Anda di halaman 1dari 7

MASALAH DALAM KEBIJAKSANAAN MONETER

Referensi:
Boediono. 2018. Ekonomi Moneter. Yogyakarta: BPFE.

*Lanjutan Materi Pertemuan Pekan Lalu

A. Sasaran: Tingkat Bunga atau Uang Beredar?


Sasaran akhir jangka pendek baik dari kebijaksanaan moneter maupun kebijaksanaan fiskal
adalah menjaga keseimbangan makro dari perekonomian, yaitu agar tercapai laju inflasi yang
rendah, tingkat kegiatan ekonomi (produksi) yang tinggi serta neraca pembayaran yang
seimbang.Ini adalah tujuan akhir yang “ideal” dari kebijaksanaan ekonomi makro. Tentu tidak
semua aspek dan sasaran ini akan bisa dicapai secara penuh dan sekaligus dalam kenyataan.
Biasanya perlu “kompromi” antara ketiga aspek tersebut dan juga perlu kompromi antara
sasaran dengan realita yang benar-benar dihadapi.Dalam usaha mencapai sasaran akhir
tersebut, kebijaksanaan moneter, di samping kebijaksanaan fiskal, memegang peranan yang
penting.
Mengapa sasaran-antara diperlukan? Jawaban umum untuk pertanyaan ini adalah bahwa
kebanyakan ekonom berpendapat bahwa jarak waktu (lag) antara tindakan kebijaksanaan
moneter dengan pengaruhnya pada ketiga aspek sasaran akhir tersebut adalah panjang,
sehingga akan sangat terlambat seandainya terjadi kesalahan kebijaksanaan, dan kebijaksanaan
hanya bisa diubah setelah hasil akhir tersebut telah terjadi atau telah bisa diamati. Oleh sebab
itu, perlu sasaran-antara, yang secara lebih cepat bisa dimonitor perkembangannya sebagai
indikator awal dari pengaruh suatu kebijaksanaan sehingga apabila kebijaksanaan perlu
dikoreksi segera bisa dilakukan. Untuk tujuan tersebut sasaran-antara tersebut harus
memenuhi dua syarat, sebagai berikut.
1. Ia harus secara cukup akurat dan cukup andal (realible) sebagai indikator awal dari hasil
akhir kebijaksanaan tersebut. Artinya apa yang diharapkan akan terjadi pada sasaran-
akhir sudah bisa tercermin dengan baik pada sasaran-antara tersebut.
2. Ia harus segera bisa diamati dan dimonitor, sehingga segera bisa ditentukan apakah
secara umum kebijaksanaan yang dijalankan sudah benar atau belum.
Dua sasaran antara yang memenuhi kedua syarat tersebut adalah tingkat bunga dan jumlah
uang beredar.Informasi atau data mengenai kedua sasaran ini biasanya diperoleh dengan cepat
(bahkan tingkat bunga bisa diamati langsung dari pasar uang saat itu juga, tetapi data mengenai
jumlah uang beredar mungkin harus menunggu beberapa hari atau minggu).

B. “Uang Mana yang Dikendalikan


Apabila tingkat bunga dan uang beredar kita putuskan untuk dijadikan sasaran antara,
pertanyaan selanjutnya adalah: tingkat bunga yang mana dan uang beredar yang mana? Dalam
kenyataan ada berbagai macam tingkat bunga dan berbagai konsep uang beredar.
Kita akan mengunakan bagian ini untuk membahas lebih mendalam mengenai konsep uang
beredar yang mana yang relevan bagi kebijaksanaan moneter. Kita sudah sebutkan adanya
berbagai konsep mengenai uang beredar, yaitu M1, M2, M3 dan L. Di samping itu, kita juga
menekankan pentingnya peranan konsep lain lagi, yaitu uang inti (B) dalam proses penciptaan
uang beredar. Semua konsep ini merupakan calon yang logis sebagai sasaran antara bagi
kebijaksanaan moneter.Yang mana paling baik?
Sekali lagi jawabannya di sini pun tak semudah pertanyaannya. Ada 2 hal yang harus
dipertimbangkan dalam pemilihan besaran atau konsep uang beredar yang cocok, yaitu sebagai
berikut:
1. Seberapa jauhkah Otorita Moneter bisa mempengaruhi besaran tersebut? Semakin
mudah dikendalikan tentu semakin baik.
2. Bagaimana keandalan (reliabilitas) dari besaran tersebut dalam mencerminkan apa yang
terjadi dalam sasaran akhir? Semakin andal dan semakin akurat, atau semakin dekat
dengan korelasi antara besaran yang dipilih dengan sasaran akhir semakin baik.

