Anda di halaman 1dari 41

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah

Al-Qur’an merupakan pedoman umat Islam dalam melaksanakan kehidupan di

dunia ini. Di dalamnya memuat dasar-dasar ajaran agama Islam. Selain itu, al-Qur’an

juga berfungsi sebagai petunjuk (hudan) bagi manusia guna mencapai kebahagiaan baik

di dunia dan di akhirat. Hukum-hukumnya tidak lekang oleh waktu, shalih li kulli

zaman wa makan, cocok untuk semua zaman dan semua tempat. Persoalan umat terus

berubah sedangkan ayat al-Qur’an sudah berhenti turun sejak 14 abad yang lalu. Hal ini

karena ayat al-Qur’an sudah sempurna dalam membuat peraturan (syari’at) untuk umat

manusia. Di dalamnya sudah memuat segala hal ajaran-ajarannya yang dapat

digolongkan menjadi tiga bagian yakni akhlak, syari’ah dan akidah. Ajaran akhlak

memuat aturan-aturan yang menjelaskan bagaimana manusia berperilaku, syari’ah berisi

aturan-aturan yang harus dilakukan oleh seorang muslim dan akidah adalah berkaitan

dengan keyakinan terhadap hal-hal ghaib. Oleh sebab itu, semua permalasalahan umat

dapat dicari landasan hukumnya dalam al-Qur’an maupun hadis Nabi Muhammad saw.1

Dalam hal ini, faktor-faktor yang melatar belakangi Saat ini ialah permasalahan

yang ramai diperbincangkan adalah masalah childfree, yakni suatu pandangan untuk

tidak memiliki anak. Dalam pandangan memiliki anak ini ada dua golongan ektrim,

yakni golongan yang mendukung banyak anak sampai berapapun. Golongan ini

berpegang pada hadis Nabi Muhammad saw, yang memerintahkan untuk

memperbanyak anak. Sedangkan kelompok kedua adalah kelompok yang tidak ingin

1
http://digilib.iain-jember.ac.id/3098/1/Artikel%20Disper.docx (Diakses pada tanggal 05 februari
2022 pada pukul 23:12)

1
2

mempunyai anak sama sekali. Untuk golongan kedua ini ada beberapa alasan yang

dikemukan, baik dari segi internal maupun eksternal orang tua tersebut.

Berkaitan dengan childfree serta over populasi yang memiliki korelasi ini

setidaknya terdapat dua dimensi permasalahan yang harus terjawab pada pembahasan

hukum. Pertama berdasarkan subjek suami-istri yang memilih untuk childfree maka

terdapat rasionalisasi berupa hak privat yang tidak bisa sembarang disentuh oleh orang

lain, kedua adalah berdasarkan subjek negara yang terwakili oleh pemerintah dalam

agenda kebijakan publik untuk mengontrol kesejahteraan rakyat dalam hal kepadatan

penduduk.

Dalam dimensi yang pertama, suami atau istri yang menyatakan kehendak untuk

melakukan childfree pada dasarnya menyatakan pikiran serta sikapnya yang pada

dasarnya merupakan pilihan privat dalam hal keluarga. Terkait dengan ini, dalam UUD

NKRI 1945 telah menjamin kebebasan seseorang untuk menyatakan pikiran dan sikap

sesuai dengan hati nuraninya sebagaimana tercantum dalam Pasal 28 E ayat 2: “Setiap

orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran, dan sikap

sesuai dengan hati nuraninya.” Pada sisi lain suami-istri yang berangkat dari kontrak

perkawinan tidak memiliki kewajiban untuk mempunyai anak. Hal ini bisa kita

simpulkan dari makna perkawinan dalam UU No. 1 tahun 1974 berupa: “Ikatan lahir

dan bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami dan isteri dengan

tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan

Ketuhanan Yang Mahaesa.”2

2https://advokatkonstitusi.com/childfree-over-populasi-dalam-dimensi-hak-dan-kebijakan-publik
(Diakses tanggal 6 Februari 2022 pukul 23:00)
3

Dengan demikian yang menjadi kewajiban dari suami dan isteri dalam ikatan

perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal, dan dengan

pemaknaan yang lebih sempit bukan untuk memiliki seorang anak. Berbeda halnya

apabila suami dan isteri mempunyai anak, maka dalam hal hubungan keluarga mereka

memiliki kewajiban baru untuk mendidik anak mereka sebaik-baiknya sebagaimana

dalam Pasal 45 ayat 1 UU No. 1 tahun 1974. Hal ini lah yang menjadi rasionalisasi

dalam hal yuridis terkait pilihan untuk tidak memiliki anak bagi pasangan suami istri.

Dan sebenarnya pilihan childfree ini sudah lumrah dilakukan oleh banyak orang.

dan pilihan childfree tersebut bisa jadi karna terpaksa atau kemauan dirinya. Terpaksa

dalam hal memilih childfree karna faktor penyakit yang ada pada tubuhnya yang mana

jika memilih untuk mempunyai anak maka, akan membahayakan sang ibu maupun

anaknya kelak dan bisa jadi karena memang tidak dikaruniai anak sebab kemandulan.

Sedangkan pilihan childfree kemauan dirinya ini yang perlu diteliti lebih dalam alasan

apa yang mendasari memilih untuk childfree ini. Apakah ada alasan yang dapat diterima

atau bahkan alasan yang dibuat-buat atau bahkan lari dari masalah keruwetan dalam

mengasuh anak. Namun perlu kita ingat bahwa pilihan ini terserah kepada masing-

masing individu karna secara agama tidak ada punishment untuk seseorang yang

memilih childfree ini, yang ada hanyalah reward bagi seseorang yang memilih untuk

menerima amanah dengan kehadiran seorang anak.

B. Penegasan Istilah

1. Pengertian faktor

Menurut kamus besar bahasa Indonesia (KBBI) Faktor adalah hal (keadaan,

peristiwa) yang ikut menyebabkan (memengaruhi) terjadinya sesuatu. Faktor yang

mempengaruhi timbulnya minat terhadap sesuatu, dimana secara garis besar dapat
4

dikelompokkan menjadi dua yaitu yang bersumber dari individu yang bersangkutan

dan berasal dari luar yang mencakup lingkungan keluarga, lingkungan sekolah dan

lingkungan masyarakat.

2. Penyebab

Penyebab berasal dari kata dasar sebab. Penyebab memiliki arti dalam kelas

nominal atau kata benda sehingga penyebab dapat menyatakan nama dari

seseorang, tempat, atau semua benda dan segala yang dibedakan. Dan dalam

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), arti kata penyebab adalah yang

menyebabkan.

3. Childfree

Childfree adalah sebuah keputusan atau pilihan hidup untuk tidak memiliki

anak, baik itu anak kandung, anak tiri, ataupun anak angkat. Dan dalam kamus

besar bahasa Indonesia (KBBI) Egois memiliki arti mementingkan dirinya sendiri,

mengacu pada makna tersebut dan bila dikaitkan dengan childfree dapat

disimpulkan bahwa pasangan childfree berarti mementingkan diri mereka sendiri.

4. Rumah Tangga

Rumah tangga terdiri dari satu atau lebih orang yang tinggal bersama-sama

disebuah tempat tinggal dan juga berbagi makanan atau akomodasi hidup dan bisa

terdiri dari satu keluarga atau sekelompok orang.3 Sebuah tempat tinggal

dikatakan berisi beberapa rumah tangga jika penghuninya tidak berbagi

makanan atau ruangan. Hidup berumah tangga merupakan tuntunan fitrah

3
https://id.m.wikipedia.org/wiki/Rumah_tangga Haviland, W.A. (2003). Anthropology. Wadsworth:
Belmont, CA. (Diakses tanggal 6 Februari 2022 pukul 15:12)
5

manusia sebagai makhluk sosial yang memiliki peran dan fungsi.4 Rumah tangga

adalah dasar bagi unit analisis dalam banyak model sosial, mikro ekonomi,

dan pemerintahan, dan menjadi bagian penting dalam ilmu ekonomi.5

Dalam arti luas, rumah tangga tidak hanya terbatas pada keluarga, bisa berupa

rumah tangga perusahaan, rumah tangga negara, dan lain sebagainya. Istilah

rumah tangga bisa juga didefinisikan sebagai sesuatu yang berkenaan dengan

urusan kehidupan di rumah. Sedangkan istilah berumah tangga secara umum

diartikan sebagai berkeluarga menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI).

5. Hukum Islam
Hukum islam adalah sistem kaidah-kaidah yang didasarkan pada wahyu Allah

SWT dan sunnah Rosul mengenai tingkah laku mukalaf (orang yang sudah dapat

dibebani kewajiban) yang diakui dan diyakini, yang mengikat bagi semua

pemeluknya. Menurut istilah hukum islam ialah hukum-hukum yang diperintahkan

Allah SWT untuk umatnya yang dibawa oleh seorang nabi, baik yang berhubungan

dengan ke percayaan (aqidah) maupun yang berhubungan dengan amaliyah.

Dan menurut bahasa berarti jalan yang dilalui umat manusia untuk menuju

kepada Allah Ta’ala. Dan menurut kamus besar bahasa Indonesia (KBBI) hukum

islam adalah peraturan dan ketentuan yang berkenaan dengan kehidupan

berdasarkan Al-Qur’an dan hadist; hukum syarak. Sumber hukum islam yang

pertama adalah Al-Qur’an, sebuah kitab suci umat muslim yang diturunkan kepada

nabi terakhir, yaitu Nabi Muhammad SAW melalui Malaikat Jibril. Maka dari
4 Cut Asmaul Husna, Tantangan Dan Konsep Keluarga Sakinah Mawaddah Warahmah Di Era
Millenial Ditinjau daro Perspektif Hukum Keluarga (Studi Kasus Provensi Aceh), Jurnal, Ius Civile, Vol.
3 No. 2, 2019, 73.
5
Sullivan, arthur (2003). Economics: Principles in action. Upper Saddle River, New Jersey 07458:
Prentice. Halaman. 29. ISBN 0-13-063085-3. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2016-12-20. Diakses
tanggal 2020-11-05.
6

itulah, ayat-ayat Al-Qur’an menjadi landasan utama untuk menetapkan suatu

syariat.

C. Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah pada penelitian ini adalah:

1. Bagaimana faktor penyebab terjadinya childfree dalam rumah tangga?

2. Bagaimana faktor penyebab terjadinya childfree dalam rumah tangga

menurut perspektif hukum islam?

D. Batasan Masalah

Sehubungan dengan banyaknya permasalahan diatas, maka penulis membatasi

penelitian ini pada “Faktor Penyebab terjadinya Childfree Dalam Rumah Tangga

menurut perspektif Hukum Islam”.

