Anda di halaman 1dari 15

EDUCATION0

PERILAKU PRODUSEN : ETIKA DAN FAKTOR-FAKTOR PRODUKSI ISLAM

BY MUHAMMAD IQBAL · 17 OCTOBER 2016

image_print

Produksi merupakan urat nadi dari rangkaian aktivitas ekonomi, yang mana tidak akan pernah ada
aktivitas konsumsi, distribusi ataupun perdagangan tanpa diawali oleh proses produksi. Untuk itulah
aktivitas produksi sangat penting dalam kehidupan manusia. Kegiatan produksi adalah kegiatan yang
menghasilkan barang dan jasa. Untuk menghasilkan suatu barang atau jasa dibutuhkan keterlibatan
banyak faktor produksi. Pada umumnya faktor produksi melibatkan alam, tenaga kerja, modal dan
kewirausahaan/pengorganisasian. Keempat faktor produksi inilah yang menghasilkan barang dan jasa.
Dalam produksi masalah yang timbul juga bagaimana pengorganisasian faktor produksi serta penentuan
harga input maupun output yang sesuai dengan tujuan dari produksi.

Dalam ekonomi konvensional, teori produksi ditujukan untuk memberikan pemahaman tentang perilaku
perusahaan dalam membeli dan menggunakan masukan untuk produksi dan menjual keluaran atau
produk. Teori produksi juga menjelaskan tentang perilaku produsen dalam memaksimalkan
keuntungannya maupun mengoptimalkan efisiensi produksinya. Memaksimalkan keuntungan atau
efisiensi produksi tidak akan terlepas dari dua hal; yakni struktur biaya produksi dan revenue yang
didapat. Demikian juga dengan permodalan yang bisa didapat dari pinjaman tanpa kompensasi, dengan
sistem bunga maupun dengan kerjasama.

Islam menolak sistem Pareto Optimum dan Given Demand Hypothesis sebagai prinsip dasar produksi
yang Islami serta pentingnya orientasi terhadap kebajikan dan keadilan. Sehingga fokus utamanya
adalah aktivitas produksi yang sesuai dengan dasar-dasar etos Islam.

Sebagaimana terdapat perbedaan yang mendasar dari perilaku seorang konsumen muslim dan non
muslim, maka terdapat pula perbedaan yang mendasar dari perilaku seorang produsen muslim dan non
muslim. Dalam setiap perilakunya, seorang muslim harus berpedoman kepada Al-Qur’an dan Sunnah
Rasul. Kedua sumber inilah yang membedakan perilaku ekonomi seorang muslim dengan non muslim.
Dari kedua sumber ini, diturunkan beberapa prinsip-prinsip dan tujuan seorang muslim menjalankan
aktivitas produksi. Pandangan tentang alam dan manusia sebagai faktor produksi menjadi pusat
perhatian dalam aktivitas produksi. Bagaimana memanfaatkan semua faktor produksi yang ada agar
sesuai dengan tujuan manusia diciptakan di muka bumi yaitu sebagai khalifah yang beribadah kepada
Allah menjadi rambu yang harus dipatuhi. Karena dengan begitulah segala persoalan ekonomi dapat
terselesaikan.

Pinsip-prinsip dan Tujuan Produksi

Manusia diciptakan dimuka bumi tidak lain dan tidak bukan adalah untuk beribadah kepada Allah. Hal ini
sebagaimana tertulis dalam Al-Qur’an surat Az-Zariyat ayat 56, yang artinya: “Aku tidak menciptakan jin
dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku”. Inilah prinsip dasar yang harus diperhatikan
manusia sebagai mahluk, bahwa segala aktivitasnya adalah untuk beribadah kepada Allah SWT, tidak
lain dan tidak bukan. Begitu pula halnya dengan bekerja. Tidak ada aktivitas bekerja yang tidak pernah
luput dari kerangka ibadah. Produksi yang merupakan salah satu bentuk dari kerja manusia juga harus
mendasari aktivitasnya dalam koridor ibadah.

Dalam ayat lain Allah juga menerangkan bahwa manusia mempunyai tanggung jawab besar yang tidak
dimiliki oleh mahluk lainnya di muka bumi ini, yaitu sebagai khalifah (pemimpin). Peranan manusia
sebagai khalifah di muka bumi memerankan fungsi penting yang artinya ada sebuah amanah besar yang
dibebankan kepada manusia untuk memakmurkan bumi. Allah yang telah menciptakan bumi dan langit,
serta yang ada diantara keduanya memberikan mandat ini kepada manusia karena manusia memiliki
kelebihan akal pikiran yang nantinya diharapkan dapat berguna untuk memanfaatkan segala sesuatu
yang telah Allah karuniani ini.

