Bab I Intan
Bab I Intan
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
dunia ini. Di dalamnya memuat dasar-dasar ajaran agama Islam. Selain itu, al-Qur’an
juga berfungsi sebagai petunjuk (hudan) bagi manusia guna mencapai kebahagiaan baik
di dunia dan di akhirat. Hukum-hukumnya tidak lekang oleh waktu, shalih li kulli
zaman wa makan, cocok untuk semua zaman dan semua tempat. Persoalan umat terus
berubah sedangkan ayat al-Qur’an sudah berhenti turun sejak 14 abad yang lalu. Hal ini
karena ayat al-Qur’an sudah sempurna dalam membuat peraturan (syari’at) untuk umat
digolongkan menjadi tiga bagian yakni akhlak, syari’ah dan akidah. Ajaran akhlak
aturan-aturan yang harus dilakukan oleh seorang muslim dan akidah adalah berkaitan
dengan keyakinan terhadap hal-hal ghaib. Oleh sebab itu, semua permalasalahan umat
dapat dicari landasan hukumnya dalam al-Qur’an maupun hadis Nabi Muhammad saw.1
Dalam hal ini, faktor-faktor yang melatar belakangi Saat ini ialah permasalahan
yang ramai diperbincangkan adalah masalah childfree, yakni suatu pandangan untuk
tidak memiliki anak. Dalam pandangan memiliki anak ini ada dua golongan ektrim,
yakni golongan yang mendukung banyak anak sampai berapapun. Golongan ini
memperbanyak anak. Sedangkan kelompok kedua adalah kelompok yang tidak ingin
1
http://digilib.iain-jember.ac.id/3098/1/Artikel%20Disper.docx (Diakses pada tanggal 05 februari
2022 pada pukul 23:12)
1
2
mempunyai anak sama sekali. Untuk golongan kedua ini ada beberapa alasan yang
dikemukan, baik dari segi internal maupun eksternal orang tua tersebut.
Berkaitan dengan childfree serta over populasi yang memiliki korelasi ini
setidaknya terdapat dua dimensi permasalahan yang harus terjawab pada pembahasan
hukum. Pertama berdasarkan subjek suami-istri yang memilih untuk childfree maka
terdapat rasionalisasi berupa hak privat yang tidak bisa sembarang disentuh oleh orang
lain, kedua adalah berdasarkan subjek negara yang terwakili oleh pemerintah dalam
agenda kebijakan publik untuk mengontrol kesejahteraan rakyat dalam hal kepadatan
penduduk.
Dalam dimensi yang pertama, suami atau istri yang menyatakan kehendak untuk
melakukan childfree pada dasarnya menyatakan pikiran serta sikapnya yang pada
dasarnya merupakan pilihan privat dalam hal keluarga. Terkait dengan ini, dalam UUD
NKRI 1945 telah menjamin kebebasan seseorang untuk menyatakan pikiran dan sikap
sesuai dengan hati nuraninya sebagaimana tercantum dalam Pasal 28 E ayat 2: “Setiap
orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran, dan sikap
sesuai dengan hati nuraninya.” Pada sisi lain suami-istri yang berangkat dari kontrak
perkawinan tidak memiliki kewajiban untuk mempunyai anak. Hal ini bisa kita
simpulkan dari makna perkawinan dalam UU No. 1 tahun 1974 berupa: “Ikatan lahir
dan bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami dan isteri dengan
tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan
2https://advokatkonstitusi.com/childfree-over-populasi-dalam-dimensi-hak-dan-kebijakan-publik
(Diakses tanggal 6 Februari 2022 pukul 23:00)
3
Dengan demikian yang menjadi kewajiban dari suami dan isteri dalam ikatan
perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal, dan dengan
pemaknaan yang lebih sempit bukan untuk memiliki seorang anak. Berbeda halnya
apabila suami dan isteri mempunyai anak, maka dalam hal hubungan keluarga mereka
dalam Pasal 45 ayat 1 UU No. 1 tahun 1974. Hal ini lah yang menjadi rasionalisasi
dalam hal yuridis terkait pilihan untuk tidak memiliki anak bagi pasangan suami istri.
Dan sebenarnya pilihan childfree ini sudah lumrah dilakukan oleh banyak orang.
dan pilihan childfree tersebut bisa jadi karna terpaksa atau kemauan dirinya. Terpaksa
dalam hal memilih childfree karna faktor penyakit yang ada pada tubuhnya yang mana
jika memilih untuk mempunyai anak maka, akan membahayakan sang ibu maupun
anaknya kelak dan bisa jadi karena memang tidak dikaruniai anak sebab kemandulan.
Sedangkan pilihan childfree kemauan dirinya ini yang perlu diteliti lebih dalam alasan
apa yang mendasari memilih untuk childfree ini. Apakah ada alasan yang dapat diterima
atau bahkan alasan yang dibuat-buat atau bahkan lari dari masalah keruwetan dalam
mengasuh anak. Namun perlu kita ingat bahwa pilihan ini terserah kepada masing-
masing individu karna secara agama tidak ada punishment untuk seseorang yang
memilih childfree ini, yang ada hanyalah reward bagi seseorang yang memilih untuk
B. Penegasan Istilah
1. Pengertian faktor
Menurut kamus besar bahasa Indonesia (KBBI) Faktor adalah hal (keadaan,
mempengaruhi timbulnya minat terhadap sesuatu, dimana secara garis besar dapat
4
dikelompokkan menjadi dua yaitu yang bersumber dari individu yang bersangkutan
dan berasal dari luar yang mencakup lingkungan keluarga, lingkungan sekolah dan
lingkungan masyarakat.
2. Penyebab
Penyebab berasal dari kata dasar sebab. Penyebab memiliki arti dalam kelas
nominal atau kata benda sehingga penyebab dapat menyatakan nama dari
seseorang, tempat, atau semua benda dan segala yang dibedakan. Dan dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), arti kata penyebab adalah yang
menyebabkan.
