Anda di halaman 1dari 18

PANDUAN

PELAYANAN HEMODIALISIS

RS Dr. TADJUDDIN CHALID MAKASSAR


2017
BAB I
DEFINISI

Penyakit ginjal kronik didefinisikan sebagai kerusakan ginjal setidaknya selama 3


bulan atau lebih, yang didefinisikan sebagai abnormalitas struktural atau fungsional
ginjal, dengan atau tanpa penurunan lajur filtrasi glomerulus (LFG) yang bermanifestasi
sebagai kelainan patologis atau kerusakan ginjal, termasuk ketidakseimbangan
komposisi zat di dalam darah atau urin serta ada atau tidaknya gangguan hasil
pemeriksaan pencintraan; atau laju filtrasi yang kurang dari 60 ml/menit/1,73m2 lebih
dari 3 bulan dengan atau tanpa kerusakan ginjal.
Gangguan ginjal akut (GgGA) adalah penurunan fungsi ginjal yang terjadi
mendadak pada ginjal yang sebelumnya dalam keadaan normal dan pada beberapa
kasus perlu dilakukan terapi dialisis.
Gagal ginjal kronik yang belum perlu dialisis adalah penyakit ginjal kronik yang
mengalami penurunan fungsi ginjal dengan LFG 15-30 ml/menit. Pasien mendapat
pengobatan berupa diet dan medikamentosa (substitusi) agar fungsi ginjal dapat
dipertahankan dan tidak terjadi akumulasi toksin sisa metabolisme dalam tubuh.
Gagal ginjal kronik yang mulai perlu dialisis adalah penyakit ginjal kronik yang
mengalami penurunan fungsi ginjal dengan LFG <15 ml/menit. Pada keadaan ini fungsi
ginjal sudah sangat menurun sehingga terjadi akumulasi toksin dalam tubuh yang
disebut sebagai uremia. Pada keadaan uremia dibutuhkan terapi pengganti ginjal untuk
mengambil alih fungsi ginjal dalam mengeliminasi toksin tubuh sehingga tidak terjadi
gejala yang lebih berat.
Gangguan ginjal akut pada penyakit ginjal kronik adalah episode akut pada
pasien gagal ginjal kronik yang tadinya stabil. Pada beberapa kasus perlu dilakukan
terapi dialisis.
Terapi pengganti ginjal ada 2 yaitu dialisis yang terdiri dari hemodialisis, dialisis
peritoneal dan hemofiltrasi, dan transplantasi ginjal. Dialisis menurut kebutuhan
pemakaian dibagi menjadi 2 jenis yaitu dialisis temporer yang bersifat akut dan atau
perioperatif, dan dialisis kronik.
Unit dialisis di rumah sakit merupakan bagian yang tidak terpisah dari suatu
rumah sakit. Unit dialisis di rumah sakit mendapat ijin dari Dinas Kesehatan, berlaku
selama 5 tahun dan diperbaharui setelah memenuhi akreditasi yang dilakukan oleh tim
dari Dinas Kesehatan bersama dengan PERNEFRI.
BAB II
RUANG LINGKUP
TUJUAN
Meningkatkan kualitas pelayanan pasien gagal ginjal melalui pelayanan hemodialisis
yang berorientasi pada keselamatan dan dan keamanan pasien.

SUMBER DAYA MANUSIA


Pelaksana unit dialisis terdiri dari :
1. Tenaga medis yang terdiri dari :
a. Supervisor : dokter SpPD-KGH yang diakui oleh PERNEFRI
b. Dokter penanggung jawab : dokter SpPD-KGH dan atau dokter SpPD yang telah
mempunyai sertifikat pelatihan hemodialisis di pusat pendidikan yang
diakreditasi dan disahkan oleh PB PERNEFRI
c. Dokter pelaksana : dokter bersertifikat HD yang telah dilatih di pusat pendidikan
yang diakreditasi dan disahkan oleh PB PERNEFRI
2. Tenaga paramedis :
a. Perawat mahir : perawat yang bersertifikat pelatihan HD di pusat pendidikan
yang diakreditasi dan disahkan oleh PB PERNEFRI
b. Perawat : lulusan akademi keperawatan
3. Tenaga non medis :
a. Teknisi : minimal SMU/STM atau perawat dengan pelatihan khusus mesin
dialisis dan perlengkapannya
b. Tenaga administrasi
c. Tenaga lainnya yang mendukung program
KONSEP PELAYANAN HEMODIALISIS
1. Dilakukan secara komprehensif
2. Pelayanan dilakukan sesuai standar
3. Peralatan yang tersedia harus memenuhi ketentuan
4. Semua tindakan harus terdokumentasi dengan baik
5. Harus ada sistem monitor dan evaluasi
ALUR PASIEN DALAM PELAYANAN HEMODIALISIS
Pasien hemodialisis rumah sakit dapat berasal dari :
1. Instalasi rawat jalan
2. Instalasi rawat inap
3. Instalasi gawat darurat
4. Rujukan dari rumah sakit/institusi kesehatan lainnya
PROSEDUR PELAYANAN HEMODIALISIS
1. Tindakan inisiasi hemodialisis (HD pertama)
2. Setiap tindakan hemodialisis terdiri dari :
a. Persiapan pelaksanaan hemodialisis
b. Pelaksanaan hemodialisis
c. Evaluasi pasca hemodialisis
3. Konsultasi/edukasi gizi, konsultasi lainnya
4. Perencanaan hemodialisis berikutnya
5. Pencatatan dan pelaporan
BAB III
TATALAKSANA