Pemberian mandat dan amanah dari Allah kepada manusia mengenai bumi ini bertujuan agar manusia
(1) dapat memanfaatkan isi bumi dan (2) memperoleh pendidikan agar manusia ingat nikmat yang telah
dianugerahkan oleh-Nya. Amanah yang diberikan Allah kepada umat manusia ini pada akhirnya harus
dipertanggungjawabkan. Oleh karena itu, Islam mengajarkan kepada umatnya untuk selalu bekerja dan
mencari karunia Allah. Islam melarang bermalas-malasan namun Islam sangat mendorong umatnya
untuk bekerja dan bekerja. (Muhammad, 2004)
Al-Qur’an dan Hadis Rasulullah SAW. memberikan arahan mengenai prinsip-prinsip produksi sebagai
berikut: (Mustafa dkk, 2006)

Tugas manusia di muka bumi sebagai khalifah Allah adalah memakmurkan bumi dengan ilmu dan
amalnya. Allah menciptakan bumi dan langit berserta segala apa yang ada di antara keduanya karena
sifat Rahmaan dan Rahiim-Nya kepada manusia. Karenanya sifat tersebut juga harus melandasi aktivitas
manusia dalam pemanfaatan bumi dan langit dan segala isinya.

Islam selalu mendorong kemajuan di bidang produksi. Menurut Yusuf Qardhawi, Islam membuka lebar
penggunaan metode ilmiah yang didasarkan pada penelitian, eksperimen, dan perhitungan. Akan tetapi
Islam tidak membenarkan penuhanan terhadap hasil karya ilmu pengetahuan dalam arti melepaskan
dirinya dari Al-Qur’an dan Hadis.

Teknik produksi diserahkan kepada keinginan dan kemampuan manusia. Nabi pemah bersabda: ”Kalian
lebih mengetahui urusan dunia kalian”.

Dalam berinovasi dan bereksperimen, pada prinsipnya agama Islam menyukai kemudahan, menghindari
mudarat dan memaksimalkan manfaat. Dalam Islam tidak terdapat ajaran yang memerintahkan
membiarkan segala urusan berjalan dalam kesulitannya, karena pasrah kepada keberuntungan atau
kesialan, karena berdalih dengan ketetapan dan ketentuan Allah, atau karena tawakal kepada-Nya,
sebagaimana keyakinan yang terdapat di dalam agama-agama selain Islam. Sesungguhnya Islam
mengingkari itu semua dan menyuruh bekerja dan berbuat, bersikap hati-hati dan melaksanakan selama
persyaratan. Tawakal dan sabar adalah konsep penyerahan hasil kepada Allah SWT. sebagai pemilih hak
prerogatif yang menentukan segala sesuatu setelah segala usaha dan persyaratan dipenuhi dengan
optimal.

Keadilan dan kebajikan bagi masyarakat secara keseluruhan sesungguhnya merupakan intisari ajaran
Islam. Untuk itu kegiatan produksi tentu saja harus senantiasa berpedoman kepada nilai-nilai keadilan
dan kebajikan bagi masyarakat. Shiddiqi (1992) menyebutkan 3 prinsip pokok produsen yang islami,
yaitu :

Memiliki komitmen yang penuh terhadap keadilan.

Memiliki dorongan untuk melayani masyarakat (untuk mencapai kesejahteraan) sehingga segala
keputusan perusahaan harus mempertimbangkan hal ini.

Optimalisasi keuntungan diperkenankan dengan batasan kedua prinsip di atas.

Produsen harus memiliki komitmen yang tinggi terhadap keadilan dan kebajikan, sehingga nilai-nilai ini
harus menjadi pedoman bagi kegiatan ekonomi dan bisnisnya. Kesejahteraan bagi masyarakat secara
keseluruhan juga harus menjadi tujuan dari kegiatan produksi, baik produksi secara makro maupun
mikro. Dengan batasan kedua prinsip ini, maka produsen dapat memaksimumkan tingkat keuntungan
yang ingin dicapainya. Dengan demikian, segala upaya memaksimalkan keuntungan tidak boleh
dilakukan dengan meninggalkan prinsip keadilan dan kebajikan bagi kesejahteraan masyarakat secara
keseluruhan.