3. Childfree
Childfree adalah sebuah keputusan atau pilihan hidup untuk tidak memiliki
anak, baik itu anak kandung, anak tiri, ataupun anak angkat. Dan dalam kamus
besar bahasa Indonesia (KBBI) Egois memiliki arti mementingkan dirinya sendiri,
mengacu pada makna tersebut dan bila dikaitkan dengan childfree dapat
4. Rumah Tangga
Rumah tangga terdiri dari satu atau lebih orang yang tinggal bersama-sama
disebuah tempat tinggal dan juga berbagi makanan atau akomodasi hidup dan bisa
terdiri dari satu keluarga atau sekelompok orang.3 Sebuah tempat tinggal
3
https://id.m.wikipedia.org/wiki/Rumah_tangga Haviland, W.A. (2003). Anthropology. Wadsworth:
Belmont, CA. (Diakses tanggal 6 Februari 2022 pukul 15:12)
5
manusia sebagai makhluk sosial yang memiliki peran dan fungsi.4 Rumah tangga
adalah dasar bagi unit analisis dalam banyak model sosial, mikro ekonomi,
Dalam arti luas, rumah tangga tidak hanya terbatas pada keluarga, bisa berupa
rumah tangga perusahaan, rumah tangga negara, dan lain sebagainya. Istilah
rumah tangga bisa juga didefinisikan sebagai sesuatu yang berkenaan dengan
5. Hukum Islam
Hukum islam adalah sistem kaidah-kaidah yang didasarkan pada wahyu Allah
SWT dan sunnah Rosul mengenai tingkah laku mukalaf (orang yang sudah dapat
dibebani kewajiban) yang diakui dan diyakini, yang mengikat bagi semua
Allah SWT untuk umatnya yang dibawa oleh seorang nabi, baik yang berhubungan
Dan menurut bahasa berarti jalan yang dilalui umat manusia untuk menuju
kepada Allah Ta’ala. Dan menurut kamus besar bahasa Indonesia (KBBI) hukum
berdasarkan Al-Qur’an dan hadist; hukum syarak. Sumber hukum islam yang
pertama adalah Al-Qur’an, sebuah kitab suci umat muslim yang diturunkan kepada
nabi terakhir, yaitu Nabi Muhammad SAW melalui Malaikat Jibril. Maka dari
4 Cut Asmaul Husna, Tantangan Dan Konsep Keluarga Sakinah Mawaddah Warahmah Di Era
Millenial Ditinjau daro Perspektif Hukum Keluarga (Studi Kasus Provensi Aceh), Jurnal, Ius Civile, Vol.
3 No. 2, 2019, 73.
5
Sullivan, arthur (2003). Economics: Principles in action. Upper Saddle River, New Jersey 07458:
Prentice. Halaman. 29. ISBN 0-13-063085-3. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2016-12-20. Diakses
tanggal 2020-11-05.
6
syariat.
C. Rumusan Masalah
D. Batasan Masalah
penelitian ini pada “Faktor Penyebab terjadinya Childfree Dalam Rumah Tangga
Berdasarkan rumusan masalah diatas maka tujuan dan manfaat dari penelitian ini
rumah tangga.
F. Penelitian Relevan
Penelitian ini adalah penelitian terdahulu yang mana penelitian tersebut pernah
1. Seperti penelitian yang terdahulu yang di kemukakan oleh; Unika Eka Etari
rumah tangganya meskipun tidak memiliki anak atau keputusan untuk chilfree.
G. Sistematika Penulisan
BAB I PENDAHULUAN
sistematika penelitian.
BAB V PENUTUP
Akademik.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Pengertian Childfree
Childfree dalam bahasa Rusia berarti “bebas dari anak-anak.” Oxfort dictionary
mendefinisikan chilfree sebagai kondisi tidak memiliki anak, terutama karena pilihan.
Istilah ini familiar dalam agenda feminisme yang menganggap chilfree sebagai pilihan
didefinisikan sebagai istilah yang merujuk pada orang atau pasangan yang memilih
untuk tidak memiliki anak, atau tempat dan situasi tanpa anak. 6
Dan dalam pendapat masyarakat, chilfree secara istilah ialah kata yang berasal dari
bahasa inggris, yang berarti ‘bebas anak’. Dan ini dapat disimpulkan dari penjelasan
diatas bahwa childfree adalah sebuah keputusan atau pilihan hidup untuk tidak memiliki
anak, baik itu anak kandung, anak tiri, ataupun anak angkat. Dan dalam sejarah, Istilah
childfree dibuat dalam bahasa inggris diakhir abad ke 20 oleh St. Augustine sebagai
penganut mekanisme, dan ia percaya bahwa membuat anak adalah suatu sikap tidak
Childfree sebuah keputusan dari seseorang untuk tidak memiliki anak. Ada
6
Cambridge Dictionary, diakses 24 Agustus 2021, Child-Free.
7
Saint, Bishop of Hippo Augustine (1887). "Chapter 18.—Of the Symbol of the Breast, and of the
Shameful Mysteries of the Manichæans". Dalam Philip Schaff. A Select Library of the Nicene and Post-
Nicene Fathers of the Christian Church, Volume IV. Grand Rapids, MI: WM. B. Eerdmans Publishing
Co.
9
10
memiliki anak, dari segi mental atau traumatik yang dihadapi oleh seseorang yang
buruk jika memutukan memiliki anak, alasan lain adalah dari segi ekonomi,
ketidaksiapan untuk mendidik anak, tidak mau direpotkan dengan mengurus anak,
khawatir akan menggangggu kariernya, dan juga disebabkan karena alasan lingkungan,
yakni ia berdalih tidak mau menambah beban bumi yang sudah sesak dengan lahirnya
anak darinya.
Mengenai permasalahan childfree ini, sudah banyak yang membahasnya baik dari
para ahli hukum fikih atau dari para pegiat kesetaraan gender dan dari lain sebagainya.
Salah satu pendapat mengenai childfree yakni yang dikemukakan oleh nuonline_id yang
mana dijelaskan di sana bahwa terdapat empat cara childfree ini, yakni:8
3. Dengan cara tidak inzal atau tidak menumpahkan sperma di dalam rahim
Semuanya secara substansial sama dengan pilihan childfree dari sisi sama-sama
menolak wujudnya anak sebelum berpotensi wujud. Berkaitan hal ini Imam Al-Ghazali
menjelaskan hukum ‘azl adalah boleh, tidak sampai makruh apalagi haram, sama
dengan tiga kasus pertama yang sama-sama sekedar tarkul afdhal atau sekedar
8
https://islam.nu.or.id/nikah-keluarga/hukum-asal-childfree-dalam-kajian-fiqih-islam-CuWgp
Diunggah dalam ig nuonline_id pada tanggal 27 Agustus 2021(Diakses tanggal 7 Februari 2022 pukul
20:15)
11
Artinnya:“Saya berpendapat bahwa ‘azl hukumnya tidak makruh dengan makna makruh
tahrîm atau makrûh tanzîh, sebab untuk menetapkan larangan terhadap sesuatu
hanya dapat dilakukan dengan dasar nash atau qiyas pada nash, padahal tidak
ada nash maupun asal atau sumber qiyas yang dapat dijadikan dalil
memakruhkan ‘azl. Justru yang ada adalah asal qiyas yang membolehkannya,
yaitu tidak menikah sama sekali, tidak bersetubuh setelah pernikahan, atau
tidak inzal atau menumpahkan sperma setelah memasukkan penis ke vagina.
