Anda di halaman 1dari 3

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Hasil dari Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia Remaja

(SKDI-R) tahun 2007 menunjukkan bahwa masih terdapat remaja

perempuan (13,3 persen) yang tidak mengetahui bahwasannya pada masa

remaja akan terjadi perubahan fisik dan non-fisik pada dirinya, dan

lebih mengkhawatirkan lagi bahwasannya hampir separuh remaja

perempuan (47,9 persen) yang tidak mengetahui kapan saatnya seorang

perempuan akan mendapatkan hari atau masa subur dalam siklus haid

atau menstruasi-nya (Pusat Penelitian dan Pengembangan Kependudukan,

2011).

Berdasarkan hasil Sensus Penduduk tahun 2010, diketahui bahwa

pada Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta terdapat sebanyak sekitar

1,6 juta perempuan yang berusia di atas 5 tahun, dimana 210.000

diantaranya (12,98 persen) tidak pernah mendapatkan jenjang

pendidikan formal. Hal ini tentu memicu kurangnya pengetahuan para

perempuan terkait dengan sistem reproduksi masing-masing (Badan

Pusat Statistik, 2010).

Siklus menstruasi, pertama kali dialami oleh seorang perempuan

secara prevalensi berkisar pada usia 12 hingga 13 tahun, namun

dewasa ini sering ditemui pada rentang yang lebih lebar, yakni usia

10 hingga 16 tahun. Salah satu gangguan yang dapat terjadi pada

siklus menstruasi adalah dysmenorrhea (Price, 1995).

Dysmenorrhea sendiri diartikan sebagai menstruasi yang sangat

nyeri dikarenakan terjadinya kejang pada otot-otot uterus. Kasus

dysmenorrhea yang sering ditemui adalah dysmenorrhea primer, dimana

tidak terdapat gangguan fisik yang mendasari dan hanya terjadi


selama fase ovulatorik. Gejala utamanya adalah nyeri yang dapat

berupa nyeri tajam, tumpul, siklik, atau menetap. Pada umumnya nyeri

tersebut dapat berlangsung selama beberapa jam hingga 1 hari, namun

terkadang juga dapat ditemukan nyeri yang lebih dari 72 jam (lebih

dari 3 hari). Gejala sistemik yang dapat menyertai antara lain mual,

diare, sakit kepala, dan perubahan emosional (Price, 1995).

Bang (cit Harlow, 2000) menuturkan bahwa pada suatu survei

cross-sectional ditemukan bahwa 30%-60% wanita usia produktif

melaporkan adanya nyeri menstruasi, dimana diantaranya yakni sekitar

7%-15% melaporkan nyeri atau sakit yang cukup parah hingga dapat

mengganggu aktivitas sehari-hari.

Harlow (2000) menuturkan bahwa karakteristik dan gangguan yang

terjadi pada siklus menstruasi yang dialami seorang perempuan dapat

menunjukkan adanya peningkatan resiko terhadap suatu penyakit, namun

juga menunjukkan pengurangan resiko penyakit yang lain. Akan tetapi

pemahaman masyarakat saat itu terhadap hubungan antara karakteristik

siklus menstruasi dan resiko jangka panjang dari penyakit-penyakit

tertentu masih terbatas.

Dewasa ini, rasio lingkar pinggang-panggul dipelajari oleh

para ahli obstetri dan ginekologi dalam memprediksi status

reproduksi wanita dan siklus menstruasi. Menurut Singh (dalam

Sorowski et al, 2014), rasio lingkar pinggang-panggul merupakan

salah satu penanda yang cukup baik dalam menilai kemampuan

reproduksi dan kesehatan perempuan, dimana rasio tersebut merupakan

hasil dari distribusi jaringan lemak yang merupakan hasil dari

aktivitas hormon yang terkait pada sistem reproduksi baik pada pria

dan wanita. Misal, wanita yang memiliki rasio lingkar pinggang-

panggul yang termasuk dalam kategori kecil memiliki tingkat


sirkulasi yang tinggi pada hormon progesterone dan 17-b-estradiol,

selain itu rasio lingkar pinggang-panggul juga mampu menjadi

prediktor konsepsi yang baik.

Berdasarkan fakta-fakta di atas, maka saya ingin melaksanakan

sebuah penelitian yang dapat memberikan gambaran terkait penggunaan

ukuran rasio lingkar pinggang-panggul terhadap intensitas nyeri

dysmenorrhea yang dirasakan oleh remaja perempuan di Yogyakarta pada

rentang usia 13 hingga 15. Hasil dari penelitian ini dapat

memberikan suatu metode baru dalam menilai perkembangan remaja

khususnya pada sistem reproduksi.

Anda mungkin juga menyukai