Atas pertimbangan (a) maka yang paling baik adalah uang inti (B) karena B secara langsung
bisa dikendalikan oleh Otorita Moneter. Kita ingat bahwa “uang inti (B)” tidak lain adalah
“hutang moneter dari Otorita Moneter kepada masyarakat dan Lembaga Keuangan”. Namun,
sebenarnya tidak seluruh B bisa ditentukan secara langsung oleh Otorita Moneter. Uang inti
yang berasal dari pencetakan uang baru atau kredit dari Bank Sentral kepada masyarakat dan
Lembaga Keuangan memang pada asasnya bisa dikendalikan langsung oleh otorita moneter.
Tetapi uang inti yang berasal dari neraca pembayaran (atau, sama saja, perubahan cadangan
devisa) mungkin tidak begitu saja bisa dikendalikan. Bagi negara-negara yang mempunyai
perekonomian terbuka penciptaan uang inti yang bersumber dari sektor luar negeri ini sangat
penting, dan seringkali di luar kekuasaan Otorita Moneter untuk mengendalikannya (misalanya,
pengaruh dari kenaikan harga ekspor minyak). Namun, dipandang secara relatif, B lebih
langsung bisa dipengaruhi oleh Otorita Moneter dibanding dengan M1,M2,M3 atau L. Di sini L
adalah “Total Likuidity“. Dari segi ini, maka B merupakan sasaran yang lebih baik daripada
konsep-konsep yang lain tersebut. Atas dasar pertimbangan (a) kita sebenarnya sudah bisa pula
mengatakan secara langsung bahwa M1 adalah lebih baik dari M2, dan M2 lebih baik dari M3
dan L adalah yang terburuk.Konsep-konsep yang semakin jauh dari B semakin banyak faktor-
faktor lain yang mempengaruhinya selain tindakan otorita moneter itu sendiri. Ini jelas dari
semakin banyaknya variabel lain yang masuk dalam koefisien pelipatnya, yang merupakan hasil
dari perilaku ekonomi dari pelaku-pelaku lain dalam pasar uang. Pengaruh otorita moneter
semakin tidak langsung, semakin kita menjauh dari konsep B.