Sebab semuanya hanya merupakan tindakan meninggalkan keutamaan, bukan
tindakan melakukan larangan. Semuanya tidak ada bedanya karena anak baru
akan berpotensi wujud dengan bertempatnya sperma di rahim perempuan.9
Nah, bila childfree yang dimaksud adalah menolak wujudnya anak sebelum
potensial wujud, yaitu sebelum sperma berada di rahim wanita, maka hukumnya adalah
boleh. Lalu bagaimana dengan hadits-hadits Nabi saw yang menganjurkan orang untuk
menikah dan mempunyai anak? Bukankah Nabi saw berulang kali menganjurkannya,
ْس مِ نَّا ثَ َلثًا رواه أبو منصور الديلمي في مسند الفردوس من حديث َاح َمخَافَةَا ا ْل ِع َيا ِا
ل فَلَي َا َم ْا
ن ت ََركَا النِك ِا
ف
أبي سعيد بسند ضعي ا
Artinya:“Siapa saja yang meninggalkan nikah karena khawatir kesulitan mengurus anak
istri maka tidak termasuk dariku. Nabi saw mengatakannya tiga kali.” 11
Abu Hamid Al-Ghazali, Ihyâ’ ‘Ulûmiddîn, [Beirut, Dârul Ma’rifah], juz II, halaman 51
9
10
Hadits riwayat Abu Dzar ra yang ditakhrij oleh Ibnu Hibban dalam kitab shahihnya'). (Muhammad
bin Muhammad al-Husaini az-Zabidi, Ithâfus Sâdatil Muttaqîn bi Syarhi Ihyâ-i’ ‘Ulûmiddîn, [Beirut,
Muassasatut Târîhil ‘Arabi, 1414 H/1994 M], juz V, halaman 379-380)
11 HR Abu Manshur ad-Dailami dalam Musnadul Firdaus dari hadits Abu Sa’id dengan sanad dha’îf).
(Abul Fadhl al-‘Iraqi, al-Mughni ‘an Hamlil Asfâr, [Riyadl, Maktabah Thabariyyah: 1415 H/1995 M],
tahqiq: Asyraf Abdil Maqshud, juz I, halaman 369 dan 403
12
Berkaitan hadits pertama Imam Al-Ghazali menjawab, Nabi saw berkata demikian
karena andaikan lelaki tersebut mendapatkan anak seperti itu, maka ia mendapatkan
pahala tasabbub atau telah menjadi sebab wujudnya anak tersebut. Sementara yang
menciptakan, menghidupkan, dan menguatkan anak itu dalam berjihad adalah Allah.
Adapun lelaki itu telah melakukan sebab wujudnya anak tersebut dengan menyetubuhi
istrinya, yaitu ketika ia membiarkan spermanya masuk ke dalam rahim istri. Menurut
Al-Ghazali, hadits ini hanya bersifat anjuran, dan bila ada orang memilih tidak
melakukannya atau memilih tidak punya anak maka boleh atau sekadar tarkul afdhal
(meninggalkan keutamaan).
Demikian pula terkait hadits kedua, Imam Al-Ghazali menegaskan bahwa hukum
‘azl atau menumpahkan sperma di luar vagina hukumnya boleh seperti hukum memilih
tidak menikah sama sekali. Adapun sabda Nabi saw: “Maka tidak termasuk dariku”,
maksudnya adalah tidak sesuai dengan sunnah dan jejak langkahnya, yaitu melakukan
pilihan amal yang lebih utama. Keteguhan Al-Ghazali dalam memegang pendapatnya
yang menyatakan menolak anak sebelum potensial wujud atau sebelum sperma berada
dalam rahim perempuan adalah boleh, mendapat dukungan Az-Zabidi. Secara tegas Az-
Zabidi menyatakan:
Walhasil, dengan merujuk pendapat Imam Al-Ghazali, demikian pula pendapat Az-
Zabidi, yang membolehkan penolakan wujud anak sebelum potensial wujud, yaitu
sebelum sperma berada di rahim perempuan, maka hemat penulis, hukum asal childfree
adalah boleh. Namun demikian kebolehan ini dapat berubah sesuai berbagai faktor yang
Selain itu juga ada pendapat dari pegiat kesetaraan gender dari berbagai kalangan,
yang menyatakan bahwa pilihan childfree merupakan hak seseorang yang tidak usah
dalam Islam tidak ada perintah demikian. 13 Pendapat ini juga beralasan bahwa memiliki
anak merupakan sebuah tanggung jawab yang besar bukan hanya sekedar hamil,
melahirkan dan menyusui namun banyak hal lain yang harus dipertanggungjawabkan
oleh orang tua sedangkan kapasitas seseorang dengan yang lain berbeda-beda dalam
hal kemampuan mengasuh anak.14 Selain argumen di atas, mereka juga menyinggung
mengenai Hak Asasi Manusia, terlebih itu adalah hak perempuan. Karena perempuanlah
yang akan menanggung lebih banyak beban ketika memiliki anak. Selain itu, alasan
mereka yang memilih childfree adalah untuk mengurangi populasi- populasi penduduk
bumi. Mereka tidak ingin menambahi beban dengan bertambahnya populasi dengan
Di lain tempat ada yang mengajukan dalil-dalil al-Qur’an mengenai anak yang
dilihat dari tiga sumber yakni al-Qur’an, Hadis dan pendapat ulama’. Untuk ayat al-
12 https://islam.nu.or.id/nikah-keluarga/hukum-asal-childfree-dalam-kajian-fiqih-islam-CuWgp
(Diakses tanggal 06 Februari 2022 pada pukul 11:41)
13 Silahkan kunjungi mubadalah.id ataupun lainnya yang membahas tentang childfree ini.
14
Siti Rohmah, Gita Savitri: Childfree itu Sangat Pemberani dan Berpikir Panjang, mubadalah.id
yang diupload tanggal 15 September 2021.
14
Dalam ayat ini dijelaskan bahwa anak-anak adalah sama dengan harta benda yang
→ا⬧ا →ا◆⧫◆
ا اا⧫ا◆
Artinya :“Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi amalan-amalan
yang kekal lagi saleh adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih
baik untuk menjadi harapan”.
Sedangkan dalam ayat ini anak-anak dan harta benda dikatakan sebagai perhiasan
kehidupan, namun yang paling baik di sisi Tuhan adalah amal salih.
Dalam ayat ini juga dikatakan bahwa anak-anak dan harta benda adalah bukalah
faktor yang membuat seseorang dekat Allah swt. melainkan amal salaihlah yang dapat
Argumen-argumen di atas hanya sebagian kecil dari beberapa argumen bagi yang
mendukung paham childfree ini. Melihat argumen-argumen atau alasan yang mendasari
pilihan childfree saya kira dapat diklarifikasikan menjadi dua: yakni yang sesuai udzur
syar’i dan kekhawatiran yang tidak mendasar. Untuk alasan yang udzur syar’I saya kira
tidaklah masalah, namun kekhawatiran yang tidak ada dasarnya ini yang saya kurang
setuju. Childfree atau tidak memang pilihan pribadi perempuan, namun hendaknya
pilihan tersebut adalah pilihan terbaik buat kehidupannya baik di dunia maupun di
akhirat.
Setelah memaparkan beberapa dalil yang digunakan oleh kelompok yang memilih
childfree, dalam bagian ini penulis juga akan sedikit memaparkan dalil-dalil baik dari
al-Qur’an dan Hadis yang mana semangat dari semua itu adalah untuk tidak childfree.
