Anda di halaman 1dari 11

DTI

DTI atau Diffusion tensor imaging (DTI) adalah sebuah metode yang dipakai untuk
mengkarakterisasi perubahan-perubahan mikrostruktur atau perbedaan pada neuropatologi dan
pengobatan. DTI adalah salah satu teknik MRI terbaru yang memungkinkan visualisasi saluran
massa putih dan traktografi untuk mengetahui konektivitas. Difusi pada saluran massa putih
disebut difusi anisotropi. Efek difusi anisotropi dapat sepenuhnya diekstraksi, ditandai, dan
dieksploitasi. DTI juga telah digunakan untuk menunjukkan kelainan minimal dalam berbagai
penyakit (termasuk stroke, multiple sclerosis, disleksia, dan skizofrenia) dan saat ini menjadi
bagian dari banyak protokol klinis rutin. [1]

DTI merupakan teknik MRI secara fisika berbasis analisis sifat difusi air. Secara prinsip,
air akan menyebar lebih cepat ke arah sejajar dengan struktur internal, dan lebih lambat ketika
bergerak tegak lurus terhadap arah yang diinginkan. Teknik ini digunakan untuk visualisasi
arsitektur jaringan otak yang strukturnya kompleks. DTI dibuat dengan menangkap gambaran
diffusion weighted dengan menggunakan 6 arah diffusion gradient. Pada penelitian yang
dilakukan oleh Na Zhang didapatkan hasil bahwa semakin besar pemilihan difusion gradient
direction maka semakin besar pula SNR (Signal to Noise Ratio) yang didapatkan tetapi dalam
pemilihan diffusion gradient direction yang besar akan menyebabkan waktu pengerjaan DTI
Brain semakin lama. Salah satu parameter yang memengaruhi waktu adalah Number of Diffusion
Gradient Direction (NDGD). [2]

DAFTAR PUSTAKA

1. Rofiky A, Rahardjo P, Soeharmato D. Studi Komparasi Number of Diffusion Gradient


Direction Pada Diffusion Tensor Imaging Brain Dalam Kasus Tumor Otak. Journal of
Vocational Health Studies. 2017;1(1): 15–7
2. Bihan DL, Mangin JF, Poupon C, et al. Diffusion Tensor Imaging: Concepts and
Applications. Journal of Magnetic Resonance Imaging. 2001;13(4): 534-46
SMRI

Structural Magnetic Resonance Imaging (sMRI) atau yang biasa dikenal sebagai MRI
adalah suatu alat kedokteran di bidang pemeriksaan diagnostik radiologi yang menghasilkan
rekaman gambar potongan penampang tubuh / organ manusia dengan menggunakan medan
magnet berkekuatan antara 0,064 – 1,5 tesla (1 tesla = 1000 Gauss) dan resonansi getaran
terhadap inti atom hydrogen. Beberapa faktor kelebihan yang dimilikinya, terutama
kemampuannya membuat potongan koronal, sagittal, aksial dan oblik tanpa banyak
memanipulasi posisi tubuh pasien sehingga sangat sesuai untuk diagnostik jaringan lunak.
Teknik penggambaran MRI relatif komplek karena gambaran yang dihasilkan tergantung pada
banyak parameter. Bila pemilihan parameter tersebut tepat, kualitas gambar MRI dapat
memberikan gambaran detail tubuh manusia dengan perbedaan yang kontras, sehingga anatomi
dan patologi jaringan tubuh dapat dievaluasi secara teliti. Ada beberapa kelebihan MRI
dibandingkan dengan pemeriksaan CT Scan yaitu: 1
a. MRI lebih unggul untuk mendeteksi beberapa kelainan pada jaringan lunak seperti otak,
sumsum tulang serta muskuloskeletal.
b. Mampu memberi gambaran detail anatomi dengan lebih jelas.
c. Mampu melakukan pemeriksaan fungsional seperti pemeriksaan difusi, perfusi dan
spektroskopi yang tidak dapat dilakukan dengan CT Scan.
d. Mampu membuat gambaran potongan melintang, tegak, dan miring tanpa merubah posisi
pasien.
e. MRI tidak menggunakan radiasi pengion.