C. Ketidakpastian dan Jarak Waktu (Lag)


Berbeda dengan ilmu eksakta, ilmu ekonomi sebagai ilmu yang mempelajari perilaku
manusia, dihadapkan pada ketidakpastian (uncertainty) baik mengenai dalil-dalilnya itu sendiri
maupun mengenai nilai-nilai koefisien yang relevan apabila dalil-dalil tersebut diterapkan untuk
memecahkan masalah nyata. Mengenai ketidakpastian dalil-dalil dalam teori moneter, kita
telah melihat bagaimana misalnya kelompok Keynes berbeda dengan kelompok klasik dalam
berbagai konsep penting, seperti permintaan akan uang, penentuan tingkat bunga dan
sebagainya. Bahkan seandainya kita sudah setuju dengan dalil (teori) yang akan dipakai untuk
memecahkan masalah tertentu, dalam praktek kita masih harus mengisi dalil-dalil tersebut
(misalnya saja koefisien pelipat uang) dengan angka-angka yang kita perkirakan berlaku bagi
perekonomian kita saat itu, dan baru setelah itu kita bisa merumuskan langkah kebijaksanaan
yang kongkret. Tergantung pada tersedianya data dan tenaga, cara mengisi dalil tersebut bisa
berkisar dari cara yang paling sederhana seperti perkiraan kasar atas dasar perasaan si ekonom
sampai pada penaksiran dengan prosedur statistik yang formal dan rumit. Namun yang perlu
kita garis bawahi adalah bahwa si perumus kebijaksanaan dihadapkan pada informasi yang
mengandung ketidakpastian.Dengan demikian iapun selalu dihadapkan pada ketidakpastian
mengenai akibat dari kebijaksanaan yang dirumuskannya.
Unsur ketidakpastian ini selalu ada dalam setiap usaha dalam merumuskan dan
melaksanakan suatu kebijaksanaan moneter, dan kebijaksanaan ekonomi pada
umumnya.Apabila kita membaca kepustakaan mengenai kebijakan ekonomi, maka pesan yang
seringkali kita dapatkan dari banyak penulis adalah bahwa dalam keadaan ketidaksempurnaan
informasi tersebut para perumus kebijaksanaan seyogyanya jangan suka mengambil
kebijaksanaan yang terlalu berani, dalam arti bahwa mereka harus selalu menghindari
diambilnya reaksi yang berkelebihan (over reaction) terhadap permasalahan stabilisasi yang
timbul. Tindakan yang reaktif harus dihindarkan, sebab dalam informasi tidak sempurna
kesalahan langkah sama dengan ketepatan langkah. Sekarang pun banyak ekonom
berpendapat bahwa perekonomian mempunyai kemampuan untuk mengkoreksi sendiri
ketimpangan besar yang memerlukan tindakan pemerintah.
Ada dua macam lag yang dikenal dalam kepustakaan kebijaksanaan ekonomi, yaitu yang
disebut (a) inside lag dan (b) outside lag.Yang dimaksud dengan inside lag adalah jarak waktu
dari timbulnya permasalahan di dalam perekonomian sampai dengan dimulainya tindakan
kebijaksanaan untuk mengatasinya.Inside lag ini sebenarnya terdiri dari 3 macam lag yang
berurutan. Pertama adalah jarak waktu mulai dari timbulnya masalah sampai dengan saat para
pembuat kebijaksanaan menyadari bahwa memang ada masalah. Ini disebut recognition
lag.Yang kedua adalah jarak waktu antara saat disadarinya bahwa ada masalah dan saat
diputuskannya suatu tindakan. Ini disebut decision lag. Yang ketiga adalah jarak waktu antara
saat keputusan kebijaksanaan diambil saat keputusan tersebut mulai dilaksanakan. Ini disebut
action lag. Inside lag sangat tergantung pada kecepatan kerja atau efisien dari lembaga
pembuat kebijaksanaan.
Outside lag adalah jarak waktu antara saat mulai dilaksanakannya langkah kebijaksanaan
dan saat timbulnya akibat pada perekonomian.Biasanya suatu tindakan kebijaksanaan
mempunyai akibat yang tersebar dalam jangka waktu yang panjang.Berapa lama outside lag ini
dan bagaimana pola akibatnya tersebut dalam jangka waktu tertentu tergantung pada macam
tindakan kebijaksanaan, struktur perekonomian dan reaksi dari para pelaku di dalamnya.Ini
sangat tergantung pada situasi masing-masing negara. Tetapi kebanyakan ekonom sekarang
berpendapat bahwa outside lag dari kebijaksanaan moneter adalah panjang: pengaruhnya
datang lambat dan bisa menyebar sampai beberapa tahun. Sebaliknya kebijaksanaan fiskal
biasanya mempunyai outside lag yang lebih pendek, karena tindakan ini langsung
mempengaruhi pengeluaran masyarakat. Namun di lain pihak, karena struktur adminstrasinya,
kebijaksanaan fiskal biasanya mempunyai inside lag yang lebih panjang, sedang kebijaksanaan
moneter mempunyai inside lag yang lebih pendek. Jadi apabila dilihat dari total lag (inside lag
plus outside lag), maka kebijaksanaan moneter belum tentu lebih lambat pengaruhnya
daripada kebijaksanaan fiskal.
Kembali ke masalah kebijaksanaan moneter itu sendiri, meskipun banyak yang setuju bahwa
outside lag-nya panjang, namun penelitian sampai sekarang belum bisa memberikan jawaban
berapa panjangnya. Penelitian empiris dari Friedman dengan data Amerika serikat
menunjukkan bahwa lag tersebut bisa berkisar 6 bulan sampai 2 tahun, dan yang perlu dicatat
pula adalah bahwa lag tersebut bervariasi dari masa ke masa. Dalam hal lag ini pun ada
ketidakpastian. Adanya unsur ketidakpastian umum bagi setiap kebijaksanaan ekonomi serta
adanya ketidakpastian mengenai kapan pengaruhnya mulai terasa dalam perekonomian,
menimbulkan kemungkinan nyata bahwa apa yang dimaksudkan sebagai tindakan stabilisasi
justru bisa menimbulkan akibat destabilisasi (menimbulkan ketidakstabilan) dalam
perekonomian. Ini bisa terjadi misalnya apabila keadaan ekonomi sudah sangat berubah pada
saat tindakan stabilisasi yang diambil beberapa waktu yang lalu (katakan setahun yang lalu)
mulai menunjukkan pengaruhnya.
Kesimpulan umumnya adalah bahwa discretionary policies masih perlu, tetapi perlu dihindari
reaksi yang berlebihan (over reaction) karena bagi gangguan-gangguan kecil atau gangguan-
gangguan yang bersifat sementara, perekonomian itu sendiri mempunyai kemampuan untuk
mengobati dirinya. Monetary rules yang diterapkan secara fleksibel berguna agar kita tidak
kehilangan perspektif jangka panjang.

