Anda di halaman 1dari 15

VERA RONIAH NENGSI

NIM: 21161273

1 ESY B

STUDI QUR’AN

Peluang dan Tantangan pengembangan lembaga keuangan syariah di


Indonesia

A. Pengertian Lembaga Keuangan Syariah


Lembaga keuangan syariah (LKS) adalah lembaga yang dalam
aktifitasnya, baik penghimpunan dana maupun dalam rangka
penyaluran dananya memberikan dan mengenakan imbalan atau dasar
prinsip syariah yaitu jual beli dan bagi hasil.
Yang dimaksud dengan mengkhususkan diri untuk melakukan
kegiatan tertentu adalah melaksanakan kegiatan pembiayaan jangka
panjang, pembiayaan untuk mengembangkan koperasi, pengembangan
pengusaha golongan ekonomi lemah atau pengusaha kecil,
pengembangan ekspor non migasi dan pengembangan pembangunan
perumahaan.
Lembaga Keuangan Syariah, dalam setiap transaksi tidak
mengenal bunga, baik dalam menghimpun tabungan investasi
masyarakat ataupun dalam pembiayaan bagi dunia usaha yang
membutuhkannya. Menurut Dr. M. Umer Chapra , penghapusan bunga
akan menghilangkan sumber ketidakadilan antara penyedia dana dan
pengusaha. Keuntungan total pada modal akan dibagi di antara kedua
pihak menurut keadilan. Pihak penyedia dana tidak akan dijamin
dengan laju keuntungan di depan meskipun bisnis itu ternyata tidak
menguntungkan. Pedoman lembaga keuangan syari’ah dalam
beroperasi adalah al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 275 tentang Sistem
menjauhkan diri dari unsur riba dan menerapkan Sistem bagi hasil dan
perdagangan
         
         
         
           
        

Artinya : Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri


melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan lantaran
(tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah
disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu
sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli
dan mengharamkan riba (QS. Al-Baqarah: 275)
B. Jenis-Jenis Lembaga Keuangan Syariah Di Indonesia
Lembaga keuangan adalah Badan usaha yang kekayaannya
terutama berbentuk aset keuangan atau tagihan (claim); yang
fungsinya sebagai lembaga intermediasi keuangan antara unit defisit
dengan unit surplus dan menawarkan secara luas berbagai jasa
keuangan (misalnya: simpanan, kredit, proteksi asuransi, penyediaan
mekanisme pembayaran & transfer dana) dan merupakan bagian dari
sistem keuangan dalam ekonomi modern dalam melayani masyarakat.
Sedangkan lembaga keuangan syariah adalah lembaga keuangan
yang menjalankan kegiatannya dengan berlandaskan prinsip syariah
Islam. Lembaga Keuangan Syariah terdiri dari Bank dan Non-Bank
(Asuransi, Pegadaian, Reksa Dana, Pasar Modal, dan BMT).
1. LEMBAGA KEUANGAN SYARIAH BERBENTUK BANK
a. Bank Umum Syariah/ Perbankan Syariah
Perbankan Syariah adalah Badan Usaha yang menjalankan
fungsi menghimpun dana dari pihak yang surplus dana kemudian
menyalurkan kepada pihak yang defisit dana dan menyediakan
jasa keuangan lainnya berdasarkan prinsip syariah Islam.
Secara garis besar produk perbankan syariah dapat dibagi
menjadi tiga yaitu Produk penyaluran dana (Murabahah, As-
salam, Istishna, Ijarah, Musyarakah, dan Mudharabah) produk
penghimpunan dana (Prinsip Wadiah dan Prisip Mudharabah),
dan produk jasa yang diberikan bank kepada nasabahnya seperti
Sharf (Jual Beli Valuta Asing).
b. Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS)
Menurut undang-undang (UU) Perbankan No. 7 tahun 1992,
BPR adalah lembaga keuangan yang menerima simpanan uang
hanya dalam bentuk deposito berjangka tabungan, dan atau
bentuk lainnya yang dipersamakan dalam bentuk itu dan
menyalurkan dana sebagai usaha BPR. Pada UU Perbankan No.
10 tahun 1998, disebutkan bahwa BPR adalah lembaga keuangan
bank yang melaksanakan kegiatan usahanya secara konvensional
atau berdasarkan prinsip syariah.
Pengaturan pelaksanaan BPR yang menggunakan prinsip
syariah tertuang pada surat Direksi Bank Indonesia No.
32/36/KEP/DIR/tentang Bank Perkreditan Rakyat Berdasarkan
Prinsip Syariah tanggal 12 Mei 1999. Dalam hal ini pada teknisnya
BPR syariah beroperasi layaknya BPR konvensional namun
menggunakan prinsip syariah.
UU BPR Syariah kemudian dipertegas dalam kegiatan
operasional BPR Syariah dalam pasal 27 SIK DIR. BI 32/36/1999,
sebagai berikut:
a) Menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan
yang meliputi:
 tabungan berdasarkan prinsip wadiah dan mudharabah;
 deposito berjangka berdasarkan prinsip mudharabah;
 bentuk lain yang menggunakan prinsip wadiah atau
mudharabah.
b) Melakukan penyaluran dana melalui:
 transaksi jual beli melalui prinsip murabahah, istishna, salam,
ijarah, dan jual beli lainnya
 pembiayaan bagi hasil berdasarkan prinsip mudharabah,
musyarakah, dan bagi hasil lainnya
 pembiayaan lain berdasarkan prinsip rahn dan qardh.
c) Melakukan kegiatan lain yang lazim dilakukan BPR Syariah
sepanjang disetujui oleh Dewan Syariah Nasional.
2. LEMBAGA KEUANGAN SYARIAH NON BANK
a. BMT atau Baitul Mal Wa Tamwil
BMT terdiri dari dua istilah, yaitu baitul mal dan baitut tamwil.
Baitul maal lebih mengarah pada usaha-usaha pengumpulan dan
penyaluran dana yang non profit, seperti zakat, infak dan
shodaqoh. Sedangkan baitut tamwil sebagai usaha pengumpulan
dan dan penyaluran dana komersial.
Baitul Maal wat Tamwil (BMT) atau Balai Usaha Mandiri
Terpadu, adalah lembaga keuangan mikro yang dioperasikan
dengan prinsip bagi hasil, menumbuh kembangkan derajat dan
martabat serta membela kepentingan kaum fakir miskin,
ditumbuhkan atas prakarsa dan modal awal dari tokoh- tokoh
masyarakat setempat dengan berlandaskan pada sistem ekonomi
yang salam.

