Anda di halaman 1dari 5

Kerajaan dinasti warmadewa di bali dan buleleng

1.      Kehidupan Politik
Dinasti Warmadewa didirikan oleh Sri Kesari Warmadewa. Berdasarkan prasasti
Belanjong, Sri Kesari Warmadewa merupakan keturunan bangsawan Sriwijaya yang gagal
menaklukkan Kerajaan Tarumanegara di Jawa Barat. Kegagalan tersebut menyebabkan Sri
Kesari Warmadewa memilih pergi ke Bali dan mendirikan sebuah pemerintahan baru di
wilayah Buleleng.
Pada tahun 989-1011 Kerajaan Buleleng diperintah oleh Udayana Warmadewa.
Udayana memiliki tiga putra, yaitu Airlangga, Marakatapangkaja, dan Anak Wungsu. Kelak,
Airlangga akan menjadi raja terbesar Kerajaan Medang Kamulan di Jawa Timur. Menurut
prasasti yang terdapat di pura batu Madeg, Raja Udayana menjalin hubungan erat dengan
Dinasti Isyana di Jawa Timur. Hubungan ini dilakukan karena permaisuri Udayana bernama
Gunapriya Dharmapatni merupakan keturunan Mpu Sindok. Kedudukan Raja Udayana
digantikan putranya, yaitu Marakatapangkaja.
Rakyat Buleleng menganggap Marakatapangkaja sebagai sumber kebeneran hukum
karena ia selalu melindungi rakyatanya. Marakatapangkaja membangun beberapa tempat
peribadatan untuk rakyat. Salah satu peninggalan Marakatapangkaja adalah kompleks candi
di Gunung Kawi (Tampaksiring). Pemerintahan Marakatapangkaja digantikan oleh adiknya,
Anak Wungsu. Anak Wungsu merupakan raja terbesar dari Dinasti Warmadewa. Anak
Wungsu berhasil menjaga kestabilan kerajaan dengan menanggulangi berbagai gangguan,
baik dari dalam maupun luar kerajaan.
Dalam menjalankan pemerinahan, Raja Buleleng dibantu oleh badan penasihat pusat
yang disebut pakirankiran i jro makabehan. Badan ini terdiri atas senapati dan pendeta Siwa
serta Buddha. Badan ini berkewajiban memberi tafsiran dan nasihat kepada raja atas berbagai
permasalahan yang muncul dalam masyarakat. Senapati bertugas di bidang kehakiman dan
pemerintahan, sedangkan pendeta mengurusi masalah sosial dan agama.
2.      Kehidupan Sosial Budaya
Para ahli memperkirakan keadaan masyarakat Buleleng pada masa Dinasti Warmadewa
tidak begitu jauh berbeda dengan masyarakat pada saat ini. Pada masa pemerintahan
Udayana, masyarakat hidup berkelompok dalam suatu daerah yang disebut wanua. Sebagaian
besar penduduk yang tinggal di wanua bermata pencaharian sebagai petani. Sebyah wanua
dipimpin seorang tetua yang dianggap pandai dan mampu mengayomi masyarakat.
Pada masa pemrintahan Anak Wungsu, masyarakat Buleleng dibagi menjadi dua
kelompok besar, yaitu golongan caturwarna dan golongan luar kasta (jaba). Pembagian ini
didasarkan pada kepercayaan Hindu yang dianut masyarakat Bali. Raja Anak Wungsu juga
mengenalkan sistem penamaan bagi anak pertama, kedua, ketiga, dan keempat dengan nama
pengenal sebagai berikut.
1)        Anak pertama dinamakan wayan. Kata wayan berasal dari wayahan yang berarti tua.

2)        Anak kedua dinamakan made. Kata made berasal dari madya yang berarti tengah.

3)        Anak ketiga dinamakan nyoman. Kata nyoman berasal dari nom yang berarti muda.

4)        Anak keempat dinamakan ketut. Kata ketut berasal dari tut yang berarti belakang.

