Anda di halaman 1dari 16

NATAPRAJA

Jurnal Kajian Ilmu Administrasi Negara


Volume 3 Nomor 1 Tahun 2015 Halaman 25-40

KAJIAN PERAN ELIT POLITIK DALAM KEBIJAKAN PANGAN:


JEBAKAN IMPOR PANGAN PASCA REFORMASI
Wahyu Riawanti1

ABSTRACT
This study aimed to unwrap the dynamic in policy making of food import, focusing
in political elitess’ interest during the period of 1999-2009. Every period was analized
emphasizing the main characters of nepotism and rent seeking: (a) the general character
of food policy, (b) regulation in prolonging its activity, and (c) policy actors/elites and the
political party dominating the policy sector. Result of this reseach were mainly the
difference of focus and characters on policy in 3 periods. Explanation of research finally
answered as followed: (1) government elites are the main actors and they are mostly the
policy makers from food institution, (2) the actors came from different political party and
bring about the different agenda to be supported with regulation, and (3) food institution
determined the rent-seeking activity through the same actors that also dominate the import
area. The important evidence of this point was the “three pairs of name” that affiliated
with (the same) political party, executed importing processes, and also influenced the
regulation in very the same time.

Keywords: political economy, food import policy, policy elites, incremental policy.

ABSTRAK
Studi ini mengkaji tentang dinamika kebijakan di Indonesia dengan fokus
penelitian tentang kepentingan elit politik dalam formulasi dan implementasi kebijakan
publik. Untuk mengetahui pola kepentingan elit politik selama kurun waktu 1999-2009,
kajian ini dibagi menjadi tiga periode sesuai rejim pemerintahan dalam rentang waktu
tersebut. Dalam setiap periode analisis ditekankan pada tiga pokok kajian yaitu (a)
bagaimana karakter kebijakan suatu periode pemerintahan, (b) regulasi yang dilakukan
untuk mengamankan kepentingan elites dan (c) aktor kebijakan dan partai politik yang
berpengaruh. Hasil penelitian yang menunjukkan pola hubungan kerjasama mengamankan
kepentingan dan dominasi aktor partai politik berdasarkan tiga periode tersebut kemudian
menjawab pertanyaan whose finally interest counts. Penelitian ini menemukan bahwa: (1)
elites pemerintah adalah aktor utama dalam kebijakan impor pangan yaitu didominasi oleh
aktor dari lembaga pangan, (2) para aktor tersebut asal dari lembaga dan partai politik
berbeda yang membawa dan mengakomodir kepentingan politiknya masing-masing
melalui regulasi.

Kata kunci: ekonomi politik, elites kebijakan, kebijakan incremental.

1
Peneliti, Otoritas Kompeten Keamanan Pangan Daerah (OKKPD) Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).
Email: riawantiwahyu@gmail.com
25
NATAPRAJA Vol. 3 No. 1, Mei 2015

PENDAHULUAN
Trigger: sudah reformasi, masalah dari pemerintah yang sebelumnya.
tidak juga selesai. Setelah tiga periode Kegelisahan terkait kompleksitas
pemerintahan berbeda saat ini Indonesia formulasi kebijakan tersebut juga
masih terjebak dalam impor pangan yang disebabkan oleh adanya ketimpangan
penelitian ini berangkat dari kegelisahan akibat ketidaktepatan waktu dan
terkait kompleksitas dalam proses peruntukan kebijakan impor pangan di
formulasi kebijakan impor pangan di Indonesia. Setelah melewati empat masa
Indonesia. Kebijakan impor pangan pemerintahan sejak Orde Baru, kebijakan
seharusnya dibuat untuk memenuhi pangan menyisakan masalah ketimpangan
kepentingan publik dan didasari alasan ekonomi dan sosial jika dilihat dari
pemenuhan hak atas pangan, bukan karena kondisi petani maupun kaum miskin kota.
kepentingan politik dan daya tarik rente. Dalam konteks pertanian dan perdesaan,
Akan tetapi, banyaknya aktor pembuat ketimpangan dapat dilihat dari Nilai Tukar
2
kebijakan yang memiliki agendanya Petani (NTP) yang relatif kecil, jumlah
masing-masing menyebabkan adanya pengangguran yang besar, dan tingginya
penekanan pada kepentingan yang angka kemiskinan, terutama di perdesaan
berbeda. Dalam konteks kebijakan (BPS, 2012).
pangan, agenda utamanya ada pada Contoh pemberian beras miskin
pilihan antara swasembada produksi dan politisasi pangan telah dilakukan
pangan atau pemenuhan stok pangan. sejak adanya kebijakan pangan yang
Kedua hal inilah yang menjadi latar mengatasnamakan swasembada pangan
belakang gambaran proses formulasi dan pangan murah selama periode 1970-
kebijakan impor pangan di Indonesia. 2000. Politisasi ini menyebabkan
Melihat aspek historis kebijakan ketidakcukupan3 produksi pangan pada
pangan, maka kita harus melihat bahwa masa sesudahnya.
setiap pemerintah memiliki beban warisan
2
NTP adalah nilai ekonomi yang diterima oleh petani dibandingkan dengan nilai yang dibayarkanDengan
klaim pertumbuhan ekonomi makro sebesar 6 persen, maka fakta tingginya angka pengangguran tersebut
menunjukkan adanya kesalahan, seperti yang dinyatakan oleh Stiglitz (2012: 9) bahwa ada yang sistem yang
salah ketika pertumbuhan ekonomi makro dapat dicapai, tetapi pada saat yang sama ketimpangan
(inequality) juga semakin besar. Kebijakan perdagangan pasca

