Anda di halaman 1dari 129

LAPORAN PEMBELAJARAN

ILMU KEDOKTERAN KLINIK (IKK)

DI RSD BALUNG-JEMBER

Oleh:

Kelompok IKK Putaran Satu (1)

BAGIAN ILMU KEDOKTERAN KLINIK


FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI
UNIVERSITAS JEMBER
2019

1
Anggota IKK Putaran 1:

Nomor Nama NIM


1 Dimas Ananta 091611101091
2 Adriano Joshua 131611101065
3 Fadhilah Rusmaputeri 141611101008
4 Arwinda Hening Pangestu 141611101010
5 Hanifah Nailul Amania 141611101013
6 Aldiansyah Hakim 141611101019
7 Ade Ayu Dwi Riani 141611101089
8 Elissa Arianto 181611101001
9 Dhystika Zahrah Septiana 181611101002
10 Rudy Ramadhana Putra 181611101004
11 Kalvin Juniawan Kristanto 181611101005
12 Adnan Rasyid Rifai 181611101006
13 Dina Kurniasari 181611101007

2
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL......................................................................................... 1
DAFTAR ISI...................................................................................................... 3
1. Kegiatan Praklinik
1.1. Kegiatan...................................................................................................... 4
1.2. Uraian/Deskripsi Kegiatan yang dikerjakan
1.2.1. Pengenalan manajemen dan profil RSD Balung................................ 4
1.2.2. komite medik...................................................................................... 5
1.2.3. hak dan kewajiban pasien dan keluarga............................................. 16
1.2.4. prinsip SKP (Standar Keselamatan Pasien)........................................ 18
1.2.5. Materi K3RS (Keselamatan dan Kesehatan Kerja di Rumah Sakit). . 21
1.2.6. Materi prinsip dasar PPI (pencegahan dan pengendalian infeksi di
rumah sakit)........................................................................................ 26
1.2.7. Materi BHD (Bantuan Hidup Dasar).................................................. 34
2. Kegiatan Klinik
2.1. Instalasi Gawat Darurat (IGD)..................................................................... 40
2.2. Poli Penyakit Dalam..................................................................................... 51
2.3. Poli Anak......................................................................................................
..............112
2.4. Poli Gigi`......................................................................................................
..............114
2.5. Poli Bedah....................................................................................................
..............118
2.6. Poli Kandungan dan Kebidanan...................................................................
..............121
2.7. Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (PPI).............................................
..............122

3
4
1. KEGIATAN PRAKLINIK
1.1. Kegiatan
1. Materi pengenalan manajemen dan profil RSD Balung
2. Materi komite medik
3. Materi hak dan kewajiban pasien dan keluarga
4. Materi prinsip SKP (Standar Keselamatan Pasien)
5. Materi K3RS (Keselamatan dan Kesehatan Kerja di Rumah Sakit)
6. Materi prinsip dasar PPI (pencegahan dan pengendalian infeksi di rumah
sakit)
7. Materi BHD (Bantuan Hidup Dasar)
1.2. Uraian / Deskripsi Kegiatan yang dikerjakan
1.2.1 Pengenalan Manajemen dan Profil RSD Balung
Rumah Sakit Daerah Balung merupakan rumah sakit kelas C milik
Pemerintah Daerah Jember. Rumah sakit ini terletak di Kabupaten Jember
bagian barat selatan. Dilengkapi dengan fasilitas rawat jalan atau poliklinik
spesialis dan dilengkapi fasilitas rawat inap yang representatif, serta didukung
fasilitas penunjang medis untuk membantu menegakkan diagnosa penyakit.
Selain itu, rumah sakit balung juga didukung instalasi farmasi yang
menyediakan obat dan peralatan yang dibutuhkan dalam perawatan medis dan
ruang operasi bedah sentral/kamar operasi yang representatif. Sebagai institusi
pelayanan kesehatan, RSUD Balung diresmikan sebagai rumah sakit kelas C
oleh bupati Jember pada tanggal 2 Januari 2002.
Profil pelayanan rumah sakit:
a. Instalasi Rawat Inap
b. Instalasi Rawat Jalan
c. Instalasi Farmasi
d. Instalasi Gawat Darurat (IGD)
e. Instalasi Kamar Operasi Rumah Sakit (IKORS)
f. Instalasi Gizi
g. Instalasi Laboratorium
h. Instalasi Radiologi
i. Instalasi Pemeliharaan Sarana Rumah Sakit

5
j. Instalasi Pengelolaan Air Limba
k. Instalasi Pemulasaraan Jenazah
l. Unit Pelayanan Rekam Medik
m. Unit Pelayanan Administrasi Terpadu

Visi dan Misi Rumah Sakit Daerah Balung:


Visi: Terwujudnya Rumah Sakit Balung yang modern, profesional, dan
prima di bidang pelayanan kesehatan
Misi: 1. Mencukupi sarana prasarana secara bertahap sesuai skala prioritas
dan perkembangan teknologi;
2. Mengembangkan sistem dan prosedur pelayanan yang sederhana,
jelas, aman, efisien tepat waktu, berkeadilan, ekonomis, dan
transparan;
3. Pengembangan sumber daya manusia melalui pendidikan dan
pelatihan;
4. Menerapkan sistem informasi manajemen Rumah Sakit yang
sistematik
Moto: Bekerja profesional demi kemanusiaan
Valoe: Berkomitmen menjaga kekompakan saling menghormati dan ikut
memiliki Rumah Sakit

1.2.2. Komite Medik


PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 755/MENKES/PER/IV/2011
TENTANG
PENYELENGGARAAN KOMITE MEDIK DI RUMAH SAKIT
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang:
a. bahwa profesionalisme staf medis perlu ditingkatkan untuk menjamin mutu
pelayanan kesehatan dan melindungi keselamatan pasien;

6
b. bahwa komite medik memiliki peran strategis dalam mengendalikan
kompetensi dan perilaku staf medis di rumah sakit serta dalam rangka
pelaksanaan audit medis;
c. bahwa ketentuan yang mengatur komite medik saat ini perlu disesuaikan
dengan semangat profesionalisme sebagaimana diatur dalam peraturan
perundang-undangan di bidang kesehatan dan perumah sakitan;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a,
huruf b, dan huruf c perlu menetapkan Peraturan Menteri Kesehatan tentang
Penyelenggaraan Komite Medik di Rumah Sakit;
Mengingat:
1 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 116, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4431);
2 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437) sebagaimana telah
diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang
Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008
Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844);
3 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5063);
4 Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 153, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5072);
5 Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1333/Menkes/SK/XII/1999 tentang
Standar Pelayanan Rumah Sakit;
6 Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1045/Menkes/Per/XI/2006 tentang
Pedoman Organisasi Rumah Sakit di Lingkungan Departemen Kesehatan;
7 Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 512/Menkes/Per/IV/2007 tentang Izin
Praktik dan Pelaksanaan Praktik Kedokteran;

7
8 Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 129/Menkes/SK/II/2008 tentang
Standar Pelayanan Minimal Rumah Sakit;
9 Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 147/Menkes/Per/I/2010 tentang
Perizinan Rumah Sakit;
10 Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 340/Menkes/Per/III/2010 tentang
Klasifikasi Rumah Sakit;

MEMUTUSKAN:

MENETAPKAN: PERATURAN MENTERI KESEHATAN TENTANG


PENYELENGGARAAN KOMITE MEDIK DI RUMAH SAKIT.

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan Menteri Kesehatan ini yang dimaksud dengan:


1 Komite medik adalah perangkat rumah sakit untuk menerapkan tata kelola
klinis (clinical governance) agar staf medis di rumah sakit terjaga
profesionalismenya melalui mekanisme kredensial, penjagaan mutu profesi
medis, dan pemeliharaan etika dan disiplin profesi medis.
2 Staf medis adalah dokter, dokter gigi, dokter spesialis, dan dokter gigi
spesialis di rumah sakit.
3 Rumah sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan
pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang menyediakan
pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat.
4 Peraturan internal rumah sakit (hospital bylaws) adalah aturan dasar yang
mengatur tata cara penyelenggaraan rumah sakit meliputi peraturan internal
korporasi dan peraturan internal staf medis.
5 Peraturan internal korporasi (corporate bylaws) adalah aturan yang
mengatur agar tata kelola korporasi (corporate governance) terselenggara
dengan baik melalui pengaturan hubungan antara pemilik, pengelola, dan
komite medik di rumah sakit.

8
6 Peraturan internal staf medis (medical staff bylaws) adalah aturan yang
mengatur tata kelola klinis (clinical governance) untuk menjaga
profesionalisme staf medis di rumah sakit.
7 Kewenangan klinis (clinical privilege) adalah hak khusus seorang staf medis
untuk melakukan sekelompok pelayanan medis tertentu dalam lingkungan
rumah sakit untuk suatu periode tertentu yang dilaksanakan berdasarkan
penugasan klinis (clinical appointment).
8 Penugasan klinis (clinical appointment) adalah penugasan kepala/direktur
rumah sakit kepada seorang staf medis untuk melakukan sekelompok
pelayanan medis di rumah sakit tersebut berdasarkan daftar kewenangan
klinis yang telah ditetapkan baginya.
9 Kredensial adalah proses evaluasi terhadap staf medis untuk menentukan
kelayakan diberikan kewenangan klinis (clinical privilege).
10 Rekredensial adalah proses reevaluasi terhadap staf medis yang telah
memiliki kewenangan klinis (clinical privilege) untuk menentukan
kelayakan pemberian kewenangan klinis tersebut.
11 Audit medis adalah upaya evaluasi secara profesional terhadap mutu
pelayanan medis yang diberikan kepada pasien dengan menggunakan rekam
medisnya yang dilaksanakan oleh profesi medis.
12 Mitra bestari (peer group) adalah sekelompok staf medis dengan reputasi
dan kompetensi profesi yang baik untuk menelaah segala hal yang terkait
dengan profesi medis.
Pasal 2

Peraturan Menteri Kesehatan ini bertujuan untuk mengatur tata kelola


klinis (clinical governance) yang baik agar mutu pelayanan medis dan
keselamatan pasien di rumah sakit lebih terjamin dan terlindungi serta mengatur
penyelenggaraan komite medik di setiap rumah sakit dalam rangka peningkatan
profesionalisme staf medis.

Pasal 3

(1) Untuk mewujudkan tata kelola klinis (clinical governance) yang baik


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, semua pelayanan medis yang

9
dilakukan oleh setiap staf medis di rumah sakit dilakukan atas penugasan
klinis kepala/direktur rumah sakit.
(2) Penugasan klinis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa pemberian
kewenangan klinis (clinical privilege) oleh kepala/direktur rumah sakit
melalui penerbitan surat penugasan klinis (clinical appointment) kepada staf
medis yang bersangkutan.
(3) Surat penugasan klinis (clinical appointment) sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) diterbitkan oleh kepala/direktur rumah sakit setelah mendapat
rekomendasi dari komite medik.
(4) Dalam keadaan darurat kepala/direktur rumah sakit dapat memberikan surat
penugasan klinis (clinical appointment) tanpa rekomendasi komite medik.
(5) Rekomendasi komite medik sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diberikan
setelah dilakukan kredensial.

BAB II
KOMITE MEDIK

Bagian Kesatu
Umum

Pasal 4

Komite medik dibentuk dengan tujuan untuk menyelenggarakan tata


kelola klinis (clinical governance) yang baik agar mutu pelayanan medis dan
keselamatan pasien lebih terjamin dan terlindungi.
Pasal 5

(1) Komite medik merupakan organisasi non struktural yang dibentuk di rumah
sakit oleh kepala/direktur.
(2) Komite medik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bukan merupakan
wadah perwakilan dari staf medis.

10
Bagian Kedua
Susunan Organisasi dan Keanggotaan

Pasal 6

Komite medik dibentuk oleh kepala/direktur rumah sakit.

Pasal 7

(1) Susunan organisasi komite medik sekurang-kurangnya terdiri dari:


a.ketua;
b.sekretaris; dan
c.subkomite.

(2) Dalam keadaan keterbatasan sumber daya, susunan organisasi komite medik
sekurang-kurangnya dapat terdiri dari:
a.ketua dan sekretaris tanpa subkomite; atau
b.ketua dan sekretaris merangkap ketua dan anggota subkomite.
Pasal 8

(1) Keanggotaan komite medik ditetapkan oleh kepala/direktur rumah sakit


dengan mempertimbangkan sikap profesional, reputasi, dan perilaku.
(2) Jumlah keanggotaan komite medik sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
disesuaikan dengan jumlah staf medis di rumah sakit.
Pasal 9

(1) Ketua komite medik ditetapkan oleh kepala/direktur rumah sakit dengan
memperhatikan masukan dari staf medis yang bekerja di rumah sakit.
(2) Sekretaris komite medik dan ketua subkomite ditetapkan oleh
kepala/direktur rumah sakit berdasarkan rekomendasi dari ketua komite
medik dengan memperhatikan masukan dari staf medis yang bekerja di
rumah sakit.
Pasal 10

(1) Anggota komite medik terbagi ke dalam subkomite.


(2) Subkomite sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari:
a.subkomite kredensial yang bertugas menapis profesionalisme staf medis;

11
b.subkomite mutu profesi yang bertugas mempertahankan kompetensi dan
profesionalisme staf medis; dan
c.subkomite etika dan disiplin profesi yang bertugas menjaga disiplin, etika, dan
perilaku profesi staf medis.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata kerja subkomite kredensial, subkomite
mutu profesi, dan subkomite etika dan disiplin profesi dilaksanakan dengan
berpedoman pada lampiran Peraturan Menteri Kesehatan ini.

Bagian Ketiga
Tugas dan Fungsi

Pasal 11

(1) Komite medik mempunyai tugas meningkatkan profesionalisme staf medis


yang bekerja di rumah sakit dengan cara:
a.melakukan kredensial bagi seluruh staf medis yang akan melakukan pelayanan
medis di rumah sakit;
b.memelihara mutu profesi staf medis; dan
c.menjaga disiplin, etika, dan perilaku profesi staf medis.
(2) Dalam melaksanakan tugas kredensial komite medik memiliki fungsi
sebagai berikut:
a.penyusunan dan pengkompilasian daftar kewenangan klinis sesuai dengan
masukan dari kelompok staf medis berdasarkan norma keprofesian yang berlaku;
b.penyelenggaraan pemeriksaan dan pengkajian:
1.kompetensi;
2.kesehatan fisik dan mental;
3.perilaku;
4.etika profesi.
c.evaluasi data pendidikan profesional kedokteran/kedokteran gigi
berkelanjutan;
d.wawancara terhadap pemohon kewenangan klinis;
e.penilaian dan pemutusan kewenangan klinis yang adekuat.

12
f.pelaporan hasil penilaian kredensial dan menyampaikan rekomendasi
kewenangan klinis kepada komite medik;
g.melakukan proses rekredensial pada saat berakhirnya masa berlaku surat
penugasan klinis dan adanya permintaan dari komite medik; dan
h.rekomendasi kewenangan klinis dan penerbitan surat penugasan klinis.
(3) Dalam melaksanakan tugas memelihara mutu profesi staf medis komite
medik memiliki fungsi sebagai berikut:
a.pelaksanaan audit medis;
b.rekomendasi pertemuan ilmiah internal dalam rangka pendidikan
berkelanjutan bagi staf medis;
c.rekomendasi kegiatan eksternal dalam rangka pendidikan berkelanjutan bagi
staf medis rumah sakit tersebut; dan
d.rekomendasi proses pendampingan (proctoring) bagi staf medis yang
membutuhkan.
(4) Dalam melaksanakan tugas menjaga disiplin, etika, dan perilaku profesi staf
medis komite medik memiliki fungsi sebagai berikut:
a.pembinaan etika dan disiplin profesi kedokteran;
b.pemeriksaan staf medis yang diduga melakukan pelanggaran disiplin;
c.rekomendasi pendisiplinan pelaku profesional di rumah sakit; dan
d.pemberian nasehat/pertimbangan dalam pengambilan keputusan etis pada
asuhan medis pasien.
Pasal 12

Dalam melaksanakan tugas dan fungsinya komite medik berwenang:


a.memberikan rekomendasi rincian kewenangan klinis (delineation of clinical
privilege);
b.memberikan rekomendasi surat penugasan klinis (clinical appointment);
c.memberikan rekomendasi penolakan kewenangan klinis (clinical privilege)
tertentu; dan
d.memberikan rekomendasi perubahan/modifikasi rincian kewenangan
klinis (delineation of clinical privilege);
e.memberikan rekomendasi tindak lanjut audit medis;
f.memberikan rekomendasi pendidikan kedokteran berkelanjutan;

13
g.memberikan rekomendasi pendampingan (proctoring); dan
h.memberikan rekomendasi pemberian tindakan disiplin;

Bagian Keempat
Hubungan Komite Medik dengan Kepala/Direktur

Pasal 13

(1) Kepala/direktur rumah sakit menetapkan kebijakan, prosedur dan sumber


daya yang diperlukan untuk menjalankan tugas dan fungsi komite medik.
(2) Komite medik bertanggung jawab kepada kepala/direktur rumah sakit.

Bagian Kelima
Panitia Adhoc

Pasal 14

(1) Dalam melaksanakan tugas dan fungsinya komite medik dapat dibantu oleh
panitia adhoc.
(2) Panitia adhoc sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh
kepala/direktur rumah sakit berdasarkan usulan ketua komite medik.
(3) Panitia adhoc sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berasal dari staf medis
yang tergolong sebagai mitra bestari.
(4) Staf medis yang tergolong sebagai mitra bestari sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) dapat berasal dari rumah sakit lain, perhimpunan dokter
spesialis/dokter gigi spesialis, kolegium dokter/dokter gigi, kolegium dokter
spesialis/dokter gigi spesialis, dan/atau institusi pendidikan
kedokteran/kedokteran gigi.

14
BAB III
PERATURAN INTERNAL STAF MEDIS

Pasal 15

(1) Setiap rumah sakit wajib menyusun peraturan internal staf medis dengan
mengacu pada peraturan internal korporasi (corporate bylaws) dan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
(2) Peraturan internal staf medis disusun oleh komite medik dan disahkan oleh
kepala/direktur rumah sakit.
(3) Peraturan internal staf medis berfungsi sebagai aturan yang digunakan oleh
komite medik dan staf medis dalam melaksanakan tata kelola klinis yang
baik (good clinical governance) di rumah sakit.
(4) Tata cara penyusunan peraturan internal staf medis dilaksanakan dengan
berpedoman pada lampiran Peraturan Menteri Kesehatan ini.

BAB IV
PENDANAAN

Pasal 16

(1) Personalia komite medik berhak memperoleh insentif sesuai dengan


kemampuan keuangan rumah sakit.
(2) Pelaksanaan kegiatan komite medik didanai dengan anggaran rumah sakit
sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

BAB V
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN

Pasal 17

Pembinaan dan pengawasan penyelengaraan komite medik dilakukan oleh


Menteri, Badan Pengawas Rumah Sakit, Dewan Pengawas Rumah sakit, Kepala
Dinas Kesehatan Provinsi, Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota, dan
perhimpunan/asosiasi perumah sakitan dengan melibatkan perhimpunan atau
kolegium profesi yang terkait sesuai dengan tugas dan fungsinya masing-
masing.

15
Pasal 18

(1) Pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17


diarahkan untuk meningkatkan kinerja komite medik dalam rangka
menjamin mutu pelayanan medis dan keselamatan pasien di rumah sakit.
(2) Pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan melalui:
a. advokasi, sosialisasi, dan bimbingan teknis;
b.pelatihan dan peningkatan kapasitas sumber daya manusia; dan
c.monitoring dan evaluasi.
(3) Dalam rangka pembinaan Menteri, Kepala Dinas Kesehatan Provinsi,
Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dapat memberikan sanksi
administratif berupa teguran lisan dan teguran tertulis.

BAB VI
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 19

Rumah sakit wajib menyesuaikan organisasi komite medik sesuai dengan


ketentuan dalam Peraturan Menteri Kesehatan ini dalam jangka waktu paling
lama 6 (enam) bulan sejak diundangkannya Peraturan Menteri Kesehatan ini.

BAB VII
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 20

Pada saat Peraturan Menteri Kesehatan ini mulai berlaku:


a.Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 772/MENKES/SK/VI/2002 tentang
Pedoman Peraturan Internal Rumah Sakit (Hospital ByLaws) sepanjang
mengenai pengaturan staf medis;
b.Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 496/Menkes/SK/IV/2005 tentang
Pedoman Audit Medis;

16
c.Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 631/Menkes/SK/VII/2005 tentang
Pedoman Penyusunan Peraturan Internal Staf Medis; dicabut dan dinyatakan
tidak berlaku.
Pasal 21

Peraturan Menteri Kesehatan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.


Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan
Menteri Kesehatan ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik
Indonesia.

1.2.3. Hak dan Kewajiban Pasien dan Keluarga


Setiap pasien adalah unik dengan kebutuhan, kekuatan, nilai-nilai dan
kepercayaan masing-masing.. Rumah sakit membangun kepercayaan dan
komunikasi terbuka dengan pasien untuk memahami dan melindungi nilai
budaya, psikososial, serta nilai spiritual setiap pasien. Hasil pelayanan pada
pasien akan meningkat bila pasien dan keluarga yang tepat atau mereka yang
berhak mengambil keputusan diikutsertakan dalam pengambilan keputusan
pelayanan dan proses yang sesuai dengan harapan, nilai, serta budaya.
Para pasien diberi informasi tentang hak dan kewajiban mereka dan
bagaimana harus bersikap. Para staf dididik untuk mengerti dan menghormati
kepercayaan, nilai-nilai pasien, dan memberikan pelayanan dengan penuh
perhatian serta hormat guna menjaga martabat pasien.
Pada bab ini dikemukakan proses-proses untuk
 melakukan identifikasi, melindungi, dan mengoptimalkan hak pasien;
 memberitahu pasien tentang hak mereka;
 melibatkan keluarga pasien bila kondisi memungkinkan dalam pengambilan
keputusan tentang pelayanan pasien;
 mendapatkan persetujuan tindakan (informed consent);
 mendidik staf tentang hak dan kewajiban pasien.
Bagaimana proses asuhan dilaksanakan di rumah sakit sesuai dengan
peraturan dan perundang-undangan, konvensi international, dan perjanjian atau
persetujuan tentang hak asasi manusia yang disahkan oleh pemerintah. Proses ini
berkaitan dengan bagaimana rumah sakit menyediakan pelayanan kesehatan

17
dengan cara yang wajar yang sesuai dengan kerangka pelayanan kesehatan dan
mekanisme pembiayaan pelayanan kesehatan yang berlaku.
Hak Pasien yang tertuang  dalam UU No 44 / 2009 tentang Rumah Sakit
(Pasal 32 UU 44/2009) menyebutkan bahwa setiap pasien mempunyai hak
sebagai berikut: 
a. Memperoleh informasi mengenai tata tertib dan peraturan yang berlaku di
Rumah Sakit. 
b. Memperoleh informasi tentang hak dan kewajiban pasien.
c. Memperoleh layanan yang manusiawi, adil, jujur, dan tanpa diskriminasi.
d. Memperoleh pelayanan kesehatan bermutu sesuai dengan standar profesi
dan standar prosedur operasional. 
e. Memperoleh layanan yang efektif dan efisien sehingga pasien terhindar
dari kerugian fisik dan materi;
f. Mengajukan pengaduan atas kualitas pelayanan yang didapatkan. 
g. Memilih dokter dan kelas perawatan sesuai dengan keinginannya dan
peraturan yang berlaku di rumah sakit. Meminta konsultasi tentang
penyakit yang dideritanya kepada dokter lain (second opinion) yang
memiliki Surat Ijin Praktik (SIP) baik di dalam maupun di luar rumah
sakit. 
h. Mendapatkan privasi dan kerahasiaan penyakit yang diderita termasuk
data-data medisnya. 
i. Memberikan persetujuan atau menolak atas tindakan yang akan dilakukan
oleh tenaga kesehatan terhadap penyakit yang dideritanya. 
j. Mendapat informasi yang meliputi diagnosis dan tata cara tindakan medis,
tujuan tindakan medis, alternatif tindakan, risiko dan komplikasi yang
mungkin terjadi, dan prognosis terhadap tindakan yang dilakukan serta
perkiraan biaya pengobatan. 
k. Didampingi keluarganya dalam keadaan kritis.
l. Menjalankan ibadah sesuai agama atau kepercayaan yang dianutnya
selama hal itu tidak mengganggu pasien lainnya. 
m. Memperoleh keamanan dan keselamatan dirinya selama dalam perawatan
di Rumah Sakit.

18
n. Mengajukan usul, saran, perbaikan atas perlakuan Rumah Sakit terhadap
dirinya. 
o. Menolak pelayanan bimbingan rohani yang tidak sesuai dengan agama dan
kepercayaan yang dianutnya. 
p. Menggugat dan atau menuntut rumah sakit apabila rumah sakit itu diduga
memberikan pelayanan yang tidak sesuai dengan standar baik secara
perdata ataupun pidana. 
q. Mengeluhkan pelayanan rumah sakit yang tidak sesuai dengan standar
pelayanan melalui media cetak dan elektronik sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Sementara itu, ada kewajiban yang perlu dipenuhi oleh pasien yang  diatur 
dalam UU No 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, yang meliputi:
a. Memberi informasi yang lengkap dan jujur tentang masalah kesehatannya. 
b. Mematuhi nasihat dan petunjuk dokter dan dokter gigi.
c. Mematuhi ketentuan yang berlaku di sarana pelayanan  kesehatan.
d. Memberi imbalan jasa atas pelayanan yang diterima.

1.2.4. Prinsip Standar Keselamatan Pasien


Patient safety atau di sebut sebagai keselamatan pasien merupakan
langkah rumah sakit dalam menjamin kesehatan, keamanan pasien. Adapun
sasaran keselamatan pasien anatara lain :
Enam sasaran keselamatan pasien
a. Ketepatan Identifikasi pasien dengan benar
b. Meningkatkan komunikasi yang efektif
c. Meningkatkan keamanan obat yang perlu diwaspadai
d. Kepastian tepat lokasi, tepat prosedur, tepat pasien operasi
e. Pengurangan risiko infeksi terkait pelayanan kesehatan
f. Pengurangan risiko pasien jatuh.
SASARAN I : Ketepatan Identifikasi pasien dengan benar
Identifikasi merupakan penerapan atau penentu atau ciri – ciri atau keterangan
lengkap seseorang. Identifikasi pasien adalah suatu upaya atau usaha yang
dilakukan dalam sebuah pelayanan kesehatan sebagai suatu proses yang bersifat

19
konsisten, prosedur yang memiliki kebijakan atau telah disepakati, diaplikasikan
sepenuhnya, diikuti dan dipantau untuk mendapatkan data yang akan digunakan
dalam meningkatkan proses identifikasi
Elemen pengukuran keselamatan pasient
1. Pasien diidentifikasi menggunakan dua identitas pasien, tidak boleh
menggunakan nomer kamar atau lokasi pasien
2. Pasien diidentifikasi sebelum pemberian obat, darah, atau produk darah
3. Pasien diidentifikasi sebelum mengambil darah dan spesimen lain untuk
pemeriksaan klinis
4. Pasien diidentifikasi sebelum pemberian pengobatan dan tindakan atau
prosedur
5. Kebijakan dan prosedur mengarahkan pelaksanaan identifikasi yang
konsisten pada semua situasi dan lokasi.

