Anda di halaman 1dari 31

Sumber: freepik.

com

Jilid 1
Kajian RZWP3K
Rencana Zonasi Wilayah Pesisir
dan Pulau-Pulau Kecil
endahuluan
Sumberdaya Pesisir dan Pulau-pulau Kecil adalah sumber daya
hayati, sumberdaya non hayati, sumber daya buatan serta keseluruhan
ekosistem permukaan dasar laut yang memiliki hubungan dengan
kelautan dan perikanan juga energi terbarukan gelombang laut yang
terdiri di wilayah pesisir. Wilayah pesisir merupakan 15% dari daratan
bumi, tetapi 50%-70% manusia hidup dan bekerja di wilayah ini dan
meskipun wilayah pesisir adalah 8% dari muka bumi, tetapi
menghasilkan 26% produksi biologis global, terutama perikanan. Tentu
dengan luas tersebut jika dikalikan dengan total wilayah Indonesia
bukanlah termasuk angka yang kecil. Wilayah pesisir dan pulau kecil
memerlukan pengelolaan yang lebih spesifik lagi karena dengan
seluruh potensinya yang berkelimpahan dapat menimbulkan
perpecahan berbagai kepentingan yang bertolak belakang.
Potensi sumberdaya pesisir dan lautan tersebut meliputi sumber-
daya yang dapat diperbarui seperti perikanan tangkap dan budidaya,
farmasi kelautan, sumberdaya yang tak dapat diperbarui seperti gas,
minyak bumi, bahan tambang juga mineral, potensi energi kelautan
antara lain pasang surut, gelombang, arus laut, angin, dan jasa-jasa
lingkungan yang meliputi pariwisata, perhubungan dan kepelabuhan.
Menurut data KKP (2014) nilai dan kekayaan sektor kelautan dan
perikanan mencapai US $ 117 atau setara Rp 1.710 triliun/tahun. Hal ini
menjadi salah satu hal yang melatarbelakangi dibuatnya UU No 1 Tahun
2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Tujuan
penyusunan Undang-Undang ini antara lain membuat penegakan
hukum tertulis untuk pengelolaan pulau-pulau kecil dan pesisir yang
dapat memberikan kepastian dan perlindungan hukum dan
membangun sinergi antara pemerintah pusat dan daerah dalam
pengelolaan daerah untuk mensejahterakan masyarakat. Ruang lingkup
Undang-Undang ini mencakup perencanaan, pengelolaan, pengawasan,
dan pengendalian. Namun, apakah Undang-Undang tersebut sudah
sesuai dengan Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia 2045? Oleh
karena itu, kajian ini hadir untuk mengkaji dan mengetahui sudah
sejauh mana Indonesia sebagai Poros Maritim dengan Ekonomi Biru
2045. Serta apakah kondisi tersebut mampu diwujudkan dengan
mempertimbangkan kesejahteraan nelayan. Hal berikut akan dibahas
dalam kajian ini.

I
Landasan Hukum
dan Perumusan

01
Perda RZWP3K

Bagian

Sumber: freepik.com
Landasan Hukum dan
Perumusan Perda RZWP3K
Menurut Undang-Undang nomor 1 tahun 2014 juncto Undang-Undang
nomor 27 tahun 2007 menulis tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan
Pulau-pulau Kecil. Dalam UU ini mengisyaratkan untuk dilakukannya
zonasi wilayah-wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang dapat
dimanfaatkan untuk kebaikan dan kesejahteraan bersama. Bahkan, pada
pasal 16 disebutkan bahwa setiap orang yang memanfaatkan wilayah
pesisir dan pulau-pulau kecil harus memiliki izin lokasi dan dipertegas
dalam pasal 17 dengan memberikan rencana zonasi pada wilayah pesisir
dan pulau-pulau kecil untuk mempertimbangkan kelestarian ekosistem,
masyarakat, nelayan tradisional, dan hak lintas damai bagi kapal asing.
Selanjutnya, pengaturan pengelolaan ruang laut ini diperkuat dengan UU
nomor 32 tahun 2014 tentang Kelautan pasal 22 yang menegaskan dalam
pemanfaatan sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil bertujuan untuk
melindungi, mengkonservasi, merehabilitasi, dan memperkaya
sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil secara berkelanjutan dengan
mengedepankan keharmonisan antara Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah (Pemda) serta diperkuat dengan peran serta
masyarakat dan lembaga pemerintah untuk mendorong inisiatif
masyarakat agar meningkatkan nilai sosial, ekonomi, dan budaya
masyarakat dalam pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya pesisir dan
pulau-pulau kecil sehingga tercapainya keadilan, keseimbangan, dan
keberlanjutan. Pada pasal 43 juga menegaskan bahwa perencanaan
pengelolaan ruang laut dilakukan dengan perencanaan zonasi wilayah
pesisir dan pulau-pulau kecil.
Ketentuan selanjutnya dalam menyusun zonasi ini tertuang pada
ruang lingkup Permen KP nomor 23 tahun 2016 tentang Perencanaan
Pengelolaan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Ruang lingkup RZWP3K ini
dijelaskan pada bagian kedua pada Permen tersebut dari pasal 17 sampai
pasal 34. Menurut pasal 17 dijelaskan bahwa RZWP3K di susun oleh
Pemerintah Daerah berupa Peraturan Daerah dengan mengacu pada
Rencana Tata Ruang Laut Nasional (RTRLN), Rencana Zonasi Kawasan
Laut, Rencana Strategis Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (RSWP3K).
Pemerintah daerah dalam menyusun RZWP3K mulai dijelaskan pada
pasal 23 Permen tersebut.