1. Dalil al-Qur’an
16
Mengenai dalil ayat al-Qur’an yang membahas anak ini sangat banyak
sekali, namun dalam tulisan ini hanya fokus pada dua ayat yakni:
Artinya: Katakanlah : Marilah kubacakan apa yang diharamkan atas kamu oleh
Tuhanmu Yaitu: janganlah kamu mempersekutukan sesuatu dengan Dia,
berbuat baiklah terhadap kedua orang ibu bapak, dan janganlah kamu
membunuh anak-anak kamu karena takut kemiskinan, Kami akan memberi
rezeki kepadamu dan kepada mereka, dan janganlah kamu mendekati
perbuatan-perbuatan yang keji, baik yang nampak di antaranya maupun yang
tersembunyi, dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah
(membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar [518].
demikian itu yang diperintahkan kepadamu supaya kamu memahami (nya).
[518] Maksudnya yang dibenarkan oleh syara' seperti qishash membunuh
orang murtad, rajam dan sebagainya.
Dalam dua ayat tersebut redaksi yang digunakan sedikit berbeda yakni jika dalam
Qs. Al-An’am ayat 151, Allah melarang umat Islam membunuh anak-anak kerena
kemiskinan, sedangkan dalam Qs. Al-Isra’ ayat 31 Allah swt melarang umat Islam
diartikan bahwa dalam Qs. Al-An’am pembunuhan dilakukan oleh umat terdahulu
disebabkan oleh kemiskinan yang mereka alami dan takut akan lebih parah kemiskinan
mereka dengan kelahiran anak mereka. Sedangkan dalam Qs. Al-Isra’ kemiskinan
dialami anak mereka jika dilahirkan kelak. Dengan dua kondisi yang hampir sama yakni
sebuah kekhawatiran akan kesejahteraan anak-anak mereka kelak, oleh karena itu
lanjutan ayat tersebut Allah swt berfirman bahwa Allah swt lah yang memberikan rizki
Dengan demikian dari kedua ayat di atas adalah anjuran untuk tetap memiliki, tidak
perlu khawatir akan kehidupan anak kelak, karena semua makhluk yang lahir membawa
takdir masing-masing dan kemiskinan bukanlah alasan yang tepat untuk dijadikan
hujjah untuk tidak memiliki anak. 16 Namun orang tua juga tidak boleh lepas tangan atas
kehidupan anaknya, karena anak merupakan amanah yang harus dirawat dan
dipersiapkan untuk menjadi seseorang yang memperjuangkan agama Allah swt, li i’la’i
a. Dalil Hadis
15 Dalam redaksi ayat tersebut menggunakan redaksi yang artinya“Kami”. Biasanya jika
menggunakan Kami ada campur tangan selain Allah swt. mengenai pemaknaan ini bisa dilihat dalam
kitab tafsir karya M. Quraish Shihab, Al-Misbah (Ciputat: Lentera Hati) jilid 3, halaman 732.
16
Abu al-Fida Isma’il Ibn ‘Umar Ibn Kathir al-Qurashi al-Dimashqi, Tafsir al-Qur’an al-‘Azim, (ttp:
Dar al-T{ayyibah), 1999, juz 3, halaman 361
18
Nabi Muhammad saw. Siapa saja yang tidak menyukai atas sunnah menikah
tersebut maka bukan termasuk umat Nabi Muhammad saw.17 Namun hukum
awal menikah adalah sunnah, yakni menadapat pahala bagi yang mau
perempuan yang mampu dan mempunyai hasrat nafsu yang sulit ditahan. Dapat
berubah haram bagi seorang laki-laki atau perempuan yang memiliki niat jahat
dalam pernikahan. Hukum menikah ini juga dapat menjadi mubah dan makruh
atau sunnah.
Salah satu hikmah dari pernikahan adalah membuat hati sakinah, tenang
karena ada pendamping dan ada tempat untuk mencurahkan segala rasa, biasa
merupakan salah satu dari Maqasid al-Shari’ah, yakni Hifd al-Nasl atau
Nasl guna meneruskan kemakmuran bumi dan sebagai penerus khalifah fil ard
menjadi penting. Oleh karena itu memiliki anak merupakan hal penting bagi
17
Muhammad Ibn Yazid Abu ‘Abdillah al-Qazwini, Sunan Ibn Majah (Beirut: Dar Fikr) tt, Juz 1,
halaman 593.
19
Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad bahwa Nabi
“walud” atau subur.18 Namun, hadis ini bukan berarti perempuan yang tidak
bisa memberikan anak tidak boleh dinikahi karena anak adalah pemberian
Allah swt atas kehendaknya. Dalam Qs. Al-Shura (42): 49-50 dijelaskan bahwa
bahwa Allah swt Maha Kuasa untuk memberikan anak laki-laki atau anak
perempuan atau kedua-duanya kepada siapa saja yang dikehendaki, begitu juga
Allah swt. Maha Kuasa untuk tidak memberikan semuanya itu kepada yang
dikehendaki. Oleh karena itu, mempunyai anak atau tidak, baik disebabkan
kemandulan istri atau suami, merupakan taqdir atau kekuasaan Allah swt, yang
harus diyakini bahwa semua itu adalah yang terbaik bagi manusia karena Allah
Jadi mempunyai anak atau tidak adalah hak Allah swt. Oleh karena itu,
dalam hadis tersebut harus dimaknai dengan betapa Nabi saw. menganjurkan
umatnya untuk memiliki anak, karena dengan anak-anak dari umat islamlah
agama ini akan unggul dari umat agama lain. Keunggulan disini tidak hanya
dari segi kuantitas namun juga harus dibarengi dengan unggul dari segi
mendapatkan pendidikan agama yang kuat, menjadi anak yang salih, karena
18Ahmad Ibn Hanbal, Musnad Imam Ahmad Ibn Hanbal (ttp: Muassah al-Risalah)1999, juz 20,
halaman 63 (Maktabah al-Shamilah).
20
Hadis tentang amal yang tidak terputus sudah mashur di kalangan umat
19
Islam.memiliki akanDalam hadis tersebut dijelaskan bahwa seseorang
meninggal, yakni sadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak salih yang
mendoakan kebaikan baginya. Hadis ini dapat diartikan bahwa seorang muslim
karena itu, ketiga amal jariyah tersebut harus diusahakan semaksimal mungkin
pada saat masih hidup. Karena kehidupan dunia ini merupakan tempat
Amal pertama adalah sadaqah jariyah yakni sebuah sadaqah yang sifat
bermanfaat, untuk ini hampir sama dengan amal pertama yakni sebuah ilmu
yang bermanfaat adalah ilmu yang tetap dapat dirasakan kemanfaatannya oleh
orang lain meskipun orang yang memiliki ilmu tersebut sudah meninggal
dunia.
Kemudian amal ketiga, yakni anak yang salih yang terus mendoakan
kebaikan kepada orang tuanya yang sudah meninggal. Dalam redaksi hadis
tersebut adalah kata anak disandingkan dengan kata sifat salih, jadi dapat
19 Dirujuk dalam kitab karya Abu al-Husain Muslim Ibn Hajjaj Ibn Muslim al-Qushairi al-
Naisaburi, Al-Jami’ al-Sahih (Beirut: Dar al-Jail) tt, juz 5, halaman 73.