Gambaran sederhana dari pencitraan menggunakan MRI adalah kita meletakkan pasien
ke dalam sebuah magnet besar dan kuat, kemudian kita kirimkan gelombang radio pada pasien,
kemudian pasien mengirimkan kembali gelombang radio tersebut ke MRI. MRI menerima sinyal
dan merekonstruksikan citranya. MRI terdiri dari beberapa bagian: 2

a. Sebuah magnet yang memproduksi medan magnet yang kuat dan konstan.
b. Pemancar frekuensi radio dan koil penerima, yang mengeksitasi dan mendeteksi sinyal
MR.
c. Gradien medan magnet, yang melokalisasi sinyal MRI. Medan gradien diproduksi dari
tiga set gradien koil, satu untuk setiap koordinat arah x,y, dan z, di mana arus listrik yang
besar dipakai secara berulang kali dalam kontrol sekuen pulsa.
d. Sebuah sistem komputer untuk pengendali pencitraan dan penyimpanan dokumen.
e. Tempat pasien yang nyaman dan peralatan monitoring.

Prinsip dasar MRI berhubungan denga struktur atom hidrogen dalam tubuh manusia saat
diluar medan magnet mempunyai arah yang acak dan tidak membentuk keseimbangan.
Kemudian saat diletakkan dalam alat MRI (gantry), maka atom H akan sejajar dengan arah
medan magnet. Demikian juga arah spinning dan precessing akan sejajar dengan arah medan
magnet. Saat diberikan frequensi radio, maka atom H akan mengabsorpsi energi dari frequensi
radio tersebut. Akibatnya dengan bertambahnya energi, atom H akan mengalami pembelokan,
sedangkan besarnya pembelokan arah, dipengaruhi oleh besar dan lamanya energi radio
frequensi yang diberikan. Sewaktu radio frequensi dihentikan maka atom H akan sejajar kembali
dengan arah medan magnet. Pada saat kembali inilah, atom H akan memancarkan energi yang
dimilikinya. Kemudian energi yang berupa sinyal tersebut dideteksi dengan detektor yang khusus
dan diperkuat. Selanjutnya komputer akan mengolah dan merekonstruksi citra berdasarkan sinyal
yang diperoleh dari berbagai irisan. 1

DAFTAR PUSTAKA

1. Notosiswoyo M, Suswati S. Pemanfaatan Magnetic Resonance Imaging (MRI) Sebagai


Sarana Diagnosa Pasien. National Institute of Health Research and Development,
Indonesian Ministry of Health; 2004.
2. Sari DP. Studi Apparent Diffusion Coefficient dari Hidgrogel PVA pada MRI dan
Korelasinya dengan Hasil Pengukuran Konsistensi Menggunakan Penetrometer [skripsi].
Surabaya: Institut Teknologi Sepuluh Nopember. 2011

Prinsip Dasar CT Scan

Prinsip fisika pada CT Scan meliputi proses akuisi data, pengolahan data, rekonstruksi
citra, penyimpanan, dan dokumentasi. Tahap pertama pada akuisisi data adalah proses scanning.
Selama scanning tabung sinar-x dan detektor berputar mengelilingi pasien untuk mendapatkan
data atenuasi pasien. Detektor menangkap radiasi yang diteruskan melalui pasien dari beberapa
lokasi dan beberapa sudut. Metode akuisisi data CT Scan ada dua, yaitu: 1

1. Metode konvensional slice by slice atau metode aksial. Prinsipnya, tabung sinar-x dan
detektor bergerak mengelilingi pasien dan mengumpulkan data proyeksi pasien. Saat
pengambilan data proyeksi, posisi meja berhenti. Kemudian meja pasien bergerak ke posisi
kedua dan dilakukan proses scanning berikutnya. Demikian seterusnya.
2. Metode spiral atau helical. Pada metode ini tabung sinar-x bergerak mengilingi pasien yang
juga bergerak. Pada metode ini, berkas sinar-x membentuk pola spiral atau helical. Data
untuk rekonstruksi citra pada setiap slice diperoleh dengan interpolasi. Teknik ini memiliki
kelebihan dalam waktu yang relatif cepat.