2
Dalam menyusun perda RZWP3K, tiap daerah provinsi harus melibatkan
berbagai pihak dalam merumuskan zonasi wilayah pesisir dan
pulau-pulau kecil sebagaimana yang diamanatkan pada Permen KP
nomor 23 tahun 2016 pasal 28 ayat 1 yang berbunyi “Dinas melakukan
konsultasi publik dokumen awal RZWP-3-K sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 27 ayat (7), untuk mendapatkan masukan, tanggapan atau
saran perbaikan dari kementerian/lembaga/Instansi Terkait, DPRD, dinas
terkait, perguruan tinggi, LSM, ORMAS, Masyarakat, dunia usaha, dan
Pemangku Kepentingan Utama”.
RZWP-3-K dalam perancangannya membutuhkan beberapa
mekanisme yang cukup panjang, mekanisme ini merujuk pada Permen
KP Republik Indonesia Nomor 23/PERMEN-KP/2016 tentang perencanaan
pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Pemerintah provinsi
diberikan kuasa untuk menentukan rancangan sesuai dengan keadaan
daerahnya dengan membentuk kelompok kerja. Pemberian kekuasaan
perancangan karena pemerintah daerah lebih mengetahui kondisi aktual
dan potensi daerah tersebut. Berikut dibawah ini merupakan gambar
mekanisme penyusunan Raperda RZWP-3-K (Sudarto dan Novit 2019):

Pembentukan POKJA Konsultasi teknis


Pengumpulan dan
(Dinas-dinas) oleh peta tematik
pengolahan data
Gubernur

Konsultasi publik Konsultasi teknis Penyusunan


dokumen awal dokumen dokumen awal

Penyusunan Konsultasi teknis Konsultasi publik


Dokumen antara dokumen antara dokumen antara

Penyusunan
Penetapan
dokumen final

Gambar Mekanisme Penerapan dan Penyusunan Raperda RZWP3K

3
Pada proses perancangan Raperda RZWP-3-K,
pemerintah pusat tetap harus melakukan pemantauan kepada
pemerintah provinsi, dengan melakukan pengawasan dan
pemberian rekomendasi kebijakan. Pada penyusunan Raperda
RZWP-3-K dunia usaha berperan andil dalam melakukan usulan,
pada penyusunan rancangan Raperda RZWP-3-K harus terbuka
sehingga partisipasi publik (masyarakat) dalam penyusunan menjadi
point wajib atau penting. Dokumen RZWP-3-K harus
memperhatikan beberapa sistematika wajib, berikut merupakan
sistematika yang harus diperhatikan pada dokumen (Yurista dan
Wicaksono 2017):

a Adanya alokasi ruang dalam kawasan pemanfaatan


umum, kawasan konservasi, kawasan strategis
nasional tertentu, serta alur laut

b Keterkaitan antara ekosistem darat dan ekosistem


laut dalam suatu bioekoregion

c Penetapan pemanfaatan ruang laut

d
Penetapan prioritas kawasan laut untuk tujuan
konservasi, ekonomi, sosial budaya, industri
strategis, transportasi laut, pertahanan dan
keamanan.

Hasil dokumen RZWP-3-K yang dapat diklaim


sebagai perencanaan laut dihasilkan yaitu rencana tata ruang dan
laut nasional, rencana zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil,
rencana zonasi kawasan strategis nasional, rencana zonasi kawasan
strategis nasional tertentu, serta rencana zonasi kawasan antar
wilayah. Dokumen final RZWP-3-K yang telah dimintakan tanggapan
dan/atau saran kepada menteri ditetapkan dengan Peraturan
Gubernur, kemudian Peraturan Gubernur mengenai RZWP-3-K
disebarluaskan oleh gubernur kepada instansi pemerintah dan
pemangku kebijakan utama.

4
02
Bagian

Kawasan
yang Telah
Menerapkan
RZWP3K

Sumber: unsplash.com
Sumber: unsplash.com

Berdasarkan data yang dilansir oleh berita Bisnis.com, per-19 Januari 2020 sudah ada
27 provinsi yang menetapkan perda RZWP3K. Adapun provinsi yang telah menetapkan
RZWP3K antara lain Provinsi Kalimantan Utara, Sulawesi Barat, Nusa Tenggara Timur, DI
Yogyakarta, Jawa Barat dan sebagainya. Data terbaru menyebutkan satu provinsi lain
telah mengesahkan Perda RZWP3K pada 7 Januari 2021, yaitu Provinsi Banten. Total
sudah ada 28 provinsi yang mengesahkan perda RZWP3K. Pengesahan perda RZWP3K
di Provinsi Banten saat ini menimbulkan polemik. masyarakat menilai pengesahan
perda dilakukan tanpa adanya transparansi dan partisipasi masyarakat, khususnya
masyarakat pesisir. Hal ini tentu bertentangan dengan UU No. 1 tahun 2014 juncto
Undang-Undang Nomor 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil pasal 14 nomor 1 dan 2 yang menyebutkan bahwa usulan dan
mekanisme penyusunan RSWP-3-K, RZWP-3-K, RPWP-3-K, dan RAPWP-3-K dilakukan
oleh pemerintah daerah, masyarakat, dan dunia usaha. Bahkan Pemerintah Daerah
Banten tidak membuka dokumen Perda RZWP3K kepada masyarakat yang telah
disahkan supaya masyarakat tahu tentang isi dan hal-hal yang dapat tidak disetujui
masyarakat mengenai Perda ini.
Polemik juga terjadi di Provinsi Bangka Belitung. Dokumen rancangan zonasi
disahkan ketika banyak masyarakat yang menolak isi dokumen perda tersebut.
Lembaga Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) menilai Perda ini dapat
merusak dan mengancam kehidupan masyarakat pesisir terutama nelayan karena
masih adanya alokasi ruang untuk kegiatan tambang terutama di daerah pesisir. WALHI
berpendapat bahwa kegiatan tambang dapat merusak ekosistem terumbu karang yang
berimbas pada ketidakseimbangan ekosistem dan menurunnya hasil tangkapan
nelayan. Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) saat ini mencatat sudah ada 164 konsesi
tambang pada kawasan pulau-pulau kecil di Indonesia semenjak disahkannya Perda
RZWP3K di beberapa provinsi yang sudah menerapkan perda tersebut. Hal ini
dikhawatirkan dapat menimbulkan kerusakan ekosistem yang berdampak pada daerah
pesisir dan pulau-pulau kecil.