Selama pemerintahan Anak Wungsu, peraturan dan hukum ditegakkan dengan adil.
Masyarakat diberi kebebasan berbicara. Jika masyarakat ingin menyampaikan pendapat,
mereka didampingi pejabat desa untuk menghadap langsung kepada raja. Kebebasan tersebut
membuktikan Raja Anak Wungsu sangat memperhatikan nasib rakyat yang dipimpinnya.
Jiwa seperti inilah yang saharusnya dilakukan pemimpin pada saat itu. Jika Anda menjadi
seorang pemimpin, Anda harus mendegar dan merespons segala keluhan rakyat.
Masyarakat Buleleng sudah mengembangkan berbagai kegiatan kesenian. Kesenian
berkembang pesat pada masa pemerintahan Raja Udayana. Pada masa ini kesenian dibedakan
menjadi dua, yaitu seni keraton dan seni rakyat. Dalam seni keraton dikenal penyanyi istana
yang disebut pagending sang ratu. Selain penyanyi dikenal pula kesenian patapukan
(topeng), pamukul (gamelan), banwal (gadelan), dan pinus (lawak).
3.      Kehidupan Ekonomi
Kegiatan ekonomi masyarakat Buleleng bertumpu pada sektor pertanian. Keterangan
kehidupan ekonomi masyarakat Buleleng dapat dipelajari dari prasasti Bulian. Dalam prasasti
Bulian terdapat beberapa istilah yang berhubungan dengan sisitem bercocok tanam seperti
sawah, parlak (sawah kering), gaga (ladang), kebwan (kebun), mmal (ladang di pegunungan),
dan kasuwakan (pengairan sawah). Pada masa pemerintahan Marakatapangkaja kegiatan
pertanian berkembang pesat. Perkembangan tersebut erat kaitannya dengan penemuan urut –
urutan menanam padi, yaitu mbabaki (pembukaan tanah), mluku (membajak), tanem
(menanam padi), matun (menyiangi), ani-ani (menuai padi), dan nutu (menumbuk padi). Dari
keterangan tersebut sangat jelas bahwa pada masa pemerintahan Marakatapangkaja
penggarapan tanah sudah maju dan tidak jauh berbeda dengan pengolahan tanah pada masa
ini.
Perdagangan antarpulau di Buleleng sudah cukup maju. Kemajuan ini ditandai dengan
banyaknya saudagar yang bersandar dan melakukan kegiatan perdagangan dengan penduduk
Buleleng. Komoditas dagang yang terkenal dari Buleleng aalah kuda. Dalam prasasti
Lutungan disebutkan bahwa Raja Anak Wungsu melakukan transaksi perdagangan tiga puluh
ekor kuda dengan saudagar dari Pulau Lombok. Keterangan tersebut membuktikan bahwa
perdagangan pada saai itu sudah maju sebab kuda merupakan binatang besar sehingga
memerlukan kapal besar pula untuk mengangkutnya.
Kerajaan tulang bawang

a.       Kehidupan Politik

Kerajaan Tulang Bawang berdiri sekitar abad ke 4 masehi  dengan rajanya  pertama
yang bernama Mulonou. Diperkirakan, raja ini asal-usulnya berasal dari daratan Cina. Dari
namanya, Mulonou Jadi berarti Asal Jadi. Mulonou= Asal/Mulanya dan Jadi= Jadi. Raja
Mulonou Jadi pada masa kemudiannya oleh masyarakat juga di kenal dengan nama Mulonou
Aji dan Mulonou Haji.
Prasasti Kedukan Bukit yang ditemukan di Palembang menyebut, saat itu Kerajaan
Sriwijaya telah berkuasa dan ekspedisinya menaklukkan daerah-daerah lain, terutama dua
pulau yang berada di bagian barat Indonesia. Sejak saat itu, nama dan kebesaran Kerajaan
Tulang Bawang yang sempat berjaya akhirnya lambat laun meredup seiring berkembangnya
kerajaan maritim tersebut.
Semasanya, daerah ini telah terbentuk suatu pemerintahan demokratis yang di kenal
dengan sebutan marga. Marga dalam bahasa Lampung di sebut mego/megou dan mego-lo
bermakna marga yang utama. Di mana pada waktu masuknya pengaruh Devide Et Impera,
penyimbang marga yang harus ditaati pertama kalinya di sebut dengan Selapon. Sela berarti
duduk bersila atau bertahta. Sedangkan pon/pun adalah orang yang dimulyakan.

b.      Kehidupan Sosial

Kebudayaan Tulang Bawang adalah tradisi dan kebudayaan lanjutan dari peradaban
Skala Brak. Karena dari empat marganya, yaitu Buai Bulan, Buai Tegamoan, Buai Umpu dan
Buai Aji, di mana salah satu buai tertuanya adalah Buai Bulan, yang jelas bagian dari
Kepaksian Skala Brak Cenggiring dan merupakan keturunan dari Putri Si Buai Bulan yang
melakukan migrasi ke daerah Tulang Bawang bersama dua marga lainnya, yakni Buai Umpu
dan Buai Aji.
Dengan demikian, adat budaya suku Lampung Tulang Bawang dapat dikatakan
lanjutan dari tradisi peradaban Skala Brak yang berasimilasi dengan tradisi dan kebudayaan
lokal, yang dimungkinkan sekali telah ada di masa sebelumnya atau sebelum mendapatkan
pengaruh dari Kepaksian Skala Brak.

c.       Kehidupan Ekonomi

Ketika ditemukan oleh I-Tsing pada abad ke-4, kehidupan masyarakat Tulang
Bawang masih tradisional. Meski demikian, mereka sudah pandai membuat kerajinan tangan
dari logam besi dan membuat gula aren. Dalam perkembangan selanjutnya, kehidupan
masyarakat Tulang Bawang juga masih ditandai dengan kegiatan ekonomi yang terus
bergeliat. Pada abad ke-15, daerah Tulang Bawang dikenal sebagai salah satu pusat
perdagangan di Nusantara. Pada saat itu, komoditi lada hitam merupakan produk pertanian
yang sangat diunggulkan.