SASARAN II : PENINGKATAN KOMUNIKASI EFEKTIF


Standar SKP II Rumah sakit mengembangkan pendekatan untuk
meningkatkan efektifitas komunikasi antar para pemberi pelayanan
Elemen Penilaian Sasaran II :
1. Perintah lengkap secara lisan dan yang melalui telepon atau hasil
pemeriksaan dituliskan secara lengkap oleh penerima perintah.
2. Perintah lengkap secara lisan dan yang melalui telepon atau hasil
pemeriksaan dibacakan secara lengkap oleh penerima perintah.
3. Perintah atau hasil pemeriksaan dikonfirmasi oleh pemberi perintah atau
yang menyampaikan hasil pemeriksaan.
4. Kebijakan dan prosedur mengarahkan pelaksanaan verifikasi keakuratan
komunikasi lisan atau melalui telepon secara konsisten.

SASARAN III  :  PENINGKATAN KEAMANAN OBAT YANG PERLU


DIWASPADAI (HIGH ALERT)
Standar SKP III Rumah sakit mengembangkan suatu pendekatan untuk
memperbaiki keamanan obat-obat yang perlu diwaspadai (high alert)
Elemen Penilaian Sasaran III :

20
1. Kebijakan dan atau prosedur dikembangkan agar memuat proses
identifikasi, menetapkan lokasi, pemberian label dan penyimpanan elektrolit
konsentrat.
2. Implementasi kebijakan dan prosedur.
3. Elektrolit konsentrat tidak berada di unit pelayanan pasien kecuali jika
dibutuhkan secara klinis dan tindakan diambil untuk mencegah pemberian
yang kurang hati-hati di area tersebut sesuai kebijakan.

SASARAN IV  : KEPASTIAN TEPAT-LOKASI, TEPAT-PROSEDUR,


TEPAT-PASIEN OPERASI
Standar SKP IV Rumah sakit mengembangkan suatu pendekatan untuk
memastikan tepat-lokasi, tepat-prosedur dan tepat-pasien.
Elemen Penilaian Sasaran IV :
1. Rumah sakit menggunakan suatu tanda yang jelas dan dimengerti untuk
identifikasi lokasi operasi dan melibatkan pasien didalam proses penandaan.
2. Rumah sakit menggunakan suatu cheklist atau proses lain untuk
memverifikasi saat pre operasi tepat-lokasi, tepat-prosedur, dan tepat-pasien
dan semua dokumen serta peralatan yang diperlukan tersedia, tepat dan
fungsional.
3. Tim operasi yang lengkap menerapkan dan mencatat prosedur sebelum
“incisi/time out”tepat sebelum dimulainya suatu prosedur tindakan
pembedahan.
4. Kebijakan dan prosedur dikembangkan untuk mendukung suatu proses yang
seragam untuk memastikan tepat lokasi, tepat-prosedur, dan tepat-pasien,
termasuk prosedur medis dan dental yang dilaksanakan di luar kamar
operasi.

SASARAN V  : PENGURANGAN RESIKO INFEKSI TERKAIT


PELAYANAN KESEHATAN
Standar SKP V Rumah sakit mengembangkan suatu pendekatan untuk
mengurangi resiko infeksi yang terkait pelayanan kesehatan.
Elemen Penilaian Sasaran V :

21
1. Rumah sakit mengadopsi atau mengadaptasi pedoman hand hygiene terbaru
yang diterbitkan dan sudah diterima secara umum (a.l dari WHO Guidelines
on Patient Safety.
2. Rumah sakit menerapkan program hand hygiene yang efektif.
3. Kebijakan dan atau prosedur dikembangkan untuk mengarahkan
pengurangan secara berkelanjutan resiko dari infeksi yang terkait pelayanan
kesehatan.

SASARAN VI  : PENGURANGAN RESIKO PASIEN JATUH


Standar SKP VI Rumah sakit mengembangkan suatu pendekatan untuk
mengurangi resiko pasien dari cidera karena jatuh.
Elemen Penilaian Sasaran VI :
1. Rumah sakit menerapkan proses asesmen awal atas pasien terhadap resiko
jatuh dan melakukan asesmen ulang bila pasien diindikasikan terjadi
perubahan kondisi atau pengobatan dan lain-lain.
2. Langkah-langkah diterapkan untuk mengurangi resiko jatuh bagi mereka
yang pada hasil asesmen dianggap beresiko jatuh.
3. Langkah-langkah dimonitor hasilnya, baik keberhasilan, pengurangan
cedera akibat jatuh dan dampak dari kejadian yang tidak diharapkan.
Kebijakan dan atau prosedur dikembangkan untuk mengarahkan
pengurangan berkelanjutan resiko pasien cedera akibat jatuh di rumah sakit.

1.2.5. Kesehatan dan Keselamatan Kerja di Rumah Sakit (K3RS)


Menurut WHO, rumah sakit adalah bagian dari organisasi sosial dan medis
yang berfungsi untuk mengadakan atau menyediakan perawatan kesehatan yang
lengkap, baik untuk pengobatan maupun pencegahan bagi warga dan
persinggahan orang di luar status pasien yang jauh dari keluarga serta
lingkungan rumah. Rumah sakit sebagai institusi yang bersifat kompleks dan
meajemuk memiliki esiko bahaya cukup tinggi dibanding tempat kerja lainnya
karena:
a. Adanya zat kimia
b. Virus dan bakteri
c. Sampah medis

22
Peraturan K3RS
1. Occupational Safety Health and Administration (OSHA)
2. Undang-undang No. 14/1969 tentang Kesehatan Pokok Tenaga Kerja
3. Undang-undang No.1/1970 tentang Keselamatan Kerja
4. Undang-undang No. 36/2009 tentang Kesehatan
5. Permenkes RI No 986/92 dan Kep Dirjen PPM dan PLP No.
HK.00.06.6.598 tentang Kesehatan Lingkungan RS
6. Permenkes RI No 472/Menkes/Per/V/96 tentang pengamanan bahan
berbahaya bagi Kesehatan
7. Kepmenkes No. 261/MENKES/SK/II/1998 dan Kep Dirjen PPM dan PLP
No HK.00.06.6.82 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Persyaratan
Kesehatan Lingkungan Kerja
8. Kepmenkes No. 1335/MENKES/SK/X/2002 tentang Standar Operasional
Pengambilan Pengukuran Sampel Kualitas Udara

Sistem Manajemen K3RS


Merupakan bagian dari sistem manajemen RS secara keseluruhan yang
meliputi struktur organisasi, perencanaan, tanggung jawab, pelaksanaan,
prosedur, proses, dan sumber daya yang dibutuhkan bagi pengembangan,
penerapan, pencapaian, dan pemeliharaan kebijakan kesehatan dan keselamatan
kerja dalam rangka pengendalian resiko yang berkaitan dengan kegiatan kerja
guna terciptanya tempat kerja yang sehat, aman, efisien, dan produktif.

Tujuan SM-K3RS
Menciptakan suatu sistem kesehatan dan keselamatan kerja di rumah sakit
dengan melibatkan unsur manajemen, karyawan, kondisi dan lingkungan kerja
yang terintegrasi dalam rangka mencegah dan mengurangi kecelakaan dan
penyakit akibat kerja.

Tahap Penerapan K3-RS
A. Tahap Persiapan
 Komitmen manajemen : kebijakan, penyediaan dana, sarana dan prasarana
untuk mendukung kegiatan K3 RS

23
 Membentuk Unit Organisasi K3 di RS yang terlihat dalam struktur organisasi
RS
Susunan / Organisasi K3-RS
Susunan Unit K3-RS terdiri dari :
 Bidang I : Bidang pengamanan peralatan medik, pengamanan radiasi dan
limbah radioaktif
 Bidang II: Bidang pengamanan peralatan nonmedik, pengamanan dan
keselamatan bangunan
 Bidang III: Bidang pengembangan sanitasi sarana kesehatan
 Bidang IV: Bidang pelayanan kesehatan kerja dan pencegahan penyakit
akibat kerja
 Bidang V: Bidang pencegahan dan penanggulangan bencana

Tugas Unit Organisasi K3-RS


 Memberi rekomendasi dan pertimbanagan kepada Direktur RS tentang
masalah-masalah yang berkaitan dengan K3_RS
 Membuat program K3-RS
 Melaksanakan program K3_RS
 Melakukan evaluasi program K3-RS

B. Tahap Pelaksanaan 
Program K3-RS
1. Pelaksanaan kesehatan kerja bagi karyawanb ( prakerja, berkala, khusus)
2. Upaya pengamanan pasien, pengunjung dan petugas 
3. Peningkatan kesehatan lingkungan 
4. Sanitasi lingkungan RS
5. Pengelolaan dan pengolahan limbah padat, cair, gas
6. Pencegahan dan penanggulangan bencana (Disaster program)
7. Pengelolaan jasa, bahan dan barang berbahaya
8. Pendidikan dan pelatihan K3
9. Sertifikasi dan kalibrasi sarana, prasarana, dan peralatan RS
10. Pengumpulan, pengolahan dan pelaporan K3

24
C. Tahap Pemantauan dan Evaluasi
1. Inspeksi dan audit program K3 
2. Perbaikan dan pengendalian K3 yang didasarkan atas hasil temuan dari
audit dan inspeksi 
3. Rekomendasi dan tindak lanjut hasil evaluasi program K3
Indikator keberhasilan SM-K3RS
1. Terlaksanakannya program K3-RS
2. Penurunan angka kecelakaan dan penyakit akibat kerja

Ruang lingkup K3 di Rumah Sakit


 Sarana hygiene yang memantau pengaruh lingkungan kerja terhadap tenaga
kerja antara lain pencahayaan, bising, suhu / iklim kerja.
 Sarana Keselamatan kerja yang meliputi pengamanan pada peralatan kerja,
pemakaian alat pelindung diri dan tanda/rambu-rambu peringatan dan alat
pemadam kebakaran.
 Sarana Kesehatan Kerja yang meliputi pemeriksaan awal, berkala dan
khusus, gizi kerja, kebersihan diri dan lingkungan.
 Ergonomi yaitu kesehatan antara alat kerja dengan tenaga kerja

Sumber Stres Di Rumah Sakit


 Beban kerja terlalu berat
 Konflik dan ketidakjelasan peran
 Kurang supervisi dan pengarahan
 Bekerja di daerah yang asing
 Suara gaduh
 Kurang berperan -> kepuasan kerja rendah
 Kurang penghargaan
 Kerja bergilir
 Pajanan terhadapa toksikan,pasien infeksius
 Ketidakpastian (politik, kerja kontrak)

Keadaan Darurat di RS

25
Keadaan darurat adalah setiap kejadian yang dapat menimbulkan gangguan
terhadap kelancaran operasi/kegiatan di lingkungan RS
Jenisnya :
 Kebakaran
 Kecelakaan , contoh : terpeleset dan tertusuk benda tajam
 Gangguan tenaga, contoh : gangguan listrik, air, dll
 Ganggua keamanan, contoh : huru-hara, demonstrasi, pencurian
 Bencana alam, contoh : gempa bumi, angin topan, banjir, dll
 Keadaan darurat di ruangan, ruang bedah, ICCU< contoh : gagal jantung,
gagal napas
Pemantauan Lingkungan Kerja
Laporan pemantauan lingkungan kerja dilakukan
 Penyehatan lingkungan rumah sakit dilakukan setiap triwulan secara
berjenjang
 Pemantauan kualitas udara ruang minimal 2 kali dalam setahun
 Pemantauan bahan makanan dilakukan minimal 1 kali setiap bulan diambil
sampel untuk konfirmasi laboraturium
 Tenaga kerja dipewriksa kesehatannya 1 kali setahun 
 Pemeriksaan air minum dan air bersih dilakukan  2 kali setahun
 Perbaikan tangga ( dilengkapi karet anti terpelesetr), ram, pintu dan tangga
darurat
 Penyempurnaan pengolahan limbah
 Pemasangan detektor asap
 Pemasangan alat komunikasi
 Perbaikan dan penyempurnaan vertilasi dan pencahayaan

Untuk Karyawan 
 Inventarisasi seluruh karyawan beserta tempat kerja 
 Laporan karyawan yang sakit kronis
 Jumlah kunjungan karyawan yang berobat di Poli
 Usulan medikal check-up untuk karyawan yang sering sakit (absensi)
 Usulan skrening test untuk pegawai yang bekerja di tempat resiko tinggi
( IGD, dapur, laundr, lab )

26
 Usulan vaksinasi pegawai terutama yang bekerja di tempat resiko tinggi
 Usulan pelatihan K3 diluar dan didalam Rumah Sakit 
 Usulan pembelian APD ( topi, masker, pakaian kerja, sarung tangan)
 Perbaikan kesejahteraan karyawan (makanan tambahan, vasilitas kesehatan)

1.2.6. Prinsip Dasar Pencegahan dan Pengendalian Infeksi (PPI)


Pencegahan dan pengendalian infeksi di rumah sakit merupakan suatu upaya
kegiatan untuk meminimalkan serta mencegah terjadinya infeksi pada pasien,
petugas, pengunjung, dan masyarakat disekitar Rumah Sakit. Ditinjau dari asal
didapatnya, infeksi dapat berasal dari komunitas (comunity acquired infection)
atau berasal dari lingkungan Rumah Sakit (hospital acquired infecion) atau lebih
dikenal dengan sebutan infeksi nosokomial.
Karena seringkali tidak bisa secara pasti ditentukan asal infeksi, maka
sekarang istilah infeksi maka sekarang istilah infeksi nosokomial (hospital
acquired infection) diganti dengan istilah baru yaitu Health Care Associated
Infection (HAIs) dengan pengertian yang lebih luas tidak hanya di Rumah Sakit
tetapi juga infeksi di fasilitas pelayanan kesehatan lainnya. Khusus untuk infeksi
di Rumah Sakit selanjutnya disebut Infeksi Rumah Sakit (IRS). Tujuan
pengorganisasian program PPI adalah mengidentifikasi dan menurunkan resiko
infeksi yang didapat dan ditularkan diantara pasien, staf, tenaga kontrak, tenaga
sukarela, mahasiswa, dan pengunjung.
Program PPI meliputi:
A. Kebersihan tangan / Hand Hygiene
Kebersihan tangan atau hand hygiene adalah proses secara mekanik
melepaskan kotoran dan debris dari kulit tangan dengan menggunakan sabun
dan air. Hand hygiene dilakukan oleh semua komponen rumah sakit, yaitu:
pasien, keluarga pasien dan pengunjung di rumah sakit, serta seluruh tenaga
kesehatan dan unit penunjang. Tindakan kebersihan tangan dapat dilakukan
dengan cara:
 Gunakan sabun dan air mengalir jika tangan terlihat kotor (termasuk keadaan
terkena serbuk/powder dari sarung tangan), terkontaminasi cairan tubuh,
kontak langsung dengan individu pasien, setelah kontak dengan permukaan

27
dalam ruang praktik termasuk peralatan, gigi palsu, cetakan gips, lamanya 40-
60 detik.
 Jika tangan tidak tampak kotor lakukan kebersihan tangan dengan cara gosok
tangan dengan handrub/ cairan berbasis alkohol, lamanya 20-30 detik.
 Metoda dan tata cara mencuci tangan dilakukan adalah "hand hygiene". Hand
hygiene mengganti istilah hand washing, karena hand hygiene menggunakan
air mengalir dan juga antiseptik ataupun ditergen. Hand hygiene tergantung
pada beberapa tipe dan prosedur, tingkat keparahan dari kontaminasi dan
persistensi melekatnya antimikroba yang digunakan pada kulit.
 Untuk pelaksanaan rutin dalam praktik dokter gigi dan prosedur non bedah,
mencuci tangan dan antiseptik dapat dicapai dengan menggunakan sabun
detergent antimikroba yang standar.
 Untuk prosedur pembedahan, sabun antimikroba (bedah yang mengandung
chlorhexidin gluconate 4% harus digunkan. Sebagai alternatif pengganti bagi
yang sensitif terhadap chlorhexidin gluconate, dapat menggunakan iodophor.
 Tempatkan produk cairan kebersihan tangan dalam tempat yang disposible
atau yang diisi ulang, dicuci dan dikerin kan terlebih dahulu sebelum diisi
ulang .
 Jangan diisi ulang cairan antiseptik sebelum dibersihkan dan dikeringkan
terlebih dahulu.

Hal-hal yang harus diperhatikan mengenai kebersihan tangan:


 Sebelum membersihkan tangan: cincin, jam dan seluruh perhiasan yang ada
di pergelangan tangan harus dilepas
 Kuku harus tetap pendek dan bersih
 Jangan menggunakan pewarna kuku atau kuku palsu karena dapat menjadi
tempat bakteri terjebak dan menyulitkan, terlihatnya kotoran di dalam kuku.
 Selalu gunakan air mengalir, apabila tidak tersedia, maka harus menggunakan
salah satu pilihan sebagai berikut:
- Ember berkeran yang tertutup.
- Ember dan gayung, dimana seseorang menuangkan air sementara yang
Iainnya mencuci tangan.

28
 Tangan harus dikeringkan dengan menggunakan paper towel atau
membiarkan tangan kering sendiri sebelum menggunakan sarung tangan.

Tangan harus segera dibersihkan apabila:


1. Tangan terlihat kotor.
2. Setelah menyentuh bahan/objek yang terkontaminasi darah, cairan tubuh,
ekskresi dan sekresi.
3. Sebelum memakai sarung tangan.
4. Segera setelah melepas sarung tangan.
5. Sebelum menyentuh pasien.
6. Sebelum melakukan prosedur aseptik.
7. Setelah kontak dengan permukaan dalam ruang praktik termasuk peralatan,
gigi palsu, cetakan gips.

Berikut 5 momen yang harus diperhatikan oleh semua komponen rumah sakit:
1. Sebelum kontak dengan pasien
2. Sebelum melakukan tindakan / prosedur terhadap pasien
3. Setelah kontak dengan cairan tubuh
4. Setelah kontak dengan pasien
5. Setelah menyentuh lingkungan sekitar pasien

Gambar 1.1. Enam langkah cuci tangan

29
Gambar 1.2. Cara melakukan pembersihan tangan (hand hygienis)

B. Penggunaan Alat Pelindung Diri (APD)


Alat pelindung diri merupakan alat atau perlengkapan yang berfungsi
sebagai penyekat antara petugas dan penderita sebagai upaya membuat dinding
pemisah untuk mencegah pemindahan mikroba patogen antara petugas dan
penderita. Yang termasuk APD antara lain adalah sarung tangan, masker,
kacamata pelindung, dan gaun/baju pelindung.
a. Sarung Tangan
Tata cara penggunaan sarung tangan:
 wajib menggunakan sarung tangan ketika melakukan perawatan yang
memungkinkan berkontak dengan darah atau cairan tubuh lainnya.

30
 sarung tangan harus diganti tiap pasien,
 lepaskan sarung tangan dengan benar setelah digunakan
 segera lakukan kebersihan tangan untuk menghindari transfer
mikrroorganisme ke pasien lain atau permukaan lingkungan.
 lepaskan sarung tangan jika sobek, atau bocor dan lakukan kebersihan tangan
sebelum memakai kembali sarung tangan. Disarankan untuk tidak mencuci,
mendisinfeksi atau mensterilkan ulang sarung tangan yang telah digunakan.

Prosedur pemakaian sarung tangan:


 ambil salah satu sarung tangan dengan memegang sisi sebelah dalam
lipatannya.
 posisikan sarung tangan setinggi pinggang dan menggantung ke lantai,
sehingga bagian lubang jarijari tangannya terbuka, lalu masukkan tangan.
 ambil sarung tangan kedua dengan cara menyelipkan jari-jari tangan yang
sudah memakai sarung tangan ke bagian lipatan (bagian yang tidak
bersentuhan dengan kulit tangan).
 psarung tangan kedua dengan cara memasukkan jari-jari tangan yang belum
memakai sarung tangan, kemudian luruskan lipatan dan atur posisi sarung
tangan sehingga terasa pas di tangan.
 selain sarung tangan yang digunakan untuk pemeriksaan, ada jenis sarung
tangan yang digunakan untuk mencuci alat serta membersihkan permukaan
meja kerja, yaitu sarung tangan rumah tangga (utility gloves) yang terbuat
dari lateks atau vinil yang tebal.
b. Masker
 wajib menggunakan masker pada saat melakukan tindakan untuk mencegah
potensi infeksi akibat kontaminasi aerosol serta percikan saliva dan darah dari
pasien dan sebaliknya.
 masker harus sesuai dan melekat dengan baik pada wajah sehingga menutup
mulut dan hidung dengan balk.
 ganti masker diantara pasien atau jika masker lembab atau basah dan ternoda
selama tindakan ke pasien .
 masker akan kehilangan kualitas perlindungannya jika basah.

31
 lepaskan masker jika tindakan telah selesai.
c. Kacamata pelindung
 wajib menggunakan kacamata pelindung untuk menghindari kemungkinan
infeksi akibat kontaminasi aerosol dan percikan saliva dan darah.
 kacamata ini di dekontaminasi dengan air dan sabun
 didisinfeksi setiap kali berganti pasien.
d. Gaun/baju pelindung
 wajib menggunakan gaun/baju pelindung yang digunakan untuk mencegah ko
taminasi pada pakaian dan melindungi kulit dari kontaminasi darah dan cairan
tubuh.
 gaun pelindung ini harus dicuci setiap hari.
 gaun pelindung terbuat dari bahan yang dapat dicuci dan dapat dipakai ulang
(kain), tetapi dapat juga terbuat dari bahan kertas kedap air yang hanya dapat
sekali pakai (disposable).
 lepaskan gaun/baju pelindung jika tindakan telah selesai.
e. Penggunaan APD
 sebelum melakukan perawatan bagi pasien, gunakan baju pelindung,
 lalu masker bedah dan selanjutnya kaca mata pelindung sebelum mencuci
tangan.
 tangan dikeringkan, ambil sarung tangan, kenakan dengan cara seperti tertera
di atas.
 setelah selesai perawatan dan seluruh instrumen kotor telah disingkirkan,
lepaskan sarung tangan yang telah terkontaminasi dengan memegang sisi
bagian luar dan menariknya hingga terlepas dari dalam ke luar.
 setelah salah satu sarung tangan terlepas, lepaskan sarung tangan lainnya
dengan memegang sisi bagian dalam sarung tangan dan menariknya hingga
terlepas.
 apabila seluruh alat pelindung diri telah dilepaskan, hindari menyentuh darah
terkontaminasi.
 selalu lakukan kebersihan tangan dan keringkan tangan sebelum memasang
kembali sarung tangan.

32
Tujuan pemakaian APD adalah:
1. Melindungi penderita dari mikroorganisme patogen yang ada di petugas
2. Melindungi petugas dari bahan-bahan yang bersifat infeksius seperti darah
dan cairan tubuh lain
Berikut jenis APD dan kegunaannya bagi pasien dan petugas kesehatan
N Jenis APD Bagi Pasien Bagi Petugas Kesehatan
o
1 Gaun Mencegah kontak dengan Mencegah badan / kulit
pelindung / mikroorganisme dari petugas kesehatan kontak
APRON tangan, tubuh, dan pakaian dengan percikan darah
petugas kesehatan kepada atau cairan tubuh pasien
pasien
2 Pelindung Mengurangi kemungkinan Mencegah perlukaan kaki
kaki terbawanya mikroorganisme oleh benda tajam yang
dari ruang lain atau luar terkontaminasi atau terjepit
ruangan benda berat dan mencegah kontak
dengan cairan tubuh pasien
3 Sarung tangan Mencegah kontak Mencegah kontak tangan
mikroorganisme pada petugas kesehatan dengan
tangan petugas kesehatan darah dan cairan tubuh
kepada pasien pasien
4 Masker Mencegah transmisi Mencegah transmisi
mikroorganisme dari mikroorganisme dari
petugas kesehatan ke pasien pasien ke petugas
melalui udara kesehatan melalui airborne
5 Pelindung Mencegah membran mukosa
mata - petugas berkontak dengan
percikan darah / cairan tubuh
6 Topi - Mencegah mikroorganisme
menempel pada bagian
kepala dan rambut petugas
kesehatan setelah melakukan

33
tindakan

C. Etika batuk
Etika batuk bertujuan untuk mengurangi penularan penyakit yang
ditularkan melalui droplet (airborne infection)

Gambar 1.3. Etika batuk


D. Pemilahan Sampah
Segala proses yang dilakukan di rumah sakit baik pelayanan maupun non
pelayanan akan menghasilkan sampah. Sampah di Rumah Sakit Daerah Balung,
dibedakan menjadi tiga jenis yaitu:
 Sampah Medis (sampah dari semua alat dan bahan habis pakai yang
terkontaminasi dengan cairan tubuh dengan darah pasien. Ditempatkan
dalam kantong plastik warna kuning)
 Sampah Nonmedis (sampah yang berasal dari semua unit perawatan dan
tidak terkontaminasi cairan tubuh pasien, ditempatkan ke dalam kantong
plastik warna hitam)
 Sampah Benda Tajam (terdiri atas jarum, lanset, pecahan ampul dan benda
tajam lain, dimasukkan dalam safety box)
E. Needle stik injury (NSI)
Luka tertusuk jarum adalah luka tusukan atau goresan subkutan (akibat
jarum atau trauma benda tajam), atau kontak pada membram mukosa atau kulit
tidak utuh terhadap darah / jaringan / cairan tubuh atau kolonisasi bakteri dan
virus pada bahan laboratorium. Penatalaksanaannya adalah:
 Jangan panik,

34
 Segera keluarkan darah dengan memijat bagian tubuh yang tertusuk dan
cuci dengan air yang mengalir menggunakan sabun dan cairan antiseptik
 Lapor ke tim K3RS dan ditindaklanjuti ke tim PPI
 Menentukan status pasien sebagai sumber terhadap status HIV, HBV, HCV
 Petugas yang terapar akan diperiksa status HIV, HBV, HCV
 Bila status pasien bebas HIV, HBV, HCV dan tidak masa inkubasi, tidak
perlu tindakan khusus untuk petugas
 Bila status pasien HIV, HBV, HCV maka tentukan status petugas kesehatan
tersebut

Manajemen limbah dan benda tajam


a. Peraturan pembuangan Iimbah sesuai peraturan lokal yang berlaku.
b. Pastikan bahwa tenaga pelayan kesehatan gigi yang menangani Iimbah
medis di training tentang penanganan limbah yang tepat, metode
pembuangan dan bahaya kesehatan.
c. Gunakan kode warna dan label kontainer, warna kuning untuk limbah
infeksius dan warna hitam untuk Iimbah non infeksius.
d. Tempatkan limbah tajam seperti jarum, blade scapel, orthodontic bands,
pecahan instrumen metal dan bur pada kontainer yang tepat yaitu tahan
tusuk dan tahan bocor, kode warna kuning.
e. Darah, cairan suction atau limbah cair lain di buang ke dalam drain yang
terhubung dengan sistem sanitary.
f. Buang gigi yang dicabut ke limbah infeksius, kecuali diberikan kepada
keluarga.