E. Tujuan Dan Manfaat Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah diatas maka tujuan dan manfaat dari penelitian ini

adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui bagaimana faktor penyebab terjadinya childfree menurut

rumah tangga.

2. Untuk mengetahui bagaimana faktor penyebab terjadinya childfree menurut

rumah tangga perspektif hukum islam.

3. Untuk mengetahui pengertian dari chilfree.

F. Penelitian Relevan

Penelitian ini adalah penelitian terdahulu yang mana penelitian tersebut pernah

dikaji sebelumnya dan diambil kesimpulannya sesuai dengan Faktor Penyebab

Terjadinya Childfree Dirumah Tangga Perspektif Hukum Islam.


7

1. Seperti penelitian yang terdahulu yang di kemukakan oleh; Unika Eka Etari

tentang kelestarian rumah tangga pada pasangan yang belum memiliki

keturunan di kota palangkaraya. Dengan maksud upaya yang dilakukan

pasangan suami istri yang belum memiliki keturunan dalam mewujudkan

kelestarian rumah tangga yaitu: membina kehidupan beragama, bersikap

optimis, asas musyawarah suami dan istri.

2. Penelitian terdahulu yang di kemukakan oleh; Dhea Nila Aryeni tentang

keharmonisan keluarga tanpa sang buah hati studi fenomenologi pasangan

suami istri dalam keluarga kontemporer di kota bandung. Dengan maksud

menjadikan keluarga lebih harmonis dan kepuasan positif dalam kehidupan

rumah tangganya meskipun tidak memiliki anak atau keputusan untuk chilfree.

G. Sistematika Penulisan

BAB I PENDAHULUAN

pada bagian ini dipaparkan latar belakang, penegasan istilah,

Batasan masalah, tujuan penelitian, penelitian relevan dan

sistematika penelitian.

BAB II KAJIAN PUSTAKA

Pada bagian ini, dipaparkan landasan tentang Penelitian Childfree

Penyebab Terjadinya Childfree Dalam Rumah Tangga.

BAB III METODE PENELITIAN

Bagian ini menjelaskan tentang: Jenis penelitian, Sifat Penelitian,

Sumber Data, Teknik Pengumpulan Data, dan Analisis Data.


8

BAB IV ANALISIS DATA

Pada bagian ini, dipaparkan hasil dan Analisis Penelitian yang

memaparkan tentang faktor penyebab terjadinya childfree dalam

rumah tangga menurut perspektif hukum islam.

BAB V PENUTUP

Merupakan bagian yang dipaparkan Kesimpulan terhadap

masalah yang terdapat didalam penelitian dan Saran yang

diharapkan dapat berguna bagi Penulis Masyarakat, dan Civitas

Akademik.
BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Pengertian Childfree

Childfree dalam bahasa Rusia berarti “bebas dari anak-anak.” Oxfort dictionary

mendefinisikan chilfree sebagai kondisi tidak memiliki anak, terutama karena pilihan.

Istilah ini familiar dalam agenda feminisme yang menganggap chilfree sebagai pilihan

perempuan untuk menentukan jalan hidupnya. Sementara itu, Cambridge Dictionary

juga mendefisinikan childfree dengan penggambaran yang hampir sama. Chilfree

didefinisikan sebagai istilah yang merujuk pada orang atau pasangan yang memilih

untuk tidak memiliki anak, atau tempat dan situasi tanpa anak. 6

Dan dalam pendapat masyarakat, chilfree secara istilah ialah kata yang berasal dari

bahasa inggris, yang berarti ‘bebas anak’. Dan ini dapat disimpulkan dari penjelasan

diatas bahwa childfree adalah sebuah keputusan atau pilihan hidup untuk tidak memiliki

anak, baik itu anak kandung, anak tiri, ataupun anak angkat. Dan dalam sejarah, Istilah

childfree dibuat dalam bahasa inggris diakhir abad ke 20 oleh St. Augustine sebagai

penganut mekanisme, dan ia percaya bahwa membuat anak adalah suatu sikap tidak

bermoral, dan dengan demikian (sesuai sistem kepercayaannya) menjebak jiwa-jiwa

dalam tubuh yang tidak kekal. Untuk mencegahnya, mereka mempraktikkan

penggunaan kontrasepsi dengan sistem kalender.7

Childfree sebuah keputusan dari seseorang untuk tidak memiliki anak. Ada

beberapa alasan yang mendasari keputusan childfree ini, diantaranya persoalan-

6
Cambridge Dictionary, diakses 24 Agustus 2021, Child-Free.
7
Saint, Bishop of Hippo Augustine (1887). "Chapter 18.—Of the Symbol of the Breast, and of the
Shameful Mysteries of the Manichæans". Dalam Philip Schaff. A Select Library of the Nicene and Post-
Nicene Fathers of the Christian Church, Volume IV. Grand Rapids, MI: WM. B. Eerdmans Publishing
Co.

9
10

persoalan fisik disebabkan penyakit sehingga seseorang memutuskan untuk tidak

memiliki anak, dari segi mental atau traumatik yang dihadapi oleh seseorang yang

menyebabkan ia tidak menyukai anak-anak, dengan begitu ia khawatir akan berdapak

buruk jika memutukan memiliki anak, alasan lain adalah dari segi ekonomi,

ketidaksiapan untuk mendidik anak, tidak mau direpotkan dengan mengurus anak,

khawatir akan menggangggu kariernya, dan juga disebabkan karena alasan lingkungan,

yakni ia berdalih tidak mau menambah beban bumi yang sudah sesak dengan lahirnya

anak darinya.

Mengenai permasalahan childfree ini, sudah banyak yang membahasnya baik dari

para ahli hukum fikih atau dari para pegiat kesetaraan gender dan dari lain sebagainya.

Salah satu pendapat mengenai childfree yakni yang dikemukakan oleh nuonline_id yang

mana dijelaskan di sana bahwa terdapat empat cara childfree ini, yakni:8

1. Tidak menikah sama sekali;

2. Dengan cara menahan diri untuk tidak bersetubuh setelah menikah;

3. Dengan cara tidak inzal atau tidak menumpahkan sperma di dalam rahim

setelah memasukkan penis ke vagina;

4. Dengan cara‘azl atau menumpahkan sperma di luar vagina.

Semuanya secara substansial sama dengan pilihan childfree dari sisi sama-sama

menolak wujudnya anak sebelum berpotensi wujud. Berkaitan hal ini Imam Al-Ghazali

menjelaskan hukum ‘azl adalah boleh, tidak sampai makruh apalagi haram, sama

dengan tiga kasus pertama yang sama-sama sekedar tarkul afdhal atau sekedar

meninggalkan keutamaan. Imam Al-Ghazali menjelaskan:

8
https://islam.nu.or.id/nikah-keluarga/hukum-asal-childfree-dalam-kajian-fiqih-islam-CuWgp
Diunggah dalam ig nuonline_id pada tanggal 27 Agustus 2021(Diakses tanggal 7 Februari 2022 pukul
20:15)
11

‫ى‬‫علَ ا‬َ ‫َص أَ ْاو قِيَاسا‬ ‫ن بِن ا‬ ‫ن إِثْبَاتَا النَّ ْه ا‬


‫ي ِ إِنَّ َما يُ ْم ِك ُا‬ ‫ ِِل َ َّا‬،ِ‫يم َوالت َّ ْن ِزيه‬ ‫ل ك ََرا َه اةَ بِ َم ْعنَى التَّحْ ِر ِا‬ ‫َوإِنَّ َما قُ ْلنَا َ ا‬
‫ل أَ ْاو‬ ْ َ‫َاح أ‬
‫ص ًا‬ ‫ َوه َاُو ت َْركُا النِك ِا‬،‫علَ ْي ِه ا‬َ ‫اس‬ ‫صلا يُقَ ُا‬ ْ َ‫بَلْا َه ُهنَا أ‬. ‫علَ ْي ِاه‬ َ ‫اس‬ ‫ل يُقَ ُا‬ ‫ص َا‬ْ َ‫ل أ‬ ‫َص َو َ ا‬ ‫ل ن َّا‬ ‫ َو َ ا‬،‫صوص‬ ُ ‫َم ْن‬
. ‫ب نَ ْهيا‬ ‫ارتِكَا ِا‬ ‫ل َولَي َا‬
ْ ِ‫ْس ب‬ ‫ض ِا‬ َ ‫ فَكُلا ذَلِكَا ت َْركا ل ِْْل َ ْف‬،‫ج‬ ِ ‫يل‬ َ ‫اْل‬ ِ ْ ‫ل بَ ْعدَا‬ ِ ْ ‫َاح أَ ْاو ت َْركُا‬
‫اْل ْنزَ ا ِا‬ ‫اع بَ ْعدَا النِك ِا‬ ‫ت َْركُا ا ْل ِج َم ِا‬
َّ ‫طفَ ِاة فِي‬
‫الرحْ ِام‬ ْ ‫وع الن‬ ‫ن بِ ُوقُ ِا‬ ‫ل فَ ْرقَا إِ ِاذ ا ْل َولَ ادُ يَتَك ََّو ُا‬
‫َو َ ا‬

Artinnya:“Saya berpendapat bahwa ‘azl hukumnya tidak makruh dengan makna makruh
tahrîm atau makrûh tanzîh, sebab untuk menetapkan larangan terhadap sesuatu
hanya dapat dilakukan dengan dasar nash atau qiyas pada nash, padahal tidak
ada nash maupun asal atau sumber qiyas yang dapat dijadikan dalil
memakruhkan ‘azl. Justru yang ada adalah asal qiyas yang membolehkannya,
yaitu tidak menikah sama sekali, tidak bersetubuh setelah pernikahan, atau
tidak inzal atau menumpahkan sperma setelah memasukkan penis ke vagina.
Sebab semuanya hanya merupakan tindakan meninggalkan keutamaan, bukan
tindakan melakukan larangan. Semuanya tidak ada bedanya karena anak baru
akan berpotensi wujud dengan bertempatnya sperma di rahim perempuan.9

Nah, bila childfree yang dimaksud adalah menolak wujudnya anak sebelum

potensial wujud, yaitu sebelum sperma berada di rahim wanita, maka hukumnya adalah

boleh. Lalu bagaimana dengan hadits-hadits Nabi saw yang menganjurkan orang untuk

menikah dan mempunyai anak? Bukankah Nabi saw berulang kali menganjurkannya,

seperti dalam dua hadits berikut:

‫ل للاِا فَقُتِ َا‬


‫ل ام أجد‬: ‫ل قال العراقي‬ ‫سبِي ِا‬ ‫ل لَيُ َجامِ ُاع أَ ْهلَ اهُ فَيُ ْكتَبُا لَ اهُ بِ ِج َما ِع ِاه أَجْ ُار َولَدا ذَكَرا قَاتَ َا‬
َ ‫ل فِي‬ ‫الر ُج َا‬
َّ ‫ن‬‫إِ َّا‬
‫بل له أصل من حديث أبي ذر أخرجه ابن حبان في صحيح اه‬: ‫ ولكن قال الزبيدي‬،‫له أصل‬

Artinya:“Sungguh seorang lelaki niscaya menyetubuhi istrinya kemudian sebab


persetubuhan itu pahala anak laki-laki yang berjihad fi sabilillah kemudian
mati syahid.” (Al-‘Iraqi berkata: 'Aku tidak menemukan asalnya', namun
Murtadla az-Zabidi berkata: 'Ada asalnya, yaitu dari hadits riwayat Abu Dzar
ra yang ditakhrij oleh Ibnu Hibban dalam kitab shahihnya'). 10

‫ْس مِ نَّا ثَ َلثًا رواه أبو منصور الديلمي في مسند الفردوس من حديث‬ ‫َاح َمخَافَةَا ا ْل ِع َيا ِا‬
‫ل فَلَي َا‬ ‫َم ْا‬
‫ن ت ََركَا النِك ِا‬
‫ف‬
‫أبي سعيد بسند ضعي ا‬
Artinya:“Siapa saja yang meninggalkan nikah karena khawatir kesulitan mengurus anak
istri maka tidak termasuk dariku. Nabi saw mengatakannya tiga kali.” 11

Abu Hamid Al-Ghazali, Ihyâ’ ‘Ulûmiddîn, [Beirut, Dârul Ma’rifah], juz II, halaman 51
9
10
Hadits riwayat Abu Dzar ra yang ditakhrij oleh Ibnu Hibban dalam kitab shahihnya'). (Muhammad
bin Muhammad al-Husaini az-Zabidi, Ithâfus Sâdatil Muttaqîn bi Syarhi Ihyâ-i’ ‘Ulûmiddîn, [Beirut,
Muassasatut Târîhil ‘Arabi, 1414 H/1994 M], juz V, halaman 379-380)
11 HR Abu Manshur ad-Dailami dalam Musnadul Firdaus dari hadits Abu Sa’id dengan sanad dha’îf).

(Abul Fadhl al-‘Iraqi, al-Mughni ‘an Hamlil Asfâr, [Riyadl, Maktabah Thabariyyah: 1415 H/1995 M],
tahqiq: Asyraf Abdil Maqshud, juz I, halaman 369 dan 403
12

Berkaitan hadits pertama Imam Al-Ghazali menjawab, Nabi saw berkata demikian

karena andaikan lelaki tersebut mendapatkan anak seperti itu, maka ia mendapatkan

pahala tasabbub atau telah menjadi sebab wujudnya anak tersebut. Sementara yang

menciptakan, menghidupkan, dan menguatkan anak itu dalam berjihad adalah Allah.

Adapun lelaki itu telah melakukan sebab wujudnya anak tersebut dengan menyetubuhi

istrinya, yaitu ketika ia membiarkan spermanya masuk ke dalam rahim istri. Menurut

Al-Ghazali, hadits ini hanya bersifat anjuran, dan bila ada orang memilih tidak

melakukannya atau memilih tidak punya anak maka boleh atau sekadar tarkul afdhal

(meninggalkan keutamaan).

Demikian pula terkait hadits kedua, Imam Al-Ghazali menegaskan bahwa hukum

‘azl atau menumpahkan sperma di luar vagina hukumnya boleh seperti hukum memilih

tidak menikah sama sekali. Adapun sabda Nabi saw: “Maka tidak termasuk dariku”,

maksudnya adalah tidak sesuai dengan sunnah dan jejak langkahnya, yaitu melakukan

pilihan amal yang lebih utama. Keteguhan Al-Ghazali dalam memegang pendapatnya

yang menyatakan menolak anak sebelum potensial wujud atau sebelum sperma berada

dalam rahim perempuan adalah boleh, mendapat dukungan Az-Zabidi. Secara tegas Az-

Zabidi menyatakan:

‫فَإِذَا‬. ُ‫ل ا ْل َم ِبيتُا َوالنَّفَقَ اة‬


‫علَ ْي ِاه ِإ َّ ا‬
َ ‫ل َي ِجبُا‬ ‫ج َا‬‫فَإِذَا تَزَ َّو َا‬. ‫ل ِع ْن اَد ُو ُجو ِاد ش ُُروطِ ِاه‬ ‫ح ِإ َّ ا‬
‫علَ ْي ِاه النِكَا ُا‬
َ ‫ل َي ِجبُا‬‫إإذْا َ ا‬
ِ ‫ل ذَلِكَا ِإنَّ َما ه َاُو ت َْركا ِل ْلف‬
‫َضيلَ ِاة‬ ‫فَت َْركُا كُ ِا‬. ‫ل‬
‫ن يُ ْن ِز َا‬‫علَي ِاه أَ ْا‬
َ ‫ل َي ِجبُا‬‫َجا َم َاع َ ا‬
Artinya:“Karena sebenarnya seorang lelaki tidak wajib menikah kecuali saat terpenuhi
syarat-syaratnya. Sebab itu, bila menikah maka ia tidak wajib melakukan
apapun kecuali menginap di suatu tempat bersama istri dan menafkahinya.
Bila ia menyetubuhinya, maka tidak wajib baginya untuk inzâl atau
memasukan sperma ke rahim istri. Karena itu, meninggalkan semua hal
tersebut hanyalah meninggalkan keutamaan, tidak sampai makruh apalagi
haram.”
13

Walhasil, dengan merujuk pendapat Imam Al-Ghazali, demikian pula pendapat Az-

Zabidi, yang membolehkan penolakan wujud anak sebelum potensial wujud, yaitu

sebelum sperma berada di rahim perempuan, maka hemat penulis, hukum asal childfree

adalah boleh. Namun demikian kebolehan ini dapat berubah sesuai berbagai faktor yang

mempengaruhinya. Seperti childfree yang dalam praktik riilnya dilakukan dengan

menghilangkan sistem reproduksi secara total, maka hukumnya haram.12

Selain itu juga ada pendapat dari pegiat kesetaraan gender dari berbagai kalangan,

yang menyatakan bahwa pilihan childfree merupakan hak seseorang yang tidak usah

dipermasalahkan karena memiliki anak bukan menjadi kewajiban seseorang karena

dalam Islam tidak ada perintah demikian. 13 Pendapat ini juga beralasan bahwa memiliki

anak merupakan sebuah tanggung jawab yang besar bukan hanya sekedar hamil,

melahirkan dan menyusui namun banyak hal lain yang harus dipertanggungjawabkan

oleh orang tua sedangkan kapasitas seseorang dengan yang lain berbeda-beda dalam

hal kemampuan mengasuh anak.14 Selain argumen di atas, mereka juga menyinggung

mengenai Hak Asasi Manusia, terlebih itu adalah hak perempuan. Karena perempuanlah

yang akan menanggung lebih banyak beban ketika memiliki anak. Selain itu, alasan

mereka yang memilih childfree adalah untuk mengurangi populasi- populasi penduduk

bumi. Mereka tidak ingin menambahi beban dengan bertambahnya populasi dengan

kelahiran anak mereka.

Di lain tempat ada yang mengajukan dalil-dalil al-Qur’an mengenai anak yang

dilihat dari tiga sumber yakni al-Qur’an, Hadis dan pendapat ulama’. Untuk ayat al-

Qur’an yang ditampilkan adalah

12 https://islam.nu.or.id/nikah-keluarga/hukum-asal-childfree-dalam-kajian-fiqih-islam-CuWgp
(Diakses tanggal 06 Februari 2022 pada pukul 11:41)
13 Silahkan kunjungi mubadalah.id ataupun lainnya yang membahas tentang childfree ini.
14
Siti Rohmah, Gita Savitri: Childfree itu Sangat Pemberani dan Berpikir Panjang, mubadalah.id
yang diupload tanggal 15 September 2021.
14

1) Qs. Al-Anfal (8): 28,

‫ا‬→◆❑‫ا ا‬☺‫ا ا‬❑☺◼◆


‫ا‬‫ا ا‬◆‫ا ا‬◆‫ا ا‬⬧◆
‫ ا‬‫ا‬→⧫‫ا‬‫ا‬◼
Artinya:“Dan ketahuilah, bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai cobaan
dan Sesungguhnya di sisi Allah-lah pahala yang besar”.

Dalam ayat ini dijelaskan bahwa anak-anak adalah sama dengan harta benda yang

dapat menjadi cobaan bagi manusia.

2) Qs. Al-Kahf (18): 46,

‫➔ا‬◆‫ا‬ ‫⧫ا‬❑⧫◆‫ا‬ ‫ا‬☺

‫ا‬‫ا‬ ‫ا‬◆‫ا‬ ‫ا‬❑◆⬧

‫→ا‬⬧‫ا‬ ‫→ا‬◆⧫◆

‫ا‬◆❑‫ا‬ ‫ا‬◼◆‫ا‬ ‫ا‬‫ا‬ ‫ا‬

‫ا ا‬‫ا‬⧫‫ا‬◆

Artinya :“Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi amalan-amalan
yang kekal lagi saleh adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih
baik untuk menjadi harapan”.

Sedangkan dalam ayat ini anak-anak dan harta benda dikatakan sebagai perhiasan

kehidupan, namun yang paling baik di sisi Tuhan adalah amal salih.

3) Qs. Saba’ (34): 37,

‫ا‬⬧‫ا ا‬◆‫ا ا‬◆❑‫ا ا‬⧫◆


‫ا‬⧫‫ا‬ ‫ا‬⬧➔‫ا‬ ‫ا‬
‫ا‬⬧‫ ا‬☺⧫◆‫ ا‬⧫◆‫ ا‬⧫‫ ا‬‫ ا‬⬧
‫ا‬➔‫ا‬⧫‫ا‬⚫‫ا‬⬧⬧
‫ا‬⬧‫ ا‬‫ ا‬➔◆‫ ا‬❑➔‫ ا‬☺
‫ااا ا‬‫⧫ا‬❑◆
Artinya:“Dan sekali-kali bukanlah harta dan bukan (pula) anak-anak kamu yang
mendekatkan kamu kepada Kami sedikitpun; tetapi orang-orang yang beriman
dan mengerjakan amal-amal (saleh, mereka Itulah yang memperoleh Balasan
yang berlipat ganda disebabkan apa yang telah mereka kerjakan; dan mereka
aman sentosa di tempat-tempat yang Tinggi (dalam syurga)”.
15

Dalam ayat ini juga dikatakan bahwa anak-anak dan harta benda adalah bukalah

faktor yang membuat seseorang dekat Allah swt. melainkan amal salaihlah yang dapat

mendekatkan dirinya kepada Allah swt.

