Anda di halaman 1dari 34

Pengantar Teori Ekonomi Makro

Materi Kuliah

Pengantar Teori Ekonomi Makro

I. Pendahuluan

Secara umum, ilmu ekonomi berguna karena ia memberikan petunjuk-petunjuk mengenai


kebijaksanaan apa yang bisa diambil untuk menanggulangi suatu permasalahan ekonomi
tertentu. Ekonomi makro, sebagai satu cabang dan ilmu ekonomi, berkaitan dengan
permasalahan kebijaksanaan tertentu, yaitu permasalahan kebijaksanaan makro.

Tugas pengendalian makro adalah juga mengusahakan agar perekonomian bisa bekerja dan
tumbuh secara seimbang, terhindar dan keadaan-keadaan yang bisa mengganggu keseimbangan
umum tadi. Pengelolaan yang lebih khusus atas masing-masing sektor perekonomian bukan
bagian dan tugas pengendalian makro, meskipun menjaga keseimbangan antara masing-masing
sektor termasuk di dalam tugas tersebut.

II. Permasalahan Ekonomi Makro

Secara garis besar, permasalahan kebijaksanaan makro mencakup dua permasalahan pokok:

a. Masalah jangka pendek atau masalah stabilisasi. Masalah ini berkaitan dengan bagaimana
“menyetir” perekonomian nasional dan bulan ke bulan, dan triwulan ke triwulan atau dan tahun
ke tahun, agar terhindar dan tiga “penyakit makro” utama yaitu:

1) inflasi,

2) pengangguran dan

3) ketimpangan dalam neraca pembayaran.

b. Masalah jangka panjang atau masalah pertumbuhan. Masalah ini adalah mengenai bagaimana
kita “menyetir” perekonomian kita agar ada keserasian antara pertumbuhan penduduk,
pertambahan kapasitas produksi, dan tersedianya dana untuk investasi. Pada asasnya masalahnya
juga berkisar pada bagaimana menghindari ketiga penyakit makro di atas, hanya perpektif
waktunya adalah lebih panjang (lima tahun, sepuluh tahun, atau bahkan dua puluh lima tahun).

Dalam analisa jangka pendek faktor-faktor berikut ini kita anggap tidak berubah atau tidak bisa
kita ubah:

(a) Kapasitas total dan perekonomian kita. Kegiatan investasi dalam jangka pendek, masih
mungkin dilakukan, tetapi ha nya dalam arti khusus, yaitu sebagai pengeluaran investasi berupa
penambahan stok barang jadi, setengah jadi atau pun barang mentah di dalam gudang para
pengusaha, dan pengeluaran oleh perusahaan-perusahaan untuk pembelian barang-barang modal
(mesin-mesin, konstruksi gedung-gedung dan sebagainya). Tetapi yang perlu diingat, “jangka
pendek” yang kita maksud di sini adalah begitu pendek sehingga pengeluaran (pembelian)
barang-barang modal tersebut beleum bias menambah kapasitas produksi dalam periodesasi
tersebut. (Yaitu mesin-mesin sudah dibeli tapi belum dipasang).

(b) Jumlah penduduk dan jurnlah angkatan kerja. Dalam suatu triwulan misalnya, jumlah-jumlah
mi praktis bisa dianggap tidak berubah.

(c) Lembaga-lembaga sosial, politik, dan ekonomi yang ada.

Selanjutnya dari segi teori, apabila kita ingin “menyetir” perekonomia kita dalam jangka pendek,
kita harus melakukan kebijaksanaan-kebijaksanaan yang bersifat jangka pendek pula, misalnya
dengan jalan :

1. menambah jumlah uang yang beredar,


2. menurunkan bunga kredit bank,
3. mengenakan pajak import,
4. menurunkan pajak pendapatan atau pajak penjualan,
5. menambah pengeluaran pemerintah,
6. mengeluarkan obligasi negara dan sebagainya.

Kebijaksanaan-kebinksanaan semacam ini mempunyai ciri umum bahwa kesemuanya bisa


dilakukan tanpa harus mengubah ketiga factor tersebut di atas.

Jadi seandainya kita menginginkan kenaikan produksi dalam jangka pndek, kita bisa
melakukannya dengan, misalnya:

1. memperlancar distribusi bahan-bahan mentah kepada para produsen,


2. mendorong pcngusaha untuk mempergunakan pabrik-pabriknya secara lebih intensif
(menambah giliran kerja/shift),
3. memberikan kerja lembur kepada para karyawan dan sebagainya.

Kehijaksanaan-kebijaksanaan semacam mi bisa menaikkan arus produksi barang/jasa tanpa


mengubah ketiga faktor di atas. Kesemuanya ini adalah kebijakilnaan-kebijaksanaan jangka
pendek. Dan kebijaksanaan-kebijaksanaan semacam inilah yang sering diandalkan untuk tujuan
stabilisasi.

Meskipun demikian perlu kita catat di sini bahwa dalam praktek yang berkaitan antara masalah
jangka pendek dan masalah jangka panjang, adalah sangat erat, terutama bagi negara-negara
sedang berkembang. Dengan lain kata, kita seringkali tidak bisa mengkotakkan secara jelas mana
yang jangka pendek dan mana yang jangka panjang.

Di banyak negara-negara sedang berkembang, kita tidak bisa melakukan kebijaksanaan


stabilisasi yang terlepas dan kebijaksaanaan pembangunan ekonomi (jangka panjang). Seringkali
kebijaksanaa-kebijaksanaan jangka pendek yang kita sebutkan di atas, meskipun kita Iaksanakan
secara setepat-tepatnyapun, tidak bisa menghilangkan secara tuntas penyakit makro, seperti
inflasi dan pengangguran yang diderita oleh masyarakat dalam jangka pendek. Sebabnya adalah
bahwa di negara-negara tersebut seringkali penyakit iniflasi dan pengangguran tersebut berakar
pada sebab-sebab “sturuktural,” yaitu pada faktor-faktor yang hanya bisa berubah atau diubah
dalam jangka panjang dan biasanya melalui pembangunan ekonomi dan social.

III. Kerangka Analisa makro

Setelah kita mengetahui duduk persoalan mengenai masalah -masalah pokok apa yang dikaji
dalam ekonomi makro, maka pertanyaan selanjutnya adalah mengetahui bagaimana mengaji
masalah- masalah tersebut sehingga bisa diperoleh jawaban yang diinginkan.

Terdapat dua aspek utama dan kerangka analisa ini. Yang pertarna adalah aspek mengenai “apa”
yang disebut kegiatan ekonomi makro dan “di mana” kegiatan tersebut dilakukan. Yang kedua
adalah aspek mengenai “siapa” pelaku-pelakunya.

a. Empat pasar Makro

Dalam analisa ekonomi makro kita melihat kegiatan ekonomi nasional secara lebih menyeluruh
dibanding dengan apa yang kita pelajari dalam ekonomi Mikro. Kita tidak lagi melihat pasar
beras, pasan blue jeans, pasar rokok kretek, pasar Honda secana sendiri-sendiri. mi sesuai dengan
pengertian mengenai “pengendalian umum” di alas. Di sini kita melihat pasar-pasar tersebut dan
pasar-pasar barang/jasa lainnya sebagai satu pasar besar, yang kita ben nama “pasar barang”.
Tetapi dalam ekonomi makro kita tidak hanya mempelajani satu pasar ini saja. Perekonomian
nasional kita lihat sebagai suatu sistem yang terdiri dan empat pasar besar yang saling
berhubungan satu sama lain, yaitu:

(a) Pasar Barang

(b) Pasar Uang

(c) Pasar Tenaga Kerja

(d) Pasar Luar Negeri

Di pasar luar negeri permintaan akan barang ekspor kita he. sama dengan penawaran akan
barang tersebut menentukan harga rata-rata ekspor kita dan kuantitas atau volume ekspor, Harga
– harga dikalikan volume ekspor memberikan penerimaan devisa ekspor. Di pasar yang sama
permintaan masyarakat kita akan barang-barang impor dan menentukan harga rata-rata impor
dan ‘ volume impor. Juga di sini, harga rata-rata dikalikan volume import memberikan
pengeluaran devisa kita untuk impor barang-barang/jasa tersebut. Untuk pasar luar negeri,
seringkali menggabungkan pasar eksport dan pasar impor dan mengamai apa yang terjadi
dengan:
(a) Neraca Perdagangan, yaitu penerimaan devisa ekspor dikurangi pengeluaran devisa
untuk import atau Neraca Pembayaran apabila kila ingin pula mengetahui tentang aliran keluar-
masuknya modal

(b) Dasar Penukaran Luar Negeri(terms of trade), yaitu harga rata-rata ekspor kita dibagi
dengan harga rata-rata impor kita.

(c) Cadangan Devisa, yaitu persediaan devisa yang kita pun pada awal tahun plus saldo
neraca pembayaran.

Dalam teori ekonomi makro mempelajari faktor-faktor apa yang mempengaruhi P dan Q di
masing-masing pasar. Karena P dan Q tersebut adalah hasil pertemuan (atau perpotongan) antara
kurva permintaan dan kurva penawaran, maka ini berarti bahwa teori ekonomi makro pada
pokoknya mempelajari faktor-faktor apa yang mempengaruhi posisi kurva permintaan dan
penawaran di masingmasing pasar.

Selanjutnya dengan diketahuinya faktor-faktor ini dan pengaruhnya terhadap posisi kurva
permintaan dan penawaran, maka kita selanjutnya bisa menanyakan faktor-faktor mana di antara
semua factor-faktor tersebut yang bisa dipengaruhi oleh pemerintah melalui kebijaksanaan-
kebijaksanaan ekonominya. Dengan demikian kita bisa mengetahui kebijaksanaan-kebijaksanaan
mana yang bisa digunakan oleh pemerintah untuk mempengaruhi P dan Q di masing-masing
pasar. Inilah tujuan akhir dan mempelajari teori makro, yaitu untuk digunakan sebagai petunjuk
bagi pemilihan atau perumusan kebijaksanaan.

b.Lima Pelaku Makro

Dalam teori makro kita menggolongkan orang-orarig atau lembaga-lembaga yang melakukan
kegiatan ekonomi menjadi limo kelompok besar, yaitu:

(a) Rumah Tangga,

(b) Produsen,

(c) Pemerintah,

(d) Lembaga-lembaga Keuangan,

(e) Negara-negara Lain.

Kegiatan dan kelima kelompok pelaku ini serta kaitannya dengan keempat pasar di atas dimana :

> Permintaan :

1. Pengeluaran konsumsi oleh Rumah Tangga

2. Belanja barang oleh Pemerintah


3. Investasi oleh Perusahaan

4. Ekspor ke luar negeri

5. Kebutuhan tenaga kerja oleh Pemerintah

6. Kebutuhan tenaga kerja oleh Perusahaan

7. Kebutuhan uang tunai dan kredit

8. Kebutuhan Rumah Tangga akan uang tunai

9. Kebutuhan Perusahaan-perusahaan Asing akan rupiah

> Penawaran

1. Hasil produksi dalam negeri


2. Impor dan luar negeri
3. Tenaga kerja yang disediakan oleh Rumah Tangga
4. Suplai uang kartal
5. Tabungan Rumah Tangga
6. Suplai uang giral
7. Suplai dana luar negeri.

* Kelompok Rumah Tangga melakukan kegiatan-kegiatan pokok seperti:

(a) menerima penghasilan dan para produsen dan “penjualan” teraga kerja mereka (upah),
deviden, dan dan menyewakan tanah hak milik mereka.

(b) menerima penghasilan dari lembaga keuangan berupa bunga atas simpanan-simpanan
mereka;

(c) membelanjakan penghasilan tersebut di pasar barang (sebagai konsumen);

(d) menyisihkan sisa dan penghasilan tersebut untuk ditabung pada lembaga-lembaga
keuangan;

(e) membayar pajak kepada pemerintah;

(f) masuk dalam pasar uang sebagai “peminta” (demanders) karena kebutuhan mereka akan
uang tunal untuk misalnya transaksi sehari-hari.

**Kelompok Produsen melakukan kegiatan-kegiatan pokok berupa:

(a) memproduksikan dan menjual barang-barang/jasa-jasa (yaitu sebagai supplier di pasar


barang);
(b) Menyewa/menggunakan faktor-faktor produksi yang dimiliki oleh kelompok rumah tangga
untuk proses produksi;

(c) menentukan pembelian barang-barang modal dan stok barang-barang lain (selaku investor
masuk dalam pasar barang sebagai peminta atau demander);

(d) meminta kredit dan lembaga keuangan untuk membiayai investasi mereka (sebagai
demander di pasar uang);

(e) membayar pajak.

***Kelompok Lembaga Keuangan mencakup semua bank-bank dan lembaga-lembaga


keuangan lainnya kecuali bank sentral (Bank Indonesia), Kegiatan mereka berupa:

(a) menerima simpanan/deposito dan rumah tangga;

(b) menyediakan kredit dan uang giral (sebagai supplier dalam pasar uang).