1.2.7. Bantuan Hidup Dasar (BHD)


Bantuan hidup dasar merupakan sebuah fondasi utama yang dilakukan
untuk menyelamatkan seseorang yang mengalami henti jantung. Bantuan
hidup dasar terdiri dari identifikasi henti jantung dan aktivasi Sistem
Pelayanan Gawat Darrat Terpadu, resusitasi Jantung Paru dini, dan kejut
jantung menggunakan alat kejut jantung otomatis.

35
Tujuan bantuan hidup dasar ialah untuk oksigenasi darurat secara
efektif pada organ vital seperti otak dan jantung melalui ventilasi buatan dan
sirkulasi buatan sampai paru dan jantung dapat menyediakan oksigen dengan
kekuatan sendiri secara normal.
Langkah dalam melakukan bantuan hidup dasar meliputi:
a. Periksa Respon dan Layanan Kedaruratan Medis
Pastikan anda, korban dan setiap pengamat aman. Pemeriksaaan
kesadaran dilakukan untuk menentukan pasien sadar atau tidak dengan cara
kocok perlahan bahu dan bertanya dengan keras: "Apakah anda baik-baik
saja?”. Jika pasien respon, biarkan sahaja di dalam posisi yang membuatnya
merasa nyaman, disediakan tidak ada bahaya yang lebih lanjut dan bila perlu
lakukan kembali penilaian kesadaran setelah beberapa menit. JIka pasien
tidak sadar, segera meminta bantuan dengan cara berteriak “TOLONG!” atau
dengan memberitahu dimana posis anda dengan alat komunikasi.

Gambar 1.4. Pemeriksaan kesadaran korban

b. Pembebasan Jalan Napas


Airway adalah upaya untuk mempertahankan jalan napas yang dapat
dilakukan secara non invasif maupun invasif. Teknik-teknik mempertahankan
jalan napas (airway) dengan cara non invasif :
 Tindakan kepala tengadah (head tilt)
 Tindakan dagu diangkat (chin lift)

36
Gambar 1.5. Head-tilt, chin-lift maneuver

 Tindakan mendorong rahang bawah (jaw-thrust)


Membuka jalan napas dengan mengangkat rahang (jaw-trust) dilakukan
bila dicuriga ada trauma kepala (Fraktur vertebra servikal)

Gambar 1.6. Jaw-thrust maneuver


c. Bantuan Napas dan Ventilasi (Breathing Support)
Breathing support merupakan usaha ventilasi buatan dan oksigenasi
dengan inflasi tekanan positif secara intermitten dengan menggunakan udara
ekshalasi dari mulut ke mulut, mulut ke hidung, atau dari mulut ke alat (S-
tube masker atau bag valve mask)
Breathing support terdiri dari 2 tahap :
1. Penilaian Pernapasan
Menilai pernapasan dengan memantau atau observasi dinding dada pasien
dengan cara melihat (look) naik dan turunnya dinding dada, mendengar
(listen) udara yang keluar saat ekshalasi, dan merasakan (feel) aliran udara
yang menghembus dipipi penolong.

Gambar 1.7. Look, listen, and feel

37
2. Memberikan bantuan napas
Bantuan napas dapat dilakukan melalui mulut ke mulut (mouth-to
mouth), mulut ke hidung (mouth-to-nose), mulut ke stoma trakeostomi atau
mulut ke mulut via sungkup.

d. Sirkulasi (Circulation Support)


Merupakan suatu tindakan resusitasi jantung dalam usaha
mempertahankan sirkulasi darah dengan cara memijat jantung, sehingga
kemampuan hidup sel-sel saraf otak dalam batas minimal dapat
dipertahankan.
Dilakukan dengan menilai adanya pulsasi arteri karotis. Penilaian ini
maksimal dilakukan selama 5 detik. Bila tidak ditemukan nadi maka
dilakukan kompresi jantung yang efektif, yaitu kompresi dengan kecepatan
100 kali per menit, kedalaman 4-5 cm, memberikan kesempatan jantung
mengembang (pengisian ventrikel), waktu kompresi dan relaksasi sama,
minimalkan waktu terputusnya kompresi dada. Rasio kompresi dan ventilasi
30:2..
Tempat kompresi jantung luar yang benar ialah bagian tengah separuh
bawah tulang dada. Pada pasien dewasa tekan tulang dada kebawah menuju
tulang punggung sedalam 3-5 cm sebanyak 60-100 kali per menit.tindakan ini
akan memeras jantung yang letaknya dijepit oleh dua bangunan tulang yang
keras yaitu tulang dada dan tulang punggung. Pijatan yang baik akan
menghasilkan denyut nadi pada karotis dan curah jantung sekitar 10-15% dari
normal.

38
Gambar 1.8. Posisi penolong pijat jantung

Periksa keberhasilan tindakan resusitasi jantung paru dengan memeriksa


denyut nadi arteri karotis dan pupil secara berkala. Bila pupil dalam keadaan
konstriksi dengan reflex cahaya positif, menandakan oksigenasi aliran darah
otak cukup. Bila sebaliknya yang terjadi, merupakan tanda kerusakan otak
berat dan resusitasi dianggap kurang berhasil..
e. Posisi Pemulihan (Recovery Position)
Recovery position dilakukan setelah pasien ROSC (Return of
Spontaneous Circulation). Urutan tindakan recovery position meliputi:
a. Tangan pasien yang berada pada sisi penolong diluruskan ke atas
b. Tangan lainnya disilangkan di leher pasien dengan telapak tangan pada pipi
pasien
c. Kaki pada sisi yang berlawanan dengan penolong ditekuk dan ditarik ke
arah penolong, sekaligus memiringkan tubuh korban ke arah penolong
Dengan posisi ini jalan napas diharapkan dapat tetap bebas (secure
airway) dan mencegah aspirasi jika terjadi muntah. Selanjutnya, lakukan
pemeriksaan pernapasan secara berkala.

Gambar 1.9. Recovery position

Indikasi Bantuan Hidup Dasar

39
Tindakan RJP sangat penting terutama karena 40% korban henti jantung
mendadak mengalami fibrilasi ventrikuler (VF) saat pertama kali diperiksa.
VF merupakan depolarisasi dan repolarisasi yang cepat dan tidak teratur di
mana jantung kehilangan fungsi koordinasi dan tidak memompa jantung
secara efektif. Banyak korban henti jantung dapat ditolong jika penolong
segera bertindak saat masih terdapat VF..
Pada beberapa keadaan, tindakan resusitasi tidak dimulai bila pasien
memiliki keterangan DNAR (do not attempt resuscitation), pasien memiliki
tanda kematian yang irreversible (seperti rigormotaris, dekapitasi,
dekomposisi, atau pucat), atau tidak ada manfaat fisiologis yang dapat
diharapkan karena fungsi vital telah menurun walau telah diberi terapi
maksimal (seperti syok septik atau syok kardiogenik yang progresif). RJP
dihentikan bila sirkulasi dan ventilasi spontan secara efektif telah membaik,
perawatan dilanjutkan oleh tenaga medis di tingkat perawatan yang lebih
tinggi.
Henti Napas (Respiratory Arrest)
Henti napas primer (respiratory arrest) dapat disebabkan oleh banyak
hal, misalnya serangan stroke, keracunan obat, tenggelam, inhalasi
asap/uap/gas, obstruksi jalan napas oleh benda asing, tersengat listrik,
tersambar petir, serangan infark jantung, radang epiglottis, tercekik
(suffocation), trauma dan lain-lain.
Pada awal henti nafas, jantung masih berdenyut, masih teraba nadi,
pemberian oksigen ke otak dan organ vital lainnya masih cukup sampai
beberapa menit. Kalau henti napas mendapat pertolongan dengan segera maka
pasien akan terselamatkan hidupnya dan sebaliknya kalau terlambat akan
berakibat henti jantung yang mungkin menjadi fatal.

Henti Jantung (Cardiac Arrest)


Henti jantung adalah keadaan terhentinya alran darah dalam system
sirkulasi tubuh secara tiba-tiba akibat terganggunya efektifitas kontraksi
jantung saat sistolik.

40
Berdasarkan etiologinya henti jantung disebabkan oleh penyakit jantung
(82,4%); penyebab internal non jantung (8,6%) seperti akibat penyakit paru,
penyakit serebrovaskular, penyakit kanker, perdarahan saluran cerna
obstetrik/pediatrik, emboli paru, epilepsi, diabetes mellitus, penyakit ginjal;
dan penyebab eksternal non jantung (9,0%) seperti akibat trauma, asfiksisa,
overdosis obat, upaya bunuh diri, sengatan listrik/petir.
Henti jantung biasanya terjadi beberapa menit setelah henti napas.
Umumnya walaupun kegagalan pernapasan telah terjadi, denyut jantung dan
pembuluh darah masih dapat berlangsung terus sampai kira-kira 30 menit.
Pada henti jantung dilatasi pupil kadang-kadang tidak jelas. Dilatasi pupil
mulai terjadi 45 detik setelah aliran darah ke otak berhenti dan dilatasi
maksimal terjadi dalam waktu 1 menit 45 detik. Bila telah terjadi dilatasi
pupil maksimal, hal ini menandakan sudah 50% kerusakan otak irreversible.
Henti jantung ditandai oleh denyut nadi besar tak teraba (karotis,
femoralis, radialas), disertai kebiruan (sianosis) atau pucat sekali, pernapasan
berhenti atau satu-satu (gasping, apnu), dilatasi pupil tak bereaksi dengan
ranngsang cahaya dan pasien dalam keadaan tidak sadar .

2. KEGIATAN KLINIK
2.1 Instalasi Gawat Darurat (IGD)
A. Prosedur Pemasangan Infus
Pengertian
Infus adalah memasukkan cairan dalam jumlah tertentu melalui vena
penderita secara terus menerus dalam jangka waktu tertentu. Pemasangan infus
intravena adalah memasukkan jarum atau kanula ke dalam vena (pembuluh
balik) untuk dilewati cairan infus/pengobatan, dengan tujuan agar sejumlah
cairan atau obat dapat masuk ke dalam tubuh melalui vena dalam jangka waktu
tertentu. Tindakan ini sering merupakan tindakan life saving seperti pada
kehilangan cairan yang banyak, dehidrasi dan syok, karena itu keberhasilan
terapi dan cara pemberian yang aman diperlukan pengetahuan dasar tentang
keseimbangan cairan dan elektrolit serta asam basa. Jadi, dapat disimpulkan

41
bahwa pemasangan infus adalah sebuah teknik memasukkan jarum atau kanula
kedalam vena untuk memasukkan cairan infus kedalam tubuh.

Tujuan Pemasangan Infus


a. Mempertahankan atau mengganti cairan tubuh yang menganung air,
elektrolit, vitamin, protein lemak, dan kalori yang tidak dapat dipertahankan
secara adekuat melalui oral
b. Memperbaiki keseimbangan asam basa
c. Memperbaiki volume komponen-komponen darah
d. Memberikan jalan masuk untuk pemberian obat-obatan kedalam tubuh
e. Memonitor tekan Vena Central (CVP)
f. Memberikan nutrisi pada saat system pencernaan di istirahatkan.

Lokasi Pemasangan Infus

Tempat atau lokasi vena perifer yang sering digunakan pada pemasangan infus
adalah vena superfisial atau perifer kutan terletak di dalam fasia subcutan dan
merupakan akses paling mudah untuk terapi intaravena. Daerah tempat infus
yang memungkinkan adalah permukaan dorsal tangan (Vena supervisial dorsalis,
vena basalika, vena sefalika), lengan bagian dalam (vena basalika, vena sefalika,
vena kubital median, vena median lengan bawah, dan vena radialis), dan
permukaan dorsal (Vena safena magna, ramus dorsalis).

Pemilihan lokasi pemasangan terapi intravena mempertimbangkan beberapa


faktor, yaitu:

a. Umur pasien: misalnya pada anak kecil, pemilihan sisi adalah sangat penting
dan mempengaruhi beberapa lama intravena terakhir
b. Prosedur yang diantisipasi: misalnya jika pasien harus menerima jenis terapi
tertentu atau mengalami beberapa prosedur seperti pembedahan, pilih sisi
yang tidak terpengaruh oleh apapun
c. Aktivitas pasien: misalnya gelisah, bergerak, tak bergerak, perubahan tingkat
kesadaran

42
d. Jenis intravena: jenis larutan dan obat-obatan yang akan diberikan sering
memaksa tempat-tempat yang optimum (misalnya hiperalimenasi adalah
sangat mengiritasi bena-vena perifer
e. Durasi terapi intravena: terapi jangka panjang memerlukan pengukuran
untuk memelihara vena; pilih bena yang akurat dan baik, rotasi sisi dengan
hati-hati, rotasi sisi pungsi dari distal ke proksimal (misalnya mulai di tangan
dan pindah ke lengan)
f. Ketersediaan vena perifer bila sangan sedikit vena yang ada, pemilihan sisi
dan rotasi yang berhati-hati menjadi sangat penting; jika sedikit vena
pengganti
g. Terapi intravena sebelumnya: flebitis sebelumnya membuat vena menjadi
tidak baik untuk digunakan, kemotrapi sering membuat vena menjadi buruk
(misalnya mudah pecah atau sklerosis)
h. Pembedahan sebelumnya: jangan gunakan ekstremitas yang terkena pada
pasien dengan kelenjar limfe yang telah diangkat (misalnya pasien
mastektomi) tanpa izin dari dokter
i. Sakit sebelumnya: jangan gunakan ekstremitas yang sakit pada pasien
dengan stroke

Prosedur Pemasangan Infus

Pelaksanaan dalam pemasangan infus harus dilaksanakan sebaik-baiknya guna


menghindari terjadinya komplikasi yang tidak diinginkan. Secara teori Standar
Operating Prosedure (SOP) dalam pemasangan infus, yaitu:

a. Cuci tangan
b. Hubungkan cairan dan infus set dengan memasukkan ke bagian karet atau
akses selang ke botol infus
c. Isi cairan ke dalam set infus dengan menekan ruang tetesan hingga terisi
sebagian dan buka klem slang hingga cairan memenuhi selang dan udara
selang keluar
d. Letakkan pangalas di bawah tempat (vena) yang akan dilakukan penginfusan

43
e. Lakukan pembendungan dengan torniket (karet pembendung) 10-12 cm di
atas tempat penusukan dan anjurkan pasien untuk menggenggam dengan
gerakan sirkular (bila sadar)
f. Gunakan sarung tangan steril
g. Disinfeksi daerah yang akan ditusuk dengan kapas alcohol
h. Lakukan penusukan pada vena dengan meletakkan ibu jari di bagian bawah
vena da posisi jarum mengarah ke atas
i. Perhatikan keluarnya darah melalui jarum maka tarik keluar bagian dalam
(jarum) sambil meneruskan tusukan ke dalam vena
j. Setelah jarum infus bagian dalam dilepaskan atau dikeluarkan, tahan bagian
atas vena dengan menekan menggunakan jari tangan agar darah tidak keluar.
Kemudian bagian infus dihubungkan atau disambungkan dengan selang
infus
k. Buka pengatur tetesan dan atur kecepatan sesuai dengan dosis yang
diberikan
l. Lakukan fiksasi dengan kasa steril
m. Tuliskan tanggal dan waktu pemasangan infus serta catat ukuran jarum
n. Lepaskan sarung tangan dan cuci tangan

Komplikasi Pemasangan Infus

Pemasangan infus intravena diberikan secara terus menerus dan dalam jangka
waktu yang lama tentunya akan meningkatkan terjadinya komplikasi.
Komplikasi dari pemasangan infus yaitu flebitis, hematoma, infiltrasi,
trombiflebitis, emboli udara.

a. Flebitis
Inflasi vena yang disebabkan oleh iritasi kimia maupun mekanik. Kondisi
ini dikarakteristikkan dengan adanya daerah yang memerah dan hangat di sekitar
daerah inersi/penusukan atau sepanjang vena, nyeri atau rasa lunak pada area
inersi atau sepanjang vena dan pembengkakan.
b. Infiltrasi
Infiltaris terjadi ketika cairan IV memasuki ruang subkutan di sekililing
tempat fungsi vena. Infiltrasi ditunjukkan dengan adanya pembengkakan (akibat

44
peningkatan cairan di jaringan), palor (disebabkan oleh sirkulasi yang menurun)
di sekitar area inersi, ketidaknyamanan dan penurunan kecepatan aliran secara
nyata. Infiltrasi mudah dikenali jika tempat penusukan lebih besar daripada
tempat yang sama di ekstremitas yang berlawanan. Suatu cara yang lebih
dipercaya untuk memastikan infiltrasi adalah dengan memasang torniket di atas
atau di daerah proksimal dari tempat pemasangan infus dan mengencangkan
torniket tersebut secukupnya untuk menghentikan aliran vena. Jika infus tetap
menetes meskipun ada obstruksi vena, berarti terjadi infilrasi.
c. Iritasi vena
Kondisi ini ditandai dengan nyeri selama diinfus, kemerahan pada kulit di
atas area insersi. Iritasi vena bisa terjadi karena cairan dengan pH tinggi, pH
rendah atau osmolaritas yang tinggi (misalnya: Phenytoin, voncomycin,
eritromycin dan nafellin).
d. Hematoma
Hematoma terjadi sebagai akibat kebocoran darah ke jaringan di sekitar area
inersi. Hal ini disebabkan oleh pecahnya vena yang berlawanan selama
penusukan vena, jarum keluar vena, dan tekanan yang tidak sesuai yang
diberikan ke tempat penusukan setelah jarum atau kateter dilepaskan. Tanda dan
gejala hematoma yaitu ekimosis, pembengkakan segera pada tempat penusukan,
dan kebocoran darah pada tempat penusukan.
e. Tromboflebitis
Tromboflebitis menggambarkan adanya bekuan ditambah peradangan dalam
vena. Karakteristik Tromboflebitis adalah adanya nyeri yang terlokalisasi,
kemerahan, rasa hangat, dan pembengkakan di sekitar area insersi atau
sepanjang vena, imobilisasi ekstremitas karena adanya rasa tidak nyaman dan
pembengkakan, kecepatan aliran yang tersendat, demam, malaise, dan
leukositosis.
f. Trombisis
Trombisis ditandai dengan nyeri, kemerahan, bengkak pada vena, dan aliran
infus berhenti. Trombisis disebabkan oleh injuri sel endotel dinding vena,
pelekatan platelet.
g. Occlusion

45
Occlusion ditandai dengan tidak adanya penambahan aliran ketika botol
dinaikkan, aliran balik darah di selang infus, dan tidak nyaman pada area
pemasangan/insersi. Occlusion disebabkan oleh gangguan aliran IV, aliran balik
darah ketika pasien berjalan, dan selang diklem terlalu lama.

h. Spasme Vena
Kondisi ini ditandai dengan nyeri sepanjang vena, kulit pucat di sekitar
vena, aliran berhenti meskipun klem sudah dibuka maksimal. Spasme Vena bisa
disebabkan oleh pemberian darah atau cairan yang dingin, iritasi vena oleh obat
atau cairan yang mudah mgiritasi vena dan aliran yang terlalu cepat.
i. Reaksi Vasovagal
Digambarkan dengan klien tiba-tiba terjadi kollaps pada vena, dingin,
berkeringat, pingsan, pusing, mual dan penurunan tekanan darah. Reaksi
vasovagal bisa disebabkan oleh nyeri kecemasan.
j. Kerusakan Syaraf, tendon dan ligament
Kondisi ini ditadai oleh nyeri ekstrem, kebas/mati rasa, dan kontraksi otot.
Efek lambat yang bisa muncul adalah paralysis, mati rasa dan deformitas.
Kondisi ini disebabkan oleh tehnik pemasangan yang tidak tepat sehingga
menimbulkan injuri di sekitar syaraf, tendon dan ligament.

B. Prosedur Pemasangan Kateter


Pengertian
Kateter urin adalah selang yang dimasukkan ke dalam kandung kemih
untuk mengalirkan urin. Kateter ini biasanya dimasukkan melalui uretra ke
dalam kandung kemih. Pemasangan kateter merupakan tindakan yang bertujuan
untuk membantu memenuhi kebutuhan eliminasi dan sebagai pengambilan
bahan pemeriksaan.

Tindakan pemasangan kateter urin dilakukan dengan memasukkan selang


plastic atau karet melalui kandung kemih. Kateter memungkinkan mengalirnya
urin yang berkelanjutan pada pasien yang tidak mampu mengontrol perkemihan
atau pasien yang mengalami obstruksi. Kateter juga menjadi alat untuk mengkaji

46
keluarnya urin per jam pada pasien yang status hemodinamiknya tidak stabil.
Pemasangan kateter menggantikan kebiasaan normal dari pasien untuk
berkemih. Penggunaan kateter intermitten dalam waktu yang lama dapat
menyebabkan pasien mengalami ketergantungan dalam berkemih.

Tipe-tipe Kateterisasi

Pemasangan kateter dengan dapat bersifat sementara atau menetap.


Pemasangan kateter sementara dilakukan jika pengosongan kandung kemih
dilakukan secara rutin sesuai dengan jadwal, sedangkan pemasangan kateter
menetap dilakukan apabila pengosongan kandung kemih dilakukan secara terus
menerus.

a. Kateter Sementara
Pemasangan kateter sementara dilakukan dengan cara kateter lurus yang
sekali pakai dimasukkan sampai mencapai kandung kemih yang bertujuan
untuk mengeluarkan urin. Tindakan ini dapat dilakukan selama 5 sampai 10
menit. Pada saat kandung kemih kosong maka kateter kemudian ditarik
keluar, pemasangan kateter sementara ini dapat dilakukan berulang jika
diperlukan, tetapi penggunaan yang berulang meningkatkan resiko infeksi.
b. Kateter Menetap
Kateter menetap digunakan untuk periode waktu yang lebih lama. Kateter
menetap diletakkan dalam kandung kemih untuk beberapa minggu
pemakaian sebelum dilakukan pergantian kateter. Pemasangan kateter ini
dilakukan sampai pasien dapat berkemih dengan tuntas dan spontan atau
selama pengukuran urin akurat dibutuhkan. Pemakaian kateter menetap ini
banyak menimbulkan infeksi atau sepsis.

Prosedur Pemasangan Kateter


1. Menyiapkan penderita : untuk penderita laki-laki dengan posisi
terlentang sedang wanita dengan posisi dorsal recumbent atau posisi Sim
2. Aturlah cahaya lampu sehingga didapatkan visualisasi yang baik
3. Siapkan deppers dan cucing , tuangkan bethadine secukupnya
4. Kenakan handscoen dan pasang doek lubang pada genetalia penderita

47
5. Mengambil deppers dengan pinset dan mencelupkan pada larutan
bethadine
6. Melakukan desinfeksi sebagai berikut :
a. Pada penderita laki-laki : Penis dipegang dan diarahkan ke atas atau
hampir tegak lurus dengan tubuh untuk meluruskan urethra yang
panjang dan berkelok agar kateter mudah dimasukkan . desinfeksi
dimulai dari meatus termasuk glans penis dan memutar sampai
pangkal, diulang sekali lagi dan dilanjutkan dengan alkohol. Pada
saat melaksanakan tangan kiri memegang penis sedang tangan kanan
memegang pinset dan dipertahankan tetap steril.
b. Pada penderita wanita : Jari tangan kiri membuka labia minora,
desinfeksi dimulai dari atas ( clitoris ), meatus lalu kearah bawah
menuju rektum. Hal ini diulang 3 kali . deppers terakhir ditinggalkan
diantara labia minora dekat clitoris untuk mempertahankan
penampakan meatus urethra.
7. Lumuri kateter dengan jelly dari ujung merata sampai sepanjang 10 cm
untuk penderita laki-laki dan 4 cm untuk penderita wanita. Khusus pada
penderita laki-laki gunakan jelly dalam jumlah yang agak banyak agar
kateter mudah masuk karena urethraberbelit-belit.
8. Masukkan katether ke dalam meatus, bersamaan dengan itu penderita
diminta untuk menarik nafas dalam.
a. Untuk penderita laki-laki : Tangan kiri memegang penis dengan
posisi tegak lurus tubuh penderita sambil membuka orificium urethra
externa, tangan kanan memegang kateter dan memasukkannya secara
pelan-pelan dan hati-hati bersamaan penderita menarik nafas dalam.
Kaji kelancaran pemasukan kateter jika ada hambatan berhenti
sejenak kemudian dicoba lagi. Jika masih ada tahanan kateterisasi
dihentikan. Menaruh neirbecken di bawah pangkal kateter sebelum
urine keluar. Masukkan kateter sampai urine keluar sedalam 5 – 7,5
cm dan selanjutnya dimasukkan lagi +/- 3 cm.
b. Untuk penderita wanita : Jari tangan kiri membuka labia minora
sedang tangan kanan memasukkan kateter pelan-pelan dengan

48
disertai penderita menarik nafas dalam . kaji kelancaran pemasukan
kateter, jik ada hambatan kateterisasi dihentikan. Menaruh
nierbecken di bawah pangkal kateter sebelum urine keluar. Masukkan
kateter sampai urine keluar sedalam 18 – 23 cm dan selanjutnya
dimasukkan lagi +/- 3 cm.
9. Mengambil spesimen urine kalau perlu
10. Mengembangkan balon kateter dengan aquadest steril sesuai volume
yang tertera pada label spesifikasi kateter yang dipakai
11. Memfiksasi kateter : Pada penderita laki-laki kateter difiksasi dengan
plester pada abdomen sedangkan pada penderita wanita kateter difiksasi
dengan plester pada pangkal paha
12. Menempatkan urobag ditempat tidur pada posisi yang lebih rendah dari
kandung kemih

C. Prosedur Pemeriksaan Ekg


Pengertian
Elektrokardiogram (EKG) adalah suatu pencatatan grafis aktivitas listrik
jantung. Sewaktu impuls jantung melewati jantung, arus listrik akan menyebar
ke jaringan di sekeliling jantung, dan sebagian kecil dari arus listrik ini akan
menyebar ke segala arah di seluruh permukaan tubuh. Impuls yang masuk ke
dalam jantung akan membangkitkan sistem konduksi pada jantung sehingga
terjadi potensial aksi. Dalam potensial aksi jantung secara umum, terdapat dua
fase yang terjadi, yaitu depolarisasi dan repolarisasi. Depolarisasi adalah
rangsangam ketika gelombang rangsang listrik tersebar dari nodus SA melalui
sistem penghantar menuju miokardium untuk merangsang otot berkontraksi.
Sedangkan repolarisasi adalah pemulihan listrik kembali.