BMT mempunyai fungsi-fungsi sebagai berikut:

 Penghimpun dan penyalur dana, dengan menyimpan uang di


BMT, uang tersebut dapat ditingkatkan utilitasnya, sehingga
timbul unit surplus (pihak yang memiliki dana berlebih) dan unit
defisit (pihak yang kekurangan dana).
 Pencipta dan pemberi likuiditas, dapat menciptakan alat
pembayaran yang sah yang mampu memberikan kemampuan
untuk memenuhi kewajiban suatu lembaga/perorangan.
 Sumber pendapatan, BMT dapat menciptakan lapangan kerja
dan memberi pendapatan kepada para pegawainya.
 Pemberi informasi, memberi informasi kepada masyarakat
mengenai risiko keuntungan dan peluang yang ada pada
lembaga tersebut.
 Menjadi perantara keuangan (Financial Intermediary) antara
aghniya sebagai shahibul maal dengan dua’afa sebagai
mudharib, terutama untuk dana-dana sosial seperti zakat, infak,
sedekah, wakaf dan hibah. (Unggul Priyadi, 2017: 17)
c. Asuransi Syariah
Kata asuransi berasal dari bahasa inggris, “insurance”.
Dalam bahasa arab istilah asuransi biasa diungkapkan dengan
kata at-tamin yang secara bahasa berarti tuma’ ninatun nafsi wa
zawalul khauf, tenangnya jiwa dan hilangnya rasa takut.
Asuransi menurut UU RI No.2 Tahun 1992 tentang usaha
perasuransian, yang dimaksud dengan asuransi yaitu perjanjian
antara dua belah pihak atau lebih, dengan mana pihak
penanggung mengikatkan diri dengan pihak tertanggung, dengan
menerima premi asuransi untuk memberikan penggantian kepada
tertanggung karena kerugian, kerusakan, atau kehilangan
keuntungan yang diharapkan, atau tanggung jawab hukum kepada
pihak ketiga yang mungkin diderita tertanggung, yang timbul dari
suatu peristiwa yang tak pasti atau untuk memberikan suatu
pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya
seeseorang yang dipertanggungkan.
Sedangkan pengertian asuransi syariah menurut fatwa DSN-
MUI adalah usaha saling melindungi dan tolong-menolong
diantara sejumlah orang atau pihak melalui investasi dalam bentuk
aset dan atau tabarru’ memberikan pola pengembalian untuk
menghadapi risiko tertentu melalui akad yang sesuai dengan
syariah.
3. Pegadaian Syariah
Menurut Kitab Undang-undang Hukum Perdata pasal 1150,
gadai adalah suatu hak yang diperoleh pihak yang mempunyai
piutang atas suatu barang bergerak. Barang bergerak tersebut
diserahkan oleh pihak yang berutang kepada pihak yang
berpiutang. Pihak yang berutang memberikan kekuasaan kepada
pihak yang mempunyai piutang untuk memiliki barang yang
bergerak tersebut apabila pihak yang berutang tidak dapat
melunasi kewajibannya pada saat berakhirnya waktu pinjaman.
4. Reksa Dana Syariah
Reksadana adalah sebuah wadah dimana masyarakat dapat
menginvestasikan dananya dan oleh pengurusnya (manajer
investasi) dana itu diinvestasikan ke portofolio efek. Reksadana
merupakan jalan keluar bagi para pemodal kecil yang ingin ikut
serta dalam pasar modal dengan modal minimal yang relatif kecil
dan kemampuan menanggung risiko yang sedikit. Pada reksadana
syariah sudah tentu dana akan disalurkan kepada saham syariah
dan surat berharga syariah seperti sukuk.
Saham syariah adalah kepemilikan atas usaha tertentu
dimana usaha tersebut harus sesuai dengan prinsip syariah Islam.