3
reformasi memperburuk kondisi ini.
Ketidakcukupan terkait dengan konsumsi beras per kapita dan produksi beras nasional. Konsumsi beras
meningkat tajam karena adanya kebijakan beras murah dan berasisasi (perubahan makanan pokok) di
sejumlah daerah yang tidak berbasis beras. Subsidi pemerintah untuk pupuk kimia diberikan dalam rangka
peningkatan produksi dalam revolusi hijau pada akhir 1960-an.

26
Wahyu Riawanti - Kajian Peran Elit Politik dalam Kebijakan Pangan . . .

Serangkaian kebijakan pembebasan bea di negara tersebut. Dalam bukunya yang


masuk impor beras pada 1998 berjudul The Price of Inequality, Stiglitz
menyebabkan munculnya ketergantungan (2012) menjelaskan bahwa elite
impor. Obsesi tersebut juga berdampak pemerintah yang hanya mewakili 1 persen
pada marginalisasi petani produsen beras. dari penduduk AS menentukan kebijakan
Politisasi impor beras dapat dilihat yang memengaruhi nasib 99 persen
melalui Teori Elites. Paparan kerangka penduduk lainnya. Sementara itu, untuk
teoritis penelitian ini juga menjelaskan kajian akademiknya, Tullock (2005)
tentang policy making process dalam mengamati aktivitas lobi kebijakan
perspektif ekonomi politik untuk pangan yang merupakan bagian dari
menjawab bagaimana dan atas kehidupan politik di negara maju, seperti
kepentingan siapa suatu kebijakan Amerika Serikat. Meskipun tingginya
diambil. Untuk melihat model hubungan kesadaran politik (political awareness) di
aktor kebijakan digunakan Teori Elites negara maju menyebabkan masyarakatnya
Anthony Downs (1972) yang merupakan lebih intensif mengawasi dan
pengembangan dan kritik atas gagasan mengadvokasi kebijakan menyangkut
Charles Lindblom tentang konsep pangan, masyarakat AS masih juga
Rational Actor. Sebagai perbandingan, merasa kecolongan karena dirugikan
perspektif ekonomi politik Marx terutama dengan hilangnya kepentingan kebijakan
dalam pandangan Nicos Poulantzas pangan.
dipakai untuk melihat pendekatan Dengan melihat kompleksitas
kepentingan secara lebih tajam sehingga kebijakan dan menelusuri literatur studi
dapat menganalisis gejalanya. Bagian kebijakan, penelitian ini berangkat dari
akhir bab ini menjelaskan kepentingan hipotesis awal atau hipotesis kerja yang
aktor dan melihat besarnya social loss secara umum membawa pada kesimpulan
sebagai dampak suatu kebijakan. sementara tentang bagaimana elite
Menurut Joseph E. Stiglitz (2012), pemerintah adalah aktor utama dalam
aktivitas para elit politik dalam konteks kebijakan impor pangan.
penyalahgunaan wewenang demi
kepentingan kelompok yang konsepnya METODE
sangat dekat dengan kebijakan pangan di Rancangan penelitian yang
Amerika Serikat juga merupakan dipergunakan dalam kajian ini adalah
penyebab utama terjadinya ketimpangan kualitatif deskriptif. Penelitian kualitatif
27
NATAPRAJA Vol. 3 No. 1, Mei 2015

bertujuan untuk memahami berbagai isu pemetaan informasi dan data untuk
dan mencari jawab atas sejumlah memperoleh gambaran tiga periode
pertanyaan dengan menguji berbagai pemerintahan yang berbeda. Sebelum
setting sosial dan individu. Metode sampai pada kerangka analisis tersebut
kualitatif ini dipilih untuk dapat telah dilakukan pemetaan secara historis
menjabarkan realitas obyek penelitian bagaimana dinamika aktor dan
tentang praktik kepentingan dalam kepentingan kebijakan impor pangan pada
kebijakan impor pangan untuk selanjutnya masa sebelumnya yaitu sejak era kolonial
memberikan penafsiran dan pemaknaan sampai reformasi. Karena setiap periode
yang mendalam dengan mengaitkan hasil memiliki rentang waktu yang berbeda
analisis dan teori yang sudah ada. maka dilakukan modifikasi unit analisis
Diharapkan dengan metode kualitatif ini yaitu dalam menentukan studi kasus,
hasil penelitian akan memberikan triangulasi, dan analisis siklus kebijakan
kontribusi terhadap pengembangan teori dalam satu tahun. Pengambilan contoh
dan konsep dari obyek kebijakan yang kasus rangkaian impor pangan selama satu
diteliti. tahun dalam tiap pemerintahan yaitu tahun
Dengan melihat kerangka berpikir 2000-2001 untuk mewakili masa GusDur,
dalam penelitian ini, diputuskan bahwa tahun 2002-2003 untuk masa
unit analisis dalam penelitian ini adalah pemerintahan Megawati, dan tahun 2005-