4) Qs. Al-Munafiqun (63): 9,

‫ا‬‫ا ا‬❑⧫◆‫⧫ا ا‬‫ا ا‬⧫


‫ا‬◆‫ا‬ ‫ا‬◆❑‫ا‬ ‫ا‬➔
‫ا‬⧫◆‫ا ا‬‫ا ا‬‫ا ا‬‫ا ا‬⧫‫ا ا‬→⬧
‫ا‬➔‫ا‬ ‫ا‬⬧⬧‫ا‬ ‫ا‬⬧‫ا‬ ‫ا‬➔⧫
‫ااا ا‬‫⧫ا‬
Artinya :“Hai orang-orang beriman, janganlah hartamu dan anak-anakmu melalaikan
kamu dari mengingat Allah. Barangsiapa yang berbuat demikian Maka mereka
Itulah orang-orang yang merugi.” Yang mana dalam ayat ini Allah swt
memperingatkan agar anak-anak dan harta benda tidak menjadi faktor yang
membuat lalai untuk mengingatnya”.

Argumen-argumen di atas hanya sebagian kecil dari beberapa argumen bagi yang

mendukung paham childfree ini. Melihat argumen-argumen atau alasan yang mendasari

pilihan childfree saya kira dapat diklarifikasikan menjadi dua: yakni yang sesuai udzur

syar’i dan kekhawatiran yang tidak mendasar. Untuk alasan yang udzur syar’I saya kira

tidaklah masalah, namun kekhawatiran yang tidak ada dasarnya ini yang saya kurang

setuju. Childfree atau tidak memang pilihan pribadi perempuan, namun hendaknya

pilihan tersebut adalah pilihan terbaik buat kehidupannya baik di dunia maupun di

akhirat.

B. Al-Qur’an dan Hadis

Setelah memaparkan beberapa dalil yang digunakan oleh kelompok yang memilih

childfree, dalam bagian ini penulis juga akan sedikit memaparkan dalil-dalil baik dari

al-Qur’an dan Hadis yang mana semangat dari semua itu adalah untuk tidak childfree.

1. Dalil al-Qur’an
16

Mengenai dalil ayat al-Qur’an yang membahas anak ini sangat banyak

sekali, namun dalam tulisan ini hanya fokus pada dua ayat yakni:

a) Qs. Al-An’am (6): 151

‫⧫ا‬▪‫ا ا‬⧫‫ا ا‬‫ا ا‬❑⬧➔⬧‫ا ا‬➔‫ا‬


‫ا‬❑➔‫ا ا‬‫ا ا‬‫ا ا‬→◼⧫‫ا ا‬→◆
‫ا‬⧫◆❑◆‫ا ا‬‫ا ا‬‫ا ا‬
‫ا‬❑➔⬧‫ا‬ ‫ا‬◆‫ا‬ ‫ا‬‫ا‬ ‫ا‬
‫ا‬⬧‫ا ا‬‫ا ا‬◼‫ا ا‬‫ا ا‬→⬧
‫ا‬◆‫ا‬ ‫ا‬‫ا‬ ‫ا‬➔◆‫ا‬ ‫ا‬→➔⧫
‫⧫ا‬⬧‫ا ا‬⧫‫ا ا‬◆❑‫ا ا‬❑⧫⬧
‫ا‬❑➔⬧‫ا ا‬◆‫ا ا‬‫ا ا‬⬧⧫‫ا ا‬⧫◆‫ا ا‬
‫ا‬‫ا ا‬‫⧫ا ا‬▪‫ا ا‬‫ا ا‬
‫ا‬‫ا ا‬◆‫ا ا‬⬧‫ا ا‬‫ا ا‬⬧
‫ااا‬‫⧫ا‬❑➔➔⬧‫ا‬➔⬧

Artinya: Katakanlah : Marilah kubacakan apa yang diharamkan atas kamu oleh
Tuhanmu Yaitu: janganlah kamu mempersekutukan sesuatu dengan Dia,
berbuat baiklah terhadap kedua orang ibu bapak, dan janganlah kamu
membunuh anak-anak kamu karena takut kemiskinan, Kami akan memberi
rezeki kepadamu dan kepada mereka, dan janganlah kamu mendekati
perbuatan-perbuatan yang keji, baik yang nampak di antaranya maupun yang
tersembunyi, dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah
(membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar [518].
demikian itu yang diperintahkan kepadamu supaya kamu memahami (nya).
[518] Maksudnya yang dibenarkan oleh syara' seperti qishash membunuh
orang murtad, rajam dan sebagainya.

b) Qs. Al-Isra’ (17): 31.

‫⬧ا‬◆‫ا ا‬⬧‫ا ا‬❑➔⬧‫ا ا‬◆


‫ا‬➔⧫‫ا‬ ‫ا‬⧫‫ا‬ ‫ا‬‫ا‬ ‫ا‬◼
‫⧫ا‬‫ا ا‬◼⬧‫ا ا‬‫ا ا‬‫ا ا‬◆
‫ا‬‫ا‬
Artinya:“Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan.
kamilah yang akan memberi rezki kepada mereka dan juga kepadamu.
Sesungguhnya membunuh mereka adalah suatu dosa yang besar”.
17

Dalam dua ayat tersebut redaksi yang digunakan sedikit berbeda yakni jika dalam

Qs. Al-An’am ayat 151, Allah melarang umat Islam membunuh anak-anak kerena

kemiskinan, sedangkan dalam Qs. Al-Isra’ ayat 31 Allah swt melarang umat Islam

membunuh anak-anak mereka karena takut kemiskinan. Dengan demikian dapat

diartikan bahwa dalam Qs. Al-An’am pembunuhan dilakukan oleh umat terdahulu

disebabkan oleh kemiskinan yang mereka alami dan takut akan lebih parah kemiskinan

mereka dengan kelahiran anak mereka. Sedangkan dalam Qs. Al-Isra’ kemiskinan

mereka belum terjadi, atau kemungkinan kekahawatiran kemiskinan tersebut akan

dialami anak mereka jika dilahirkan kelak. Dengan dua kondisi yang hampir sama yakni

sebuah kekhawatiran akan kesejahteraan anak-anak mereka kelak, oleh karena itu

lanjutan ayat tersebut Allah swt berfirman bahwa Allah swt lah yang memberikan rizki

baik kepada mereka maupun anak-anak mereka.15

Dengan demikian dari kedua ayat di atas adalah anjuran untuk tetap memiliki, tidak

perlu khawatir akan kehidupan anak kelak, karena semua makhluk yang lahir membawa

takdir masing-masing dan kemiskinan bukanlah alasan yang tepat untuk dijadikan

hujjah untuk tidak memiliki anak. 16 Namun orang tua juga tidak boleh lepas tangan atas

kehidupan anaknya, karena anak merupakan amanah yang harus dirawat dan

dipersiapkan untuk menjadi seseorang yang memperjuangkan agama Allah swt, li i’la’i

kalima tillah, dan untuk meneruskan kekhalifahan dibumi ini.

a. Dalil Hadis

1) Hadis Tentang Anjuran Nikah

15 Dalam redaksi ayat tersebut menggunakan redaksi yang artinya“Kami”. Biasanya jika
menggunakan Kami ada campur tangan selain Allah swt. mengenai pemaknaan ini bisa dilihat dalam
kitab tafsir karya M. Quraish Shihab, Al-Misbah (Ciputat: Lentera Hati) jilid 3, halaman 732.
16
Abu al-Fida Isma’il Ibn ‘Umar Ibn Kathir al-Qurashi al-Dimashqi, Tafsir al-Qur’an al-‘Azim, (ttp:
Dar al-T{ayyibah), 1999, juz 3, halaman 361
18

Ada banyak hadis yang menganjurkan untuk segera menikah, salah

satunya adalah hadis yang menjelaskan bahwa menikah merupakan sunnah

Nabi Muhammad saw. Siapa saja yang tidak menyukai atas sunnah menikah

tersebut maka bukan termasuk umat Nabi Muhammad saw.17 Namun hukum

awal menikah adalah sunnah, yakni menadapat pahala bagi yang mau

melaksanakannya dan tidak mendapat dosa bagi yang memilih untuk

menjomblo seumur hidup (dengan syarat tidak mengkhawatirkan). Namun

hukum menikah ini dapat berubah-rubah sesuai dengan kondisi individu

masing-masing. Menikah dapat menjadi wajib bagi seorang laki-laki atau

perempuan yang mampu dan mempunyai hasrat nafsu yang sulit ditahan. Dapat

berubah haram bagi seorang laki-laki atau perempuan yang memiliki niat jahat

dalam pernikahan. Hukum menikah ini juga dapat menjadi mubah dan makruh

atau sunnah.

Salah satu hikmah dari pernikahan adalah membuat hati sakinah, tenang

karena ada pendamping dan ada tempat untuk mencurahkan segala rasa, biasa

disebut rekreasi. Selain itu, hikmah dari pernikahan adalah mendapatkan

keturunan yang sah atau prokeasi. Mendapatkan keturunan yang sah

merupakan salah satu dari Maqasid al-Shari’ah, yakni Hifd al-Nasl atau

menjaga keturunan. Dari sini juga dapat dimaknai menjaga keberlangsungan

Nasl guna meneruskan kemakmuran bumi dan sebagai penerus khalifah fil ard

menjadi penting. Oleh karena itu memiliki anak merupakan hal penting bagi

manusia, meskipun bukan sebuah kewajiban.

2) Hadis Anjuran Menikah dengan Perempuan Subur.

17
Muhammad Ibn Yazid Abu ‘Abdillah al-Qazwini, Sunan Ibn Majah (Beirut: Dar Fikr) tt, Juz 1,
halaman 593.
19

Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad bahwa Nabi

saw. memerintahkan kepada laki-laki untuk menikahi perempuan yang

“walud” atau subur.18 Namun, hadis ini bukan berarti perempuan yang tidak

bisa memberikan anak tidak boleh dinikahi karena anak adalah pemberian

Allah swt atas kehendaknya. Dalam Qs. Al-Shura (42): 49-50 dijelaskan bahwa

bahwa Allah swt Maha Kuasa untuk memberikan anak laki-laki atau anak

perempuan atau kedua-duanya kepada siapa saja yang dikehendaki, begitu juga

Allah swt. Maha Kuasa untuk tidak memberikan semuanya itu kepada yang

dikehendaki. Oleh karena itu, mempunyai anak atau tidak, baik disebabkan

kemandulan istri atau suami, merupakan taqdir atau kekuasaan Allah swt, yang

harus diyakini bahwa semua itu adalah yang terbaik bagi manusia karena Allah

swt Maha Mengetahui yang terbaik bagi umat manusia.