Sesungguhnya penerapan prinsip-prinsip produksi yang islami juga sangat kondusif bagi upaya produsen
untuk mencapai keuntungan maksimum jangka panjang. Jika perusahaan mengutamakan keadilan dan
kebajikan dalam menciptakan kesejahteraan masyarakat, maka dengan sendirinya eksistensi
perusahaan dalam jangka panjang akan lebih terjamin. Jadi tujuan keadilan dan kebajikan dalam poduksi
akan berkorelasi positif dengan keuntungan yang dicapai perusahaan.

Selain itu, ada beberapa nilai yang dapat dijadikan oleh produsen, khususnya muslim, sebagai sandaran
motivasi dalam melakukan proses produksi, yaitu: (Sa’ad Marthon, 2004)

Pertama; profit bukanlah merupakan satu-satunya elemen pendorong dalam berproduksi, tetapi
kehalalan dalam menghasilkan suatu barang atau jasa dan keadilan dalam mengambil keuntungan
merupakan motivasi penting dalam berproduksi.

Kedua; Produsen harus mempertimbangkan dampak yang ditimbulkan dari proses produksinya. Artinya
semua dampak sosial (social return) yang ditimbulkan dari proses produksi haruslah dapat
tertanggulangi dengan baik. Selain itu, barang yang yang diproduksi juga harus merefleksikan kebutuhan
dasar masyarakat.

Ketiga; produsen harus memperhatikan nilai-nilai spiritualisme, dimana nilai tersebut harus dijadikan
penyeimbang dalam melakukan produksi. Artinya harus kembali lagi kepada hakekat penciptaan
manusia dan niatan untuk mencari ridho Allah.

Dalam melakukan aktivitas ekonomi, baik itu produksi, konsumsi ataupun perdagangan, motivasi yang
sifatnya individualistis sangat dijauhkan. Oleh karena itu, Islam secara khas menekankan bahwa setiap
kegiatan produksi harus pula mewujudkan fungsi sosial. Dimana kegiatan produksi yang dapat
menghasilkan kebutuhan untuk dikonsumsi dan juga keuntungan bagi si produsen harus dapat
berkontribusi terhadap kehidupan sosial.
Melalui konsep inilah, kegiatan produksi harus bergerak di atas dua garis optimalisasi. Tingkatan optimal
pertama adalah mengupayakan berfungsinya sumber daya insani ke arah pencapaian kondisi full
employment, di mana setiap orang bekerja dan menghasilkan suatu karya kecuali mereka yang ‘udzur
syar’i seperti sakit dan lumpuh. Optimalisasi berikutnya adalah dalam hal memproduksi kebutuhan
primer (dharuriyyah), lalu kebutuhan sekunder (hajiyyat) dan kebutuhan tersier (tahsiniyyat) secara
proporsional. Tentu saja Islam harus memastikan hanya memproduksi sesuatu yang halal dan
bermanfaat buat masyarakat (thayyib). Target yang harus dicapai secara bertahap adalah kecukupan
setiap individu, swasembada ekonomi umat dan kontribusi untuk mencukupi umat dan bangsa lain.
(Mustafa dkk, 2006)

Sedangkan Shiddiqi (1992) menyebutkan beberapa tujuan kegiatan produksi adalah sebagai berikut :

Pemenuhan sarana kebutuhan manusia pada takaran moderat.

Menemukan kebutuhan masyarakat.

Persediaan terhadap kemungkinan-kemungkinan di masa depan.

Persediaan bagi generasi mendatang.

Pemenuhan sarana bagi kegiatan sosial dan ibadah kepada Allah.

Tujuan pertama menimbulkan dua implikasi. Pertama, produsen hanya menghasilkan barang dan jasa
yang menjadi kebutuhan dan bukan keinginan. dari konsumen. Barang dan jasa yang dihasilkan harus
memiliki manfaat riil bagi kehidupan yang Islami, bukan sekedar memberikan kepuasan yang maksimum
bagi konsumen. Kedua, kuantitas produksi tidak akan berlebihan, tetapi hanya sebatas kebutuhan yang
wajar.

Produsen juga dituntut untuk proaktif dan kreatif dalam menemukan berbagai barang dan jasa yang
memang dibutuhkan oleh manusia. Terkadang konsumen tidak menyadari apa yang dibutuhkan. Dengan
demikian produsen diharapkan dapat menghasilkan barang dan jasa yang bermanfaat bagi kehidupan di
masa mendatang.