Sedangkan kegiatan transaksi saham syariah tidak berbeda jauh
dengan saham konvensional. Oleh sebab itu, sudah menjadi
kewajiban pejuang ekonomi syariah untuk terus mengkaji saham
syariah lebih syar’i dalam transaksinya. Akad antara investor
dengan lembaga hendaknya dilakukan dengan sistem
mudharabah/qiradh.
Sukuk adalah surat berharga yang diterbitkan berdasarkan
prinsip syariah sebagai bukti atas bagian penyertaan terhadap
aset surat berharga syariah, yang dijual kepada individu atau
perseorangan melalui agen penjual dengan volume minimum yang
telah ditentukan. Tujuan penerbitan sukuk adalah membiayai
anggaran perusahaan, divesifikasi sumber pembiayaan,
memperluas basis investor, mengelola portofolio pembiayaan.
Dalam melakukan transaksi Reksadana Syariah tidak
diperbolehkan melakukan tindakan spekulasi, yang didalamnya
mengandung gharar seperti najsy (penawaran palsu).
5. Obligasi Syariah
Obligasi syariah di dunia internasional dikenal dengan sukuk.
Sukuk berasal dari bahasa Arab “sak” (tunggal) dan “sukuk”
(jamak) yang memiliki arti mirip dengan sertifikat atau note. Dalam
pemahaman praktisnya, sukuk merupakan bukti (claim)
kepemilikan. Sebuah sukuk mewakili kepentingan, baik penuh
maupun proporsional dalam sebuah atau sekumpulan aset.
Jika ditinjau dari aspek akad, obligasi dapat dimodifikasi ke
pelbagai jenis seperti obligasi saham, isthisna, murabahah,
musyarakah, mudharabah ataupun ijarah, namun yang lebih
populer dalam perkembangan obligasi syariah di Indonesia hingga
saat ini adalah obligasi mudharabah dan ijarah.
Obligasi syariah di Indonesia mulai diterbitkan pada paruh
akhir tahun 2002, yakni dengan disahkannya Obligasi Indosat
obligasi yang diterbitkan ini berdasarkan prinsip mudharabah.
Obligasi mudharabah mulai diterbitkan setelah fatwa tentang
obligasi syariah (Fatwa DSN-MUI No.32/DSN-MUI/2002)dan
obligasi syariah mudharabah (Fatwa DSN-MUI
No.33/DSN-MUI/2002). Sedangkan obligasi syariah ijarah pertama
kali diterbitkan pada tahun 2004 setelah dikeluarkannya fatwa
tentang obligasi syariah ijarah (Fatwa DSN-MUI No.41/DSN-
MUI/ /2003).
6. Modal Ventura Syariah
Modal Ventura Syariah adalah suatu pembiayaan dalam
penyertaan modal dalam suatu perusahaan pasangan usaha yang
ingin mengembangkan usahanya untuk jangka waktu tertentu
(bersifat sementara). Modal ventura merupakan bentuk
penyertaan modal dari perusahaan pembiayaan kepada
perusahaan yang membutuhkan dana untuk jangka waktu
tertentu.
Perusahaan yang diberi modal sering disebut sebagai
investee, sedangkan perusahaan pembiayaan yang memberi dana
disebut sebagai venture capitalist atau pihak investor.
Penghasilan modal ventura sama seperti penghasilan saham
biasa, yaitu dari dividen (kalau dibagikan) dan dari apresiasi nilai
saham dipegang (capital gain). Dari pengertian tersebut dapat
disimpulkan bahwa Modal Ventura Syariah yakni penanaman
modal dilakukan oleh lembaga keuangan Syariah untuk jangka
waktu tertentu, dan setelah itu lembaga keuangan tersebut
melakukan divestasi atau menjual bagian sahamnya kepada
pemegang saham perusahaan.
C. Peluang Lembaga Keuangan Syariah