Jadi mempunyai anak atau tidak adalah hak Allah swt. Oleh karena itu,

dalam hadis tersebut harus dimaknai dengan betapa Nabi saw. menganjurkan

umatnya untuk memiliki anak, karena dengan anak-anak dari umat islamlah

agama ini akan unggul dari umat agama lain. Keunggulan disini tidak hanya

dari segi kuantitas namun juga harus dibarengi dengan unggul dari segi

kualitas. Karena ada sebuah hadis yang memerintahkan untuk menikahi

perempuan yang kuat agamanya, sebagai upaya menjadikan anaknya kelak

mendapatkan pendidikan agama yang kuat, menjadi anak yang salih, karena

seorang ibu adalah madrasah pertama bagi anaknya.

3) Hadis Tentang Amal yang Tidak Terputus

18Ahmad Ibn Hanbal, Musnad Imam Ahmad Ibn Hanbal (ttp: Muassah al-Risalah)1999, juz 20,
halaman 63 (Maktabah al-Shamilah).
20

Hadis tentang amal yang tidak terputus sudah mashur di kalangan umat

19
Islam.memiliki akanDalam hadis tersebut dijelaskan bahwa seseorang

simpanan amal yang akan terus mengalir pahalanya meskipun ia sudah

meninggal, yakni sadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak salih yang

mendoakan kebaikan baginya. Hadis ini dapat diartikan bahwa seorang muslim

masih mempunyai harapan aliran pahala meskipun ia sudah meninggal. Oleh

karena itu, ketiga amal jariyah tersebut harus diusahakan semaksimal mungkin

pada saat masih hidup. Karena kehidupan dunia ini merupakan tempat

mengumpulkan bekal untuk kehidupan akhirat kelak.

Amal pertama adalah sadaqah jariyah yakni sebuah sadaqah yang sifat

kemanfaatannya awet, jadi meskipun seseorang sudah meninggal dunia namun

kemanfaatan sadaqah yang ia sedekahkan sewaktu masih hidup masih bisa

dirasakan oleh penerima sadaqah tersebut. Kedua adalah ilmu yang

bermanfaat, untuk ini hampir sama dengan amal pertama yakni sebuah ilmu

yang bermanfaat adalah ilmu yang tetap dapat dirasakan kemanfaatannya oleh

orang lain meskipun orang yang memiliki ilmu tersebut sudah meninggal

dunia.

Kemudian amal ketiga, yakni anak yang salih yang terus mendoakan

kebaikan kepada orang tuanya yang sudah meninggal. Dalam redaksi hadis

tersebut adalah kata anak disandingkan dengan kata sifat salih, jadi dapat

dipahami bahwa orang tua harus berusaha semaksimal mungkin untuk

19 Dirujuk dalam kitab karya Abu al-Husain Muslim Ibn Hajjaj Ibn Muslim al-Qushairi al-
Naisaburi, Al-Jami’ al-Sahih (Beirut: Dar al-Jail) tt, juz 5, halaman 73.
21

menjadikan anak-anaknya menjadi anak yang berkualitas terbaik yakni menjadi

anak-anaknya menjadi orang yang salih.

Menurut penulis, hadis tersebut merupakan salah satu hadis yang berfungsi

sebagai motivasi yakni berupa reward terhadap orang tua yang memilih untuk

memiliki anak yang salih, yang mana kesalihan ini adalah bentuk keberhasilan

orang tua dalam mendidik anaknya untuk menjadi anak yang berkualitas bukan

hanya kuantitas. Selain itu, anak salih ini juga dapat dijadikan andalan bagi

seseorang ketika sadaqah jariyah dan ilmu yang bermanfaat tidak ia miliki, ia

masih memiliki harapan kepada anaknya yakni doa-doa yang ia panjatkan

ketika orang tuanya sudah meinggal.

Dengan demikian yang dapat dipahami dari ayat dan hadis di atas salah

satunya adalah anjuran untuk memiliki anak. Dalam pemilikan anak ada dua

faktor yakni kehendak Allah dan kehendak manusia. Dalam artian begini,

anjuran agama Islam tidak secara jelas dan tegas memerintakan untuk

memiliki anak. Hal ini karena untuk memiliki anak adalah kekuasaan Allah

swt. Misal, jika Allah swt berkehendak untuk tidak memberikan anak kepada

seseorang, jadi meskipun seseorang ini bermujahadah, berusaha dengan segala

cara maka tidak akan punya anak. Kemudian yang kedua, yakni kehendak

manusia yang diberikan kebebasan memilih apakah mau memiliki anak atau

tidak.20 Jadi perlu dicatat bahwa ini adalah pilihan, manusia bisa memilih

untuk memiliki anak, tentunya dengan adanya proses, dan memilih untuk tidak

memiliki anak.

20 Namun hal ini berbeda dengan di luar sunnatullah, misal kisah Sayyidah Maryam, ibunda Nabi Isa
as. yang melahirkan tanpa pilihan darinya.
22

Memiliki anak bukanlah hal yang mudah dan sepele. Betapa beratnya

beban oleh orang tua yang memiliki anak. Terutama bagi seorang perempuan,

beban ini bertubi-tubi sejak ia mengandung, dalam Al-Qur’an dikatakan

bahwa beban yang dipikul oleh seorang ibu adalah wahnan ‘ala wahnin. 21

Oleh sebab itu reward, sebagai salah satu motivasi, yang diberikan oleh agama

untuk seorang perempuan yang mau memilih memiliki anak sangatlah besar.

Di antaranya adalah surga berada di telapak kakinya, memiliki derajat tiga

tingkat dibanding derajat ayah, doa yang sangat manjur bagi anak-anaknya,

sebagai amal ibadah yang tidak terputus yakni doa anak tersebut dan tentunya

pahala yang sangat besar.

Jadi memiliki anak atau tidak merupakan pilihan bebas bagi perempuan,

yang mana setiap pilihan tersebut memiliki konsekuensi sendiri-sendiri.

Kebebasan inilah sebenarnya yang diperjuangkan oleh pemilih childfree.

Sebenarnya childfree ini adalah pilihan pribadi yang tidak usah diumbar-

umbar dan tidak usah memprovokasi kepada yang lain untuk mengikuti pilihan

yang dipilih. Oleh karena itu, bagi perempuan generasi muda hendaklah

memilih sesuai dengan pilihan merdeka namun pilihan tersebut juga harus

didasari alasan yang bijak dan dapat diterima.

B. Penyebab Terjadinya Childfree


Ada beberapa faktor penyebab utama kenapa banyak sekali pasangan yang memilih

untuk childfree, seperti tidak siap menjadi orang tua, faktor ekonomi, faktor lingkungan

bahkan faktor fisik diri sendiri maupun fisik pasangan. Victoria Tunggono selaku

penulis buku 'Childfree & Happy' berkata, “Saya pikir, kalau mau menjadi orang tua itu

21 Qs.Lukman (31): 14
23

tidak hanya siap dalam hal materi dan fisik saja, tetapi juga harus ada kesiapan mental

dari seorang yang ingin atau yang sudah menjadi orang tua untuk bagaimana melayani

anaknya kelak.

Bukan hanya orang tua harus melayani, tetapi juga harus di dasari oleh keinginan

dari masing-masing pribadi.” Dari wawancaranya terhadap 14-16 orang yang

memutuskan childfree, Victoria mengungkapkan ada 5 alasan pokok mereka mengambil

sikap seperti itu. Yaitu fisik (sakit turunan), psikologis (kesiapan/ masalah mental),

ekonomi, lingkungan hidup (dunia sudah terlalu padat), dan alasan personal.

1. Fisik

“Fisik tidak mampu, misalkan dia punya penyakit turunan atau dia secara fisik

tidak bisa punya anak, tidak mampu. Karena fisik diri sendiri atau fisik pasangan, dia

sudah menikah tapi dia melihat tidak mampu kayanya gak deh mendingan gak usah dari

pada ribet.”

2. Kondisi Psikologis

“Jadi yang tadi psikologis itu karena saya punya kelainan masalah mental jadi saya

tidak mau. Saya aja belum selesai dengan diri saya sendiri saya sudah harus punya anak,

akhirnya kan nanti jadi toxic dan orang-orang memilih childfree itu mereka sadar bahwa

mereka secara mental tidak mampu maka mereka memilih untuk childfree.”

3. Ekonomi
24

“Dia merasa selama hidup itu cukup berkekurangan dan dia merasakan gimana

rasanya harus berbagi satu mungkin ya satu piring nasi untuk kakak beradik 7 orang

yang merasa susahnya seperti itu dengan usia kakak adik yang terlalu dekat, dan dia

merasa oh hidup susah dengan kekurangan uang. Jadi ada juga faktor keuangan."

4. Faktor Lingkungan

“Jadi dia merasa oh hidup ini dunia ini sudah terlalu padat, ada yang bilang sudah

global warming dan sebagainya, dan dia tidak mau menambah kerusakan alam dengan

satu lagi jiwa.”

5. Alasan Personal

“Dan yang terakhir adalah tentang keputusan sendiri, itu yang seperti saya lihat dari

orang sekitar jadi bukan alasan-alasan yang keturunan dan sebagainya atau alasan yang

lebih prinsipil, tapi ini memang keputusan aja yang kayak emang nggak mau gitu.”

Memilih childfree dalam hubungan pernikahan harus didasari oleh keputusan

bersama. Jika salah satu pasangan hanya satu saja yang memilih childfree dan yang

satunya lagi tidak, itu akan menumbuhkan konflik di dalam hubungan tersebut. Banyak

pasangan suami istri yang memilih untuk childfree karena mereka merasa lemah, baik

dari fisik diri sendiri, fisik pasangan, dalam hal mengurus dan membesarkan anak.

Permasalahan yang hadir dalam mengurus anak biasanya hadir karena masalah pola

asuh dan pola didik. "Ketika seseorang tidak mendapatkan pola asuh yang baik dari
25

orang tua mereka, maka mereka akan bermasalah di lingkungan masyarakat," ujar

Victoria Tunggono.22

Kasus ini identik dengan penjelasan Al-Ghazali yang berkemungkinan diprotes atas

rumusan hukumnya, yang membolehkan penolakan wujudnya anak sebelum potensial

wujud, yaitu sebelum sperma lelaki masuk ke dalam rahim perempuan. Al-Ghazali

mengandaikan, “Bila ada yang protes, ‘Bila ‘azl atau menumpahkan sperma di luar

vagina istri saat bersetubuh hukumnya tidak makruh dari sisi menolak wujudnya anak,

maka bisa saja makruh karena niat atau motif buruk yang menyebabkan orang memilih

menolak anak. Sebab penolakan terhadap wujudnya anak tidak akan muncul kecuali

dari niat yang rusak (menurut agama) yang mengandung unsur-unsur syirik khafi (syirik

yang samar).”