INISIASI DIALISIS
Secara ideal semua pasien dengan LFG <15 ml/menit dapat mulai menjalani dialisis.
Namun dalam pelaksanaan klinis pedoman yang dapat dipakai adalah :
1. LFG <10 ml/menit dengan gejala uremia/malnutrisi
2. LFG <5 ml/menit walaupun tanpa gejala
3. Indikasi khusus :
a. Terdapat komplikasi akut (edema paru, hiperkalemia, asidosis metabolik)
b. Pada pasien nefropati diabetik dapat dilakukan lebih awal
KONTRAINDIKASI DIALISIS
1. Tidak mungkin didapatkan akses vaskuler pada HD
2. Keadaan tertentu :
- akses vaskuler sulit
- instabilitas hemodinamik
- koagulopati
- penyakit Alzheimer
- demensia multi infark
- sindrom hepatorenal
- sirosis hati lanjut dengan ensefalopati
- keganasan lanjut
DOSIS DAN ADEKUASI DIALISIS
Setiap pasien HD harus diberikan resep/perencanaan program HD (prescribed dose)
dengan target mencapai adekuasi dialisis yang ideal yaitu dinilai dengan Kt/V = 1,2
(URR 65%) untuk HD 3x per minggu selama 4 jam dan 1,8 untuk HD 2x per minggu
selama 4-5 jam per kali HD. Frekuensi pengukuran adekuasi HD dilakukan secara
berkala minimal tiap 6 bulan (idealnya 1 kali tiap bulan).
AKSES VAKSULER
Akses vaskuler yang adekuat (baik) adalah akses vaskuler yang dapat memberikan
aliran darah minimal 200-300 ml/menit. Akses tersebut memerlukan perawatan agar
bebas dari infeksi, stenosis, tromboembolik dan aneurisma. Pembuatan akses vaskuler
pada pasien pra-HD sudah dipersiapkan jauh hari sebelumnya setelah mendapat
penjelasan dari dokter dan pasien menyatakan persetujuannya.
Terdapat 2 macam akses vaskuler :
1. Akses vaskuler permanen (AV shunt)
2. Akses vaskuler temporer yang terdiri dari : akses vena femoralis, vena jugularis
interna, atau vena subklavia.
Teknik kanulasi akses vaskuler dapat dilakukan dengan 2 cara :
1. Kanulasi langsung ke pembuluh darah besar (vena femoralis, sefalika, radialis)
2. Kanulasi dengan kateter lumen ganda yang dipasang pada vena femoralis,
jugularis atau subklavia
ANTIKOAGULASI
Selama berlangsungnya hemodialisis, diperlukan antikoagulasi supaya tidak terjadi
pembekuan darah di dalam sirkuit ekstrakorporeal. Heparin berat molekul besar
(unfractioned heparine) masih merupakan standar antikoagulasi. Berdasarkan risiko
perdarahan pasien, maka prosedur pemberian antikoagulan dapat dibagi menjadi :
1. Antikoagulasi rutin
2. Antikoagulasi pada pasien berisiko perdarahan
Menilai koagulasi sewaktu dialisis dilakukan dengan cara :
1. Secara visual :
a. Darah dalam sirkuit ekstrakorporeal berwarna sangat tua
b. Dalam dialiser terlihat garis-garis merah
c. Dalam drip chamber terlihat busa dan pembentukan bekuan darah
d. Darah setelah melalui dialiser tak dapat masuk ke venous chamber
e. Terlihat bekuan dalam arterial hender dari dialiser
2. Tekanan dalam sirkuit ekstrakorporeal
3. Keadaan dialiser pasca dialisis
4. Mengukur volume residual dari dialiser
PENANGANAN KOMPLIKASI AKUT
Merupakan suatu tindakan yang diberikan kepada pasien karena adanya tanda atau
gejala yang timbul akibat reaksi dialisis. Komplikasi yang sering terjadi antara lain :
hipotensi, hipertensi, mual muntah, sakit kepala, kejang, kram, demam disertai
menggigil, nyeri dada, gatal-gatal, dan lain-lain.
Pemantauan dan penanganan komplikasi akut bertujuan untuk mencegah timbulnya
hal-hal yang merugikan dan membahayakan, mengurangi penderitaan, memberikan
rasa nyaman dan mengurangi keluhan pada saat dialisis.
Penanganan komplikasi akut harus dilakukan segera dengan cepat, tepat dan efisien.
Dalam keadaan darurat, berikan tindakan resusitasi sesuai dengan prosedur yang
berlaku. Pemakaian obat-obatan darurat dengan menggunakan trolley emergency.
Sedangkan di luar obat darurat, gunakan obat inventaris dan lengkapi kembali setelah
digunakan. Jika tidak ada konsultan ginjal hipertensi atau spesialis penyakit dalam,
dapat meminta bantuan pada dokter jaga ICU atau dokter jaga ruangan.
PEMANTAUAN EVALUASI JANGKA PANJANG
Setiap pasien baru dilakukan penilaian yang meliputi pemeriksaan fisik lengkap dan
penunjang sbb :
- darah perifer lengkap
- elektrolit darah (Na, K, Cl, Ca, P)
- HBs Ag
- Anti HCV, anti HIV
- Foto dada
- EKG/ekokardiografi
Bila tidak ada indikasi khusus, maka dilakukan pemeriksaan sesuai jadwal berikut ini :
- Na, K, Ca, P, ureum (tiap 3 bulan)
- SI, TIBC, Ferritin sesuai konsensus anemia
- HBs Ag, anti HCV, analisa gas darah, EKG (tiap 6 bulan)
- Ekokardiografi (tiap 3 tahun)

