Anda di halaman 1dari 33

BAB IV

AKIBAT HUKUM GUGATAN SEDERHANA DALAM


PENYELESAIAN SENGKETA HUKUM BISNIS DALAM PUTUSAN
NOMOR 11/Pdt.G.S/2017/PN Mdn
A. Posisi Kasus

Transaki dalam pelaksanaan bisnis merupakan akibat adanya interaksi

antar individu. Adanya kebutuhan atau kepentingan masing-masing pihak

menjadikan invidu tersebut membutuhkan individu lainnya agar dapat

melangsungkan kegiatan bisnisnya dengan baik. Namun pada pelaksanaannya

ternyata sering ditemui sengketa antara satu pihak dengan pihak lain. Sengketa ini

sebagai akibat adanya pihak yang merasa dirugikan atau dilanggar haknya

sehingga ia merasa perlu untuk memperjuangkan haknya tersebut. 74

Dalam sengketa penelitian ini, terjadi sengketa bisnis antara Risma Br

Sihombing yang selanjutnya akan disebut sebagai Penggugat dengan Murni Yati

yang selanjutnya disebut sebagai Tergugat I dan selanjutnya disebut sebagai

Tergugat II. Pada awalnya Penggugat dan Tergugat I menjalin kerjasama untuk

menjual paket bahan kebutuhan pokok rumah tangga berupa beras, minyak

goreng, gula, telur, deterjen, sariwangi, dan lain sebagainya dengan cara

mendistribusikannya secara angsur/cicil kepada para konsumen yang ditunjuk

sendiri oleh Tergugat I.

Dalam mendistribusikan paket bahan kebutuhan pokok tersebut, selain

mendapatkan upah, Tergugat I juga diperbolehkan untuk mengambil keuntungan

dari selisih harga pokok yang telah ditetapkan oleh Penggugat. Tergugat I juga

dibebankan untuk bertanggungjawab penuh terhadap setiap kemungkinan yang


74
Muhammad Saleh, Op.Cit, hal. 16

70
71

terjadi apabia dikemudian hari para nasabah Tergugat I gagal/cidera janji dalam

melakukan pembayaran atas pembelian paket bahan kebutuhan pokok tersebut,

sebagaimana bukti Surat Perjanjian yang dibuat dan tandatangani diatas materai

antara Penggugat dengan Tergugat I pada tanggal 11 Agustus 2015.

Kemudian pada perjalanannya, terjadi keadaan dimana Tergugat

mengambil barang yang dianggap terlalu banyak dibandingkan dengan uang yang

disetorkan Tergugat I kepada Penggugat. Lalu Penggugat melakukan verifikasi

terhadap jumlah utang Tergugat I yang berjumlah Rp 35.944.000,- (tiga puluh

lima juta sembilan ratus empat puluh ribu rupiah). Tergugat I mengakui adanya

utang tersebut dan berjanji akan membayar secara angsur setiap tanggal 20 setiap

bulannya. Pada awalnya Penggugat merasa ragu dengan Tergugat I, namun

Tergugat II yang merupakan ibu Tergugat I kemudian memberikan jaminan akan

melunasi utangnya secara sekaligus apabila rumah Tergugat II yang terletak di

Jalan Bromo Ujung No. 234 A, Medan telah terjual, sebagaimana isi Surat

pengakuan hutang tertanggal 20 Oktober 2015 yang dibuat dan tandatangani oleh

Tergugat I dan turut ditandatangani sendiri oleh Tergugat II.

Ternyata Tergugat I hanya menjalankan kewajibannya senilai total Rp

7.944.000,- (tujuh juta sembilan ratus empat puluh empat ribu rupiah) dengan

pembayaran cicilan terakhir dilakukan pada Bulan Desember 2016. Agar hal ini

dapat cepat selesai, Penggugat telah berulang kali berupaya menghubungi

Tergugat I dan Tergugat II secara kekeluargaan, namun tidak pernah ditanggapi

serius oleh Para Tergugat, Para Tergugat telah lepas tangan dengan permasalahan

ini, bahkan Tergugat II pernah menyampaikan pada Penggugat, bahwa Tergugat II


72

tidak jadi memberikan ijin untuk menjual rumahnya karena anak-anak Tergugat II

ada beberapa orang, sehingga tidak mungkin dia mau memberikannya pada

Tergugat I, dan Tergugat I juga pernah mengirimkan pesan singkat kepada

Penggugat yang isi pokoknya bahwa “seolah-olah Tergugat I merasa tidak

mempunyai kewajiban lagi untuk menanggung hutang tersebut karena menurut

Tergugat I ada orang lain yang harus bertanggung jawab atas permasalahan ini”,

sehingga Tergugat I dan Tergugat II menantang Penggugat agar berjumpa di

pengadilan saja untuk menyelesaikan masalah ini.

Karena tidak memberikan tanggapan atas peringatan tersebut, akhirnya

Penggugat mengajukan gugatan sederhana ke Pengadilan Negeri Medan dengan

Nomor Register Perkara 11/Pdt.G.S/2017/PN Mdn. Gugatan ini diajukan guna

penyelesaian sengketa yang terjadi antara Penggugat dengan Tergugat I dan

Tergugat II dalam hal sengketa bisnis yang terjadi antara Penggugat dengan

Tergugat I.

Adapun gugatan yang diajukan penggugat adalah sebagai berikut ini:

Tergugat I yang merupakan pekerja Penggugat dan Tergugat II yang

merupakan ibu Tergugat I telah menyetujui dan memberikan jaminan bahwa jika

rumahnya di Jalan Bromo Ujung No. 234 A Medan, boleh dijual dan uangnya

boleh dipakai oleh Tergugat I untuk membayar hutang kepada Penggugat.