DAFTAR PUSTAKA

1. Retroningsih DS, Anam C, Setiabudi W. Studi Uniformitas Dosis Radiasi CT Scan pada
Fantom Kepala yang Terletak pada Sandaran Kepala. Jurnal Sains dan Matematika.
2012;20(2): 41-5

Prinsip Kerja CT Scan

Cara kerja CT scan mirip dengan perangkat radiografi lainnya yaitu keduanya
menggunakan intensitas radiasi terusan setelah melewati suatu obyek untuk membentuk citra
atau gambar. Perbedaan mendasar dari kedua perangkat ini adalah pada teknik yang digunakan
untuk memperoleh citra dan pada citra yang dihasilkan. Konvensional X-ray menampakkan
obyek hanya dari satu sisi saja dan gambar yang dihasilkan seperti sebuah bayangan yang
terekam pada sebuah film. Pada teknik CT, tabung X-ray dan sistim deteksi berputar
mengelilingi obyek yang di-scan.

Sumber radiasi yang berputar mengelilingi obyek akan melepaskan sinar yang kemudian
melewati/ menembus obyek. Detektor yang juga berputar mengelilingi obyek, mengukur
intensitas dari sinar X yang telah melewati obyek. Komputer kemudian menghitung nilai dari
koefisien atenuasi linear obyek (µ) sebagai fungsi dari posisi di dalam penampang lintang obyek.
Dengan cara tersebut, informasi penampang melintang obyek akan diperoleh dari banyak sudut
proyeksi. Dari informasi tersebut, penampang melintang obyek dalam bentuk 3-D kemudian
direkonstruksi.

Obyek yang direkonstruksi terdiri atas 3 dimensi elemen volume (three-dimensional


volume elements) atau disingkat voxels. Informasi citra yang dihasilkan dari CT scan terdiri atas
kumpulan 2 dimensi angka (two-dimensional array of numbers) yang sering disebut sebagai
“Angka CT”. “Angka CT” ini dapat ditampilkan dalam bentuk print out angka di atas kertas,
citra keabuan (greyscale) maupun berwarna. Sebuah citra CT terbentuk dari picture elements
atau disingkat pixels; pada saat ini medical CT scanner (MCT) umumnya mempunyai pixels 512
x 512 dengan ketebalan “irisan” mencapai 0,5 mm. CT scanner yang lebih tinggi resolusinya
atau disebut juga ultra-high-resolution CT scanner (UHCT), ketebalan irisannya mencapai 0,097
mm. Dengan demikian citra yang dihasilkan oleh CT scanner dapat dilihat sebagai peta distribusi
keruangan internal obyek dalam tiga dimensi yang memudahkan dalam menganalisa sebaran
struktur internal obyek.

Sinar X yang melewati suatu obyek akan mengalami atenuasi/perubahan arah


(attenuated). Derajat atenuasi sangat tergandung pada densitas dan nomor atom dari obyek yang
di-scan. Untuk monoenergetic X-rays yang melewati sebuah obyek yang tebalnya d dapat
dijelaskan berdasarkan hukum Beer (Beer’s Law) dengan rumus sebagai berikut:

𝐼=𝐼𝑜 𝑒−(𝜇𝐸𝑑)

Dimana I adalah intensitas radiasi yang telah mengalami atenuasi, Io adalah intensitas radiasi
awal, µ adalah koefisien atenuasi linier (linear attenuation coefficient) sebagai fungsi dari BD
obyek, nomor atom dan energi radiasi (E) dan d adalah tebal obyek (Denison et al. 1997). Dari
persamaan tersebut dapat dilihat bahwa makin besar d atau µ, maka akan menghasilkan nilai I
yang makin kecil atau telah terjadi atenuasi yang semakin besar. Persamaan tersebut berlaku
untuk obyek yang homogen dengan densitas yang seragam. Untuk obyek yang heterogen seperti
tubuh manusia atau contoh tanah, Persamaan tersebut perlu di integralkan sehingga menjadi
sebagai berikut:

𝐼=𝐼𝑜 𝑒[−∫𝜇(𝑥)𝑑𝑥]
Dimana µ(x) adalah koefisien linier atenuasi sebagai fungsi dari jarak, x, dari sumber sinar X
yang nilainya antara 0 sampai dengan D, tebal dari obyek yang discan. Meskipun secara teori
persamaan kedua benar, namun belum dapat diketahui distribusi koefisien atenuasi di dalam
obyek karena hanya satu sinar yang diatenuasi dan dimonitor. Dengan menggunakan CT-scan,
koefisien atenuasi pada berbagai titik di dalam obyek yang di scan dapat diketahui karena adanya
sejumlah sinar yang dipancarkan dan menembus obyek yang datang dari berbagai sudut (0-
360°). Dengan demikian, Persamaan kedua menjadi:

𝐼𝑖𝑗=𝐼𝑜 𝑒[−∫𝜇(𝑥,𝑦)𝑑𝑠]

Dimana i adalah posisi detektor di detector array, j adalah posisi dari pusat detector array, dan s
adalah jarak dari sumber radiasi yang nilainya bervariasi dari 0 sampai S. Aplikasi komputer
merekonstruksi data yang terekam di fan beam menjadi beberapa profil yang kemudian pada
masing-masing profil dilakukan backprojection menjadi sebuah image. Gabungan dari
backprojection dari semua profil pada masing-masing poin kemudian ditampilkan dalam bentuk
gambar CT. Dengan demikian, gambar CT yang diperoleh pada dasarnya adalah sebuah” peta”
tentang koefisien linier atenuasi, µ(x,y).

DAFTAR PUSTAKA

Rachman A. Aplikasi Teknik Computed Tomography (CT) Scan dalam Penelitian Porositas
Tanah dan Perkembangan Akar. Jurnal Sumberdaya Lahan. 2015;9(2): 85-96

Etiologi Lesi Desak Ruang

Penyebab dari terbentuknya Space Occupying Lesion (SOL) dapat berupa:

1. Malignansi
 Meliputi metastase, glioma, meningioma, adenoma pituitary, dan neuroma akustik
merupakan 95% dari seluruh tumor.
 Pada dewasa 2/3 dari tumor primer terletak supratentorial, tetapi pada anak-anak
2/3 tumor terletak infratentorial.
 Tumor primer umumnya tidak melakukan metastasis dan sekitar 30% tumor
otak merupakan tumor metastasis dan 50% diantaranya adalah tumor multipel.
2. Hematoma, yang dapat disebabkan trauma.
3. Abses serebral.
4. Amubiasis serebral dan cystiserkosis.
5. Limfoma yang sering terjadi akibat infeksi HIV.
6. Granuloma dan tuberkuloma.

DAFTAR PUSTAKA

Sualman K. Space-Occupying Lesions. 2010. Pekanbaru: Universitas Riau

Tata Laksana Lesi Desak Ruang

Lesi desak ruang (space occupying lesion/SOL) merupakan lesi yang meluas atau
menempati ruang dalam otak. Space occupying lesion dapat berupa tumor, hematoma, dan abses.
Penatalaksanaan SOL tergantung pada penyebab lesi. Untuk tumor primer, jika memungkinkan
dilakukan eksisi sempurna, namun umumnya sulit dilakukan sehingga pilihan pada radioterapi
dan kemoterapi, namun jika tumor metastase pengobatan paliatif yang dianjurkan. Selain itu,
tatalaksana terapi pada pasien juga bisa dilakukan dengan menanggulangi peningkatan TIK
(Tekanan Intrakranial). Akan tetapi, terapi tersebut hanya bersifat sementara sebelum dilakukan
terapi definitif Hematom membutuhkan evakuasi dan lesi infeksi membutuhkan evakuasi serta
terapi antibiotik.1 Pengobatan abses otak dibagi dalam tindakan konservatif dan operatif.
Pengobatan konservatif bila keadaan umum buruk dan beresiko tinggi bila dilakukan operasi,
abses multipel dan letak abses berjauhan satu sama lainnya, letak abses dibagian dalam atau
abses bersama dengan meningitis. 2

DAFTAR PUSTAKA

1. Simamora FK, Zanariah Z. Space Occupying Lesion (SOL). Jurnal Medula Unila.
2017;7(1): 68
2. Ghanie A. Abses Otak Otogenik di RS Moh. Hoesin Palembang.