28
Wahyu Riawanti - Kajian Peran Elit Politik dalam Kebijakan Pangan . . .

2006 periode SBY. Hal ini dilakukan dan dokumen untuk mendapatkan
untuk mendapat gambaran dengan fokus informasi (2) mendeteksi berbagai
kajian dan rentang waktu yang sama. narasumber yang bisa menyediakan
Karena keterbatasan periode, pemilihan informasi (3) membuat kategorisasi untuk
tahun dilakukan secara purposive. menentukan data relevan atau tidak untuk
Cara memperoleh data dan membuat analisa komprehensif suatu
informasi dalam penelitian ini bersifat kasus. Data relevan yang didapat adalah
semi- investigatif. Terkait dengan hal merupakan informasi, bukti utama,
jurnalisme investigatif sebagai bagian pembanding dan pemberi keterangan
dalam penelitian ilmiah, dalam Bacon tambahan.
(2005) dijelaskan bahwa semua kegiatan
yang diklasifikasikan sebagai penelitian HASIL DAN PEMBAHASAN
dan pengembangan eksperimental Revolusi Hijau yang Tidak Transparan
ditentukan oleh ‘keaslian’, dan harus Harapan peningkatan produksi
memiliki sisi ‘investigasi’ sebagai tujuan terjadi saat intensifikasi pertanian
utama dan harus dapat memproduksi suatu dilakukan melalui Revolusi Hijau pada
hasil yang bermanfaat bagi ilmu awal tahun 60-an. Inisiasi program
pengetahuan dalam tataran teoritis Revolusi Hijau kurang berjalan lancar
maupun praktis. Untuk lebih jelasnya hal pada masa Soekarno. Pada masa ini
tersebut dijelaskan dalam definisi rencana pembangunan IRRI batal
penelitiannya (Bacon, 2005) yaitu: dilakukan dan Revolusi Hijau ditunda
… any activity classified as research sampai pada pemerintahan Soeharto.
and experimental development is
Pemaksaan Revolusi Hijau sebenarnya
characterised by originality; it
should have investigation as a dapat dilihat dari data statistik tentang
primary objective and should have
tingginya angka impor dan rendahnya
the potential to produce results that
are sufficiently general for produksi beras di Negara Asia.
humanity's stock of knowledge
Produktivitas padi di Indonesia, Philipina,
(theoretical and/or practical) to be
recognisably increased… (Bacon dan Malaysia tidak sebesar di negara Asia
2005: 148).
daratan seperti India, Cina dan Myanmar.
Penelitian ini menekankan pada tiga Selama masa pemerintah kolonial
aspek yang disarankan oleh Lucinda inilah, negara Asia kepulauan disiapkan
Fleesan (2010) dalam melakukan untuk mengembangkan tanaman
investigasi yaitu (1) pengumpulan data perkebunan dan bukan tanaman pangan.
29
NATAPRAJA Vol. 3 No. 1, Mei 2015

Dengan demikian ide Revolusi Hijau industrialisasi. Sesuai rencana (Repelita)


memerlukan biaya tinggi untuk pada dua periode pertama yaitu 1969-
pembangunan infrastruktur irigasi. 1979 pembangunan industrialisasi
Impor beras pada masa Orde Baru difokuskan pada industri ringan terutama
didominasi oleh pengusaha dalam lingkar tekstil.
keluarga Cendana yang membangun Fokus pembangunan ini disertai
dinasti mafia pangan ini melalui dengan program awal intensifikasi
pendekatan dengan birokrat (Aditjondro: pertanian tetapi peningkatan produksi
2002). Sepanjang periode ini Bulog pada awal tahun 70-an belum mencukupi
bekerja sebagai perpanjangan tangan kebutuhan dan pemerintah melakukan
pemerintah dan tidak pernah tersentuh impor pangan dan tetap melakukan
kasus hukum. Jumlah impor beras pada pengendalian harga pangan dan
periode ini juga relatif kecil karena pengaturan impor pangan oleh Bulog.
diuntungkan oleh Revolusi Hijau yang Kebutuhan pangan pada masa
menjamin swasembada pangan setidaknya Orde Baru meningkat tajam karena
sepanjang tahun 1985-1995. Data pangan menjadi fokus utama
produksi 1985-1995 menunjukkan jumlah pembangunan pertanian pada jaman
produksi dengan produktivitas terbaik keemasan Orde Baru. Pengenalan
sepanjang sejarah pertanian Indonesia teknologi melalui Revolusi Hijau pada
(Van der Eng, 2000). masa ini menjadi harapan baru untuk
Pada awal berdirinya Orde Baru, menggandakan produktivitas padi. Hasil
kondisi pangan di Indonesia masih Revolusi Hijau yang mulai dinikmati pada
mengalami keterpurukan sebagai akibat akhir tahun 70-an ternyata hanya bertahan
dari gagal panen yang dialami petani sekitar satu dekade dan selanjutnya
akibat kemarau berkepanjangan, inflasi produksi padi menurun drastis. Revolusi
yang membubung tinggi dan kelangkaan Hijau berhasil memenangkan hati rakyat
bahan pangan. Sebagai upaya jangka Indonesia dengan tercapainya
panjang, pemerintah mencanangkan swasembada beras dan penghargaan FAO
program revolusi hijau yang merupakan untuk Presiden Soeharto pada tahun 1984.
desakan dari negara-negara maju Meski demikian informasi tentang
(Wahono, 2011). Pemulihan ekonomi tingginya biaya yang dikeluarkan
pada awal Orde Baru tersebut dilakukan pemerintah untuk program ini tidak
atas prakarsa IMF dengan tujuan utama pernah transparan. Informasi yang tidak
30
Wahyu Riawanti - Kajian Peran Elit Politik dalam Kebijakan Pangan . . .