6
Kawasan yang
Belum Menerapkan
RZWP3K

03
Bagian
Dari 34 provinsi yang ada di Indonesia masih terdapat 6
provinsi yang masih belum menetapkan perda RZWP-3-K. Beberapa dari
daerah tersebut masih melakukan perumusan atas peraturan daerah yang
kurang disetujui oleh masyarakat dan ada pula yang sudah disetujui oleh
pihak pemerintah namun ditentang oleh masyarakat karena mereka
kurang dilibatkan dalam perumusan Perda tersebut. Keenam provinsi yang
belum mengesahkan perda RZWP-3-K terdiri dari DKI Jakarta, Bali,
Kalimantan Timur, Riau, Kepulauan Riau, dan Papua.
Provinsi Bali belum menetapkan dan mengesahkan
rencana zonasi wilayah pesisir dan pulau – pulau kecil (RZWP3K) karena
masih terdapat banyak permasalahan. RZWP3K dinilai penting karena
dapat menjadi piranti pengaturan laut yang sangat penting dan strategis
guna menjadi landasan fundamental dalam melaksanakan pembangunan
Provinsi Bali. Mengingat Bali berada di Alur Laut Kepulauan Indonesia
(ALKI) menandakan Bali memiliki nilai strategis dalam bidang pariwisata.
Namun dalam perencanaannya pemerintah tidak melibatkan masyarakat
adat dan masyarakat terdampak lainnya. Kebijakan Rencana zonasi wilayah
pesisir dan pulau – pulau kecil ini dinilai mengakomodir proyek-proyek
tambang pasir yang ditujukan untuk reklamasi seperti perluasan
Pelabuhan Benoa dan perluasan Bandara Ngurah Rai (WALHI Bali).
Penambangan pasir dan reklamasi yang dilakukan dapat menjadi ancaman
bagi lingkungan perairan dan dapat merusak ekosistem. Dikutip dari
Mongabay lokasi rencana tambang pasir laut berdekatan dengan Kawasan
konservasi perairan dan rencana pemanfaatan wilayah perairan perluasan
Bandara Ngurah Rai dengan reklamasi juga bertabrakan dengan Kawasan
konservasi. Dikutip dari Mustofa (2019) pembangunan pesisir harus
dilengkapi dengan upaya perlindungan alam yang memadai agar tidak
merusak lingkungan pesisir seperti reklamasi untuk landasan pacu
Bandara Ngurah Rai yang menyebabkan abrasi sejauh 50 m dari Tuban
hingga Kuta. Reklamasi yang dilakukan belum sesuai prosedur dan akan
mengakibatkan dampak yang buruk bagi ekosistem perairan pesisir.

Sumber: unsplash.com

8
Sumber: unsplash.com

Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau–Pulau Kecil


(RZWP3K) di Provinsi Kalimantan Timur belum disahkan. Dikutip dari policy brief
Koalisi Masyarakat Sipil Kalimantan Timur, dalam penyusunannya RZWP3K
dapat dibilang cacat prosedur karena tidak melibatkan nelayan tradisional
sebagai subjek dalam pemanfaatan sumber daya pesisir. Penyusunan RZWP3K
di Kalimantan Timur dilakukan tanpa adanya KLHS (Kajian Lingkungan Hidup
Strategis) yang harus menjadi dasar dalam pembuatan RZWP3K dan dikaji oleh
pemerintah daerah Kalimantan Timur sebelum memberikan izin pengelolaan
lahan. Tidak ada integrasi antara RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah) dengan
RZWP3K dalam perencanaan dan pemanfaatan wilayah pesisir ke arah darat
dan pulau–pulau kecil yang mengakibatkan tidak adanya jaminan terhadap
pulau–pulau kecil. Sementara dalam UU nomor 1 tahun 2014 pasal 23
memberikan perlindungan terhadap pulau–pulau kecil dimana
pemanfaatannya harus diprioritaskan untuk konservasi, pendidikan dan
pelatihan, penelitian dan pegembangan, budidaya laut, pariwisata, usaha
perikanan dan kelautan serta industri perikanan secara lestari, pertanian
organik, peternakan, dan pertahanan dan keamanan negara. Perencanaan
pulau – pulau kecil harus berdasarkan kesatuan ekologis dan ekonomi yang
menyeluruh dan terpadu. Rencana zonasi wilayah pesisir dan pulau – pulau kecil
Kalimantan Timur hanya untuk mengakomodir kepentingan investasi seperti
pertambangan migas dan batubara, reklamasi, dan eksploitasi industri kayu dan
perkebunan secara luas yang akan merusak kawasan ekosistem perairan pesisir
dan juga merebut ruang tangkap nelayan tradisional.

9
Untuk Provinsi Kepulauan Riau dan Provinsi Riau,
Kementerian Kelautan dan Perikanan mengadakan percepatan perancangan
Perda RZWP-3-K. Hal ini dimaksudkan agar pengesahan Perda dapat lebih cepat
menemui titik persetujuan. Padahal pengesahan yang dilakukan secara
terburu-buru dapat menyebabkan keputusan sepihak karena pada dasarnya
masyarakat banyak yang menolak rencana reklamasi pada pantai Batam dan
pantai Bintan di Kepulauan Riau. Dengan disahkannya peraturan tanpa
memandang berbagai sudut pandang ditakutkan hanya menguntungkan pihak
investor yang melakukan pembangunan. Begitu pula yang terjadi di Provinsi
Riau. Penyusunan RZWP3K Riau tidak didahului kajian lingkungan hidup
strategis (KLHS), tanpa kajian yang jelas dapat berakibat fatal terhadap
kelestarian lingkungan.

Provinsi Papua juga belum


mengesahkan Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K). Pemerintah daerah
masih merancang dokumen RZWP-3-K yang
melibatkan 12 kabupaten dan satu kota yang memiliki
wilayah pesisir. Penyusunan tersebut tentu harus
berdasarkan kajian dari permasalahan yang dimiliki
oleh Provinsi Papua itu sendiri. Beberapa bentuk
permasalahan seperti pembuangan limbah tambang
(tailing) PT. Freeport, yang merusak pesisir selatan,
pemanfaatan wilayah pesisir yang belum
mensejahterakan orang asli Papua terutama nelayan
asli Papua, memiliki pendapatan rendah, Potensi
ekowisata yang belum terkelola, serta masalah
penegakan hukum dan keamanan di wilayah pesisir.
Permasalahan diatas yang masih menjadi
pertimbangan pada perumusan RZWP-3-K di Provinsi
papua. Terlebih lagi Papua memiliki potensi minyak
dan gas yang terdapat di Laut Arafura menjadikan
perancangan RZWP-3-K harus matang dan disetujui
berbagai belah pihak.

Sumber: darilaut.id 10
04
Bagian

Dampak
RZWP3K
Terhadap
Ekologi
Perairan
Pesisir
dan Pulau-
Pulau Kecil

Sumber: unsplash.com
Kegiatan Pertambangan
Pesisir
Industri pertambangan merupakan

industri alternatif yang paling efektif untuk

meningkatkan kesejahteraan masyarakat di

daerah yang penduduknya berada dalam

kemiskinan struktural (Yudhistira et al.

