Oleh: DR. Ir. Fauzi Harun, M.Si (Pemerhati Kehutanan dan Lingkungan, dan Alumni Program Doktor Ilmu Pengetahuan Kehutanan IPB Bogor)
Foto
Sumberdaya hutan merupakan bagian dari makhluk ciptaan Allah SWT
yang dianugerahkan kepada ummat manusia untuk dimanfaatkan sebesar-besarnya sebagai sumber kehidupan tanpa dituntut beban biaya atau modal pembangunannya sedikitpun. Pemanfatan hutan sebagai Anugerah Allah ini melalui pengelolaan secara arif, adil dan bijaksana yang dilakukan secara (sustanaible), baik untuk generasi sekarang maupun generasi yang akan datang. Jika tidak dikelola secara sustainable walaupun hutan bersifat renawable resorces (dapat pulih kembali) suatu ketika akan mengalami kerusakan bahkan kepunahan. Di Indonesia terdapat beberapa tipe hutan antara lain hutan hujan tropik basah (tropical rain forest) terdapat di Sumatera termasuk Aceh, Kalimantan, Irian, dan beberapa daerah lain di Indonesia. Tipe hutan muson basah terdapat di wilayah Jawa Barat mengarah ke Jawa Tengah, tipe hutan muson kering terdapat di wilayah Jawa Tengah mengarah ke Jawa Timur, dan hutan savana terdapat di wilayah NTT dan dibeberapa wilayah lainnya. Perbedaan klasifikasi sumberdaya hutan ini salah satunya ditentukan oleh curah hujan, dimana pada hutan hujan tropik memiliki curah hujan relatif tinggi dan hampir tidak jelas antara musim hujan dengan musim kemarau, selanjutnya pada savana semakin rendah curah hujannya dan semakin jelas antara musim hujan dengan musim kemarau. Khususnya untuk hutan hujan tropik memiliki karakteristik dengan curah hujan relatif tinggi, topografi berat dengan kecuraman tinggi, didominasi jenis tanah pedsolik yang mudah los (leaching) ketika hujan dan lahan terbuka, mempunyai siklus hara tertutup, dan keanekaragaman hayati (biodiversitas) tinggi baik flora maupun fauna. Berbagai jenis tumbuhan dan pohon sebagai penyusun tegakan pada hutan hujan tropik ini terbagi dalam kategori tanaman toleran (jenis tanaman mampu hidup di bawah tegakan yang kurang sinar matahari), semi toleran, dan intoleran (membutuhkan matahari penuh), sehingga membentuk strata atau lapisan tajuk secara bertingkat. Ketika tajuk pohon bertingkat, keberadaan akar pohon dalam tanah juga bertingkat, maka unsur hara tidak ada yang los (siklus hara tertutup). Karakteristik lainnya pada hutan hujan tropik bahwa keberadaan jenis-jenis tanaman tertentu sebagai penyusun tegakan sangat tergantung kepada jenis tanaman lainnya sebagai pohon induk. Begitu pula halnya dengan keberadaan berbagai jenis satwa, terutama sebagai satwa kunci seperti gajah sumatera (Elephas maximus Sumatranus), harimau sumatera (panthera tigris Sumaterae), orang utan (pongo abelii), dan berbagai jenis satwa lainnya termasuk burung, sangat tergantung pada keberadaan tagakan hutan sebagai habitat dan sebagai sumber pakan bagi satwa-satwa tersebut. Dengan kata lain jika jenis pohon tidak ada maka komponen lain baik folra maupun fauna juga tidak bisa bertahan hidup. Khusunya Aceh berdasarkan Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. 103/Men LHK-II/2015 bahwa luas kawasan hutan berdasarkan fungsi kawasan adalah 3.575.243,13 ha (63,15 % dari luas wilayah Aceh), dengan rincian Cagar Alam 15.687,64 ha, Taman Nasional 624.648,73 ha, Suaka Margasatwa 81.802,22 ha, Taman Wisata Alam 30.076,30 ha, Taman Wisata Alam laut 211.022,92 ha, Taman Hutan Raya 8.620,42 ha, Hutan Lindung 1.788.628,39 ha, Hutan Produksi 554.478,85 ha, dan Hutan Produksi Konversi 15.420,10 ha Keberadaan sumberdaya hutan ini memiliki fungsi ekonomi, fungsi sosial budaya dan fungsi ekologi atau lingkungan. Fungsi-fungsi sumberdaya hutan tersebut secara