transparan tersebut terjadi karena tujuan masuknya korporasi internasional dan


terpenting Revolusi Hijau adalah investasi asing penyedia input pertanian.
swasembada beras at any cost. Untuk Awal program RH pada 1969
mendukung program tersebut, rejim adalah kerjasama pemerintah Indonesia
Soeharto memberikan dana yang luar dengan PT. Ciba. McMichael (2009)
biasa besar dengan menyediakan subsidi secara khusus membuat penelitian tentang
khususnya untuk input pertanian dengan kapitalisasai pertanian di Asia pada masa
tujuan kemandirian produksi pangan. pra Perang Dunia II sampai dengan masa
Proporsi biaya irigasi dalam Revolusi Revolusi Hijau. Secara rapi paket RH
Hijau (RH) mencapai 60% dari total dikemas dengan dukungan dana dari PT.
biaya teknis dan budidaya dari sejumlah CIBA yaitu dari korporasi agro-industri
200 juta USD sebagai dana awal RH raksaasa AS. Kelak korporasi raksasa ini
(World Bank, 1982). mensuplai sebagian besar input pertanian
Soeharto berkeyakinan bahwa ia Indonesia dalam memenuhi swasembada
akan mampu mempertahankan beras melalui RH. Hal inilah yang
kekuasaanya, mendorong pertumbuhan kemudian menyebabkan ketergantungan
ekonomi dan menjaga stabilitas politik pada sarana pertanian dari korporasi asing
(Suseno dan Suyatna, 2007). Program ini serta meninggalkan hutang tak terbayar
memang mampu mendorong terwujudnya sampai era reformasi.
swasembada pangan pada tahun 1984, dan Selama Revolusi Hijau kelompok
tercapainya harga pangan murah terutama petani gurem (peasant) sebenarnya tidak
pada kaum miskin kota (KMK). merespon keuntungan pada saat
Dengan demikian, kepentingan modernisasi pertanian terjadi. Penelitian
pemerintah Soeharto berada di balik Wahono (1998) menjelaskan bahwa
program Revolusi Hijau. Revolusi Hijau rendahnya insentif ekonomi yang diterima
tidak hanya dipahami semata-mata secara petani padi menyebabkan pertanian skala
teknis dengan meningkatnya produksi kecil menjadi tidak menguntungkan.
melalui “panca-usaha tani” tetapi Revolusi Hijau meningkatkan produksi
merupakan mekanisme yang paling utama padi pada awal inisiasi, tetapi
menuju pemaksaan pangan murah dengan meninggalkan jejak berupa rendahnya
biaya yang sebenarnya sangat tinggi. produktivitas dan fenomena berupa
Revolusi Hijau juga disertai dengan kelompok petani kecil yang berhenti
berproduksi.
31
NATAPRAJA Vol. 3 No. 1, Mei 2015

Peningkatan produksi selama Diversifikasi pangan tidak berjalan


Revolusi Hijau kemudian menjadi jargon lancar pada masa ini karena perhatian
politik untuk melawan derap revolusi tersedot pada upaya pemajuan pangan.
merah yang makin mewabah di negara- Ketergantungan terhadap baras kemudian
negara terbelakang (Djafar, 2008). Untuk dibarengi dengan mulai rusaknya sarana
memajukan program ini, pemerintah irigasi teknis pada awal 90-an sehingga
melakukan pengawasan secara ketat produksi pangan yang mulai turun
terhadap pertanian rakyat. Upaya semakin tidak mencukupi kebutuhan
penyeragaman pangan semakin diperkuat nasional. Ditambah lemahnya struktur
dengan keluarnya UU No 5/1979 tentang mikro di pedesaan, hal itu mengakibatkan
Pemerintahan Desa yang kian Indonesia kembali menjadi negara net-
mempersempit ruang aktualisasi importer pangan. Bahkan di akhir
masyarakat desa. Petani diwajibkan Soeharto berkuasa, pada 1998, tingkat
menggunakan cara-cara pertanian modern impor beras Indonesia kembali pada
dengan pasca usaha tani sehingga sumber angka 9%, yang diikuti dengan angka
daya dan unsur-unsur pertanian tradisional impor komoditas pangan lainnya.
hampir sepenuhnya ditinggalkan.
Melihat demikian kuat usaha Raskin 1998 Sebagai Turning Point
pemerintah Orde Baru untuk mendorong Jika dilihat ke belakang, keputusan
dan membiayai Revolusi Hijau, tidak impor pangan dan Raskin yang dibuat
mengherankan program ini berhasil pada masa pemerintahan sebelumnya
meningkatkan produksi. Program tahun 1998-1999 dilakukan dengan
Revolusi Hijau pada awalnya dianggap pertimbangan masa darurat saat terjadi
tidak akan mengubah struktur sosial krisis ekonomi dan bencana El Nino. Pada
secara radikal, tetapi pada kenyataannya masa darurat tersebut, pemerintah
semakin membuat timpang struktur sosial memang perlu bergerak cepat
masyarakat di pedesaan. Petani pemilik mengatasinya. Pada periode tersebut
lahan memperoleh keuntungan karena masalah utama yang harus diselesaikan
berlipatnya jumlah produksi, sementara adalah kenaikan inflasi dan krisis pangan
petani penggarap (peasant) semakin (beras) yang tidak dapat menunggu (hasil
miskin karena kecilnya insentif ekonomi wawancara, 2014). Namun selama tahun
(Bachriadi dan Wiradi, 2011). 2000 dan 2001 impor pangan skala besar
serta Program Raskin tetap dilakukan
32
Wahyu Riawanti - Kajian Peran Elit Politik dalam Kebijakan Pangan . . .