2016). Indonesia adalah negara yang kaya

akan sumber daya alam termasuk bahan

tambang dan mineral. Tidak heran kegiatan

penambangan tersebar hampir ke seluruh

bagian tidak terkecuali wilayah perairan.

Banyak investor-investor yang rela

mengeluarkan modal yang tinggi untuk

mendapatkan material tambang dan

mineral yang tersimpan di dalam bumi.

Material tambang tersebut memiliki harga

jual yang tinggi, dan terkadang barang

tambang seperti pasir dan batu juga

dibutuhkan untuk material pembangunan.

Disisi lain kegiatan penambangan juga tidak

jarang memberikan kerusakan bagi alam

dan lingkungan sekitar. Tercatat dalam US

EPA (1995), dalam 66 kegiatan tambang,

dampak tertinggi pertambangan pada

lingkungan adalah pencemaran air

permukaan (70%) dan kerusakan flora dan

fauna (25%).

12 Sumber: unsplash.com
Kegiatan pertambangan, selain menimbulkan dampak
lingkungan, ternyata menimbulkan dampak sosial yang
komplek. Oleh sebab itu, AMDAL suatu kegiatan
pertambangan harus dapat menjawab dua tujuan pokok
(World Bank, 1998):

Memastikan bahwa biaya lingkungan, sosial dan kesehatan


1. dipertimbangkan dalam menentukan kelayakan ekonomi dan penentuan
alternatif kegiatan yang akan dipilih.

Memastikan bahwa pengendalian, pengelolaan, pemantauan serta

2. langkah-langkah perlindungan telah terintegrasi di dalam desain dan


implementasi proyek serta rencana penutupan tambang.

Penambangan pasir di pesisir seringkali menjadi sebuah hal yang kontroversial. UU


nomor 1 Tahun 2014 mengatur pemanfaatan pulau-pulau kecil dan perairan di sekitarnya
diprioritaskan untuk 9 jenis kepentingan, seperti konservasi, pendidikan dan
pengembangan, dan budidaya laut. Ironisnya, ketentuan ini tidak berjalan optimal karena
faktanya tidak sedikit pulau kecil yang pemanfaatannya di luar ketentuan tersebut
misalnya melakukan penambangan.
Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), mencatat terdapat 55 pulau kecil dengan 164
konsesi pertambangan mineral dan batubara. Sejumlah pulau kecil itu antara lain pulau
Bunyu di Kalimantan Utara, dan Pulau Gebe di Maluku Utara. Keberadaan tambang di
pulau kecil ini berdampak buruk terhadap lingkungan hidup. Seperti, membuat sumber
air tercemar dan hilang, dan penghancuran sumber pangan karena lahan dicaplok
konsesi tambang. Dalam RZWP3K Lampung, offshore mining (pertambangan di tengah
laut) yang dapat mengganggu jalur migrasi ikan.

Kegiatan Penambangan di Indonesia merupakan hal yang legal selama memiliki izin.
Semua kegiatan tersebut telah diatur dalam pasal 1 nomor 11 UU No. 4 Tahun 2009 tentang
Pertambangan Mineral dan Batubara. Perizinan yang dapat diajukan permohonannya
meliputi: Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan Perpanjangannya; Izin Usaha
Pertambangan Khusus (IUPK) dan Perpanjangannya; Izin Usaha Pertambangan Khusus
(IUPK) sebagai kelanjutan operasi kontrak/perjanjian dan perpanjangannya; Izin
Pengangkutan dan Penjualan (d/h Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi Khusus
Pengangkutan dan Penjualan) dan perpanjangannya, Izin Usaha Pertambangan (IUP)
untuk penjualan. Jadi, selama pemangku kebijakan memberikan izin atas usaha tersebut,
pihak perusahaan dapat memanfaatkan barang tambang tersebut dalam jumlah yang
sudah disesuaikan. Namun terdapat perubahan peraturan dengan adanya Pasal 23 UU
nomor 1 Tahun 2014 menegaskan bahwa pulau kecil tidak bisa ditambang. Disini
masalahnya terletak pada perusahaan yang telah mengantongi izin sebelum ada
perubahan peraturan, sehingga mereka masih bisa melakukan kegiatan pertambangan
hingga waktu yang tertera di perizinan.

13
US EPA (1995)
merekomendasikan
beberapa upaya yang
dapat digunakan
sebagai upaya
pengendalian dampak
kegiatan tambang
terhadap sumberdaya
air, vegetasi dan
hewan liar. Beberapa
upaya pengendalian
tersebut adalah : Sumber: unsplash.com

Menggunakan struktur penahan sedimen untuk meminimalkan


jumlah sedimen yang keluar dari lokasi penambangan

Mengembangkan rencana sistem pengendalian tumpahan untuk


meminimalkan masuknya bahan B3 ke badan air

Hindari kegiatan konstruksi selama dalam tahap kritis

Mengurangi kemungkinan terjadinya keracunan akibat sianida terhadap burung


dan hewan liar dengan menetralisasi sianida di kolam pengendapan tailing atau
dengan memasang pagar dan jaring

Mencegah hewan liar masuk kedalam kolam pengendapan tailing

Minimalisasi penggunaan pagar atau pembatas lainnya yang menghalangi jalur


migrasi hewan liar. Jika penggunaan pagar tidak dapat dihindari gunakan
terowongan, pintu-pintu, dan jembatan penyeberangan bagi hewan liar.

Batasi dampak yang disebabkan oleh fragmentasi habitat minimalisasi jumlah jalan
akses dan tutup serta rehabilitasi jalan-jalan yang tidak digunakan lagi.