D. Harapan Rasional (Rational Expectations)


Selain masalah ketidakpastian dan masalah lag, kebijaksanaan moneter dalam praktek
menghadapi pula masalah yang bersumber dari terbentuknya harapan atau expectations di
masyarakat mengenai apa yang akan terjadi di dalam perekonomian. Peranan harapan ini
sangat penting karena ia menentukan tindakan atau reaksi masyarakat terhadap kebijaksanaan
itu sendiri. Berhasil tidaknya suatu langkah kebijaksanaan dalam praktek sangat tergantung
pada harapan macam apa yang terbentuk di masyarakat. Reaksi masyarakat terhadap
kebijaksanaan atau perkembangan keadaan yang diduga akan bersifat permanen. Memang
menerka harapan atau membaca psikologi yang tumbuh di masyarakat tidaklah mudah.Hanya
perumus kebijaksanaan yang berpengalamanlah yang mungkin sudah bisa menguasai seni
tersebut.Namun, akhir-akhir ini sejumlah ekonom mencoba menuangkan faktor pembentukan
harapan ini ke dalam suatu pendekatan baru dalam ekonomi makro yang disebut “pendekatan
harapan rasional” atau the rational expectations approach. Inti dari pendekatan ini adalah
bahwa masyarakat tidaklah bodoh, dalam arti mereka akan menggunakan segala informasi
yang ada pada mereka sebaik-baiknya dalam menentukan reaksi mereka terhadap perubahan
keadaan atau terhadap suatu langkah kebijaksanaan. Mereka tidak bodoh, juga dalam arti
bahwa mereka tidak akan membuat kesalahan tindakan yang sama terus-menerus. Jadi
seandainya mereka pernah berbuat suatu kesalahan reaksi terhadap kebijaksanaan
Pemerintah, mereka akan belajar dari pengalaman tersebut sehingga dalam jangka panjangnya
mereka akhirnya selalu bisa bereaksi terhadap langkah kebijaksanaan secara rasional (inilah
sebabnya pendekatan tersebut diberi nama harapan rasional).
Implikasi dari pendekatan baru ini bagi teori ekonomi makro dan kebijaksanaan makro cukup
fundamental. Pertama, dengan diberikannya peranan yang penting pada pembentukan harapan
masyarakat dalam proses bekerjanya kebijaksanaan dan perekonomian mikro secara umum,
maka banyak bagian-bagian dari teori makro konvensional yang sampai saat ini dipelajari, perlu
dirombak untuk memasukkan faktor harapan rasional ini. Seperti kita ingat, hampir semua dalil-
dalil perilaku makro (mulai dari fungsi konsumsi, fungsi investasi, fungsi permintaan akan uang
dan sebagainya) belum memasukkan di dalamnya aspek reaksi yang rasional dari masyarakat.
Fungsi-fungsi tersebut hanya menggambarkan stereotipe perilaku dari masyarakat, seakan-
akan masyarakat adalah kelompok yang hanya bisa bereaksi secara stereotipe tersebut dan
tidak bisa menggunakan informasi yang ada secara efisien untuk menentukan reaksi atau
strategi yang paling baik baginya terhadap suatu kebijaksanaan. Memang sudah banyak yang
telah mencoba dalam studi-studi empiris untuk memasukkan faktor harapan ke dalam
beberapa fungsi tersebut. Tetapi biasanya hipotesa pembentukan harapannya sangat
sederhana dan mekanistis (misalnya, didasarkan atas pengalamannya pada masa lampau) dan
belum bisa menekan pembentukan harapan atas dasar pengelolaan informasi yang efisien.
Dengan demikain, pendekatan harapan rasional, memberikan tantangan untuk merombak teori
ekonomi makro dan moneter yang ada.

Anda mungkin juga menyukai