Perbankan syari’ah, sesungguhnya memiliki peluang yang besar
untuk terus berkembang. Gubernur BI, Burhanuddin Abdulah
menegaskan, ‘prospek perbankan syari’ah di masa depan, diperkirakan
akan semakin cerah.’ Menarik untuk dicatat, Bank Indonesia telah
merevisi proyeksi pertumbuhan aset dan jaringan kantor bank syari’ah.
Pada tahun 2011 diperkirakan aset bank syari’ah mencapai Rp 171
triliun dengan share bank syari’ah sekitar 9,10 persen dari total bank di
Indonesia dengan jumlah kantor cabang diperkirakan mencapai 817 buah.
Untuk tahun 2005, menurut Ketua DSN, KH. Ma’ruf Amin akan ada tiga
bank asing dan 14 BPD yang membuka layanan syari’ah.
Peluang yang besar dan terbuka lebar bagi perbankan syari’ah di
Indonesia, merupakan sesuatu yang wajar. Setidaknya ada sejumlah
argumentasi untuk menguatkan pendapat ini. Pertama, mayoritas
penduduk Islam. Kuantitas ini, merupakan bangsa pasar yang begitu
potensial. Ketika umat Islam mau memanfaatkan maka bank syari’ah
akan berkembang lebih pesat dan dahsyat. Akan tetapi, bukan berarti
menafikan pelanggan non-muslim, bahkan menjadi tantangan tersendiri
bagi insan perbankan syari’ah untuk meraihnya. Beberapa perbankan
syari’ah luar negeri, sudah banyak memiliki customer non- muslim.
Kedua, fatwa bunga bank. Fatwa ini, dapat menjadi legitimasi bagi
perbankan syariah dalam mensosialisasikan kiprahnya. Umat perlu
disadarkan bahwa ada alternatif pilihan, bahkan solusi untuk menghindari
bunga, berganti sistem bagi hasil (profit sharing) yang lebih berkeadilan.
Walaupun tidak lantas terjebak dengan sentimen emosional keagamaan
tapi tetap mengedepankan rasional profesional dengan tampilnya bank
syariah yang sehat dan terpercaya. Ketiga, menggeliatnya kesadaran
beragama. Hal ini ditandai dengan maraknya acara keagamaan seperti
pengajian dan umroh para eksekutif dan selebritis, diskusi aktual
keislaman di kampus atau masjid, termasuk kuliah subuh di radio dan
televisi. Bahkan ada majelis atau instansi mengadakan acara
keagamaan secara rutin. Tentunya, semua ini memberi andil cukup
besar dalam menggugah kesadaran beragama, termasuk untuk
menerapkan perekonomian Islam. Keempat, menjalarnya penerapan
ekonomi Islam. Saat ini, hadir asuransi syariah (takaful), pegadaian
syari’ah, MLM syariah (ahad net), koperasi syariah, pasar modal dan
obligasi syari’ah termasuk bisnis hotel syariah. Pada gilirannya,
memberi peluang begitu lebar bagi bank syariah untuk melakukan net
working, sehingga akan lebih berkembang dan bisa saling menguntungkan.
Kelima, berkembangnya lembaga keislaman. Kehadiran partai Islam pasca
reformasi, setidaknya berpengaruh terhadap iklim kehidupan nasional.
Terutama ketika politisi muslim tampil sebagai pembuat kebijakan (law
maker). Diharapkan kebijakannya sesuai syariah dan mendukung penuh
pada kemajuan bank syariah. Berdirinya sekolah tinggi ekonomi Islam
atau sejumlah perguruan tinggi yang membuka jurusan ekonomi Islam,
serta maraknya sekolah Islam unggulan merupakan saham berharga
untuk mencetak kader-kader ekonom dan bankir Islam.
D. Tantangan Lembaga Keuangan Syariah
Di samping memanfaatkan peluang, perbankan syari.ah juga dituntut

