnya
mengerti iman PL berdasarkan konteks sejarah dan sosialnya. Dalam hal ini, pendekatan
mereka tidaklah berbeda dari pendekatan banyak sarjana modern. Namun, Luther ingin
membedakan nilai PL dari PB dengan melihat PL sebagai Taurat dan PB sebagai Injil. Hal
ini memberikan kepadanya alat yang baik untuk memisahkan gandum Injil sejati (menurut
Luther ditemukan pada surat- surat Paulus) dari jerami legalisme yang sudah diganti
(diidentifikasikan dengan PL dan kekristenan Yahudi). Pemikiran ini telah sangat
mempengaruhi kesarjanaan Alkitab sampai masa kini. Akan tetapi, pandangan ini keliru
dalam beberapa hal mendasar:

• Pandangan ini mengabaikan fakta bahwa Taurat bukan dasar iman PL dan juga tidak sama
sekali tidak ada di dalam PB. Di dalam PL maupun PB, Taurat diletakkan di dalam konteks
pemahaman perjanjian dengan kasih Allah sebagai prinsip dasarnya.
• Luther sangat keliru mengidentifikasikan Yudaisme dengan legalisme moralistis. Hal ini
sangat tidak adil bahkan terhadap pandangan Farisi yang jelas-jelas ditolak oleh Paulus.
Dalam hal ini, Luther membiarkan reaksinya sendiri terhadap kekristenan Roma Katholik
untuk mewarnai pandangannya terhadap iman PL.

Calvin mengenali beberapa kekurangan ini, dan sebaliknya menekankan kepentingan dari
tema perjanjian di PL dan PB. Dengan perbandingan yang teliti akan hubungan Allah
dengan umat Israel purba dan dengan gereja Kristen, Calvin mampu mengklaim bahwa dua
bagian dari Alkitab Kristen tersebut disatukan oleh suatu pewahyuan yang progresif, di
mana janji-janji purba yang diberikan kepada Israel dalam PL mencapai puncaknya di dalam
kehidupan gereja Kristen. Pandangan ini bukan tidak memiliki kesulitannya sendiri. Namun,
paling tidak pandangan ini mencoba untuk melihat iman PL secara serius. Pandangan Calvin
ini masih dipegang oleh banyak orang dari kelompok Kristen konservatif.

Setelah Reformasi, pertanyaan mengenai PL sebagai kitab Kristen tersimpan dengan rapi
sampai pada generasi kita. Zaman pencerahan Eropa, dengan tekanan kepada memahami PL
sebagai koleksi kitab-kitab kuno dalam konteks masanya sendiri, membawa penyelidikan
para sarjana ke arah lain. Namun, dalam 100 tabun terakhir atau lebih ini, pertanyaan
teologis tadi telah mencuat ke permukaan lagi. Hal penting yang mendorongnya adalah
gerakan Nazi di negara Jerman modern. Perasaan anti Yahudi yang diciptakan oleh Nazi
telah berdampak pada gereja-gereja Jerman sendiri, dan kehadiran PL di dalam Alkitab
Kristen menjadi isu politis yang membara sekaligus menjadi bahan kajian teologis.
Sejumlah teolog Jerman mulai mengadopsi sikap yang sama seperti Marcion. Namun,
banyak sarjana Kristen Jerman yang memberikan penilaian positif terhadap signifikansi PL,
walaupun mereka menghadapi tekanan secara politik. Sarjana-sarjana seperti Walter
Eichrodt dan Gerhard von Rad bahkan juga teolog Swiss, Karl Barth, justru menghasilkan
karya-karya yang paling kreatif pada masa tersebut.

Sekarang ini, umat Kristen mengadopsi berbagai sikap terhadap nilai PL:

• Ada yang ingin memberikan PL nilai dan otoritas yang sama dengan PB, dengan dasar
bahwa setiap kata di dalam keduanya adalah kata-kata Allah sendiri secara langsung.
Namun, kita harus cukup berhati-hati untuk tidak terlalu gampang menerima gambaran
seperti ini karena ada sejumlah pengajaran Yesus sendiri yang dalam berita-Nya jelas
menunjukkan sikap penolakan atau perevisian yang sangat radikal terhadap beberapa
aspek mendasar dari pengajaran PL.

• Orang lain memperdebatkan bahwa PL digantikan seluruhnya oleh PB, sehingga bisa
disingkirkan. Di sini kita juga harus memelihara suatu keseimbangan yang teliti yang kita
temukan pada pengajaran Yesus sendiri karena Yesus juga menguraikan pelayanan-Nya
dalam segi tertentu menggenapi PL. Kita bisa secara sah mendebatkan artinya, namun ini
pastilah harus mengikutsertakan asumsi bahwa PL memiliki sesuatu untuk kekristenan dan
karenanya memiliki tempat yang sah di dalam Alkitab Kristen.

• Beberapa orang mencoba membedakan antara beberapa bagian dari PL. Mereka akan
memisahkan hal-hal seperti hukum-hukum tentang imam, persembahan korban, dan
ketahiran (yang tidak lagi dilakukan oleh Kristen) dari bagian-bagian lain seperti Dekalog
dan pengajaran- pengajaran moral dari para nabi (yang dianggap masih relevan). Calvin
melakukan pembagian yang serupa. Namun, jauh lebih mudah membagi seperti itu daripada
membuktikan kebenarannya. Dengan menyingkirkan unsur-unsur yang kelihatannya tidak
relevan itu, kita sebenarnya sedang menggeser beberapa aspek paling dasar dari iman PL.
Sebagai tambahan, PB justru paling sering menemukan korelasi antara iman PL dengan
kepercayaan Kristen tentang Yesus di dalam konsep-konsep seperti
persembahan kurban.

• Juga umum bagi orang Kristen untuk berbicara tentang pewahyuan progresif kehendak dan
sifat Allah yang mengaliri kedua perjanjian tersebut. Pandangan ini mengatakan bahwa
kehendak Allah dinyatakan melalui sejumlah tahapan, disesuaikan secara kasar dengan
kapasitas manusia untuk memahaminya. Jadi, beberapa dari bagian yang lebih sulit dari PL
dapat dijelaskan sebagai sesuai dengan masa primitif, yang kemudian diganti dengan
pandangan yang lebih maju, dan memuncak pada pengajaran Yesus tentang Allah yang
adalah kasih. Namun ini adalah ide yang tidak menolong karena didasarkan kepada ide
evolusioner yang sudah ketinggalan zaman mengenai perkembangan moral yang tidak
terhindarkan dalam diri manusia. Pandangan ini juga mencampuradukkan pernyataan
tentang Allah sebagaimana Dia adanya dengan pernyataan tentang apa yang manusia,
pikirkan tentang Dia. Sebagai tambahan pandangan ini memuat juga implikasi yang
meragukan bahwa orang modern pasti mengetahui lebih banyak mengenai kehendak Allah
dan lebih taat kepadanya daripada para bapa leluhur, nabi-nabi, dan tokoh-tokoh utama
kisah PL.

Disusun oleh
Dason Yalif

Anda mungkin juga menyukai