Konsep pembangunan yang berkesinambungan adalah konsep yang memberikan persediaan yang
memadai bagi generasi mendatang. Dengan demikian kegiatan eksplorasi alam juga sebaiknya
menyediakan untuk generasi mendatang. Sedangkan tujuan yang terakhir yaitu berorientasi kepada
kegiatan sosial dan ibadah kepada Allah memberikan implikasi yang luas sebab produksi tidak akan
selalu menghasilkan keuntungan material. Ibadah juga kadang membu- tuhkan pengorbanan material.
Kegiatan produksi tetap harus berlangsung meski pun ia tidak memberikan keuntungan materi, sebab ia
akan memberikan keuntungan yang lebih besar berupa pahala di akhirat nanti.

Faktor-faktor Produksi

Pada dasarnya tidak ada sebuah kesepakatan tentang klasifikasi faktor produksi, baik di kalangan
ekonom konvensional maupun ahli ekonomi Islam. Perbedaannya disebabkan karena ketidaksamaan
tentang definisi, karakteristik, maupun peran dari masing-masing faktor produksi dalam menghasilkan
output.

Permasalahan ekonomi dalam faktor produksi pada dasarnya mencakup dua hal, yaitu :

Bagaimana hubungan antar satu faktor produksi dengan faktor produksi lainnya, termasuk apa yang
lebih penting dan apa yang lebih dahulu berperan dalam produksi.

Bagaiman menentukan harga, yaitu harga faktor produksi itu sendiri maupun kaitan antara faktor
produksi dengan harga output produksi.

Produksi merupakan suatu proses yang mentransformasikan input menjadi output. Segala jenis input
yang masuk dalam proses produksi untuk menghasilkan output disebut faktor produksi. Ilmu ekonomi
menggolongkan faktor produksi ke dalam capital (termasuk di dalamnya tanah, gedung, mesin-mesin,
dan inventori/persediaan), materials (bahan baku dan pendukung, yakni semua yang dibeli perusahaan
untuk menghasilkan output termasuk listrik, air dan bahan baku produksi), serta manusia (Labor). Input
dapat dipisah-pisahkan dalam kelompok yang lebih kecil lagi. Manusia sebagai faktor produksi misalnya
bisa dibedakan menjadi manusia terampil dan tidak terampil. Juga dapat digolongkan ke dalamnya
adalah entrepreneurship (kewirausahaan) dari pemilik dan pengelola perusahaan. Kewirausahaan
sendiri dimaksudkan sebagai kemampuan untuk mengendalikan organisasi usaha, mengambil risiko
untuk menciptakan kegiatan usaha. Selain faktor-faktor di atas, manajemen juga merupakan satu faktor
produksi tersendiri. (Mustafa dkk, 2006)

Menurut Yusuf Qardhawi, faktor produksi yang utama menurut. Al-Qur’an adalah alam dan kerja
manusia. Produksi merupakan perpaduan harmonis antara alam dengan manusia. Alam adalah kekayaan
yang telah diciptakan Allah untuk kepentingan manusia, ditaklukkan-Nya untuk merealisasikan cita-cita
dan tujuan manusia. Kerja adalah segala kemampuan dan kesungguhan yang dikerahkan manusia baik
jasmani maupun akal pikiran, untuk mengolah kekayaan alam ini bagi kepentingannya. Tidak
dimasukkannya modal sebagai salah satu faktor produksi dikarenakan modal adalah bentuk alat dan
prasarana yang merupakan hasil dari kerja. Modal adalah kerja yang disimpan. Atas dasar itu maka
unsur yang paling penting dan rukun yang paling besar dalam proses produksi adalah amal (kerja) usaha,
dengannya bumi diolah dan dikeluarkan segala kebaikan dan kemanfaatannya sehingga menghasilkan
produksi yang baik.

Dalam Al-Qur’an digambarkan kisah penciptaan Adam antara lain pada Surat al-Baqarah ayat 30 dan 31
yang artinya: “Ingatlah ketika Tuhamnu berfirman kepada para malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak
menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan
(khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal
kami senantiasa bertashih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?” Tuhan berfirma
“Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.”. Dan dia mengajarkan kepada Adam
nama-nama (benda-benda) seluruhnya”

Dari pemaparan ayat di atas dapat dilihat bahwa ilmu juga merupakan faktor produksi terpenting dalam
pandangan Islam. Teknik produksi, mesin serta sistem manajemen merupakan buah dan ilmu dan kerja.

Terdapat 2 prinsip dasar yang harus dijadikan pedoman dalam penentuan harga faktor produksi, yaitu:
(1) Nilai keadilan (justice) dan (2) Pertimbangan kelangkaan (scarcity).