Larangan berburu hewan liar di kawasan tambang

14
Sumber: unsplash.com

Banyak dari penambangan pada daerah pesisir lebih diutamakan pada


penambangan pasir dan minyak. Selain itu, ada juga beberapa daerah tertentu
yang menambang timah atau mineral lainnya. Namun kegiatan penambangan
dapat menyebabkan daerah pesisir rusak sehingga menyebabkan kerusakan
pula pada ekosistem dan habitat dari makhluk hidup. Penambangan pasir di laut
dilarang dilakukan di laut sebagaimana diatur dalam UU nomor 27 tahun 2007
juncto UU nomor 1 tahun 2014, dimana dalam pasal 35 dilarang melakukan
penambangan pasir jika dapat merusak ekosistem perairan. Pasal 35 ayat 1,
melakukan penambangan pasir pada wilayah yang apabila secara teknis,
ekologis, sosial, dan/atau budaya menimbulkan kerusakan lingkungan dan/atau
pencemaran lingkungan dan/atau merugikan masyarakat sekitarnya. Contohnya
Pencemaran residu dari kegiatan penambangan dapat mengganggu aktivitas
penangkapan ikan sehingga hasil tangkapan akan berkurang baik kualitas
maupun kuantitasnya (Tanuri 2020). Di sisi lain, dari pihak pengelola
pertambangan seringkali ditemukan tidak bertanggung jawab atas wilayah di
sekitar pertambangan. Tidak sedikit bagi para perusahaan pertambangan
membiarkan daerah tambang tersebut setelah selesai mengambil material tanpa
melakukan tindakan restorasi. Ditambah lagi terdapat beberapa perusahaan
yang mengeksploitasi secara berlebihan.
Untuk menghindari sisi negatif bagi kegiatan penambangan perlu diadakan
batasan batasan yang diatur dalam undang undang. Tidak hanya itu pengawasan
juga diperlukan untuk memantau perkembangan dan juga melakukan
penjagaan terhadap tindak perusahaan yang tidak mematuhi aturan. Selanjutnya
tindak restorasi juga harus dilakukan untuk menjaga kelestarian alam. Beberapa
hal diatas perlu diterapkan untuk menghindari kerusakan alam dan juga
perselisihan antara pihak perusahaan dan masyarakat nelayan yang
bersama-sama ingin memanfaatkan wilayah dengan potensi yang sangat banyak
(Yunita et al. 2016).

15
Sumber: radarbali.jawapos.com

Abrasi

Menurut Lantuit et al. (2010) pada Syaharani dan Triyatno (2019) abrasi merupakan
suatu proses atau fenomena berkurangnya garis pantai yang sangat dipengaruhi oleh
kegiatan manusia dan adanya suatu gerakan air laut. Pada wilayah pantai dengan
karakter landai cenderung mudah terjadi abrasi, hal ini terjadi karena adanya
pengikisan oleh gelombang air laut yang membawa sedimen searah arus yang sejajar
sesuai dengan karakter pantai tersebut. Proses tersebut erat kaitannya dengan adanya
faktor hidro-oseanografi yang mempengaruhi. Proses difraksi gelombang akibat
adanya breakwater mampu mengikis bagian pasir pada pantai (Triatmodjo 1999).
Menurut Diposaptono (2011) pada Munandar dan Kusmawati (2017) ada lima penyebab
abrasi yang disebabkan oleh adanya kegiatan antropogenik yaitu:

Adanya eksploitasi terumbu karang serta adanya penebangan hutan

a. mangrove. Penebangan mangrove didasari oleh kebutuhan atas batang


pohon serta adanya alih fungsi lahan menjadi pemukiman atau menjadi
wilayah tambak pada pesisir (Hariati dan Harudu 2016).

b.
Terjadinya perubahan alur arus laut dan gelombang akibat adanya
penambangan pasir di wilayah sekitar pantai.

Perubahan aliran sungai akibat adanya pembangunan DAM di hulu serta


c. adanya penambangan sehingga berkurangnya jumlah sedimen yang
bersumber dari sungai.
Pembangunan pada sekitar pantai seperti reklamasi, groin/jetty, serta

d. breakwater untuk pelabuhan dapat mengakibatkan terperangkapnya


sedimen sejajar pantai.

e. Perubahan arus yang diakibat oleh bangunan di pantai.

16
Adanya abrasi di daerah pesisir pantai
akan berdampak buruk pada lingkungan
sekitar. Ekosistem yang berdampak dengan
adanya abrasi adalah ekosistem mangrove,
lamun, dan terumbu karang. Ketiga
ekosistem tersebut saling berhubungan
untuk menjaga ekosistem perairan tetap
stabil. Ketika ketiga ekosistem tersebut
rusak maka akan berdampak lebih lanjut
kepada biota yang ada. Perubahan arus
yang diakibatkan abrasi akan merusak
ekosistem terumbu karang dimana di
ekosistem terumbu karang banyak
digunakan oleh ikan sebagai spawning,
feeding dan nursery ground. Abrasi juga bisa
disebabkan karena kurangnya persebaran
mangrove yang ada di perairan. Padahal
ekosistem mangrove banyak menghasilkan
detritus yang berasal dari daun dan pohon
mangrove yang rontoh. Detritus tersebut
dapat menjadi bahan makanan bagi para
biota mikroskopis dan berguna untuk
penyuburan tanah (Asyiawati et al. 2014).
Sumber: aceh.tribunnews.com

Reklamasi merupakan salah satu titik


awal adanya abrasi, hal ini dikarenakan
kegiatan reklamasi umumnya akan
mendirikan bangunan di sekitar pantai,
hal tersebut dapat memicu proses abrasi.
Kegiatan reklamasi di beberapa lokasi
menggunakan pasir laut sebagai sumber
material, hal ini juga dapat memicu
proses abrasi (Musrifah 2020). Sehingga
reklamasi merupakan paket lengkap
faktor terjadinya abrasi pada pesisir.

17
Tambak
Tambak merupakan salah satu komponen yang terdaftar dalam RZWP3K. Tambak
diklasifikasikan menjadi sembilan aspek yaitu tambak, pemukiman, sungai, semak, sawah,
ladang, kebun, mangrove dan lahan terbuka. Pada beberapa wilayah di Indonesia kelas
tambak masih mendapatkan porsi yang tidak sesuai contohnya rencana kelas kebun
dengan luas hanya sebanyak 0,01% (Latifa et al. 2019). Selain itu diluar komponen tersebut
pembuatan kawasan tambak lain seperti tambak udang tentu tidak boleh sembarangan
dan harus memenuhi Standar Operasional Prosedur (SOP). Tambak yang tidak ideal dapat
beresiko merusak sistem ekologis lingkungan di sekitarnya. SOP pembuatan tambak telah
diatur dalam Peraturan Menteri Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Mengacu
pada Peraturan Menteri (Permen) Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia nomor 75
tahun 2016, lokasi pembuatan tambak harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:

Sumber: sumatra.bisnis.com

Lokasi sesuai dengan rencana tata ruang wilayah;

Untuk lokasi pembesaran udang dalam bentuk kluster, harus dilengkapi


dengan master plan dan Detail Engineering Design (DED);

Tidak membangun tambak baru pada lahan mangrove dan zona inti
kawasan konservasi;

Berada pada kawasan terhindar dari banjir rutin dan pengaruh


pencemaran limbah bahan beracun dan berbahaya;

Berada di belakang sempadan pantai dan sempadan sungai;

Konstruksi infrastruktur harus mempertimbangkan fungsi konservasi dan


meminimalisir gangguan terhadap lingkungan sekitar;

Tersedianya prasarana transportasi dan komunikasi yang memadai; dan

Tekstur tanah sesuai persyaratan teknis yang mendukung pertumbuhan


pakan alami, kualitas air untuk media hidup udang, dan mampu menahan
volume air tambak atau tidak bocor (<10 % per minggu).