meskipun masa krisis telah berlalu. Impor ya supaya bisa impor beras …”
(RR, Jakarta, 11 September 2014).
beras pada 1998 menjadi semacam titik
tolak euforia sekaligus pemaksaan impor Massa Transisi: Tahun 1991-2001
beras, terutama karena dua hal berikut: (a) Formulasi kebijakan pasca
Besarnya jumlah impor beras yang reformasi terasa lebih demokratis
mencapai 2 juta ton per tahun untuk dibandingkan dengan proses formulasi
pemenuhan Program Raskin sejak tahun kebijakan yang sama pada masa Orde
1998; dan (b) Besarnya rente impor yang Baru. Pada masa pasca reformasi ini
diperebutkan oleh importir dan Bulog terjadi proses transisi yang menyebabkan
karena pembebasan tarif impor tahun banyak pejabat merasa ketakutan jika
1998 sesuai petunjuk IMF (Hiariej, 2012). institusinya akan dihilangkan karena
Program Raskin pada awalnya adanya perampingan kabinet. Karena isu
hanya akan dilakukan saat krisis saja, kedekatan inilah, masa pemerintahan Gus
tetapi dengan kekuatan lobi, kebijakan Dur terganjal isu korupsi Bulog yang
Raskin masih berlaku sampai 2014. menyeret namanya dan berujung pada
Namun banyak kajian dan penelitian yang pemakzulan pada tahun 2001. Kasus ini
menghasilkan temuan bahwa kebijakan kemudian dikenal sebagai Bulog-gate I.
Raskin berdampak pada ketergantungan Meskipun melakukan banyak
masyarakat miskin dan bias pada pembenahan secara kelembagaan, periode
kebijakan yang berbasis produksi ini masih mewarisi banyak ciri pemerintah
(Hutagaol, 2007). Hasil wawancara Orde Baru dalam hal sistem politik di
dengan RR berikut mengonfirmasi hal Indonesia. Ciri yang tampak sepanjang
tersebut. 1999-2001 adalah adanya dominasi
“… Raskin harus dilihat (dari sisi) birokrasi dalam proses perumusan
sejarahnya, pertama kali dilakukan
kebijakan. Kondisi tersebut menimbulkan
oleh pemerintah pada tahun 1998
dengan tujuan utama keluar dari mekanisme patron-client dalam proses
krisis, tidak untuk selamanya. Pada
formulasi kebijakannya.
awalnya program ini kami
maksudkan dengan tujuan we Formulasi kebijakan sepanjang
spend money for they who work.
periode pemerintahan Gus Dur yang
Pada tahun-tahun berikutnya
program ini tetap dilanjutkan sekaligus menjadi ciri kebijakan era Gus
meski jelas program salah sasaran
Dur adalah fenomena Raskin yang
karena sudah diputuskan untuk no
subsidy on commodity … dilanjutkan menjadi program langgeng
sebenarnya Raskin 2 juta ton itu,
dan politisasi Bulog-gate yang merupakan
33
NATAPRAJA Vol. 3 No. 1, Mei 2015