menghadapi berbagai tantangan, yang semakin kompleks. Seperti yang


telah dipaparkan, usia perbankan syari’ah di Indonesia masih relatif
muda, laksana ‘sosok’ remaja yang masih mencari ‘jati diri’. Tantangan
yang dihadapinya pun tidaklah ringan dan mudah. Kalamuddinsjah,
Regional Manager BMI Jateng/DIY, mengibaratkan membangun
perbankan syari’ah seperti membangun jaringan transportasi kereta api
yang harus dimulai dari membuat rel. Mengapa? Oleh karena menciptakan
satu landasan ekonomi syari’ah, harus dimulai dari nol. Berbeda
dengan bank nasional yang telah mapan serta dukungan penuh dari
pemerintah. Pendapat Kalamuddinsyah ini, cukup berat. Secara umum,
tantangan berat yang harus dipecahkan itu adalah bagaimana
menjadikan industri keuangan syari’ah yang mapan (established), yakni
perbankan syari’ah yang profesional, sehat dan terpercaya. Apabila
diklasifikasikan, berbagai tantangan tersebut ada yang berasal dari
dalam (internal), dan ada yang datang dari luar (eksternal). Tantangan
dari dalam adalah sejumlah tantangan yang harus dipecahkan, berasal

dari ‘ diri ‘ bank syari’ah sendiri. Sejumlah tantangan itu meliputi;5


a. Pengembangan kelembagaan. Sampai saat ini, kelembagaan
perbankan syari’ah belum sepenuhnya mapan. Beberapa hal masih
perlu dibenahi, terutama dalam manajemen, tugas dan wewenang,
peraturan, dan struktur keorganisasian. Hubungan antara bank
konvensional dengan unit syari’ahnya (subsystem) perlu diperjelas, agar
sinergis. Dual banking system yang selama ini dijalankan perlu
disempunakan, terutama karena belum adanya Deputi Gubernur
khusus syari’ah. Bahkan ke depan perlu dipikirkan adanya BCS
(Bank Central Syari’ah).
b. Sosialisasi dan promosi. Di lapangan, cukup banyak masyarakat yang
belum memahami secara utuh ‘sosok’ bank syariah. Meminjam istilah
Adiwarman Karim, setidaknya ada 3 kategori nasabah, yakni loyalis
syariah, loyalis konvensional dan pasar mengambang (floating market).
Potensi pasar mengambang mencapai Rp 720 triliun. Persoalan pada
pasar mengambang adalah ada yang sudah tahu tapi belum paham,
sudah paham tapi belum percaya, sudah percaya tapi belum
sepenuhnya berpartisipasi. Proses sosialisasi perlu dilakukan secara
continue. Promosi yang gencar dan menarik dengan memanfaatkan
berbagai media, baik media bellow the line (event-event, seminar,
brochure, spanduk, umbul-umbul) maupun media memberi
gambaran, betapa tantangan yang above the line (televisi, radio,
koran, majalah). Promosi via televisi nampaknya masih jarang. Padahal
promosi lewat media ini cukup efektif untuk pembentukan branch
image dan branch awareness. Yang perlu digarisbawahi bahwa,
sosialisasi dan promosi itu harus mampu membentuk image dan dapat
mengubah pilihan pasar mengambang pada bank syariah.
c. Perluasan jaringan kantor. Indonesia memiliki wilayah yang amat luas.
Akan tetapi jumlah kantor syariah yang beroperasi hingga ke pelosok
masih kurang. Rizqullah, praktisi BNI Syariah mengakui, ‘ salah satu
kendala pertumbuhan bank syariah adalah masih terbatasnya jaringan.’
Tantangan ini barangkali dapat dipecahkan dengan cara mensupport
pemerintah mendirikan bank syariah, optimalisasi outlet pada setiap bank
konvensional dan bank asing atau menggolkan konversi bank BUMN
besar menjadi bank syariah.
d. Peningkatan SDM. Harus diakui secara jujur, bahwa sumber daya
insani perbankan syariah yang profesional, amanah, dan berkualitas
belum sepenuhnya tersedia. Insan perbankan yang berkualifikasi
syariah handal masih jarang. Nampaknya, sebagian besar SDM
terutama level menengah ke atas masih hasil didikan ekonomi
konvensional. Padahal, yang dibutuhkan bukan hanya menguasai
ekonomi/perbankan modern, tetapi sekaligus paham fiqih (syariah)
serta mampu berinovasi dalam menyelesaikan ‘pernak-pernik’
persoalan bank syariah yang sistemnya masih baru. Training,
workshop, seminar, studi banding, serta berbagai pembinaan lain
untuk meningkatkan kompetensi SDM harus mendapat perhatian
serius.
e. Peningkatan modal. Tantangan ini masih dirasakan oleh bank
syariah di Indonesia. Ungkapan Ma’ruf Amin perlu direnungkan, ‘jika
bank-bank syariah berandai melakukan suatu sindikasi dalam
mendanai proyek besar, masih belum mampu.’ Pernyataan seperti
ini sungguh ironis, tetapi itulah kenyataannya. Para stake holder
(pemegang saham) bank syariah perlu menambah modalnya,
sehingga risk taking capacity-nya meningkat. Besar kecilnya
kemampuan pembiayaan bank- bank syariah, amat tergantung pada
kemampuan modalnya. Perlu juga nampaknya mendesak
pemerintah untuk menempatkan dana besar pada bank syariah.
f. Peningkatan pelayanan. Perbankan syariah perlu terus meningkatkan
kualitas pelayanannya. Prinsip pelayanan yang ramah, mudah, cepat
dan murah harus menjadi trade mark bank syariah. Ramah dalam
melayani, mudah dan cepat dalam proses, serta murah dalam biaya
(administrasi). Begitu pula upaya mempermudah akses informasi dan
pengambilan uang atau tabungan harus ditingkatkan. Pemanfaatan
online internet dan ketersedian fasilitas ATM di berbagai lokasi
strategis dan mudah terjangkau, merupakan keniscayaan. Ketujuh,
pembinaan dan pengawasan. Dalam operasionalnya di lapangan,
bank syariah harus terus dibina dan sekaligus diawasi. Dibina untuk
lebih berkembang, diawasi agar tidak timbul penyimpangan.
Pengawasan pada bank syariah di daerah, termasuk pada bank
konvensional yang membuka syariah perlu dilakukan dengan ketat dan
hati- hati. Jangan muncul kesan formalitas identitas syariah, praktek
dan sistemnya tidak berbeda dengan konvensional.
Sejumlah tantangan di atas, merupakan tantangan dari dalam
(internal). Usaha perbankan merupakan industri yang menjual
kepercayaan. Berbagai tantangan internal itu perlu dipecahkan, sehingga
masyarakat lebih percaya dan mau berpartisipasi aktif. Selanjutnya ada
juga tantangan yang datang dari luar dan tidak kalah penting untuk
diselesaikan.