21
Menurut penulis, hadis tersebut merupakan salah satu hadis yang berfungsi
sebagai motivasi yakni berupa reward terhadap orang tua yang memilih untuk
memiliki anak yang salih, yang mana kesalihan ini adalah bentuk keberhasilan
orang tua dalam mendidik anaknya untuk menjadi anak yang berkualitas bukan
hanya kuantitas. Selain itu, anak salih ini juga dapat dijadikan andalan bagi
seseorang ketika sadaqah jariyah dan ilmu yang bermanfaat tidak ia miliki, ia
Dengan demikian yang dapat dipahami dari ayat dan hadis di atas salah
satunya adalah anjuran untuk memiliki anak. Dalam pemilikan anak ada dua
faktor yakni kehendak Allah dan kehendak manusia. Dalam artian begini,
anjuran agama Islam tidak secara jelas dan tegas memerintakan untuk
memiliki anak. Hal ini karena untuk memiliki anak adalah kekuasaan Allah
swt. Misal, jika Allah swt berkehendak untuk tidak memberikan anak kepada
cara maka tidak akan punya anak. Kemudian yang kedua, yakni kehendak
manusia yang diberikan kebebasan memilih apakah mau memiliki anak atau
tidak.20 Jadi perlu dicatat bahwa ini adalah pilihan, manusia bisa memilih
untuk memiliki anak, tentunya dengan adanya proses, dan memilih untuk tidak
memiliki anak.
20 Namun hal ini berbeda dengan di luar sunnatullah, misal kisah Sayyidah Maryam, ibunda Nabi Isa
as. yang melahirkan tanpa pilihan darinya.
22
Memiliki anak bukanlah hal yang mudah dan sepele. Betapa beratnya
beban oleh orang tua yang memiliki anak. Terutama bagi seorang perempuan,
bahwa beban yang dipikul oleh seorang ibu adalah wahnan ‘ala wahnin. 21
Oleh sebab itu reward, sebagai salah satu motivasi, yang diberikan oleh agama
untuk seorang perempuan yang mau memilih memiliki anak sangatlah besar.
tingkat dibanding derajat ayah, doa yang sangat manjur bagi anak-anaknya,
sebagai amal ibadah yang tidak terputus yakni doa anak tersebut dan tentunya
Jadi memiliki anak atau tidak merupakan pilihan bebas bagi perempuan,
Sebenarnya childfree ini adalah pilihan pribadi yang tidak usah diumbar-
umbar dan tidak usah memprovokasi kepada yang lain untuk mengikuti pilihan
yang dipilih. Oleh karena itu, bagi perempuan generasi muda hendaklah
memilih sesuai dengan pilihan merdeka namun pilihan tersebut juga harus
untuk childfree, seperti tidak siap menjadi orang tua, faktor ekonomi, faktor lingkungan
bahkan faktor fisik diri sendiri maupun fisik pasangan. Victoria Tunggono selaku
penulis buku 'Childfree & Happy' berkata, “Saya pikir, kalau mau menjadi orang tua itu
21 Qs.Lukman (31): 14
23
tidak hanya siap dalam hal materi dan fisik saja, tetapi juga harus ada kesiapan mental
dari seorang yang ingin atau yang sudah menjadi orang tua untuk bagaimana melayani
anaknya kelak.
Bukan hanya orang tua harus melayani, tetapi juga harus di dasari oleh keinginan
sikap seperti itu. Yaitu fisik (sakit turunan), psikologis (kesiapan/ masalah mental),
ekonomi, lingkungan hidup (dunia sudah terlalu padat), dan alasan personal.
1. Fisik
“Fisik tidak mampu, misalkan dia punya penyakit turunan atau dia secara fisik
tidak bisa punya anak, tidak mampu. Karena fisik diri sendiri atau fisik pasangan, dia
sudah menikah tapi dia melihat tidak mampu kayanya gak deh mendingan gak usah dari
pada ribet.”
2. Kondisi Psikologis
“Jadi yang tadi psikologis itu karena saya punya kelainan masalah mental jadi saya
tidak mau. Saya aja belum selesai dengan diri saya sendiri saya sudah harus punya anak,
akhirnya kan nanti jadi toxic dan orang-orang memilih childfree itu mereka sadar bahwa
mereka secara mental tidak mampu maka mereka memilih untuk childfree.”
3. Ekonomi
24
“Dia merasa selama hidup itu cukup berkekurangan dan dia merasakan gimana
rasanya harus berbagi satu mungkin ya satu piring nasi untuk kakak beradik 7 orang
yang merasa susahnya seperti itu dengan usia kakak adik yang terlalu dekat, dan dia
merasa oh hidup susah dengan kekurangan uang. Jadi ada juga faktor keuangan."
4. Faktor Lingkungan
“Jadi dia merasa oh hidup ini dunia ini sudah terlalu padat, ada yang bilang sudah
global warming dan sebagainya, dan dia tidak mau menambah kerusakan alam dengan
5. Alasan Personal
“Dan yang terakhir adalah tentang keputusan sendiri, itu yang seperti saya lihat dari
orang sekitar jadi bukan alasan-alasan yang keturunan dan sebagainya atau alasan yang
lebih prinsipil, tapi ini memang keputusan aja yang kayak emang nggak mau gitu.”
bersama. Jika salah satu pasangan hanya satu saja yang memilih childfree dan yang
satunya lagi tidak, itu akan menumbuhkan konflik di dalam hubungan tersebut. Banyak
pasangan suami istri yang memilih untuk childfree karena mereka merasa lemah, baik
dari fisik diri sendiri, fisik pasangan, dalam hal mengurus dan membesarkan anak.
Permasalahan yang hadir dalam mengurus anak biasanya hadir karena masalah pola
asuh dan pola didik. "Ketika seseorang tidak mendapatkan pola asuh yang baik dari
25
orang tua mereka, maka mereka akan bermasalah di lingkungan masyarakat," ujar
Victoria Tunggono.22
Kasus ini identik dengan penjelasan Al-Ghazali yang berkemungkinan diprotes atas
wujud, yaitu sebelum sperma lelaki masuk ke dalam rahim perempuan. Al-Ghazali
mengandaikan, “Bila ada yang protes, ‘Bila ‘azl atau menumpahkan sperma di luar
vagina istri saat bersetubuh hukumnya tidak makruh dari sisi menolak wujudnya anak,
maka bisa saja makruh karena niat atau motif buruk yang menyebabkan orang memilih
menolak anak. Sebab penolakan terhadap wujudnya anak tidak akan muncul kecuali
dari niat yang rusak (menurut agama) yang mengandung unsur-unsur syirik khafi (syirik
yang samar).”
Menjawab protes seperti itu, Al-Ghazali secara detail menjelaskan, niat atau motif
orang menolak wujudnya anak ada lima, dan tidak semuanya niat yang haram. Berikut
‘Ulûmuddîn. Pertama, motif finansial seperti dalam konteks masih berlaku perbudakan
hanya disetubuhinya dengan cara ‘azl sehingga tidak punya anak, agar dengan kondisi
seperti ini lelaki pemiliknya tetap dapat menjadikan budak perempuan itu sebagai
hartanya.