pertarungan politik Golkar/PDIP dan lewat status Bulog sebagai perusahaan


PKB. Dalam kurun waktu tersebut, umum. Sepanjang periode ini data/angka
kebijakan pemerintah justru telah hanya dipakai untuk tujuan politis dan
menciptakan landasan rente impor pangan wajah baru Bulog justru dimaksudkan
karena besarnya jumlah profit yang untuk mencari profit dengan lebih aman.
menjanjikan. Periode ini pula Penanganan kasus Bulog-gate I
dimanfaatkan elite untuk menyesuaikan menjadi titik awal pemerintahan
diri dengan sistem yang berubah pasca Megawati. Rentannya masalah Bulog
reformasi, yaitu dengan munculnya terbukti dengan bergulirnya kasus Bulog-
pemain impor baru dari kalangan politisi gate II. Sebagai akibat dari kasus tersebut,
Golkar yang jauh lebih berpengalaman. nasib Akbar Tanjung hampir berakhir.
Ranah kebijakan impor pangan menjadi
Masa Pelarangan Impor: Tahun 2001- medan partai politik untuk menunjukkan
2004 eksistensinya saat menghadapi kemelut
Bulog-gate II tersebut. Pada titik ini Partai
Sejak awal 2002 data angka impor
Golkar sukses melakukan lobi politik
sarat dengan manipulasi. Selanjutnya
yang menyebabkan PDIP berbalik
pemerintah mengganti status Bulog
mendukung Golkar dan menolak
menjadi perusahaan umum untuk
pembentukan Pansus Bulog-gate II
melegalkan orientasi keuntungan Bulog.
(Ambardi, 2009).
Sepanjang tahun 2001-2004 pemerintah
Temuan utama dalam periode ini
melanggengkan kembali program Raskin
adalah: Pertama, kenyataan inkonsistensi
meskipun para ahli ekonomi dan
data menunjukkan bahwa pemerintah
pembangunan telah mulai mengevaluasi
menyembunyikan angka impor pangan,
dan mengkritik program ini.
sedangkan di saat yng sama BUMN dan
Ciri utama periode pemerintahan
birokrasi harus melayani kepentingan elite
Megawati adalah masalah inkonsistensi
politik. Konfirmasi kesimpulan ini adalah
data, munculnya “wajah” dan status baru
adanya inkonsistensi data paling
Bulog, serta fenomena aktor pemain lama
signifikan karena kepentingan pemerintah
dalam wilayah kebijakan impor beras.
yang terjadi sepanjang 2002-2004.
Sepanjang tahun 2001-2004 pemerintah
Kedua, ciri kebijakan dan peran
melakukan pembatasan impor untuk
aktor yang merupakan temuan penelitian
menunjukkan kehati-hatian lembaga
pada bab ini adalah kebijakan impor
pangan baru, sekaligus melegalisasi impor
34
Wahyu Riawanti - Kajian Peran Elit Politik dalam Kebijakan Pangan . . .

pangan dikendalikan dan menjadi Kepala INKUD dan MZ sebagai pejabat


pertarungan antar partai politik. Bulog- bea cukai.
gate adalah pertarungan politik antara
PKB dan Golkar/PDIP. Sementara itu, Basis Produksi Setengah Hati: Periode
ketika birokrat harus melayani Tahun 2004-2009
kepentingan elite politik, salah satu Temuan utama dalam periode ini
langkah yang dilakukan adalah dengan adalah bahwa elite kebijakan melalui
menerbitkan surat keputusan Menteri perannya dalam formulasi kebijakan justru
Keuangan yang ganda. Hal ini menjadi menghasilkan keputusan yang menjadikan
perpanjangan tangan berupa mafia pangan kebijakan terkait pangan semakin jauh
dengan jaringan dan cara kerja yang dari agenda kedaulatan pangan.
sangat rapi. Sepanjang tahun 2001-2004 Penjelasan dalam bab ini juga merupakan
tersebut kasus impor beras ilegal paling pembuktian indikator yang menjelaskan
sering terjadi yaitu justru saat pemerintah kuatnya peran aktor kebijakan dalam
berani mengambil perintah pelarangan aktivitas impor sepanjang 2004-2009.
impor. Menariknya, pelaku bisnis dan Pada akhirnya aktor kebijakan
impor beras justru didominasi oleh menegasikan gagasan kembali ke basis
pengusaha asal partai politik dan terjadi produksi meskipun pemerintah
pelanggaran impor pangan oleh Kabulog mengklaim swasembada pangan pada
dengan jumlah kerugian negara yang tahun politik 2008.
paling besar. Peran aktor dalam melanggengkan
Ketiga, elit politik sepanjang kepentingannya tersebut adalah melalui
periode ini membuat jejaring dengan cara hal-hal berikut: pertama, komitmen
langsung melalui afiliasi partai maupun pemerintah untuk tidak mengintervensi
tidak langsung. Hubungan secara Bulog tetapi justru menyebabkan lembaga
langsung adalah melalui kedekatan dalam ini menjadi sangat superior. Selanjutnya
partai politik Golkar dan PDIP dengan yang terjadi adalah justru aktor kebijakan
adanya tiga pasang nama kembar Golkar, panganlah yang secara masif melakukan
yaitu WP1, WP2, SN, SL, NH dan WH. pelanggaran dalam mekanisme impor
Sementara itu, hubungan tidak langsung pangan. Formulasi impor pangan pada
dilakukan dalam kepengurusan PSSI yang periode 2004-2009 yang sedianya berbasis
terbukti dengan kedekatan NH sebagai produksi tidak sepenuhnya terjadi. Hal ini
dibuktikan dengan pertimbangan
35
NATAPRAJA Vol. 3 No. 1, Mei 2015