Tergugat I mulai bekerja pada Penggugat sekitar Bulan April 2015 untuk menjual

paket bahan kebutuhan pokok rumah tangga berupa beras, minyak goreng, gula,

telur, deterjen, sariwangi, dan lain sebagainya dengan cara mendistribusikannya

secara angsur/cicil kepada para Konsumen yang ditunjuk sendiri oleh Tergugat I
73

(Penggugat sama sekali tidak mengenal siapa-siapa saja yang terpilih menjadi

konsumen Tergugat I). didalam mendistribusikan paket bahan kebutuhan pokok

tersebut, selain mendapatkan upah, Tergugat I juga diperbolehkan untuk

mengambil keuntungan dari selisih harga pokok yang telah ditetapkan oleh

penggugat. Tergugat I juga dibebankan untuk bertanggungjawab penuh terhadap

setiap kemungkinan yang terjadi apabia dikemudian hari para nasabah Tergugat I

gagal/cidera janji dalam melakukan pembayaran atas pembelian paket bahan

kebutuhan pokok tersebut, sebagaimana bukti Surat Perjanjian yang dibuat dan

tandatangani diatas materai antara Penggugat dengan Tergugat I pada tanggal 11

Agustus 2015 (Vide Bukti P-2). Seiring dengan berjalannya waktu,

PENGGUGAT baru menyadari bahwa jumlah paket bahan kebutuhan pokok yang

diambil TERGUGAT I sudah sangat terlalu banyak, namun setoran pembayaran

yang dilakukannya tidak lancar, sehingga pada bulan Agustus 2015, Penggugat

menghentikan paket penjualan bahan pokok untuk TERGUGAT, karena ingin

melakukan verifikasi jumlah paket bahan kebutuhan pokok yang sudah diambil

Tergugat I dengan jumlah uang yang sudah disetorkannya;

1. Bahwa selanjutnya, setelah dilakukan verifikasi bersama, setelah

semua selesai dihitung, akhirnya telah disepakati bahwa ternyata total

nilai tunggakan TERGUGAT I atas penjualan paket bahan kebutuhan

pokok yang sudah diambilnya adalah sebesar Rp. 35.944.000,-

(tigapuluh lima juta Sembilan ratus empat puluh empat ribu rupiah);

(Vide Bukti P-3)


74

2. Bahwa TERGUGAT I telah mengakui besaran jumlah kewajiban yang

harus dibayarnya sebagaimana disebut pada point 4 (empat) diatas,

namun oleh karena saat itu TERGUGAT I belum mampu

membayarnya secara tunai sekaligus, maka TERGUGAT I berjanji

akan melunasi hutang dimaksud secara cicil sampai lunas sebesar Rp

1.000.000,- (satujuta rupiah) pada tanggal 20 setiap bulan berjalan, dan

atas persetujuan dari TERGUGAT II, TERGUGAT I juga telah

berjanji untuk melunasi hutangnya secara sekaligus apabila rumah

TERGUGAT II yang terletak di Jalan Bromo Ujung No. 234 A, Medan

telah terjual, sebagaimana isi Surat pengakuan hutang tertanggal 20

Oktober 2015 yang dibuat dan tandatangani oleh TERGUGAT I dan

turut ditandatangani sendiri oleh TERGUGAT II (Vide Bukti P-4);

3. Bahwa pada awalnya PENGGUGAT masih merasa ragu apabila

TERGUGAT I diberi kesempatan untuk mencicil setiap bulan hutang

uangnya tersebut, namun karena adanya persetujuan serta jaminan dari

TERGUGAT II, maka PENGGUGAT merasa lebih tenang dan

bersedia memberikan kesempatan pada TERGUGAT I untuk mencicil

hutang uangnya;

4. Bahwa hingga diajukannya Gugatan ini, ternyata TERGUGAT I hanya

menjalankan kewajibannya senilai total Rp 7.944.000,- (Tujuhjuta

sembilan ratus empat puluh empat ribu rupiah) dengan pembayaran

cicilan terakhir dilakukan pada Bulan Desember 2016. (vide Bukti P-5)
75

Padahal sudah berlalu 22 bulan sejak ditandatanganinya surat

pengakuan hutang tertanggal 20 Oktober 2015;

Bahwa selanjutnya, agar permasalahan ini dapat cepat selesai,

PENGGUGAT telah berulang kali berupaya menghubungi

TERGUGAT I dan TERGUGAT II secara kekeluargaan, namun tidak

pernah ditanggapi serius oleh PARA TERGUGAT, PARA

TERGUGAT telah lepas tangan dengan permasalahan ini, bahkan

TERGUGAT II pernah menyampaikan pada PENGGUGAT, bahwa

TERGUGAT II tidak jadi memberikan ijin untuk menjual rumahnya

karena anak-anak TERGUGAT II ada beberapa orang, sehingga tidak

mungkin dia mau memberikannya pada TERGUGAT I, dan

TERGUGAT I juga pernah mengirimkan pesan singkat kepada

PENGGUGAT yang isi pokoknya bahwa “seolah-olah TERGUGAT I

merasa tidak mempunyai kewajiban lagi untuk menanggung hutang

tersebut karena menurut TERGUGAT I ada orang lain yang harus

bertanggung jawab atas permasalahan ini”, sehingga TERGUGAT I

dan TERGUGAT II menantang PENGGUGAT agar berjumpa di

pengadilan saja untuk menyelesaikan masalah ini. (Vide Bukti P-6)

5. Bahwa karena tidak memberikan tanggapan positip, dan terkesan

begitu disepelekan, PENGGUGAT terpaksa menggunakan jasa

Advokat, dan pada tanggal 30 Juni 2017, Kuasa PENGGUGAT telah

menegur TERGUGAT I untuk membayar sisa kewajiban hutangnya

sejumlah Rp. 28.000.000,- (duapuluh delapan juta rupiah) ditambah


76

dengan hukuman pinalty atas kelalaian serta keterlambatan

pembayaran selama ini sebesar 20% dari total kewajiban TERGUGAT

I.