(c) Pemerintah (termasuk di dalamnya bank sentral) melakukan kegiatan berupa:

- menarik pajak langsung dan tak langsung;

- membelanjakan penerimaan negara untuk membeli barang-barang kebutuhan pernerintah


(sebagai demander di pasar barang),

- meminjam uang dan luar negeri;

- menyewa tenaga kerja (sebagai demander di pasar tenaga kerja);

- menyediakan kebutuhan uang (kartal) bagi masyarakat (sebagai supplier di pasar uang).

Negara-negara lain:

(a) menyediakan kebutuhan barang impor (sebagai supplier di pasar barang);

(b) membeli hasil-hasil ekspor kita (sebagai demander di pasar barang);

(c) menyediakan kredit untuk pemerintah dan swasta dalam negeri;

(d) membeli dan pasar barang untuk kebutuhan cabrng perusahaannya di Indonesia (sebagai
investor);

(e) masuk ke dalam pasar uang dalam negeri sebagai penyalur uang (devisa) dan luar negeri
(sebagai supplier dana) dan sebagai peminta kredit dan uang kartal rupiah untuk kebutuhan
cabang-cabang perusahaan mereka di Indonesia (demander akan dana). (Singkatnya, sebagai
penghubung pasar uang dalam negeri dengan pasar uang luar negeri).
IV Teori-teori Makro

DASAR FILSAFAT TEORI KEYNES

Menghadapi masalah depresi dan pengangguran yang begitu hebat, kaum sosialis di negara-
negara Barat mengatakan bahwa kesalahannya terletak pada sistem perekonomian itu sendiri,
yaitu sistem laissez faire atau liberalisme atau kapitalisme. Selama kita masih mempercayakan
pengelolaan perekonomian kita pada para rodusen swasta yang perdefinisi hanya bertujuan
mengejar keuntungan mereka pribadi, maka depresi, pengangguran, dan juga inflasi akan tetap
menjadi penyakit perekonomian yang menghantui Kita dan waktu ke waktu. Penyakit-penyakit
ini adalah konsekuensi logis dan sistem kapitalisme. Mereka (kaum sosialis) mengusulkan
perombakan sistem perekonornian menjadi sistem sosialis, yaitu sistem di mana faktor-produksi
tidak lagi bisa dirniliki oleh pengusaha swasta, tetapi hanya bisa dimiliki oleh negara
(masyarakat). Semua kegiatan produksi dikuasai negara, yang dalam teori paling tidak,
mengutamakan kepentingan masyarakat di atas kepentingan pribadi/golongan. Motif mengejar
keuntungan bukan lagi sebagai motif utama untuk menggerakkan produksi (seperti dalam sistem
kapitalis).

“Obat” semacam ini ternyata dianggap terlalu drastis, dan orang-orang di negara-negara Barat
yang sudah begitu lama terbiasa dengan kebebasan berusaha tidak banyak yang bisa
menerimanya. Mengubah sistem semacam itu berarti mengubah cara hidup dan ke biasaan hidup
yang sudah mendarah daging pada mereka. Tentunya ada “obat” yang tidak terlalu pahit yang
bisa menolong sistem perekonomian mereka. Keynes ada pada posisi yang unik dalam se jarah
pemikiran ekonomi Barat, karena pada saat-saat krisis ideologi semacam itu ia bisa menawarkan
suatu pemecahan yang merupakan “jalan tengah”.

Keynes mengatakan bahwa untuk menolong sistem perekonomian negara-negara tersebut, orang
harus bersedia meninggalkan ideologi laissez faire yang murni yang terkandung dalam pemikiran
Klasik. Tidak bisa tidak, demikian Keynes, Pemerintah harus melakukan lebih banyak campur
tangan yang aktif dalam mengendalikan perekonomian nasional. Pendapat bahwa peranan
Pemerintah dalam kegiatan ekonomi harus seminimal mungkin sehingga tidak merongrong hak
asasi manusia, kebebasan berusaha dan mengabdikan pada bekerjanya “natural laws”, haruslah
ditinggalkan atau pling tidak diubah. Keynes berpendapat bahwa kegiatan produk dan pemilikan
faktor-faktor produksi, masih tetap bisa dipercayakan kepada pengusaha swasta, tetapi sekarang
pemerintah wajib melakukan kebijaksanaan yang aktif untuk mempengaruhi gerak
perekonomian.

Dalam masa depresi misalnya, Pemerintah harus bersedia (atau diperbolehkan) untuk
melaksanakan program-program dan kegiatan-kegiatan yang langsung bisa menyerap tenaga
kerja yang tidak dapat memperoleh pekerjaan di sektor swasta, meskipun hal itu hanya bisa
dilaksanakan dengan mengakibatkan defisit di anggaran belanja negara. (Perlu ditekankan di sini
bahwa pada waktu itu sistem anggaran beda yang seimbang adalah satu-satunya sistem yang
dianggap terbaik bidang pengelolaan keuangan negara). Sebaliknya, bila terjadi inflasi yang
disebabkan karena permintaan masyarakat akan barang barang/jasa melebihi apa yang bisa
diproduksikan dengain kapasita yang ada, Pemerintahpun harus bersedia mengurangi
pengeluarannya sehingga terjadi surplus dalam anggaran belanjanya. Surplus anggaran ini bisa
merupakan rem bagi permintaan masyarakat yang berlebihan tadi. Yang perlu digarisbawahi di
sini adalah bahwa Pemerintah harus bersedia melakukan kebijaksanaan secara aktif dan sadar.
Keynes tidak percaya akan kekuatan hakiki dari sistem laissez faire untuk mengkoreksi diri
sendiri, yaitu untuk kembali kepada posisi “full employment” secara otomatis. Full enployment
merupakan sesuatu yang hanya bisa dicapai dengan tindakan-tindakan terencana, dan bukan
sesuatu yang akan datang dengan sendirinya. Inilah inti dan ideologi Keynesian isme.

PASAR BARANG

Kemungkinan Kelebihan Produksi. Keynes menolak Hukum Say. Menurut Keynes kelebihan
produksi secara umum bisa terjadi. elebihan permintaan ini terjadi bila permintaan masyarakat
akan barang-barang/jasa tidak cukup kuat. Demand yang ada tidak cukup untuk menyerap supply
yang ditawarkan. Bagaimana ini bisa terjadi? Pada asasnya Keynes masih menerima pendapat
Say bahwa setiap proses produksi mempunyai akibat ganda, yaitu menghasilkan output dan
menghasilkan pen ghasilan kepada masyarakat sebesar nilai output tersebut.

Dengan demikian pada suatu waktu tertentu daya beli memang tersedia dalam jumlah yang
cukup di masyarakat untuk “membeli” barang/jasa yang diproduksikan. Tetapi daya beli yang
dimiliki oleh masyarakat tersebut tidak selalu harus sama dengan daya beli yang betul-betul
dibelanjakan oleh masvarakat di pasar barang. Dengan kata lain, sebagian dan daya beli tersebut
mungkin betul-betul diterjemahkan menjadi permintaan efektif di pasar barang. Tetapi sebagian
lain dan daya beli tersebut mungkin akan ditabung oleh masyarakat. Menabung tidak menambah
permintaan efektif di pasar barang. Jadi tidak seluruh penghasilan (daya beli) yang diperoleh
masyarakat secara langsung diter jemahkan menjadi permintaan efektif. Di sinilah Keynes
berbeda dengan Say. Say mengatakan bahwa seluruh penghasilan tersebut akhirnya akan
diterjemahkan menjadi permintaan efektif, dus tidak akan ada kekurangan permintaan efektif,
dan tidak mungkin ada kelebihan produksi secara menyeluruh.

Untuk menerangkan pendapat Keynes secara lebih jelas kita anggap hanya ada dua sektor: sektor
rumah-tangga dan sektor pro dusen. Keynes mengatakan bahwa sebagian dari penghasilan yang
tidak dibelanjakan oleh sektor rumah-tangga (yaitu yang ditabung pada lembaga-lembaga
keuangan) tidak menimbulkan permintaan efektif. Hanya apabila daya beli yang ditabung
tersebut dipinjamkan oleh lembaga keuangan kepada sektor produsen untuk membiayai
“investasi” mereka, maka daya beli tersebut berubah menjadi permintaan efektif di pasar barang.
(Kita ingat bahwa “investasi” di artikan sebagai pembelian barang-barang oleh para produsen
untuk keperluan penambahan stok di gudang mereka dan untuk keperluan perluasan kapasitas
produksi mereka, yaitu pembelian mesin-mesin, pembangunan gedung-gedung dan sebagainya).
Jadi jelas bahwa pada suatu waktu tidak ada jaminan bahwa seluruh daya beli yang ditabung
tersebut akan diterjemahkan menjadi permintaan efektif d pasar barang. Semuanya mi tergantung
kepada apakah para pr dusen mau mempergunakan daya beli yang ditabung pada Iembag
lembaga keuangan tersebut untuk pembelian barang-barang (inve tasi). Kalau misalnya para
produsen hanya mau mempergunakai separoh dan tabungan tersebut, maka ini berarti bahwa
permintaa,’ efekt di pasar barang berjumlah kurang dan nilai dan seluruh out put yang
ditawarkan di pasar tersebut, Dengan lain kata, tida semua barang yang diproduksjkan akan
terbeli (jadi ada ke1ebiha produksi umum).
Apa yang terjadi kemudian bila tidak semua barang yang diproduksikan dalam suatu periode
(misalnya, triwulan) bisa terbeli? ada dua akibat yang bisa terjadi.

- Pertama, para produsen akan nengu rangi produksi mereka untuk periode berikutnya. Jadi,
GDP dalani triwulan berikutnya turun.

- Kedua, dan ini bisa terjadi bersamaan dengan akibat pertama tersebut, harga-harga barang
turun. Sesuat dengan hukum penawaran dan permintaan biasa, bila permintaan lebih kecil dan
penawaran, maka harga cenderung untuk turun.

Sampai berapa jauh kekurangan perrnintaan efektif akan meng akibatkan turunnya GDP (dalam
periode berikutnya) dan sampai berapa jauh akan menurunkan harga, sangat tergantung
khususnya pada apakah harga-harga barang cukup fleksibel ke bawah (yaitu bisa turun). Dalam
kenyataan memang ada barang yang harganya sulit untuk turun, meskipun ada kelebihan
produksi. ( yang harga jualnya ditentukan atas dasar biaya pro duksi biasanya tidak mau turun,
meskipun terjadi kelebihan pro duksi barang-barang tersebut). Kalau demikian halnya, maka
kekurangan permintaan efektif tersebut akan lebih banyak mengakibatkan penurunan produksi
(GDP) dalam periode beri kutnya.

Apabila seandainya harga-harga cukup fleksibel ke bawah. maka harga-harga akan turun cukup
jauh, sehingga permintaan akan barang-barang tersebut mulai naik kembali. (Ingat hukum
permintaan biasa, yang mengatakan bahwa kalau harga sesuatu barang turun maka jumlah yang
dirninta naik). Jadi kalau harga cukup flek sibel maka penurunan produksj (GDP) pada periode
berikutny tidak akan sebesar kalau harga-harga tidak mau turun. Jadi, lebih s dikit orang-orang
yang dipecat dan pekerjaan mereka (yaitu, Ieh sedikit akibat penganggurannya) Perlu ditekankan
lagi di sini bahw rnekanisme atau proses penyesuaian dengan harga yang fleksibel inilah yang
terlalu diandalkan oleh kaum Kiasik, sehingga mereka percaya bahwa kalau saja harga-harga
fleksibel maka depresi, atau penurunan GDP (dan selanjutnya pengangguran) akan terkoreksi
secara otomatis.