keseluruhan disebut dalam bentuk jasa ekosistem. Untuk itu pada sumberdaya hutan Aceh memiliki 20 jasa ekosistem yang terbagi dalam 4 fungsi yaitu; 1) fungsi penyediaan (provesioning) terdiri dari pangan, air bersih, serat (fiber), bahan bakar (fuel), dan sumberdaya genetik, 2) fungsi pendukung (supporting) terdiri dari pembentukan lapisan tanah dan pemeliharaan kesuburan tanah, siklus hara, produksi primer, dan biodiversitas, 3) fungsi budaya (cultural) terdiri dari tempat tinggal dan ruang hidup, rekreasi dan ecotourism, dan estetika (alam). dan 4) fungsi pengaturan (supporting) terdiri dari pengaturan iklim, pengaturan tata aliran air dan banjir, pencegahan dan perlindungan dari bencana, pemurnian air, pengolahan dan penguraian limbah, pemeliharaan kualitas udara, pengaturan penyerbukan alami, dan pengendalian hama penyakit. Terkait dengan 20 jasa ekosistem tersebut diatas termaktup dua peranan penting, yang pertama peranan terkait dengan internal artinya keberdaan sumberdaya hutan dapat mendukung diri sendiri atau memulihkan diri sendiri (renewable resources), sekaligus sebagai potensi sumber ekonomi bagi sektor kehutanan. Kedua adalah peranan untuk eksternal yaitu keberadaan sumberdaya hutan dapat dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan diluar sektor kehutanan. Untuk itu sumberdaya hutan dapat diibaratkan sebagai tulang punggung, dimana fungsi tulang punggung pada munusia adalah memiliki peran utama sebagai penopang berbagai organ lainya, jika tulang punggung rapuh maka keberadaan organ-organ lainnya pada tubuh manusia tidak akan berfungsi. Begitu pula halnya dengan keberadaan sumberdaya hutan, akan sangat menentukan berfungsinya berbagai sektor-sektor lainnya, baik sektor pertanian, perkebunan, perikanan, perindustrian dan berbagai sektor-sektor lainnya. Keberadaan sektor-sektor tersebut akan terganggu dan tidak akan berfungsi dan berjalan sebagaimana mestinya ketika keberadaan sumberdaya hutan sebagai tulang punggung sudah rapuh atau mengalami kerusakan. Misalnya ketika sumberdaya hutan sebagai tulang punggung mengalami kerusakan, maka salah satu dampak adalah terjadinya longsor dan banjir bandang saat musim hujan, dan mengalami kekeringan dan kekurangan air (sawah kering) saat musim kemarau. Pada dasarnya sumberdaya hutan Aceh merupakan suatu aset yang memiliki nilai ekonomi manfaat yang tinggi (nilai ekonomi total) baik nilai penggunaan langsung (direct use value) maupun nilai penggunaan tidak langsung (indirect use value), nilai non penggunaan (non use value), dan nilai pilihan (option value) untuk keberlangsungan hidup ummat manusia. Namun nilai ekonomi hutan tersebut yang terukur dengan jelas dan akurat sampai saat ini belum diketahui, dimengerti dan dipahami, oleh para pihak (termasuk fungsi 20 jasa ekosistem dari sumberdaya hutan, dan peranan sumberdaya hutan sebagai tulang punggung), sehingga para pihak tidak mampu menjawab dan menjelaskann tentang keterkaitan manfaat sumberdaya hutan dengan kepentingan pembangunan ekonomi, lingkungan dan kesejahteraan masyarakat. Untuk itu akan memperlihatkan rendahnya dukungan para pihak terhadap upaya pelestarian sumberdaya hutan itu sendiri. Untuk memaksimalkan manfaat ekonomi, sosial, budaya dan lingkungan, maka sumberberdaya hutan perlu dikelola secara berkelanjutan (sustainable). Pemanfaatan sumberdaya hutan secara benar adalah yang dapat memberikan kesejahteraan kepada manusia dengan tetap menjaga kelestariannya. Untuk dapat memberikan kesejahteraan secara maksimal maka keberadaan sumberdaya hutan harus dimanfaatkan dengan benar dan efisien, tidak hanya terhadap hasil kayunya, tetapi terhadap