6. Bahwa akibat serangkaian perbuatan TERGUGAT I dan TERGUGAT

II, PENGGUGAT telah mengalami kerugian besar baik secara materil

maupun Immateril, kerugian mana dapat dirinci.

7. Mohon sita jaminan agar gugatan Penggugat tidak sia-sia maka

Penggugat mohon agar Pengadilan berkenan untuk meletakkan sita

jaminan atas sebidang tanah dan bangunan milik TERGUGAT II yang

terletak setempat dikenal umum dengan Jalan Bromo Ujung No, 234 A

Medan, Kelurahan Binjai, Kecamatan Medan Denai, serta harta

TERGUGAT I lainnya yang nanti akan diajukan Penggugat secara

terpisah dan tersendiri;

8. Bahwa gugatan Penggugat didasarkan bukti-bukti otentik yang

kebenarannya sudah tidak terbantahkan, dan oleh karenanya adalah

wajar apabila Pengadilan Negeri Kota Medan menyatakan Gugatan

Penggugat dapat dilaksanakan terlebih dahulu, meskipun terhadapnya

dinyatakan perlawanan, Banding dan Kasasi.

Maka berdasarkan uraian-uraian yang telah dikemukakan di atas,

Penggugat mohon pada Pengadilan Negeri Kota Medan untuk berkenan

memutuskan:

1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk seluruhnya;


77

2. Menyatakan berakhir hubungan kerja antara PENGGUGAT dengan

TERGUGAT I;

3. Menyatakan sah dan berkekuatan hukum mengikat surat pengakuan

hutang tertanggal 20 Oktober 2015;

4. Menyatakan TERGUGAT I dan TERGUGAT II telah melakukan

Perbuatan Ingkar Janji (wanprestasi) yang telah menimbulkan kerugian

bagi PENGGUGAT;

5. Menghukum dan memerintahkan PARA TERGUGAT secara tanggung

renteng untuk mengganti kerugian yang diderita PENGGUGAT senilai

total Rp 82.600.000,-.

6. Menyatakan sah dan berharga sita jaminan atas bidang tanah dan

bangunan yang berdiri diatasnya milik TERGUGAT II yang setempat

dikenal umum dengan Jalan Bromo Ujung No. 234 A Medan,

Kelurahan Binjai, Kecamatan Medan Denai.

7. Menyatakan putusan ini dapat dilaksanakan terlebih dahulu meskipun

ada upaya hukum perlawanan, banding, kasasi maupun peninjauan

kembali.

8. Menghukum Para Tergugat untuk membayar biaya perkara.

Apabila kita melihat sengketa ini secara umum, sengketanya adalah

wanprestasi dalam hal pelaksanaan investasi dagang. Pelaksanaan adalah suatu

tindakan atau pelaksanaan dari sebuah rencana yang sudah disusun secara matang

dan terperinci, implementasi biasanya dilakukan setelah perencanaan sudah

dianggap siap. Secara sederhana pelaksanaan bisa diartikan penerapan. Majone


78

dan Wildavsky mengemukakan pelaksanaan sebagai evaluasi. Browne dan

Wildavsky mengemukakan bahwa pelaksanaan adalah perluasan aktivitas yang

saling menyesuaikan. 75

Pelaksanaan merupakan aktivitas atau usaha- usaha yang dilaksanakan

untuk melaksanakan semua rencana dan kebijaksanaan yang telah dirumuskan dan

ditetapkan dengan dilengkapi segala kebutuhan, alat- alat yang diperlukan, pihak

yang melaksanakan, tempat pelaksanaan dan bagaimana cara atau suatu proses

rangkaian kegiatan tindak lanjut setelah program atau kebijaksanaan ditetapkan

yang terdiri atas pengambilan keputusan, langkah yang strategis maupun

operasional atau kebijaksanaan menjadi kenyataan guna mencapai sasaran dari

program yang ditetapkan semula.76

Dari pengertian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa pada dasarnya

pelaksanaan suatu program yang telah ditetapkan oleh pemerintah harus sejalan

dengan kondisi yang ada di lapangan maupun di luar lapangan. Dalam

kegiatannya melibatkan beberapa unsur disertai dengan usaha- usaha dan

didukung alat- alat penunjang. Faktor- faktor penunjang pelaksanaan adalah

sebagai berikut:

a. Komunikasi, merupakan suatu program yang dapat dilaksanakan

dengan baik apabila jelas bagi pelaksana. Hal ini menyangkut proses

penyampaian informasi, kejelasan informasi dan konsistensi informasi

yang disampaikan;

75
Nurdin Usman, Konteks Implementasi Berbasis Kurikulum (Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2002) hal. 70
76
Abdullah Syukur, Implementasi Latar Belakang Konsep Pendekatan dan Relevansinya
dalam Pembangunan (Ujung Pandang: Persadi, 1987) hal. 40
79

b. Resources (sumber daya), dalam hal ini meliputi empat komponen

yaitu terpenuhinya jumlah staf dan kualitas mutu, informasi yang

diperlukan guna pengambilan keputusan, kewenangan yang cukup

guna melaksanakan tugas dan tanggung jawab, serta fasilitas yang

dibutuhkan dalam pelaksanaan;

c. Disposisi, sikap dan komitmen dari para pelaksana program khususnya

dari implementer ptogram;

d. Struktur birokrasi, yaitu SOP yang mengatur tata aliran dalam

pelaksanaan program. 77

Keempat faktor di atas, dipandang mempengaruhi keberhasilan suatu

proses implementasi, namun juga adanya keterkaitan dan saling mempengaruhi

antara satu faktor dan faktor lain. Dalam proses implementasi sekurang-

kurangnya terdapat tiga unsur penting yaitu:

1. Adanya program (kebijaksanaan) yang dilaksanakan;

2. Kelompok masyarakat yang menjadi sasaran dan manfaat dari program

pemerintah tersebut;

3. Unsur pelaksanaan baik organisasi maupun perorangan yang

bertanggung jawab dalam pengelolaan pelaksanaan dan pengawasan

dari proses implementasi tersebut. 78

Dari pendapat di atas dapatlah dikatakan bahwa pelaksanaan suatu

program senantiasa melibatkan ketiga unsur tersebut dan juga keempat faktor

penunjang di atas.
77
Ibid, hal. 398
78
Achmad Rusyaidi, Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum (Bandung: PT. Citra
Aditya Bakti, 1994) hal. 5
80

Pelaksanaan perjanjian adalah perbuatan merealisasikan atau memenuhi

kewajiban dan memperoleh hak yang telah disepakati oleh pihak-pihak sehingga

tercapai tujuan mereka. Masing-masing pihak melaksanakan perjanjian dengan

sempurna dan itikad baik sesuai dengan persetujuan yang telah dicapai.79

Pelaksanaan suatu perjanjian pada dasarnya selalu berupa pemenuhan

kewajiban dan perolehan hak secara timbal balik antara pihak-pihak. Kewajiban

diklasifikasikan menjadi kewajiban pokok dan kewajiban pelengkap. Kewajiban

pokok merupakan esensi perjanjian dan kewajiban pelengkap merupakan

penjelasan terhadap kewajiban pokok. Dengan perkataan lain, kewajiban pokok

bersifat fundamental essencial, sedangkan kewajiban pelengkap bersifat formal

procedural. Pada kewajiban utama (pokok), jika terjadi pelanggaran atau

wanprestasi, dapat memutuskan (membatalkan) perjanjian. Termasuk kewajiban

pokok adalah perbuatan penyerahan benda atau hak milik atas benda, melakukan

pekerjaan tertentu, pelayanan jasa, pembayaran sejumlah uang harga benda dan

upah pelayanan jasa.

1. Kewajiban Pokok, Kewajiban Pelengkap, Kewajiban Diam-Diam

a. Kewajiban pokok

Kewajiban pokok adalah kewajiban fundamental essencial dalam setiap

perjanjian. Jika kewajiban pokok tidak dipenuhi, akan mempengaruhi tujuan

perjanjian. Pelanggaran kewajiban pokok akan memberikan kepada pihak yang

dirugikan hak untuk membatalkan atau memutuskan perjanjian, atau meneruskan

perjanjian pokok merupakan dasar keseluruhan perjanjian. Suatu perjanjian dapat

mencapai tujuan atau tidak, bergantung pada pemenuhan kewajiban pokok.


79
Muhammad Abdulkadir, Op.Cit, hal. 302
81

b. Kewajiban Pelengkap

Kewajiban pelengkap adalah kewajiban yang kurang penting, yang

sifatnya hanya melengkapi kewajiban pokok (formal procedural). Tidak ditaati

kewajiban pelengkap tidak akan memengaruhi tujuan utama perjanjian dan tidak

akan membatalkan atau memutuskan perjanjian, tetapi mungkin hanya

menimbulkan kerugian dan memberi hak kepada pihak yang dirugikan untuk

menuntut ganti kerugian.

c. Kewajiban Diam-Diam

Kewajiban diam-diam dalam perjanjian hanya terjadi dalam hal tidak ada

ketentuan tegas. Akan tetapi, kewajiban diam-diam umumnya dapat

dikesampingkan oleh kewajiban yang tegas mengenai akibat yang terjadi. Dalam

perjanjian, pihak-pihak tidak begitu mengetahui adanya kewajiban diam-diam.

Pengadilan memegang peranan penting untuk menunjukkan kewajiban diam-diam

itu dalam putusannya. Selain pengadilan, Undang-Undang pun dapat menentukan

kewajiban diam-diam. Dalam Pasal 1474 KUH Perdata ditentukan bahwa penjual

mempunyai dua kewajiban pokok, yaitu menyerahkan benda dan menjaminnya.

Dalam Pasal ini tersimpul kewajiban pokok secara diam-diam bahwa apabila

dalam perjanjian tidak dinyatakan secara tegas, disini undang-undang

menunjukkan bahwa penjual berkewajiban secara diam-diam menjamin benda

yang dijualnya itu.

2. Pembayaran

Pihak yang melakukan pembayaran adalah debitur atau orang lain atas

nama debitur, atas dasar surat kuasa khusus. Pembayaran harus dilakukan di
82

tempat yang telah ditentukan dalam perjanjian. Jika dalam perjanjian tidak

ditentukan suatu tempat, pembayaran mengenai benda yang sudah ditentukan

harus dilakukan di tempat dimana benda itu berada ketika membuat perjanjian.

Biaya yang harus dikeluarkan untuk menyelenggarakan pembayaran dibebankan

kepada debitur (Pasal 1395 KUH Perdata). Akan tetapi, pihak-pihak dapat juga

memperjanjikan bahwa biaya pembayaran dibebankan kepada kreditur atau oleh

kedua belah pihak.

3. Penyerahan Benda

Setiap perjanjian yang memuat tujuan memindahkan penguasaan dan/atau

hak milik perlu melakukan penyerahan bendanya (levering, delivery). Penyerahan

ada dua macam, yaitu penyerahan hak milik (levering van eigendom, delivery of

ownership) dan penyerahan penguasaan benda (levering van bezit, delivery of

possession).