Kemungkinan Kekurangan Produksi. Keadaan sebaliknya, yaitu kekurangan produksi secara


umum juga mungkin terjadi. Kalau para produsen ternyata memutuskan untuk melakukan
investasi dalam jumlah yang lebih besar daripada daya beli yang ditabung oleh ma syarakat,
maka permintaan efektif (oleh sektor rumah tangga dan sektor produsen) di pasar barang menjadi
lena/u besar dibanding dengan nilai output yang tersedia di pasar. Yang perlu diingat di sini
adalah bahwa besar kecilnya permintaan efektif (total) sangat tergan tung pada keputusan para
konsumen (rumah tan gga) men genai besar pen geluaran konsumsinya dan keputusan para
produsen men genai besarnya in vest asi yang mereka in gin Iaksanakan dalam periode tersebut

Mengenai keputusan pengeluaran konsumsi rumah-tangga, Keynes berpendapat bahwa


keputusan tersebut cukup stabil dan biasanya hanya berubah apabila tingkat pendapatan rumah-
tangga berubah. Menurut ia (dan ini memang didukung oleh kenyataan), yang sulit diterka
adalah perilaku produsen dalam pengeluaran investasinya. Oleh sebab itu, dalam praktek, gejolak
pengeluaran investasi inilah yang sangat menentukan gejolak GDP (dan kesempatan kerja).
Seandainya pengeluaran investasi yang diinginkan para produsen (investor) ternyata lebih besar
daripada dana yang ditabung oleh sektor rumah-tangga, maka mi berarti bahwa permintaan
efektif lebih besar daripada nilai output yang tersedia. Dalam kasus kele bihan permintaan efektif
ini, berapa besar kelebihan permintaan efektif dalam periode sekarang akan mengakibatkan
kenaikan GDP dan berapa besar akan mengakibatkan kenaikan harga, tergantung pada
tersedianya kapasitas produksi yang belum terpakai dalam masyarakat. Bila masih cukup banyak
kapasitas produksi (pabrik pabrik) yang belum bekerja secara penuh, maka kelebihan permintaan
efektif tersebut akan mengakibatkan kenaikan produksi (GDP) pada periode berikutnya tanpa
menaikkan harga-harga (atau harga harga mungkin naik sedikit sekali). Tetapi apabila ternyata
bahwa pabrik-pabrik sudah bekerja secara penuh, maka kelebihan permin taan efektif tersebut
tidak bisa diimbangi dengan kenaikan produksi (GDP), sehingga kelebihan permintaan tersebut
akan diterjemahkan seluruhnya menjadi kenaikan harga-harga atau inflasi.Berikut ini kita akan
melihat secara garis besar kerangka analisis dan teori makro dan Keynes.

Pasar Uang

Teori makro Klasik mempunyai dasar filsafat bahwa perekonomian yang didasarkan pada sistem
bebas-berusaha (laissez faire) adalah self-regulating, artinya mempunyai kemampuan untuk
kembali ke posisi keseimbangannya secara otomatis. OIeh sebab itu pemerintah tidak perlu
campurtangan.

Di pasar barang sifat self-regulating ini dicerminkan oleh adanya proses yang otomatis
membawa kembali ke posisi GDP yang menjamin full-employment, apabila karena sesuatu hal
perekonomian tidak pada posisi ini. Landasan dan keyakinan ini adalah

(a) berlakunya Hukum Say yang menyatakan bahwa: “Supply creates its own demand,” dan

(b) anggapan bahwa semua harga fleksibel.

1. Di pasar tenaga kerja, dalam jangka pendek hanya ada pengangguran sukarela. Tetapi
pengangguran inipun hanya bersifat sementara, karena apabila harga-harga turun
(termasuk tingkat upah), maka konsumsi dan produksi akan kembali lagi ke tingkat
semula (yaitu tingkat full employment).
2. Di pasar uang, kaum Klasik mempunyai Teori Kuantitas, yang menyatakan bahwa
permintaan akan uang adalah proporsional dengan nilai transaksi yang dilakukan
masyarakat. Di pasar mi ditentukan tingkat harga umum; apabila jumlah uang yang
beredar (penawaran akan uang) naik maka tingkat harga pun naik.

Dalam sistem standar kertas, tidak ada proses otomatis yang menstabilkan tingkat harga. Di sini
kaum Kiasik melihat satu-satunya peranan makro pemerintah, yaitu mengendalikan jumlah uang
yang beredar sesuai dengan kebutuhan transaksi masyarakat.

Di dalam sistem standar emas, ada mekanisme otomatis yang menjamin kestabilan harga. Di sini
peranan pemeriniah tidak dianggap perlu. Karena jumlah uang (emas) yang beredar otomatis
menyesuaikan dengan kebutuhan masyarakat.
Di pasar luar negeri, mekanisme otomatis menjamin keseimbangan neraca perdagangan melalui:

(a) mekanisme Hume, dalam sistem standar emas, atau

(b) mekanisme kurs devisa mengambang, dalam sistem standar kertas.

Sementara itu Campur tangan pernerintah tidak diperlukan. Penjelasan tentang pasar uang dapt
dijelaskan sebagai berikut :

1. Pasar uang adalah pertemuan antara permintaan akan uang dengan penawaran akan uang.
Permintaan akan uang adalali kebutuhan masyarakat akan uang tunai untuk menunjang k
giatan ekonominya. Sedangkan penawaran akan uang adalah jumlah uang yang
disediakan oleh pemerintah dan bank-banl yaitu seiuruh uang kartal dan uang giral yang
beredar.
2. Menurut Keynes, permintaan akan uang bersumber pada 3 macam kebutuhan akan uang:
(a) kebutuhan transaksi, (b) kebutuhan berjaga-jaga dan (c) kebutuhan spekulasi. Ketiga
macan kebutuhan ini disebut 3 alasan mengapa orang memerlukan uang.
3. Permintaan akan uang untuk transaksi ditentukan oleh(a) vol me output yang
ditransaksikan (yaitu GDP nil) dan (b) tingkai harga umum. Dalam hal mi Keynes tidak
berbeda dengan kaum Klasik, Pasar uang untuk berjaga-jaga relatif kecil.
4. Permintaan untuk spekulasi (yang membedakan teori Key dengan teori Kuantitas) adalah
permintaan akan uang tunai un tuk tujuan memperoleh keuntungan. Caranya adalah
dengan “berspekulasi” dalam pasar obligasi (surat berharga). Apabila harga obligasi
diharapkan untuk naik di masa mendatang, mak orang akan membeli obligasi dengan
uang tunainya han in un berarti uang tunai yang saat mi ia ingin pegang (untuk tujual
spekulasi) berkurang. Sebaliknya, apabila harga obligasi diha rapkan turun, maka
permintaannya akan uang tunai saat ini bertambah lebih senang menjual obligasi yang ia
pegang memperoleh atau memegang uang tunai sekarang.
5. Hubungan antara harga obligasi dan tingkat bunga yang berla ku adalah berkebalikan.
Harga obligasi naik sama saja artiny dengan tingkat bunga turun. Sebaliknya, harga
obligasi turun berarti tingkat bunga naik.
6. Bila harga obligasi diharapkan naik, ini berarti bahwa harga obligasi saat ini dianggap
terlalu rendah. Bila harga obliga harapkan turun, ini berarti bahwa harga obligasi saat ini
dengan harga tertinggi.

Kebijaksanaan Moneter

Kebijakan moneter adalah tindakan pemerintah (atau bank sentral) untuk mempengaruhi situasi
makro yang dilaksanakan melalui pasar uang. Ini adalah definisi umum dari kebijakan moneter
yang bisa diartikan sebagai tindakan makro pemerintah dengan cara mempengaruhi proses
penciptaan uang.Dengan mempengaruhi proses penciptaan uang, pemerintah bisa mempengaruhi
:

1. jumlah uang beredar.


2. tingkat bunga yang berlaku dipasar uang. Melalui tingkat bunga pemerintah bisa
mempengaruhi :
1. pengeluaran investasi
2. tingkat harga (P) dan GDP

Di sini kita menyoroti mata rantai yang pertama, yaitu antara kebijaksanaan moneter dengan M
Khususnya kita menanyakan tindakan-tindakan apakah yang bisa dilakukan Pemerintah (bank
sentral) untuk mempengaruhi M (uang beredar)

Untuk menjawab pertanyaan ini kita perlu merangkum kesimpulan-kesimpulan pokok mengenai
proses penciptaan uang di atas. Pertama, kita simpulkan bahwa jumlah uang beredar (Ms)
ditentukan oleh dua faktor, yaitu:

(a) besarnya jumlah uang inti (H) yang tersedia, dan

(b) besarnya koefisien pelipat uang,

Kedua, kita simpulkan bahwa besarnya uang inti dipengaruhi oleh empat faktor, yaitu:

(a) keadaan neraca pembayaran (surplus atau defisit)

(b) keadaan APBN (surplus atau defisit)

(c) perubahan kredit langsung Bank Indonesia

(d) perubahan kredit likuiditas Bank Indonesia.

Secara umum kita mengatakan bahwa pemerintah bisa mempengaruhi Ms apabila pemerintah
bisa mempengaruhi nilai pelipat uang dan/atau jumlah uang inti.

Apa yang bisa dilakukan pemerintah untuk mempengaruhi Ms adalah apa yang bisa dilakukan
pemerintah untuk mempengaruhi variabel-variabel di sebelah kanan persamaan (8) ini. Man kita
lihat satu per satu. Kita sebutkan di atas bahwa u (= K/Ms) tidak ditentukan oleh pemerintah,
tetapi diputuskan oleh masyarakat. Tetapi sebenarnya pemerintah masih bisa mempengaruhi
uang secara tidak langsung. Misalnya apabila bank-bank pemerintah rneningkatkan bunga yang
dibayar kan untuk deposito atau giro, maka kemugkinan uang menurun (artinya, orang lebih suka
memegang uang giral daripada uang kartal). Dengan demikian money multiplier naik dan M
naik. Dalam hal ini kita mengatakan bahwa tingkat bunga untuk deposito dan giro adalah
instrumen kebijaksanaan moneter yang bisa digunakan pemerintah untuk mempengaruhi M lewat
u.

Bagaimana dengan v (= R/D)? Kita singgung di atas bahwa selain itu pemerintah bisa
mempengaruhi v melalui penentuan cash-ratio atau reserve requirement. Apabila pemerintah
ingin mengekang M pemerintah bisa meningkatkan cash-ratio. sehingga v meningkat, yang
selanjutnya akan memperkecil nilai koefisien pelipat uang. Sebaliknya, cash-ratio bisa
diturunkan apabila pemerintah menginginkan untuk memperbesar M Oleh sebab itu cash-ratio
kita katakan pula sebagai suatu instrumen kebijaksanaan moneter.
Sebenarnya pemerintah masih bisa mempengaruhi v (jumlah Uang Giral) dengan cara lain, yaitu
dengan mempengaruhi excess reserve yang dipegang bank. Bagaimana caranya? Satu cara utama
adalah dengan mengubah tingkat bunga yang dikenakan oleh bank sentral atas pinjaman yang
diberikannya kepada bank-bank. (Ingat bank sentral adalah “banknya bank” atau bankers’ bank,
artinya ia bisa memberikan pinjaman kepada bank-bank apabila mereka membutuhkan tam
bahan likuiditas). Untuk pinjaman semacam ini bank-bank harus membayar bunga. Tingkat
bunga ini dikenal dengan nama discount rate.

Apabila discount rate dinaikkan maka bank-bank cenderung untuk menambah excess reservenya,
sebab mereka tidak ingin terlalu mengandalkan dana bank sentral untuk memenuhi kebutuhan
likuiditas yang tak terduga karena cara itu menjadi terlalu mahal. Akibatnya v (jumlah Uang
Giral) meningkat dan pelipat uang menurun. Sebaliknya, apabila discount rate ( pengurangan
rata-rata) rendah, maka bank merasa cukup aman memegang excess reserve yang kecil, karena
sewaktu-waktu mereka memerlukan dana untuk mengatasi masalah likuiditasnya mereka bisa
memperoleh dana bank sentral dengan biaya murah. Akibatnya v (jumlah Uang Giral) turun,
sehingga pelipat uang meningkat. Jadi discount rate adalah juga instrumen ke bijaksanaan
moneter bagi pemerintah (bank sentral).

Pemerintah bisa pula mempengaruhi Ms dengan cara mempengaruhi H (uang inti). Dengan cara:
pemerintah bisa mempengaruhi neraca pembayaran Dengan menggalakkan ekspor (misalnya,
dengan memberi ran sangan ekspor berupa penurunan pajak ekspor atau pemberian sertifikat
Ekspor) dan mengurang impor. (misalnya dengan menaikkan bea masuk), pemerintah bisa
menciptakan surplus neraca pembayaran. ini akan menambah uang inti yang tersedia di
masyarakat, Sehingga Ms meningkat. Jadi pajak ekspor, Sertifikat Ekspor, bea masuk, adalah
instrumen kebijaksanaan moneter.

Pemerintah bisa dengan lebih langsung mempengaruhi APBN . Apabila dikehendaki Ms


meningkat, APBN bisa dibuat defisit. baliknya, apabila M dikehendaki turun, maka APBN harus
dibuat surplus. Jadi, APBN adalah juga instrumen kebijaksanaan moneter. Demikian pula
pemerintah bisa mempengaruhi M (uang bereedar) dengan mengendalikan kredit langsung dan
kredit likuiditas bank sentralnya, misalnya dengan menetapkan batas maksimum yang bisa diberi
n (credit ceiling) atau dengan menaikkan (atau menurunkan) tingkat bunga kredit bank.

