Anda di halaman 1dari 39

MAKALAH PRE-HOSPITAL EMERGENCY

PENILAIAN DAN PENANGANAN NEUROSENSORI


(Fase PraRumah Sakit)

DOSEN PENGAMPU :

Ns.Fauzan Alfikrie, M.Kep

Di susun Oleh kelompok l :


Ashari Juliyana (821191021)
Atika Salsa dina (821191014)
Ayu Sri Utami (821191015)
Lailatul Maulida (821191017)
Siska Permata Sari (821191010)
Arief Muttaqin Dharmawan (821191019)
Desra Gunawan (821191011)
Masdiyani Novianti (821191013)
Ismah Rizkiyanti Aninda (821191016)

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN


YAYASAN RUMAH SAKIT ISLAM PONTIANAK
TAHUN AJARAN 2022/2023
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Menurut Haryono & Utami (2019), cedera kepala merupakan istilah luas yang
menggambarkan sejumlah cedera yang terjadi pada kulit kepala, tengkorak, otak, dan
jaringan di bawahnya serta pembuluh darah di kepala. Penyebab dari cedera kepala
adalah adanya trauma pada kepala, trauma yang dapat menyebabkan cedera kepala antara
lain kejadian jatuh yang tidak disengaja, kecelakaan kendaraan bermotor, benturan benda
tajam dan tumpul, benturan dari objek yang bergerak, serta benturan kepala pada benda
yang tidak bergerak (Manurung, 2018).
Pada tahun 2014 di Amerika Serikat cedera kepala yang diakibatkan oleh kejadian
jatuh yang tidak disengaja memiliki prevalensi tertinggi yaitu 52,3%, sedangkan cedera
kepala yang diakibatkan oleh kecelakaan kendaraan bermotor memiliki prevalensi 20,4%
dari total keseluruhan pasien rawat inap dengan diagnosa cedera kepala (Peterson et al.,
2019). Angka kejadian cedera kepala pada laki-laki 58% lebih banyak dibandingkan
perempuan. Hal ini disebabkan karena mobilitas yang tinggi di kalangan usia produktif
sedangkan kesadaran untuk menjaga keselamatan di jalan masih rendah disamping
penanganan pertama yang belum benar benar rujukan yang terlambat (Sezanne C.
Smeltzer & Brenda G. Bare, 2013).
Masalah keperawatan yang muncul pada pasien dengan cedera kepala sedang
antara lain nyeri akut, pola napas tidak efektif, risiko perfusi serebral tidak efektif. Nyeri
akut merupakan masalah keperawatan yang sering muncul pada pasien dengan cedera
kepala sedang. Nyeri akut didefinisikan sebagai pengalaman 4 sensorik atau emosional
yang berkaitan dengan kerusakan jaringan aktual atau fungsional, dengan onset
mendadak atau lambat dan berinteraksi ringan hingga berat yang berlangsung kurang dari
3 bulan (Tim Pokja SDKI DPP PPNI, 2016).
Glasgow Coma Scale (GCS) merupakan salah satu alat prediksi yang dapat
digunakan dalam menentukan prognosis. Terdapat berbagai cara penilaian prognosis pada
pasien cedera kepala, diantaranya adalah dengan menggunakan GCS. GCS dapat diterima
sebagai salah satu alat untuk mengklasifikasikan tingkat keparahan suatu cedera kepala
karena mudah digunakan. Kemampuan GCS dalam menentukan kondisi yang
membahayakan jiwa adalah sebesar 74,8% (Natalia, 2019)
B. Tujuan Penulisan
1. Tujuan Umum : agar mahasiswa mampu memahami dan melakukan penanganan
terhadap Neurosensorik dalam kasus Cedera Kepala.
2. Tujuan Khusus :
a. Mahasiswa mampu memahami konsep Neurosensorik dalam kasus Cedera
Kepala.
b. Mahasiswa mampu menjelaskan dan menerapkan Penanganan dan
Penilaian Neurosensorik Cedera Kepala.
C. Metode Penulisan
Adapun dalam metode yang kami gunakan dalam penyusunan maklah ini adalah
kepustakaan seperti buku, jurnal, artikel penelitian dan lain sebagainya dengan mencari
data-data yang menunjang materi atau yang berhubungan dengan teknik penanganan dan
penilaian neurosensorik dalam kasus cedera kepala.
D. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan makalah ini terdiri dari empat bagian yaitu : pada bab 1 berisi
pendahuluan , pada bab 2 berisi Konsep Teori, bab 3 membahas hasil pengkajian pada
kasus, kemudian bab 4 berisi pembahasan, dan terakhir pada bab 5 berisi penutup yang
terdiri dari kesimpulan dan saran, di halaman terkahir berisi daftar pustaka.
BAB II
Tinjauan Teoritis
A. Konsep Cedera Kepala
1. Mekanisme Cedera Kepala
Mekanisme cedera mengacu pada cara terjadinya peristiwa yang menimbulkan
trauma, hal yang menyebabkan trauma dan informasi tentang tipe serta jumlah energi
yang diubah pada saat kejadian tersebut. Identifikasi terjadinya proses cedera dituntut
harus benar-benar dan diteliti dengan baik, pengetahuan tentang cara terjadinya
peristiwa traumatik akan membantu identifikasi dini dan penatalaksanaan cedera
mungkin tidak tampak pada pengkajian pendahuluan. Cedera yang terlewatkan dapat
membawa akibat yang serius, khususnya kalau cedera tersebut baru terlihat setelah
terjadi kelelahan mekanisme kompensasi yang digunakan oleh tubuh. Cedera kepala
terjadi bila ada kekuatan mekanik yang ditransmisikan ke jaringan otak. Mekanisme
yang berkontribusi terhadap cedera kepala;
a. Akselerasi: kepala yang diam (tak bergerak) ditabrak oleh benda yang bergerak.
b. Deselerasi: kepala membentur benda yang tak bergerak.
c. Deformasi: benturan kepada kepala (tidak menyebabkan fraktur tulang tengkorak)
menyebabkan pecahnya pembuluh darah vena terdapat dipermukaan kortikal
sampai ke dura mater sehingga terjadi perdarahan subdural.
2. Pengertian Cedera Kepala
Cedera kepala merupakan bentuk cedera otak yang disebabkan oleh kerusakan
mendadak pada otak. Kerusakan ini akibat dari adanya kekuatan mekanik eksternal
atau benturan fisik dari luar seperti jatuh, olahraga, serangan dan kecelakaan lalu
lintas yang dapat menimbulkan kerusakan permanen atau sementara pada fungsi
neuroogis yaitu gangguan fisik, kognitif, dan fungsi psikososial (Faul, et al., 2015).
Cedera kepala didefinisikan sebagai cedera tumpul atau tembus pada kepala atau
otak yang disebabkan adanya gaya eksternal, sehingga mengakibatan gangguan