18
Sumber: beritalima.com

Adapun desain tata letak


dan desain konstruksi
diatur dalam Peraturan
Menteri (Permen) KP
nomor 28 tahun 2004,
yaitu :

Desain Tata Letak

Pembukaan lahan baru pada hutan Memenuhi kebutuhan


mangrove dan/atau penataan

01. 02.
pengelolaan lingkungan
kawasan budidaya dilakukan sesuai kawasan baik sebelum, selama,
dengan ketentuan peraturan dan setelah pembangunan serta
perundang-undangan yang berlaku di selama operasional budidaya.
bidang pengelolaan kawasan lindung.

Penataan dan/atau pembangunan Saluran pasok dan saluran

03. saluran pasok tidak melalui daerah


pemukiman umum dan/atau 04. buang dibuat terpisah dan
letaknya harus memperhatikan
pola arus laut.
perumahan operator pembudidaya.

Pembangunan kawasan tambak harus

05. dilengkapi dengan daerah penyangga


(buffer zone) yang berupa vegetasi 06. Membuat petak tandon dengan
rasio minimum 30%.
mangrove dengan rasio minimum 20 %.

19
Desain Konstruksi
01.
Konstruksi tambak berbentuk segi empat; khusus untuk
tambak intensif berbentuk bujur sangkar dengan luas 3.000 –
5.000 m2.

02. Tambak semi intensif dan intensif harus dilengkapi dengan


tandon pasok dan tandon buang.

03. Pematang tambak dibuat kokoh dan kedap air.

04. Petak tambak dilengkapi dengan pintu air pasok dan pintu air
buang yang diletakkan terpisah.

05. Dasar petakan tambak dibuat miring kearah pembuangan


dengan kemiringan minimum 2%.

06. Sistem pembuangan air pada tambak intensif dibuat ke arah


tengah (central drain).

07. Desain saluran dan pintu air dibuat proporsional dengan luas
petakan tambak.

Sumber: malang-post.com

20
Reklamasi
Wilayah
Pesisir
Indonesia termasuk negara kepulauan
yang terbesar di dunia dan mempunyai
17.480 pulau-pulau besar dan kecil serta
mempunyai garis pantai sepanjang 95.181km.
Jika dipersentasekan wilayah Indonesia
terdiri dari 75% lautan dan banyak sekali
masyarakat Indonesia yang
menggantungkan hidupnya di kawasan
pesisir. Potensi energi sumberdaya kelautan
Indonesia sangat melimpah yang bisa
berasal dari pasang surut, angin, ocean
thermal energy conversion (OTEC), dan
gelombang. Beberapa daerah di Indonesia
menerapkan reklamasi dengan tujuan untuk
memenuhi kebutuhan tanah dalam
Sumber: beritatagar.id
pembangunan berkelanjutan (Susanti 2018).

Menurut UU nomor 1 tahun 2014 juncto UU no. 27 tahun 2007 menulis tentang
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, reklamasi diartikan sebagai
kegiatan yang dilakukan oleh setiap orang dalam rangka meningkatkan manfaat
sumber daya lahan ditinjau dari sudut lingkungan dan sosial ekonomi dengan
cara pengurugan, pengeringan lahan atau drainase. Menurut Edyanto (2016),
reklamasi merupakan aktivitas penimbunan suatu areal dalam skala relatif luas
hingga sangat luas di daratan maupun di areal perairan untuk suatu keperluan
rencana tertentu yang merupakan suatu langkah pemekaran kota. Pemekaran
kota yang mengharuskan adanya reklamasi ini dapat disebabkan oleh berbagai
faktor seperti, faktor meningkatnya pertumbuhan penduduk di kota tersebut,
faktor pembangunan yang mendominasi daerah perkotaan, dan faktor
keterbatasan lahan perkotaan (Djainal 2012).

21
Ketentuan reklamasi dalam menerapkan pasal 34 ayat 3 Undang-Undang nomor
27 tahun 2007 diatur lebih lanjut pada Peraturan Presiden (Perpres) RI nomor 122
tahun 2012 tentang Reklamasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Pada pasal
4 dijelaskan bahwa penentuan lokasi reklamasi harus berdasarkan Rencana Zonasi
Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K) yang telah ditetapkan oleh
pemerintah daerah. Penerapan reklamasi dalam wilayah pesisir dan pulau-pulau
kecil ini harus memperhatikan beberapa aspek, salah satunya kelayakan aspek
lingkungan. Aspek lingkungan yang harus diperhatikan berupa kualitas air laut,
kualitas air tanah, kualitas udara, kondisi ekosistem pesisir (mangrove, lamun, dan
terumbu karang), flora dan fauna darat serta biota perairan. Kajian lingkungan ini
sangat diperlukan bahkan harus melalui studi kelayakan lingkungan hidup atau
rekomendasi UKL-UPL (Upaya Pengelolaan Lingkungan-Upaya Pemantauan
Lingkungan).