Sebenarnya ada berbagai variasi instrumen lain yang bisa digunakan pemerintah untuk
mempengaruhi Ms lewat baik money multiplier maupun jumlah uang inti. Apa yang kita
sebutkan di atas ada beberapa instrumen-instrumen pokoknya. Kita tidak bicarakan instrumen-
instrumen lain tersebut di sini, karena lebih cocok untuk bahas dalam Ekonomi Moneter.

KEBIJAKSANAAN FISKAL

Kebijaksanaan fiskal adalah kebijaksanaan yang kedua dibidang pengendalian makro adalah.
Kebijaksanaan moneter dan kebijaksanaan fiskal adalah dua kebijaksanaan yang merupakan alat
utama bagi perencana ekonomi nasional untuk mengendalikan keseimbangan makro
perekonomiannya. Keduanya sangat erat berkaitan satu sama lain, sehingga dalam praktek yang
sering dijumpai adalah kebijaksanaan fiskal yang juga mempunyai konsekuensi-konsekuensi
moneter atau kebijaksanaan moneter dengan konsekuensi-konsekuensi fiskal. Kebijaksanaan-
kebijaksanaan semacam ini mungkin lebih cocok disebut ‘kebijaksanaan fiskal-moneter”.

Pembahasan ini diawali mengenai hubungan antara APBN dan kebijaksanaan fiskal. Hal ini
sejalan dengan pengertian umum bahwa kebijaksanaan fiskal adalah kebijaksanaan yang
dilaksanakan lewat APBN. Dalam bagian selanjutnya kita akan meneliti apakah pengaruh dan
suatu “kebijaksanaan fiskal”, yang dicerminkan oleh suatu struktur APBN tertentu, ter hadap
perekonomian. Akhirnya kita akan mengambil sebuah contoh untuk menunjukkan bagaimana
kita bisa memperkirakan pengaruh dan suatu kebijaksanaan fiskal dengan menggunakan aijabar
sederhana.

APBN DAN KEBIJAKSANAAN FISKAL

Pengaruh kebijaksanaan fiskal terhadap perekonomian bisa dianalisa dalam dua tahap yang
berurutan, yaitu:

(a) Bagaimana suatu kebijaksanaan uiskal diterjemahkan men jadi suatu APBN dan

(b) Bagaimana APBN tersebut mempengaruhi perekonomian.

Dalam bagian mi kita akan mengaji tahap (a). Khususnya kita akan membahas makna dan suatu
kebijaksanaan fiskal dilihat dari struktur pos-pos APBN.

APBN mempunyai dua sisi, yaitu sisi yang mencatat pengeluaran dan sisi yang mencatat
penerimaan. Sisi pengeluaran mencatat semua kegiatan pemerintah yang memerlukan uang
untuk pelaknaannya. Dalam praktek macam pos-pos yang tercantum di sisi ini sangat beraneka
ragam dan mencerminkan apa yang ingin dilaknakan pemerintah dalam programnya. Untuk
tujuan pembahasan

Dibagian lain terdiri dan pos utama, yaitu:

1. Pengeluaran pernerintah untuk pembelian barang/jasa,


2. pengeluaran pemerintah untuk gaji pegawainya,
3. pengeluaran pemerintah untuk transfer payments yang ini liputi misalnya, pembayaran
subsidi/bantuan Iangsung kepada berbagai golongan masyarakat, pembayaran pensiun,
pembayaran bunga untuk pinjaman pemerintah kepada masyarakat.

Semua pos pada sisi pengeluaran tersebut memerlukan dana untuk melaksanakannya. Sisi
penerimaan menunjukkan darimana dana yang diperlukan tersebut diperoleh. Ada empat sumber
utama untuk memperoleh dana tersebut, yaitu:

(a) pajak (berbagai macam),

(b) pinjaman dan bank sentral,

(c) pinjaman dan masyarakat dalam negeri,


(d) pinjaman dan luar negeri.

Dahulu pajak adalah satu-satunya sumber untuk pembiayaan kegiatan pemerintahan. Tidak ada
pajak tidak ada kegiatan pemerintahan. Sekarang, pajak masih merupakan sumber keuangan
negara yang paling penting bagi semua negara di dunia. Namun bagi pemerintah di negara-
negara modern ada bebeapa cara lain untuk memperoleh dana tambahan. Yang pertama,
pemerintah bisa “meminjam” dana dan bank sentralnya, seperti halnva seseorang mengambil
kredit dart bank. Tetapi ada satu perbedaan penting antara kredit bank sentral kepada pemerintah
dengan kredit bank kepada seseorang atau perusahaan. Perbedaan ini adalah bahwa bank sentral
hanya bisa memberikan kredit dengan jalan menciptakan uang inti (reserve money). Bank sentral
tidak bisa menciptakan uang giral seperti bank-bank umum biasa, sebab “uang giral” bank
sentral.

Dan penambahan uang inti (L berarti (lewat money multiplier) penambahan jumlah uang beredar
(L OIeh sebab itu dalam ungkapan yang lebih populer, pemberian kredit bank sentral kepada
pemerintah adalah identik dengan pencetakan uang baru. (Yang lebih tepat sebenarnya adalah
penciptaan uang inti baru).

Cara lain untuk memperoleh dana adalah meminjam dan masyarakat dalam negeni. Caranya
adalah dengan mengeluarkan obligasi dan menjualnya di pasar uang dalam negeri*). Bila
masyarakat (termasuk bank-bank) membeli surat berharga ini maka pemerintah memperoleh
dana yang semula ada di tangan masyarakat (dan sebagai gantinya, masyarakat memegang
obligasi pemerintah). Cara ini disebut open market operations (operasi pasar terbuka). Biasanya
bank sentral bertindak sebagai “agen” pemerintah dalam melakukan open market operations.
Cara ini hanya bisa dilakukan di negara-negara yang sudah memiliki pasar surat berharga (bursa
efek dan saham) yang sudah maju. Bagi negara-negara sedang berkem bang pasar semacam itu
belum berkembang, sehingga kebijaksanaan open market operations hanya mempunyai kegunaan
yang terbatas. Bagi negara-negara maju, open market operations adalah suatu cara pembelanjaan
keuangan negara yang sangat penting.

Cara yang terakhir untuk memperoleh dana adalah dengan meminjam dan luar negeri. Yang
dilakukan di sini adalah “mengambangkan” obligasi pemerintah di pasar uang luar negeri
(misalnya, pemerintah Indonesia telah menjual obligasinya di pasar uang Hamburg dan Tokyo).
Dalam hal mi pemerintah Indonesia menerima dana (dalam bentuk matauang asing atau
“devisa”) dan si pembeli di luar negeri menerirna surat tanda berhutang (“obligasi”) pemenintah
Indonesia (beserta janji kapan membayar kembali dan dengan bunga beberapa). Cara mi lebih
cocok apabila pemerintah membutuhkan dana dalam bentuk devisa (misalnya, untuk membiayai
kebutuhan impornya).

Cara di atas adalah untuk memperoleh “kredit komersial” dan luar negeri, yaitu pinjaman dengan
bunga seperti yang berlaku di pasar pada saat itu. Bagi beberapa negara, kredit komersial
mungkin mungkin dirasa cukup berat, dilihat dan persyaratan pembayaran bunga maupun jangka
waktu pengembaliannya. Khusus bagi negara sedang berkembang tersedia kemungkinan untuk
memperoleh “kredit lunak”, yaitu pinjaman dengan bunga di bawah bunga yang berlaku di pasar
uang dan dengan jangka waktu yang lebih longgar.*)
Pemberi kredit ini adalah pemerintah negara-negara maju yang memang mempunyai program
untukmembantu pembangunan negara negara berkembang, yaitu negara-negara “donor”, dan
lembaga lembaga keuangan internasional yang bertujuan membantu negara negara berkembang
(seperti Bank Dunia, Asian Development Bank, Dana Moneter Internasional (IMF), dan
sebagainya).

Sebagai contoh, APBN suatu negara bisa berbentuk seperti berikut: APBN, Negara X,
1981/1982 (dalam Rp milyar), Dari segi pembukuannya, APBN selalu seimbang: pengeluaran
total adalah 2.300 dan penerimaan total juga 2.300. Perubahan kebijaksanaan fiskal ditunjukkan
oleh adanya perubahan jumlah untuk masing-masing pos. Meskipun jumlah total (pengeluaran
dan penerimaan) sama, kita bisa mempunyai kebijaksanaan fiskal yang berbeda apabila struktur
angka-angka untuk pos-pos APBN berbeda. Dan memang, kita tidak bisa melihat pengaruh dan
suatu APBN hanya dengan melihat nilai totalnya saja. (sebab nilai ini menurut prinsip
akuntansinya harus selalu seimbang). Kita bisa mengatakan bahwa APBN defisit, surplus atau
seimbang dalam arti ekonomis hanya apabila kita meneliti struktur angka-angkanya.

Ada beberapa pengertian yang berbeda mengenai apa yang di maksud suatu APBN defisit,
surplus atau seimbang. Masing-masing pengertian mempunyai arti ekonomis (dan implikasi
makro) yang berbeda satu sama lain. Kita harus memilih pengertian yang sesuai dengan tujuan
analisa kita atau dengan problema yang kita soroti. Contoh di atas (dengan kriteria manapun)
menunjukkan situasi APBN defisit. Pengertian yang “paling ketat” mengatakan bahwa defisit
APBN terjadi apabila seluruh pengeluaran pemerintah tidak bisa dibiayai oleh sumber keuangan
negara yang paling utama, yaitu pajak. Dalam contoh di atas, pengeluaran total adalah 2.300
sedang penerimaan pajak hanya 1.200, jadi terjadi defisit (dalam pengertian ini) sebesar 1.100.

Pengertian defisit yang kedua dan yang “kurang ketat” mengatakan bahwa APBN defisit apabila
penerimaan pajak plus pinjaman pemerintah dan masyarakat dalam negeri tidak mencukupi
untuk membiayai seluruh pengeluaran pemerintah. Dalam contoh di atas, pajak plus pinjaman mi
berjumlah 1.400, sehingga terjadi defisit (dalam pengertian ini) sebesar 900.

Mengapa pinjaman dan masyarakat dalam negeni dianggap sebagai sumber dana yang “wajar”?
Pertama, karena ini adalah pinjaman pemerintah terhadap warganya sendiri, sehingga ada
perasaan bahwa pinjaman ini “wajar”. Alasan kedua, yang secara ekonomis lebih penting, adalah
bahwa pinjaman semacam ini tidak menambah jumlah uang beredar di dalam negeri, karena dana
yang diperoleh pemerintah adalah dana yang sebelumnya ada di ta ngan masyarakat (yaitu,
hanya terjadi pengalihan hak penggunaan dana yang tersedia). Ciri ini mempunyai implikasi
penting bagi pengaruh kebijaksanaan fiskal terhadap perekonomian (seperti yang akan kita bahas
nanti).

Pengertian yang paling “lunak” mengenai defisit APBN menga takan bahwa defisit APBN hanya
terjadi apabila pajak + pinjaman dan masyarakat dalam negeri + pinjaman dan luar negeri tidak
mencukupi untuk membiayai seluruh pengeluaran pemerintah. Dengan lain perkataan, defisit
APBN terjadi apabila pemerintah harus meminjam dan bank sentral atau, secara populer, harus
men cetak uang baru untuk membiayai pengeluarannya. Dalam contoh di atas, defisit menurut
pengertian ini adalah 300.
Berbagai pengertian mengenai APBN surplus dan seimbang juga bisa digolongkan sejalan
dengan pengertian mengenai defisit di atas. Kesimpulan umum mengenai uraian kita sampai saat
mi adah bahwa kita harus berhati-hati dan mempunyai konsepsi jelas mengu nai pengertian mana
yang kita maksud apabila kita mengatakan te jadi defisit atau surplus APBN. Selain itu jelas pula
dan uraian di atas bahwa cara membiayai pengeluaran pemerintah menentukan sekali akibat
APBN terhadap perekonomian. Bermacam-macam pengeluaran sangat menentukan pula
pengaruh APBN terhadap perekonomian Hanya melihat angka “total”nya saja, kita tidak bisa
menilai konsekuensi APBN bagi perekonomian.

INFLASI

Inflasi merupakan salah satu masalah ekonomi yang banyak mendapatkan perhatian para pemikir
ekonomi. Pada asasnya inflasi merupakan gelaja ekonomi yang berupa naiknya tingkat harga.

Definisi inflasi :

Inflasi adalah kecenderungan dari harga-harga untuk meningkat secara umum dan terus menerus.
Kenaikan harga dari satu atau dua barang saja tidak dapat disebut inflasi kecuali bila kenaikan itu
meluas (atau mengakibatkan kenaikan) kepada barang lainnya. Kebalikan dari inflasi disebut
deflasi.