Pemeriksaan khusus yang dapat dilakukan adalah :


- Mg (khusus untuk aritmia) dan PTH tiap tahun
- Radiologik, densitometer tulang dan HIV pada keadaan khusus
Target nilai laboratorium :
Komponen Target
Ca total (pra-dialisis) 9-11 mg/dl
P (pra-dialisis) < 4,5 mg/dl
Ca x P (setelah koreksi alb) ≤ 70
PTH 2-3x nilai normal
Mg 0,70-1,05 mmol/l
Bikarbonat serum 18-20 mol/l
Ferritin serum >100 μg/l
Sat transferin >20%
Hb >10 g/dl

MANAJEMEN ANEMIA PADA PASIEN YANG MENJALANI HEMODIALISIS


Anemia renal adalah anemia pada PGK yang terutama disebabkan oleh penurunan
kapasitas produksi eritropoietin. Disebut anemia jika kadar Hb <14 g/dl (laki-laki) atau
<12 g/dl (perempuan).
Anemia defisiensi besi absolut bila saturasi transferin (ST) <20% dan feritin serum (FS)
<200 ng/ml.
Anemia defisiensi besi fungsional bila ST <20% dan FS ≥200 ng/ml.
Pengkajian anemia renal :
Pemeriksaan laboratorium awal ditujukan untuk mengidentifikasi penyebab lain dari
anemia renal karena selain defisiensi eritropoietin sebagai penyebab utama, banyak
faktor lain yang berkontribusi pada anemia renal, yaitu :
a. Defisiensi besi (asupan kurang, flebotomi berulang untuk pemeriksaan
laboratorium, retensi darah pada dialiser atau tubing, perdarahan saluran cerna)
b. Umur eritrosit yang memendek
c. Hiperparatiroid berat
d. Inflamasi dan infeksi
e. Toksisitas aluminium
f. Defisiensi asam folat
g. Hipotiroid
h. Hemoglobinopati
Evaluasi anemia renal :
Skrining Hb pada pasien PGK dilakukan minimal 1 kali setahun. Jika didapatkan
anemia dilanjutkan dengan :
a. Pemeriksaan darah lengkap :
- Hb,hematokrit
- Indeks eritrosit (MCH, MCV, MCHC)
- Lekosit dan hitung jenis
- Hitung trombosit
b. Apusan darah tepi
c. Hitung retikulosit
d. Uji darah samar feses
e. Evaluasi satus besi :
- Besi serum
- Kapasitas ikat besi total (TIBC)
- Saturasi transferin (ST)
- Ferritin serum (FS)
Pengkajian status besi :
Sebelum terapi ESA, harus dilakukan pemeriksaan status besi terlebih dahulu. Agar
respon eritropoiesis optimal, maka status besi harus cukup. Status besi yang diperiksa
meliputi SI, TIBC, ST dan FS.
Target hemoglobin :
Terapi ESA dimulai pada kadar Hb <10 g/dl. Target Hb pada terapi ESA : 10-12 g/dl.
Kadar Hb tidak boleh > 13 g/dl.
Indikasi terapi ESA : bila Hb <10 g/dl dan penyebab lain anemia sudah disingkirkan.
Syarat pemberian : tidak ada anemia defisiensi besi absolut, dan tidak ada infeksi yang
berat.
Kontraindikasi terapi ESA : hipersensitivitas terhadap ESA
Keadaan yang perlu diperhatikan pada terapi ESA : tekanan darah tinggi dan
hiperkoagulasi.
Batasan respon tidak adekuat terhadap ESA : apabila pada dosis 8000-10.000
IU/minggu sc : gagal mencapai target kenaikan Hb 0,5-1 g/dl dalam 4 minggu berturut-
turut selama 12 minggu (fase koreksi), atau gagal mempertahankan Hb dalam rentang
target pemeliharaan.
Penyebab respon tidak adekuat terhadap ESA :
a. Defisiensi besi absolut dan fungsional
b. Kehilangan darah kronik
c. Malnutrisi
d. Dialisis tidak adekuat
e. Hiperparatiroid sekunder
f. Inflamasi (infeksi dan non infeksi)
g. Kehilangan darah akut
h. Obat-obatan (ACE-I, ARB, renin inhibitor) dosis tinggi
i. Lain-lain (defisiensi asam folat dan vit B12, hemoglobinopati, mieloma multipel,
mielofibrosis, hemolisis dan keganasan).
Efek samping terapi ESA :
1. Hipertensi
- Terapi ESA berpotensi meningkatkan tekanan darah terutama bila kenaikan
Hb terlalu cepat atau menggunakan ESA dosis tinggi
- Pasien kemungkinan membutuhkan peningkatan dosis obat anti hipertensi.
2. Trombosis : dapat terjadi bila Hb meningkat secara cepat melebihi target