Fisiologi Sistem Saraf yang Terganggu – Penurunan Kesadaran

Kesadaran ditentukan oleh kondisi pusat kesadaran yang berada di kedua hemisfer
serebri dan Ascending Reticular Activating System(ARAS). Jika terjadi kelainan pada kedua
sistem ini, baik yang melibatkan sistem anatomi maupun fungsional akan mengakibatkan
terjadinya penurunan kesadaran dengan berbagai tingkatan. Ascending Reticular Activating
System merupakan suatu rangkaian atau network systemyang dari kaudal berasal dari medulla
spinalis menuju rostral yaitu diensefalon melalui brain stemsehingga kelainan yang mengenai
lintasan ARAS tersebut berada diantara medulla, pons, mesencephalon menuju ke
subthalamus, hipothalamus, thalamus dan akan menimbulkan penurunan derajat kesadaran.
Neurotransmiter yang berperan pada ARAS antara lain neurotransmiter kolinergik,
monoaminergik dan gamma aminobutyric acid (GABA).

Kesadaran ditentukan oleh interaksi kontinu antara fungsi korteks serebri termasuk
ingatan, berbahasa dan kepintaran (kualitas), dengan ascending reticular activating system
(ARAS) (kuantitas) yang terletak mulai dari pertengahan bagian atas pons. ARAS menerima
serabut-serabut saraf kolateral dari jaras-jaras sensoris dan melalui thalamic relay nuclei
dipancarkan secara difus ke kedua korteks serebri. ARAS bertindak sebagai suatu off-on
switch, untuk menjaga korteks serebri tetap sadar (awake).

Respon gangguan kesadaran pada kelainan di ARAS ini merupakan kelainan yang
berpengaruh kepada sistem arousal yaitu respon primitif yang merupakan manifestasi
rangkaian inti-inti di batang otak dan serabut-serabut saraf pada susunan saraf. Korteks serebri
merupakan bagian yang terbesar dari susunan saraf pusat di mana kedua korteks ini berperan
dalam kesadaran akan diri terhadap lingkungan atau input-input rangsangan sensoris, hal ini
disebut juga sebagai awareness.
Penurunan kesadaran disebabkan oleh gangguan pada korteks secara menyeluruh
misalnya pada gangguan metabolik, dan dapat pula disebabkan oleh gangguan ARAS di
batang otak, terhadap formasio retikularis di thalamus, hipotalamus maupun mesensefalon.
Pada penurunan kesadaran, gangguan terbagi menjadi dua, yakni gangguan derajat
(kuantitas, arousal, wakefulness) kesadaran dan gangguan isi (kualitas, awareness, alertness)
kesadaran. Adanya lesi yang dapat mengganggu interaksi ARAS dengan korteks serebri,
apakah lesi supratentorial, subtentorial dan metabolik akan mengakibatkan menurunnya
kesadaran.

DAFTAR PUSTAKA

Harsono. 2005. Koma dalam Buku Ajar Neurologi. Gajah Mada University Press. Yogyakarta.

Patofisiologi Tumor Otak

Tumor otak primer dianggap berasal dari sel atau koloni stem sel tunggal dengan DNA
abnormal. DNA abnormal menyebabkan pembelahan mitosis sel yang tidak terkontrol. Sistem
imun tidak mampu membatasi dan menghentikan aberrant, pertumbuhan sel baru. Pada saat
tumor meluas, kompresi dan infiltrsi menyebabkan kematian jaringan otak. Tumor otak tidak
hanya menyebabkan lesi pada otak, tetapi juga menyebabkan edema otak. Tengkorak bersifat
rigid dan hanya memiliki sedikit tempat untuk ekspansi isinya. Jika perawatan tidak berhasil,
tumor otak akan menyebabkan peningkatan tekanan intra kranial secara progresif yang akan
menyebabkan displacement struktur stem otak (herniasi). Tekanan pada stem otak menyebabkan
kerusakan pusat vital signs yang mengontrol tekanan darah, nadi, dan respirasi kritis yang akan
memicu kematian.