Indikator Inflasi :

 Indeks Harga Konsumen (IHK) merupakan indikator yang umum digunakan untuk
menggambarkan pergerakan harga. Perubahan IHK dari waktu ke waktu menunjukkan
pergerakan harga dari paket barang dan jasa yang dikonsumsi masyarakat. Dilakukan atas
dasar survei bulanan di 45 kota, di pasar tradisional dan modern terhadap 283-397 jenis
barang/jasa di setiap kota dan secara keseluruhan terdiri dari 742 komoditas.
 Indeks Harga Perdagangan Besar merupakan indikator yang menggambarkan pergerakan
harga dari komoditi-komoditi yang diperdagangkan di suatu daerah.

Didasarkan kepada sumber penyebabnya, menurut Soediyono R. : inflasi dapat digolong-


golongkan sebagai berikut:

(a) Inflasi permintaan. Istilah untuk inflasi semacam ini antara lain ialah demand-pull inflation.
inflasi tarikan permintaan dan demand inflation.

(b) inflasi penawaran. lstilah lain yang hanyak dipakai untuk inflasi sernacam mi ialah cost-push
inflation dan supply inflation.

(c) Inflasi campuran, yaitu inflasi yang mempunyai baik unsur demand pull maupun cost push.
Inflasi semacam ini sering disebut mixed inflation.

Inflasi Permintaan
Sebagai langkah pertama macam inflasi yang merupakan pusat perhatian kita ialah inflasi
permintaan, yang ini terkenal dengan sebutan demand full inflation. Seperti tersirat dalam
namanya, inflasi permintaan timbul sebagai akibat dan meningkatnya permintaan agregatif. Ada
beberapa Icon atau model analisis ekonomi yang dapat dimasukkan ke dalam kategori inflasi
permintaan. Beberapa di antaranya yang uraian singkatnya disajikan di bawah mi ialah:

(a) pendekatan teori kuantitas uang,

(b) pendekatan celah inflasi,

(c) pendekatan IS-LM, dan

(d) pendekatan permintaan -penawaran agregatif

1. Inflasi Permintaan dengan Pendekatan Teori Kuantitas Uang

Teori kuantitas uang berpendapat bahwa naik-turunnya tingkat harga disebabkan oleh naik-
turunnya jumlah uang yang beredar dalam perekonomian. Sebagai akibat dan meningkatnya
jumlah saldo kas yang dimiliki oleh rumah-rumah tangga dikarenakan oleh meningkatnya
jumlah uang yang beredar, angka banding antara jumlah saldo kas dengan besarnya
pendapatan dirasakan menjadi terlalu tinggi. Untuk mengurangi kelebihan saldo kas tersebut,
menurut teori kuantitas uang, rumah tangga akan langsung menggunakannya untuk
memperbesar pengeluaran konsumsi mereka. ini dengan sendirinya mengakibatkan
meningkatnya permintaan agregatif. Dengan mendasarkan kepada asumsi kesempatan kerja
penuh atau full employment, maka meningkatnya permintaan agregatif akan mengakibatkan
naiknya tingkat harga. Dengan kata lain, terjadilah inflasi.

Sebagai akibat dan adanya inflasi nilai nyata saldo kas akan menurun. Proses inflasi terus terjadi
sampai tercapai keadaan di mana angka banding antara jumlah saldo kas nyata dengan
pendapatan nyata kembali ke ketinggian semula. Inflasi akan terhenti di sini, kecuali kalau
terjadi lagi penambahan jumlah uang yang beredar.

2. Inflasi Permintaan dengan Pendekatan Analisa Celah inflasi

Masalah celah inflasi atau inflationary gap bahwa inflation gap terjadi apabila besarnya
investasi yang terjadi melebihi penabungan atau saving pada tingkat pendapatan fuII-
employmen, pernyataan tersebut tepat kalau diterapkan untuk perekonomian tertutup. dalam
keadaan di mana besarnya permintaan agregati,f yaitu hasil penjumlahan (C + 1 + G + X —
M), melebihi kapasitas produksi nasional, yang biasa disebut juga full-employment income.

3. Inflasi Permintaan dengan Pendekatan IS-LM

Menerangkan inflasi dengan menggunakan pendekatan IS-LM tersebut ialah bahwa masing-
masing dimaksudkan untuk menerangkan dua hal, yaitu:

(a) penentuan tingkat pendapatan nasional ekuilibrium,


(b) penentuan tingkat harga dengan tingkat pendapatan nasional ekuilibrium seperti yang uraian
atau perhitungannya disajikan oleh butir .

Oleh karena semua variahel yang diperhatikan dalam analisis silang Keynes tersebut. mengenai
pengukurannya semuanya sama, yaitu masing-masing diukur dalam rupiah per satuan waktu.
Analisis IS-LM di lain pihak sebagian dan vaniabelnya; yaitu variabel investasi dan variabel
permintaan uang untuk spekulasi, ditentukan oleh tingkat bunga, yang pengukurannya tidak
dalam rupiah per satuan waktu, melainkan dalam persentase persatuan waktu.

Menurut Boediono : Kedua macam inflasi yaitu inflasi permintaan dan inflasi penawaran itu
jarang sekali dijumpai dalam praktek dengan bentuk yang murni. Pada umumnya, inflasi Yang
tenjadi di berbagai negara di dunja adalah kombinasi dan kedua macam inflasi tersebut, dan
seringkali keduanya saling memperkuat satu sama lain. Atau disebut inflasi campuran yang
mempunyai baik unsur demand—pull maupun cost—push. Inflasi semacam ini sering disebut
mixed inflation.

Penggolongan Yang ketiga adalah berdasarkan asal dari inflasi Di sini kita bedakan:

(1) inflasi Yang berasal dan dalam negeri (domestic Inflation)

(2) Inflasi Yang berasal dan luar negeri (imported inflalion)

Inflasi yang berasal dan dalam negeri timbul misalnya karena defisit anggaran belanja yang
dibiayai dengan pencetakan uang baru, panenan Yang gagal dan sebagainya Infiasi yang berasal
dan luar negeri adalah inflasi Yang timbul karena kenaikan harga-harga (yaitu, inflasi) di luar
negeri atau di Negara negara tetangga berdagang dengan negara kita. Akibat kenaikan harga
barang barang yang kita Inpor :

(1) secara langsung kenaikan indeks biaya hidup karena sebagian dan barangbarag yang
tercakup di dalamnya berasal dan impor.

(2) secara tidak langsung menaikkan indeks harg melalui kenajkan ongkos produksj (dan
kemudian, harga jual) dan berbagal barang Yang menggufl bahan mentah atau mesin-mesin yang
harus di impor (cost inflation).

(3) secara tidak langsung menimbulkan kenaikan harga di dalam negeri karena ada
kemungkinan (tetapi ini tidak harus demikian) kenaikan harga barang-barang impor kenaikan
Pengeluaran Pemerintah dan swasta yang berusaha mengimbangi kenaikan harga impor tersebut
disebut demand inflation.

“Penularan’ inflasi dan luar negeri ke dalam negeri bisa pula lewat kenaikan harga barang-
barang ekspor dan saluran saluran hanya sedikit berbeda dengan penularan lewat kenaikan harga
barang-barangg impor :
(1) Bila harga barang-barang ekspor ,seperti kopi, teh , naik, maka indeks biaya hidup akan
naik pula sebab banang-barang ini langsung masuk dalam daftar barang-barang yang tercakup
dalam indeks harga.

(2) Bila harga barang- barang ekspor (seperti kayu, karet timah dan sebagainya) naik, maka
ongkos produksi dan barang-barang yang menggunakan barang-barang tersebut dalam
produksinya (perumahan, sepatu, kaleng dan Sebagainya) akan naik, dan kemudian harga jualnya
akan naik pula (cost-inflation).

(3) Kenaikan harga barang-barang ekspor berarti kenaikan penghasilan eksportir (dan juga
para produsen barangbarang ekspor tersebut). Kenaikan penghasilan ini kemudian akan
dibelanjakan untuk membeli barang-banang (baik dan dalam maupun luar negeri). Bila jumlah
barang yang tersedia di pasar tidak beitambah, maka harga-harga barang lain akan naik pu1a
(demand inflation).

Penularan inflasi dan luar negeri ke dalam negeri ini jelas lebih mudah terjadi pada negara-
negara yang perekonomiannya terbuka, yaitu yang sektor perdagangan luar negerinya penting
(seperti Indonesia, Korea, Taiwan, Singapura, Malaysia dan sebagainya ). Namun berapa jauh
penularan tersebut terjadi juga tergantung kepada kebijaksanaan penierinlah yang diambil.
Dengan kebijaksanaan-kebijaksanaan moneter dan perpajakan tertentu pemerintah bisa
menetralisir kecenderungan inflasi yang berasal dan luar negeri.

Disagregasi Inflasi :

1. Inflasi Inti >Yaitu inflasi yang dipengaruhi oleh faktor fundamental:


– Interaksi permintaan-penawaran
– Lingkungan eksternal: nilai tukar, harga komoditi internasional, inflasi mitra dagang
– Ekspektasi Inflasi dari pedagang dan konsumen

2. Inflasi non Inti >Yaitu inflasi yang dipengaruhi oleh selain faktor fundamental. Dalam hal ini
terdiri dari :

1. Inflasi Volatile Food.


Inflasi yang dipengaruhi shocks dalam kelompok bahan makanan seperti panen, angguan
alam, gangguan penyakit.
2. Inflasi Administered Prices
Inflasi yang dipengaruhi shocks berupa kebijakan harga Pemerintah, seperti harga BBM,
tarif listrik, tarif angkutan, dll

Determinan Inflasi

Inflasi timbul karena adanya tekanan dari sisi supply (cost push inflation), dari sisi permintaan
(demand pull inflation), dan dari ekspektasi inflasi. Faktor-faktor terjadinya cost push inflation
dapat disebabkan oleh depresiasi nilai tukar, dampak inflasi luar negeri terutama negara-negara
partner dagang, peningkatan harga-harga komoditi yang diatur pemerintah (administered price)1
, dan terjadi negative supply shocks2 akibat bencana alam dan terganggunya distribusi.
Faktor penyebab terjadi demand pull inflation adalah tingginya permintaan barang dan jasa
relatif terhadap ketersediaannya. Dalam konteks makro ekonomi, kondisi ini digambarkan oleh
output riil yang melebihi output potensialnya atau permintaan total (agregate demand) lebih
besar dari pada kapasitas perekonomian. Sementara itu, faktor ekspektasi inflasi dipengaruhi
oleh perilaku masyarakat dan pelaku ekonomi apakah lebih cenderung bersifat adaptif atau
forward looking. Hal ini tercermin dari perilaku pembentukan harga di tingkat produsen dan
pedagang terutama pada saat menjelang hari-hari besar keagamaan (lebaran, natal, dan tahun
baru) dan penentuan upah minimum regional (UMR).

TIMBULNYA INFLASI

“inflasi” semata-mata suatu gejala ekonomi, dimana kecenderungan harga-harga untuk naik
secara bersamaan. Sebab-sebab timbulnya inflasi khusus dari segi ekonomi; dan penentuan
sebab-sebab “ekonomis obyektif” ini mungkin bukanlah tugas yang paling sukar. Biasanya kita
harus melampaui batas-batas ilmu ekonomi dan memasuki bidang ilmu sosiologi dan ilmu
politik.

Masalah inflasi dalam arti yang lebih luas bukan semata-mata masalah ekonomi, tetapi masalah
sosio-ekonomi-politis. Ilmu ekonomi membantu kita ntuk mengidentifikasikan sebab-sebab
obyektif dari inflasi, misalnya saja karena pemerintah mencetak uang terlalu hanyak. Kalau kita
mempertanyakan mengapa pemerinlah harus mencetak uang, meskipun mereka tahu bahwa
tindakan tersebu mengakibatkan inflasi .seringkali jawabannya terletak di bidang sosial politik.

Secara garis besar ada 3 kelompok teori mengenai inflasi, masing-masing menyoroti aspek-aspek
tertentu, Ketiga teori ini adalah:

1. Teori kuantitas
2. Teori Keynes
3. Teori Strukturalis

Teori Kuantitas adalah teori yang paling tua mengenai inflasi, namun teori ini (yang akhir-akhir
ini mengalami penyempurnaan-penyempurnaan oleh kelompok ahli ekonomi Universitas
Chicago) masih sangat berguna untuk menerangkan proses inflasi di zaman modern in terutama
di negara-negara yang sedang berkembang. Teori ini menyoroti peranan dalam proses inflasi
yaitu :

(a) jumlah uang yang beredar

(b) psikologi (harapan) masyarakat mengenai kenaikan harga-harga (expectations).