Motif finansial seperti ini hukumnya boleh dan tidak terlarang. Kedua, motif
seksual dan keselamatan hidup, yaitu untuk menjaga kecantikan istri dan kualitas
bodinya agar lebih awet dan tetap menarik diajak aktifitas seks, serta menjaganya agar
22
Maria Frani Ayu. 2021. “(Riview Buku)”; “Childfree and Happy”, karya Victoria Tunggono”.
Diakses melalui laman https://mariafraniayu.com/2021/03/15/reiew-buku-childfree-and-happy-karya-
victoria-tunggono/_pada tanggal 23 Agustus 2021.
26
tetap hidup karena khawatir mati bila melahirkan anak. Motif seperti ini tidak dilarang.
Ketiga, motif finansial atau ekonomi, di mana orang khawatir bila punya anak akan
merepotkan hidupnya, harus bekerja lebih keras, dan terjerumus dalam pekerjaan-
pekerjaan haram. Motif seperti ini juga tidak dilarang. Sebab semakin orang tidak repot,
Meskipun berkaitan dengan motif ini perlu diakui, pilihan yang lebih utama adalah
ا◼⧫اااااا⧫◆
ا▪⬧⧫اا◼➔⧫◆اا➔اا
ا⧫ا اا اا اا ا⧫❑⧫◆
ا✓
dan punya anak dengan bertawakkal seperti ini, dan justru memilih tidak punya anak
punya anak meskipun sebenarnya bertentangan dengan sikap tawakkal, namun menurut
Al-Ghazali tidak dapat dinilai sebagai pilihan hidup yang dilarang agama. Ke empat,
motif keyakinan yang keliru, yaitu orang memilih tidak punya anak karena khawatir
23 (Jalaluddin al-Mahalli dan Jalaluddin as-Suyuthi, Tafsîrul Jalâlain dicetak bersama Hâsyiyyatus
Shâwi ‘alâ Tafsîril Jalâlain, [Beirut, Darul Fikr: 1424 H/2004 M], editor: Shidqi Muhammad Jamil, juz
II, halaman 259
27
jahiliyah tempo dulu yang sampai membunuh anak-anak perempuan mereka. Inilah
motif yang rusak dan tidak dibolehkan agama. Bahkan andaikan karena keyakinan
seperti ini kemudian orang memilih tidak menikah atau tidak bersetubuh dengan istrinya
Dosanya bukan karena (1) ia tidak menikah, (2) tidak bersetubuh dengan istrinya
setelah pernikahan, atau (3) karena memilih ‘azl atau menumpahkan sperma di luar
vagina saat bersetubuh, akan tetapi berdosa karena keyakinannya yang salah atas sunnah
Nabi saw (memiliki anak). Dosanya seperti dosa perempuan yang enggan menikah
karena sombong nanti akan ‘dihegemoni’ oleh lelaki yang menjadi suaminya. Kelima,
motif perempuan menolak wujudnya anak karena terlalu higenis, terlalu ketat menjaga
kebersihan diri, tidak mau melahirkan, tidak mau nifas dan tidak mau menyusui bayi,
dan tidak masuk ke kamar mandi kecuali secara telanjang. Motif seperti ini juga
merupakan motif yang buruk dan rusak menurut agama. Namun demikian, berkaitan
motif seperi ini, yang rusak adalah motifnya, bukan sikapnya menolak wujudnya anak.
Dari detail penjelasan Al-Ghazali tersebut hukum childfree dilihat dari sisi
24 (Abu Hamid Al-Ghazali, Ihyâ’ ‘Ulûmiddîn, [Beirut, Dârul Ma’rifah], juz II, halaman 52)
28
5) alasan sosial yaitu masih banyaknya anak-anak terlantar atau kurang beruntung
yang dapat diadopsi, dirawat atau disantuni dari pada punya anak lagi,
dengan kondisinya yang semakin rusak, dan semisalnya, hemat penulis belum
7) demikian motif orang merasa dirinya lebih dapat berkontribusi positif dalam
kehidupan bila tidak punya anak dari pada punya anak, dan semisalnya. Sebab
Lain halnya bila motifnya adalah karena keyakinan-keyakinan yang keliru tentang
menjadi haram.
Motifnya bukan haram, hanya saja menolak wujudnya anak. Bagaimanapun secara
mendasar, menurut fiqih islam yang lebih utama adalah tetap memilih punya anak dan
Childfree, satu istilah yang akhir-akhir ini viral di media sosial gegara seorang
influencer dalam sebuah wawancaraa menyatakan untuk tidak memiliki anak setelah
menikah. Istilah childfree sendiri berarti keputusan yang diambil oleh pasangan suami
dan istri didalam rumah tangga untuk tidak memiliki anak dengan berbagai
pertimbangan dan alasan. Alasan tersebut bisa karena alasan finansial, psikologis atau
kesiapan mental orang tua. Khususnya sang perempuan untuk menjalani proses
kehamilan, melahirkan, merawat bayi, dan masih banyak lagi alasan lain sesuai keadaan
pasangan.
Dalam memilih mewujudkan hal tersebut, konsep relasi mitra antara suami dan istri
haruslah dibarengi diskusi. Dalam diskusi tersebut keda pihak harus terbuka terutama
pihak perempuan tentang alasan keputusan childfree itu dilakukan. Dalam memberikan
alasan tersebut juga harus disertai alasan dasar yang kuat sehingga tidak merugikan
kedua pihak. Jika mau melihat realitas kehidupan keluarga lebih dalam, maka akan
menemukan bahwa memiliki anak memang bukan perkara mudah. Banyak hal yang
harus dipersiapkan, dan beragam pula permasalahan yang dihadapi khusunya bagi
bulan bukanlah proses mudah. Setelah itu harus melalui proses melahirkan yang
menjadikan seorang ibu dalam situasi antara hidup dan mati. Tidak hanya itu, setelah
bayi lahir harus menyusui setidaknya dua tahun, merawat, mendidik dan mendampingi
Secara fisik, psikis, dan materi semua proses itu sangat melelahkan bagi seorang
perempuan. Oleh karena wajar jika hari ini di saat wacana gender telah banyak
dipahami oleh perempuan, keputusan untuk childfree mulai banyak diikuti mereka.
30
Tapi, sebelum memutuskan untuk memilih memiliki anak atau tidak, sebaiknya kita
menelaah lebih dalam terkait dengan keuntungan atau kerugiannya, khususnya kerugian
dalam sudut pandang agama. Melihat Untung dan Rugi chilfree didalam rumah tangga
a. memiliki anak
b. meredam syahwat
Dari lima manfaat tersebut, yang paling utama adalah memiliki anak. Imam Al-
Ghazali menjelaskan: Manfaat pertama (dari pernikahan) adalah memiliki anak, dan ini
manfaat utama/pokok, dan atas dasar anak itu pula pernikahan disyariatkan dengan
maksud untuk menetapkan keturunan dan agar alam ini tidak sepi dari jenis manusia.25
Hujjatul Islam ini juga menjelaskan bahwa memiliki anak merupakan sebuah bentuk
ibadah kepada Allah SWT. Setidaknya ada empat alasan penting mengapa memiliki
anak merupakan bagian dari ibadah. Pertama, sesuai dengan kecintaan Allah SWT di
mahabbah Nabi Muhammad SAW dalam hal memperbanyak pengikut ajaran Nabi yang
menjadi kebanggaan. Ketiga mencari keberkahan dari doa anak yang shalih. Keempat,
mencari syafaat dari kematian anak dalam usia masih kecil dan meninggal sebelum
orang tuanya.