semua potensi manfaat yang dikandungnya, jangan sampai ada yang terbuang dan mubazir. Secara umum sampai potensi sumberdaya hutan yang telah diketahui dan dimanfaatkan lebih kurang baru 5 – 10 % saja dari seluruh potensi manfaat hutan, namun 90 – 95 % selebihnya belum diketahui dan belum dimanfaatkan, bahwa terbuang percuma (Darusman, 2012). Disisi lain sebenarnya untuk dapat lestari sumberdaya hutan, dan perannya sebagai tulang punggung tetap terjaga, maka potensi setiap manfaat sumberdaya hutan hanya boleh dieksploitasi sebanyak riapnya saja atau pertumbuhannya persatuan waktu (resourcs flow), dan jangan sampai mengambil pokok atau modal untuk pertumbuhan itu (resourcs stock) Potensi sumberdaya hutan Aceh yang besar tersebut pada dekade-dekade akhir ini belum mampu menjadi pendorong utama terwujudnya kesejahteraan masyarakat. Sektor kehutanan belum mampu tampil sebagai sektor unggulan untuk perolehan PAD Aceh, walaupun beberapa dekade sebelumnya menjadi salah satu sumber unggulan, bahkan kondisi saat ini terjadinya kondisi open acces, yang ditandainya dengan masih maraknya perambahan hutan, illegal logging masih terus berlangsung dan menjadi persoalan serius yang perlu ditangani. Disisi lain keberadaan sumberdaya hutan Aceh dari tahun ketahun terus terjadi degradasi dan deforestasi, yang disebabkan antara lain oleh kegiatan perambahan hutan, illegal logging, kebakaran hutan dan berbagai aktifitas lainnya yang dapat menyebabkan terjadi penurunan kualitas dan kuantitas dari sumberdaya hutan, yang pada akhirnya terjadi dampak longsor, banjir bandang saat musim hujan, kekeringan saat kemarau, pemanasan global, konflik satwa, dan berbagai dampak lainnya. Peningkatan degradasi dan defotrestasi sumberdaya hutan Aceh ini dikhawatirkan peranannya untuk memulihkakan diri sendiri dan peranannya untuk sebagai penopang bagi sektor-sektor lain di diluar sektor kehutanan juga akan ikut terganggu. Walaupun berdasarkan data yang ada dan informasi kehutanan sangat mengkhawatirkan, namun demi membuat Aceh menjadi bangsa yang digjaya dan adidaya, masih belum terlambat untuk kembali membangun hutan dan kehutanan dengan segala kesungguhan. Berdasarkan keluasan kepemilikan sumberdaya hutan, dan terdapat biodiversitas yang tinggi, dengan berbagai keragaman manfaat yang dapat diberikan, maka sektor kehutanan sesungguhnya dapat menjadi tulang punggung perekonomian, dalam arti menjadi tumpuan atau pangkal dari seluruh sektor ekonomi yang lainnya. Untuk mewujudkan sumberdaya hutan benar-benar sebagai tulang punggung bagi sektor-sektor ekonomi lainnya diperlukan membangun hutan yang produktif dan lestari harus berdasarkan kepada data saintifik hasil-hasil riset yang dilakukan secara komprehensif dan berkesinambungan. Inovasi rekayasa pembangunan kehutanan dapat dilakukan melalui ilmu pengetahuan dan teknologi yang dikembangkan, serta digali dari hasil-hasil riset yang dilakukan ditempat keberadaan sumberdaya hutan tersebut, bukan sekedar mengadopsi hasil-hasil riset ditempat lain yang dilakukan di luar sana. Terkait hal ini yang perlu dilakukan para pihak (stake holder) termasuk masyarakat di tingkat kabupaten, provinsi dan UPT pusat yang ada di Aceh untuk adanya komitmen bersama dan kesepahaman untuk menata kembali sumberdaya hutan Aceh melaui restorasi hutan dan kehutanan Aceh, baik ditingkat kebijakan, tingkat pengorganisasian, dan tingkat implemesintasi di lapangan. Insya Allah keberadaan sumberdaya hutan Aceh benar-benar terwujud secara kontinyu sebagai tulang punggung yang mampu menopang diri sendiri (sektor kehutanan) dan sektor-sektor ekonomi lainnya di luar sektor kehutanan. Aamin.