sementara atau permanen pada fungsi otak dan adanya perubahan pada struktur otak
(Clinical Practice Guideline, 2015).
3. Penyebab Cedera Kepala
Menurut Krisanty, dkk (2014), penyebab cedera kepala dibagi menjadi:
a. Trauma Tumpul
Kekuatan benturan akan menyebabkan kerusakan yang menyebar. Berat
ringannya cedera yang terjadi tergantung pada proses akselerasi-deselerasi,
kekuatan benturan dan kekuatan rotasi internal. Rotasi internal dapat
menyebabkan perpindahan cairan dan perdarahan ptekie karena pada saat otak
"bergeser" akan terjadi "pergesekan" antara permukaan otak dengan tonjolan
tonjolan yang terdapat dipermukaan dalam tengkorak laserasi jaringan otak
sehingga mengubah integritas vaskular otak.
b. Trauma Tajam
Disebabkan oleh pisau atau peluru atau fragmen tulang pada fraktur tulang
tengkorak. Kerusakan tergantung pada kecepatan gerak (velocity) benda tajam
tersebut menancap ke kepala atau otak. Kerusakan terjadi hanya pada area di
mana benda tersebut merobek otak (lokal). Obyek dengan velocity tinggi (peluru)
menyebabkan kerusakan struktur otak yang luas. Adanya luka terbuka
menyebabkan risiko infeksi.
c. Coup dan Countercoup
Pada cedera coup kerusakan terjadi segera pada daerah benturan sedangkan pada
cedera countercoup kerusakan terjadi pada sisi yang berlawanan dengan cedera
coup.
4. Klasifikasi Cedera Kepala
a. Berdasarkan Tingkat Keparahan
Klinis Penilaian derajat beratnya cedera kepala dapat dilakukan dengan
menggunakan Glasgow Coma Scale (GCS) yaitu suatu skala untuk menilai secara
kuantitatif tingkat kesadaran seseorang dan kelainan neurologis yang terjadi. Ada
3 aspek yang dinilai yaitu reaksi membuka mata (eye opening), reaksi berbicara
(verbal respons) dan reaksi lengan serta tungkai (motor respons). Cedera kepala
diklasifikasikan menjadi 3 kelompok berdasarkan nilai GCS yaitu:
1) Cedera Kepala Ringan (CKR) dengan GCS >13, tidak terdapat kelainan
berdasarkan CT Scan otak, tidak memerlukan tindakan operasi, lama
dirawat di rumah sakit <48 jam.
2) Cedera Kepala Sedang (CKS) dengan GCS 9-13, ditemukan kelainan pada
CT Scan otak, memerlukan tindakan operasi untuk lesi intrakranial,
dirawat di rumah sakit setidaknya 48 jam.
3) Cedera Kepala Berat (CKB) bila dalam waktu 48 jam setelah trauma, skor
GCS <9 (George, 2009).
b. Berdasarkan Etiologi
1) Cedera kepala tumpul: Terjadi ketika kekuatan mekanik eksternal
menyebabkan percepatan atau perlambatan yang berdampak pada otak.
Hal ini biasanya di temuka dalam cedera akibat kendaraan bermotor, jatuh,
luka bakar atau alterasi fisik.
2) Cedera kepala penetrasi terjadi saat sebuah benda menembus tengkorak
dan melukai dura mater yang biasanya terlihat pada luka tembak dan
tusukan.
3) Cedera kepala ledak umumnya terjadi setelah pengeboman dan
peperangan karena kombinasi antara gaya kontak dan inersia, tekanan
berlebih dan gelombang akustik.
c. Berdasarkan Keterlibatan
Cedera kepala dapat diklasifikasikan berdasarkan area yang terlibat, seperti dalam
diffuse atau fokal, walaupun 2 jenis ini sering disamakan.
1) Cedera kepala yang meliputi cedera aksonal difus (DAI), cedera otak
hipoksia, edema serebral difus atau cedera vaskular yang menyebar.
2) Cedera fokal meliputi lesi spesifik seperti kontusi, hematoma intrakranial,
infark, axonal tears, evakuasi saraf kranial dan fraktur tengkorak.
5. Patofisiologi Cedera Kepala
Cedera kepala atau trauma kapitis lebih sering terjadi daripada trauma tulang
belakang. Trauma dapat timbul akibat gaya mekanik maupun non mekanik. Kepala
dapat dipukul, ditampar, atau bahkan benturan benda keras. Tempat yang langsung
terkena pukulan atau penyebab tersebut dinamakan dampak atau impact. Pada impact
dapat terjadi :
a. indentasi,
b. raktur linear,
c. fraktur stelatum,
d. fraktur impresi,
e. hanya edema dan perdarahan subkutan saja.
Fraktur yang paling ringan ialah fraktur linear. Jika gaya destruktifnya
lebih kuat, dapat timbul fraktur stelatum atau fraktur impresi (Mardjono &
Sidharta, 2010).
Trauma kapitis yang menimbulkan kelainan neurologik disebabkan oleh :
a. kontusio serebri,
b. lasersio serebri,
c. perdarahan subdural,
d. perdarahan epidural, atau
e. perdarahan intraserebral.
Lesi lesi tersebut terjadi akibat gaya destruktif trauma. Pada mekanisme
terjadinya trauma kapasitis, seperti telah disebutkan sebelumnya, terjadi
gerakan cepat yang mendadak (akselerasi). Selain itu, terdapat pemberhentian
akselerasi secara mendadak (deakselerasi). Pada waktu akselerasi berlangsung
, terjadi akselerasi tengkorak kea rah impact dan pergeseran otak kea rah yang
berlawanan dengan arah impact. Adanya akselerasi tersebut menimbulkan
pergeseran otak serta pengembangan gaya kompresi yang destruktif, yang
akhirnya akan menimbulkan terjadinya lesi kontusio. Lesi kontusio dapat
berupa perdarahan pada permukaan otak yang terbentuk titik besar dan kecil
tanpa kerusakan durameter. Lesi kontusio dibawah impact disebut lesi
kontusio coup, sedangkan lesi disamping seberang impact disebut lesi
countercoup.ada pula intermediate, yaitu lesi yang berada di antara lesi
kontusio coup dan countercoup (Mardjono & Sidharta, 2010).
6. Prognosis Cedera Kepala
Prognosis adalah perkiraan keadaan akhir yang mungkin terjadi dari suatu penyakit.
Prognosis ini dapat meliputi beberapa aspek (Vemico,2014) :
a. Quo ad vitam
Quo ad vitam merupakan perkiraan mengenai hidup atau meninggalnya penderita.
Menurut Cardozo (2011) pasien cedera kepala penyebab kematian bisa karena
cedera kepala itu sendiri atau komplikasi (pneumonia, kegagalan multi organ,
sepsis) .
3. Quo ad sanam
Quo ad sanam merupakan perkiraan mengenai kesembuhan pasien. Menurut
Legarde., et al (2014) pasien cedera kepala, selain sembuh total, pasien bisa
mengalami gejala sequele post cedera. Salah satunya adalah post-concussive