Dari penjelasan Imam Al-Ghazali di atas, setidaknya kita tahu bahwa anak adalah
tujuan utama dari sebuah pernikahan. Bahkan bisa dikatakan bahwa pernikahan itu
sendiri disyariatkan oleh Allah SWT untuk tujuan terwujudnya keturunan, agar
keberlangsungan hidup manusia akan tetap berkesinambungan. Saat ini mungkin ada
yang berpendapat bahwa dunia sudah kelebihan populasi sehingga memiliki anak
bukanlah suatu yang penting lagi. Karena memiliki anak atau tidak, itu tidak akan
bumi tempat tinggal kita semakin penuh dan rusak akibat ulah manusia. Pendapat
seperti itu seakan-akan benar dan dapat diterima akal. Tetapi ada hal penting yang
menjaga keseimbangan alam semesta. Meskipun secara dlahir mungkin bisa dilihat dan
dirasakan kerusakan bumi akibat ulah manusia, kita tidak boleh kehilangan keyakinan
bahwa Allah SWT yang sesungguhnya mengelola kelestarian alam semesta ini termasuk
bumi.
Di luar asumsi di atas, Imam al-Ghazali juga mejelaskan bahwa memiliki anak
selain menjadi tujuan utama pernikahan, juga menyimpan empat keuntungan bagi orang
tua yang melahirkan dan merawat anak tersebut. Ketika seseorang memiliki anak, maka
ia telah melakukan sesuatu yang bersesuaian dengan kehendak bahkan kecintaan Allah
SWT. Jika ada niat untuk tidak memiliki anak, maka adalah wujud penentangan
terhadap kehendak-Nya. Ada sebuah perumpamaan yang sangat indah dari Imam al-
“Sesungguhnya seorang raja ketika memberikan kepada hambanya bibit, dan alat-
alat pertanian, kemudian disediakan bagi dia sebidang tanah untuk pertanian. Dan
32
hamba itu mampu untuk bercocok tanam, dan kemudian diserahkan kepada orang yang
pertanian, dan membiarkan bibit-bibit itu sia-sia sehingga rusak, dan ia juga menolak
orang yang mewakilkan dengan berbagai alasan, maka wajib baginya kemurkaan dan
kemarahan rajanya.”26
adalah kehendak dari Allah SWT, dan jangan sampai menentang kehendak tersebut.
Selain itu, memiliki keturunan juga merupakan usaha untuk mendapatkan cinta dari
baginda Nabi Muhammad SAW. Mengapa demikian? Karena akan bangga jika
pengikut ajarannya memiliki kuantitas yang lebih banyak dari para nabi sebelumnya.
Dengan demikian, memiliki anak juga merupakan wujud rasa cinta kita kepada
Rasulullah, dan berharap kelak akan bangga karena memiliki keturunan shalih dan setia
kepada ajarannya.
Tidak hanya itu, dengan memiliki anak, kelak akan ada yang mendoakan jika sudah
meninggal dunia. Doa anak shalih adalah salah satu amal jariyah yang ditunggu setiap
orang. Jangan sampai timbul penyesalan jika suatu saat tidak ada seorang pun yang
mendoakan. Dan yang paling akhir adalah ketika seorang anak meninggal mendahului
orang tuanya pada usia masih kecil, maka bisa memberi syafaat.
Al-Qur'an menyebutkan rumah tangga sebagai sebuah nikmat yang sangat agung.
Pernikahan adalah kunci kesuksesan mencetak generasi muda umat Islam. Tanpa
26
Ibid., halaman. 30
33
adanya pembinaaan keluarga maka ketahanan keluarga adalah mustahil untuk dicapai. 27
Ada tiga hal penting dalam menjaga keharmonisan rumah tangga yang dikabarkan oleh
perjalanan hidup yang setara. Dalam hal kewajiban dan hak tentu suami dan istri
memiliki peran yang berbeda. Akan tetapi, setiap dari keduanya tidak boleh merasa
lebih tinggi derajatnya dari yang lain. Justru kelebihan yang Allah berikan di antara
keduanya adalah bekal untuk mengemban tanggung jawab dalam keluarga. Bagaimana
tidak? Meskipun keduanya diciptakan dengan kepribadian dan bentuk yang berbeda
secara fisik, akan tetapi Al-Qur’an tidak pernah menyebut seorang istri dengan lafal
zaujah. Justru, Al-Qur'an menyebut istri dengan lafal zaujاdalam banyak ayat.
Dalam bahasa Arab, lafal zauj زوجااdipakai untuk makna suami sedangkan lafal
zaujah زوجةااdipakai untuk makna istri. Akan tetapi Al-Qur'an menyebut istri dengan
lafal zauj زوجاselayaknya menyebut seorang suami. Ibnu Asyur dalam tafsir Tahrir wa
Tanwir menyatakan penyebutan tersebut sebagai pertanda bahwa ketika seorang laki-
laki dan perempuan menikah maka keduanya memiliki kesetaraan sebagai dua insan
yang bersatu dalam biduk rumah tangga. Masing-masing adalah belahan jiwa bagi
27
Rahmah & Laili Nurhidayati, Kelas Pijat Bayi Sebagai Upaya Peningkatan Bonding Attachment
Dalam Keluarga Di Patalan Jetis Bantul Yogyakarta, Jurnal Pengabdian Dharma Bakti, Vol. 2, No. 2,
(2019), hlm. 29.
34
di hadapan Allah.
Dalam buku yang berjudul “Makna Ayat 'Suami-Istri adalah Pakaian bagi
menyatakan untaian ayat ini sebagai sebuah gambaran paling sempurna dalam
menjelaskan hubungan suami-istri yang tak dapat dipisahkan dalam kasih sayang,
istri tidak mencapai keserasian dalam rumah tangga baik dalam perilaku maupun
aqidahnya, Al-Qur'an menyebut istri bukan dengan lafal zauj melainkan memakai lafal
imraah امرءةااSebagaimana Al-Qur'an menyebut istri nabi Nuh dan nabi Luth yang
Kedua, selalu menambah semangat beribadah kepada Allah. Hal ini sangat penting
karena adanya kasih sayang antara suami dan istri termasuk nikmat yang Allah berikan.