Tindakan Jantung memiliki suatu sistem dimana selnya mempunyai


kemampuanuntuk membangkitkan dan menghantarkan impuls listrik secara
spontan. Kegiatan listrik jantung dihubungkan dengan perjalanan impuls dari
jantung yangdihantaran menuju jaringan tubuh dan diukur pada permukaan
tubuh menggunakan galvanometer. Galvanometer yang khusus digunakan untuk
mendeteksi dan meningkatkan aktivitas listrik yang lebih kecil dari jantung

49
dankemudian dapat digambarkan pada kertas yang berjalan disebut
Elektrokardiogram (EKG). EKG dapat mencatat aktivitas listrik miokardium
dari 12 posisi yang berbeda. Elektrokardiograf juga dapat didefinisikan sebagai
alat diagnosa yang sudah umum dan sering digunakan dalam rangka mengukur
aktivitas elektrik jantung dengan bentuk gelombang. Impuls yang bergerak
akibat adanya sistemkonduksi jantung menciptakan elektriksitas yang kemudian
dapat dimonitor daripermukaan tubuh.Pemasangan elektrode di kulit individu
dapat mendeteksi elektriksitas tersebut dan mentransmisi tersebut ke instrumen
dan merekamnya(elektrokardiogram) sebagai aktivitas jantung0. Jadi pengertian
EKG adalah rekaman aktivitas listrik jantung atau bioelektrikal pada jantung
yang digambarkan dengan sebuah grafik EKG atau dengan katalain grafik EKG
menggambarkan rekaman aktifitas listrik jantung.

Tujuan Pemeriksaan EKG

a. Mengetahui kelainan-kelainan irama jantung (aritmia).


b. Mengetahui kelainan-kelainan miokardium (infark, hipertrophy atrial dan
ventrikel). .
c. Mengetahuiadanya pengaruh atau efek obat-obat jantung.
d. Mengetahui adanya gangguan elektrolit.
e. Mengetahui adanya gangguan perikarditis.
f. Mengidentifikasi gangguan ritme dan konduksi jantung dan pembesaran
rongga jantung.

Prosedur pelaksanaan EKG

Elektroda EKG akan ditempelkan pada dada, pergelangan tangan dan kaki, jadi
sebaiknya Anda (terutama wanita) menggunakan pakaian dengan atasan dan
bawahan yang terpisah. Ini untuk mempermudah pemasangan elektroda EKG.
Jika lokasi penempelan elektroda EKG didapati banyak bulu, bisa saja dokter
memerintahkan untuk mencukurnya terlebih dahulu. Sensor yang disebut dengan
elektroda akan dilekatkan pada dada, pergelangan tangan dan kaki, baik dengan
menggunakan semacam cangkir hisap atau gel lengket. Elektroda ini selanjutnya

50
akan mendeteksi arus listrik yang dihasilkan jantung yang diukur dan dicatat
oleh mesin elektrokardiograf.

1. Pasien diberitahu tentang tujuan perekaman EKG.


2. Pakaian pasien dibuka dan dibaringkan terlentang dalam keadaan tenang
selama perekaman.
3. Cara menempatkan elektrode sebelum pemasangan elektrode, bersihkan kulit
pasien di sekitar pemasangan manset, beri jelly kemudian hubungkan kabel
elektrode dengan pasien.
4. Elektrode ekstremitas atas dipasang pada pergelangan tangan kanan dan kiri
searah dengan telapak tangan.
5. Pada ekstremitas bawah pada pergelangan kaki kanan dan kiri sebelah
dalam. f.
6. Posisi pada pergelangan bukanlah mutlak, bila diperlukan dapatlah dipasang
sampai ke bahu kiri dan kanan dan pangkal paha kiri dan kanan. Kemudian
kabel-kabel dihubungkan :
a. Merah (RA / R) lengan kanan.
b. Kuning (LA/ L) lengan kiri.
c. Hijau (LF / F ) tungkai kiri .
d. Hitam (RF / N) tungkai kanan (sebagai ground).
7. Hubungkan kabel dengan elektroda:
a. Kabel merah dihubungkan pada elektroda di pergelangan tangan kanan.
b. Kabel kuning dihubungkan pada elektroda di pergelangan tangan kiri.
c. Kabel hijau dihubungkan pada elektroda di pergelangan kaki kiri.
d. Kabel hitam dihubungkan pada elektroda di pergelangan kaki kanan.
8. Bersihkan permukaan kulit di dada klien yang akan dipasang elektroda
prekordial dengan kapas alkohol dan beri jelly pada setiap elektroda,
pasangkan pada tempat yang telah dibersihkan.
9. Hubungkan kabel dengan elektroda :
a. C1 : untuk Lead V1 dengan kabel merah.
b. C2 : untuk Lead V2 dengan kabel kuning.
c. C3 : untuk Lead V3 dengan kabel hijau.
d. C4 : untuk Lead V4 dengan kabel coklat

51
e. C5 : untuk Lead V5 dengan kabel hitam
f. C6 : untuk Lead V6 dengan kabel ungu.
Pada C2 dan C4 merupakan titik-titik untuk mendengarkan bunyi jantung I
dan II.

2.2 Poli Penyakit Dalam


a. Jenis SPM
SPM rawat jalan di bagian poli penyakit dalam dan VCT, dan SPM rawat
inap di ruang Melati RSD Balung
b. Kegiatan
1. Observasi prosedur penegakan diagnosis/DD serta menetapkan rencana
perawatan
2. Identifikasi fokus infeksi pada pasien dengan berbagai penyakit/kelainan
antara lain:
a. Pulmonary Tuberculosis
b. Diabetes Mellitus
c. HIV
d. Anaemia Chronic Disease
e. Chronic Gastritis
3. Edukasi pasien untuk menjaga kebersihan rongga mulut
4. Edukasi pasien cara memilih sikat dan cara gosok gigi pada anak yang
mengalami penyakit sistemik.
c. Capaian
1. Mampu mengedukasi pasien untuk menjaga kebersihan rongga mulut dan
pasien dapat mempraktekkannya.
2. Mampu mengedukasi pasien cara memilih sikat dan cara gosok.
d. Obyek Garapan
1. Pasien
2. Alat medis
e. Uraian / diskripsi kegiatan yang dikerjakan
Kegiatan di poli penyakit dalam dibimbing oleh dr.H.A.
Yudho.,Akp.,Sp.PD.,FINASIM. Di Poli Penyakit Dalam komunikasi yang

52
dilakukan antara mahasiswa coass Kedokteran Gigi dan dr.Yudho selaku dokter
pembimbing menggunakan bahasa inggris. Masing - masing kelompok berada
di Poli Penyakit Dalam selama 2 hari.

Hari ke 1
Pada hari pertama, kami melakukan visite bersama dr.H.A.
Yudho.,Akp.,Sp.PD.,FINASIM di Ruang Melati RSD Balung. Kami sebagai
mahasiswa coass Kedokeran Gigi melakukan pemeriksaan subjektif dan objektif
pada rongga mulut pasien untuk melihat manifestasi penyakit sistemik dalam
rongga mulut. Setelah itu, hasil dari anamnesa kasus didiskusikan dengan dokter
pembimbing. Setelah diskusi selesai, dokter pembimbing memberikan tugas
untuk dikerjakan dirumah. Selain itu kami juga diberi tugas untuk meresume
rekam medik pasien dan kemudian akan didiskusikan bersama mengenai cara
menulis resume yang baik dan benar.
Hari ke 2
Pada hari kedua, kami bersama dokter pembimbing mengunjungi pasien
pada gedung Graha Medical Center (GMC) dan ruang rawat inap melati untuk
visite pasien dari Poli Penyakit Dalam.
Hasil Diskusi :
1. Case Report Pulmonary Tuberculosis

Name Mr. U
Age 42 y.o
Sex Male
Chief Complaint (S) Patient have been coughing for 2 months. He
went to RSD Balung six days ago by himself
with other complaint of fever, headache,
stomachache, lose appetite and vomiting.
Clinical observation Patient comes with blood pressure 110/79
mmHg, heart rate 88 times/minute,
respiration rate 28 times/minute, with
temperature 39,1oC. Now the patient still
looked fatigue, still coughing but have a
better condition and could eat well.
Temporary diagnosis Pulmonary Tuberculosis.

53
Background
Pulmonary Tuberculosis (TB) is a contagious bacterial infection
commonly caused by Mycobacterium tuberculosis that primarily involves the
lungs and may spread to other organs. Mycobacterium tuberculosis is airborne,
which means you can become infected with M. tuberculosis after breathing air
exhaled by someone with tuberculosis, as example coughing. The germs can stay
in the air for several hours. It’s possible to inhale them even when the infected
person isn’t in the room[1]. People at risk for developing pulmonary TB disease
are older adults, small children or infants, smokers, lupus or rheumatoid arthritis,
diabetes or kidney disease, drugs consumers, and people such as those living
with HIV, undergoing chemotherapy, or taking chronic steroids[2].
Pulmonary TB is most commonly observed but all parts of the body,
including the oral cavity, can be affected. Pathological lesions in oral TB may
occur at any mucosal site. It is reported that they are most commonly found on
the tongue, followed by the labial mucosa (often at the labia contact site), hard
palate, gingivae and buccal mucosa, as to the frequency. Oral focus of M.
tuberculosis infection may appear as a result of autoinfection from sputum
(Secondary TB), hematogenous or lymphatigenous transmission. Local
predisposing factors include poor oral hygiene, hyperkeratosis disorders such as
leukoplakia, oral mucosa inflammation or even tooth extraction may severe the
oral lesions development[3][4].
Clinical appearance and treatment of oral manifestation on Pulmonary
Tuberculosis:
Clinical Appearance Reference Treatment
1. Nodular Leukoplakia at 1. Nodular leukoplakia at 1. For Oral
ventral and lateral side ventral and lateral side of Candidiasis itself
of tongue tongue commonly diagnosed patient are
as Oral Candidiasis. Oral advised to
candidiasis caused by maintain his oral
Candida albicans which are hygiene. Use of
commensal opportunistic antifungal drug

54
fungus. Due to increased use such as Nystatin
of broad spectrum or scraping the
antibiotics and immuno- tongue with
suppressive drugs to cure tongue cleaner
pulmonary TB, it has a side could applied if
effects on oral normal flora, Candida albicans
causing abundant growth of on tongue appear
Candida albicans[5]. to be excessive[5].

2. Dry Mouth diagnosed as 2. Xerostomia


Xerostomia. Prolonged use treatment consist
of antibiotics and of maintain
immunosuppresive drugs hydration of
may cause side effects such patient in term to
as decrease of saliva flow compesate the
and could lead to other oral side effects of
problems[6]. drugs[6].
2. Dry mouth

3. Labial Desquamation at 3. For Cheilitis and


ventral and angular border Angular Cheilitis
are diagnosed as Cheilitis treatment
and Angular Cheilitis. depends on
Clinically, cheilitis can etiology. If the
occur in chronic condition, specific etiology
where the corner of mouth remains unfound,
or mouth inflamed because these lesions can
3. Labial Desquamation at of wound infection. be difficult to
ventral and angular Infection that caused this cure and it can
border. condition is a type of fungi last up to several
or bacteria. Affected area years. It must be
usually feels pain and remembered that
healing period depends on infection is

55
the treatment. All ages can secondary
be affected by this disease. etiology. If the
The more vulnerable ones main cause is not
are those with a weak treated, the
immune system, diabetes treatment of
mellitus and those that infection will not
flooded their saliva on the produce a
corner of their lips. Patients permanent result.
who have undergone head If it is caused by
and neck radiation also runs systemic disease,
the risk of developing local treatment
angular cheilitis, also those will not be
who have iron deficiency, successful if not
vitamin B12 deficiency and accompanied by
folic deficiency. [7]
systemic
treatment.
Angular cheilitis
caused by
vitamin B
deficiency should
be treated by
providing vitamin
B complex
supplement or
multivitamin that
contain vitamin
B. However,
deficiency of one
type of vitamin is
usually followed
by nutritional
deficiency, hence

56
in the treatment,
multivitamin
administration is
more effective
than vitamin B
complex alone.
Body’s defense
system should be
maintained or
increased by
administering
vitamin
supplements or
multivitamins [7].

What should I do for this patient?


As a part medical practician, its important for us dental practitioners to
maintenance of proper hand hygiene, personal protective equipments like eye
shields, facemasks, head caps, and gloves to prevent direct contact (airborne
droplet, body liquid and mucous membrane) or indirect contact (instrument and
environment) from contaminant. Treating TB patient should be performed on
dental operatories with fresh, non recirculated outdoor air to dilute the
contaminated operating air. TB rooms should have effective air evacuation with
either exhausted or HEPA-filtered if re circulation is necessary. If the hospital
haven’t HEPA, room desain should have good air circulation and good solar
lighting.
Dental practitioners also must consider limiting the usage of ultrasonic
scalers and highspeed handpieces in actively infected patients. Not only to
minimize causing aerosol of bacteria circulate thorough room, also to minimize
risk of producing extra oral lesion. High volume suction is mandatory for
carrying out any procedure to minimize aerosol generation. Usage of rubber dam

57
isolation on TB patient should be considered to minimize spread through patient
mouth exhale, but if the patient has productive cough it is better to avoid for
patient convenience. And lastly, all dental settings should conduct an annual risk
assessment for TB transmission to limit the risk of exposure to infectious
materials and in turn, the potential for disease transmission[8].

Reference

Fitzgerald DW, Sterling TR, Haas DW. Mycobacterium tuberculosis. In: Bennett
JE, Dolan R, Blaser MJ, eds. Mandell, Douglas, and Bennett's Principles
and Practice of Infectious Diseases, Updated Edition. 8th ed. Philadelphia,
PA: Elsevier Saunders; 2015:chap 251.
Global Tuberculosis Report. 2014.
who.int/tb/publications/global_report/gtbr14_main_text.pdf.
Rowińska-Zakrzewska E. Extrapulmonary tuberculosis, risk factors and
incidence [Polish]. Pneumonol Alergol Pol 2011; 79: 377-8.
Little, J.W., Falace D.A., Miller C.S., Rhodus N.L. 2013. Little and Falace’s
Dental Management of the Medically Compromised Patient. Philadelphia:
Elsevier.
Singh, Arun., et al. 2014. Oral candidiasis: An overview. Journal Oral
Maxillofacial Pathology. 2014 Sep; 18(Suppl 1): S81–S85.
A. Villa, et al. 2015. Diagnosis and management of xerostomia and
hyposalivation. Dove Press journal: Therapeutics and Clinical Risk
Management 2015; 11: 45–51.
Fajriani. 2017. Management of Angular Cheilitis in children. Journal of
Dentomaxillofacial Science2(1): 1-3. DOI:10.15562/jdmfs. v2i1.461
Kapoor S., Gandhi S., Gandhi N., 2014. Singh I. Oral manifestations of
tuberculosis. Journal of Health and Research. Vol 1.

58
2. Case Report Diabetes Mellitus

Name Mr. s
Age 57 y.o
Sex Female
Chief Complaint (S) Patient lose appetite, vomiting, and coughing
from 7 days ago.
She went to RSD Balung six days ago by
consult from other clinic with complaint of
fever, headache, stomachache, lose appetite
and vomiting.
Clinical observation Patient comes with blood pressure 110/80
mmHg, heart rate 84 times/minute,
respiration rate 25 times/minute, with
temperature 36oC. Now the patient still
looked fatigue, still coughing but have a
better condition and not vomiting. Patient’s
temporary blood sugar at 415 mg/ml.
Temporary diagnosis Diabetes Mellitus

Background
Diabetes mellitus is a group of metabolic diseases with characterized by
increasing blood sugar (hyperglicemia). Hyperglycemia is caused by various
things, but hyperglycemia is most often caused by diabetes mellitus. In diabetes
mellitus sugar builds up in the blood so it fails to enter the cell. According to the
IDF-7 in 2015, in the body's metabolism the hormone insulin is responsible for
regulating blood glucose levels. This hormone produced in the pancreas is then
released to be used as an energy source. If the body lacks the hormone insulin, it
can cause hyperglycemia.1
Diabetes Mellitus affects more than140 million people worldwide and
presently considered as one of the most frequent chronic disease. According to
World Health Organisation estimates, the number of adults with diabetes
worldwide will increase from 171 million in 2000 to 366 million by 2030. India

59
has called as ‘the diabetes capital of the world’ because of its high diabetes rates;
41 million Indians have diabetes, accounting for one-fifth of all diabetes cases
worldwide. A study by Williams and Mahan involving 2,273 people with
diabetes found a 60% prevalence of periodontal disease; the incidence being
two- to fourfold higher.2
The effects of diabetes on oral health have been studied extensively.
Diminished salivary flow is the commonest oral feature of diabetes, which in
turn leads to an increased risk of dental caries. Several soft tissue abnormalities
have been reported to be associated with Diabetes Mellitus in the oral cavity.
These complications include periodontal diseases
(periodontitis and gingivitis); salivary gland dysfunction leading to reduced
salivary flow and change in saliva composition, and taste dysfunction. There is
also an increased susceptibility to oral bacterial and fungal infections,
particularly candidal infection. Oral mucosal lesions in the form of geographic
tongue, stomatitis, fissured tongue, lichen planus, angular cheilitis have been
reported. In addition, delayed wound healing, mucosal neuro-sensory disorders
and tooth loss has been reported in patients with diabetes.3
The effects of diabetes on oral health have been studied extensively. Diminished
salivary flow is the commonest oral feature of diabetes, which in turn leads to an
increased risk of dental caries. Several soft tissue abnormalities have been
reported to be associated with Diabetes Mellitus in the oral cavity. These
complications include periodontal diseases
(periodontitis and gingivitis); salivary gland dysfunction leading to reduced
salivary flow and change in saliva composition, and taste dysfunction. There is
also an increased susceptibility to oral bacterial and fungal infections,
particularly candidal infection. Oral mucosal lesions in the form of geographic
tongue, stomatitis, fissured tongue, lichen planus, angular cheilitis have been
reported. In addition, delayed wound healing, mucosal neuro-sensory disorders
and tooth loss has been reported in patients with diabetes.4

Clinical appearance and treatment of oral manifestation on Diabetes


Mellitus:

60
Clinical Appearance Reference Treatment
1.Oral candidiasis or 1.Nodular leukoplakia of 1. Oral Candidiasis
nodular leoplakia tongue diagnosed as oral itself patient are
candidiasis. Oral advised to maintain
candidiasis caused by his oral hygien,
commensal opportunistic using antifungal
fungus specialy Candida drug such as
Albicans.Salivary Nystatin and
dysfunction in diabetics can scraping the tongue
also contribute to higher with tongue
risk of oral candidal cleaner.5
infection.3
2. Dental caries
increase at patient
2.Dental caries 2. It is known that patients with diabetes
with Diabetes Mellitus are mellitus because
susceptible to periodontal xerostomia.. The
and salivary disorders (dry treatment consist of
mouth), which could maintain hydration
increase their risk of of patient in term to
developing new and compesate and oral
recurrent dental caries. hygene control.6
Decreased salivary
secretion, increase of
carbohydrate in parotid
gland saliva, growth of oral
yeasts, increased count of
Mutans streptococci and
lactobacilli are some of the
factors implicated to be
responsible to predispose
diabetics to higher

61
incidence of dental caries.3
3. Chronic Periodontitis
3.Diabetes is believed to
promote periodontal disease
(gingivitis and
periodontitis) through an
exaggerated inflammatory
response to the periodontal
microflora and the degreeof
glycemic control appears to
be an important determinant
in this relationship.
Individuals with type 1
diabetes and high blood
glucose levels are more
likely to have advanced
periodontal diseases, and
there are increases in the
prevalence and severity of
gingival inflammation and
periodontal destruction in
these patients. In people
with poorly controlled type
2 diabetes, one study found
an 11 times higher risk of
alveolar bone loss over a 2-
year period compared to
control subjects without
diabetes. Differences in the
subgingival microflora of
diabetic and nondiabetic
patients with periodontitis

62
have been reported, with a
higher proportion of
Capnocytophaga species in
those with diabetes. 7

What should I do for this patient?


To minimize the risk of intraoperative emergency, clinicians need to
consider a number of management issues before initiating dental treatment.

Medical History
Prior to dental treatment, the dentist must obtain a good medical history
which indicates the type of diabetes suffered and frequency of hypoglycemic
episodes or complications. Antidiabetic medications, dosages times of
administration, and status of diabetes control should be determined. According
to the recent consensus of the American Diabetes Association (2010), [2]

glycosylated hemoglobin, that is, HbA1c ≥6.5%, a preprandial glycemia of ≥126


mg/ dl and a postprandial glycemia ≥200 mg/dl are suggestive diagnostic values
of diabetes.

Scheduling of visits
In general, morning appointments are advisable since endogenous
cortisol levels are generally higher at this time (cortisol increases blood sugar
levels). For patients receiving insulin therapy, appointments should be scheduled
so that they donot coincide with peaks of insulin activity, since that is the period
of maximal risk of developing hypoglycemia.

Diet
It is important for clinicians to ensure that the patients has eaten normally
and taken medications as usual. If the patient skips breakfast owing to the dental
appointment but stills takes the normal dose of insulin, the risk of a
hypoglycemic episode is increased. For certain procedures (e. g., conscious

63
sedation), the dentist may request that the patients alter his or her normal diet
before the procedure. In such cases, the medication dose may need to be
modified in consultation with patient's physician.

Blood glucose monitoring


Depending on the patient's medical history, medication regimen and
procedure to be performed, dentists may need to measure the blood glucose level
before beginning a procedure. This can be done using commercially available
electronic blood glucose monitors, which are relatively inexpensive and have a
high degree of accuracy. Patients with low plasma glucose levels (<70 mg/dl for
most people) should be given an oral carbohydrate before treatment to minimize
the risk of a hypoglycemic event. Clinician should refer patients with
significantly elevated blood glucose levels for medical consultation before
performing elective dental procedures.

Type 1 diabetic patients undergoing a dental procedure


Noninvasive dental procedures
Well-controlled patients can be treated similarly to nondiabetic
individuals. Be aware of the increased susceptibility of these patients to
infections and delayed wound healing. In poorly controlled patients, delay the
dental treatment if possible until they have achieved good metabolic control.

Invasive dental procedures


Patients should ask their doctor for instructions concerning their
medication (normally, if they have metabolic stability, they should take half their
daily dose of insulin the morning of the treatment; then, after the intervention,
the whole dose should be taken with a supplement of rapid-acting insulin).
Blood glucose should be measured preoperatively. If it is between 100 and 200
mg/dl, the invasive dental procedure can be performed. If blood glucose is >200
mg/dl, an intravenous infusion of 10% dextrose in half-normal saline is initiated,
and rapid-acting insulin is administered subcutaneously. If the treatment lasts

64
more than 1 h, blood glucose should be measured hourly. If blood glucose is
>200 mg/dl, rapid-acting insulin should be administered subcutaneously. Type 1
DM is considered a risk factor with regard to suffering infection. For that reason,
when invasive dental procedures are going to be performed (as intraligamentous
anesthesia, teeth extractions, biopsies, etc.), the usual guidelines for the
antibiotic prophylaxis should be followed.