Penentuan harga faktor produksi haruslah adil, sebab keadilan merupakan salah satu prinsip dasar
dalam semua transaksi yang Islami. Kelangkaan mengacu pada kondisi relatif antara permintaan suatu
barang atau jasa terhadap penawarannya. Mekanisme pasar akan menghasilkan harga yang
mencerminkan kelangkaannya. Pertimbangan kelangkaan berarti penempatan harga pasar sebagai
harga dari faktor produksi tersebut.

Faktor-faktor produksi dapat diklasifikasikan sebagai berikut :

Tanah/Alam
Alam adalah faktor produksi yang bersifat asli. Tanah dan segala zat yang dikandung di dalamnya
maupun dipermukaannya, udara dan segala yang ada diangkasa adalah faktor produksi yang sangat
penting. Alam juga merupakan faktor produksi asal, sebab dari alamlah kemudian segala jenis kegiatan
produksi berlangsung. Isu yang menyangkut tentang sumber daya alam ini , yaitu :

Ketersediaan sumber alam dalam jangka panjang.

Bagaimana menentukan harga sumber daya alam karena manusia tinggal mengeskplorasikannya.

Bagaimana menjaga kelestarian alam karena bersifat dapat habis.

Islam juga membolehkan pemilikan tanah dan sumber-sumber alam yang lain dan membolehkan
penggunaannya untuk beraktivitas produksi, dengan syarat hak miliknya merupakan tugas sosial dan
khilafat dari Allah atas milik-Nya, dengan mengikuti perintah-perintah Tuhan dalam usaha memperoleh
milik. (Abdul Muhsin dalam Muhammad, 2004)

Tanah memiliki dua karakteristik, yaitu: (1) tanah sebagai sumber daya alam; dan (2) tanah sebagai
sumber daya yang dapat habis.(Mannan, 1992)

Tanah sebagai sumber daya alam yang penggunaannya akan memberikan kontribusi pada dua
komponen penghasilan, yaitu: (a) penghasilan dari sumber-sumber daya alam sendiri (yakni sewa
ekonomis murni), dan (b) penghasilan dari perbaikan dalam penggunaan sumber-sumber daya alam
melalui kerja manusia dan modal. Sementara karakteristik kedua bahwa Islam memandang, sumber
daya yang dapat habis adalah milik generasi kini maupun generasi masa yang akan datang. Generasi kini
tidak berhak menyalahgunakan sumber-sumber daya yang dapat habis sehingga menimbulkan bahaya
bagi generasi yang akan datang.(Muhammad, 2004)

M.A. Mannan melontarkan kebijaksanaan pedoman dalam mengelola tanah sebagai sumber daya, yaitu:

Pembangunan pertanian pada negara-negara Muslim dapat ditingkatkan melalui metode penanaman
yang intensif dan ekstensif jika dilengkapi dengan suatu program pendidikan moral berdasarkan ajaran
Islam.

Penghasilan yang diperoleh dari penggunaan sumber daya yang dapat habis harus lebih digunakan
untuk pembangunan lembaga-lembaga sosial (seperti: sekolah, rumah sakit) dan untuk infrastruktur fisik
daripada konsumsi saat sekarang.
Sewa ekonomis murni boleh lebih digunakan untuk memenuhi tingkat pengeluaran konsumsi sekarang.

Tenaga Kerja

Secara umum para ahli ekonomi sependapat bahwa tenaga kerja itulah produsen satu-satunya dan
tenaga kerjalah pangkal produktivitas dari semua faktor-faktor produksi yang lain. Alam maupun tanah
takkan bisa menghasilkan apa-apa tanpa tenaga kerja. Kekayaan alam semesta dapat berubah menjadi
hasil produksi yang bernilai karena jasa tenaga kerja. Tenaga kerja meliputi buruh maupun manajerial.
Karakter terpenting tenaga kerja dibandingkan dibandingkan dengan faktor produksi lain adalah karena
mereka adalah manusia. Isu yang menyangkut hal ini adalah :

Bagaimana hubungan antara tenaga kerja dengan faktor produksi lain.

Bagaimana memberi “harga” atas tenaga kerja.

Bagaimana menghargai unsur-unsur keadilan, kejiwaan, moralitas dan unsur-unsur kemanusiaan lain
dari tenaga kerja.