Kesatu, belum memadainya kerangka hukum. Tantangan ini


bersifat mendesak, karena akan menghambat upaya pengembangan
bank syariah. RUU perbankan syariah yang tengah digodok perlu
diperjuangkan untuk segera diundangkan. Aturan tentang pasar modal
syariah, surat utang negara syariah, obligasi syariah serta aturan lain
sangat penting. Intinya, semua aturan yang akan memberikan ruang
gerak lebih luas bagi pelaku bisnis syariah

Kedua, dukungan pemerintah belum penuh. Pemerintah mendukung


keberadaan perbankan syariah, tetapi dalam tataran kebijakan (political
will) dan keseriusan (good will) belum optimal. Para menteri, gubernur,
bupati belum memberi tempat yang layak. Di BI (bank Indonesia) belum
ada Deputi Gubernur khusus syariah. Selayaknya, Dewan Syariah
Nasional dan bankir syariah melakukan lobi-lobi dan pendekatan
kepada pemerintah, baik pusat maupun daerah, agar dukungan konkret dan
nyata pada perbankan syariah dapat terealisasikan.

Ketiga, sinisme masyarakat. Tidak terelakkan, masih ada masyarakat


yang memandang dengan senyum sinis. Terjadi mis-persepsi, seolah
bank syariah itu eklusif (untuk umat Islam), sistem bagi hasil kurang
menguntungkan dan susah prosesnya. Bank syariah perlu
mempromosikan dirinya secara simpatik dan memikat. Berusaha
mengubah mindset mereka dan yang penting mampu menampilkan
sosok bank syariah yang profesional, berkualitas dan menguntungkan
Tantangan dari luar bukan untuk dihindari, tetapi untuk dihadapi.
Berbagai tantangan diharapkan akan memotivasi setiap insan
perbankan syariah untuk terus belajar dan berkarya.

Anda mungkin juga menyukai