4. Pelayanan Jasa

Pelayanan jasa adalah memberikan pelayanan dengan melakukan

perbuatan tertentu, baik dengan menggunakan tenaga fisik saja maupun dengan

keahlian atau alat bantu tertentu, baik dengan upah maupun tanpa upah. Pelayanan

jasa itu misalnya, cleaning service, reparasi, konveksi, pengangkutan barang,

salon kecantikan, pekerjaan buruh, jasa konsultan atau pelayanan publik lainnya.

5. Klausula Eksonerasi

Dalam perjanjian sering juga dibuat ketentuan-ketentuan yang bersifat

membatasi tanggung jawab debitur yang disebut “klausula eksonerasi”. Biasanya

klausula tersebut banyak terdapat dalam jual beli, pengangkutan laut, parkir
83

kendaraan, serta hal-hal yang dialami sehari-hari. dalam nota pembelian dijumpai

klausula yang tertulis : “Barang yang sudah dibeli tidak dapat dikembalikan”.

Dalam klausula ini penjual membebaskan diri dari kewajiban menanggung

kemungkinan ada cacat pada benda itu sesudah dibeli. Apabila ada cacat ataupun

rusak sesudah dibeli, benda itu tidak boleh dikembalikan lagi dan penjual tidak

mau menerimanya. Kerugian dibebankan kepada pembeli. Hal ini menunjukkan

adanya perbedaan kerugian pada setiap unsur hukumnya dan tergantung pada

perbuatan hukumnya.

B. Pertimbangan Hakim dalam Memutus Gugatan Sederhana

Dalam memutus perkara yang terpenting adalah kesimpulan hukum atas

fakta yang terungkap di dalam persidangan. Untuk itu hakim harus menggali nilai-

nilai, mengikuti dan memahami nilai- nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup

dalam masyarakat.80 Sumber hukum yang dapat berupa peraturan perundang-

undangan berikut peraturan pelaksananya, hukum tidak tertulis (hukum adat),

putusan desa, yurisprudensi, maupun doktrin/ ajaran para ahli.81

Dalam praktik pengadilan perdata, dikenal sumber hukum berupa

Burgerlijk Wetboek (BW) yang terdiri dari 1993 Pasal. BW tersebut berdasarkan

Pasal 1 Aturan Peralihan UUD 19945 (amandemen) masih berlaku hingga saat ini.

Pada masa dulu sebelum dicabutnya keberlakukan pembagian golongan

penduduk, diberlakukan aturan berlakunya BW yaitu: 82

a) Mereka yang termasuk golongan Eropa; ‘

80
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman
81
R. Soerparmono, Hukum Acara Perdata dan Yurisprudensi, (Bandung: Mandar Maju,
2005), hal. 146
82
R. Subekti, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Jakarta: PT. Pradnya Paramitha,
2004), hal. 6
84

b) Mereka yang termasuk golongan Tiong Hoa dengan beberapa

kekecualian dan tambahan seperti termuat dalam Lembaran Negara

tahun 1917- 129 (lampiran II);

c) Mereka yang termasuk golongan Timur Asing selain daripada Tiong

Hoa dengan kekecualian dan penjelasan seperti termuat dalam

Lembaran Negara tahun 1924- 556 (lampiran I)

Sementara itu untuk golongan bangsa Indonesia Asli berlaku hukum adat

yang sejak dahulu telah berlaku di kalangan rakyat, yang sebagian besar masih

belum tertulis, tetapi telah hidup dalam tindakan- tindakan rakyat, mengenai

segala soal dalam kehidupan masyarakat. 83

Pembahasan mengenai cacat tidaknya suatu putusan hakim harus ditinjau

dari asas- asas putusan yang harus diterapkan dalam putusan. Pada hakikatnya

asas- asas tersebut terdapat dalam Pasal 178 HIR/ 189 RBG dan Pasal 50 Undang-

Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yaitu:

a. Memuat Dasar Alasan yang Jelas dan Rinci

Putusan yang dijatuhkan oleh hakim harus berdasarkan pertimbangan yang

jelas dan cukup.  Putusan yang tidak memenuhi ketentuan tersebut dikategorikan

putusan yang tidak cukup pertimbangan atau onvoldoende gemotiveerd.  Alasan

yang dijadkan pertimbangan dapat berupa pasal-pasal tertentu peraturan

perundang-undangan, hukum kebiasaan, yurisprudensi atau doktrin hukum.

Hal tersebut ditegaskan dalam Pasal 50 Undang-Undang Nomor 48 Tahun

2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman yang menegaskan bahwasanya Putusan

pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar putusan, juga memuat pasal
83
R. Subekti, Pokok- pokok Hukum Perdata, (Jakarta, PT. Intermasa, 1996), hal. 10
85

tertentu dari peraturan perundang-undangan yang bersangkutan atau sumber

hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili.  Bahkan menurut Pasal

178 ayat (1) HIR, hakim karena jabatannya wajib mencukupkan segala alasan

hukum yang tidak dikemukakan para pihak yang berperkara.  Untuk memenuhi

kewajiban itulah Pasal 5 Undang-Undang Kekuasan Kehakiman memerintahkan

hakim untuk menggali nilai-nilai, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum

dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.84

Bertitik tolak dari pasal-pasal yang dikemukakan di atas, putusan yang

tidak cukup pertimbangan adalah masalah yuridis,  Akibatnya putusan dapat

dibatalkan pada tingkat banding atau kasasi.  Begitu pula pertimbangan yang

mengandung kontradiksi, putusan demikian tidak memenuhi syarat sebagai

putusan yang jelas dan rinci, sehingga cukup alasan menyatakan  putusan yang

dijatuhkan melanggar asas yang digariskan Pasal 178 ayat (1) HIR/189 ayat (1)

RBG dan Pasal 50 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan

Kehakiman.

b. Wajib Mengadili Seluruh Bagian Gugatan

Asas kedua yang digariskan oleh Pasal 178 ayat (2) HIR/Pasal 189 ayat (2)

RBG dan Pasal 50 RV adalah putusan harus secara total dan menyeluruh

memeriksa dan mengadili setiap segi gugatan yang diajukan. Tidak boleh hanya

memeriksa dan memutus sebagian saja dan mengabaikan gugatan selebihnya. 