kebijakan impor pangan yang dikendalikan oleh para elite demi


menunjukkan dominasi partai politik kepentingan rents, maka ujung dari
penguasa. akibatnya adalah ketimpangan.
Temuan kedua adalah peran dan Pengamatan dan studi atas tiga
partisipasi anggota legislatif yang lebih periode pemerintahan tersebut juga
dinamis, tetapi tidak menunjukkan hasil menghasilkan pemetaan dinamika
yang signifikan dalam menyelesaikan kebijakan untuk mengetahui potensi dan
blunder impor pangan dan kedaulatan dominasi partai politik dalam
pangan. Impor pangan dan klaim melanggengkan kepentingannya. Hal ini
swasembada pangan hanyalah bertujuan dijelaskan melalui afiliasi partai dan karier
untuk kepentingan elite. Hal ini dapat politik setiap elite secara historis. Dari
dilihat dari lemahnya fungsi pengawasan gambaran tersebut dapat dilihat hubungan
DPR melalui hak angket maupun bisnis yang telah terjalin sebelumnya dan
interpelasi dan adanya hubungan keluarga memudahkan regulasi saat eksekusi
atau kesamaan afiliasi antara anggota impor.
dewan dan pengusaha/importir pangan.
Ketiga, untuk memastikan SIMPULAN
kepentingan elite tetap terjamin, dilakukan Keputusan impor beras sepanjang
usaha untuk melanggengkan tahun 1999-20009 bermuara pada
kepentingannya dalam kebijakan impor kepentingan politik melalui praktik rent-
pangan. Usaha tersebut adalah dengan seeking. Dengan masing-masing karakter
melakukan rekrutmen dan promosi jabatan dalam tiga pemerintah berbeda,
yang berada pada satu otoritas dalam kepentingan tersebut dieksekusi melalui
dominasi/kapling lembaga teknis dan tiga indikator utama yaitu (a) karakter
menerapkan konsep Hire and Fire. kebijakan pangan, (b) regulasi dalam
Pencopotan dan penggantian dengan melanggengkan impor pangan, dan (c)
mudah dilakukan untuk kepentingan rents. aktor kebijakan dan partai politik.
Bongkar pasang itu melanggengkan Dalam pembahasan sebelumnya
kepentingannya sehingga menyebabkan telah dijelaskan bahwa keputusan impor
besarnya social loss sebagai akibat pangan yang dilakukan sepanjang tiga
aktivitas penyalahgunaan wewenang periode tersebut lebih mengutungkan
dalam jangka panjang. Ketika kebijakan pelaku impor pangan yaitu Bulog dan
pangan melalui impor pangan importir swasta. Kedua eksekutor impor
36
Wahyu Riawanti - Kajian Peran Elit Politik dalam Kebijakan Pangan . . .

ini didominasi oleh elites partai politik sebelumnya yang kemudian memudahkan
terutama partai politik yang berkuasa. regulasi pada saat eksekusi impor.
Partai politik tersebut memiliki wewenang Hasil penelitian menjelaskan
dalam menentukan impor pangan melalui bentuk dan pola hubungan kerjasama
lobby para aktor legislatif dan intervensi antar elit politik yang beragam yaitu
ke dalam institusi Bulog maupun regulasi Individual Linear, Organizational
pemerintah. Corporatism, dan Individual Triangle

Kekuatan elit partai tersebut Alliances. Pola Organizational atau


dijelaskan melalui penjelasan penguasaan hubungan antar instansi dilakukan secara
mekanisme impor dari proses pengusulan sistematis di bawah kendali partai-partai
sampai pelaksanaan impor. Hal ini penguasa sepanjang tahun 1999 - 2009.
dijelaskan dalam pembahasan mengenai Faktanya, para pelaku pelanggaran dan
afiliasi partai dan secara historis karir penyalahgunaan wewenang dalam kasus
politik masing masing elit. Dari impor beras Vinafood berafiliasi pada tiga
pembahasan tersebut dapat dilihat organisasi yaitu Golkar-PDIP,
hubungan bisnis yang sudah terjalin Bulog/INKUD dan PSSI. Pola individual