syndrome.
4. Quo ad fungsionam
Quo ad fungsionam merupakan perkiraan yang ditinjau dari segi fungsionalnya.
Menurun Leon-Carrion (2006), Penilaian fungsional pada pasien cedera kepala
menggunakan Glasgow Outcome Scale (GOS). Skala ini menggambarkan
disabilitas dan kecacatan dibandingkan gangguan, yang difokuskan pada
bagaimana trauma mempengaruhi fungsi kehidupan.
B. Penilaian Neourologis Cedera kepala
1. Revised Trauma Score (RTS)
Beberapa sistem penilaian berbeda telah dikembangkan untuk memperkirakan
kondisi akhir pasien trauma. Penilaian ini umumnya berdasarkan cedera khusus, data
psikologis, atau kombinasi keduanya. Skoring trauma adalah salah satu contoh sistem
penilaian yang populer. Sistem tersebut melibatkan skala koma Glasgow dan
beberapa parameter untuk mendapatkan skor 0 sampai 12. Sistem tersebut mudah
untuk digunakan dan diterapkan pada kondisi trauma fase prehospital (Kartikawati,
2014).
RTS mempunyai nilai spesifisitas 94% dan akurasi 92%
(Okasha,2012). Terdapat dua tipe RTS, yaitu untuk triage pada pasien
dan untuk penelitian. RTS triage digunakan sebagai instrumen tenaga
kesehatan pra-rumah sakit untuk membantu memutuskan apakah pasien
trauma harus dibawa ke fasilitas pelayanan primer atau ke pusat trauma.
Untuk tenaga kesehatan rumah sakit, RTS membantu memutuskan
tingkat respons yang diaktifkan (Kingston, 2000; Ozoilo, 2012; Pohlam,
2014). Nilai RTS kurang dari atau sama dengan 11 berhubungan dengan
mortalitas 30% dan harus segera dibawa ke pusat trauma (Pohlam,
2014). Nilai RTS penelitian berbeda dari triage dalam hal penggunaan
faktor pemberat dan didesain untuk pengumpulan data retrospektif
dibandingkan penilaian prospektif (Songer,2015). Faktor pemberat
tersebut berupa komponen respirasi dikalikan dengan koefisien 0,2908,
tekanan darah sistolik dikalikan 0,7326, dan GCS dikalikan 0,9368.
Koefisien diperoleh dari regresi logistik data MTOS (Major Trauma
Outcome Study), dan jika dijumlahkan memberikan nilai berkisar dari 0
hingga 7,8408, nilai rendah menunjukkan cedera lebih berat (Champion,
2002).
Revised trauma score (RTS) adalah sistem penilaian pada pasien
dengan menggunakan 3 parameter sebagai berikut:
a. skala Glasgow koma (GCS),
b. tekanan darah sistolik dan
c. frekuensi pernafasan (RR). RTS merupakan sistem penilaian untuk
mengidentifikasi kemungkinan kelangsungan hidup pada pasien trauma
(Sloan et al.,2012).
1) Nilai Glasgow Coma
Glasgow Coma Scale (GCS) merupakan tolak ukur secara klinis
yang digunakan untk menilai derajad cedera kepala. GCS memiliki
tingkat sensitifitas dan spesifitas yang baik dalam mengukur kondisi
pasien. Skor GCS yang rendah mempunyai outcome yang buruk
(Oshaka et al., 2014).
Sistem ini merupakan sistem penilaian fisiologis pertama dan
diperkenalkan pada tahun 1974 oleh Teasdaledan Jennett. Perhitungan
GCS cepat dan sederhana, dan pengulangan perhitungan dapat
menginformasikan perkembangan atau perburukan pasien. Akan tetapi
penilaian ini bersifat subjektif pada beberapa kasus. Respons verbal
pasien yang terintubasi dan trakeostomi atau respons membuka mata
pada pasien dengan pembengkakan wajah berat tidak dapat dinilai,
sehingga membatasi penggunaan GCS (Salim, 2015).
Skor GCS 8 atau kurang diterima sebagai derajat cedera
kepala berat atau koma, skor 9 – 13 cedera kepala sedang dan skor
14 – 15 cedera kepala ringan. Pasien cedera kepala yang mempunyai
nilai GCS awal kurang dari 11 dalam waktu kurang dari 24 jam
memiliki outcome yang baik (82%) dan meninggal (18%). Pada pasien
dengan nilai GCS 3 atau 4 dalam 4 sampai 24 jam pertama memiliki
outcome yang baik (7%) dan meninggal (87%) (Sastrodiningrat, 2008).
2) Tekanan Darah Sistolik
Cedera kepala menyebabkan perubahan sistemik pada pasien.
Perubahan sistemik yang sering terjadi adalah hipotensi, yaitu tekanan
darah sistolik pasien kurang dari 90 mmHg. Tekanan darah sistolik
pada pasien lebih baik dalam memprediksi status hemodinamik,
karena pada saat itu terjadi proses kontraksi jantung dalam keadaan
maksimal yang terletak dalam lobus ventrikel (Berry et al., 2012).
Tekanan darah sistolik kurang dari 90 mmHg merupakan efek
sekunder dari cedera otak. Hipotensi bisa dipergunakan untuk
memprediksi outcome pasien cedera kepala. Depresi volume
intravaskuler akibat perdarahan karena cedera adalah yang paling
umum menyebabkan hipotensi pada pasien cedera kepala. Selain itu,
cedera pada organ lain seperti memar pada miokard dan cedera
tulang belakang akan mempengaruhi tekanan darah sistole. Memar
pada miokard juga mengakibatkan kegagalan jantung untuk
memompa. Pasien cedera kepala yang disertai cedera tulang
belakang yang mengalami syok sehingga mengakibatkan tekanan
darah sistolik menurun (Haddad & Arabi, 2012).
Angka mortalitas pada penderita hipotensi sistemik terjadi pada
waktu 24 jam setelah pasien dirawat (83%). Angka ini lebih tinggi
dibandingkan dengan kematian pada penderita tanpa hipotensi
sistemik (45%). Sebagian besar terjadi karena kehilangan darah
cedera sistemik, sebagian kecil karena cedera langsung pada pusat
reflek kardiovaskular di medula oblongata (Arifin & Henky, 2012).
Hipotensi juga berpengaruh terhadap kejadian cedera kepala
sekunder, yaitu kelanjutan dari cedera kepala yang disebabkan
karena benturan atau penetrasi langsung pada jaringan saraf
(Tobing, 2011).
3) Frekuensi Pernafasan
Pemeriksaan jumlah frekuensi pernafasan bisa digunakan sebagai
tindakan awal untuk mengetahui kondisi pasien sebelum dilakukan
pemeriksaan saturasi oksigen dan pemeriksaan lanjutan. Pada sebuah
penelitian, ditemukan bahwa cedera paru merupakan akibat dari cedera
kepala yang menyebabkan edema neurogenik pada paru, peradangan,
gangguan sistem saraf otonom (Koutsoukou et al., 2016).