Cara mengadili yang demikian bertentangan dengan asas yang digariskan oleh

undang-undang.

c. Tidak Boleh Mengabulkan Melebihi Tuntutan


84
M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), hal. 798
86

Berdasarkan Pasal  178 ayat (3) HIR/Pasal 189 ayat (3) RBG dan Pasal 50

RV, putusan tidak boleh mengabulkan melebihi tuntutan yang dikemukakan

dalam gugatan.  Larangan itu disebut ultra petitum partium. Hakim yang

mengabulkan posita maupun petitum gugatan, dianggap telah melampaui batas

wewenang atau ultra vires yakni bertindak melampaui wewenangnya.  Apabila

putusan mengandung ultra petitum, harus dinyatakan cacat (invalid) meskipun hal

itu dilakukan hakim dengan itikad baik (good faith) maupun sesuai dengan

kepentingan umum (public interest).  Mengadili dengan cara mengabulkan

melebihi dari apa yang di gugat dapat dipersamakan dengan tindakan yang tidak

sah (illegal)meskipun dilakukan dengan itikad baik. 85

d. Diucapkan di Depan Umum

Persidangan dan putusan diucapkan dalam sidang pengadilan yang terbuka

untuk umum atau di muka umum merupakan salah satu bagian yang tidak

terpisahkan dari asas fair trial.  Melalui asas fair trial, pemeriksaan persidangan

harus berdasarkan proses yang jujur sejak awal sampai akhir.  Prinsip peradilan

terbuka untuk umum mulai dari awal pemeriksaan sampai putusan dijatuhkan. Hal

itu tentunya dikecualikan untuk perkara tertentu, misalnya perkara perceraian. 

Akan tetapi walaupun dilakukan dalam persidangan tertutup untuk umum, putusan

wajib diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk umum.

Pelanggaran terhadap hal di atas ditegaskan dalam Pasal 13 ayat (2)

Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman yang berbunyi :

“Putusan pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila

diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum.”


85
Ibid.
87

Berdasarkan ketentuan tersebut, maka putusan yang tidak diucapkan di

muka umum berakibat putusan batal demi hukum. Batalnya suatau putusan

tersebut tentu menjadikan putusan tersebut tidak memiliki kekuatan mengikat.

Dalam memutus sengketa dalam perkara ini, hakim mempertimbangkan

bukti-bukti yang dihadirkan dalam persidangan. Selain itu, dihadirkan juga

beberapa saksi. Adapun bukti-bukti yang diajukan dalam persidangan adalah

sebagai berikut:

1. Catatan jumlah pinjaman atas nama Tergugat, selanjutnya diberi nama

dan tanda produk bukti P-1;

2. Surat Perjanjian Bekerja untuk menjalankan paket sembako, antara

Penggugat dan Tergugat yang ditandatangani Tergugat diatas materai,

tertanggal 11 Agustus 2015, selanjutnya diberi nama dan tanda produk

bukti P-2;

3. Surat Perjanjian Hutang Piutang antara Penggugat dan Tergugat yang

ditandatangani Penggugat dan Tergugat diatas materai, dan disaksikan

Nurhayati dan Ibu Murni, tertanggal 20 Oktober 2015, selanjutnya

diberi tanda produk bukti P-3;

4. Kartu Tanda Penduduk atas nama Murniyati dengan NIK :

1271045511860004, selanjutnya diberi nama dan tanda Produk bukti

P-4;

5. Catatan tanggal pengambilan beras dan paket oleh atas nama Tergugat

Jl. Bromo No. 234, selanjutnya diberi nama dan tanda Produk bukti P-

5;
88

6. Foto Transkrip percakapan pesan singkat (SMS) Tergugat, selanjutnya

diberi nama dan tanda Produk bukti P-6;

7. Surat Somasi Pertama dan Terakhir yang dikuasakan oleh Penggugat

kepada Ferwando Togi P.M., S.H., Advokat pada kantor Advokat

F&Co Lawyers ditujukan kepada Tergugat, tertanggal 30 Juni 2017

dan telah diterima oleh Amril 2 Juli 2017, selanjutnya diberi nama dan

tanda P-7.

Sedangkan keterangan saksi yang dihadirkan dalam persidangan adalah

sebagai berikut:

1. PATAR H SIHOMBING:

a. Bahwa Saksi kenal dengan Penggugat karena Penggugat

merupakan kakak kandung saksi;

b. Bahwa Saksi mengetahui Penggugat menjalankan usaha di Jalan

Bakti yaitu menyalurkan usaha paket sembako;

c. Bahwa Saksi mengetahui yang menjalankan usaha Penggugat

adalah Tergugat sejak 2 (dua) tahun yang dilakukan secara

bersama;

d. Bahwa Saksi mengetahui usaha Penggugat yang dijalankan

Tergugat dalam keadaan macet karena tagihannya kepada

Penggugat tidak lancar, beberapa bulan kemudian bisnis macet;

e. Bahwa Saksi mengetahui ada perjanjian antara Penggugat dan

Tergugat yang disepakati di rumah Penggugat sekitar lebih kurang


89

1 (satu) tahun yang lalu, yaitu perjanjian 1 bulan Rp. 1.000.000

(satu juta rupiah);

f. Bahwa Saksi mengetahui ada respon dari Orang Tua Tergugat yang

menyatakan bahwa tidak ada uang, bagaimana mau bayar kepada

Penggugat;

g. Bahwa Saksi mengetahui total tagihan kepada Tergugat sebesar

Rp. 30. 000.000 (tiga puluh juta rupiah);