Menjawab protes seperti itu, Al-Ghazali secara detail menjelaskan, niat atau motif

orang menolak wujudnya anak ada lima, dan tidak semuanya niat yang haram. Berikut

penulis kutipkan secara substansial penjelasan Al-Ghazali dalam kitabnya, Ihyâ

‘Ulûmuddîn. Pertama, motif finansial seperti dalam konteks masih berlaku perbudakan

manusia tempo dahulu, sehingga seorang lelaki membiarkan budak perempuannya

hanya disetubuhinya dengan cara ‘azl sehingga tidak punya anak, agar dengan kondisi

seperti ini lelaki pemiliknya tetap dapat menjadikan budak perempuan itu sebagai

hartanya.

Motif finansial seperti ini hukumnya boleh dan tidak terlarang. Kedua, motif

seksual dan keselamatan hidup, yaitu untuk menjaga kecantikan istri dan kualitas

bodinya agar lebih awet dan tetap menarik diajak aktifitas seks, serta menjaganya agar

22
Maria Frani Ayu. 2021. “(Riview Buku)”; “Childfree and Happy”, karya Victoria Tunggono”.
Diakses melalui laman https://mariafraniayu.com/2021/03/15/reiew-buku-childfree-and-happy-karya-
victoria-tunggono/_pada tanggal 23 Agustus 2021.
26

tetap hidup karena khawatir mati bila melahirkan anak. Motif seperti ini tidak dilarang.

Ketiga, motif finansial atau ekonomi, di mana orang khawatir bila punya anak akan

merepotkan hidupnya, harus bekerja lebih keras, dan terjerumus dalam pekerjaan-

pekerjaan haram. Motif seperti ini juga tidak dilarang. Sebab semakin orang tidak repot,

semakin mudah pula ia menjalankan agama.

Meskipun berkaitan dengan motif ini perlu diakui, pilihan yang lebih utama adalah

tetap menikah dan bertawakal kepada Allah swt seiring firman-Nya:

‫ا‬◼⧫‫ا‬‫ا‬‫ا‬‫ا‬‫ا‬‫ا‬⧫◆
‫ا‬▪⬧⧫‫اا‬◼➔⧫◆‫اا‬➔‫اا‬
‫ا‬⧫‫ا ا‬‫ا ا‬‫ا ا‬‫ا ا‬⧫❑⧫◆
‫ا‬✓

Artinya:“Tidak satupun makhluk bergerak (bernyawa) di bumi melainkan semuanya


dijamin oleh Allah rezekinya, Dia mengetahui tempat berdiam semua makhuk
di dunia dan tempat menetapnya setelah kematian atau saat masih dalam
rahim. Semua telah tertulis dalam kitab yang nyata (lauhil mahfûdh)”. (Surat
Hud ayat 6).23

Namun demikian, orang tidak berdosa dengan meninggalkan keutamaan menikah

dan punya anak dengan bertawakkal seperti ini, dan justru memilih tidak punya anak

atau chidfree. Mempertimbangkan akibat-akibat kerepotan hidup di masa depan karena

punya anak meskipun sebenarnya bertentangan dengan sikap tawakkal, namun menurut

Al-Ghazali tidak dapat dinilai sebagai pilihan hidup yang dilarang agama. Ke empat,

motif keyakinan yang keliru, yaitu orang memilih tidak punya anak karena khawatir

anak yang dilahirkan adalah anak perempuan, sementara ia berkeyakinan bahwa

menikahkan anak perempuan merupakan aib sebagaimana keyakinan orang Arab

23 (Jalaluddin al-Mahalli dan Jalaluddin as-Suyuthi, Tafsîrul Jalâlain dicetak bersama Hâsyiyyatus
Shâwi ‘alâ Tafsîril Jalâlain, [Beirut, Darul Fikr: 1424 H/2004 M], editor: Shidqi Muhammad Jamil, juz
II, halaman 259
27

jahiliyah tempo dulu yang sampai membunuh anak-anak perempuan mereka. Inilah

motif yang rusak dan tidak dibolehkan agama. Bahkan andaikan karena keyakinan

seperti ini kemudian orang memilih tidak menikah atau tidak bersetubuh dengan istrinya

setelah pernikahan, maka ia berdosa.

Dosanya bukan karena (1) ia tidak menikah, (2) tidak bersetubuh dengan istrinya

setelah pernikahan, atau (3) karena memilih ‘azl atau menumpahkan sperma di luar

vagina saat bersetubuh, akan tetapi berdosa karena keyakinannya yang salah atas sunnah

Nabi saw (memiliki anak). Dosanya seperti dosa perempuan yang enggan menikah

karena sombong nanti akan ‘dihegemoni’ oleh lelaki yang menjadi suaminya. Kelima,

motif perempuan menolak wujudnya anak karena terlalu higenis, terlalu ketat menjaga

kebersihan diri, tidak mau melahirkan, tidak mau nifas dan tidak mau menyusui bayi,

seperti tradisi perempuan-perempuan sekte Khawarij yang selalu berlebihan dalam

menggunakan air untuk membersihkan diri.

Bahkan mereka sampai-sampai mengqadha shalat yang ditinggalkannya saat haid

dan tidak masuk ke kamar mandi kecuali secara telanjang. Motif seperti ini juga

merupakan motif yang buruk dan rusak menurut agama. Namun demikian, berkaitan

motif seperi ini, yang rusak adalah motifnya, bukan sikapnya menolak wujudnya anak.

Demikian terang Al-Ghazali dalam kitab Ihyâ’ ulumuddin.24

Dari detail penjelasan Al-Ghazali tersebut hukum childfree dilihat dari sisi

motifnya tentu beragam. Bila motif childfree karena alasan

1) finansial atau khawatir akan menjadi repot hidupnya,

2) khawatir menggangu karir atau memprioritaskan karir,

24 (Abu Hamid Al-Ghazali, Ihyâ’ ‘Ulûmiddîn, [Beirut, Dârul Ma’rifah], juz II, halaman 52)
28

3) khawatir justru akan menyengsarakan anak dimasa depannya,

4) alasan aktifitas seksual dapat berkurang

5) alasan sosial yaitu masih banyaknya anak-anak terlantar atau kurang beruntung

yang dapat diadopsi, dirawat atau disantuni dari pada punya anak lagi,

6) overpopulation atau semakin meledaknya penduduk bumi berbanding terbalik

dengan kondisinya yang semakin rusak, dan semisalnya, hemat penulis belum

cukup menjadi alasan untuk mengharamkan.

7) demikian motif orang merasa dirinya lebih dapat berkontribusi positif dalam

kehidupan bila tidak punya anak dari pada punya anak, dan semisalnya. Sebab

motif-motif seperti itu dapat diterima secara fiqih islam.

Lain halnya bila motifnya adalah karena keyakinan-keyakinan yang keliru tentang

wujudnya anak, seperti:

a. memandang rendah anak perempuan,

b. antinatalism yaitu keyakinan bahwa melahirkan manusia-manusia baru ke

dunia merupakan sikap tak bermoral yang dilakukan turun temurun,

c. mengikuti keyakinan sesat yang menolak memiliki anak, dan semisalnya,

maka menurut penulis motif-motif seperti inilah yang membuat chilfree

menjadi haram.

Motifnya bukan haram, hanya saja menolak wujudnya anak. Bagaimanapun secara

mendasar, menurut fiqih islam yang lebih utama adalah tetap memilih punya anak dan

berketurunan, bukan memilih chilfree.

C. Childfree Dalam Rumah Tangga


29

Childfree, satu istilah yang akhir-akhir ini viral di media sosial gegara seorang

influencer dalam sebuah wawancaraa menyatakan untuk tidak memiliki anak setelah

menikah. Istilah childfree sendiri berarti keputusan yang diambil oleh pasangan suami

dan istri didalam rumah tangga untuk tidak memiliki anak dengan berbagai

pertimbangan dan alasan. Alasan tersebut bisa karena alasan finansial, psikologis atau

kesiapan mental orang tua. Khususnya sang perempuan untuk menjalani proses

kehamilan, melahirkan, merawat bayi, dan masih banyak lagi alasan lain sesuai keadaan

pasangan.

Dalam memilih mewujudkan hal tersebut, konsep relasi mitra antara suami dan istri

haruslah dibarengi diskusi. Dalam diskusi tersebut keda pihak harus terbuka terutama

pihak perempuan tentang alasan keputusan childfree itu dilakukan. Dalam memberikan

alasan tersebut juga harus disertai alasan dasar yang kuat sehingga tidak merugikan

kedua pihak. Jika mau melihat realitas kehidupan keluarga lebih dalam, maka akan

menemukan bahwa memiliki anak memang bukan perkara mudah. Banyak hal yang

harus dipersiapkan, dan beragam pula permasalahan yang dihadapi khusunya bagi

perempuan yang mengalami langsung proses tersebut. Mengandung selama sembilan

bulan bukanlah proses mudah. Setelah itu harus melalui proses melahirkan yang

menjadikan seorang ibu dalam situasi antara hidup dan mati. Tidak hanya itu, setelah

bayi lahir harus menyusui setidaknya dua tahun, merawat, mendidik dan mendampingi

sekitar 6 tahun, sampai sang buah hati masuk usia sekolah.

Secara fisik, psikis, dan materi semua proses itu sangat melelahkan bagi seorang

perempuan. Oleh karena wajar jika hari ini di saat wacana gender telah banyak

dipahami oleh perempuan, keputusan untuk childfree mulai banyak diikuti mereka.
30

Tapi, sebelum memutuskan untuk memilih memiliki anak atau tidak, sebaiknya kita

menelaah lebih dalam terkait dengan keuntungan atau kerugiannya, khususnya kerugian

dalam sudut pandang agama. Melihat Untung dan Rugi chilfree didalam rumah tangga

Dalam kitab Ihya Ulumuddin, Imam Al-Ghazali membuat menjelaskan bahwa

manfaat atau keuntungan pernikahan itu ada 5, yaitu:

a. memiliki anak

b. meredam syahwat

c. mengatur urusan rumah

d. memperbanyak anggota keluarga

e. dan mendapatkan pahala dari usaha menghidupi keluarga.