Kategori Trauma Score :

Urutan Skoe Numerik


Tekanan Darah Ssitolik (Mmhg) :
>89 4
76-89 3
50-75 2
1-49 1
0 0
Laju Pernafasan
10-29 4
>29 3
6-9 2
1-5 1
0 0
Skor GCS
13-15 4
9-12 3
6-8 2
4-5 1
3 0
(Salim, 2015).

Persentase Kemungkinan Selamat Setiap Skor (RTS)

Total Skor Persentase Pasien Selamat (%)


12 99,5
11 96,9
10 87,9
9 76,6
8 66,7
7 63,6
6 63
5 45,5
3 atau 4 33,3
2 28,6
1 25
0 3,7
(Kartikawati, 2012).

Menurut Kartikawati (2012), setiap skor RTS dari pasien cedera kepala
berat mempunyai kemungkinan selamat yang berbeda. Semakin tinggi nilai
RTS maka semakin besar kemungkinan pasien untuk selamat.

Penilaian RTS yang digunakan pada penelitian ini mempunyai beberapa


kelebihan (Tirtayasa, 2013; Salim, 2015 & Okasha, 2011), yaitu :

a. Penilaian RTS tidak membedakan kelompok umur sehingga dianggap paling


sesuai untuk usia berapa saja.
b. Penilaian RTS tidak membedakan mekanisme trauma sehingga dianggap paling
sesuai untuk usia berapa saja dan tipe trauma apa saja
c. Instrumen RTS mempunyai nilai sensifitas 88%, spesifitas 94%, dan akurasi 92%.
Lebih tinggi dari pada GCS yang mempunyai nilai sensifitas 74,5%, spesifitas
80%, dan akurasi 78%
d. Penilaian RTS menggunakan GCS yang merupakan penilaian sistem persarafan,
nilai tekanan darah sistolik (sistem sirkulasi), dan nilai frekuensi pernafasan
(sistem respirasi).
2. Penanganan cedera kepala pra hospital
a. Manajemen jalan napas dan ventilasi
Obstruksi jalan napas dan hipoventilasi sering terjadi pada pasien cedera
kepala berat. Mereka dengan cepat menyebabkan hipoksemia dan hiperkapnia ,
yang keduanya berkontribusi pada perkembangan cedera otak sekunder. Awalnya
alat bantu jalan napas dasar (jaw thrust dan oropha .) ryngeal airways) harus
digunakan bersama dengan pemberian oksigen aliran tinggi pada pasien yang
tidak stabil atau memiliki SpO2 94%. Laryngeal mask airways dapat dipasang
pada pasien yang tidak sadar dan seringkali memberikan perawatan jalan nafas
yang dapat diandalkan. Keuntungan dari ini termasuk kontrol jalan napas definitif,
peningkatan oksigenasi dan peningkatan kontrol kadar karbon dioksida arteri.
Intubasi endotrakeal tion biasanya memerlukan pemberian agen anestesi dan obat
penghambat neuromuskular, bahkan pada pasien yang memiliki GCS; oleh karena
itu, ini hanya boleh dilakukan oleh individu yang terlatih dengan baik dengan
pemantauan pasien yang memadai.
Selalu dokumentasikan GCS dan ukuran pupil sebelum pemberian obat
penenang. Hal ini penting untuk menghindari hiperventilasi pascaintubasi, karena
menyebabkan vasokonstriksi serebral dan iskemia. Pasien cedera kepala yang
mengalami hiperventilasi memiliki hasil yang lebih buruk daripada pasien yang
diventilasi dengan PaCO2 arteri 4,5 kPa. Pemantauan karbon dioksida pasang
surut akhir mengurangi kejadian hiperventilasi lebih dari 50% dan sekarang
dianggap sebagai standar pemantauan rutin untuk semua pasien dengan ventilasi
mekanis. Target ETCO2 pada pasien cedera kepala harus 4,0 kPa (setara dengan
PaCO2 4,5 kPA ). Sedasi dan kelumpuhan pascaintubasi yang memadai sangat
penting untuk mencegah lonjakan ICP dari tersedak atau undersedation.
b. Manajemen Sirkulasi
Mempertahankan tekanan perfusi serebral yang memadai (CPP) adalah
landasan manajemen cedera kepala. Tekanan perfusi serebral dihitung dengan
mengurangi tekanan intrakranial dari tekanan arteri rata-rata. Cerebral Perfusion
Pressure (CPP) = Mean Arterial Pressure–Intracranial Pressure (ICP)
Mempertahankan CPP 60-70 mmHg adalah target biasa di rumah sakit pada
pasien cedera kepala berat. ICP mereka sering >20 mmHg, membutuhkan MAP
80 mmHg atau lebih. Pasien dengan cedera kepala berat yang menjadi hipotensi
memiliki risiko kematian dua kali lipat dibandingkan dengan pasien normotensif
(bahkan setelah satu episode hipotensi). Hipotensi menyebabkan penurunan
perfusi serebral dan iskemia neuronal dan seringkali multifaktorial pada pasien
trauma. Selalu asumsikan bahwa hipotensi disebabkan oleh hipovolemia sampai
terbukti sebaliknya dan cari lokasi kehilangan darah. Berikan tekanan langsung
untuk mengontrol perdarahan eksternal dan bidai panggul dan setiap patah tulang
panjang sebelum induksi anestesi jika memungkinkan. MAP tidak mudah
dihitung di awal.
Tekanan darah sistolik (SBP) minimal 90 mmHg dianjurkan pada orang
dewasa. Nilai yang lebih tinggi (>100 mmHg) mungkin diinginkan pada pasien
dengan cedera otak traumatis berat yang terisolasi. Pada pasien dengan cedera
multipel dan hipovolemia, terdapat konflik antara strategi resusitasi "hipotensi
permisif" untuk meminimalkan kehilangan darah dan kebutuhan untuk
mempertahankan tekanan perfusi serebral yang memadai untuk mencegah cedera
otak sekunder. Target SBP 90 mmHg harus digunakan. Cairan resusitasi yang
ideal tidak diketahui untuk pasien dengan cedera otak traumatis berat. Saat ini
bolus kecil (250-500 mL) cairan kristaloid, misalnya natrium klorida 0,9%,
digunakan untuk mempertahankan tekanan darah yang memadai di lapangan,
karena penggunaan vasopresor seringkali tidak praktis selama pengangkutan.
Solusi kristaloid hipertonik mungkin memiliki peran masa depan sebagai cairan
resusitasi maria pada kelompok pasien ini karena efeknya dalam mengurangi
tekanan intrakranial.
c. Imobilisasi
Adanya cedera kepala merupakan faktor risiko independen terkuat untuk
cedera tulang belakang leher. Mencurigai cedera dan melumpuhkan tulang
belakang leher pada semua pasien dengan GCS <15 nyeri leher atau sepuluh
derness , parestesia atau neurologi fokal atau pada mereka dengan mekanisme
cedera berisiko tinggi . Kerah serviks yang kaku dapat digunakan tetapi tidak
boleh terlalu ketat karena dapat menghambat aliran darah vena serebral karena
dapat meningkatkan tekanan intrakranial. Secara tradisional ini diikuti dengan
blok kepala, selotip dan papan panjang untuk melumpuhkannya tulang belakang
racolumbar . Kasur vakum semakin banyak digunakan untuk imobilisasi dan telah
terbukti mengurangi gerakan tubuh dan meningkatkan kenyamanan pasien
dibandingkan dengan papan panjang Pasien yang agresif dan gelisah memberikan
tantangan; dalam beberapa hal mungkin lebih aman untuk membiarkan tulang
belakang leher tidak bergerak dalam kerah saja. Penilaian awal tulang belakang
leher di rumah sakit harus dilakukan sehingga leher rahim dapat dilepas. Selama
pemindahan , pasien cedera kepala berat harus memiliki kemiringan kepala
minimal 15 derajat untuk meningkatkan drainase vena serebral.
d. Pemindahan
Semua pasien cedera kepala perlu dipindahkan ke rumah sakit yang memiliki
fasilitas pemindaian computed tomography (CT). Idealnya, pasien cedera kepala
berat harus dipindahkan langsung ke rumah sakit dengan kemampuan bedah saraf,
karena ini menghindari kebutuhan untuk transfer sekunder berikutnya. Bukti saat
ini juga menunjukkan bahwa pasien dengan cedera tersebut memiliki hasil yang
lebih baik jika dikelola di pusat bedah saraf spesialis. Adanya cedera lain dan
kedekatan dengan institusi harus dipertimbangkan ketika memutuskan fasilitas
perawatan sekunder mana yang sesuai. Transportasi biasanya akan melalui jalan
darat tetapi transportasi udara sayap putar sesuai dalam keadaan tertentu seperti di
lokasi terpencil atau di mana transfer utama ke pusat bedah saraf diindikasikan,
melewati rumah sakit penerima setempat
C. Konsep Asuhan Keperawatan Teoritis
Konsep Asuhan Keperawatan Pada Trauma Kepala Berat (TKB)

