Anda di halaman 1dari 2

NAMA : NURISMA DEVI WAHYUNINGSIH

NIM : I011211151

KELOMPOK : 4

TUGAS PEKAN KE-1

Sumber Historis, Sosiologis, dan Politik tentang Pendidikan Kewarganegaraan di Indonesia

Untuk memahami pendidikan kewarganegaraan di Indonesia, pengkajian dapat


dilakukan secara historis, sosiologis, dan politis. Secara historis, pendidikan
kewarganegaraan dalam arti substansi telah dimulai jauh sebelum Indonesia diproklamasikan
sebagai negara merdeka. Bangsa Indonesia telah mengalami berbagai tantangan untuk
menjadi sebuah negara yang diakui oleh dunia. Kolonialisme yang menyebabkan bangsa
Indonesia, yang mendiami wilayah nusantara menjadi bodoh, hina, dan miskin. Di balik itu,
penjajahan juga telah menjadi pelajaran bagi bangsa Indonesia tentang demokrasi, ilmu dan
teknologi, serta ekonomi.

Identitas nasional Indonesia ditandai ketika munculnya kesadaran rakyat Indonesia


sebagai bangsa yang sedang dijajah oleh bangsa asing pada tahun 1908 yang dikenal dengan
masa Kebangkitan Nasional (Budi Utomo). Keberhasilan Gerakan ini, memunculkan sikap
pemuda Indonesia yang gagah berani dan dengan tegas mengikrarkan Sumpah Pemuda (28
Oktober 1928). Sumpah Pemuda mencerminkan wawasan geografi (tanah air), wawasan
kebangsaan (bangsa), wawasan budaya (bahasa) yang hakikatnya adalah awal tumbuhnya
wawasan kebangsaan Indonesia. Pada tahun 1930-an, organisasi kebangsaan baik yang
berjuang secara terang-terangan maupun diam-diam, baik didalam negeri maupun diluar
negeri tumbuh bagaikan jamur dimusim Pendidikan Kewarganegaraan | 9 hujan. Organisasi-
organisasi tersebut bergerak dan bertujuan membangun rasa kebangsaan dan mencita-citakan
Indonesia merdeka. Keberanian pemuda Indonesia berjuang yang tak kenal lelah dan penuh
semangat ini akhirnya membawa bangsa Indonesia pada kemerdekaan bangsanya, sebagai
penentu eksitensi bangsa Indonesia yang mengikrarkan dan memproklamasikan kemerdekaan
pada tanggal 17 Agustus 1945. Setelah Indonesia menyatakan kemerdekaan, bangsa
Indonesia masih harus berjuang mempertahankan kemerdekaan karena ternyata penjajah
belum mengakui kemerdekaan dan belum ikhlas melepaskan Indonesia sebagai wilayah
jajahannya. Oleh karena itu, dari periode pasca kemerdekaan Indonesia tahun 1945 sampai
saat ini, bangsa Indonesia sudah berusaha mengisi perjuangan mempertahankan kemerdekaan
melalui berbagai cara, baik perjuangan fisik maupun diplomatis. Meskipun perjuangan
mencapai kemerdekaan telah selesai namun, tantangan untuk menjaga dan mempertahankan
kemerdekaan yang hakiki belum selesai.

Secara sosiologis, bangsa Indonesia memiliki budaya yang beragam dan multikultur
berdasarkan etnis dan bahasa. Masyarakat Indonesia mengakui dan menghargai litas budaya,
betapa pun kecilnya. Perbedaan ini harus dipandang sebagai potensi kekuatan bangsa. Dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara, keragaman ini diikat dalam norma dan aturan untuk
menjaga harmoni kehidupan untuk mewujudkan kesadaran moral dan hokum.
Arus informasi yang berdampak pada goyahnya jati diri bangsa, diperlukan
komitmen kebangsaan untuk mewujudkan cinta tanah air, kesadaran bela negara, persatuan
nasional dalam suasana saling menghargai keberagaman. Persatuan dan keberagaman
budaya, adat istiadat, tradisi harus dibina dan ditingkatkan secara demokratis, terpola dan
terus menerus.

Secara politis, pendidikan kewarganegaraan mulai dikenal dalam pendidikan sekolah


dapat digali dari dokumen kurikulum sejak tahun 1957. Menurut Somantri (1972)
menjabarkan bahwa pada masa orde lama mulai dikenal istilah kewarganegaraan (1957),
civics (1962), dan pendidikan kewarganegaraan negara (1968). Pada masa awal orde lama
sekitar tahun 1957, isi mata pelajaran PKn membahas cara pemerolehan dan kehilangan
kewarganegaraan, sedangkan dalam Civics (1961) lebih banyak membahas tentang sejarah
Kebangkitan Nasional, UUD, pidatopidato politik kenegaraan yang terutama diarahkan untuk
“nation and character building” bangsa Indonesia.

Pada awal pemerintahan orde baru, kurikulum sekolah yang berlaku dinamakan
kurikulum 1968. Didalam kurikulum tersebut tercantum mata pelajaran kewarganegaraan
negara. Dalam mata pelajaran tersebut materi maupun metode yang bersifat indoktrinatif
dihilangkan dan diubah dengan materi dan metode pembelajaran baru yang dikelompokan
menjadi Kelompok Pembinaan Jiwa Pancasila, sebagaimana tertera dalam Kurikulum
Sekolah Dasar (SD) 1968. Dalam kurikulum tersebut pendidikan kewarganegaraan negara
mencangkup sejarah indonesia, ilmu bumi, dan pengetahuan kewargaan negara, diberikan
selama masa pendidikan enam tahun. Sedangkan dalam kurikulum Sekolah Menengah 1968
untuk jenjang SMA pendidikan kewarganegaraan negara mencangkup Pancasila dan UUD
1945, ketetapan-ketetapan MPRS 1966 dan selanjutnya, pengetahuan umum tentang PBB.
Dalam kurikulum 1968, mata pelajaran PKn merupakan mata pelajaran wajib untuk SMA.
Pendekatan pembelajaran yang digunakan adalah pendekatan kolerasi, yang artinya mata
pelajaran PKn dikolerasikan dengan mata pejaran lain seperti sejarah Indonesia, ilmu bumi
Indonesia, HAM, dan ekonomi.

Selanjutnya, kurikulum berubah menjadi Kurikulum Sekolah Tahun 1975. Nama mata
pelajaran pun berubah menjadi pendidikan Moral Pancasila dengan kajian materi secara
khusus menyangkut Pancasila dan UUD 1945 yang dipisahkan dari mata pelajaran sejarah,
ilmu bumi, dan ekonomi. Hal-hal yang menyangkut Pancasila dan UUD 1945 berdiri sendiri
dengan nama Pendidikan Moral Pancasila (PMP), sedangkan gabungan mata pelajaran
sejarah, ilmu bumi, dan ekonomi menjadi mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS).

Pasca orde baru hingga saat ini, nama mata pelajaran pendidikan kewarganegaraan
kembali mengalami perubahan. Perubahan tersebut dapat diidentifikasi dari dokumen mata
pelajaran PKn (2006) menjadi mata pelajaran Pkn (2013). Jadi secara politis, PKn di
Indonesia akan terus mengalami perubahan sejalan dengan perubahan system ketatanegaraan
dan pemerintahan, terutama perubahan konstitusi.

Anda mungkin juga menyukai