Inti dari teori ini adalah sebagai berikut:

1. Inflasi hanya bisa terjadi kalau ada penambahan volume uang yang beredar (apakah
berupa penambahan uang kartal atau penambahan uang giral tidak menjadi soal). Tanpa
ada kenaikan jumlah uang yang beredar, kejadian seperti, misalnva, kegagalan panen,
hanya akan menaikkan harga-harga untuk semenlara waktu saja. Penambahan jumlah
uang ibarat “bahan bakar” bagi api inflasi. Bila jumlah uang tidak ditambah, inflasi akan
berhenti dengan sendirinya, apapun sebab musabab awal dan kenaikan harga tersebut.
2. Laju inflasi ditentukan oleh laju pertambahan jumlah uang yang beredar dan oleh
psikologi (harapan) masyarakat mengenai kenaikan harga-harga di masa mendatang.

Terdapat 3 kemungkinan keadaan. Keadaan yang pertama adalah bila masyarakat tidak (atau
belum) mengharapkan harga-harga untuk naik pada bulan-bulan mendatang. Dalam hal mi,
sebagian besar dan penambahan jumlah uang yang beredar akan diterima oleh masyarakat untuk
menamhah likuiditasnya (yaitu, memperbesar pos Kas dalam buku neraca para anggota
masyarakat). ini berarti bahwa sebagian besar dan kenaikan jumlah uang tersebut tidak
dibelanjakan untuk pembelian barang. berarti bahwa tidak akan ada kenaikan permintaan yang
berarti akan barang-barang, jadi tidak ada kenaikan harga barang-barang (atau harga-harga
mungkin naik sedikit sekali).

Dalam keadaan seperti ini, kenaikan jumlah uang yang beredar sebesar 10% diikuti oleh
kenaikan harga-harga sebesar, misalnya 1 %. Keadaan ini biasanya dijumpai pada waktu inflasi
masih baru mulai dan masyarakat masih belum sadar bahwa inflasi sedang berlangsung.

A. Tugas Bank Indonesia Sebagai Bank Sentral adalah :

Sesuai dengan UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah diubah dengan
UU No. 3 Tahun 2004 tujuan Bank Indonesia adalah mencapai dan memelihara kestabilan nilai
rupiah (Pasal 7). Amanat ini memberikan kejelasan peran bank sentral dalam perekonomian,
sehingga dalam pelaksanaan tugasnya Bank Indonesia dapat lebih fokus dalam pencapaian
“single objective”-nya.

Yang dimaksud dengan kestabilan nilai rupiah adalahKestabilan nilai rupiah tercermin dari
tingkat inflasi dan nilai tukar yang terjadi. Tingkat inflasi tercermin dari naiknya harga barang-
barang secara umum. Faktor-faktor yang mempengaruhi inflasi dapat dibagi menjadi 2 macam,
yaitu :

1. tekanan inflasi yang berasal dari sisi permintaan


2. tekanan inflasi yang berasal dari sisi penawaran.

Dalam hal ini, BI hanya memiliki kemampuan untuk mempengaruhi tekanan inflasi yang berasal
dari sisi permintaan, sedangkan tekanan inflasi dari sisi penawaran (bencana alam, musim
kemarau, distribusi tidak lancar, dll) sepenuhnya berada diluar pengendalian BI. Oleh karena itu,
untuk dapat mencapai dan menjaga tingkat inflasi yang rendah dan stabil, diperlukan adanya
kerjasama dan komitmen dari seluruh pelaku ekonomi, baik pemerintah maupun swasta. Tanpa
dukungan dan komitmen tersebut niscaya tingkat inflasi yang sangat tinggi selama ini akan sulit
dikendalikan. Selanjutnya nilai tukar rupiah sepenuhnya ditetapkan oleh kekuatan permintaan
dan panawaran yang terjadi di pasar. Apa yang dapat dilakukan oleh BI adalah menjaga agar
nilai rupiah tidak terlalu berfluktuasi secara tajam.

B. Pentingnya kestabilan harga


Pentingnya pengendalian inflasi didasarkan pada pertimbangan bahwa inflasi yang tinggi dan
tidak stabil memberikan dampak negatif kepada kondisi sosial ekonomi masyarakat.

1. Pertama, inflasi yang tinggi akan menyebabkan pendapatan riil masyarakat akan terus
turun sehingga standar hidup dari masyarakat turun dan akhirnya menjadikan semua
orang, terutama orang miskin, bertambah miskin.
2. Kedua, inflasi yang tidak stabil akan menciptakan ketidakpastian (uncertainty) bagi
pelaku ekonomi dalam mengambil keputusan.

Pengalaman empiris menunjukkan bahwa inflasi yang tidak stabil akan menyulitkan keputusan
masyarakat dalam melakukan konsumsi, investasi dan produksi, yang pada akhirnya akan
menurunkan pertumbuhan ekonomi. Ketiga, tingkat inflasi domestik yang lebih tinggi dibanding
dengan tingkat inflasi di negara tetangga menjadikan tingkat bunga domestik riil menjadi tidak
kompetitif sehingga dapat memberikan tekanan pada nilai rupiah.

C. Peran Kebijakan Moneter Mengendalikan Inflasi

Mengingat tugas spesifik yang diemban oleh Bank Indonesia seperti tersebut di atas, Bank
Indonesia tidak sepenuhnya dapat mengendalikan inflasi, terutama tekanan inflasi yang berasal
dari sisi penawaran (cost push inflation). Bank Indonesia, melalui kebijakan moneter, dapat
mempengaruhi inflasi dari sisi permintaan, seperti investasi dan konsumsi masyarakat. Misalnya,
kebijakan kenaikan suku bunga dapat menge-‘rem’ pengeluaran masyarakat dan pemerintah
sehingga dapat menurunkan permintaan secara keseluruhan yang pada akhirnya dapat
menurunkan inflasi. Selain itu, kenaikan suku bunga ini dapat menguatkan nilai tukar melalui
peningkatan (positive) interest rate differential. Demikian juga, Bank Indonesia dapat
mempengaruhi ekspektasi masyarakat melalui kebijakan yang konsisten dan kredibel.
Harapannya adalah sasaran (target) inflasi Bank Indonesia diacu oleh masyarakat dan pelaku
ekonomi sehingga inflasi yang terjadi dapat sama atau mendekati sasaran inflasi. Apabila kondisi
ini terjadi, maka biaya pengendalian moneter dapat diminimalkan.

Secara teori, kebijakan moneter dapat ditransmisikan melalui berbagai jalur (channel), yaitu jalur
suku bunga, jalur kredit perbankan, jalur neraca perusahaan, jalur nilai tukar, jalur harga aset,
dan jalur ekspektasi. Dengan melewati jalur-jalur tersebut, kebijakan moneter akan
ditransmisikan dan berpengaruh ke sektor finansial dan sektor riil setelah beberapa waktu
lamanya (lag of monetery policy) .
Selain kebijakan moneter yang bersifat “langsung” seperti di atas, bank sentral juga dapat
mempengaruhi tujuan akhirnya secara “tidak langsung”, yaitu melalui berbagai regulasi dan
himbauan (moral suassion) kepada sektor perbankan guna mempercepat mekanisme transmisi
kebijakan moneter.

Dalam melaksanakan pengendalian moneter Bank Indonesia diberikan kewenangan dalam


menggunakan instrumen moneter berupa tetapi tidak terbatas pada (i) Operasi Pasar Terbuka
(open market operation), (ii) penetapan tingkat diskonto (discount rate), (iii) penetapan Giro
Wajib Minimum (minimum reserve requirement), dan (iv) pengaturan kredit atau pembiayaan.

D. Alasan Perubahan Kerangka Kerja Sebelumnya (Base Money Targetting)

Sejak dilepasnya sistem crawling band, Bank Indonesia mentargetkan base money (base money
targeting) dalam kerangka kebijakan moneternya. Kerangka tersebut tidak terlepas dari upaya
Bank Indonesia untuk menyerap kembali kelebihan likuiditas di perbankan sebagai dampak dari
adanya bantuan likuiditas Bank Indonesia sebagai konsekuensi fungsi Bank Indonesia sebagai
lender of the last resort. Kerangka kebijakan moneter dengan menggunakan program moneter ini
diformalkan sebagai bagian dari program IMF.

Base money targeting framework didasarkan pada teori kuantitas uang (quantity theory of
money), yaitu MV=PY4 . Efektivitas kerangka ini sangat tergantung kepada stabilitas velocity
uang beredar baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Selain itu, framework ini akan
berjalan baik apabila (i) hubungan antara base money dan inflasi stabil, dan (ii) bank sentral
dapat mengendalikan uang kartal.

Dalam pelaksanaannya, Bank Indonesia menghadapi permasalahan dalam menggunakan


framework ini. Hal ini disebabkan oleh :

 Hubungan M0 dengan P dan Y tidak stabil, karena terdapat perubahan struktural pasca
krisis5 .
 Seolah-olah terdapat dua nominal anchor, yaitu pencapaian sasaran inflasi dan target
base money
 Respon kebijakan moneter cenderung backward looking.
 Cukup sulit mengendalikan base money, karena sebagian besar komponennya terdiri dari
uang kartal yang perilakunya lebih dipengaruhi oleh permintaan (demand determined)6.

Berbagai perubahan-perubahan struktural pasca krisis antara lain ditandai dengan :

 Penerapan floating exchange rate yang menyebabkan volatilitas nilai tukar yang lebih
tinggi
 Restrukturisasi dan fungsi intermediasi perbankan terkait dengan program rekapitalisasi
dan pergeseran portfolio aset dari kredit ke obligasi
 Permasalahan sektor riil yang mengakibatkan turunnya permintaan kredit.
 Munculnya berbagai inovasi produk perbankan, diantaranya reksadana.

Studi di Bank Indonesia menyimpulkan bahwa akibat adanya perubahan struktural di atas, peran
suku bunga menjadi semakin penting (dibandingkan dengan uang beredar) dalam mempengaruhi
inflasi. Untuk itu, perlu dilakukan peninjauan ulang dan perubahan formulasi kerangka kerja
kebijakan moneter (monetary policy framework) Bank Indonesia yang selama ini telah dianut,
dari pendekatan yang sifatnya pragmatis (eclectic approach) ke dalam suatu framework baru
yang sesuai dengan prinsip-prinsip kebijakan moneter yang sehat (sound).

E. Prinsip-Prinsip Kebijakan Moneter yang Sehat

(i) Mempunyai satu tujuan akhir yang diutamakan (overriding objective), yaitu sasaran
inflasi, sebagai kontribusi pokok kebijakan moneter dalam meningkatkan kesejahteraan
masyarakat. Untuk itu, sasaran inflasi ditetapkan dengan mempertimbangkan pengaruhnya
(trade-off) dengan pertumbuhan ekonomi.

(ii) Kebijakan moneter bersifat antisipatif atau forward looking, yaitu dengan mengarahkan
kebijakan moneter yang ditempuh saat ini diarahkan untuk mencapai sasaran inflasi yang
ditetapkan pada periode yang akan datang mengingat adanya efek tunda (lag) kebijakan moneter.

(iii) Mengikatkan diri kepada suatu mekanisme tertentu dalam membuat pertimbangan
penentuan respon kebijakan moneter (constrained discretion). Dalam penetapan respon
kebijakan moneter, bank sentral mempertimbangkan prakiraan inflasi, pertumbuhan ekonomi,
serta berbagai variabel lain. Termasuk pertimbangan mengenai kebijakan ekonomi Pemerintah
dalam kerangka koordinasi kebijakan moneter dengan kebijakan makro lain.

(iv) Sesuai dengan prinsip-prinsip tata kelola yang sehat (good governance), yaitu
berkejelasan tujuan, konsisten, transparan, dan berakuntabilitas.

F. Inflation Targeting Framework (ITF)

Definisi ITF > ITF merupakan sebuah kerangka kebijakan moneter yang ditandai dengan
pengumuman kepada publik mengenai target inflasi yang hendak dicapai dalam beberapa
periode ke depan. Secara eksplisit dinyatakan bahwa inflasi yang rendah dan stabil Merupakan
tujuan utama dari kebijakan moneter. Sesuai definisi di atas, sejak berlakunya UU No. 23/1999
Indonesia sebenarnya dapat dikategorikan sebagai “Inflation Targeting lite countries”.
Alasan pemilihan ITF

1. Pemilihan kerangka kerja kebijakan moneter IT didasarkan atas beberapa pertimbangan


sebagai berikut :

 Memenuhi prinsip-prinsip kebijakan moneter yang sehat (sound).


 Sesuai dengan amanat UU No. 23/1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah
diubah dengan UU No. 3/2004.
 Hasil riset menunjukkan semakin sulit pengendalian besaran moneter.
 Pengalaman empiris negara lain menunjukkan bahwa negara yang menerapkan ITF
berhasil menurunkan inflasi tanpa meningkatkan volatilitas output.
 Dapat meningkatkan kredibilitas BI sebagai pengendali inflasi melalui komitmen
pencapaian target.