1. Pengkajian
Pengkajian Kegawat daruratan :
a. Primary Survey
1) Airway dan Cervical control
Hal pertama yang dinilai adalah kelancaran airway. Meliputi
pemeriksaan adanya obstruksi jalan nafas yang dapat disebabkan
benda asing, fraktur tulang wajah, fraktur mandibula atau maksila,
fraktur larinks atau trachea. Dalam hal ini dapat dilakukan “chin
lift” atau “jaw thrust”. Selama memeriksa dan memperbaiki jalan
nafas, harus diperhatikan bahwa tidak boleh dilakukan ekstensi,
fleksi atau rotasi dari leher.
2) Breathing dan Ventilation
Jalan nafas yang baik tidak menjamin ventilasi yang baik.
Pertukaran gas yang terjadi pada saat bernafas mutlak untuk
pertukaran oksigen dan mengeluarkan karbon dioksida dari tubuh.
Ventilasi yang baik meliputi:fungsi yang baik dari paru, dinding
dada dan diafragma.
3) Circulation dan Hemorrhage control
a) Volume darah dan Curah jantung
Kaji perdarahan klien. Suatu keadaan hipotensi harus dianggap
disebabkan oleh hipovelemia. 3 observasi yang dalam hitungan
detik dapat memberikan informasi mengenai keadaan
hemodinamik yaitu kesadaran, warna kulit dan nadi.
b) Kontrol Perdarahan
4) Disability
Penilaian neurologis secara cepat yaitu tingkat kesadaran, ukuran
dan reaksi pupil.
5) Exposure dan Environment control
Dilakukan pemeriksaan fisik head toe toe untuk memeriksa jejas.
b. Secondary Survey
1) Kepala
Kelainan atau luka kulit kepala dan bola mata, telinga bagian luar dan membrana
timpani, cedera jaringan lunak periorbital
2) Leher
Adanya luka tembus leher, vena leher yang mengembang
3) Neurologis
Penilaian fungsi otak dengan Glasgow Coma Score (GCS)
4) Dada
Pemeriksaan klavikula dan semua tulang iga, suara nafas dan jantung,
pemantauan EKG
5) Abdomen
Kaji adanya luka tembus abdomen, pasang NGT dengan trauma tumpul abdomen
6) Pelvis dan ekstremitas
Kaji adanya fraktur, denyut nadi perifer pada daerah trauma, memar dan cedera
yang lain
7) Aktivitas/istirahat
Gejala : Merasa lelah, lemah, kaku, hilang keseimbangan.
Tanda : Perubahan kesadaran, letargi, hemiparese, puandreplegia, ataksia, cara
berjalan tidak tegang.
8) Sirkulasi
Gejala : Perubahan tekanan darah (hipertensi) bradikardi, takikardi.
9) Integritas Ego
Gejala : Perubahan tingkah laku dan kepribadian.
Tanda : Cemas, mudah tersinggung, angitasi, bingung, depresi dan impulsif.
10) Makanan/cairan
Gejala : Mual, muntah dan mengalami perubahan selera.
Tanda : muntah, gangguan menelan.
11) Eliminasi
Gejala : Inkontinensia, kandung kemih atau usus atau mengalami gangguan
fungsi.
12) Neurosensori
Gejala : Kehilangan kesadaran sementara, amnesia, vertigo, sinkope, kehilangan
pendengaran, gangguan pengecapan dan penciuman, perubahan penglihatan
seperti ketajaman.
Tanda : Perubahan kesadaran bisa sampai koma, perubahan status mental,
konsentrasi, pengaruh emosi atau tingkah laku dan memoris.
13) Nyeri/kenyamanan
Gejala : Sakit kepala.
Tanda : Wajah menyeringai, respon menarik pada rangsangan nyeri yang hebat,
gelisah, tidak bisa istirahat, merintih.
14) Pernafasan
Tanda : Perubahan pola pernafasan (apnoe yang diselingi oleh hiperventilasi nafas
berbunyi)
15) Keamanan
Gejala : Trauma baru/trauma karena kecelakaan.
Tanda : Fraktur/dislokasi, gangguan penglihatan, gangguan rentang gerak, tonus
otot hilang, kekuatan secara umum mengalami paralisis, demam, gangguan dalam
regulasi suhu tubuh.
16) Interaksi social
Tanda : Apasia motorik atau sensorik, bicara tanpa arti, bicara berulang-ulang,
disartria.
2. Diagnosa Keperawatan yang mungkin ada
Diagnosa keperwatan yang lazim muncul pada pasien dengan cedera kepala adalah:
a. Resiko ketidakefektifan perfusi jaringan cerebral berhubungan dengan
edema serebral, peningkatan tekanan intra cranial (TIK)
b. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan kegagalan otot pernafasan
3. Intervensi Keperawatan
4. Implementasi
Implementasi adalah tindakan keperawatan yang sesuai dengan yang telah
direncanakan, mencakup tindakan mandiri dan kolaborasi. Tindakan keperawatan
mandiri merupakan tindakan berdasarkan analisis dan kesimpulan perawat dan bukan atas
petunjuk tenaga Kesehatan lainnya. Sedangkan tindakan kolaborasi adalah tindakan
keperawatan berdasarkan hasil keputusan bersama dengan dokter atau tenaga Kesehatan
lainnya (Mitayani,2010). Implementasi keperawatan pada studi kasus ini disesuaikan
dengan intervensi keperawatan yang telah disusun berdasarkan diagnosa keperawatan
prioritas.
5. Evaluasi
Evaluasi keperawatan adalah hasil perkembangan berdasarkan tujuan
keperawatan yang hendak dicapai sebelumnya (Mitayani, 2010). Evaluasi yang
digunakan mencakup dua bagian yaitu evalusi formatif yang disebut juga evaluasi proses
dan evaluasi jangka pendek adalah evaluasi yang dilaksanakan terus menerus terhadap
tindakan keperawatan yang telah dilakukan. Evaluasi keperawatan pada studi kasus ini
disesuaikan dengan tujuan dan kriteria hasil yang telah disusun berdasarkan diagnosa
keperawatan prioritas.
BAB III