3. Kejang : sangat jarang ditemukan, umumnya terjadi pada Hb >10 g/dl dengan
peningkatan yang cepat disertai tekanan darah yang tidak terkontrol, terutama
terjadi pada terapi ESA fase koreksi.
4. Pure red cell aplasia (PRCA) :
- Dicurigai bila pasien dalam terapi ESA >4 minggu ditemukan semua gejala
berikut :
a. Penurunan Hb mendadak 0,5-1 g/dl/minggu atau membutuhkan transfusi
1-2 kali/minggu
b. Hitung lekosit dan trombosit normal
c. Hitung retikulosit absolut <10.000/μl
- Diagnosis ditegakkan berdasarkan pemeriksaan Anti-erythropoietin antibody
yang positif dan/atau pada biopsi sumsum tulang ditemukan erythroid
progenitor cells yang berkurang.
- Pada keadaaan tersebut pemberian ESA harus dihentikan.
TRANSFUSI DARAH PADA PASIEN YANG MENJALANI HEMODIALISIS
Indikasi :
1. Hb <7 g/dl dengan atau tanpa gejala anemia
2. Hb < 8 g/dl dengan gangguan kardiovaskuler yang nyata
3. Perdarahan akut dengan gejala gangguan hemodinamik
4. Pasien akan menjalani operasi
Target Hb : 7-9 g/dl
Cara pemberian :
- Dianjurkan dalam jumlah kecil dan bertahap
- Sebaiknya diberikan saat HD
- Diberikan dengan kecepatan tetesan 1 ml/menit pada 15 menit pertama dan
bila tidak ada reaksi dilanjutkan 4 ml/menit.
NUTRISI PADA HEMODIALISIS
Tujuan pemberian nutrisi pada dialisis adalah :
1. Memperbaiki dan mempertahankan status gizi optimal
2. Mencegah penimbunan sisa metabolisme
3. Mengatur keseimbangan air dan elektrolit
4. Mengendalikan kondisi-kondisi terkait PGK seperti anemia, penyakit tulang dan
penyakit kardiovaskuler
Semua pasien dialisis dilakukan penilaian nutrisi awal. Penilaian satus nutrisi tidak
dapat menggunakan satu parameter saja.
Parameter penilaian satus nutrisi meliputi :
1. Antropometri : tinggi badan (TB), berat badan (BB), indeks massa tubuh (IMT),
lingkar lengan atas (LLA), tebal lipatan kulit (TLK)
2. Biokimia : albumin serum, kolesterol total, kreatinin serum, transferin serum,
prealbumin serum, bikarbonat serum, status inflamasi (misalnya CRP)
3. Klinis/fisik :
- Interdialytic weight gain (IDWG)
- Bioelectrical Impedance Analysis (BIA)
- Subjective Global Assessment (SGA)
4. Riwayat makan : food recall dan foor record
5. Malnutrition inflammation Score (MIS)
Tujuan penilaian status nutrisi :
1. Menentukan status nutrisi
2. Menentukan derajat malnutrisi
3. Memperkirakan risiko komplikasi
4. Merekomendasi dan memonitor kecukupan nutrisi
Indikator malnutrisi :
1. SGA (B) dan (C)
2. Albumin serum <4,0 g/dl
3. Kreatinin serum <10 mg/dl
4. Indeks massa tubuh (IMT) <20 kg/m2
5. Kolesterol <147 mg/dl
6. Prealbumin serum <300 mg/l
Rekomendasi asupan nutrisi :
Nutrisi Rekomendasi Keterangan
Energi 30-35 kkal/kb BB disesuaikan dengan umur, jenis
ideal/hari kelamin dan aktivitas fisik
Protein 1,2 g/kg BB ideal/hari Protein yang diberikan minimal
50% dengan kandungan biologis
tinggi
Lemak 25-30% dari total kalori Pembatasan lemak jenuh <10%.
Bila didapatkan dislipidemia
dianjurkan kadar kolesterol dalam
makanan <300 mg/hari
Thiamine (B1) 1,1-1,2 mg/hari
Riboflavin (B2) 1,1-1,3 mg/hari
Niasin 14-16 mg/hari
Asam pantotenat 5 mg/hari
(B5)
Pyridoxine (B6) 10 mg/hari
Biotin (B8) 30 μg/hari
Asam folat (B9) 1 mg/hari
Cobalamin (B12) 2,4 μg/hari
Vit C 75-90 mg/hari
Vit A 700-900 μg/hari
Vit D Individual
Vit E 400-800 IU/hari
Vit K 90-120 μg/hari
Cairan 1000ml/hari+ produksi urin
NaCl 5-6 g/hari
Kalium (K) 8-17 mg/kg/hari
Fosfor (P) 800-1000 mg/hari
Zinc (Zn) Jika perlu Bisa diberikan suplemen Zn
sampai 15 mg/hari
Besi (Fe) Individual Sesuai konsensus Anemia
Selenium (Se) Tidak ada