Type 2 diabetic patients undergoing a dental procedure


Noninvasive dental procedures
People who control their disease well by diet and exercise require no
special perioperative intervention. As in type 1 diabetic patients, be aware of
their susceptibility to infections and delayed wound healing. In poorly-controlled
patients, delay the dental treatment if possible until they have achieved good
metabolic control.
Invasive dental procedures
Patients should ask their doctor for instructions regarding their
medication (normally, those patients being treated with oral hypoglycemic
agents should take their normal dose in the morning and eat their regular diet).
Hypoglycemia is the major issue that confronts dental practitioners when
treating diabetic patients, particularly if patients are fasting. The clinical
presentation of hypoglycemia is very similar to hyperglycemia. If in doubt, it
should be treated as a hypoglycemia. The characteristics and treatment of this
complication are showed in. Hypoglycemia usually appears in response to the
stress experienced before, during, or after the treatment, and has been shown to
cause a significant increase in perioperative morbidity and mortality.8

Reference

Elisabet Mauri-Obradors, Albert Estrugo-Devesa, Enric Jané-Salas, Miguel


Viñas, José López-López. 2018. Oral manifestations of Diabetes Mellitus.
A systematic review. University Campus of Bellvitge
Nur Lailatul Lathifah. 2017. Hubungan durasi penyakit dan kadar gula darah
dengan keluhan subyektif penderita diabetes melitus. Unair

65
Tabish Khan. 2018Oral manifestations and complications of diabetes mellitus: A
review. India
Satrija bajaj, Suresh Bradad. 2015. Oral manifestations in type-2 diabetes and
related complications. India
Singh, Arun., et al. 2014. Oral candidiasis: An overview. Journal Oral
Maxillofacial Pathology. 2014
A. Villa, et al. 2015. Diagnosis and management of xerostomia and
hyposalivation. Dove Press journal: Therapeutics and Clinical Risk
Management 2015
Indurkar M.S., Maurya A.S., Indurkar S. 2016. Oral Manifestations of Diabetes.
Clinical Diabetes Journal.
Kaur, Sandeep et.al. 2015. Oral health management considerations in patients
with diabetes mellitus. Archives of Medicine and Health Sciences

3. Case Report HIV

Name Mr. A
Age 24 y.o
Sex Male
Chief Complaint (S) Patient went to RSD Balung 5 days ago by
consult from other clinic with complaint of
coughing since a month ago, diarrhea for a
month and lose appetite.
Clinical observation Patient comes with blood pressure 96/63
mmHg, heart rate 88 times/minute,
respiration rate 24 times/minute, with
temperature 36,8 oC. Now the patient still
looked fatigue, still coughing but have a
better condition and not diarrhea. Patient’s
albumine 2.4 gr/dL.
Temporary diagnosis HIV

Background
Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) is a complex of
symptoms and infections caused by the HIV virus as it impacts the immune
system. Human Immunodeficiency Virus (HIV) mainly affects white blood
cells called T-lymphocytes (T-cells) by attaching to a protein on the cell

66
surface called CD4 (Cluster of Differentiation 4), it is also expressed on the
surface of monocytes, macrophages, and dendritic cells (Berberi et al.,
2015; Noujeim et al,. 2017).
Since the beginning of the AIDS epidemic, much has been learned
about the clinical oral manifestations of HIV disease, and epidemiologic
studies have been conducted by many investigators who reported the
prevalence of specific oral lesions in various adult populations. Candidiasis
and hairy leukoplakia have consistently been found to be the most common
oral lesions seen in adults with HIV disease. A strong association between
the occurrence of oral candidiasis and hairy leukoplakia, and a declining
CD4 T cell count is demonstrated among adults (Jha et al., 2014; Berberi et
al, 2015). The pattern of occurrence of HIV-related oral mucosal diseases
appears to differ in children as compared with adults. The most common
oral conditions in HIV infected children are candidiasis (with prevalence
higher than in adults) and parotid enlargement, whereas hairy leukoplakia
has rarely been documented. Furthermore, children appear to develop oral
candidiasis at a much earlier stage of HIV disease than adults. Adolescents
are at the crossroads between childhood and adulthood, the clinical
presentation in adolescents is ambiguous and it is unclear whether the
pattern of HIV-related oral diseases in this group resembles that of children
or that of adults, and the stage of HIV disease at which oral lesions begin to
manifest among adolescents. Oral manifestations are often among the first
symptoms of HIV/AIDS and thus can be useful in early detection of the
disease. Based on standard classification and diagnostic criteria, common
HIVassociated oral disorders can be broadly classified into four categories
by pathophysiological process: infection (fungal, viral, bacterial), neoplasm,
immunemediated, and other (xerostomia, pain syndromes, and nutritional)
(Jha et al., 2014; WHO, 2016; Greenspan et al., 2016; Noujeim et al.,
2017).
Oral or pharyngeal candidiasis are the commonest fungal infections
observed as the initial manifestation of symptomatic HIV infection. Many
patients can have esophageal candidiasis as well. It is usually observed at

67
CD4 counts of less than 300/µl. The commonest species of candida involved
are Candida albicans although nonalbicans species have also been reported.
There are four frequently observed forms of oral candidiasis: erythematous
candidiasis, pseudomembranous candidiasis, angular cheilitis, and
hyperplastic or chronic candidiasis (Greenspan et al., 2016; Noujeim et al.,
2017).
Clinical appearance and treatment of oral manifestation of HIV:
Clinical Appearance Reference Treatment
1. Oral candidiasis Oropharyngeal Candidiasis Treatment may be
(OPC) is described as the most topical (using
frequent opportunistic lozenges or mouth
infection among HIV-positive rinses) or systemic
patients, and it has been depending on the
(a) estimated that more than 90% severity of the
of HIV-positive patients will disease and other
develop this infection at some associated
time during the progression of underlying
their disease conditions e.g.
Candida albicans is the Diabetes, liver
main etiological disease, xerostomia
(b) microbiological agent, etc.
however other elements such Topical:
as Aspergillus may cause a 1. Chlorhexidine
solitary oral ulceration. (0.2%) mouth
Candidiasis reflects severe wash
depression of the immune 2. Lozenges: e.g.
system: it has variable aspects. Nystatin
Studies showed that (Mycostatin)
pseudomembranous 100,000 i.u;
candidiasis was the most Clotrimazole
common variety of (Mycelex) 1%
oropharyngeal candidiasis. A 3. Adhesive tablets:

68
clear medical history must be Miconazole
collected to distinguish HIV 10mg
related thrush from other 4. Miconazole oral
etiologies such as prolonged gel- X2% daily
intake of antibiotics for 5. Suspension:e.g.
management of serious hotericin B (0.5-
infections or corticosteroids to 1mg), Nystatin
control autoimmune and (100,000 i.u)
immune mediated diseases Systemic:
(Berberi et al.,2015). 1. Fluconazole 150
Other Candida species mg daily
(particularly C. krusei, C. (Diflucan) for 2
glabrata, C. dublinensis) are weeks or more
also associated with oral 2. Miconazole 250
candidiasis in HIV patients. mg daily for 2
Oral candidiasis presents weeks or more
commonly in three forms: 3. Ketoconazole
erythematous candidiasis, 200 mg daily
pseudomembranous (Sporanox), for 2
candidiasis, and angular weeks or more
cheilitis. This patient shows 4. Itraconazole 100
the form of mg daily, for 2
pseudomembranous weeks or more
candidiasis that presents as (Greenspan et al.,
painless creamy white 2016; Noujeim et al.,
plaque-like lesions on the 2017).
tongue, palate, buccal
mucosa, or oropharynx and is
frequently asymptomatic
(Askynite et al, 2015).

2. Dental caries Prevention of dental caries The use of topical

69
increase in people with HIV fluoride gels and
because xerostomia. rinses should be
Xerostomia could increase encouraged. In
the risk of developing new addition,
and recurrent dental caries, management of
because salivary secretion is xerostomia will
decrease. This condition can improve oral
caused the growth of oral comfort, the quality
yeasts and Mutans of speech and use of
streptococci increased any prostheses
(Greenspan et al., 2016). (Greenspan et al.,
2016).

3. Xerostomia Xerostomia is a symptom Xerostomia is


frequently observed in HIV- usually managed by
infected patients which systemic
presented as a dry mouth sialogogues, such as
because of the side effects of pilocarpine and
medication, for example, anti- cevimeline, both
retroviral agents. Furthermore, approved by the US
xerostomia can result from a FDA. Pilocarpine is
salivary gland disease the most widely used
associated with HIV. The drug and it is
parathyroid glands are more administered at a
frequently affected; however, dose of 5mg, 3 times
minor salivary glands may also a day for at least 3,
be affected by a viral infection and intraoral topical
(Hitomi and Hirata, 2015). agents can help
patients as well, and
they include chewing
gums, saliva
stimulants, saliva

70
substitutes, and oral
sprays months (A
Villa et al., 2015) .

What should I do for this patient?


Treatment may be topical (using lozenges or mouth rinses) or systemic
depending on the severity of the disease and other associated underlying
conditions e.g. Diabetes, liver disease, xerostomia etc.
Topical:
1. Chlorhexidine (0.2%) mouth wash
2. Lozenges: e.g. Nystatin (Mycostatin) 100,000 i.u; Clotrimazole
(Mycelex) 1%
3. Adhesive tablets: Miconazole 10mg
4. Miconazole oral gel- X2% daily
5. Suspension: e.g. Amphotericin B (0.5-1mg), Nystatin (100,000 i.u)
Topical treatments are preferred because they limit systemic absorption,
but the effectiveness depends entirely on patient compliance. Topical
medications require that the patient hold medications in the mouth for 20 to
30 minutes. Clotrimazole is an effective topical treatment (one oral troche
[10-mg tablet]) when dissolved in the mouth five times daily. Used less
frequently, one vaginal troche can be dissolved in the mouth daily. Nystatin
preparations include a suspension, a vaginal tablet, and an oral pastille.
Regimens are nystatin tablets (one tablet, 100,000 units, dissolved in the
mouth three times a day), or nystatin oral pastille (available as a 200,000 unit
oral pastille, one or two pastilles dissolved slowly in the mouth five times a
day). Nystatin suspension has a high sugar content and Current Perspectives
in HIV Infection cannot be held in the mouth long enough to be effective.
Topical creams and ointments containing nystatin, ketoconazole, or
clotrimazole may be useful in treating angular cheilitis. For patients with
initial and recurring oropharyngeal candidiasis, a topical agent is generally

71
recommended, provided the patient has a CD4 count greater than 50
cells/mm3 and no oesophageal involvement.
Another therapeutic choice is Amphotericin B (0.1 mg/ml). Five to 10 ml
of oral solution is used as a rinse and then expectorated three to four times
daily.
Systemic:
1. Fluconazole 150 mg daily (Diflucan) for 2 weeks or more
2. Miconazole 250 mg daily for 2 weeks or more
3. Ketoconazole 200 mg daily (Sporanox), for 2 weeks or more
4. Itraconazole 100 mg daily, for 2 weeks or more
Ketoconazole (Nizoral) is a 200 mg tablet taken with food once daily.
Patient compliance is usually good. Careful monitoring of liver function is
necessary for long-term use because of reported side effects, including
hepatotoxicity. Lack of efficacy of ketoconazole may occur because of poor
absorption in those with an abnormally high gastric pH. Fluconazole
(Diflucan) is a triazole antifungal agent effective in treating candidiasis (100-
mg tablet taken once daily for 2 weeks. Itraconazole (100 mg capsules) may
be used for the treatment of oral candidiasis (200 mg daily orally for 14 days.
Salivary levels of itraconazole are maintained for several hours after
administration .
The recommendation to avoid systemic anti-fungal therapies in this
setting is based on evidence that widespread use of systemic azoles is
strongly linked with the development of drug-resistant candidiasis. Patients
with concurrent oesophageal involvement or a CD4 count less than 50
cells/mm3 should receive a systemic oral azole. Ketoconazole, fluconazole,
and itraconazole may interact with other medications including rifampicin,
phenytoin, cyclosporin A, terfenadine, digoxin, coumarin-like medications,
and oral hypoglycemic medications.
Xerostomia is usually managed by systemic sialogogues, such as
pilocarpine and cevimeline, both approved by the US FDA. Pilocarpine is the
most widely used drug and it is administered at a dose of 5mg, 3 times a day
for at least 3, and intraoral topical agents can help patients as well, and they

72
include chewing gums, saliva stimulants, saliva substitutes, and oral sprays
months (A Villa et al., 2015) .
Dentists should also correct the predisposing factors and underlying
diseases and try to promote the use of oral antiseptic and antibacterial rinses
such as Chlorhexidine. Oral thrush is the most common opportunistic
infection seen in HIV-positive individuals. Topical, oral and intravenous
treatments for candida infections of the mouth and oesophagus are available.
The current standards of care are fluconazole or itraconaole (Askynite et al,
2015; Greenspan et al., 2016; Noujeim et al., 2017)
HIV can cause malnutrition for the patient. Doctor can give some
recommendation to increase the nutrition. ,The recommendations are

1. Eat plenty of fruits and vegetables, they are high in nutrients wich protect
immune system. Eat a lot of different product to get most vitamins and
minerals.
2. Eat protein, the body uses it to build muscle and a strong immune system.
3. Limit sugar and salt.
4. Drinks plenty of fluids, make sure to have at least 8 to 10 cups of
waterduring each day.

Reference
Berberi A, Noujeim Z, Aoun G. 2015. Epidemiology Of Oropharyngeal
Candidiasis In Human Immunodeficiency Virus/Acquired Immune
Deficiency Syndrome Patients And CD4+ Counts. J Int Oral Health,
7(3):20-23.
Berberi A, Noujeim Z. 2015. AIDS: An Epidemiological Study On Correlation
Between HIV- Related Oral Lesions And Plasma Levels Of CD4, CD8 T
Lymphocytes Counts And Ratio Among 50 Patients. Br J Medicine
Medical Res, 6(9): 859-866.
Greenspan JS, Greenspan D, Webster-Cyriaque J. 2016. Hairy Leukoplakia;
Lessons Learned: 30-Plus Years. Oral Dis., Suppl 1:120-7. 18.
HIV/AIDS Fact Sheet Number 360. 2016. WHO. November 2015. Retrieved 11.

73
Nouijeim Z, Mantash A, El-Outa A. 2017. Oral Manifestations Of Hivinfection
And Aids: An Update Onclinical Diagnosis And Management. Doumit
International Journal Of Current Advanced Research, 6(09):6256-6263.
Jha R, Kaur T. 2014. Oral Manifestations Of HIV-AIDS: A Diagnostic And
Management Dilemma. Abhimanyu Sharma Journal Of Research In
Medical And Dental Science, 2(1):96-101.
Hitomi, C and Watashi, H. 2015. Oral Manifestations in AIDS. Brazilian Journal
Of
Otorhinolaryngology. 81(2):120-123.
A Villa, CL Connell, and S Abati, 2015. Diagnosis and management of
xerostomia and hyposalivation. Therapeutics and Clinical Risk
Management 2015:11 45–51
Askinyte, D., Raimonda, M., and Arunas, R. 2015. Oral Manifestations of HIV
Disease: A Review. Stomatologija Baltic Dental and Maxillofacial Journal.
17(1):21-28

4. Case Report Anemia

Name Mrs. S
Age 55 y.o
Sex Female
Chief Complaint (S) Patient went to RSD Balung 1 days ago
because stomache, continuous vomiting and
low intake of nutrients .
Clinical observation Patient comes with blood pressure 120/80
mmHg, heart rate 72 times/minute, with
temperature 36,8 oC.
Temporary diagnosis Atopic Anemia

Background
Anemia is a major public health problem worldwide, particularly among
women in developing countries. Dentists can play an important role in
identification and thereby prevention of anemia as oral manifestation may be
the earliest feature of the condition.
Anemia is a widely prevalent condition. According to WHO it is a
condition in which the Haemoglobin (Hb) content of blood is lower than

74
normal as a result of deficiency of one or more essential nutrients. Globally,
anaemia affects 1.62 billion people, which corresponds to 24.8% of the
population. The highest prevalence is in preschool-age children (47.4%), and
the lowest prevalence is in men (12.7%) . Prevalence of anemia in the elderly
has been found to be around 8 -44%, with a higher prevalence in men above 85
years of age
Anemia can result from many events. Blood loss is the most prevalent
cause of anemia, causing a direct loss of RBCs. It is the most common cause of
acute anemia seen in the ER. Emergent conditions include traumatic injury
resulting in arterial bleeding, ruptured aneurysm, massive upper or lower
gastrointestinal (GI) hemorrhage, ruptured ectopic pregnancy, 
and disseminated intravascular coagulation. Hemolytic anemias can also cause
either acute or chronic anemia. There are numerous causes, which result in
reduced survival of RBCs.

Symptoms of anemia begin to appear if there is a decrease in the amount


of normal hemoglobin in the blood circulation. This decrease occurs because
adaperdarah is the main cause of anemia, the presence of damage to red blood
cells such as hemolytic anemia and decreased red blood cell production due to
pernicious anemia or decreased amount of iron.

Hemoglobin concentration is a widely used measure of anemia, although


serum ferritin levels are considered a more sensitive marker. A strong
correlation exists between Hemoglobin and serum ferritin levels. Hemoglobin
levels are easier to measure and also useful in monitoring the effectiveness of
intervention. Hence this parameter alone is sensitive in detecting anemia.
Severity of anemia is classified as a) Mild (10-10.9 g/dl for pregnant women,10-
11.9g/dl for non-pregnant)b) Moderate (7-9.9g/dl) andc) Severe (<7g/dl) based
on Hb concentration in women. Iron deficiency is one of the main etiologic
factors for anemia. The main cause of this being Low dietary intake like iron,
folic acid and vitamin B12, and other factors being chronic diseases and chronic
blood loss due to hookworm infestation and malaria .The oral signs and
symptoms of anemia are well recognized and easily detectable. They are

75
glossitis, glossodynia, angular cheilitis, recurrent oral ulcer, oral candidiasis,
erythematous mucositis, and palor of oral mucosa. In some patients as in this
case the initial manifestation of anemia of chronic diseases may present in the
oral cavity before general symptoms develop . The oral changes occur as a result
of basic changes in the metabolism of oral epithelial cells. These changes give
rise to abnormalities in cell structure and the keratinization pattern of the oral
epithelium. On the dorsal surface of the tongue it leads to a “beefy” red and
inflamed i.e., erythematous macular lesions because of marked epithelial atrophy
and reduced thickness of the epithelial layer.The general signs and symptoms of
anemia such as pallor, fatigue and dyspnea may be overlooked in elderly as
these findings may be attributed to old age. The oral signs and symptoms offers
the dentist an opportunity to participate in the diagnosis of this condition

Treatment anemia is ordinarily intimation to another basic illness, it


should be completely assessed by a specialist, and appropriate testing should
be attempted to determine the cause. In general, the therapy given to anemic
patients due to iron deficiency is iron tablets containing coniferous sulfate,
ferrous gluconate, danferrous fumarate given oral. Body response to therapy is
usually rapid, red blood cells return to normal after 1 to 2 months. Therefore
patients are given supplements containing substances iron, vitamins, and
mineral 2x1 a day taken for 2 weeks. In the next control, the patient's ulcer was
recovered, complaints of ease of fatigue and dizziness disappeared. Patients
were recommended to control if the ulcers returned. The therapy was continued
1x1 supplement for a month as a maintenance dosage. The supplement
contains 250 mg Fegluconate, 0.2 mg manganese sulphate, 0.2 mg copper
sulfate, 50 mg vitamin C, 1 mg folic acid, vitamin B12 which is indicated as
one of them for anemia due to lack of nutrients. The supplement contains an
alkaline gluconate which is important iron for energy metabolism . Manganese
sulphate and copper sulfate are substances that help carry substances to be
absorbed by the intestine and are then sent to blood circulation to the blood
circulation. Vitamin C functions to help iron to be liquid so that it is easily
absorbed by the intestine. Vitamin B12 and folic acid are important cofactors
for the synthesis of blood cell DNA

76
Clinical appearance and treatment of oral manifestation of Anemia:
Clinical Appearance Reference Treatment
1. Oral candidiasis Candida albicans is the Treatment may be
main etiological topical (using lozenges
microbiological agent, or mouth rinses) or
however other elements systemic depending on
such as Aspergillus may the severity of the
cause a solitary oral disease and other
ulceration. Candidiasis associated underlying
reflects severe depression conditions e.g.
of the immune system: it Diabetes, liver disease,
has variable aspects. xerostomia etc.
Studies showed that Topical:
pseudomembranous 1 Chlorhexidine
candidiasis was the most (0.2%) mouth
common variety of wash
oropharyngeal candidiasis 2 Lozenges: e.g.
Other Candida species Nystatin
(particularly C. krusei, C. (Mycostatin)
glabrata, C. dublinensis) 100,000 i.u;
are also associated with Clotrimazole
oral candidiasis. Oral (Mycelex) 1%
candidiasis presents 3 Adhesive tablets:
commonly in three forms: Miconazole 10mg
erythematous candidiasis, 4 Miconazole oral
pseudomembranous gel- X2% daily
candidiasis, and angular 5 Suspension:e.g.
cheilitis. This patient hotericin B (0.5-
shows the form of 1mg), Nystatin
pseudomembranous (100,000 i.u)
candidiasis that presents as Systemic:
painless creamy white 1 Fluconazole 150

77
plaque-like lesions on the mg daily
tongue, palate, buccal (Diflucan) for 2
mucosa, or oropharynx and weeks or more
is frequently 2 Miconazole 250
asymptomatic. mg daily for 2
weeks or more
3 Ketoconazole 200
mg daily
(Sporanox), for 2
weeks or more
4 Itraconazole 100
mg daily, for 2
weeks or more

What should I do for this patient?


Topical agents
Treatment may be topical (using lozenges or mouth rinses) or systemic
depending on the severity of the disease and other associated underlying
conditions e.g. Diabetes, liver disease, xerostomia etc.
Topical:
1. Chlorhexidine (0.2%) mouth wash
2. Lozenges: e.g. Nystatin (Mycostatin) 100,000 i.u; Clotrimazole
(Mycelex) 1%
3. Adhesive tablets: Miconazole 10mg
4. Miconazole oral gel- X2% daily
5. Suspension: e.g. Amphotericin B (0.5-1mg), Nystatin (100,000 i.u)
Topical treatments are preferred because they limit systemic absorption,
but the effectiveness depends entirely on patient compliance. Topical
medications require that the patient hold medications in the mouth for 20 to
30 minutes. Clotrimazole is an effective topical treatment (one oral troche
[10-mg tablet]) when dissolved in the mouth five times daily. Used less
frequently, one vaginal troche can be dissolved in the mouth daily. Nystatin

78
preparations include a suspension, a vaginal tablet, and an oral pastille.
Regimens are nystatin tablets (one tablet, 100,000 units, dissolved in the
mouth three times a day), or nystatin oral pastille (available as a 200,000 unit
oral pastille, one or two pastilles dissolved slowly in the mouth five times a
day).

Systemic medications
5. Fluconazole 150 mg daily (Diflucan) for 2 weeks or more
6. Miconazole 250 mg daily for 2 weeks or more
7. Ketoconazole 200 mg daily (Sporanox), for 2 weeks or more
8. Itraconazole 100 mg daily, for 2 weeks or more
Ketoconazole (Nizoral) is a 200 mg tablet taken with food once daily.
Patient compliance is usually good. Careful monitoring of liver function is
necessary for long-term use because of reported side effects, including
hepatotoxicity. Lack of efficacy of ketoconazole may occur because of poor
absorption in those with an abnormally high gastric pH. Fluconazole
(Diflucan) is a triazole antifungal agent effective in treating candidiasis (100-
mg tablet taken once daily for 2 weeks. Itraconazole (100 mg capsules) may
be used for the treatment of oral candidiasis (200 mg daily orally for 14 days.
Salivary levels of itraconazole are maintained for several hours after
administration .
The recommendation to avoid systemic anti-fungal therapies in this
setting is based on evidence that widespread use of systemic azoles is
strongly linked with the development of drug-resistant candidiasis.
Xerostomia is usually managed by systemic sialogogues, such as
pilocarpine and cevimeline, both approved by the US FDA. Pilocarpine is the
most widely used drug and it is administered at a dose of 5mg, 3 times a day
for at least 3, and intraoral topical agents can help patients as well, and they
include chewing gums, saliva stimulants, saliva substitutes, and oral sprays
months.
Anemia could caused by malnutrition. Doctor can give some
recommendation to increase the nutrition. ,The recommendations are

79
5. Eat plenty of fruits and vegetables, they are high in nutrients wich protect
immune system. Eat a lot of different product to get most vitamins and
minerals.
6. Eat protein, the body uses it to build muscle and a strong immune system.
7. Limit sugar and salt.
8. Drinks plenty of fluids, make sure to have at least 8 to 10 cups of
waterduring each day.
Reference

Jadhav SU, Khaparde. 2017. Study of the red cell indices, hemogram and
platelet variations in anaemic (<10gm%) patients by automatic cell
counter in a tertiary care centre, Ahmednagar, Maharashtra, India. Int J
Res Med Sci 5(4): 1582-1588.

Nilofer Halim, Chaithra Kalkur, S Padmashree and Anusha L Rangare. 2018.


Diagnosis of Iron Deficiency Anemia through Oral Manifestation - A
Case Report. Vydehi institute of dental sciences and research, India

Hidayat, W., Nanan N., Tenny S., Erna H., Indah S. 2016. Oral Candidosis in
Department Of Oral Medicine Dr. Hasan Sadikin (RSHS) Hospital
Bandung Periode 2010 – 2014. Maj Ked Gi. 2 (2).
Michaela F., Lulia C., Dana N., and Anca s. 2017. Oral manifestations in iron
deficiency anemia: case reports. Oral and Maxillofacial Surgery,
University Hospitals Leuven, KU Leuven, Leuven, Belgium

Lu SY. 2016. Perception of iron deficiency from oral mucosa alterations that
show a high prevalence of Candida infection. Oral Pathology and Family
Dentistry Section, Department of Dentistry, Kaohsiung Chang Gung
Memorial Hospital and Chang Gung University College of Medicine,
Kaohsiung, Taiwan

5. Case Report Oral Chronic Gastritis

Name Mrs. P

80
Age 50 y.o
Sex Female
Chief Complaint (S) Patient has an abdominal pain from 1
monthago.
She went to RSD Balung two days ago with
complaint of abdominal pain.
Clinical observation Patient comes with blood pressure 120/80
mmHg, heart rate 84 times/minute,
respiration rate 20 times/minute, with
temperature 36.5oC. Now the patientlooks
weakfatigue, but have a better condition.
Temporary diagnosis Chronic Gastritis

Background
Chronic gastritis is one of the most common life-long, serious and
insidious illnesses in human beings. One may estimate that more than half of the
world population have this disease in some degree and extent, indicating that
even many hundreds of millions of people worldwide may have chronic gastritis
in a form or other.
The significance of chronic gas
tritis as a serious disease is largely underrated in clinical practice, even
though the role of gastritis in the pathogenesis of ordinary peptic ulcers and
gastric cancers is obvious. One may estimate that millions of premature deaths
may occur annually worldwide due to cancer and ulcer as sequelae of the
chronic gastritis.
Chronic gastritis appears either as nonatrophic or atrophic form. They are forms
and phenotypes of gastritis which represent different stages of a same life-long
disease. The morphological appearances of gastritis published are very similar
worldwide, i.e., chronic gastritis is seemingly, with its sequelae, one and same
disorder throughout the world.
Chronic gastritis has been known and studied since the early decades of
the 20th century but received more attention not until 1982 after discovery of
the Helicobacter pylori by Warren and Marshall. It has become clear that the
bacterium is the cause of gastritis in an overwhelming majority of the cases, a
possible exception being a gastritis of the autoimmune origin. Consequently, it

81
has become evident that chronic gastritis can be cured with eradication of H.
pylori, resulting in normalization of the gastric mucosa, at least in cases in which
the gastritis is not developed to atrophic (atrophic gastritis) end stages.
Even though the main outlines of chronic gastritis are well known,
several unanswered questions occur still. We do not know, for example, the
significance of autoimmunity or genetics in the development and progression of
chronic H. pylori gastritis. The molecular mechanisms and the role of
environmental factors, like diet, and the role of other microbes than H. pylori on
the course of chronic gastritis, are largely unknown. We cannot precisely predict
either in whom the chronic gastritis will certainly progress to atrophic end stages
and to killing sequelae, or in whom it will not. This uncertainty is also the case
regarding the details by which the gastritis accomplishes the appearances of
peptic ulcers or gastric cancer. We know, however, that without the presence of
a coexisting chronic gastritis or atrophic gastritis, ordinary peptic ulcers or
stomach cancers are rare.
Chronic gastritis is a multistep, progressive and life-long inflammation. It
begins usually in childhood as a simple chronic (“superficial”) mononuclear
inflammation with co-existence of an acute (“active”) neutrophilic inflammation
of varying degree. Gastritis progresses stepwise, within years and decades, to
atrophic gastritis that is characterized by a loss of normal mucosal glands either
in antrum or corpus (and fundus), or in both. Typically in all populations, the
age-specific prevalence of both non-atrophic and atrophic gastritis tends to rise
by age as is demonstrated from Finland. At present, the increase of the age-
specific prevalences of gastritis by age is more pronounced and abrupt in the
developing than in the developed populations, i.e., the prevalence of gastritis in
young age-groups, or even in childhood, in much more than 50% in developing
populations, whereas this prevalence in developed population is typically much
less than 50%.