1. Penerapan ITF bukan berarti bahwa bank sentral hanya menaruh perhatian pada inflasi
saja, dan tidak lagi memperhatikan pertumbuhan ekonomi maupun kebijakan dan
perkembangan ekonomi secara keseluruhan. Juga, ITF bukanlah suatu kaidah yang kaku
(rule) tetapi sebagai kerangka kerja menyeluruh (framework) untuk perumusan dan
pelaksanaan kebijakan moneter. Fokus ke inflasi tidak berarti membawa perekonomian
kepada kondisi yang sama sekali tanpa inflasi (zero inflation).
2. Inflasi rendah dan stabil dalam jangka panjang, justru akan mendukung pertumbuhan
ekonomi yang berkelanjutan (suistanable growth). Penyebabnya, karena tingkat inflasi
berkorelasi positif dengan fluktuasinya. Manakala inflasi tinggi, fluktuasinya juga
meningkat, sehingga masyarakat merasa tidak pasti dengan laju inflasi yang akan terjadi
di masa mendatang. Akibatnya, suku bunga jangka panjang akan meningkat karena
tingginya premi risiko akibat inflasi. Perencanaan usaha menjadi lebih sulit, dan minat
investasi pun menurun. Ketidakpastian inflasi ini cenderung membuat investor lebih
memilih investasi asset keuangan jangka pendek ketimbang investasi riil jangka panjang.
Itulah sebabnya, otoritas moneter seringkali berargumentasi bahwa kebijakan yang anti
inflasi sebenarnya adalah justru kebijakan yang pro pertumbuhan.

G. Sasaran Inflasi

1. Sasaran inflasi sebagai sasaran akhir kebijakan moneter ditetapkan oleh Pemerintah
setelah berkoordinasi dengan Bank Indonesia. Penetapan sasaran inflasi tersebut
mempertimbangkan pengaruhnya terhadap pertumbuhan ekonomi (trade-off) dalam
rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
2. Pemerintah setelah berkoordinasi dengan BI telah menetapkan dan mengumumkan
sasaran inflasi IHK untuk tahun 2006, 2007, dan 2008 masing-masing sebesar 8% ±1%,
6%±1%, dan 5,0%±1%. (Berdasarkan siaran pers : Rapat Koordinasi Bidang
Makroekonomi tanggal 17 Maret 2006). Penetapan lintasan sasaran inflasi ini sejalan
dengan keinginan untuk mencapai sasaran inflasi jangka menengah panjang sebesar 3%
agar Indonesia mampu bersaing dengan negara-negara Asia lainnya .

H. Indikator Kebijakan Moneter


1. Dalam merumuskan kebijakan moneter, Bank Indonesia akan selalu melakukan analisis
dan mempertimbangkan berbagai indikator ekonomi, khususnya prakiraan inflasi,
pertumbuhan ekonomi, besaran-besaran moneter dan perkembangan sektor ekonomi dan
keuangan secara keseluruhan.
2. Demikian pula, Bank Indonesia akan selalu dan terus memperhatikan langkah-langkah
kebijakan ekonomi yang ditempuh Pemerintah. Langkah-langkah koordinasi kebijakan
yang selama ini telah berlangsung baik akan terus diperkuat dan ditingkatkan.
3. Analisis dan prakiraan berbagai variabel ekonomi tersebut dipertimbangkan untuk
mengarahkan agar prakiraan inflasi ke depan sejalan dengan kisaran sasaran inflasi yang
telah ditetapkan.

I. Respon Kebijakan Moneter

1. Tujuan dan bentuk respon kebijakan moneter adalah sbb:

 Respon (stance) kebijakan moneter ditetapkan untuk menjamin agar pergerakan inflasi
dan ekonomi ke depan tetap berada pada jalur pencapaian sasaran inflasi yang telah
ditetapkan (konsistensi).
 Respon kebijakan moneter dinyatakan dalam kenaikan, penurunan, atau tidak berubahnya
BI Rate.
 Perubahan (kenaikan atau penurunan) BI Rate dilakukan secara konsisten dan bertahap.

1. Fungsi BI Rate sebagai sinyal kebijakan

 BI Rate adalah suku bunga instrumen sinyaling Bank Indonesia yang ditetapkan pada
RDG triwulan untuk berlaku selama triwulan berjalan (satu triwulan), kecuali ditetapkan
berbeda oleh RDG bulanan dalam triwulan yang sama. Dengan demikian, rate rata-rate
tertimbang hasil lelang SBI pada setiap kali lelang SBI tidak lagi diinterpretasikan oleh
stakeholders sebagai sinyal kebijakan moneter Bank Indonesia.
 BI Rate diumumkan ke publik segera setelah ditetapkan dalam RDG sebagai sinyal
stance kebijakan moneter (yang lebih jelas dan tegas) dalam merespon prospek
pencapaian sasaran inflasi ke depan.
 BI Rate digunakan sebagai acuan dalam pelaksanaan operasi pengendalian moneter untuk
mengarahkan agar Rata-Rata Tertimbang Suku Bunga SBI 1 bulan hasil lelang OPT
(suku bunga instrumen liquidity adjustment) berada di sekitar BI Rate. Selanjutnya suku
bunga SBI 1 bulan diharapkan mempengaruhi suku bunga PUAB dan suku bunga jangka
yang lebih panjang.

1. Proses penetapan respon kebijakan moneter

 Penetapan respon kebijakan moneter dilakukan dalam RDG triwulanan.


 Respon kebijakan moneter ditetapkan untuk periode satu triwulan ke depan.
 Penetapan respon kebijakan moneter dilakukan dengan memperhatikan efek tunda
kebijakan moneter dalam mempengaruhi inflasi.
 Dalam kondisi yang luar biasa, penetapan respon kebijakan moneter dapat dilakukan
dalam RDG bulanan.
1. Dasar pertimbangan penetapan respon kebijakan

 BI Rate merupakan respon bank sentral terhadap tekanan inflasi ke depan agar tetap
berada pada sasaran yang telah ditetapkan. Perubahan BI Rate dilakukan terutama jika
deviasi proyeksi inflasi terhadap targetnya (inflation gap) dipandang telah bersifat
permanen dan konsisten dengan informasi dan indikator lainnya.
 BI Rate ditetapkan oleh Dewan Gubernur secara diskresi dengan mempertimbangkan:

1. Rekomendasi BI Rate yang dihasilkan oleh fungsi reaksi kebijakan dalam model
ekonomi untuk pencapaian sasaran inflasi, dan
2. Berbagai informasi lainnya seperti leading indicators, survei, informasi anekdotal,
variabel informasi, expert opinion, asesmen fakto risiko dan ketidakpastian serta hasil-
hasil riset ekonomi dan kebijakan moneter.
3. Respon kebijakan moneter dinyatakan dalam perubahan BI Rate (SBI tenor 1 bulan)
secara konsisten dan bertahap dalam kelipatan 25 basis points (bps). Dalam kondisi untuk
menunjukkan intensi Bank Indonesia yang lebih besar terhadap pencapaian sasaran
inflasi, maka perubahan BI Rate dapat dilakukan lebih dari 25 bps dalam kelipatan 25
bps.

J. Operasi Pengendalian Moneter

1. Berbeda dengan pelaksanaan selama ini yang menggunakan uang primer, sasaran
operasional pengendalian moneter adalah BI Rate. Dengan langkah ini, sinyal kebijakan
moneter diharapkan dapat lebih mudah dan lebih pasti dapat ditangkap oleh pelaku pasar
dan masyarakat, dan karenanya diharapkan pula dapat meningkat efektivitas kebijakan
moneter.
2. Pengendalian moneter dilakukan dengan menggunakan instrumen:

(i) Operasi Pasar Terbuka (OPT),

(ii) Instrumen likuiditas otomatis (standing facilities),

(iii) Intervensi di pasar valas,

(iv) Penetapan giro wajib minimum (GWM), dan

(v) Himbauan moral (moral suassion).

1. Pengendalian moneter diarahkan pula agar perkembangan suku bunga PUAB berada pada
koridor suku bunga yang ditetapkan. Langkah ini dilakukan untuk meningkatkan
efektivitas pengendalian likuiditas sekaligus untuk memperkuat sinyal kebijakan moneter
yang ditempuh Bank Indonesia.

K. Koordinasi dengan Pemerintah


1. Koordinasi dengan Pemerintah dimaksudkan agar kebijakan moneter Bank Indonesia
sejalan dengan kebijakan umum Pemerintah dibidang perekonomian dengan tetap
menjaga tugas dan wewenang masing-masing.
2. Koordinasi Bank Indonesia dengan Pemerintah dalam penetapan sasaran inflasi
dilakukan sesuai dengan MoU yang telah disepakati antara Pemerintah (cq. Menteri
Keuangan) dengan Bank Indonesia, diantaranya adalah:

 Bank Indonesia menyampaikan usulan Sasaran Inflasi kepada Pemerintah selambat-


lambatnya bulan Mei pada tahun sebelum periode sasaran inflasi berakhir.
 Dalam hal terjadi kondisi yang luar biasa sehingga Sasaran Inflasi yang telah ditetapkan
menjadi tidak realistis dan perlu direvisa, maka Bank Indonesia menyampaikan usulan
perubahan Sasaran Inflasi setelah berkoordinasi dengan Bank Indonesia.

1. Pentingnya keterlibatan Pemerintah dalam menetapkan inflasi didasarkan pada


pertimbangan beberapa faktor. Pertama, tidak semua sumber inflasi di bawah kendali
kebijakan Bank Indonesia. Kebijakan pemerintah turut menyumbang inflasi, diantaranya
adalah penetapan administered price, upah minimum regional, gaji pegawai negeri,
kebijakan di bidang produksi sektoral, perdagangan domestik dan tata niaga impor.
Kebijakan pemerintah lainnya (misalnya di bidang politik, keamanan, dan penegakan
hukum) juga secara tidak langsung turut mempengaruhi inflasi. Kedua, kebersamaan
komitmen pengendalian inflasi antara Pemerintah dan Bank Indonesia di atas kertas akan
menjadikan sasaran inflasi lebih kredibel, karena menjadi “milik bersama”. Jika sasaran
inflasi sangat kredibel, dalam arti Bank Indonesia dan Pemerintah dinilai akan mampu
mencapainya, para pelaku ekonomi akan menyamakan perkiraan inflasi mereka dengan
angka sasaran inflasi tersebut. Bila kondisi ini terjadi, Pemerintah dan Bank Indonesia
akan lebih mudah menurunkan dan menstabilkan inflasi dalam jangka menengah dan
panjang, tanpa harus menelan biaya kebijakan yang terlalu besar.
2. Sebagai tindak lanjut, Bank Indonesia bersama Pemerintah telah membentuk tim
penetapan sasaran, pemantauan, dan pengendalian inflasi (selanjutnya disebut Tim
Pengendalian Inflasi) yang beranggotakan beberapa departemen teknis. Adapun tugas tim
tersebut antara lain mencakup pemberian usul mengenai sasaran inflasi, mengevaluasi
sumber-sumber dan potensi tekanan inflasi serta dampaknya terhadap pencapaian sasaran
inflasi, merekomendasikan pilihan kebijakan yang mendukung pencapaian sasaran
inflasi, serta melakukan diseminasi mengenai sasaran dan upaya pencapaian sasaran
inflasi kepada masyarakat. Diharapkan pembentukan Tim Pengendalian Inflasi ini akan
meningkatkan koordinasi antara otoritas moneter dengan Pemerintah secara keseluruhan,
sehingga sasaran inflasi menjadi tujuan bersama yang credible dan achievable.
3. Koordinasi Bank Indonesia dengan Pemerintah juga dilakukan dalam penetapan asumsi-
asumsi makro untuk bahan penyusunan RAPBN, baik melalui rapat koordinasi dengan
Departemen Keuangan (dan instansi terkait) maupun dalam pembahasan dengan DPR.
4. Koordinasi Bank Indonesia dengan Pemerintah mengenai kebijakan di bidang
perekonomian lainnya dilakukan dalam Sidang Kabinet maupun pertemuan-pertemuan
lainnya sesuai dengan perkembangan dan permasalahan yang terjadi.

L. Transparansi
1. Kebijakan moneter dikomunikasikan secara berkesinambungan kepada masyarakat untuk
meningkatkan kredibilitas kebijakan moneter dalam membentuk ekspektasi dan
pencapaian sasaran inflasi.
2. Komunikasi kebijakan moneter mencakup pengumuman dan penjelasan pencapaian
sasaran inflasi, kerangka kerja dan langkah-langkah kebijakan moneter yang telah dan
akan ditempuh, jadwal RDG, serta hal-hal lain yang ditetapkan oleh Dewan Gubernur.
3. Komunikasi kebijakan moneter dilakukan dengan cara termasuk dan tidak terbatas pada
siaran pers, konperensi pers (terutama segera setelah RDG Triwulanan untuk
menjelasankan respon kebijakan moneter), publikasi (termasuk penerbitan “Laporan
Kebijakan Moneter” atau “Inflation Report”), maupun penjelasan langsung kepada
masyarakat.
4. Komunikasi kebijakan moneter disampaikan kepada masyarakat luas termasuk dan tidak
terbatas pada media massa, pelaku ekonomi, kalangan pakar dan akademisi.