2. NURHAYATI SIHOMBING:

a. Bahwa Saksi kenal dengan Penggugat karena Penggugat

merupakan kakak kandung saksi;

b. Bahwa Saksi mengetahui Tergugat mengambil paket sembako

kepada Penggugat;

c. Bahwa Saksi mengetahui ada Perjanjian antara Penggugat dan

Tergugat yang disepakati di rumah Penggugat, dalam hal ini Saksi

ikut menandatanganinya;

d. Bahwa Saksi mengetahui Jumlah hutang Tergugat kepada

Penggugat sebesar Rp. 28.000.000 (duapuluh delapan juta rupiah);

e. Bahwa Saksi mengetahui setelah perjanjian Tergugat ada

melakukan cicilan 7x (tujuh kali), setelah itu cicilan macet;

C. Akibat Hukum Gugatan Sederhana dalam Penyelesaian Sengketa

Hukum Bisnis dalam Putusan Nomor 11/Pdt.G.S/2017/PN Mdn

Setiap perbuatan hukum akan menyebabkan konsekuensi terhadap para

pelaku hukum tersebut. Perkawinan merupakan suatu perbuatan hukum, sehingga


90

akan melahirkan sebuah akibat hukum. Akibat hukum adalah suatu akibat yang

ditimbulkan oleh hukum, terhadap suatu perbuatan yang dilakukan oleh subjek

hukum. Akibat hukum merupakan suatu akibat dari tindakan yang dilakukan,

untuk memperoleh suatu akibat yang diharapkan oleh pelaku hukum. Akibat yang

dimaksud adalah akibat yang diatur oleh hukum, sedangkan tindakan yang

dilakukan merupakan tindakan hukum yaitu tindakan yang sesuai dengan hukum

yang berlaku.86

Akibat hukum adalah akibat yang ditimbulkan oleh suatu peristiwa hukum,

yang dapat berwujud:87

1. Lahir, berubah atau lenyapnya suatu keadaan hukum. Contohnya,

akibat hukum dapat berubah dari tidak cakap hukum menjadi cakap

hukum ketika seseorang berusia 21 tahun.

2. Lahir, berubah atau lenyapnya suatu hubungan hukum antara dua atau

lebih subjek hukum, dimana hak dan kewajiban pihak yang satu

berhadapan dengan hak dan kewajiban pihak yang lain. Contohnya, X

mengadakan perjanjian sewa-menyewa rumah dengan Y, maka lahirlah

hubungan hukum antara X dan Y apabila sewa menyewa rumah

berakhir, yaitu ditandai dengan dipenuhinya semua perjanjian sewa-

menyewa tersebut, maka hubungan hukum tersebut menjadi lenyap.

3. Lahirnya sanksi apabila dilakukan tindakan yang melawan hukum.

Contohnya, seorang pencuri diberi sanksi hukuman adalah suatu akibat

86
R. Soeroso, Praktek Hukum Acara Perdata, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), hal. 295
87
Ibid.
91

hukum dari perbuatan si pencuri tersebut yaitu, mengambil barang

orang lain tanpa hak dan secara melawan hukum.

Akibat hukum merupakan suatu peristiwa yang ditimbulkan oleh karena

suatu sebab, yaitu perbuatan yang dilakukan oleh subjek hukum, baik perbuatan

yang sesuai dengan hukum, maupun perbuatan yang tidak sesuai dengan hukum.

Akibat hukum sebagai implikasi atas dilakukannya suatu perbuatan hukum,

dipengaruhi oleh norma- norma dan aturan- aturan yang ada di dalam lingkungan

subjek hukum tersebut.

Putusan yang diberikan hakim dalam putusan ini adalah sebagai berikut:

1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebahagian;

2. Menyatakan Tergugat I telah melakukan perbuatan ingkar janji

(wanperstasi);

3. Menghukum Tergugat I untuk untuk membayar kepada Penggugat;

4. Menolak gugatan Penggugat untuk selain dan selebihnya;

5. Menghukum Tergugat I membayar biaya yang timbul dalam perkara

ini sebesar 111.000,00 ( seratus sebelas ribu rupiah).

Sebagai akibat hukum yang timbul dari wanprestasi yang dilakukan oleh

Tergugat, maka tergugat diwajibkan membayarkan kerugian yang dialami oleh

penggugat. Dalam pelaksanaan isi perjanjian sebagaimana yang telah ditentukan

dalam suatu perjanjian yang sah, tidak jarang terjadi wanprestasi oleh pihak yang

dibebani kewajiban (debitur) tersebut. Tidak dipenuhinya suatu prestasi atau

kewajiban (wanprestasi) ini dapat dikarenakan oleh dua kemungkinan alasan. Dua

kemungkinan alasan tersebut antara lain adalah :88


88
J. Satrio, Op.Cit, hal. 90
92

1. Karena kesalahan debitur, baik karena kesengajaan ataupun kelalaiannya

Kesalahan disini adalah kesalahan yang menimbulkan kerugian. Dikatakan

orang mempunyai kesalahan dalam peristiwa tertentu kalau ia sebenarnya dapat

menghindari terjadinya peristiwa yang merugikan itu baik dengan tidak berbuat

atau berbuat lain dan timbulanya kerugian itu dapat dipersalahkan kepadanya.

Dimana tertentu kesemuanya dengan memperhitungkan keadaan dan suasana pada

saat peristiwa itu terjadi.