Autoimmune chronic gastritis


Although H. pylori is ultimately the major cause (in more than 90% of
the cases) of gastritis, a chronic mononuclear inflammation (gastritis) without an
on-going H. pylori infection, but occurring with a severe atrophic corpus

82
gastritis and achlorhydric stomach, and with co-existence of auto-antibodies
against parietal cells (proton pump) and/or intrinsic factor, is a well established
entity. It is uncertain, however, whether this gastritis of “autoimmune” type is an
independent disorder or whether the H. pylori triggers autoimmune reactions on
in some liable individuals with an ordinary H. pylori infection. It is possible that
the initial H. pylori infection may pass spontaneously out when the atrophic
gastritis is developed to severely atrophic and achlorhydric stage, giving,
thereby, a false impression of a pure autoimmune etiology of the disease.
A gastritis linked with the autoimmune phenomena may anyhow be more
progressive and faster in course than the pure H. pylori gastritis. In connection
with autoimmunity, and in persons with a liability to autoimmune diseases
(autoimmune thyreoiditis, diabetes, etc.), the progression of H. pylori gastritis to
atrophic phenotypes may be markedly destructive, possibly resulting easily and
quickly in achlorhydria and in total atrophy of gastric corpus and fundus. Cases
with severe atrophic corpus gastritis with autoimmune characteristics and with
acid-free stomach even in childhood have been described in the medical
literature.
Chronic gastritis of the autoimmune type is shown to be a recessive
multigenic disease and is possibly of Northern European heritage.
Influences on stomach physiology
A long-lasting (life-long) chronic and active inflammation cannot be
harmless and will result in destruction of stomach mucosa via several
mechanisms which may interact with renewal, growth, integrity, differentiation
and function of the gastric epithelium. Numerous abnormal expressions (up- and
down-regulations) of functional and regulatory genes, gene mutations,
epigenetic alterations, variable appearances of cytokines or tissue growth factors
occur in the regulatory tissue processes of gastric mucosa and epithelial cells in
connection with H. pylori gastritis. Some of the alterations are reversal, may
appear even at early stages of inflammation, but may particularly accumulate
with time in premalignant conditions, such as atrophy and IM, and seem to be
extremely common and manifold in precancerous (dysplasia or intraepithelial
neoplasia) and malignant lesions. Corpus atrophy leads ultimately to failures in

83
the secretion of hydrochloric acid and intrinsic factor. In acid-free and atrophic
stomach, due to the impairment in secretion of intrinsic factor, absorption of the
essential vitamins, like vitamin B12, are severely failed. Malabsorption and
subsequent long-lasting and permanent deficiency of vitamin B12 can impair the
metabolism of methionine, homocysteine or folate, and may be, thereby, a
mechanism which contributes to the appearances of epigenetic DNA damages
via impairments in function of the methylation cycle in epithelial cells.

Dietary metabolism and absorption of micronutrients, like iron, calcium,


magnesium and zinc, or absorption of some medicines (e.g., dipyridamol, some
iron formulations and anti-fungal medicines like fluconazole or itraconazole,
thyroxin and atazanovir) are impaired in acid-free stomach too. The acid-free
stomach is ultimately colonized with a microbe flora from the mouth. The
microbes and the acid-free stomach are capable to produce class 1 carcinogens,
like acetaldehyde and nitrosoamines.

Clinical appearance and treatment of oral manifestation on Chronic


Gastritis:

Clinical Appearance Reference Treatment

Dental erosion Dental erosion is one of The treatment is


the most common extraction of the teeth.
chronic gastritis Because the teeth can
manifestations. Up to be port the entry of
44% of gastrointestinal virus and bactery.
reflux patients present They can entry to the
dental erosions within blood from the broken
the course of the enamel. Broken
disease. It usually enamel caused by the
affects the lingual or acid from stomach
palatal surface of teeth. liquid. The broken
The severity can be enamel can be caries
variable, with most dentis soon. Because

84
cases showing only a the enamel is open, so
mild loss of enamel, the bactery more easy
while others can have a to destroy the
severe exposure of componen of teeth.
dentin5.

What should I do for this patient?


To minimize the risk of intraoperative emergency, clinicians need to
consider a number of management issues before initiating dental treatment.

1. Medical History
Prior to dental treatment, the dentist must obtain a good medical history of the
patient. Because if the dentist want to give drugs for patient with chronic
gastritis disease, the drugs must safety for the patient’s stomach. It must not
contains acid.
2. Scheduling of visit
Patient with chronic gastritis disease must make schedule if they want to do
dental treathment. Because the acid from stomach liquid can erosive some
materials for dental treathment. Beside materials for dental treathment, acid
liquid can erosive the enamel and dentin and it makes sentitive teeth.
3. Diet
The dentist must recommend the patient for decrease consume food with high
acid, spicy, etc. Because the foods cause the stomach acid levels high.

Reference
Telaranta-Keerie A, Kara R, Paloheimo L, Härkönen M, Sipponen P. Prevalence
of undiagnosed advanced atrophic corpus gastritis in Finland: an
observational study among 4,256 volunteers without specific
complaints. Scand J Gastroenterol. 2015;45:1036–41. [PubMed]
Qu Y, Dang S, Hou P. Gene methylation in gastric cancer. Clin Chim
Acta. 2014;424:56–65. [PubMed]
Sipponen P, Härkönen M. Hypochlorhydric stomach: a risk condition for
calcium malabsorption and osteoporosis? Scand J
Gastroenterol. 2016;45:133–8. [PubMed]

85
Salaspuro M. Acetaldehyde as a common denominator and cumulative
carcinogen in digestive tract cancers. Scand J Gastroenterol. 2014;44:912–
25. [PubMed]
Martin Jajam, Patricia Bozzolo, and Sven Niklander. 2017. Oral manifestations
of gastrointestinal disorders. J Clin Exp Dent. 2017 Oct; 9(10): e1242–
e1248.
Romano C, Cardile S. Gastroesophageal reflux disease andoral manifestations.
Ital J Pediatr 2014 Aug;40(Suppl 1):A73.
Franch AM, Soriano YJ, Perez MGS. Dental management ofpatients with
inflammatory bowel disease. J ClinExp Dent2015;2(4):191-195.
Elahi M, Telkabadi M, Samadi V, Vakili H. Association of oralmanifestations
with ulcerative colitis. GastroenterolHepatolBed Bench 2016
Summer;5(3):155-160.
Rosengard, Heather C. Oral manifestations of systemicdiseases [Internet].
Medscape reference [cited 2016 July 27].Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/1081029overview#a2
Ranjitkar S, Kaidonis JA, Smales RJ. Gastroesophageal reflux disease and tooth
erosion. Int J Dent. 2014;2014: 479850.
Salek H, Balouch A, Sedghizadeh PP. Oral manifestation of Crohn’s disease
without concomitant gastrointestinal involvement. Odontology.
2014;102:336-8.
Troiano G, Dioguardi M, Limongelli L, Tempesta A, Favia G, Giuliani M, et al.
Can Inspection of the Mouth Help Clinicians Diagnose Crohn’s Disease?
A Review. Oral Health Prev Dent. 2017;15(3):223-227.
Muhvić-Urek M, Tomac-Stojmenović M, Mijandrušić-Sinčić B. Oral pathology
in inflammatory bowel disease. World J Gastroenterol. 2016;22:5655-67.
Lourenço SV, Hussein TP, Bologna SB, Sipahi AM, Nico MM. Oral
manifestations of inflammatory bowel disease: a review based on the
observation of six cases. J Eur Acad Dermatol Venereol. 2015;24:204-7.

6. Case Report TBC

Name Mr. B

86
Age 79 y.o
Sex Male
Chief Complaint (S) Patient has fever for 3 days. He went to RSD
Balung three days ago. The fever has been up
and down and get worse at night, the patient
also coughing for 2 weeks with yellowish
sputum. The patient lost weight and appetite.
Clinical observation Patient came with blood pressure 108/66
mmHg, heart rate 105 times/minute,
respiration rate 22 times/minute, with
temperature 38,4oC, and oxyHB saturation
93%.
Temporary diagnosis Pulmonary Tuberculosis.

Background

Tuberculosis (TB) has existed for millennia and remains a major global
health problem. It causes ill-health for approximately 10 million people each
year and is one of the top ten causes of death worldwide. For the past 5 years, it
has been the leading cause of death from a single infectious agent, ranking above
HIV/AIDS. This is despite the fact that, with a timely diagnosis and correct
treatment, most people who develop TB disease can be cured.

TB is an airborne bacterial infection caused by M. Tuberculosis which


affects any part of the body and most commonly the lungs. M. Tuberculosis is
exposed to the air as droplet nuclei from coughing, sneezing, shouting or singing
of individuals with pulmonary or laryngeal TB. Transmission occurs through
inhalation of these droplet nuclei which passes through the mouth or nasal
cavities, the upper respiratory tract, bronchi and finally reaches the alveoli of the
lungs.

Once the M. Tuberculosis or the tubercle bacilli reaches the alveoli, they
are ingested by alveolar macrophages resulting in the destruction or inhibition of
a greater proportion of the inhaled tubercle bacilli. The small unaffected
proportion multiplies within the macrophages and is released upon death of the
macrophages. Live released tubercle bacilli spread via the bloodstream or
lymphatic channels to any part of the body tissues or organs in addition to highly

87
susceptible areas of TB infection such as the lungs, larynx, lymph nodes, spine,
bone or kidneys.

In about 2 to 8 weeks, an immune response is triggered which allows


white blood cells to encapsulate or destroy majority of the tubercle bacilli. The
encapsulation by the white blood cells results in a barrier around the tubercle
bacilli forming a granuloma. Once inside the barrier shell, the tubercle bacilli is
said to be under control and thus establishing a state of latent tuberculosis
infection (LTBI). Persons at this stage show no symptoms of TB, are unable to
spread the infection and as such not considered as TB cases. On the other hand,
if the immune system fails to keep the tubercle bacilli under control, rapid
multiplication of the bacilli ensues which leads to a progression from LTBI to a
case of TB. The time for progression to TB may be soon after LTBI or longer
occurring after many years. A TB case is highly infectious and can spread the
bacilli to other people.

Oral TB lesions may be either primary or secondary in occurrence.


Primary lesions are uncommon, seen in younger patients, and present as single
painless ulcer with regional lymph node enlargement. Primary oral TB can be
present as painless ulcers of long duration with enlargement of the regional
lymph nodes. The secondary lesions are common, often associated with
pulmonary disease, usually present as a single, indurated, irregular, painful ulcer
covered by inflammatory exudates in patients of any age group but relatively
more common in middle-aged and elderly patients. Oral TB may occur at any
location on the oral mucosa, but the tongue is most commonly affected. Other
sites include the palate, lips, buccal mucosa, gingiva, palatine tonsil, and floor of
the mouth. Salivary glands, tonsils, and uvula are also frequently involved. The
oral lesions may be present in a variety of forms, such as ulcers, nodules,
tuberculomas, and periapical granulomas.

Primary gingival involvement is more common in children and


adolescents than adults .It usually presents as a single painless indolent ulcer,
which progressively extends from the gingival margin to the depths of the
adjacent vestibule and is often associated with enlarged cervical lymph nodes.

88
They may be single or multiple, painful or painless and usually appear as
irregular, well-circumscribed ulcers with surrounding erythema without
induration. Satellite lesions are commonly found.

The pathogenesis of oral TB usually is self-inoculation with infected


sputum, resulting from the constant coughing up of bacteria that seed themselves
in the oral tissue along their line of discharge through the mouth. On direct
inoculation, hematogenous spread of TB bacteria also has been reported.
Squamous epithelium of the oral mucosa is believed to serve as a protective
barrier for the penetration of TB Bacilli. This is due to the thickness of the
protective epithelial covering in addition to the cleansing action of saliva, the
presence of salivary enzymes, tissue antibodies and oral saprophytes. Small tears
in the mucosa caused by chronic irritation or inflammation may be the favorable
sites for the colonization of organisms even if the onset is by hematogenous
spread, as injured or inflamed tissues tend to localize blood-borne bacteria.

Predisposing factors for the occurrence of oral tuberculous lesions


include local or systemic factors. Local factors include the poor oral hygiene,
trauma, the presence of pre-existing lesions such as leukoplakia, peri-apical
granulomas, cysts, abscesses, and periodontitis. Lowered host resistance due to
primary or secondary immunosuppression and nutritional deficiencies form the
group of systemic predisposing factors.

Clinical appearance Reference Treatment

1. Ulcers on the palate The oral manifestation of TB The treatment of oral


may present as an ulcerative, tuberculosis lesions is the
painless lesion on the palate, same as the systemic
lips, or tongue, accompanied tuberculosis. Currently,
by persistent cervical the most effective

89
lymphadenopathy. The regimens require a
differential diagnosis of TB combination of four
ulcers includes a variety of drugs (isoniazid,
ulcerative diseases and rifampicin,
conditions, such as squamous pyrazynamide, and
cell carcinoma, trauma ulcers, ethambutol) administered
aphthous stomatitis, and daily for the first two
syphilis ulcers. It is important months, followed by an
to highlight that oral ulcers additional four months
may present a similar with only two drugs
picture, requiring a diagnosis (isoniazid and
based on microscopic findings rifampicin). The ulcers
in addition to the Mantoux will improve with the
test and baciloscopy. The treatment of this
appropriate identification of tuberculosis.
oral TB is important not only
for the patient, but also for the
dentistry professionals and the
community at large, since the
patient is a potential source of
transmission. Lesions in the
head and neck region should
always be considered in the
differential diagnosis of TB,
especially in high-risk
populations. In case more than
one clinical condition is
suspected, a comprehensive
laboratory investigation and
thorax radiographic
examination should be
implemented to identify and

90
control TB. Although oral
manifestation of the disease is
rare, a careful differential
diagnosis of oral lesions is of
paramount importance for a
correct diagnosis, especially
when there is suspicion of TB.

2. Cheilitis Cheilitis is an inflammation of In this case, cheilitis


the lips. It may be acute or occurred due to
chronic, touch the skin part nutritional deficiency, so
and/or the vermilion of both the treatment for this is
lips. It is a frequent reason for improving the nutritional
consultation and a intake in this patient.
consequence of several consumption of
etiological factors, and it multivitamin b complex
includes different clinical, and water can help to
histological and prognostic improve this condition.
aspects. The etiologies of
cheilitis are numerous and
varied. Each gives a rather
special clinical aspect. They
also determine the prognosis
and management. In this case,
the patient can have cheilitis
because of nutritional
deficiencies due to loss of
appetite. Several nutritional
deficiencies such as
avitaminosis B2, B9, B12,
scurvy (vitamin C), iron
deficiency, or zinc deficiency
may cause exfoliative cheilitis

91
associated with other oral
manifestations
(stomatitis, erythematous
glossitis). In pellagra (vitamin
PP deficiency), vermilion is
shiny and cracked, sometimes
eroded.

What should I do for this patient?

Clinical Dental Practice has a potential for transmission of various


infections from patient to Dentist, patient to patient as well as Dentist to patient
due to close proximity to the nasal and oral cavities of the patient. Thus, a barrier
should be created to prevent the transmission of infections and to make the
clinical procedures safe from the threat of cross infections.

A detailed history of TB should prompt the dental practitioner to discern


whether the person is an active case under treatment, active case without
treatment or previously infected but currently disease free. The non-treated
active cases pose maximum risk to the dental healthcare personnel.

Dental healthcare professionals are at the constant risk of being exposed


to TB by means of splatter, aerosols or infected blood. Dental treatment for those
with active tuberculosis should be limited to urgent and essential procedures. As
numerous serious diseases are air-borne, blood-borne or can spread through the
contact of other body fluids, and it is impossible to know which certain patients
are infected, it is pertinent to avoid direct contact with blood, body fluids and
mucous membranes. High standards of operatory disinfection and instrument
sterilization should be maintained. Rubber dams can be used to minimize aerosol
contact however, if coughing is evident, rubber dam should not be used.

Maintenance of proper hand hygiene, personal protective equipment (eye


shields, face masks, headcaps, gloves and surgical gowns) and proper

92
sterilization procedures should be followed. Standard surgical face masks do not
protect against TB transmission; dental healthcare personnel should use
particulate face masks. Masks should be changed at regular intervals, inter-
appointments (between patients) and intra-appointments (during patient
treatment) if the mask becomes wet. Reusable facial protective equipment
(protective eyewear or face shields) should be cleaned and disinfected between
patients. Handpieces and other oral instruments should be cleaned and
autoclaved regularly.

For the oral lesion in patient with TB, there are no specific treatmeant
required. Because the oral lesion will improve as the systemic treatment of TB is
done. The ulcers usually painless, but if the patient is disturbed we can use
topical anti-inflammation. And for the cheilitis, the patient should improve the
dietary and water intake, and using Vaseline or lip balm to moisturize the lips.

Reference

World Health Organization. What is TB? How is it treated? 2015. Available


online: http://www.who.int/features/qa/08/en/

Akosua Adom Agyeman, Richard Ofori-Asenso. 2017.Tuberculosis—an


overview.Journal of Public Health and Emergency 1:7

World Health Organization. GLOBAL TUBERCULOSIS REPORT 2017


https://www.who.int/tb/publications/global_report/MainText_13Nov201
7.pdf

Vankadara S, Balmuri PK, Kuruba P, Gangeshetty N. Primary tuberculosis of


the gingiva: A rare case report. J Indian Acad Oral Med Radiol [serial
online] 2016 [cited 2019 Mar 14];28:90-3. Available from:
http://www.jiaomr.in/text.asp?2016/28/1/90/189988
Amani Gharbi; Wissem Hafsi. 2019. Cheilitis.
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK470592/
MN Khan. 2015. Oral manifestations of Tuberculosis: The role of the dentist.
SADJ November 2015, Vol 70 no 10 p434 - 435

93
Bárbara Capitanio de Souzaa, Vania Maria Aita de Lemosa, Maria Cristina
Munerato. 2016. Oral manifestation of tuberculosis: a case-report. Braz J
Infect Dis vol.20 no.2 Salvador Mar./Apr. 2016
7. Case Report Pulmonary Tuberculosis

Name Mrs. K
Age 82 y.o
Sex Female
Chief Complaint (S) Patient He went to RSD Balung five days ago
because she felt coughing with yellowish
sputum, chest pain, breathless, nausea and
lost appetite.
Clinical observation Patient came with blood pressure 141/72
mmHg, heart rate 98 times/minute,
respiration rate 20 times/minute.
Temporary diagnosis Pulmonary Tuberculosis.

Background

Tuberculosis (TB) is a chronic infectious granulomatous multisystem


disease with varied clinical manifestations and is the most common cause of
infectious disease. The World Health Organization (WHO) estimates
approximately 20 million active cases of tuberculosis, 80% of which occur in the
developing countries with high morbidity in Southeast Asia and Africa.
Although effective chemotherapeutic agents are available, The lung is the
predominant site of TB. Primary pulmonary TB should be distinguished from

94
postprimary pulmonary TB, which is the most frequent manifestation of TB in
adults (70%–80% of cases). TB is a disease caused usually by Mycobacterium
tuberculosis bacteria, transmitted through the respiratory tract by inhaling
droplets.

Clinically, a patient infected with M. tuberculosis and presenting an


active manifestation of TB may also exhibit signs and symptoms such as
persistent and productive cough, night sweats, weight loss, and low morning
fever. TB is an essentially airborne disease whose transmission depends on
prolonged contact with an infected patient. The efficiency of transmission is a
function of the patient's contagious potential (which is associated with M.
tuberculosis load), the intensity and frequency of cough, and presence of lung
cavitation (based on radiographic examination). In addition, the intensity and
duration of contacts with a TB patient also are important to bring about the
possibility of TB diagnosis.

Initial stage of M. tuberculosis infection, additional macrophages and


other immune cells aggregate with the infected cells to form granulomas, the
morphology of which is characterized by a central necrotic core surrounded by
concentric layers of macrophages, epithelioid cells, multinucleate Langhans
giant cells, and lymphocytes. A balance between pathogen replication and the
immune response is established and the lesions move into a latent state in most
patients. Only in certain situations, such as immune dysfunction, does primary
TB occur. Secondary TB involves the reactivation of the dormant bacteria and
accounts for most cases of TB. TB-infected tissues can be damaged through a
variety of mechanisms, including low oxygen tension and a restricted nutrient
supply. If patients with TB are not diagnosed and treated timeously and
correctly, the disease can seriously damage the body, even leading to death. The
host inflammatory reactions play an important role in both the protection from
and pathology of this disease The present case-report describes oral
manifestation of TB in an adult patient.

TB oral lesions have a relatively rare occurrence. The incidence has been
reported as less than 0.5-1% among all the tuberculosis patients, according to

95
various studies. Saliva is considered to have a significant role which explains the
paucity of oral lesions, despite the large numbers of bacilli present in sputum
contacting the oral mucosa in a typical case of pulmonary tuberculosis. Other
attributing factors to relative resistance of oral cavity for TB are presence of
saprophytes, resistance of striated muscles to bacterial invasion, and thickness of
protective epithelial covering. It is believed that the organisms enter the mucosa
through small breaches in the surface epithelium which makes it a favourite site
for colonization of bacteria. Local factor that may facilitate the invasion of oral
mucosa includes poor oral hygiene, leukoplakia, local trauma, and irritation by
clove chewing, etc. Self-inoculation by the patient usually results from infected
sputum or by hematogenous or lymphatic dissemination. Conditions that
predispose to the disease include crowded urban living, drug abuse, poor health
and hygiene, poverty. Viral infections like HIV with or without the development
of AIDS,cause immunosuppression which has lately emerged as a very
significant risk factor for development of TB.

The standard short course treatment for TB is isoniazid, rifampicin,


pyrazinamide and ethambutol for 2 months, then isoniazid and rifampicin alone
for a further 4 months. The patient is considered cured at 6 months. For latent
TB, the standard treatment is 6–9 months of isoniazid alone. If the organism is
known to be fully sensitive, then treatment is with isoniazid, rifampicin and
pyrazinamide for 2 months, followed by isoniazid and rifampicin for 4 months.
Ethambutol need not be used. When situations like resistance to first-line
therapy, extensively drug-resistant TB or multidrug-resistant TB arise, the
second-line drugs are implemented for the treatment. There are six classes of
second-line drugs which include aminoglycosides (amikacin, kanamycin),
polypeptides, fluoroquinolones, thioamides (ethionamide, prothionamide),
cycloserine and terizidone. A patient with multidrug resistant TB, who remains
culture positive after many months of treatment, may be referred for lobectomy
or pneumonectomy with the aim of cutting out the infected tissue. Some
complications of treated TB like recurrent haemoptysis, destroyed or
bronchiectaic lungs and empyema are also amenable to surgical therapy.

96
Clinical appearance Reference Treatment
1. Candidiasis on the palate Tuberculosis co-infection and The treatment of
and tongue mycotic infection are not candidiasis :amphot
common in patients without ericin B.
evidence of comorbidities or Amphotericin is the
immunosuppressive diseases. current antifungal
Even though the synergistic treatment of choice.
growth between Candida and
M. tuberculosis is well
described, the isolated
respiratory specimens are
usually ignored considering
them as pathogenic
commensal. Candida albicans
is still the most common
fungus associated with
infections in
immunocompromised patients.
Deep Candida infections
generally occur in
immunosuppressive patients,
especially those who have
been treated with
immunosuppressors. Recent
studies showed that M.
tuberculosis promoted down-
modulatory immune mediators
to counteract Th1-type cells
and patients' innate immunity,
and might have suppressive
effects on the host's immune
system. Also, levels of FoxP3

97
gene expression and IL-10
secretion were raised in both
pulmonary TB and extra-
pulmonary TB. The secretion
of IL-10 by regulatory T cells
can account for the inhibition
of T cell responses and
increase the risk of
tuberculosis reactivation. drug
of choice TB can make
c.albicans grow up and the
bacterial death.
.
2. Gingival Enlargement One reason for the rare The treatment of the
occurrence of TB of the gingiva patients’ physicians,
may be that the intact squamous anti-tubercular
epithelium of the oral cavity therapy was initiated.
resists direct penetration of During this period,
bacilli.This resistance has been the patient was
attributed to the thickness of the instructed not to
oral epithelium, the cleansing undergo any
action of saliva, local pH and ultrasonic scaling and
antibodies in saliva. Even if the polishing or surgical
onset of infection is by procedure within the
hematogenous spread, injured or oral cavity and was
inflamed tissue tends to localize warned about the
blood-borne bacteria. However, chance of
the mode of entry of the transmitting the
microorganism may be through a disease to others via
break in the mucous membrane aerosol and salivary
caused by local trauma. Where contamination. After
the infection involves the bone, completion of a 6-
the mode of entry is thought to be month regimen of
through an extraction socket. basic periodontal

98
However, there is general therapy, which
consensus that secondary included scaling and
TBspreads by a hematogenous root planing, oral
route hygiene instructions
were instituted under
CDC- issued
guidelines. This
resulted in significant
regression of the
enlarged gingivae in
both the arches.
Gingivectomy and
gingivoplasty were
performed to shape
and contour the
residual enlargement
under universal
aseptic conditions.
No recurrence of
lesion occurred
during 1-year follow-
up
3. Ulcers Oral lesions caused by TB The treatment for
may be primary, which are the oral lesion in
rare and occur as a result of patient with TB,
the direct inoculation of oral there are no
tissues, or secondary, due to specific treatmeant
hematogenous or lymphatic required. Because
dissemination and extensions the oral lesion will
of nearby structures. improve as the
Autoinoculation may take systemic treatment
place upon direct interaction of of TB is done. The
infected mucus with a wound ulcers usually
on the oral mucosa. painless, but if the

99
If oral TB is diagnosed, it is patient is disturbed
important to attempt to locate we can use topical
a primary site of the disease anti-inflammation.
before the former can be
considered primary. This is
important in order to assess the
extent of disease activity as
well as to monitor
complications in involved
organs. The quantity of the
bacilli observed indicates the
demonstration of the severity
of disease on site.

What should I do for this patient?

TB is a recognized occupational
risk for dentists, as we
work in close proximity to the
nasal and oral cavities of
patients, with generation of
potentially infectious sprays
during routine operative
procedures. A history of TB
should prompt the clinician to
distinguish whether the
100
Dental Practice has a great potential for transmission of various
infections from patient to Dentist, patient to patient as well as a dentist to patient
due to close proximity to the nasal and oral cavities of the patient. Dental
healthcare professionals are at the constant risk of getting exposed to TB by the
means of splatter, aerosols or infected blood. It is important to provide a safe
working environment that reduces the risk of both healthcare-associated
infections among patients and occupational exposures among dental team
members.