Reklamasi memiliki banyak dampak, baik untuk makhluk hidup seperti manusia
dan juga biota laut maupun bagi lingkungan perairan itu sendiri. Salah satu dampak
yang diberikan reklamasi adalah berubahnya lingkungan perairan dari parameter
kimia, fisik, dan biologis. rata–rata suhu perairan yang normal adalah berkisar
antara 28,9ºC – 30,2ºC dengan rata – rata salinitas 29,5 – 30,6 psu dan derajat
keasaman (pH) berkisar antara 7,8 – 8,17 (Kusuma 2019). Menurunnya salinitas dan
kecerahan perairan dapat diakibatkan oleh kekeruhan. Kekeruhan terjadi karena
proses reklamasi yang diakibatkan oleh pengerukan dan penimbunan yang dapat
meningkatkan konsentrasi sedimen tersuspensi di kolom perairan. Peningkatan
kekeruhan ini selanjutnya akan merubah dasar perairan dan dapat membahayakan
komunitas bentik. Peningkatan kekeruhan pada perairan juga akan berpengaruh
pada produksi dan keragaman fitoplankton yang hidup di kolom perairan karena
kekeruhan yang terjadi akan menghambat cahaya matahari untuk masuk ke dalam
kolom perairan sedangkan fitoplankton sangat membutuhkan cahaya matahari
yang baik (Puspasari et al. 2017). Selain itu, reklamasi juga dapat menyebabkan
hilangnya kompleksitas ekosistem pantai dan perairan seperti hutan mangrove dan
padang lamun yang akan kehilangan nilai manfaatnya sehingga akan berdampak
juga pada menurunnya peran ekologis yang ada di hutan mangrove atau padang
lamun tersebut. Hutan mangrove dan padang lamun merupakan tempat
pemijahan dan bersarangnya biota laut seperti ikan, udang, dan moluska. Jika
hutan mangrove dan padang lamun menghilang maka biota di dalamnya juga akan
terkena dampaknya. Reklamasi juga akan berdampak dan mengganggu daerah
operasi alat tangkap yang digunakkan nelayan baik alat tangkap aktif maupun alat
tangkap pasif sehingga mengakibatkan berkurangnya produksi perikanan di
daerah perairan tersebut (Puspasari et al. 2017).

22
Reklamasi bisa saja
dilakukan namun harus
disertai dengan banyak
pertimbangan dan
pengawasan. Reklamasi
boleh dilakukan di daerah
atau lahan yang kosong dan
tidak berguna agar dapat
dimanfaatkan menjadi lebih
berguna untuk masyarakat,
negara, dan lingkungan.
Reklamasi tidak seharusnya
dilakukan di daerah yang
memiliki potensi sumber
daya yang melimpah dan
bermanfaat. Selain itu, pada
saat reklamasi juga harus
mempertimbangkan
wilayah – wilayah zonasi
yang tepat untuk keperluan
yang tepat pula dengan
mempertimbangkan
dampak ekologisnya.
Pertimbangan dan
pengawasan untuk
rehabilitasi ekosistem
terdampak seperti hutan
mangrove dan padang
lamun juga harus
diperhatikan agar tidak
merusak bahkan
menghilangkan ekosistem
lingkungan.

23 Sumber: beritatagar.id
Kesimpulan
Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K)
merupakan suatu bentuk sistem zonasi pesisir yang dibentuk
berdasarkan amanat UU nomor 1 tahun 2014 juncto UU nomor 27
tahun 2007. Keberadaan sistem zonasi ini agar pengelolaan pesisir
dan pulau-pulau kecil dapat memberikan kepastian dan
perlindungan hukum serta membangun sinergitas antara
pemerintah pusat dan daerah dalam pengelolaan daerah untuk
mensejahterakan masyarakat. Sistem zonasi ini dibentuk
berdasarkan topografi dan ciri khas wilayah pesisir yang dimiliki oleh
tiap daerah di Indonesia. Seyogyanya keberadaan RZWP3K menjadi
cara dalam mengatasi permasalahan di wilayah pesisir dan
pulau-pulau kecil dengan memperhatikan aspek sosial dan ekologis
sehingga pembangunan berkelanjutan dapat terwujud dengan baik.

Sumber: unsplash.com

24
Rekomendasi
Berdasarkan kajian yang telah dilakukan berdasarkan data dan
masukan dari berbagai pihak, maka Departemen Kajian dan Aksi
Strategis BEM FPIK IPB merekomendasikan :

Perlunya dilakukan pembaharuan


data secara terpusat dan terintegrasi
yang berkaitan dengan kondisi
pesisir dan pulau-pulau kecil yang
dapat diakses oleh masyarakat
umum.

Perlunya peninjauan ulang dalam


merumuskan RZWP3K dengan
memperhatikan keterlibatan serta
kepentingan masyarakat pesisir dan
pulau-pulau kecil berlandaskan
aspek konservasi.

Membentuk badan pengawas


terhadap pelaksanaan RZWP3K yang
telah ditetapkan oleh tiap daerah.

25
Sumber: unsplash.com

DAFTAR PUSTAKA
Asyiawati Y dan Akliyah LS. 2014. Identifikasi dampak perubahan fungsi
ekosistem pesisir terhadap lingkungan di wilayah pesisir kecamatan
Muaragembong. 2014. Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota. 14(1): 1-13.
Djainal H. 2012. Reklamasi pantai dan pengaruhnya terhadap lingkungan fisik
di wilayah kepesisiran Kota Ternate. Jurnal Lingkungan Sultan Agung. 1(1): 1-
13.
Edyanto H. 2016. Faktor–faktor yang berpengaruh dalam proses reklamasi
untuk mengantisipasi bencana di lingkungan pantai. Jurnal Sains dan
Teknologi Mitigasi Bencana. 11(1): 1-11.
Hariati, Harudu L. 2016. Identifikasi jenis-jenis kerusakan ekosistem hutan
mangrove akibat aktivitas manusia di Kelurahan Lowu-lowu Kecamatan
Lea-lea Kota Baubau. Jurnal Penelitian Pendidikan Geografi. 1(1):30-45
Koalisi Masyarakat Sipil Kalimantan Timur. 2019. Policy Brief. Kepastian Ruang
Untuk Keberlanjutan Lingkungan dan Keselamatan Masyarakat. Kalimantan
Timur. [diakses 2021 Maret 30]. https://fwi.or.id/wp-content/uploads/2020/03
/Policy_Brief_RZWP3K_2019-1.pdf
Kusuma A H. 2019. Sebaran kualitas air Pantai Utara Jakarta pasca reklamasi di
Perairan Teluk Jakarta. Jurnal Teknologi Perikanan dan Kelautan. 10(2): 149-
160.
Latifa KA, Budisusanto Y, Pribadi CB. 2019. Kajian kesesuaian pemanfaatan
ruang laut dan pesisir berdasarkan RZWP-3-K dan RTRW di Pesisir Selatan
Kabupaten Sampang. Jurnal Teknik ITS. 8(2): 144-150.