Kerajaan kota kapur

a.       Kehidupan Politik
Di situs Kota Kapur selain telah ditemukan sebuah inskripsi batu dari Kerajaan
Sriwijaya yang berangka tahun 608 Saka (686 Masehi), telah ditemukan peninggalan-
peninggalan yang lain di antaranya sebuah arca Wisnu dan sebuah arca Durga
Mahisasuramardhini. Dari peninggalan arkeologi tersebut terlihat kekuasaan di Pulau Bangka
pada waktu itu bercorak Hindu-Waisnawa, seperti di Kerajaan Tarumanegara. Temuan lain
yang penting dari situs Kota Kapur ini adalah peninggalan berupa benteng pertahanan yang
kokoh berbentuk dua buah tanggul sejajar terbuat dari timbunan tanah.Tanggul ini
menunjukkan angka tahun 530 M sampai 870 M. Benteng pertahanan tersebut dibangun
sekitar pertengahan abad ke-6. Penguasaan Pulau Bangka oleh Sriwijaya ditandai dengan
inskripsi Sriwijaya di Kota Kapur yang berangka tahun 608 Saka (686 Masehi), isinya
tentang dikuasainya wilayah ini oleh Sriwijaya. Sejak dikuasainya Pulau Bangka oleh
Sriwijaya pada tahun 686 maka berakhirlah kekuasaan awal yang ada di Pulau Bangka.
Sumber sejarah yang masih dilakukan proses rekonstruksi oleh para arkeolog di situs Kota Kapur
sampai saat ini masih belum mendapatkan data mengenai raja – raja yang pernah berkuasa di
Kerajaan Kota Kapur.
Pusat kehidupan masyarakat di Kerajaan Kota Kapur berada di wilayah yang dilindungi
benteng tanah yang berbentuk memanjang.

Karena daerah kekuasaan Kerajaan Kota Kapur yang potensial untuk mendukung kekuatan
perdagangan maritim Kerajaan Sriwijaya, maka daerah ini kemudian terkena imbas dari
politik ekspansi.

b.      Kehidupan Sosial

Aspek kehidupan sosial di kotakapur sampai makalah ini dibuat masih diteliti dan
dikaji, sehingga belum ada infotmasi mengenai kehidupan sosial masyarakat Kerajaan
Kotakapur.
Masyarakat Kerajaan Kota Kapur melakukan hubungan sosial dengan dunia luar Bangka.

Berdasarkan temuan arkeolog, kontak tersebut utamanya dilakukan dengan para pedagang
yang berasal dari India Selatan dan Kamboja.

Hubungan dagang ini kemudian mempengaruhi kebudayaan yang timbul di Kerajaan Kota
Kapur.

Beberapa diantaranya tertuang dalam bentuk arca dewa Wisnu dengan langgam pre Angkor
dan tembikar yang memiliki tipe  Oc-Eo sebagai bentuk akulturasi budaya dari Kamboja.

Sedangkan tembikar Arikmedu, manik – manik dari batu karnelian dan agama yang dianut
oleh masyarakat Kerajaan Kota Kapur adalah bagian dari pengaruh budaya India Selatan.

c.       Kehidupan Ekonomi
Penguasaan Pulau Bangka oleh Sriwijaya berkaitan dengan peranan selat bangsa
sebagai pintu gerbang dari pelayaran niaga Asia Tenggara pada waktu itu.
Kegiatan ekonomi masyarakat Kerajaan Kota Kapur mengacu pada letak geografisnya yang
berada di pesisir laut.

Perdagangan maritim adalah salah satu pusat kegiatan ekonomi yang paling masuk akal
dilakukan oleh masyarakat.

Dilihat dari geografisnya, Kerajaan Kota Kapur disebut pernah mengalami masa kejayaan.

Berdasarkan berita Cina yang dilaporkan oleh Fei Hsin pada tahun 1436 M, diketahui bahwa
Pulau Bangka secara umum adalah tanah yang sangat subur bahkan disebutkan bahwa
mampu menghasilkan produksi yang lebih banyak dari daerah lain.

Hasil produksi tersebut berupa garam dan arak yang diolah dari getah aren.

Di samping itu, hasil bumi lain dari pulau ini adalah lada.

Merunut ke sumber lain, didapatkan bahwa kemungkinan timah juga menjadi komoditi yang
diperdagangkan sejak zaman Kerajaan Kota Kapur.

Hal ini didukung dengan penyebutan kata Wangka untuk pulau Bangka yang dalam bahasa
Sansekerta memiliki arti timah.

Istilah Wangka sudah muncul di buku sastra di India dengan judul Milindrapantha pada abad
1 SM, bersisian dengan istilah Swarnabhumi yang merujuk pada pulau Sumatera.

Sementara itu, barang-barang yang ‘dibeli’ oleh masyarakat Kerajaan Kota Kapur antara lain
tekstil berupa kain sutra, besi tuangan, pot yang terbuat dari bahan tembaga, dan juga barang
pecah belah dari logam lainnya yang diperdagangkan oleh pedangan dari negara lain yang
singgah di pulau Bangka.

Anda mungkin juga menyukai