Any contaminated item is a potential exposure source, so by taking care


to limit contamination to the greatest extent possible. Reusable facial protective
equipment (protective eyewear or face shields) should be cleaned and
disinfected between patients. Handpieces and other oral instruments should be
cleaned and autoclaved regularly. Gloves should be worn while working on the
patients.

Clinical Dental Practice has a potential for transmission of various


infections from patient to Dentist, patient to patient as well as Dentist to patient
due to close proximity to the nasal and oral cavities of the patient. Thus, a barrier
should be created to prevent the transmission of infections and to make the
clinical procedures safe from the threat of cross infections.

Dental treatment for those with active Tuberculosis should be limited to


urgent and essential procedures. Maintenance of proper hand hygiene, personal
protective equipment (eye shields, face masks, headcaps, gloves and surgical
gowns) and proper sterilization procedures should be followed. Standard
surgical face masks do not protect against TB transmission; dental healthcare
personnel should use particulate face masks. Masks should be changed at regular
intervals, inter-appointments (between patients) and intra-appointments (during
patient treatment) if it becomes wet. Rubber dams can be used to minimize
aerosol contact however, if coughing occurs rubber dam should not be used.

A detailed history of TB should prompt the dental practitioner to discern


whether the person is an active case under treatment, active case without

101
treatment or previously infected but currently disease free. The non-treated
active cases pose maximum risk to the dental healthcare personnel. As numerous
serious diseases are air-borne, blood-borne or can spread through the contact of
other body fluids, and it is impossible to know which certain patients are
infected, it is pertinent to avoid direct contact with blood, body fluids and
mucous membranes. High standards of operatory disinfection and instrument
sterilization should be maintained. Rubber dams can be used to minimize aerosol
contact however, if coughing is evident, rubber dam should not be used.

For the oral lesion in patient with TB is amphotericin is the current


antifungal treatment of choice. The treatment of the patients’ physicians, anti-
tubercular therapy was initiated. During this period, the patient was instructed
not to undergo any ultrasonic scaling and polishing or surgical procedure within
the oral cavity and was warned about the chance of transmitting the disease to
others via aerosol and salivary contamination. After completion of a 6-month
regimen of basic periodontal therapy, which included scaling and root planing,
oral hygiene instructions were instituted under CDC- issued guidelines. This
resulted in significant regression of the enlarged gingivae in both the arches.
Gingivectomy and gingivoplasty were performed to shape and contour the
residual enlargement under universal aseptic conditions. No recurrence of lesion
occurred during 1-year follow-up. The ulcers usually painless, but if the patient
is disturbed we can use topical anti-inflammation. Actually there are no specific
treatment oral lession for this case. Problem of oral lession will improve as the
systemic treatment of TB is done.

Reference

Admaja KN, Thomas V. (2017). Atypical Granulomatous Lesion of Gingiva: A


Case Report on Rare Manifestation of Tuberculosis in Oral Cavity. J Dent
Oral Care Med 3(2): 203. doi: 10.15744/2454-3276.3.203
Aaron Muthuraj MS, Maradi AP, Janakiram S, Chithresan K. Tuberculous
gingival enlargement: A rare clinical manifestation. J Indian Soc
Periodontol 2017;21:156-9

102
Sharma Priyanka, Singh Rohini. Oral tuberculosis-a need for spy eye’s. Int J
Pharm Bio Sci ; 2015:6(4):683-9.
Ju, W., Fu, Y., Liu, Y., Tan, Y., Dong, M., Wang, L., … Zhong, L. (2018).
Clinical and pathologic analyses of tuberculosis in the oral cavity: report
of 11 cases. Oral Surgery, Oral Medicine, Oral Pathology and Oral
Radiology, 125(1), 44–51. doi:10.1016/j.oooo.2017.09.015 
Vineetha, R., Manu, M. K., Mohapatra, A. K., Pai, K. M., & Pai, K. (2018).
Diffuse gingival enlargement: an unusual diagnostic clue for pulmonary
tuberculosis. The Lancet Infectious Diseases, 18(11), 1288.
doi:10.1016/s1473-3099(18)30229-9 
World Health Organization. What is TB? How is it treated? 2015. Available
online: http://www.who.int/features/qa/08/en/

8. Case Report Anemia

Name Mr. M
Age 60 y.o
Sex Male
Chief Complaint (S) Patient went to RSD Balung 1 days ago
because limp body, pain when urinaring
since 2 month ago .
Clinical observation Patient comes with blood pressure 101/44
mmHg, heart rate 82 times/minute, with
temperature 36,8 oC.
Temporary diagnosis Anemia Low Intake

Background
Anemia is defined as a condition in which the total haemoglobin (Hb) level or
number of red blood cells (RBCs) is poorly lowered. The World Health
Organisation (WHO) defines anemia as Hb< 130g/L in men above 15 years, 110
g/L in pregnant women and <120g/L in non-pregnant women above 15 years of
age.
Anemia classifies as either acute or chronic. Acute anemia occurs when
there is an abrupt drop in RBCs, most often by hemolysis or acute
hemorrhage.Chronic anemia, on the other hand, is generally a gradual decline in

103
RBCs, and causes include iron or other nutritional deficiencies, chronic diseases,
drug-induced, and other causes.
Anemia can result from many events. Blood loss is the most prevalent
cause of anemia, causing a direct loss of RBCs. It is the most common cause of
acute anemia seen in the ER. Emergent conditions include traumatic injury
resulting in arterial bleeding, ruptured aneurysm, massive upper or lower
gastrointestinal (GI) hemorrhage, ruptured ectopic pregnancy,  and disseminated
intravascular coagulation. Hemolytic anemias can also cause either acute or
chronic anemia. There are numerous causes, which result in reduced survival of
RBCs.
Symptoms of anemia can be so mild that it goes unnoticed. According to
the American Society of Hematology (ASH), most people don’t realize they
have mild anemia until they have a routine blood test. But symptoms worsen as
anemia worsens. Feeling tired, weakness, shortness of breath after exertion, poor
concentration or a poor ability to exercise, strange cravings to eat items that
aren’t food, such as dirt, ice, or clay, tongue swelling or soreness, cold hands and
feet, On a greater scale: Confusion, feeling of death, loss of consciousness,
increased thirst, and the patient may become pale. a. Being pale or having
yellow “sallow” skin b. Unexplained fatigue or lack of energy c. Shortness of
breath or chest pain, especially with activity d. Unexplained generalized
weakness e. Rapid heartbeat f. Pounding or “whooshing” in the ears g.
Headache, especially with activity h. Picophagia i. Sore or smooth tongue j.
Brittle nails or hair loss.
The diagnosis of anemia at home is difficult unless bleeding is obvious.
Specialists can, without much of a stretch, recognize anemia by drawing a blood
test for a complete blood count (CBC). The CBC might be done piece of a
standard general registration or in light of the nearness of signs and side effects
suggestive of paleness. Physical examination and medicinal history likewise
assume a significant part in diagnosing reasons for frailty. While performing a
complete physical examination, the physician may particularly focus on general
appearance, jaundice, paleness of the nail beds, heart sounds, and lymph nodes.
Since anemia is just a side effect of another illness, specialists will need to figure

104
out what condition is causing it. A few people may require numerous extra tests,
and others may require not as many. For instance, a weak individual with known
stomach ulcers commonly would not require various blood tests, but rather may
need his or her stomach outwardly assessed and have the ulcers treated. Doctors
also take into consideration the severity of the anemia when deciding what tests
to order. When a person has severe anemia, the cause must be determined
rapidly so that it can be treated appropriately

Treatment anemia is ordinarily intimation to another basic illness, it


should be completely assessed by a specialist, and appropriate testing should
be attempted to determine the cause. In this manner, if signs and indications of
iron deficiency are available, one should contact his or her doctor immediately
for assessment. Therapeutic treatment of anemia changes generally and relies
on upon the cause and the seriousness of iron deficiency. If anemia is related
with sudden blood loss from an injury or a quickly draining stomach ulcer, at
that point hospitalization and transfusion of red blood cells might be required
to calm the indications and supplant the lost blood. Additionally measures to
control the draining may happen in the meantime to stop additionally blood
misfortune. Blood transfusion may be required in other less critical
circumstances as well. For instance, a person who is accepting chemotherapy
for a cancer might be normal by the treating doctor to have bone marrow issues
identified with the chemotherapy. In this way, the specialist may check blood
tallies routinely, and if the levels get to a sufficiently low level, he or she may
arrange a RBC transfusion to help with the side effects of iron deficiency. Iron
might be taken amid pregnancy and when the body iron levels are low.
Vitamin supplements may supplant folate and vitamin B12 in individuals with
poor dietary patterns. In individuals with vindictive pallor who can’t ingest
adequate measures of vitamin B12, month to month infusions of vitamin B12
are normally used to loaded the vitamin B 12 levels and correct the anemia.
Epoetin alfa is a medicine that can be given as an infusion to build RBC
generation in individuals with kidney issues. Next to no should be possible to
self-treat anemia and therapeutic treatment is for the most part required. It is
critical to keep on taking any medicine that is endorsed for other perpetual

105
restorative issues. In the event that the explanation behind anemia is known, at
that point measures to monitor it are essential. For instance, if frailty is caused
by a stomach ulcer, at that point medicines, for example, aspirin or ibuprofen
ought to be maintained a strategic distance from, unless generally coordinated
by a specialist.

Anemia may also manifest certain oral manifestations, some of which


are specific and some are non-specific to the condition which include angular
chelitis, stomatitis, glossitis,etc.

Clinical appearance and treatment of oral manifestation of Anemia :


Clinical Appearance Reference Treatment
1. Angular Cheilitis Angular cheilitis (perlèche) We will arrange for you
is an infl ammato-ry to have blood tests to
condition characterized by check that you have no
erosive infl am-mation at underlying problems
one or both angles of the with your blood count,
mouth. It typically presents iron, folate or vitamin
as erythema, scaling, fi B12 or blood glucose
ssur-ing, and ulceration. A levels. You may be
wide variety of factors, given a mouthwash
including nutritional defi called Nystatin which
ciencies, local and systemic you will need to rinse
factors, and drug side around your mouth four
effects, may produce times each day, usually
cheilitis.1,2 Nutritional defi for 2 weeks. This will
ciencies account for 25% of treat any candida
all cases of angular infection of the mouth.
cheilitis3 and include iron You could also be given
defi ciency and defi a cream called
ciencies of the B vita-mins Miconazole which you
ribofl avin (B2), niacin would need to apply to
(B3), pyridoxine (B6), and the corners of your

106
cyanocobalamin mouth usually 2-4 times
(B12).1Local causes daily for 2 or more
include infection with Can- weeks. This can treat
dida albicans or Candida and
Staphylococcus aureus and Staphylococcal
al-lergic contact dermatitis. infections. Other
Common causes of allergic antibiotic creams or
contact dermatitis include ointments may also be
lipstick, toothpaste, used. Sometimes you
mouthwash, cosmetics, may need a course of
sunscreen, fragrance, metals tablets such as
such as nickel, and dental Fluconazole. Corsodyl
appliances. mouthwash
(chlorhexidine
Systemic diseases
gluconate) may also be
associated with angular
prescribed as it has
cheilitis include xerostomia,
antifungal properties.
inflammatory bowel
Your doctor or specialist
disease, Sjögren syndrome,
will advise you as to the
glucagono-ma, and human
most appropriate
immunodefi ciency
treatment. It is important
virus.1Drugs that cause
to follow the instructions
angular cheilitis include
on how to take your
isotretinoin, sorafenib
treatment and to
(antineoplastic kinase
complete the course of
inhibitor), and ointments or
treatment even if your
creams such as neomycin
symptoms go away
sulfate–polymyxin B
earlier.
sulfate, baci-tracin,
1. Topical therapies
idoxuridine, and steroids.
Topical antibiotics in the
2. Stomatitis form of doxycycline or

107
minocycline mouthwash
2. Systemic therapies
Zinc at 50mg/day has
also produced beneficial
effects on wound
Recurrent aphthous
reepitheliazation and
stomatitis.
healing
RAS, the most common
ailment affecting the oral
Antibiotics, antifungal
cavity, is characterized by
medications, or other
recurrent disruption of the
antimicrobi-als may be
oral mucosa in the form of
prescribed if the glossitis
painful ulcers. It is a
is due to an infec-tion.
diagnosis of exclusion, and
Dietary changes and
other causes of ulcerative
supplements are used to
stomatitis should be
treat anemia and
explored before a diagnosis
nutritional deficiencies.
of RAS is made. RAS
Avoid irritants (such as
accounts for 25 percent of
hot or spicy foods,
recurrent ulcers in adults
alcohol, and tobacco) to
and 40 percent in
reduce any tongue
children. The severity of the
discomfort. Treatment
stomatitis is represented by
usually aims at reducing
one of three subtypes.
inflammation by
Minor RAS. Minor RAS is corticosteroids. Other
the most prevalent form and preventive mea-sures
typically occurs in patients include maintaining
who are 5 to 19 years old. proper oral hygiene,
Outbreaks are characterized irritants like hot, spicy
by a few, superficial, round foods, and alcohol should
ulcerations that are <10mm also be avoided to
and accompanied by a gray recover from this

108
disorder and minimize
pseudomembrane and
discomforts.
erythematous halo. Minor
Suffering individuals
aphthae are usually confined
must give up smoking
to the lips, tongue, and
buccal mucosa.

Major RAS. Major RAS has


a wider distribution
(commonly extending to the
gingiva and pharyngeal
mucosa), is larger in size,
(>10mm), and has a longer
duration of outbreak. Minor
aphthae typically resolve
within 14 days of
presentation, whereas major
aphthae may persist for over
six weeks. Further, major
aphthae pose a significant
scarring risk as well.

3. Glossitis Herpetiform
RAS. Herpetiform RAS
presents with dozens of
small, deep ulcers that often
coalesce and therefore
present as large ulcers with
an irregular contour.
Outbreaks are nonscarring
and typically resolve within
one month. Regardless of
the subtype, RAS lesions
can impair one’s ability to

109
effectively speak, swallow,
and maintain dental
hygiene.

Atrophic glossitis is
also known as smooth
tongue because of the
smooth, glossy appearance
with a red or pink
background. The smooth
quality is caused by the
atrophy of filiform papillae.
Partial or complete loss of
fungiform and filiform
papillae on the dorsal
surface of tongue manifests
as AG. It is a condition with
multifactorial etiology, and
can be
a manifestation of
underlying local or systemic
condi-tion. They may
include nutritional
deficiency, riboflavin,
niacin, pyridoxine, vitamin
B12 (pernicious anemia),
folic acid, iron (iron
deficiency anemia and
Plummer-Vinson
syndrome), protein-

110
calorie malnutrition,
infections, alcohol abuse,
gastrointestinal diseases,
and drug reac-tions.

What should I do for this patient?


Topical agents
Several pastes and gels can be used to coat the surface of the ulcers and to form
a protective barrier against secondary infection and further mechanical irritation.
The topical agents are the first option of the treatment of RAS. Patient should
apply a small amount of gel or cream after rinsing, and avoid eating or drinking
for 30 min. This can be repeated 3 or 4 times daily.

Mouthwashes

Tetracycline is an antibiotic mouthwash. It reduces the ulcer size, duration, and


pain because of the ability of that one to block collagenase
activity. Chlorhexidine gluconate is an antibiotic agent may decrease the number
of ulcer days. Chlorhexidine can cause brown staining of the teeth and tongue.

Topical gels, creams, and ointments

Topical medications are washes away from the target area; therefore, it is better
to use different kinds of adhesive vehicles in combination with the drug. Topical
corticosteroids may limit the inflammatory process associated with the formation
of aphthae. Those medications can act on the lymphocytes and alter the response
of effector cells to precipitants of immunopathogenesis (e.g., trauma and food
allergies). Al-Na’mah et al.,have concluded that the novel dexamucobase was
found to be equally effective in treating oral aphthous ulceration, with some
advantages, as the widely used preparation Kenalog in Orabase. Meng et
al.,have indicated that amlexanox oral adhesive pellicles are as effective and safe
as amlexanox oral adhesive tablets in the treatment of minor RAS for this
Chinese cohort. However, pellicles seem to be more comfortable to use when

111
compared with the dosage form of tablets. Therefore, in clinical practice,
amlexanox oral adhesive pellicles may be a better choice for RAS patients.
Some topical glucocorticoids such as fluocinonide and clobetasol may be
preferable when used alone or mixed with orabase.

Systemic medications

It is indicated for severe and constantly recurring ulcerations, the topical


management is not effective in this cases. Pakfetrat et al., have conducted a
double-blind randomized clinical trial to compare colchicine versus prednisolone
(immunomodulant agents) in RAS and reported that low dose prednisolone and
colchicine were both effective in treating RAS. Given that the two therapies had
similar efficacy, yet colchicine was associated with more side effects. de
Abreu et al.,reported that clofazimine should be considered for the treatment of
RAS. Moreover, Weckx et al., reported that levamisole is not effective in the
prophylactic treatment of RAS. Kaya et al., documented that levamisole which
is the first member of a potential new class of immunologically active, possibly
thyromimetic compounds. It appears to regulate cell-mediated immune reactions
by restoring effector functions of peripheral T-lymphocytes and phagocytes and
by stimulating precursor T-lymphocytes to differentiate into mature cells. It
shares these effects with a number of other immune regulators.

Diclofenac, a NSAIDs, reduces duration of pain by inhibiting the production of


cyclooxygenase enzyme and preventing the arachidonic acid converting to other
compounds like prostaglandins. Seemingly, diclofenac can act as sodium
channel blocker which is mediated by topical analgesic.

Reference

Ayesh,Mahmoud. 2018. Angular Cheilitis induced by iron deficiency anemia.


Cleveland Clinic Journal of Medicine
Wallace A, Rogers HJ, Hughes SC, et al. 2015. Management of recurrent
aphthous stomatitis in children. Oral Medicine ;42(6):564–572

112
Chatterjee, Paulash. 2018. A study of prevalence of anemia along with its
diagnosis and treatment. Research Intern, Eternal Heart Care Centre,
India. Volume 6 Issue 2
Alder,Laura. 2019. Acute Anemia. National Center for Biotechnology
Information. U.S National Library for Medicine.
Edgar,Natalie Rose. 2017. Recurrent Apthous Stomatitis: A Review. Nova
Southeastern University College of Osteopathic Medicine/Largo Medical Center,
Largo Florida
Tarakji,Bassel. 2015. Guideline for the Diagnosis and Treatment of Recurrent
Aphthous Stomatitis for Dental Practitioners. Journal Of International Oral
Health.
Swarup,Neeti. 2018. Atrophic Glossitis Burning Agony of Nutritional
Deficiency Anemia. Department of Oral Pathology and Microbiology.
Teerthanker Mahaveer Dental College &Research Center

2.3 Poli Anak


a. Jenis SPM
SPM rawat jalan di bagian poli anak, dan SPM rawat inap di ruang anak
Dahlia.
b. Kegiatan
1. Observasi prosedur penegakan diagnosis/DD serta menetapkan rencana
perawatan
2. Identifikasi fokus infeksi pada pasien dengan berbagai penyakit/kelainan
antara lain:
a. Bayi dengan diare dan demam
b. Kontrol bayi pasca kelahiran
c. Febris pada pasien anak (Rawat inap)
d. Bayi dengan keadaan kulit menguning (jaundice) yang perawatan
selanjutnya adalah pemberian paparan sinar biru
e. Diabetes mellitus pada anak
f. Epilepsi pada pasien anak
g. Pasien dengan gangguan perilaku anak (autism) rawat jalan

113
3. Edukasi kepada orang tua dan anak cara memilih sikat dan cara gosok gigi
pada anak karena memiliki faktor resiko perdarahan pada gusi jika salah
dalam pemilihan sikat gigi dan cara menggosok giginya.
c. Capaian
1. Mampu mengedukasi orang tua pasien untuk menjaga kebersihan rongga
mulut bayi yang aktif konsumsi ASI, sehingga orang tua pasien dapat
mempraktekkannya.
2. Mampu mengedukasi kepada orang tua dan anak cara memilih sikat dan
cara gosok gigi pada anak terutama pada anak yang mengalami
epilepsi,autism.
3. Mampu mengedukasi kepada orang tua pasien cara memilih sikat dan cara
gosok gigi pada pasien terutama pada pasien yang memiliki faktor resiko
perdarahan pada gusi jika salah dalam pemilihan sikat
d. Obyek Garapan
1. Pasien dan orang tua
2. Alat medis
e. Uraian / diskripsi kegiatan yang dikerjakan
Selama di bagian Kedokteran Anak RSD Balung kami memberikan
informasi/ penyuluhan kepada anak dan ibu yang datang ke Poli anak tentang
cara memelihara kesehatan gigi dan mulut. Adapun materi yang diberikan adalah
sebagai berikut :
A. Cara pemeliharaan kesehatan gigi dan mulut pada anak
1. Pada gigi yang baru erupsi dapat dibersihkan dengan kain yang lembut
dan lembab.
a) Pastikan kondisi tangan orangtua dan kain kasa yang akan
digunakan dalam keadaan bersih. Basahi kain kasa dengan air
matang hangat, lalu balut pada jari telunjuk. Posisikan badan
orangtua dibelakang anak sehingga lebih mudah membersihkan
rongga mulut anak. Mulai membersihkan mulut dari bagian luar,
yaitu bibir dan sekitarnya.
b) Dengan bantuan jari tangan, buka mulut anak kemudian masukkan
jari telunjuk dan gosok perlahan gusi mulai dari bagian belakang

114
atas hingga ke depan atas. Setelah selesai, bersihkan gusi bagian
bawah dari belakang hingga ke depan. Kemudian bersihkan bagian
gigi.
c) Jangan lupa bersihkan lidah anak dimulai dari pangkal lidah
dengan hati-hati agar tidak menimbulkan gagging reflex, lalu
perlahan-lahan ke bagian depan.
d) Lakukan prosedur tersebut minimal dua kali sehari saat setelah
sarapan dan sebelum tidur, apabila anak dapat melakukan kumur
maka setiap anak makan makanan manis (susu atau makanan lain)
diinstruksikan untuk berkumur agar pH dalam rongga mulut tetap
seimbang.
e) Untuk pasien autism saat menggosok gigi dapat dbantu orang tua
secara manual, atau dapat dilakukan dengan lebih efektif
menggunakan sikat gigi elektrik
.
2.4 Poli Gigi
Kasus 1
Pemeriksaan subyektif :Pasien berusia 19 tahun ingin membersihkan karang gigi
karena pasien merasa giginya terasa kasar dan beberapa kali berdarah saat
menggosok gigi.
Pemeriksaan obyektif :Intraoral terdapat kalkulus sub gingiva dan supra
gingiva pada gigi 17,16, 15,14, 24, 25, 26, 27, 37, 36, 35, 34, 33, 32, 31, 41, 42,
43, 44, 45, 46, 47.
Diagnosis :Gingivitis Marginalis Kronis O.K kalkulus subgingiva
dan supragingiva
Terapi :Scaling dan root planing pada gigi 17,16, 15,14, 24, 25,
26, 27, 37, 36, 35, 34, 33, 32, 31, 41, 42, 43, 44, 45, 46,
47.
Kasus 2
Pemeriksaan subyektif : Pasien anak perempuan berusia 11 tahun datang ingin
menambalkan giginya yang lubang sebelah kanan atas sejak 6 bulan yang lalu.

115
Gigi terasa tidak nyaman saat digunakan untuk makan. Pasien belum pernah
melakukan perawatan terhadap keluhannya tersebut. Kondisi saat ini tidak sakit.
Pemeriksaan obyektif :
 Pemeriksaan Ekstraoral : tidak terdapat abnormalitas.
 Pemeriksaan Intraoral : Gigi 16 karies profunda perforasi. Tes dingin (-),
tes sonde (+), tes perkusi (-), tes durk (-).
Diagnosis : Gigi 16 pulpitis reversible
Terapi : Gigi 16 devitalisasi
Gigi 16 indikasi untuk dilakukan perawatan endo intrakanal. Karena tes
sonde (+) maka perlu dilakukan tahap devitalisasi terlebih dahulu. Tahap awal
yaitu dilakukan pembersihan kavitas dari sisa makanan menggunakan air spray
dan water spray. Saluran akar dikeringkan dengan paper point, dan kavitas
dikeringkan dengan cotton pellet. Setelah itu diaplikasikan bahan devitalisasi de-
vit pada saluran akar dengan menggunakan k-file. Lalu dilakukan tumpatan
sementara menggunakan kaviton. Pasien diinstruksikan untuk kontrol kembali
setelah 5 hari

Kasus 3
Pemeriksaan subyektif : Pasien berumur 5 tahun didampingi Ibunya datang
dengan keluhan gigi susu keluar di gusi atas dan ingin mencabutkannya
Pemeriksaan obyektif :Intraoral terdapat sisa akar gigi 51 pada batas gingiva
dengan mukosa
Diagnosis :Ulkus decubitus
Terapi :ekstraksi sisa akar gigi 51

Kasus 4
Pemeriksaan subyektif : Pasien perempuan berusia 47 tahun mengeluhkan gigi
kiri bawah belakang tinggal tunggaknya dan ingin di cabut. Pasien mengaku
bahwa giginya tinggal tunggaknya kurang lebih sejak 6 bulan yang lalu.
Awalnya gigi lubang besar dan lama kelamaan keropos.
Pemeriksaan obyektif :
 Pemeriksaan Ekstraoral : Tidak terdapat abnormalitas

116
 Pemeriksaan Intraoral : Gigi 48 sisa akar
Diagnosis :Periodontitis apikalis kronis o.k gangren radiks pada gigi
37
Terapi :Ekstraksi pada gigi 37
Kondisi fisik pasien baik. Tekanan darah pasien 125/85 mmHg. Dokter gigi
memutuskan untuk melakukan ekstraksi pada gigi 37. Bahan anastesi yang
digunakan adalah lidokain.

Kasus 5
Pemeriksaan subyektif: Pasien berusia 12 tahun ingin menambalkan gigi bawah
kanan yang pernah ditambal ±2 tahun yang lalu dan pecah sedikit. Pasien
mengeluhkan tidak nyaman saat makan, kondisi saat ini tidak sakit.
Pemeriksaan obyektif : Intraoral gigi 46 karies profunda perforasi, tes perkusi
(-), tes durk (-), tes sonde (-)
Diagnosis : gigi 46 pulpitis ireversibel.
Terapi : gig 46 sterilisasi
Tes perkusi dan tes durk berfungsi untuk mengetahui kelainan periapikal
dan mengetahui kelainan periodontal, dan tes sonde untuk mengetahui vitalitas
gigi. Pada kasus gigi 46, gigi pasien yang masih dalam kondisi ditumpat karena
kavitas tertutup dan belum dibongkar, maka diagnosisnya adalah pulpitis
irreversibel. Perawatan untuk gigi saat ini yaitu sterilisasi terlebih dahulu.
Contoh bahan sterilisasi yaitu triol dengan fluid eugenol dan chKm. Triol cukup
baik untuk kasus denganlesi periapikal. Jika ada lesi periapikal, pengisian
ditambah Ca(OH)2 untuk membantu menyerap pus dan kandungan kalsium
untuk remineralisasi. Selanjutnya pasien diinstruksikan untuk dating kembali
setelah 3 hari dengan pemeriksaan tes perkusi, tes durk, tes sonde dan tes
eksterpasi, jika dari periksaan menunjukkan tes eksterpasi negative (-) maka
diagnosis menjadi nekrosis pulpa. Tahapan perawatan selanjutnya yaitu
dilakukan pengisian saluran akar dan tumpat komposit.