Kalori dari karbohidrat adalah sisa dari perhitungan untuk protein dan lemak. Pemberian
kalori yang adekuat sangat penting untuk membuat keseimbangan nitrogen menjadi
positif. Menentukan kebutuhan kalori harus memperhitungkan kebutuhan kalori dari
penyakit komorbid. Total kalori yang harus diberikan adalah penjumlahan dari
kebutuhan kalori pada keadaan basal dengan kebutuhan kalori pada keadaan stres.
Pada proses HD perlu diperhitungkan adanya kehilangan asam amino sebesar 1-2
g/jam dialisis. Oleh karena itu asupan protein harus dinaikkan menjadi 1-1,2 g/kg
BB/hari. Pada pemberian diit sangat rendah protein (0,3-0,4 g/kg BB idea/hari)
diberikan tambahan suplemen keto analog.
Pasien yang menderita malnutrisi memerlukan protein dan energi yang lebih tinggi,
apabila asupan tidak adekuat diperlukan suplemen nutrisi oral. Pemberian nutrisi via
nasogastric tube dan nutrisi parenteral intradialitik (NPID) perlu dipertimbangkan pada
pasien dialisis yang memerlukan dukungan nutrisi yang signifikan.
Pasien PGK berisiko mengalami defisiensi atau kelebihan satu atau lebih mikronutrien
karena asupan yang tidak adekuat, gangguan absorbsi mikronutrien akibat obat atau
toksin uremik, gangguan metabolisme, atau akibat kehilangan atau penambahan yang
didapat selama dialisis.
Mikronutrien berfungsi pada tingkat sel sehingga defisiensi maupun kelebihan
mikronutrien hanya bersifat subklinis dan baru akan terdeteksi apabila telah berada
pada stadium lanjut.
Monitoring dan evaluasi :
Monitoring status nutrisi sebaiknya dilakukan menggunakan teknik : anamnesis diit,
berat badan, SGA dan penanda biokimia (albumin serum, kolesterol serum, kreatinin
serum, saturasi transferin).
Anamnesis diit pada pasien HD yang stabil sebaiknya dilakukan setiap 3-6 bulan oleh
ahli gizi atau setiap 3 bulan jika usia >50 tahun atau telah menjalani HD >5 tahun.
Pasien yang mengalami malnutrisi sejak awal HD sebaiknya dilakukan food recall
setiap 1 bulan. Konseling pada pertemuan pertama dengan ahli gizi dilakukan selama
45-60 menit dan follow-up berikutnya dilakukan selama 30-45 menit.
Dilakukan penghitungan rerata berat badan pasca dialisis selama 1 bulan dan dinilai
persentase perubahannya setiap bulan. Penghitungan IDWG didasarkan atas berat
badan kering.
Penanda biokimia albumin, kolesterol, dan kreatinin serum dievaluasi 1 bulan setelah
HD dimulai dan selanjutnya setiap 3 bulan pada pasien yang klinisnya stabil. Penanda
biokimia tersebut dilakukan setiap 1 bulan sekali pada pasien yang secara klinis tidak
stabil dengan berbagai komorbid, inflamasi yang persisten, atau sedang mendapatkan
terapi diit intensif.