HASIL PENGKAJIAN KASUS

A. Pengkajian
1. Identitas pasien
Nama : Tn.J
Tanggal masuk rumah sakit : 04-04-2022
Tanggal pengkajian : 05-04-2022
No Register pasien : 511248
Ruangan perawatan : Intensif Care Unit RSUD Pontianak
Jenis kelamin : laki-laki
Umur : 16 tahun
Agama : Islam
Pendidikan : SMP
Pekerjaan : Siswa
Status pernikahan : Belum menikah
Diagnose medis : Trauma capitis berat
Alamat : Jln Tanray 2
2. Identits penanggung jawab
Nama : Tn. B
Umur : 38 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Pendidikan : SMA
Pekerjaan : Swasta
Hubungan dengan pasien : Ayah pasien
Alamat : jln tanray

3. Riwayat Kesehatan
a. Riwayat Kesehatan Sekarang
1) Keluhan utama : pasien datang dengan penurunan kesadaran
2) Riwayat keluhan utama: pasien dengan riwayat kecelakaan lalulintas pada
tanggal 04-04-2022 jam 10.30 Wib
3) Upaya yang telah dilakukan : pasien dirujuk ke IGD RSUD Pontianak pada
hari yang sama jam 13.30 Wib
4) Terapi/ operasi yang sudah dilakukan : telah dilakukan pemasangan IVFD 2
jalur, pembidaian pada area fraktur, CT-Scan kepala dan pemeriksaan darah
rutin di IGD RSUD Pontianak

b. Riwayat Kesehatan Masa Lalu


1) Penyakit berat yang pernah diderita : tidak ada
2) Pernah dirawat di RS : tidak pernah
3) Pernah operasi : tidak pernah
4) Obat – obatan yang pernah dikonsumsi : tidak ada
5) Alergi : tidak ada
6) Kebiasaan merokok/ alkohol/ lainnya : tidak ada
7) BB sebelum sakit : 38 kg
c. Riwayat Kesehatan Keluarga
Keluarga pasien mengatakan di keluarga ada riwayat penyakit hipertensi yaitu
kakek pasien. Keluarga juga mengatakan ada riwayat diabetes mellitus dikeluarga.
Tidak ada riwayat penyakit menular seperti TBC.

Genogram :

: laki laki :pasien

: perempuan : menikah

: meniggal : tinggal serumah


4. PEMERIKSAAN FISIK
a. Keadaan umum
Keadaan umum pasien lemah dan terdapat penurunan kesadaran
b. Kesadaran
Tingkat kesadaran pasien semi koma GCS E1V1M3 nilai 5
c. Tanda-tanda vital
TD : 100/ 70 mmHg
HR : 91/ menit
RR :17 x/ menit
S : 37,5 oC
SpO2 : 90 %
d. Kepala dan leher
1) Kepala
Bentuk menshocephal, terdapat luka terbuka di os temporal sinistra sepanjang
10 cm, tanda hitam belakang telinga (bathel sign) di bagian sinistra.
2) Penglihatan
Mata simetris,sklera tidak ikterik, konjungtiva tidak anemis, raccoon eyes di
mata sinistra, pupil anisokor 2/4, reaksi cahaya ++/--.
3) Pendengaran
Bentuk simetris, terdapat cairan darah dari telinga sinistra
4) Hidung
Bentuk simetris, tidak ada secret, tidak ada sinusitis, tidak ada darah,
pernafasan cuping hidung positif
5) Tenggorokan dan mulut
Terpasang ventilator dan endo tracheal tube, bibir lembab, gigi ada yang
tanggal, tidak ada stomatitis, tidak ada tonsillitis.
6) Leher
Tidak ada pembengkakan kelenjar, tidak ada peningkatan JVP.
e. Pernafasan(breathing)
1) Inspeksi
 Terpasang ventilator
 Bentuk dada simetris, tidak ada lesi maupun jejas Frekuensi nafas 17
x/menit
 Tidak nampak retraksi dinding dada Pernafasan cuping hidung positif
Payudara dan puting normal
2) Palpasi
 Vokal fremitus teraba di ICS 4
 Tidak teraba massa
 Tidak ada pengembangan dada abnormal
3) Perkusi
Cairan : tidak ada dullnes
Udara : sonor
4) Auskultasi
Suara nafas vesikuler, terdapat suara tambahan stridor Tidak ada krepitasi,
tidak ada wheezing

f. Kardiovaskuler(bleding)
1) Inspeksi
Tidak ada edema ekstremitas, tidak ada edema palpebra, tidak ada asites
2) Palpasi
Ictus cordis teraba di ICS 4
3) Perkusi
Pekak, tidak ada perbesaran jantung
4) Auskultasi
BJ 1 dan BJ 2 normal
Lainnya: akral dingin, CRT < 3 detik
g. Pencernaan
1) Inspeksi
Turgor kulit elastis, bibir lembab
Rongga mulut normal, tidak ada stomatitis
Abdomen tidak nampak jejas maupun massa, tidak nampak pembuluh
kapiler
2) Auskultasi
Bising usus 12 x/ menit
Bunyi vaskuler tidak ada
Bunyi peristaltic usus normal
3) Perkusi
Tympani
4) Palpasi
Tidak teraba massa

h. Ekstremitas
1) Ekstremitas atas
Tidak ada deformitas
2) Ekstremitas bawah
Tidak terdapat deformitas di bagian sinistra, terdapat fraktur di os femur
sinistra
3) Kulit
Bersih, warna kulit sawo matang, akral dingin, turgor kulit baik.