Dalam memandang faktor tenaga kerja inilah terdapat sejumlah perbedaan. Faham ekonomi sosialis
misalnya memang mengakui faktor tenaga kerja merupakan faktor penting. Namun paham ini tidak
memberikan pengakuan dan penghargaan terhadap hak milik individu, sehingga faktor tenaga kerja atau
manusia turun derajatnya menjadi sekadar pekerja atau kelas pekerja. Sedangkan paham kapitalis, yang
saat ini menguasai dunia, memandang modal atau kapital sebagai unsur yang terpenting, dan oleh
sebab itu, para pemilik modal atau para kapitalislah yang menduduki tempat yang sangat strategis
dalam ekonomi kapitalis.

Pemahaman terhadap peran manusia dalam proses produksi oleh para ekonomi konvensional tampak
berevolusi. Semula manusia hanya dipandangdan sisi jumlah fisiknya ketika dipandang sebagai ’tenaga
kerja’ atau labor. Sadar bahwa di samping ’tenaga’ manusia juga memiliki aspek ’keterampilan’ yang
sifatnya lebih nonfisik, kemudian dibedakan antara tenaga kerja terampil dan tidak terampil. Selanjutnya
dibedakan pula manusia antara pemilik, pengelola, dan pekerja seperti yang baru saja dibahas. Manusia
sebagai faktor produksi, dalam pandangan Islam, harus dilihat dalam konteks fungsi manusia secara
umum yakni sebagai khalifah Allah di muka bumi. Sebagai makhluk Allah yang paling sempurna, manusia
memiliki unsur rohani dan unsur materi, yang keduanya saling melengkapi. Karenanya unsur rohani
tidak dapat dipisahkan dalam mengkaji proses produksi dalam hal bagaimana manusia memandang
faktor-faktor produksi yang lain menurut cara pandang Al- Qur’an dan Hadis. (Mustafa dkk, 2006)
Menurut M.A. Mannan dikatakan bahwa dalam Islam, buruh (tenaga kerja) digunakan dalam arti yang
lebih luas namun juga lebih terbatas. Lebih luas, karena hanya memandang pada penggunaan jasa buruh
diluar batas-batas pertimbangan keuangan. Terbatas dalam arti bahwa seorang pekerja tidak secara
mutlak bebas untuk berbuat apa saja yang dikehendakinya dengan tenaga kerjanya itu.

Modal

Modal adalah kekayaan yang memberi penghasilan kepada pemiliknya. Atau kekayaan yang
menghasilkan suatu hasil yang akan digunakan untuk menghasilkan suatu kekayaan lain. (Ahmad
Ibrahim dalam Muhammad, 2004)

Awalnya pengertian modal mencakup segala kekayaan baik dalam wujud uang maupun bukan uang
misalnya gedung, mesin dan lain-lain. Pada masa ini pengertian modal meluas mencakup segala
wawasan, ketrampilan, pengetahuan dan kekayaan manusia (human capital) yang sangat berguna bagi
kegiatan produksi. Isu terpenting tentang modal adalah bagaimana menentukan harganya, dimana
dalam ekonomi konvensional harga ini dapat berupa bunga (untuk modal uang) dan sewa.

Di dalam sistem Islam modal (sebagai hak milik) adalah amanah dari Allah yang wajib dikelola secara
baik. Manusia atau para pengusaha hanya diamanahi oleh Allah untuk mengelola harta atau modal itu
sehingga modal itu dapat berkembang. Terhadap perlakuan modal sebagai salah satu faktor produksi,
Islam memiliki terapi sebagai berikut: (Muhammad, 2004)

Islam mengharamkan penimbunan dan menyuruh membelanjakannya, juga Islam menyuruh harta yang
belum produktif segera diputar, jangan sampai termakan oleh zakat.

Di samping Islam mengizinkan hak milik atas modal, Islam mengajarkan untuk berusaha dengan cara-
cara lain agar modal tersebut jangan sampai terpusat pada beberapa tangan saja.

Islam mengharamkan peminjaman modal dengan cara menarik bunga.

Islam mengharamkan penguasaan dan kepemilikan modal selain dengan cara-cara yang diizinkan
syari’ah, seperti: kerja, hasil akad jual beli, hasil pemberian, wasiat dan waris.