Kasus 6

117
Pemeriksaan subyektif : Pasien perempuan berusia 36 tahun datang
mengeluhkan gigi kanan depan atas berlubang dan berubah warna sejak 1 tahun
yang lalu. Pada awalnya gigi terasa sakit saat digunakan makan dan minum
dingin, namun lama kelamaan tidak terasa sakit. Pasien belum pernah mengobati
keluhannya. Kondisi saat ini tidak sakit.
Pemeriksaan obyektif :
 Pemeriksaan Ekstraoral : Tidak terdapat abnormalitas
 Pemeriksaan Intraoral : Gigi 12 karies profunda perforasi, tes dingin (-),
tes sonde (-), tes perkusi (-), tes durk (-)
Diagnosis : Gigi 12 periodontitis kronis o.k gangren pulpa
Terapi : Gigi 12 endo intrakanal dan tumpat komposit
Pada kunjungan pertama dilakukan tes dingin dan tes sonde untuk
mengetahui vitalitas gigi. Tes perkusi dan tes durk berfungsi untuk mengetahui
kelainan periapikal dan mengetahui kelainan periodontal, Gigi 12 dengan
diagnosa periodontitis kronis o.k gangren pulpa dilakukan terapi endo intrakanal.
Tahap awal endo intrakanal adalah melakukan opening access dengan
menggunakan round bur. Setelah itu dilakukan cleaning (pembersihan saluran
akar dari sisa jaringan pulpa) menggunakan jarum ekstirpasi dan file. Kemudian
dilakukan irigasi menggunakan H2O2 untuk menghilangkan kotoran dan darah.
Lalu dikeringkan dengan paper point steril. Kemudian pemberian 3 mix +
eugenol sebagai obat sterilisasi. 3 mix memiliki komposisi tiga anti bakteri yaitu
metronidazole, ciprofloxacin, dan minociklin. Setelah itu pembuatan dinding
buatan dengan menggunakan komposit selapis demi selapis dan di curing selama
20 detik yang sebelumnya telah di lakukan etsa asam dan bonding. Lalu
dilakukan tumpatan sementara menggunakan kaviton. Pasien diinstruksikan
untuk kontrol kembali setelah 5 hari.

Kasus 7
Pemeriksaan subyektif : Pasien laki-laki berusia 22 tahun datang ingin
menambalkan giginya yang lubang sebelah kanan atas. Gigi berlubang sejak 4
bulan yang lalu. Gigi terasa ngilu saat minum dingin. Pasien belum pernah
mengobati sakit tersebut.

118
Pemeriksaan obyektif :
 Pemeriksaan Ekstraoral : Tidak terdapat abnormalitas
 Pemeriksaan Intraoral : Gigi 14 karies media. Tes dingin (+), tes sonde
(+), tes perkusi (-), tes durk (-)
Diagnosis : Gigi 14 pulpitis reversible
Terapi : Gigi 14 tumpat komposit
Gigi 14 dilakukan tumpatan komposit dengan tahap awal yaitu preparasi
kavitas menggunakan round bur kemudian dilakukan irigasi menggunakan
aquades steril setelah itu pemberian liner. Selanjutnya melakukan etsa asam
selama 30 detik dan bonding 10 detik lalu di curing selama 20 detik. Setelah itu
tumpat komposit selapis demi selapis dan di curing selama 20 detik. Tahap akhir
dilakukan pemolesan dengan arkansas bur.

2.5 Poli Bedah


a. Jenis SPM
SPM rawat jalan bagian poli bedah.
b. Kegiatan
1. Observasi prosedur penegakan diagnosis/diagnosis banding, rencana
serta tatalaksana perawatan.
2. Tindakan anamnesa, pengukuran tanda-tanda vital, dan perawatan
luka.
3. Identifikasi berbagai penyakit/kelainan pada pasien yang datang
preoperasi, antara lain:
a. Diabetes Mellitus
b. Hernia
c. Capaian
1. Mampu megetahui prosedur penegakan diagnosis/diagnosis banding,
rencana serta tatalaksana perawatan.
2. Mampu melakukan tindakan anamnesa meliputi keluhan utama,
riwayat penyakit sekarang serta riwayat penyakit dahulu, pengukuran
tanda-tanda vital, dan perawatan luka pada pasien.

119
3. Mampu mengidentifikasi penyakit/kelainan yang banyak ditemukan di
poli bedah antara lain: fibroadenoma mammae.
d. Obyek Garapan
1. Pasien
2. Alat medis
e. Uraian/deskripsi kegiatan yang dikerjakan
Kasus yang ditemukan di poli bedah:
1. Pasien laki-laki 17 tahun datang ke poli bedah melakukan kotrol post
bedah dengan kondisi luka babras pada pelipis kanan, lengan kanan dan
kiri serta luka terbuka pada tungkai bagian bawah hingga punggung kaki.
Pasien mengalami kecelakaan lalu lintas 5 hari yang lalu..Pasien
kemudian kami instruksikan berbaring untuk dilakukan perawatan pada
luka yang berupa pembersihan luka dan penggantian perban serta
pemberian gel duoderm pada luka tersebut perawatan luka dilakukan
dengan bantuan perawat pelaksana di poli bedah. Pasien diberikan resep
yang berupa Cefixime dan, metronidazole untuk antibiotik Setelah itu,
pasien diinstruksikan untuk melakukan kontrol rutin ke poli bedah.
2. Pasien laki-laki dewasa datang ke poli bedah mengeluhkan bahwa
terdapat benjolan pada bagian lipatan paha depan sisi kanan dan kiri
selama 2 bulan terakhir. Pasien mengeluhkan rasa perih, nyeri, dan
tertekan pada bagian tersebut. Pasien kemudian diberi instruksi unuk
berbaring untuk dilakukan pemeriksaan tanda-tanda vital dan pemeriksaan
benjolan yang dimaksud. Pemeriksaan benjolan dilakukan dengan
bantuan perawat pelaksana di poli bedah. Berdasarkan hasil pemeriksaan,
diagnosis penyakit pada pasien adalah hernia inguinalis.. Pasien
diinstruksikan untuk melakukan tindakan operasi sebagai tindak lanjut
teradap benjolan tersebut.
3. Pasien wanita berumur 51 tahun datang ke poli bedah datang dengan
kondisi jempol kaki kanan tampak bengkak, kemerahan, berbau, dan
abses. Hasil anamnesa yang dilakukan pasien menderita Diabetes
Mellitus (DM). Luka pada kaki kanan pasien sudah muncul sejak 3 bulan
lalu dan telah dirawat namun 1 hari sebelumnya kaki pasien terkena panci

120
beserta air panas didalamnya. Pasien diinstruksikan untuk berbaring,
kemudian dilakukan pemeriksaan tanda-tanda vital. Setelah itu, perawatan
luka dilakukan dengan bantuan perawat pelaksana di poli bedah meliputi
penggantian perban, pemberian salep pada luka, dan menutup luka pasien.
Setelah selesai, pasien diedukasi untuk membersihkan luka serta
mengganti perban setiap hari dan melakukan kontrol rutin ke poli bedah.
4. Pasien perempuan dewasa datang ke poli bedah mengeluhkan terdapat
benjolan pada payudara kanan pasien. Pasien kemudian kami
instruksikan berbaring untuk dilakukan pemeriksaan tanda-tanda vital dan
pemeriksaan pada payudara pasien. Setelah itu, kami membantu dokter
seta perawat pelaksana di poli bedah dalam pemeriksaan payudara pasien
dengan cara palpasi. Dokter merujuk pasien untuk melakukan
pemeriksaan laboratorium, untuk mengetahui diagnosa pasti pasien.
5. Pasien laki-laki berumur 43 tahun datang ke poli bedah dengan kondisi
pada bagian jari tengah telah mengalami amputasi untuk dikontrol di poli
bedah. Kondisi tersebut sudah dirawat di igd seminggu sebelumnya.
Pasien mengaku terluka saat melakukan pekerjaannya yaitu terkena mesin
pasrah kayu. Pasien diinstruksikan untuk berbaring dan melakukan
pemeriksaan luka. Selanjutnya kami membantu perawat untuk rawat luka
pasien seperti membuka perban, pembersihan jaringan nekrotik pada luka
pasien, pemberian obat pada luka pasien, dan menutup luka pasien. Pasien
diinstruksikan untuk kontrol 3 hari kemudian di poli bedah.
6. Pasien laki-laki dewasa muda datang ke poli bedah bersama keluarganya
untuk kontrol pasca pemasangan selang pada kandung kemih pasien.
Pasien memiliki riwayat tidak bisa buang air kecil selama satu bulan
Dokter mendianosa pasien menderita kanker prostat dan akan dikonsul ke
bagian penyakit dalam. Pasien diinstruksikan untuk berbaring dan
melakukan pemeriksaan serta penggantian selang kemih tersebut.
Selanjutnya kami membantu perawat untuk rawat luka pasien seperti
membuka perban, serta pembuangan kemih,
7. Pasien laki-laki berumur 40 tahun datang ke poli bedah untuk kontrol pos
bedah terhadap benjolan yang terdapat pada dada, perut, tangan dan

121
punggung pasien. Pasien kemudian diinstruksikan berbaring untuk
dilakukan perawatan serta pelepasan jahitan pada luka. Perawatan luka
dibantu oleh perawat pelaksana di poli bedah yang meliputi penggantian
perban, pelepasan jahitan pada luka pasien.. Dokter mengatakan bahwa
perawatan telah selesai dilakukan

2.6 Poli Kandungan


a. Jenis SPM
SPM rawat jalan dibagian poli kandungan.
b. Kegiatan
1. Observasi prosedur penegakan diagnosis/DD serta menetapkan rencana
perawatan masalah gigi dan mulut pada ibu hamil
2. Edukasi ibu hamil tentang cara menjaga kesehatan gigi dan mulut selama
hamil
c. Capaian
1. Mampu mengedukasi orang tua pasien untuk menjaga kebersihan rongga
mulut bayi yang aktif konsumsi ASI, sehingga orang tua pasien dapat
mempraktekanya.
2. Mampu mengedukasi pasien tentang cara mencegah masalah gigi dan
mulut saat sedang hamil.
d. Obyek Garapan
1. Pasien
2. Alat medis
e. Uraian / deskripsi kegiatan yang dikerjakan
Kasus yang ditemukan di poli Kandungan:
1. Pasien datang ke poli kandungan dengan tekanan darah 150/110 memiliki
riwayat darah tinggi. Usia kehamilan pasien 28 minggu. Pasien tidak
merasakan gejala apapun. Dokter menyarankan untuk rawat inap namun
pasien menolak.
2. Pasien datang dengan usia kehamilan 36 minggu untuk melalukan
pemeriksaan USG. Pasien mempunyai riwayat penyakit hepatitis. Untuk

122
menghindari penularan kepada bayi dokter menyarankan untuk
berkonsultasi pada penyakit dalam dan melakukan operasi cesar.
3. Pasien datang dengan usia kehamilan 30 minggu. Pasien di nyatakan
menderita HIV. Pasien di rujuk bagian penyakit dalam dan disarankan
melakukan operasi cesar. Pihak rumah sakit masih mempertimbangkan
apakah akan menerima pasien tersebut atau merujuknya.
4. Pasien usia sekitar 40 tahun datang dengan keluhan perut bagian bawah
sakit sejak satu minggu yang lalu. Pasien ingin melakukan pemeriksaan
USG pada bagian perutnya. Setelah di periksa menggunakan
pemeriksaan USG terlihat gambaran kehitaman cukup banyak, dokter
mendiagnosa pasien tersebut menderita kista. Dokter menyarankan
pasien untuk dirujuk ke RS Soebandi Jember.
5. Pasien berusia sekitar 30 tahun datang ke poli kandungan. Pasien
mengeluh bagian bawah perut terasa sakit. Pasien melakukan tes
kehamilan dan hasilnya positif. Setelah di lakukan pemeriksaan USG di
dapati bahwa pasien mengalami kehamilan ektiopik. Dokter
menyarankan untuk dilakukan kuretase.
6. Pasien datang ke poli kandungan dengan kondisi severe obesitas. Pasien
melakukan pemeriksaan di rumah dan hasilnya positif. Pasien ingin
memastikan kehamilannya dengan pemeriksaan USG. Setelah dokter
melalukan pemeriksaan pasien di nyatakan hamil dan sudah berusia 6
minggu. Dokter menyarankan agar pasien menjaga berat badan karena
akan beresiko jika pasien hamil dan obesitas.
7. Pasien datang dari IGD dan dirujuk ke poli kandungan untuk dilakukan
pemeriksaan USG. Pasien datang dengan suhu badan 40 C sejak 3 hari
yang lalu. Dari hasil pemeriksaan USG didapatkan kondisi bayi normal.
Dokter menyarankan pasien untuk melakukan rawat inap untuk observasi
pasien dan janin.

2.7 Pencegahan dan Pengendalian Infeksi (PPI)


a. Jenis SPM
1. SPM penatalaksanaan pemilahan sampah di RSD Balung

123
2. SPM penatalaksanaan cuci tangan di RSD Balung
b. Kegiatan
1. Identifikasi penatalaksanaan pemilahan sampah di IGD RSD Balung
2. Identifikasi penatalaksanaan cuci tangan di ruang Bougenvile dan
Nusa Indah RSD Balung
c. Capaian
1. Mengetahui penatalaksanaan pemilahan sampah di RSD Balung
2. Mengetahui penatalaksanaan cuci tangan di ruang Bougenvile dan
Nusa Indah RSD Balung
d. Objek Garapan
Alat dan Staff RSD Balung
e. Uraian Deskripsi yang di Kerjakan
Pada hari Jumat, 1 Maret 2019, kami dikenalkan mengenai PPI dan
tugas PPI di RSD Balung oleh petugas PPI, dalam kegiatan ini kami
dikenalkan cara monitoring lingkungan perawatan serta kepatuhan
pembuangan limbah padat dan limbah benda tajam di IGD RSD Balung.
Selanjutnya kami diberi tugas tentang penatalaksanaan pemilahan
sampah.
Pada hari Sabtu, 2 Maret 2019, kami dikenalkan cara audit cuci
tangan di ruang Bougenvile dan Nusa Indah RSD Balung. Selanjutnya
kami diberi tugas tentang penatalaksanaan cuci tangan.
f. Diskusi
1. Penatalaksanaan pemilahan sampah
Limbah Rumah Sakit merupakan semua limbah yang dihasilkan oleh
kegiatan rumah sakit dan kegiatan penunjang lainnya (Depkes RI,2002) dibagi
menjadi dua kelompok besar:
1.1 Limbah medis padat
Dapat diklasifikasikan lebih spesifik berdasarkan potensi bahaya, volume,
sifat persistensi menjadi (A. Pruss, dkk., 2005):
1.1.1 Limbah benda tajam merupakan semua objek atau alat yang memiliki
sudut, sisi, ujung, bagian tertentu yang tajam dan dapat menyebabkan
sayatan, potongan, tusukan dan penetrasi dalam kulit, misalnya: pecahan

124
gelas atau botol anastesi, pisau bedah, syringe, jarum bedah, gunting
bedah. Semua benda tersebut memiliki bahaya berupa sayatan, potongan,
tusukan yang mungkin sudah terkontaminasi cairan tubuh pasien yang
kemudian dapat ditularkan kepada seseorang yang cedera tadi sehingga
menyebabkan infeksi dan penularan penyakit tidak diinginkan lainnya.
1.1.2 Limbah infeksius merupakan limbah yang berkaitan dengan pasien yang
memerlukan isolasi penyakit menular seperti limbah mikrobiologi, dan
limbah isolasi pasien khusus, jika ada juga limbah perbiakan hewan coba
atau apapun yang terkontaminasi bakteri, virus, jamur yang bersifat
patogen
1.1.3 Limbah jaringan tubuh merupakan limbah yang terkontaminasi dengan
jaringan tubuh pasien misal selama proses pembedahan
1.1.4 Limbah sitotoksis merupakan limbah yang terkontaminasi obat sitotoksis
selama peracikan, pengangkutan, atau tindakan sitotoksin lainnya.
1.1.5 Limbah farmasi merupakan limbah obat-obatan yang tidak bisa digunakan
lagi, tidak layak digunakan lagi, atau tidak terpakai lagi misalnya obat
kadaluwarsa, obat yang dibuang pasien atau obat yang sudah tak lagi
diperlukan pasien
1.1.6 Limbah kimia merupakan limbah zat kimia selama tindakan medis seperti
proses sterilisasi, penelitian dan proses lainnya yang menggunakan zat
kimia khusus, sedangkan yang biasa dan tidak berbahaya dapat dibuang
bersama limbah umum.
1.1.7 Limbah radioaktif meruakan limbah yang terkontaminasi radioaktif radio
isotop dan radio nukleida misalnya tindakan radiografi yang dapat
perlakuan khusus ketika penanganan, penyimpanan, dan pembuangan.
1.1.8 Limbah Kontainer Bertekanan Limbah ini berasal dari gas yang digunakan
di rumah sakit yang kerap dikemas dalam tabung, cartridge, dan kaleng
aerosol. Penggunaan gas dalam kontainer bertekanan harus dilakukan
dengan hati-hati karena kontainer dapat meledak jika terbakar atau tanpa
sengaja bocor.
1.1.9 Limbah dengan Kandungan Logam Berat Limbah ini termasuk dalam
subkategori limbah kimia berbahaya dan biasanya bersifat toksik, seperti

125
limbah merkuri yang berasal dari bocoran peralatan kedokteran yang
rusak, misalnya thermometer, alat pengukur tekanan darah, dan
sebagainya.
1.2 Limbah medis cair
Biasanya berupa senyawa polutan organik yang dapat diolah secara biologis
baik yang berasal dari buangan domestik maupun buangan limbah medis
ataupun bisa berupa senyawa logam berat yang dapat diolah secara fisiko kimia
dahulu baru diolah secara biologis. Adapun secara biologis dilakukan dengan
bentuk aerobik maupun anaerobik. Pengolahan limbah secara biologis adalah
dengan biakan tersuspensi (misalnya proses lumpur aktif standar/konversional
(standar activated sludge), step aeration, oxidation, ditch (kolam oksidasi sistem
parit), biakan perlekatan (misalnya trickling filter atau biofilter, Rotating
Biological Contactor (RBC), Contactor Aeration (CA)), atau sistem lagoon
(misalnya kolam stabilisasi dan kolam aerasi)
Kriteria penatalaksanan pembuangan limbah biasanya dilakukan dengan cara
(Fattah, dkk, 2007):
a. Memilah sampah berdasarkan jenisnya dengan tepat, steril, dan berlabel
untuk menghemat resiko, volume, serta efisiensi dari biaya serta
perlindungan terhadap petugas yang melakukan pemusnahan dan
tatalaksana lainnya.
b. Memberikan sampah yang tepat pada wadah yang tepat. Adapun syarat
tempat pembuangan yang tepat yaitu: anti bocor dan anti tusuk, memiliki
tutup yang rapat dan tidak mudah dibuka orang, sampah medis yang
dimungkinkan non disposable dapat melalui proses sterilisasi. Untuk
pewarnaan tempat sampah medis termasuk limbah infeksius diberi label /
warna kantong kuning, radioaktif dengan warna merah, sitotoksis
menggunakan warna ungu, limbah farmasi dan kimia menggunakan warna
coklat (permenkes 1204/Menkes/SK/X/2004). Kemudian wadah inipun
tidak boleh sampai penuh harus menyisakan ¼ bagian atau terisi ¾ bagian
kemudian segera dilakukan pembuangan akhir, wadah juga dalam
kantongan plastik yang diikat rapat kemudian diangkut dan dibuang berikut
wadahnya, penuangan wadah beserta plastiknya harus dalam gerobak

126
pengangkut limbah serta petugas selalu menggunakan APD dan langkah
cuci tangan yang tepat setiap membuang limbah.
c. Pengangkutan dibedakan menjadi internal dan eksternal. Pengangkutan
Internal merupakan pengangkutan yang dilakukan pada titik penampungan
awal hingga ke tempat pembuangan atau ke incinerator dengan kereta
dorong yang sudah diberi label, dibersihkan secara berkala dan oleh petugas
dengan APD lengkap dan pakaian kerja khusus. Pengangkutan Eksternal
dilakukan dari tempat pembuangan internal ke tempat pembuangan luar
dengan kontainer khusus anti bocor dan kuat, tidak mudah dibuka orang
maupun binatang (Ditjen P2MPL, 2004).
d. Pendauran ulang atau pemanfaatan kembali dapat dilakukan dengan proses
cuci kembali dan sterilisasi. Pada umumnya sterilisasi dapat dilakukan
dengan cara kimia, dibakar, atau di autoclave (pemanasan uap pada tekanan
1210 C selama minimal 30 menit dan maksimal 60 menit).
2. Penatalaksanaan cuci tangan
Mencuci tangan adalah membasahi tangan dengan air mengalir untuk
menghindari penyakit, agar kuman yang menempel pada tangan benar-benar
hilang. Mencuci tangan juga mengurangi pemindahan mikroba ke pasien dan
menghambat pertumbuhan mikroorganisme yang berada pada kuku, tangan , dan
lengan (Schaffer, et.al., 2000).
Menurut Susiati (2008), tujuan dilakukannya cuci tangan yaitu untuk
Mengangkat mikroorganisme yang ada di tangan, Mencegah infeksi silang
(cross infection), Menjaga kondisi steril, Melindungi diri dan pasien dari infeksi,
Memberikan perasaan segar dan bersih.
Indikasi untuk mencuci tangan menurut Depkes RI. (1993) adalah :
Sebelum melakukan prosedur invasif misalnya : menyuntik, pemasangan kateter
dan pemasangan alat bantu pernafasan, Sebelum melakukan asuhan keperawatan
langsung, Sebelum dan sesudah merawat setiap jenis luka Setelah tindakan
tertentu, tangan diduga tercemar dengan mikroorganisme khususnya pada
tindakan yang memungkinkan kontak dengan darah, selaput lendir, cairan tubuh,
sekresi atau ekresi, Setelah menyentuh benda yang kemungkinan terkontaminasi
dengan mikroorganisme virulen atau secara epidemiologis merupakan

127
mikroorganisme penting. Benda ini termasuk pengukur urin atau alat
penampung sekresi Setelah melakukan asuhan keperawatan langsung pada
pasien yang terinfeksi atau kemungkinan kolonisasi mikroorganisme yang
bermakna secara klinis atau epidemiologis Setiap kontak dengan pasien-pasien
di unit resiko tinggi Setelah melakukan asuhan langsung maupun tidak langsung
pada pasien yang tidak infeksius.
Menurut Puruhito (1995), cuci tangan akan memberikan keuntungan
Dapat mengurangi infeksi nosocomial, Jumlah kuman yang terbasmi lebih
banyak sehingga tangan lebih bersih dibandingkan dengan tidak mencuci tangan
Dari segi praktis, ternyata lebih murah dari pada tidak mencuci tangan sehingga
tidak dapat menyebabkan infeksi nosokomial.
Setiap fasilitas pelayanan kesehatan wajib melaksanakan dan menyelenggarakan
keselamatan pasien, melalui pembentukan sistem pelayanan yang menerapkan
standar keselamatan pasien, sasaran keselamatan pasien, serta tujuh langkah
menuju keselamatan pasien. Lima Momen Cuci Tangan adalah salah satu upaya
Pencegahan dan Pengendalian Infeksi (PPI) di fasilitas pelayanan kesehatan.
Pelaksanaan kebersihan tangan memiliki pengaruh yang cukup besar bagi
keselamatan pasien dalam pelayanan kesehatan. Kebersihan tangan dilakukan
dengan mencuci tangan menggunakan sabun dan air mengalir, bila:
a. Tangan tampak kotor, terkena kontak cairan tubuh pasien, kulit yang tidak
utuh, dan setelah mengganti perban. Meskipun menggunakan sarung tangan,
cuci tangan tetap harus dilaksanakan.
b. Bila tangan beralih dari area tubuh yang terkontaminasi, ke area lainnya,
yang bersih, meskipun pada pasien yang sama. Perhiasan, khususnya cincin,
harus dilepaskan sebelum mencuci tangan. Bakteri berkoloni lebih banyak
pada daerah yang memakai perhiasan daripada daerah yang tidak
mengenakan perhiasan. Petugas juga harus menjaga agar kuku tetap pendek,
dan bersih, tanpa cat kuku. Berdasarkan catatan hasil studi, cat kuku yang
terkelupas menjadi sarang/tempat berkembangnya mikroorganisme.
Menteri Kesehatan menetapkan Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 27
Tahun 2017 tentang Pedoman Pencegahan dan Pengendalian Infeksi di Fasilitas
Pelayanan Kesehatan untuk mendukung upaya perlindungan keselamatan pasien

128
dengan mencegah dan mengurangi risiko terjadinya penularan infeksi.
Pelaksanaan pencegahan dan pengendalian infeksi dilakukan dengan
kewaspadaan standar. Salah satu kewaspadaan standar yang harus dilakukan
adalah melaksanakan kebersihantangan. Indikasi kebersihan tangan dalam
panduan cuci tangan yang ditetapkan WHO yaitu :
1 sebelum kontak dengan pasien
2 sebelum tindakan aseptik
3 sesudah kontak darah dan cairan tubuh pasien
4 sesudah kontak dengan pasien, dan
5 sesudah kontak dengan lingkungan pasien.
Pelaksanaan Lima Momen Cuci Tangan hendaknya didukung pula dengan
Enam Langkah Cuci Tangan yang benar, sehingga membawa manfaat yang
sebesar- besarnya. bagi pihak pemberi layanan dan penerima layanan. Pelayanan
rumah sakit akan memberikan hasil yang maksimal bila tenaga kesehatan di
dalamnya bekerja sesuai dengan standar profesi dan Standar Prosedur
Operasional (SPO). Tenaga kesehatan yang melaksanakan SPO dengan benar,
telah memberikan perlindungan bagi dirinya sendiri dan bagi orang yang
dilayaninya sehingga aman dan selamat.

129

Anda mungkin juga menyukai