M. Akuntabilitas

1. Pertanggung-jawaban kebijakan moneter disampaikan kepada DPR untuk meningkatkan


kredibilitas Bank Indonesia dalam melaksanakan tugas dan wewenang yang telah
ditetapkan dalam UU.
2. Pertanggung-jawaban kebijakan moneter dilakukan dengan penyampaian secara tertulis
maupun penjelasan langsung atas Laporan Kebijakan Moneter (“Monetary Policy
Report” atau “Inflation Report”) secara triwulanan dan aspek-aspek tertentu kebijakan
moneter yang dipandang perlu.
3. Laporan Kebijakan Moneter disampaikan pula kepada Pemerintah dan masyarakat luas
untuk transparansi dan koordinasi.
4. Dalam hal sasaran inflasi untuk suatu tahun tidak tercapai, maka Bank Indonesia
menyampaikan usulan penjelasan kepada Pemerintah sebagai bahan penjelasan
Pemerintah bersama Bank Indonesia secara terbuka kepada DPR dan masyarakat yang
dilakukan paling lambat Februari tahun berikutnya.

N. Stabilitas Sistem Keuangan (SSK )

Istilah Stabilitas Sistem Keuangan (SSK) sebenarnya belum memiliki definisi baku secara
internasional. Oleh karena itu, muncul beberapa definisi mengenai SSK yang pada intinya
mengatakan bahwa suatu sistem keuangan memasuki tahap tidak stabil pada saat sistem tersebut
telah membahayakan dan menghambat kegiatan ekonomi. Di bawah ini dikutip beberapa definisi
SSK yang diambil dari berbagai sumber:

1. 1. SSK adalah sistem keuangan yang mampu mengalokasikan sumber dana dan
menyerap kejutan (shock) yang terjadi sehingga dapat mencegah gangguan terhadap
kegiatan sektor riil dan sistem keuangan.”
2. 2. SSK adalah sistem keuangan yang kuat dan tahan terhadap berbagai gangguan
ekonomi sehingga tetap mampu melakukan fungsi intermediasi, melaksanakan
pembayaran dan menyebar risiko secara baik.”
3. 3. SSK adalah suatu kondisi dimana mekanisme ekonomi dalam penetapan harga,
alokasi dana dan pengelolaan risiko berfungsi secara baik dan mendukung pertumbuhan
ekonomi.”

Meskipun definisi yang seragam mengenai SSK belum ada, namun untuk memahami lebih jauh
soal ini, dapat dilakukan dengan meneliti faktor-faktor yang dapat menganggu stabilitas itu
sendiri. Ketidakstabilan sistem keuangan dapat dipicu oleh berbagai macam penyebab dan
gejolak. Hal ini umumnya merupakan kombinasi antara kegagalan pasar, baik karena faktor
struktural maupun perilaku. Kegagalan pasar itu sendiri dapat bersumber dari eksternal
(internasional) dan internal (domestik). Sistem keuangan secara umum terdiri dari pasar,
lembaga dan infrastruktur. Risiko yang sering menyertai kegiatan dalam sistem keuangan antara
lain risiko kredit, risiko likuiditas, risiko pasar dan risiko operasional.

Meningkatnya kecenderungan globalisasi sektor finansial yang didukung oleh perkembangan


teknologi menyebabkan sistem keuangan menjadi semakin terintegrasi tanpa jeda waktu dan
batas wilayah. Selain itu, inovasi produk keuangan semakin dinamis dan beragam dengan
kompleksitas yang semakin tinggi. Berbagai perkembangan tersebut selain dapat mengakibatkan
sumber-sumber pemicu ketidakstabilan sistem keuangan meningkat dan semakin beragam, juga
dapat mengakibatkan semakin sulitnya mengatasi ketidakstabilan tersebut.

Identifikasi terhadap sumber ketidakstabilan sistem keuangan umumnya lebih bersifat forward
looking (melihat kedepan). Hal ini dimaksudkan untuk mengetahui potensi risiko yang akan
timbul serta akan mempengaruhi kondisi sistem keuangan mendatang. Atas dasar hasil
identifikasi tersebut selanjutnya dilakukan analisis sampai seberapa jauh risiko berpotensi
menjadi semakin membahayakan, meluas dan bersifat sistemik sehingga mampu melumpuhkan
perekonomian.

Dua Model Perekonomian

Dalam menganalisa suatu perkenomian, dikenal dua model perekonomian, yaitu perekonomian
tertutup dan perekonomian terbuka.

Perekonomian tertutup
Adalah model perekonomian yang pada pelakunya, khususnya Produsen dan Konsumen, secara
sederhana akan melakukan kegiatan dalam penjualan dan pembelian di pasar yang saling
melengkapi untuk memenuhi kebutuhan dan kepentingannya masing-masing. Dalam transaksi
pasar tersebut, mereka akan terikat dengan kontrak dagang atau kesepakatan jual beli, dan
kemudian ditetapkanlah harga jual atau harga beli dari kegiatan tersebut. Untuk memfasilitasi
kegiatan produksi dan kegiatan konsumsi ini secara efektif maka sistem perekonomian
memerlukan Lembaga perbankan dan lembaga keuangan lainnya seperti pasar modal, lembaga
asuransi, lembaga penjamin, pegadaian atau lembaga keuangan mikro yang terdapat di daerah
pedesaan. Lembaga Perbankan peranannya sangat vital untuk mengumpulkan dana-dana yang
ada di masyarakat, yang selanjutnya mereka akan melakukan pengalokasian dana tersebut
melalui pemberian fasilitas perkreditan atau jasa perbankan lainnya. Hal ini dikatakan ekonomi
pasar tertutup, karena didalamnya belum termasuk peran luar negeri dalam sistem ekonomi
tersebut.

Pada sistem ekonomi yang terbuka,

Terdapat kemungkinan dari produsen untuk melakukan kegiatan ekspor barang dan produk
dagangan dengan tujuan pasar-pasar di negara lain atau sebaliknya melakukan kegiatan impor
atas bahan mentah dan bahan penolong serta mesin atau barang jadi dari luar negara. Dalam
model terbuka ini jasa perbankan dan lembaga keuangan dapat juga berasal dari luar negeri dan
kita dihadapkan pada sistem perekonomian yang semakin menyatu (the borderless economy)
yang disebut dengan the global economy. 6Dengan memasukkan sektor luar negeri ke dalam
model penghitungan pendapatan nasional, berarti kita menamijahkan dua variabel dalam model
perekonomian tiga sektor, yaitu variabel ekspor (X) dan variabel impor (M).

Dengan demikian untuk menghitung pendapatan nasional keseimbangan pada perekonomian


terbuka dilakukan dengan jalan menyamakan antara sisi pendapatan dan sisi pengeluaran.Dalam
sistem perekonomian terbuka ini, pengeluaran untuk impor dibedakan menjadi dua jenis, yaitu
apakah impor itu tergantung dari variabel lain, atau tidak (nilainya dianggap tetap).Untuk impor
yang nilainya tetap dapat dituliskan sebagai berikut :M = M0; di mana M0 adalah besarnya
impor, Sedangkan impor yang nilainya tergantung dari besar kecilnya pendapatan dirumuskan
sebagai berikut: M= M0 + mY, di mana Y adalah pendapatn dan m adalah Marginal Propensity
to ImportMenurut Tedi Heriayanto 8, tolok ukur yang baik untuk menilai kadar keterbukaan
suatu perekonomian adalah rasio ekspor dan impor terhadap total GNP. Jika rasio ekspor-impor
terhadap GNP melebihi 50% maka dikatakan perekonomian lebih terbuka. Perdagangan
internasional dapat terjadi karena beberapa alasan, yaitu :

 Keanekaragaman kondisi produksi. Perdagangan diperlukan karena adanya


keanekaragaman kondisi produksi di setiap negara. Misalnya, negara A karena beriklim
tropis dapat berspesialisasi memproduksi pisang, kopi; untuk dipertukarkan dengan
barang dan jasa dari negara lain.
 Penghematan biaya. Alasan kedua adalah timbulnya increasing returns to scale
(penurunan biaya pada skala produksi yang besar). Banyak proses produksi menikmati
skala ekonomis, artinya proses produksi tersebut cenderung memiliki biaya produksi rata-
rata yang lebih rendah ketika volume produksi ditingkatkan. Cara apa yang lebih baik
untuk meningkatkan produksi selain menjualnya ke pasar global ?
 Perbedaan selera. Sekalipun kondisi produksi di semua daerah serupa, setiap negara
mungkin akan melakukan perdagangan jika selera mereka berbeda. Contohnya, negara A
dan B menghasilkan daging sapi dan daging ayam dalam jumlah yang hampir sama,
tetapi karena masyarakat negara A tidak menyukai daging sapi, sedang negara B tidak
menyukai daging ayam, dengan demikian ekspor yang saling menguntungkan dapat
terjadi di antara kedua negara tersebut, yaitu bila negara A mengimpor daging ayam dan
mengekspor daging sapi, sebaliknya negara B mengimpor daging sapi dan mengekspor
daging ayam.
 Prinsip keunggulan komparatif (comparative advantage). Prinsip ini mengatakan bahwa
setiap negara akan berspesialisasi dalam produksi dan mengekpor barang dan jasa yang
biayanya relatif lebih rendah (artinya lebih efisien dibanding negara lain); sebaliknya
setiap negara akan mengimpor barang dan jasa yang biaya produksinya relatif lebih tinggi
(artinya kurang efisien dibanding negara lain).

Dengan adanya perekonomian terbuka dan setiap negara berkonsentrasi pada bidang yang
memiliki keunggulan komparatif, maka kehidupan semua orang akan menjadi lebih baik. Pekerja
di setiap negara dapat memperoleh konsumsi dalam jumlah yang meningkat untuk jumlah jam
kerja yang sama.

Neraca Pembayaran Internasional

Berbagai permasalahan ekonomi dewasa ini sebagian besar sangat terkait dengan permasalahan
defisit neraca pembayaran dan utang atau kredit luar negerinya.

Neraca pembayaran internasional (international balance of payment) suatu negara merupakan


laporan keuangan negara yang bersangkutan atas semua transaksi ekonomi dengan negara-negara
lain yang disusun secara sistematis; neraca ini menghitung dan mencatat semua arus barang, jasa,
dan modal antara suatu negara dengan negara lain.

Neraca pembayaran luar negeri suatu negara pada umumnya dibagi ke dalam empat bagian,
yaitu:

 Transaksi berjalan (current account). Termasuk ke dalamnya barang dagangan (neraca


perdagangan), pos-pos tak berwujud (jasa, dan pendapatan dari investasi netto), dan
ekpor atau impor serta bantuan pemerintah.
 Neraca modal (capital account). Termasuk ke dalamnya pembelanjaan swasta dan
pemerintah dan penjualan aset seperti saham, obligasi, dan real estate).
 Penyimpangan statistik.
 Penyelesaian resmi (official settlements).

Total item yang termasuk bagian 1 biasanya disebut saldo transaksi berjalan. Hal ini memuat
selisih antara total ekspor dengan total impor barang dan jasa. Bila total ekspor melebihi total
impor barang dan jasa maka akan terjadi surplus transaksi berjalan, sebaliknya akan terjadi
defisit transaksi berjalan.
Sejarah menunjukkan bahwa setiap negara cenderung untuk memiliki beberapa tahapan dalam
neraca pembayaran mereka, mulai dari negara debitur muda hingga negara kreditur madya.

Negara debitur muda

Dalam tahapan ini suatu negara lebih banyak mengimpor daripada mengekspor, selisih di antara
keduanya ditutup melalui pinjaman luar negeri, sehingga memungkinkan negara tersebut
menumpuk modal.

Negara debitur madya

Dalam tahapan ini neraca perdagangan suatu negara telah surplus, akan tetapi pertumbuhan
dividen dan bunga yang harus dibayarkan untuk pinjaman luar negeri, menjadikan saldo neraca
modalnya kurang seimbang.

Negara kreditur muda

Dalam masa ini suatu negara mengembangkan ekspornya secara luar biasa. Negara
meminjamkan uang kepada negara-negara lain.

Negara kreditur madya

Pada tahapan ini, pendapatan modal dan investasi luar negeri memberikan surplus cukup besar
terhadap pos tak tampak, yang kemudian diseimbangkan dengan defisit neraca perdagangan.

Nilai ekspor dan impor yang terlihat dalam saldo transaksi berjalan, dipengaruhi oleh kurs mata
uang yang digunakan. Selain itu kekuatan nilai tukar (kurs) akan mempengaruhi nilai ekspor
atau impor dari suatu negara terhadap negara lainnya.

Anda mungkin juga menyukai