Islam mewajibkan zakat atas harta simpanan atau harta produktif dalam bentuk dagang pada setiap
ulang tahun. Tidak boleh menggunakan modal dalam produksi secara boros.
Modal tidak termasuk faktor produksi yang pokok dalam Islam, melainkan hanya sebagai sarana
produksi yang menghasilkan dan juga sebagai suatu perwujudan tanah dan tenaga kerja sesudahnya.
Modal sendiri merupakan suatu hasil dari kerja mengelola alam yang tersimpan. Jadi jelaslah bahwa
memang modal bukan suatu yang dapat berdiri sendiri, tetapi merupakan akibat dari faktor produksi
lainya. Namun hal ini tidak pula dapat mengesampingkan modal sebagai faktor produksi, tetapi
posisinya tidak diutamakan, segaimana utamanya tenaga kerja, sumber daya alam dan ilmu itu sendiri.

Wirausaha

Wirausaha (entrepreneur) pada dasarnya dapat dikatakan sebagai motor penggerak kegiatan produksi.
Kegiatan produksi berjalan karena adanya gagasan, upaya dan motivasi untuk mendapatkan manfaat
sekaligus bersedia menanggung segala resiko. Tenaga kerja dapat digantikan dengan mesin, tidak
demikian dengan wirausahawan.

Wirausaha dapat juga diartikan sebagai pengorganisasian faktor-faktor produksi yang ada atau dengan
kata lain manajemen. Manajemen disini tentunya tidak lepas dari pengertian manusia sebagai mahluk
ciptaan Allah yang diberikan kemampuan akal. Dari akal inilah manusia memiliki ilmu yang akhirnya
dapat mengelola sumber daya alam dan manusia dengan baik.

Manajemen adalah upaya mulai sejak timbulnya ide usaha dan barang apa yang ingin diproduksi/berapa
dan kualitasnya bagaimana dalam angan-angan si manajer. Kemudian ide tersebut dipikir-pikirnya dan
dicarikan apa saja keperluannya yang termasuk dalam faktor-faktor produksi sebelumnya. Islam
menyuruh melakukan manajemen dan mengharuskan kepada manajer untuk mengikuti jalan keadilan
dan menjauhi jalan yang akan membahayakan masyarakat. Atas dasar tersebut manajer Islam
mengharamkan untuk mengatur produksi barang-barang yang haram dan tidak membolehkan
perencanaan produksi barang-barang seperti ini.

Fungsi Produksi
Atas dasar-dasar yang matang tentang perilaku produsen yang sesuai dengan syari’at Islam, maka kita
dapat melihat suatu fungsi produksi yang mencerminkan perilaku produsen Islami. Menurut
Muhammad Abdul Mannan (1992), perilaku produksi tidak hanya menyandarkan pada kondisi
permintaan pasar melainkan juga berdasarkan pertimbangan kemaslahatan. Pendapat ini didukung oleh
M.M. Metwally (1992) yang menyatakan bahwa fungsi kepuasan perusahaan tidak hanya dipengaruhi
oleh variabel tingkal keuntungan tetapi juga oleh variabel pengeluaran yang bersifat charity atau good
deeds. Sehingga fungsi utilitas dari pengusaha muslim adalah sebagai berikut:

umax

Di mana:

F = tingkat keuntungan

G = tingkat pengeluaran untuk good deeds/charity

Menurut Metwally, pengeluaran perusahaan untuk charity akan meningkatkan permintaan terhadap
produk perusahaan, karena G akan menghasilkan efek penggandaan (multiplier effects) terhadap
kenaikan kemampuan beli masyarakat. Kenaikan kemampuan beli masyarakat itu pada gilirannya akan
meningkatkan permintaan terhadap produk perusahaan.

Fungsi daya guna tersebut merupakan fungsi dari jumlah keuntungan dan jumlah pengeluaran untuk
sedekah, dengan kendala keuntungan setelah pembayaran zakat, yang besarnya kurang dari tingkat
minimum yang aman buat perusahaan.

Tingkat keuntungan diperoleh dari pengurangan pendapatan total dengan biaya produksi dan sedekah
yang dapat disebut dengan keuntungan bersih sebelum zakat. Selain itu ada variabel zakat yang
besarnya bergantung kepada keuntungan bersih. Metwally menambahkan variabel tambahan
pengeluaran dari keuntungan. Jadi tingkat keuntungan (F) dapat dituliskan sebagai berikut:
laba

Dimana:

a = tingkat zakat

b = tingkat pengeluaran lain

R = pendapatan total

C = biaya produksi

S = sedekah

Tujuan suatu aktivitas produksi adalah memaksimumkan fungsi daya guna/utilitas dengan kendala
keuntungan minimum yang dapat diterima. Kondisi optimum terjadi pada saat penerimaan marginal
(marginal revenue) sama dengan biaya marginal (marginal cost). Fungsi daya guna produksi yang tidak
hanya dipengaruhi oleh faktor biaya dan pendapatan, melainkan juga dipengaruhi oleh variabel sedekah
dan zakat, memberikan dampak yang jika dilihat sekilas akan mengurangi produksi.