Target penatalaksanaan nutrisi pada pasien PGK yang menjalani HD :


1. Asupan makanan >80% dari yang direkomendasi
2. IMT 20-25 kg/m2
3. Cadangan massa otot/lemak adekuat
4. SGA (A)
5. Albumin ≥4,0 g/dl
6. Kolesterol 150-250 mg/dl
7. Kreatinin serum >10 mg/dl
8. Saturasi transferin 20%-50%
PENGGUNAAN DIALISER PROSES ULANG (DPU)
Dialiser Proses Ulang (DPU) adalah penggunaan ulang dialiser yang telah diproses
secara baku untuk pasien yang sama. Penggunaan ulang dialiser bertujuan agar
pelayanan hemodialisis mudah, murah, dan terjangkau, dapat dipertahankan
kelangsungannya. Pasien berhak memilih dialiser setelah mendapat penjelasan.
Penggunaan DPU memiliki beberapa keuntungan dan kerugian. Keuntungannya adalah
mengurangi biaya HD, mengurangi gejala klinik selama HD, mengurangi kejadian reaksi
anafilaksis dan menaikkan biokompatibilitas dialiser. Sedangkan kerugiannya yaitu
berupa kontaminasi bakteri, kemungkinan terjadi transmisi agen infeksi, timbul keluhan
yang berhubungan dengan zat kimia yang dipakai dalam proses ulang dan penurunan
performance dialiser.
Setelah mendapat penjelasan, pasien yang menggunakan DPU harus sudah
mengetahui dan menyetujui proses tersebut. Informed consent bertujuan untuk
memberikan informasi secukupnya kepada pasien tentang keuntungan dan kerugian
penggunaan DPU. Informed consent diberikan secara tertulis sebelum memulai HD
untuk pertama kali dan berlaku seterusnya selama pasien masih menjalani HD.
Pelaksanaan DPU harus sesuai dengan prinsip kewaspadaan universal dan sesuai
prosedur manual.
Setiap DPU harus mempunyai volume kompartemen darah lebih dari 80%.
BAB IV
DOKUMENTASI

1. Formulir pengkajian awal pasien hemodialisis


2. Formulir pengkajian ulang pasien hemodialisis
3. Formulir persetujuan tindakan hemodialisis
DAFTAR PUSTAKA

1. Konsensus Dialisis, PERNEFRI 2003


2. Pedoman Pelayanan Hemodialisis di Sarana Pelayanan Kesehatan, Direktorat Bina
Pelayanan Medik Spesialistik, Dirjen Bina Pelayanan Medik DepKes RI, 2008
3. Konsensus Manajemen Anemia pada Penyakit Ginjal Kronik, PERNEFRI 2011
4. Konsensus Nutrisi pada Penyakit GInjal Kronik, PERNEFRI 2011

Anda mungkin juga menyukai