i. Genitalia
Normal, bersih, terpasang kateter urine

5. Activity Daily Living


a. Nutrisi
1) Sebelum dirawat
Pasien makan 3x sehari dengan lauk pauk habis satu porsi
2) Setelah dirawat
Pasien terpasang NGT dan masih dialirkan

b. Eliminasi

BAB
1) Sebelum dirawat
Pasien BAB 1x sehari, konsistensi lembek, tidak ada darah
2) Setelah dirawat
Pasien belum BAB

BAK

1) Sebelum dirawat
Pasien biasa BAK 5-6 kali sehari, warna kekuningan, tidak bercampur darah.
2) Setelah dirawat
Pasien terpasang katetern urine, warna urin kekuningan, tidak bercampur
darah. Urin output 200-300 ml/ 7 jam

c. Olahraga dan aktivitas


Pasien tidak pernah berolahraga
Pasien hanya beraktivitas di rumah dan di sekolah

d. Istirahat dan tidur


1) Sebelum dirawat
Pasien biasa tidur 8 jam sehari, tidak sering terbangun
2) Setelah dirawat
Pasien mengalami penurunan kesadaran
e. Personal higyene
Pasien biasa mandi 2 x sehari menggunakan sabun, gosok gigi menggunakan
pasta gigi.
Setelah dirawat pasien belum mandi

6. POLA INTERAKSI SOSIAL


Orang terdekat pasien adalah keluarga. Bila ada masalah pasien mendiskusikan dengan
keluarga.

7. KEGIATAN KEAAMAAN
Pasien biasa sholat 5 waktu dan mengaji di masjid. Setelah sakit pasien mengalami
penurunan kesadaran

8. KEADAAN PSIKOSOSIAL SELAMA SAKIT


Keluarga pasien menganggap sakit sebagai ujian Harapan keluarga pasien lekas sembuh
dan pulang kerumah Keluarga pasien berinteraksi dengan baik dengan petugas kesehatan

9. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
a. Foto thorax : tidak ada
b. CT Scan :
 Tampak lesi hiperdens luas pada lobus frontalis kanan disertai perifocal
edema disekitarnya
 Tampak pula lesi hiperdens mengisi ventrikel lateralis terutama kiri sampi
ventrikel empat
 Sulci dan gyri obliterasi
 Pons dan cerebellum normal
 Tak tampak klasifikasi abnormal
 Tampak deviasi midline sejauh 7,4 mm
 Orbita dan mastoid baik
 Penebalan mukosa sinus maxilaris bilateral
 Tampak diskontinuitas os zygomaticum kanan, dinding sinus maxilaris
kanan,nasofrontalis dan nasomaxilaris

Kesan :
Intracerebral dan intraventrikular hematoma Fraktur leFort I-III

10. PEMERIKSAAN LABORATORIUM


Darah rutin
Hb 8,0 g/dL
Leukosit 20,10 sel/mm3.
Na 140,7 mEql/L
K 4,21 mEql/L
CL 106,0 mEql/L

Darah rutin normal


Hb 13,5-18,0 g/dL (pria dewasa)
Leukosit 4500-10,000 sel/mm3 (dewasa)
Na 135-145 mEql/L (dewasa)
K 3,5-5,0 mEql/L (dewasa)
CL 95-105 mEql/L (dewasa)

11. OBAT

Nama obat Dosis Waktu pemberian

Pantoprazole 2 x 1 vial 06.00 18.00

Furosemide 2 x 2 ampul 06.00 18.00

Ceftriaxon 2 x 1 vial 06.00 18.00


Domperidone 3 x 10 mg 06.00 14.00 22.00

Ketorolac 3 x 1 amp 06.00 14.00 22.00

Antrain 3 x 1 amp 06.00 14.00 22.00

Asam tranexamat 3x 1 amp 06.00 14.00 22.00

Paracetamol infuse 3x 500 mg 06.00 14.00 22.00

Morfina 2 amp dalam 20 cc 1 cc/ jam/ siring pump

IVFD Kaen 3B : Asering (2:2) / hari

12. ANALISA DATA/DAFTAR RUMUSAN MASALAH

Tanggal
No Data fokus Problem Etiologi
/ jam
1 04-04- Ds : resiko perfusi Cedera kepala
2022 Do : keadaan umum lemah, kesadaran serebral tidak
08.30 semi koma, GCS 5, CT Scan hasil: efektif
Intracerebral dan intraventrikular
hematoma, terdapat luka terbuka di
os temporal sinistra sepanjang 10 cm,
bathel sign di bagian sinistra, raccoon
eyes dimata sinistra, pupil anisokor
2/4 RC ++/--, terdapat cairan darah di
telinga sinistra, terpasang infuse RL 20
tpm di lengan kanan, terdapat fraktur
di os femur sinistra, terpasang kateter
urine, terpasang nasal gastric tube,
terpasang endo tracheal tube dan
ventilator. TD : 100/70 mmHg HR : 91
x/ menit RR : 17x/ menit S : 37,5 O C
SpO2 : 90 % Urine output 200 cc-300
cc /7 jam
2 04-04- Ds : - pola napas tidak Gangguan
2022 Do : keadaan umum lemah, kesadaran efektif Neurologis
09.00 semi koma, pernafasan cuping hidung
positif, , terdapat suara tambahan
stridor, terpasang endo tracheal tube,
terpasang ventilator TD : 100/70
mmHg HR : 91 x/ menit RR : 17x/
menit S : 37,5 O C SpO2 : 90 % Urine
output 200 cc-300 cc /7 jam

B. PRIORITAS DIAGNOSE
1. resiko perfusi serebral tidak efektif berhubungan dengan Cedera kepala
2. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan Gangguan Neurologis

C. INTERVENSI KEPERAWATAN NIC NOC

no SDKI SIKI SLKI


1 resiko perfusi serebral tidak Manajemen Perfusi Serebral
efektif berhubungan dengan peningkatan tekanan
Cedera kepala intracranial Kriteria Hasil
Tingkat
Observasi kesadaran(5)
 Identifikasi Kognitif (5)
penyebab Tekanan intra
peningkatan kranlial(5)
TIK (mis. Lesi, Sakit kepala(5)
gangguan Gelisah (5)
metabolisme, Kecemasan(5)
edema serebral) Agitasi (5)
 Monitor Demam (5)
tanda/gejala Nilai rata-rata
peningkatan tekanan darah
TIK (mis. Kesadaran (5)
Tekanan darah Tekanan darah
meningkat, sistolik (5)
tekanan nadi Tekanan darah
melebar, diastolik (5)
bradikardia, Refleks saraf(5)
pola napas
ireguler,
kesadaran
menurun)
 Monitor MAP
(Mean Arterial
Pressure)
 Monitor CVP
(Central
Venous
Pressure), jika
perlu
 Monitor
PAWP, jika
perlu
 Monitor PAP,
jika perlu
 Monitor ICP
(Intra Cranial
Pressure), jika
tersedia
 Monitor CPP
(Cerebral
Perfusion
Pressure)
 Monitor
gelombang ICP
 Monitor status
pernapasan
 Monitor intake
dan output
cairan
 Monitor cairan
serebro-spinalis
(mis. Warna,
konsistensi)
Terapeutik
 Minimalkan
stimulus
dengan
menyediakan
lingkungan
yang tenang
 Berikan posisi
semi fowler
 Hindari
maneuver
Valsava
 Cegah
terjadinya
kejang
 Hindari
penggunaan
PEEP
 Hindari
pemberian
cairan IV
hipotonik
 Atur ventilator
agar PaCO2
optimal
 Pertahankan
suhu tubuh
normal