35
Allahlah yang memantapkan hati suami-istri untuk saling mencintai dan menyayangi
dalam ikatan rumah tangga. Karena, Allahlah yang memiliki sifat Muqallibal Qulub
(Dzat yang Maha Membolak-balikkan hati). Padahal, sebelum adanya ikatan pernikahan
calon suami-istri belum menikmati cinta yang begitu dalam di antara keduanya. Namun
demikian, penting juga dicatat, ketika Allah murka kepada suami-istri akibat dosa-dosa
mereka bisa jadi Allah akan memutuskan ikatan cinta di antara keduanya. Al-Qur’an
pasangan-pasangan untukmu dari jenismu sendiri, agar kamu cenderung dan merasa
tenteram kepadanya, dan Dia menjadikan di antaramu rasa kasih dan sayang. Sungguh,
pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum
yang berpikir” (QS Ar-Rum: 21). Ketiga, berdoa agar Allah menjadikan pasangannya
Dalam ayat ini, Al-Qur’an menanggapi sifat orang-orang shalih yang Allah juluki,
mereka dengan ibad ar-rahman (hamba milik Dzat Yang Maha Pengasih) dengan sifat
selalu berdoa bagi pasangan hidupnya dan keturunannya agar senantiasa menjadi
penyejuk hati mereka. Tak hanya itu, Dr. Muhammad Sayyid Thanthawi dalam tafsir
Al-Wasith menyebutkan tafsir dari "jadikanlah kami sebagai pemimpin bagi orang-
orang yang bertakwa" adalah harapan mereka agar menjadi panutan bagi orang-orang
bertakwa baik dalam lembutnya perbuatan mereka maupun halusnya perkataan mereka.
36
berbuat baik kepada pasangannya baik dalam perbuatan maupun perkataan mereka.
.قالارسولاللااخياركماخياركمالنساءكمالايض اربناأحدكماظعينتهاضربهاأمتها
Artinya:Rasulullah bersabda "Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik kepada istri.
Janganlah kalian pukul istri kalian seperti halnya kalian memukul budak-
budak kalian" (HR Al-Baihaqi).28
28https://islam.nu.or.id/nikah-keluarga/3-tips-bangun-rumah-tangga-harmonis-dari-al-qur-an-bdOd
(Diakses tanggal 20 Februari 2022 pada pukul 15.37)
BAB III
METODE PENELITIAN
Dilihat dari segi sifatnya, penelitian ini adalah penelitian normatif artinya yang
mengenai tentang faktor penyebab terjadinya chilfree dalam rumah tangga menurut
2. Jenis Penelitian
data yang diperoleh dari berbagai sumber tertulis. Kemudian manganalisis sumber-
sumber literatur yang berkaitan dengan materi dan difokuskan pada masalah yang
menggunakan data-data literatur dalam bentuk sumber primer dan sekunder serta
sumber pendukung.32
29 Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2010. Halaman. 177
30
Noeng Muhajir, Metode Penelitian Kuantitatif, Edisi II, (Cet. VIII; Yogyakarta: Rake Sarasin,
1983), halaman 43.
31 Iqbal Hasan, Analisis Data Penelitian Statistic, Bumi Aksara, Jakarta, 2008, halaman.5.
32
Mukhtar, Metode Praktis Penelitian Deskriptif Kualitatif, (Jakarta: Referensi, 2013), halaman. 4.
37
38
Pada tahap ini, peneliti berusaha mencari dan mengumpulkan berbagai sumber data
yang ada hubungannya dengan masalah yang diteliti. Dalam penelitian ini terdapat data
1. Data Primer
Data primer adalah data yang langsung dikumpulkan oleh peneliti dari sumber
utamanya.33 Adapun objek yang akan menjadi sumber data primer dari penelitian ini
yaitu: Dikutip dari sumber-sumber yang bersifat tekstual yang dibaca dengan tidak
merubah sifat dan redaksi lainnya. Adapun sumber data primer yang dimaksud adalah
berasal dari kitab Ihya ulumuddin, buku childfree and happy karangan victoria.
2. Data Sekunder
Data sekunder yaitu sumber data yang diperoleh dari beberapa bahan pustaka
diantaranya buku-buku, jurnal, internet yang berhubungan dengan objek penelitian dan
hasil penelitian dalam bentuk laporan, skripsi, tesis, dan disertasi yang memiliki
keterkaitan dengan pembahasan dan masalah yang ada dari beberapa karangan penulis
buku baik dengan kutipan langsung maupun kutipan tidak langsung34. Adapun sumber
data sekunder yang dimaksud adalah Undang-Undang 1945 Pasal 28 E ayat 2 dan Pasal
33 https://dqlab.id (diakses pada tanggal 07 februari 2022 hari selasa pukul 15:44)
34
Husaini Usman, Metode Penelitian Sosial, Jakarta: Bumi Angkasa, 1995
39
data guna menentukan apakah ada hubungan antara dua variabel atau lebih.
kebenaran suatu pengetahuan, agar sebuah karya ilmiah (dari suatu penelitian) dapat
mencapai apa yang diharapkan dengan tepat dan terarah dengan menggunakan metode
sebagai berikut :
1. Metode Induktif yaitu penggolongan data dengan cara menguraikan data yang
umum.
2. Metode Deduktif yaitu metode dengan cara mengumpulkan sejumlah data yang
mengolah data yang bersifat umum kemudian menarik sebuah kesimpulan yang
3. Metode kuanitatif yaitu proses penelitian dan pemahaman yang berdasarkan pada
35
Soekidjo Notoatmodjo, Metodologi Penelitian Kesehatan, (Jakarta: Rineka Cipta, 2005),
Halaman. 19.
36 Juliansyah Noor, Metode Penelitian: skripsi, tesis, desertasi, dan karya ilmiah, kencana, Jakarta,
Husna, Cut Asmaul. 2019, Tantangan Dan Konsep Keluarga Sakinah Mawaddah
Warahmah Di Era Millenial Ditinjau daro Perspektif Hukum Keluarga Studi
Kasus Provensi Aceh.
Hasan, Iqbal . 2008, Analisis Data Penelitian Statistic, Bumi Aksara, Jakarta.
Laili Nurhidayati., Rahmah. 2019, Kelas Pijat Bayi Sebagai Upaya Peningkatan
Bonding Attachment Dalam Keluarga Di Patalan Jetis Bantul Yogyakarta, Jurnal
Pengabdian Dharma Bakti.
Muhajir, Noeng. 1983, Metode Penelitian Kuantitatif, Edisi II, Cet. VIII; Yogyakarta:
Rake Sarasin.
Noor, Juliansyah. 2011. Metode Penelitian: skripsi, tesis, desertasi, dan karya ilmiah,
kencana, Jakarta.
Saint, Bishop of Hippo Augustine.1887. "Chapter 18.—Of the Symbol of the Breast, and
of the Shameful Mysteries of the Manichæans". Dalam Philip Schaff. A Select
Library of the Nicene and Post-Nicene Fathers of the Christian Church.
Siti Rohmah, Gita Savitri. 2021, Childfree itu Sangat Pemberani dan Berpikir Panjang,
mubadalah.
Sullivan, arthur. 2003. Economics: Principles in action. Upper Saddle River, New
Jersey 07458: Prentice.
Usman, Husaini. 1995, Metode Penelitian Sosial, Jakarta: Bumi Angkasa.