26
Munandar, Kusumawati I. 2017. Studi analisis faktor penyebab dan penanganan
abrasi pantai di wilayah pesisir Aceh Barat. Jurnal Perikanan Tropis. 4(1):47-56.
Musrifah S. 2020. Perspektif politik hijau dalam kebijakan pengelolaan kawasan
pesisir di Kecamatan Jenu Kabupaten Tuban. Jurnal Kebijakan dan
Manajemen Publik. 8(2):52-58.
Mustofa, Ali. 2019. Agustus 29. RZWP3K Bali tampung banyak mega proyek,
WALHI protes keras. Radarbali.jawapos.com. [Diakses 2021 Maret 30].
https://radarbali.jawapos.com/read/2019/08/29/153104/rzwp3k-bali-tampung-
banyak-mega-proyek-walhi-protes-keras
Pemerintah Provinsi Bali. Gubernur koster tegaskan perda RZWP3K sebagai
implementasi kearifan lokal Segara Kertih. [diakses 2021 Maret 30]. https://
www.baliprov.go.id/web/gubernur-koster-tegaskan-perda-rzwp3k-sebagai
-implementasi-kearifan-lokal-segara-kertih/
Penabulu Upacaya Semesta. Peluang Investasi Budidaya Kerapu Skala Kecil.
[diakses April 2021]. https://www.upacaya.com/project/peluang-investasi-
budidaya-kerapu-skala-kecil/
[Permen] Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia
Nomor 28 Tahun 2004 Tentang Pedoman Umum Budidaya Udang di Tambak.
2004.
[Permen] Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia
Nomor 75 Tahun 2016 Tentang Pedoman Umum Pembesaran Udang Windu
(Penaeus Monodon) dan Udang Vaname (Litopenaeus Vannamei). 2016.
[Perpres] Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 122 Tahun 2012
tentang Reklamasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
Puspasari R, Hartati T S, dan Anggawangsa R F. Analisis dampak reklamasi
terhadap lingkungan dan perikanan di Teluk Jakarta. Jurnal Kebijakan
Perikanan Indonesia. 9(2): 85 – 94.
Radar Bali.id. 2019. Pasir Perairan Kuta Dikeruk 1,916 Ha, Pesisir Bali Terancam
Hancur. [diakses April 2021]. https://radarbali.jawapos.com/read/2019/01/12/
113212/pasir-perairan-kuta-dikeruk-1916-ha-pesisir-bali-terancam-hancur.
Radar Bali.id. 2019. Digempur Ombak, Jembrana Tidak Kebagian Anggaran
Penanganan Abrasi. [diakses April 2021]. https://radarbali.jawapos.com/read
/2019/05/30/139544/digempur-ombak-jembrana-tidak-kebagian-anggaran-
penanganan-abrasi.
Republika.co.id. 2018. Pemprov Kaji Pengelolaan Empat Pulau Reklamasi.
[diakses April 2021]. https://www.republika.co.id/berita/pfo6l6354/pemprov-
kaji-pengelolaan-empat-pulau-reklamasi.

27
Sudarto, Novit A. 2019. Problematika hukum pembentukan peraturan daerah
tentang rencana zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil Kepulauan
Bangka Belitung. Prosiding Seminar Hukum dan Publikasi Nasional. 139-153.
Suriyani, Luh De. 2020 Sep 17. Ranperda RZWP3K Bali disetujui, aktivis
lingkungan protes alokasi penambangan pasir. Mongabay.co.id. [diakses 2021
Maret 30]. https://www.mongabay.co.id/2020/09/17/ranperda-rzwp3k-bali-
disetujui-aktivis-lingkungan-protes-alokasi-penambangan-pasir/
Susanti N. 2018. Upaya greenpeace menjaga Kawasan pantai Indonesia terkait
proyek pulau reklamasi teluk Jakarta. JOM FISIP. 5(1): 1-18.
Syaharani L, Triyatno. 2019. Analisis perubahan garis pantai Kabupaten Padang
Pariaman dan Kota Pariaman tahun 1988-2018. Jurnal Buana. 3(5):1056-1067.
Tanuri C.2020. Penambangan Pasir Laut Yang Menimbulkan Kerusakan
Lingkungan Di Tinjau dari Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007, Jurnal
Education And Development. 8(3):7-13.
Triatmodjo B. 1999. Teknik Pantai. Yogyakarta (ID): Beta Offset.
WALHI Bali. 2019 Agustus 20. Fix! dokumen RZWP3K provinsi Bali bancakan
proyek. [diakses 2021 Maret 30]. https://walhibali.org/fix-dokumen-rzwp3k-
provinsi-bali-bancakan-proyek/
Yudhistira A, Adhi S, Manar D.G. 2016. Pengelolaan pertambangan mineral
batuan setelah terbitnya Undang Undang 23 Tahun 2014 oleh Pemerintah
Kabupaten Kudus. Journal of Politic and Government Studies. 4(5): 71-80.
Yunita D, Risdiana, Gunawan W,Paskarina C,Sutrisno B.2016. Eksploitasi Pasir
Besi Dan dampak Lingkungan Sosial, Budaya, Ekonomi Pada Masyarakat Di
Pesisir Pantai Selatan Jawa Barat. Sosioglobal : Jurnal Pemikiran dan
Penelitian Sosiologi. 1(1): 16-32.
Yurista AP, Wicaksono DA. 2017. Kompatibilitas Rencana Zonasi Wilayah Pesisir
dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K) sebagai rencan tata ruang yang integratif.
Rechtsvinding. 6(2):191-206.
US-EPA.1995. Human health and Environment Damages From Mining Area
Mineral Processing Waste. Office of Solid Waste. 1995.
US-EPA. 1995. EPA Office of Compliance Sector Notebook Project, Profile of the
Metal Mining Industry/310-R-95-008.
[UU] Undang - Undang RI Nomor 1 Tahun 2014 juncto Undang – Undang Nomor
27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau – Pulau Kecil.
World Bank. 1998. Environmental Assessment of Mining Projects.
Environmental Assessment Sourcebook Update.

28
Penulis :
Departemen Kajian dan Aksi Strategis
BEM Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan IPB University
Narahubung : Sandy W Prasetyo
(+6285378906195)

Tata Letak :
Gabriela Sekar Tyasrinestu
(+6287703042001)

Editor :
Farissa Syafa Rizqina Pane
(+6285882783048)

Sumber: unsplash.com

Anda mungkin juga menyukai