Glioma merupakan tipe tumor yang paling banyak, menginfiltrasi beberapa bagian otak.
Glikoma malignan neoplasma otak yang paling banyak terjadi, kurang lebih 45% dari seluruh
tumor otak. Glioma dibagi dalam beberapa derajad I hingga IV, yang mengindikasikan derajad
malignansi. Derajad tergantung pada densisitas seluler, mitosis sel, dan penampakan. Biasanya
tumor menyebar dengan menginfiltrasi sekitar jaringan saraf sehingga sulit diangkat secara total
tanpa menimbulkan kerusakan pada struktur vital. Astrositomas merupakan tipe glikoma yang
paling banyak.
Cedera Kepala yang Diakibatkan Lesi Desak Ruang

Lesi desak ruang (Space Occupying Lesion/SOL) merupakan lesi yang meluas atau
menempati ruang dalam otak. Space Occupying Lesion dapat berupa tumor, hematoma, dan
abses. Adanya SOL dapat menyebabkan terjadinya peningkatan Tekanan Intrakranial (TIK).
Volume intrakranial adalah tetap karena sifat dasar dari tulang tengkorak yang tidak elastik.
Volume intrakranial adalah sama dengan jumlah total volume komponen-komponenya, yaitu
volume jaringan otak, volume cairan serebrospinal, dan volume darah. Hal tersebut yang dikenal
dengan Hukum Monroe-Kellie. Peningkatan TIK juga dapat disebabkan oleh adanya SOL yang
mengkompresi vena sehingga menimbulkan gangguan sirkulasi darah otak. Kongesti venosa
menimbulkan peningkatan produksi dan penurunan absorpsi LCS dan meningkatkan volume dan
terjadi kembali hal-hal seperti di atas. Suatu lesi yang meluas pertama kali diakomodasi dengan
cara mengeluarkan LCS dari rongga kranium. Sumbatan aliran LCS atau penekanan oleh SOL
pada vena-vena besar, menyebabkan terjadinya peningkatan TIK dengan cepat. Adanya trias
nyeri kepala, edema papil, dan muntah secara umum dianggap sebagai karakteristik peninggian
TIK. Nyeri kepala hebat bisa terjadi kemungkinan akibat peregangan durameter dan muntah-
muntah akibat tekanan pada batang otak merupakan keluhan yang umum. Suatu pungsi lumbal
tidak boleh dilakukan pada pasien yang diduga tumor intrakranial. Pengeluaran LCS akan
mengarah pada timbulnya pergeseran mendadak hemisfer serebri ke dalam fossa cranii posterior
atau herniasi medulla oblongata dan serebellum melalui foramen magnum.

DAFTAR PUSTAKA

Amanda C. Supratentorial Space Occupying Lesion et Causa Idiopathic and Hydrocephalus.


Jurnal Agromed Unila. 2014;1(2): 161-65

Definis Cerebral Edema

Edema serebral secara komprehensif didefinisikan sebagai peningkatan patologis pada jumlah air
otak keseluruhan yang mengarah ke peningkatan volume otak. Edema di otak dapat
diklasifikasikan secara topografi menjadi fokal atau global. Edema fokal menghasilkan gradien
tekanan dengan daerah yang berdekatan dan dapat mengakibatkan pergeseran jaringan dan
herniasi. Edema fokal dapat ditemukan di sekitar tumor, hematoma, dan infark. Edema global
mempengaruhi seluruh otak dan ketika kritis dapat menyebabkan hipertensi intrakranial,
kompromi perfusi, dan menyebabkan iskemia Edema serebral adalah peningkatan akumulasi
cairan otak intraselular dan atau ekstraselular. Keadaan ini ditandai dengan pembengkakan
jaringan otak sesuai dengan peningkatan progresif kadar cairan otak yang dapat terjadi karena
iskemia, trauma, tumor, dan inflamasi. Terbatasnya rongga kranium dan pembengkakan
progresif jaringan otak mengakibatkan peningkatan tekanan intrakranial (TIK), penurunan aliran
darah ke otak, herniasi serebri, dan bahkan kematian.

DAFTAR PUSTAKA

Husna U, Dalhar M. Pathophysiology and Management of Cerebral Edema. Malang Neurology


Journal. 2017;3(2): 94-107.

Hipotesis Monro-Kellie (di Tekanan Intrakranial)

Volume intrakranial selalu konstan. Bila volume bertambah, misalnya karena ada hematom,
maka untuk mengurangi volume, cairan serebrospinal dan darah akan berkurang, dengan keluar
dari ruangan intrakranial sehingga tekanan intrakranial akan tetap normal. Bila batas kompensasi
dilewati, tekanan intrakranial akan meningkat.

Anda mungkin juga menyukai