Kolaborasi
 Kolaborasi
pemberian
sedasi dan
antikonvulsan,
jika perlu
 Kolaborasi
pemberian
diuretic
osmosis, jika
perlu
 Kolaborasi
pemberian
pelunak tinja,
jika perlu
2 Pola nafas tidak efektif Manajemen jalan nafas Pola nafas
berhubungan dengan Kriteria Hasil
Gangguan Neurologis Observasi
 Monitor pola Ventilasi semenit
napas (5)
(frekuensi, Kapasitas vital
kedalaman, (5)
usaha napas) Diameter thoraks
 Monitor bunyi anterior-posteilor
napas tambahn (5)
9mis. Gurgling, Tekanan ekspirasi
mengi, (5)
wheezing, Tekanan inspiras
ronkhi kering) i(5)
 Monitor
sputum Dispnea (5)

(jumlah, warna, Penggunaan otot

aroma) – bantu napas(5)

Terapeutik Pernanjangan fase


ekspirasi (5)

 Pertahankan Ortopnea (5)

kepatenan jalan Pernapasan pursed-

napas dengan tip (5)

head.till dan Pernapasan cuping

chinlift (jaw- hidung (5)

thrust jika Frekuensi napas (5)

curiga trauma Kedalaman napas(5)

servikal) Ekskursi dada(5)

 Posisikan semi-
fowler atau
fowler
 Berikan minum
hangat
 Lakukan
fisioterapi
dada, jika perlu
 Lakukan
penghisapan
lendir kurang
dari 15detik
 Lakukan
hiperoksigenasi
sebelum
penghisapan
endotrakeal
 Keluarkan
sumbatan
benda padat
dengan forsep
McGill
 Berikan
oksigen, jika
perlu
Edukasi

 Anjurkan
asupan cairan
2000ml/hari,
jika tidak
kontraindikasi
 Ajarkan teknik
batuk efektif

Kolaborasi
 Kolaborasi
pembeian
bronkodilator,
ekspektoran,
mukolitik, jika
perlu
BAB IV
PEMBAHASAN LITERATUE KESENJANGAN

1. Menurut Irina, dkk dalam jurnal yang berjudul Ventilasi Mekanik yang “Memanjang
pada Pasien Cedera Otak Traumatik Berat dengan Kejang Pascatrauma”. Penanganan
trauma kepala berat perlu dilakukan secara optimal sejak dari awal kejadian dan
untuk mencegah terjadi cedera otak sekunder yang akan memperberat luaran. Kejang
dan demam merupakan cedera sekunder yang mempengaruhi hasil luaran.
Penanganan yang dilakukan pada kasus ini meliputi tatalaksana jalan nafas dan sistem
respirasi, optimalisasi hemodinamik, pengendalian TIK dan tindakan lain yang
diperlukan untuk menjaga perfusi dan oksigenasi serebral
2. Menurut Haryono dan Dhea, 2021 yang berjudul “Manajemen Terapi
Nonfarmakologi Terhadap Peningkatan Kesadaran (Glasgow Coma Scale) Pada
Pasien Cedera Kepala Sedang” , Pemberian oksigen dan elevasi kepala 30º pada
pasien dengan cedera kepala sedang menjadi langkah awal. Dilanjutkan terapi seperti
terapi stimulasi sensori berupa stimulasi pada pendengaran, sensasi pada kulit, penci-
uman dan pengecapan dan sebagai salah satu terapi komplementer dalam
meningkatkan GCS pada pasien cedera kepala dan dapat juga dilakukan terapi
Murotal Al Qurán, terapi murotal Al Qur’an ini telah terbukti berpengaruh terhadap
nilai GCS
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Mekanisme cedera mengacu pada cara terjadinya peristiwa yang menimbulkan
trauma, hal yang menyebabkan trauma dan informasi tentang tipe serta jumlah energi
yang diubah pada saat kejadian tersebut. Identifikasi terjadinya proses cedera dituntut
harus benar-benar dan diteliti dengan baik, pengetahuan tentang cara terjadinya
peristiwa traumatik akan membantu identifikasi dini dan penatalaksanaan cedera
mungkin tidak tampak pada pengkajian pendahuluan. Mekanisme yang berkontribusi
terhadap cedera kepala;
Cedera kepala merupakan bentuk cedera otak yang disebabkan oleh kerusakan
mendadak pada otak. Kerusakan ini akibat dari adanya kekuatan mekanik eksternal
atau benturan fisik dari luar seperti jatuh, olahraga, serangan dan kecelakaan lalu
lintas yang dapat menimbulkan kerusakan permanen atau sementara pada fungsi
neuroogis yaitu gangguan fisik, kognitif, dan fungsi psikososial .
Penanganan trauma kepala berat perlu dilakukan secara optimal sejak dari awal
kejadian dan untuk mencegah terjadi cedera otak sekunder yang akan memperberat
luaran. Kejang dan demam merupakan cedera sekunder yang mempengaruhi hasil
luaran
B. Saran
Dengan disusunnya makalah ini mengharapkan kepada semua pembaca agar dapat
menelah dan memahami isi makalah ini sehingga sedikit banyak bisa menambah
pengetahuan pembaca.
DAFTAR PUSTAKA

ABC of Prehospital Emergency Medicine. (2013). United Kingdom: Wiley.

Haryono, R., & Febriyani, D. R. (2021). Manajemen Terapi Nonfarmakologi Terhadap


Peningkatan Kesadaran (Glasgow Coma Scale) pada Pasien Cedera Kepala Sedang.
Prosiding Diseminasi Hasil Penelitian Dosen Program Studi Keperawatan dan Farmasi
Volume 3 Nomor 1 Bulan Januari Tahun 2021, 3(1).

Irina, S., Oetoro, B. J., & Gaus, S. (2018). Ventilasi Mekanik yang Memanjang pada Pasien
Cedera Otak Traumatik Berat dengan Kejang Pascatrauma. Jurnal Neuroanestesi
Indonesia, 7(2), 110-116.

Karren, K. J., Mistovich, J. J., Hafen, B. (2014). Prehospital Emergency Care. United Kingdom:
Pearson.

Marbun Silviana Agnes, Sinuraya Elida, Amila, S. V. G. (2017). Manajemen cedera


kepala,Ahlimedia press:Malang

Muhammad, F. faisal. (2020). Gambaran pengetahuan perawat dalam penanganan pasien


cedera kepala.

Anda mungkin juga menyukai