Dari lima manfaat tersebut, yang paling utama adalah memiliki anak. Imam Al-

Ghazali menjelaskan: Manfaat pertama (dari pernikahan) adalah memiliki anak, dan ini

manfaat utama/pokok, dan atas dasar anak itu pula pernikahan disyariatkan dengan

maksud untuk menetapkan keturunan dan agar alam ini tidak sepi dari jenis manusia.25

Hujjatul Islam ini juga menjelaskan bahwa memiliki anak merupakan sebuah bentuk

ibadah kepada Allah SWT. Setidaknya ada empat alasan penting mengapa memiliki

anak merupakan bagian dari ibadah. Pertama, sesuai dengan kecintaan Allah SWT di

dalam menghasilkan keturunan untuk berlangsungnya jenis manusia. Kedua, mencari

mahabbah Nabi Muhammad SAW dalam hal memperbanyak pengikut ajaran Nabi yang

menjadi kebanggaan. Ketiga mencari keberkahan dari doa anak yang shalih. Keempat,

mencari syafaat dari kematian anak dalam usia masih kecil dan meninggal sebelum

orang tuanya.

25 (Ihya Ulumuddin, Dar Ibn Hazm, halaman: 459)


31

Dari penjelasan Imam Al-Ghazali di atas, setidaknya kita tahu bahwa anak adalah

tujuan utama dari sebuah pernikahan. Bahkan bisa dikatakan bahwa pernikahan itu

sendiri disyariatkan oleh Allah SWT untuk tujuan terwujudnya keturunan, agar

keberlangsungan hidup manusia akan tetap berkesinambungan. Saat ini mungkin ada

yang berpendapat bahwa dunia sudah kelebihan populasi sehingga memiliki anak

bukanlah suatu yang penting lagi. Karena memiliki anak atau tidak, itu tidak akan

berpengaruh pada keberlangsungan hidup manusia, bahkan malah akan menjadikan

bumi tempat tinggal kita semakin penuh dan rusak akibat ulah manusia. Pendapat

seperti itu seakan-akan benar dan dapat diterima akal. Tetapi ada hal penting yang

terlewatkan. Pendapat di atas seakan-akan menafikan kekuasaan Allah SWT dalam

menjaga keseimbangan alam semesta. Meskipun secara dlahir mungkin bisa dilihat dan

dirasakan kerusakan bumi akibat ulah manusia, kita tidak boleh kehilangan keyakinan

bahwa Allah SWT yang sesungguhnya mengelola kelestarian alam semesta ini termasuk

bumi.

Di luar asumsi di atas, Imam al-Ghazali juga mejelaskan bahwa memiliki anak

selain menjadi tujuan utama pernikahan, juga menyimpan empat keuntungan bagi orang

tua yang melahirkan dan merawat anak tersebut. Ketika seseorang memiliki anak, maka

ia telah melakukan sesuatu yang bersesuaian dengan kehendak bahkan kecintaan Allah

SWT. Jika ada niat untuk tidak memiliki anak, maka adalah wujud penentangan

terhadap kehendak-Nya. Ada sebuah perumpamaan yang sangat indah dari Imam al-

Ghazali tentang orang yang tidak mau memiliki anak.

“Sesungguhnya seorang raja ketika memberikan kepada hambanya bibit, dan alat-

alat pertanian, kemudian disediakan bagi dia sebidang tanah untuk pertanian. Dan
32

hamba itu mampu untuk bercocok tanam, dan kemudian diserahkan kepada orang yang

mengerjakan pertanian itu. Maka jika ia bermalas-malasan, menyia-nyiakan alat

pertanian, dan membiarkan bibit-bibit itu sia-sia sehingga rusak, dan ia juga menolak

orang yang mewakilkan dengan berbagai alasan, maka wajib baginya kemurkaan dan

kemarahan rajanya.”26

Perumpamaan di atas kiranya cukup memberikan pelajaran bahwa memiliki anak

adalah kehendak dari Allah SWT, dan jangan sampai menentang kehendak tersebut.

Selain itu, memiliki keturunan juga merupakan usaha untuk mendapatkan cinta dari

baginda Nabi Muhammad SAW. Mengapa demikian? Karena akan bangga jika

pengikut ajarannya memiliki kuantitas yang lebih banyak dari para nabi sebelumnya.

Dengan demikian, memiliki anak juga merupakan wujud rasa cinta kita kepada

Rasulullah, dan berharap kelak akan bangga karena memiliki keturunan shalih dan setia

kepada ajarannya.

Tidak hanya itu, dengan memiliki anak, kelak akan ada yang mendoakan jika sudah

meninggal dunia. Doa anak shalih adalah salah satu amal jariyah yang ditunggu setiap

orang. Jangan sampai timbul penyesalan jika suatu saat tidak ada seorang pun yang

mendoakan. Dan yang paling akhir adalah ketika seorang anak meninggal mendahului

orang tuanya pada usia masih kecil, maka bisa memberi syafaat.

D. Rumah Tangga Dalam Islam

Al-Qur'an menyebutkan rumah tangga sebagai sebuah nikmat yang sangat agung.

Pernikahan adalah kunci kesuksesan mencetak generasi muda umat Islam. Tanpa

26
Ibid., halaman. 30
33

adanya pembinaaan keluarga maka ketahanan keluarga adalah mustahil untuk dicapai. 27

Ada tiga hal penting dalam menjaga keharmonisan rumah tangga yang dikabarkan oleh

Al-Qur'an. Pertama, selalu melihat pasangan sebagai seorang sahabat menjalani

perjalanan hidup yang setara. Dalam hal kewajiban dan hak tentu suami dan istri

memiliki peran yang berbeda. Akan tetapi, setiap dari keduanya tidak boleh merasa

lebih tinggi derajatnya dari yang lain. Justru kelebihan yang Allah berikan di antara

keduanya adalah bekal untuk mengemban tanggung jawab dalam keluarga. Bagaimana

tidak? Meskipun keduanya diciptakan dengan kepribadian dan bentuk yang berbeda

secara fisik, akan tetapi Al-Qur’an tidak pernah menyebut seorang istri dengan lafal

zaujah. Justru, Al-Qur'an menyebut istri dengan lafal zauj‫ا‬dalam banyak ayat.

‫او َخلَقَ امِ ْن َهاازَ ْو َج َها‬ ْ ‫ااربَّكُ ُماالَّذ‬


َّ ‫ِيا َخلَقَكُ ْمام ِْنانَّ ْفس‬
َّ ‫اواحِ دَة‬ ُ َّ‫يٰٓاَي َهااالن‬
َ ‫اسااتَّقُ ْو‬
Artinya:"Wahai manusia! Bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu
dari diri yang satu (Adam), dan (Allah) menciptakan pasangannya (Hawa) dari
(diri)-nya..." (QS An-Nisa: 1).
‫او َجعَلَامِ ۡن َهاازَ ْو َج َها‬ َّ ‫ه َُواٱلَّذِیا َخلَقَكُمام ِْنانَّ ْفس‬
َّ ‫اواحِ دَة‬
Artinya:"Dialah yang menciptakan kamu dari jiwa yang satu (Adam) dan daripadanya
Dia menciptakan pasangannya" (QS Al-A'raf: 129).

Dalam bahasa Arab, lafal zauj ‫ زوجاا‬dipakai untuk makna suami sedangkan lafal

zaujah ‫ زوجةاا‬dipakai untuk makna istri. Akan tetapi Al-Qur'an menyebut istri dengan

lafal zauj ‫ زوجا‬selayaknya menyebut seorang suami. Ibnu Asyur dalam tafsir Tahrir wa

Tanwir menyatakan penyebutan tersebut sebagai pertanda bahwa ketika seorang laki-

laki dan perempuan menikah maka keduanya memiliki kesetaraan sebagai dua insan

yang bersatu dalam biduk rumah tangga. Masing-masing adalah belahan jiwa bagi

27
Rahmah & Laili Nurhidayati, Kelas Pijat Bayi Sebagai Upaya Peningkatan Bonding Attachment
Dalam Keluarga Di Patalan Jetis Bantul Yogyakarta, Jurnal Pengabdian Dharma Bakti, Vol. 2, No. 2,
(2019), hlm. 29.
34

pasangannya. Sebagaimana Al-Qur'an menyebut laki-laki dan perempuan adalah setara

di hadapan Allah.

.‫ا‬..‫ضكُ ْمام ْۢ ِْنابَ ْعضا‬


ُ ‫ام ْنكُ ْمام ِْناذَكَرااَ ْواا ُْانثىابَ ْع‬
ِ ‫عامِل‬
َ ‫ع َملَا‬ ِ ُ ‫الاا‬
َ ‫ض ْي ُعا‬ ٰٓ َ ‫ي‬
ْ ِ‫اَن‬
Artinya:“Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang yang beramal di antara
kamu, baik laki-laki maupun perempuan, (karena) sebagian kamu adalah
(keturunan) dari sebagian yang lain...(QS Ali Imran: 195).

Lebih jauh lagi, dalam ayat yang lain Al-Qur'an menyebutkan:

‫اواَ ْنت ُ ْما ِلبَاسالَّ ُهنَّا‬


َ ‫هُنَّ ا ِلبَاسالَّكُ ْم‬
Artinya:“...Mereka adalah pakaian bagimu, dan kamu adalah pakaian bagi mereka…”

(QS Al-Baqarah: 187).

Dalam buku yang berjudul “Makna Ayat 'Suami-Istri adalah Pakaian bagi

Pasangannya” oleh Dr. Muhammad Sayyid Thanthawi dalam tafsir al-Wasith

menyatakan untaian ayat ini sebagai sebuah gambaran paling sempurna dalam

menjelaskan hubungan suami-istri yang tak dapat dipisahkan dalam kasih sayang,

seolah-olah masing-masing adalah pakaian bagi pasangannya. Uniknya, ketika suami-

istri tidak mencapai keserasian dalam rumah tangga baik dalam perilaku maupun

aqidahnya, Al-Qur'an menyebut istri bukan dengan lafal zauj melainkan memakai lafal

imraah‫ امرءةاا‬Sebagaimana Al-Qur'an menyebut istri nabi Nuh dan nabi Luth yang

enggan untuk beriman kepada suami mereka.

‫او ْٱم َرأَتَ الُ ا‬


‫وط‬ َ ‫اٱم َرأَتَ انُوح‬
ْ ‫وا‬۟ ‫باٱهللُا َمثَ ًل ِاللَّذِينَ ا َكف َُر‬
َ ‫ض َر‬
َ
Artinya:“Allah membuat perumpamaan bagi orang-orang kafir, istri Nuh dan istri
Luth...” (QS At-Tahrim: 10).