37
NATAPRAJA Vol. 3 No. 1, Mei 2015

yaitu hubungan melalui pihak ketiga atau mengamankan lisensi yang seharusnya
perantara dilakukan untuk memperlancar diberikan secara gratis.
hubungan antar instansi.
Pola tersebut tidak hanya khas
DAFTAR PUSTAKA
Indonesia karena juga terjadi di banyak
Aditjondro, George J. 2002. Large dam
negara berkembang. Meskipun demikian
victims and their defenders: the
pola di Indonesia termasuk unik yaitu emergence of an anti-dam movement
bermuara pada usaha untuk mendapatkan in Indonesia dalam The Politics of
Environment in Southeast Asia:
lisensi yang diterbitkan oleh pemerintah
Resources and Resistance. Asia
dalam bentuk kuota dan perintah impor. Research Centre, Murdoch
Penelitian yang dilakukan oleh Hausken University, Western Australia
(2009) mengungkapkan bahwa kualitas Ambardi K. 2009. Mengungkap Politik
pemerintah yang buruk akan Kartel: Studi Tentang Sistem
menyebabkan perilaku korupsi sebagai Kepartaian di Indonesia era
Reformasi. Jakarta. Kepustakaan
salah misuse sering terjadi, yang Populer Gramedia.
kemudian menyebabkan inefisiensi biaya
Bachriadi, Dianto dan Gunawan Wiradi.
tinggi yang menghambat pertumbuhan 2011. Enam Dekade Ketimpangan:
ekonomi. Masalah Penguasan Tanah di
Hasil tersebut sesuai dengan Indonesia. Agrarian Resource Centre,
Bina Desa dan KPA
pernyataan Blackburn (2009) yang
menjelaskan bahwa pola dan dampak Bacon, W. 2005. Journalism as Research.
Australian Journalism Review, 28 (2):
korupsi tidak selalu sama di masing-
pp: 147 -157
masing negara, tergantung pada sistem
Bahari, Syaiful. 2002. Petani dalam
politik dan ekonomi. Ringkasnya, sistem
perspektif moral ekonomi dan politik
yang 1999-2009 yang masih Ekonomi dalam Menuju Keadian
memungkinkan terjadi kepentingan politik Agraria. Diterbitkan oleh Akatiga
bekerja sama dengan IPB.
dalam eksekusi impor. Karena dalam
melakukan kegiatannya importir Blackburn, Keith. 2009. Corruption and
Rent-seeking: Why is corruption less
membutuhkan surat keterangan dan lisensi
harmful in some countries than
kuota impor. Hal ini menyebabkan lobby others?. Journal of Economic
politik yang sistem yang mengamankan Behavior and Organization. Vol 72,
kepentingan elit politik dengan 2009 pp: 797-810.

38
Wahyu Riawanti - Kajian Peran Elit Politik dalam Kebijakan Pangan . . .

BPS. 2012. Statistik Pertanian: Tenaga Kano, Hiroyoshi. 2008. Indonesian


Kerja Komoditas Pertanian dan NTP Exports, Peasant Agriculture and The
Dalam Angka. Diterbitkan oleh Biro World Economy 1850 - 2000.
Pusat Statistik. Jakarta National University Singapore.

Djafar, M. 2008. Pedesaan Sebagai McMichael. 2009. A food Regime


Sumber Pangan: Dalam Genealogy. The Journal of Peasant
Cengkeraman Gurita Neo-liberalisme Studies. Vol. 36, No. 1, January 2009,
dalam Francis Wahono, Dwi Astuti 139–169.
dan Sabiq Carebesth (eds) Ekonomi
Politik Pangans: Dari Stiglitz, Joseph. E. 2012. The Price of
Ketergantungan ke Kedaulatan. Bina Inequality. Norton and Company.
Desa Cindebooks: 97-101. Suseno, Djoko dan Hempri Suyatna. 2007.
Downs, Anthony. 1972. Up and Down Mewujudkan Kebijakan Pertanian
With Ecology. Journal of Political yang Pro-Petani. Jurnal Ilmu Sosial
Economy. Vol. 65 No. 2. April 1972. dan Ilmu Politik. Vol. 10, Nomor 3,
PP 68-85. Maret 2007

Fleeson, L. 2010. Dig Deep and Aim Tullock, G. 2005. Public Goods,
High: A Training Model for Redistribution and Rent Seeking.
Investigative Journalism. <www. George Mason University, USA. The
Merril.umd.edu> Locke Institute.

Hausken, Kjell. 2012. On The Van der Eng, Pierre. 2000. Food for
Inappropriateness of Collective Rent Growth: Trends in Indonesia’s Food
Seeking Analysis Within-Group and Supply
Between-Group Efforts. Economics 1880-1995. The Jornal of
Letters Vol 116 (2012). PP 504–507 Interdisciplinary History Vol. 30. No.
Hutagaol, M. Parulian dan Alla Asmara. 4 pp 581-616
2008. Analisis Efektivitas Kebijakan World Bank. 1982. Green Revolution:
Publik Memihak pada Masyarakat Food Productivity And Its Dinamc in
Miskin: Studi Kasus Pelaksanaan Asia. Report Paper published by
Program Raskin di Jawa Barat. Rockefeler Foundation.
Jurnal Agro Ekonomi Vol. 26. No 2
Oktober 2008, IPB. Wahono, Francis. 2011. Kedaulatan
Pangan: Agri-culture bukan Agri-
Hiariej, Eric. 2012. Globalisasi, business: Mensiasati Negara Lupa
Kaptalisme dan Perlawanan. Institute Bangsa dalam Francis Wahono, Dwi
of International Studies. Jurusan Astuti dan Sabiq Carebesth (eds)
Hubungan Internasional. Fakultas Ekonomi Politik Pangan. Kembali ke
Ilmu Sosial dan Ilmu Politk (IIS). Basis: Dari Ketergantungan ke
Universitas Gadjah Mada. Kedaulatan.. Bina Desa dan
Cindebooks.
39
NATAPRAJA Vol. 3 No. 1, Mei 2015

Wahono, Francis. 1998. The Socio- Villages. Disertasi School of Business


economic Impact of The Green Faculty of Law and Management. La
Revolution on Asset-Class Relations Trobe University Bunduora Voctoria
in: A Case Study in Two Javanese Australia. Tidak dipublikasikan
.

40

Anda mungkin juga menyukai