Namun tidaklah demikian, Metwally mengatakan bahwa terwujudnya keseimbangan dalam produksi
yang Islami terjadi pada saat penerimaan marginal sama dengan biaya marginal seperti halnya kondisi
produksi non Islam. Ini tidak berarti akan menghasilkan tingkat produksi yang sama pada perusahaan
dengan produksi Islami dengan perusahaan produksi non Islam. Tingkat produksi islami lebih besar jika
dibandingkan dengan produksi non Islam pada struktur biaya yang sama. Hal ini dikarenakan adanya
variabel S (sedekah) yang secara imlpisit mempengaruhi fungsi produksi yang mendorong kemampuan
daya beli masyarakat yang senantiasa meningkat sehingga produksi juga akan terus ditingkatkan.
Berikut ini akan digambarkan perbedaan keseimbangan produksi Islami dan non Islam. Digambar ini
akan dilihat perbedaan jumlah produksinya. Walaupun produksi Islami mengakibatkan tingkat harga (p’)
yang lebih tinggi tetapi jumlah produksinya (q’) lebih tinggi pula. Ini menunjukkan bahwa tingkat harga
yang tinggi pada produksi Islami tidak menguragi daya beli masyarakat bahkan aktivitas produksi lebih
terpacu.

graf-keseimbangan-perusahaan-islam

Grafik 1

Keseimbangan suatu perusahaan Islam dan non Islam

Kesimpulan

Sama halnya dengan aktivitas ekonomi lainnya, konsumsi dan distribusi, aktivitas produksi yang
merupakan aktivitas hulu dari suatu kegiatan ekonomi harus selalu berpegang pada prinsip-prinsip
Islam. Prinsip-prinsip Islam yang menekankan keseimbangan juga berlaku dalam bidang produksi. Al-
Qur’an dan Sunnah Rasul sebagai sumbernya menganjurkan diperhatikannya nilai-nilai moral dalam
melakukan aktivitas produksi. Tidak hanya keuntungan semata yang ingin dicapai oleh suatu perusahaan
Islami melaikan juga kemaslahatan bagi semua elemen kehidupan.

Prinsip-prinsip yang sangat ditekankan dalam menjalankan suatu proses produksi adalah keseimbangan
dan keadilan. Adanya usaha untuk memaksimumkan keuntungan perusahaan juga harus diikuti dengan
adanya usaha mensejahteraan mereka yang terkait secara langsung maupun tidak dengan aktivitas
produksi. Keuntungan yang ingin dicapai oleh perusahaan seharusnya tidak terbatas pada keuntungan
duniawi semata tetapi juga memperhatikan keuntungan yang bersifat ukhrowi dengan adanya tanggung
jawab sosial kepada masyarakat dan lingkungan. Dampak yang ditimbulkan oleh aktivitas produksi
hendaknya dapat diperhitungkan sehingga adanya suatu mekanisme tanggung jawab didalamnya.
Faktor-faktor produksi menjadi suatu bahasan yang tidak kalah penting. Perbedaan prinsip menjadikan
sudut pandang yang berbeda dalam melihat faktor-faktor produksi yang ada. Dalam Islam, faktor
produksi sebenarnya hanyalah alam dan manusia itu sendiri. Tanah, air, udara dan segala sesuatu yang
ada dibumi merupakan bagian dari faktor alam. Sedangkan manusia yang diberikan kemampuan akal
menurunkan faktor produksi seperti tenaga kerja dan manajerial sebagai suatu keahlian dalam
mengelola faktor-faktor produksi. Faktor modal hakekatnya hanyalah hasil dari kerja manusia yang
disimpan untuk kelanjutan proses produksi selanjutnya.

Dari penjabaran inilah, fungsi produksi Islami dapat diturunkan sebagai reperensentasi yang
memudahkan kita untuk mempelajari mekanisme-mekanisme apa yang mempengaruhi aktivitas
ekonomi lainnya baik itu secara mikro maupun makro. Terlihat bahwa fungsi produksi Islami mencapai
keseimbangan yang lebih tinggi yang juga berdampak pada tingkat harga dan jumlah produksi yang lebih
tinggi pula. Kesemuanya itu mengindikasikan adanya suatu perubahan kearah yang lebih baik dari
kondisi sebelumnya. Wallahu’alam …

Anda mungkin juga menyukai