Kedua, selalu menambah semangat beribadah kepada Allah. Hal ini sangat penting

karena adanya kasih sayang antara suami dan istri termasuk nikmat yang Allah berikan.
35

Allahlah yang memantapkan hati suami-istri untuk saling mencintai dan menyayangi

dalam ikatan rumah tangga. Karena, Allahlah yang memiliki sifat Muqallibal Qulub

(Dzat yang Maha Membolak-balikkan hati). Padahal, sebelum adanya ikatan pernikahan

calon suami-istri belum menikmati cinta yang begitu dalam di antara keduanya. Namun

demikian, penting juga dicatat, ketika Allah murka kepada suami-istri akibat dosa-dosa

mereka bisa jadi Allah akan memutuskan ikatan cinta di antara keduanya. Al-Qur’an

menyebutkan, “Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia menciptakan

pasangan-pasangan untukmu dari jenismu sendiri, agar kamu cenderung dan merasa

tenteram kepadanya, dan Dia menjadikan di antaramu rasa kasih dan sayang. Sungguh,

pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum

yang berpikir” (QS Ar-Rum: 21). Ketiga, berdoa agar Allah menjadikan pasangannya

sebagai penyejuk hatinya.

‫اوٱجْ عَ ْلنَاال ِْل ُمتَّقِينَ اإِا َما ًما‬


َ ‫َااوذُ ِريَّتِنَااقُ َّرةَاأَ ْعيُن‬
َ ‫َاامِناأَ ْز َو ِجن‬ َ َ‫َوٱلَّذِينَ ايَقُولُون‬
ْ ‫اربَّنَااهَبْ الَن‬
Artinya:“Dan orang-orang yang berkata, ‘Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami
pasangan kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan
jadikanlah kami sebagai pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa” (QS al-
Furqan: 74).

Dalam ayat ini, Al-Qur’an menanggapi sifat orang-orang shalih yang Allah juluki,

mereka dengan ibad ar-rahman (hamba milik Dzat Yang Maha Pengasih) dengan sifat

selalu berdoa bagi pasangan hidupnya dan keturunannya agar senantiasa menjadi

penyejuk hati mereka. Tak hanya itu, Dr. Muhammad Sayyid Thanthawi dalam tafsir

Al-Wasith menyebutkan tafsir dari "jadikanlah kami sebagai pemimpin bagi orang-

orang yang bertakwa" adalah harapan mereka agar menjadi panutan bagi orang-orang

bertakwa baik dalam lembutnya perbuatan mereka maupun halusnya perkataan mereka.
36

Walhasil, orang-orang bertakwa menurut Al-Qur'an adalah orang-orang yang paling

berbuat baik kepada pasangannya baik dalam perbuatan maupun perkataan mereka.

Sebagaimana dalam Hadits:

.‫قالارسولاللااخياركماخياركمالنساءكمالايض اربناأحدكماظعينتهاضربهاأمتها‬
Artinya:Rasulullah bersabda "Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik kepada istri.
Janganlah kalian pukul istri kalian seperti halnya kalian memukul budak-
budak kalian" (HR Al-Baihaqi).28

28https://islam.nu.or.id/nikah-keluarga/3-tips-bangun-rumah-tangga-harmonis-dari-al-qur-an-bdOd
(Diakses tanggal 20 Februari 2022 pada pukul 15.37)
BAB III

METODE PENELITIAN

A. Sifat dan Jenis Penelitian


1. Sifat Penelitian

Dilihat dari segi sifatnya, penelitian ini adalah penelitian normatif artinya yang

meninjau faktor penyebab terjadinya childfree dalam rumah tangga menurut

perspektif hukum islam berdasarkan literatur-literatur terkait. Serta hal-hal lain

mengenai tentang faktor penyebab terjadinya chilfree dalam rumah tangga menurut

prespektif hukum Islam29.

2. Jenis Penelitian

Penelitian yang digunakan adalah penelitian kepustakaan (library research)

yaitu suatu penelitian dengan cara menuliskan, mengklarifikasi dan menjadikan

data yang diperoleh dari berbagai sumber tertulis. Kemudian manganalisis sumber-

sumber literatur yang berkaitan dengan materi dan difokuskan pada masalah yang

dibahas.30 Dan penelitian ini menggunakan literature kepustakaan, baik berupa

buku, catatan, maupun laporan hasil penelitian terdahulu.31

Dengan demikian metode pengumpulan data yang digunakan adalah dengan

menggunakan data-data literatur dalam bentuk sumber primer dan sekunder serta

sumber pendukung.32

29 Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2010. Halaman. 177
30
Noeng Muhajir, Metode Penelitian Kuantitatif, Edisi II, (Cet. VIII; Yogyakarta: Rake Sarasin,
1983), halaman 43.
31 Iqbal Hasan, Analisis Data Penelitian Statistic, Bumi Aksara, Jakarta, 2008, halaman.5.
32
Mukhtar, Metode Praktis Penelitian Deskriptif Kualitatif, (Jakarta: Referensi, 2013), halaman. 4.

37
38

B. Data dan Sumber Data

Pada tahap ini, peneliti berusaha mencari dan mengumpulkan berbagai sumber data

yang ada hubungannya dengan masalah yang diteliti. Dalam penelitian ini terdapat data

utama (primer) dan data pendukung (sekunder).

1. Data Primer

Data primer adalah data yang langsung dikumpulkan oleh peneliti dari sumber

utamanya.33 Adapun objek yang akan menjadi sumber data primer dari penelitian ini

yaitu: Dikutip dari sumber-sumber yang bersifat tekstual yang dibaca dengan tidak

merubah sifat dan redaksi lainnya. Adapun sumber data primer yang dimaksud adalah

berasal dari kitab Ihya ulumuddin, buku childfree and happy karangan victoria.

2. Data Sekunder

Data sekunder yaitu sumber data yang diperoleh dari beberapa bahan pustaka

diantaranya buku-buku, jurnal, internet yang berhubungan dengan objek penelitian dan

hasil penelitian dalam bentuk laporan, skripsi, tesis, dan disertasi yang memiliki

keterkaitan dengan pembahasan dan masalah yang ada dari beberapa karangan penulis

buku baik dengan kutipan langsung maupun kutipan tidak langsung34. Adapun sumber

data sekunder yang dimaksud adalah Undang-Undang 1945 Pasal 28 E ayat 2 dan Pasal

45 ayat 1 UU No. 1 tahun 1974.

C. Teknik Pengumpulan Data

1. Metode komparatif atau perbandingan adalah penelitian pendidikan yang

menggunakan teknik membandingkan suatu objek dengan objek lain.objek yang

33 https://dqlab.id (diakses pada tanggal 07 februari 2022 hari selasa pukul 15:44)
34
Husaini Usman, Metode Penelitian Sosial, Jakarta: Bumi Angkasa, 1995
39

diperbandingkan dapat berwujud tokoh atau cendekiawan, aliran pemikiran,

kelembagaan, manajemen maupun pengembangan aplikasi pembelajaran.

2. Metode korelasi adalah suatu penelitian yang melibatkan tindakan pengumpulan

data guna menentukan apakah ada hubungan antara dua variabel atau lebih.

D. Teknik Analisis Data

Metode adalah usaha untuk menemukan, mengembangkan, dan menguji

kebenaran suatu pengetahuan, agar sebuah karya ilmiah (dari suatu penelitian) dapat

mencapai apa yang diharapkan dengan tepat dan terarah dengan menggunakan metode

ilmiah.35 Dalam menganalisis data penulis menggunakan beberapa metode diantaranya

sebagai berikut :

1. Metode Induktif yaitu penggolongan data dengan cara menguraikan data yang

bersifat khusus kemudian dianalisis untuk memperoleh kesimpulan yang bersifat

umum.

2. Metode Deduktif yaitu metode dengan cara mengumpulkan sejumlah data yang

bersifat umum kemudian mengambil kesimpulan secara khusus dengan cara

mengolah data yang bersifat umum kemudian menarik sebuah kesimpulan yang

bersifat khusus dalam permasalahan childfree.

3. Metode kuanitatif yaitu proses penelitian dan pemahaman yang berdasarkan pada

metodologi yang menyelidiki suatu fenomena sosial dan masalah manusia. 36

35
Soekidjo Notoatmodjo, Metodologi Penelitian Kesehatan, (Jakarta: Rineka Cipta, 2005),
Halaman. 19.
36 Juliansyah Noor, Metode Penelitian: skripsi, tesis, desertasi, dan karya ilmiah, kencana, Jakarta,

2011, halaman. 33.


40
DAFTAR PUSTAKA
Al-Dimashqi, Abu al-Fida Isma’il Ibn ‘Umar Ibn Kathir al-Qurashi. 1999 Tafsir al-
Qur’an al-‘Azim.

Al-Ghazali, Abu Hamid. 1100. Ihyâ’ ‘Ulûmiddîn, Beirut, Dârul Ma’rifah.

Ali, Zainuddin. 2010, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta.


Ayu, Maria Frani. 2021. “Riview Buku”; “Childfree and Happy”, karya Victoria
Tunggono”.

Husna, Cut Asmaul. 2019, Tantangan Dan Konsep Keluarga Sakinah Mawaddah
Warahmah Di Era Millenial Ditinjau daro Perspektif Hukum Keluarga Studi
Kasus Provensi Aceh.

Hasan, Iqbal . 2008, Analisis Data Penelitian Statistic, Bumi Aksara, Jakarta.

Laili Nurhidayati., Rahmah. 2019, Kelas Pijat Bayi Sebagai Upaya Peningkatan
Bonding Attachment Dalam Keluarga Di Patalan Jetis Bantul Yogyakarta, Jurnal
Pengabdian Dharma Bakti.

Muhajir, Noeng. 1983, Metode Penelitian Kuantitatif, Edisi II, Cet. VIII; Yogyakarta:
Rake Sarasin.

Mukhtar. 2013, Metode Praktis Penelitian Deskriptif Kualitatif, Jakarta: Referensi.

Noor, Juliansyah. 2011. Metode Penelitian: skripsi, tesis, desertasi, dan karya ilmiah,
kencana, Jakarta.

Notoatmodjo, Soekidjo. 2005, Metodologi Penelitian Kesehatan, Jakarta: Rineka Cipta.

Saint, Bishop of Hippo Augustine.1887. "Chapter 18.—Of the Symbol of the Breast, and
of the Shameful Mysteries of the Manichæans". Dalam Philip Schaff. A Select
Library of the Nicene and Post-Nicene Fathers of the Christian Church.

Siti Rohmah, Gita Savitri. 2021, Childfree itu Sangat Pemberani dan Berpikir Panjang,
mubadalah.

Sullivan, arthur. 2003. Economics: Principles in action. Upper Saddle River, New
Jersey 07458: Prentice.
Usman, Husaini. 1995, Metode Penelitian Sosial, Jakarta: Bumi Angkasa.

Anda mungkin juga menyukai