Kerugian itu dapat dipersalahkan kepadanya (debitur) jika ada unsur

kesengajaan atau kelalaian dalam peristiwa yang merugikan itu pada diri debitur

yang dapat dipertanggung jawabkan kepadanya. Kita katakan debitur sengaja

kalau kerugian itu memang diniati dan dikehendaki oleh debitur, sedangkan

kelalaian adalah peristiwa dimana seorang debitur seharusnya tahu atau patut

menduga, bahwa dengan perbuatan atau sikap yang diambil olehnya akan timbul

kerugian.

Disini debitur belum tahu pasti apakah kerugian akan muncul atau tidak,

tetapi sebagai orang yang normal seharusnya tahu atau bisa menduga akan

kemungkinan munculnya kerugian tersebut. Dengan demikian kesalahan disini

berkaitan dengan masalah “dapat menghindari” (dapat berbuat atau bersikap lain)

dan “dapat menduga” (akan timbulnya kerugian).89

2. Karena keadaan memaksa (Overmacht / force majure), diluar kemampuan

debitur , atau debitur tidak bersalah

Keadaan memaksa ialah keadaan dimana tidak dapat dipenuhinya prestasi

oleh pihak debitur karena terjadi suatu peristiwa bukan karena kesalahannya,
89
Ibid.
93

peristiwa mana tidak dapat diketahui atau tidak dapat diduga akan terjadi pada

waktu membuat perikatan. Vollmar menyatakan bahwa overmacht itu hanya dapat

timbul dari kenyataankenyataan dan keadaan-keadaan tidak dapat diduga lebih

dahulu.

Dalam hukum anglo saxon (inggris) keadaan memaksa ini dilukiskan

dengan istilah “Frustration” yang berarti halangan, yaitu suatu keadaan atau

peristiwa yang terjadi diluar tanggung jawab pihak-pihak yang membuat perikatan

(perjanjian) itu tidak dapat dilaksanakan sama sekali. Dalam keadaan memaksa ini

debitur tidak dapat dipersalahkan karena keadaan memaksa tersebut timbul diluar

kemauan dan kemampuan debitur. Wanprestasi yang diakibatkan oleh keadaan

memaksa biasa terjadi karena benda yang menjadi objek perikatan itu binasa atau

lenyap, bisa juga terjadi karena perbuatan debitur untuk berprestasi itu terhalang

seperti yang telah diuraikan di atas. Keadaan memaksa yang menimpa benda

objek perikatan biasa menimbulkan kerugian sebagian dan dapat juga

menimbulkan kerugian total.

Sedangkan keadaan memaksa yang menghalangi perbuatan debitur

memenuhi prestasi itu bisa bersifat sementara maupun bersifat tetap. Unsur-unsur

yang terdapat dalam keadaan memaksa itu ialah:

a. Tidak dipenuhi prestasi karena suatu peristiwa yang membinasakan

benda menjadi objek perikatan, hal ini tentunya bersifat tetap.

b. Tidak dapat dipenuhi prestasi karena suatu peristiwa yang menghalangi

perbuatan debitur untuk berprestasi, ini dapat bersifat tetap atau

sementara.
94

c. Peristiwa itu tidak dapat diketahui atau diduga akan terjadi pada waktu

membuat perikatan baik oleh debitur maupun oleh kreditur, jadi bukan

karena kesalahan para pihak , khususnya debitur.

Menngenai keadaan memaksa yang menjadi salah satu penyebab

timbulnya wanprestasi dalam pelaksanaan perjanjian. Dikenal dua macam ajaran

mengenai keadaan memaksa tersebut dalam ilmu hukum , yaitu ajaran memaksa

yang bersifat objektif dan subjektif. yang mana ajaran mengenai keadaan

memaksa (overmachtsleer) ini sudah dikenal dalam hukum Romawi, yang

berkembang dari janji (beding) pada perikatan untuk memberikan benda tertentu.

Dalam hal benda tersebut karena adanya keadaan yang memaksa musnah maka

tidak hanya kewajibannya untuk menyerahkan tetapi seluruh perikatan menjadi

hapus, tetapi prestasinya harus benar-benar tidak mungkin lagi.

Pada awalnya dahulu hanya dikenal ajaran mengenai keadaan memaksa

yang bersifat objektif. Lalu dalam perkembangannya kemudian muncul ajaran

mengenai keadaan memaksa yang bersifat subjektif.

Objektif artinya benda yang menjadi objek perikatan tidak mungkin dapat

dipenuhi oleh siapapun. Menurut ajaran ini debitur baru bisa mengemukakan

adanya keadaan memaksa (Overmacht) kalau setiap orang dalam kedudukan

debitur tidak mungkin untuk berprestasi (Sebagaimana mestinya). Jadi keadaan

memaksa tersebut ada jika setiap orang sama sekali tidak mungkin memenuhi

prestasi yang berupa benda objek perikatan itu. Oleh karena itu ukurannya

“orang” (pada umumnya) tidak bisa berprestasi bukan “debitur” tidak bisa

berprestasi, sehingga kepribadiannya, kecakapan, keadaannya, kemampuan


95

finansialnya tidak dipakai sebagai ukuran, yang menjadi ukuran adalah orang pada

umumnya dan karenanya dikatakan memakai ukuran objektif.90

Dasar ajaran ini adalah ketidakmungkinan. Vollmar menyebutkan keadaan

memaksa ini dengan istilah “absolute overmacht” apabila benda objek perikatan

itu musnah diluar kesalahan debitur Marsch and soulsby juga menyatakan bahwa

suatu perjanjian tidak mungkin dilaksanakan apabila setelah perjanjian dibuat

terjadi perubahan dalam hukum yang mengakibatkan bahwa perjanjian yang telah

dibuat itu menjadi melawan hukum jika dilaksanakan. Dalam keadaan yang

seperti ini secara otomatis keadaan memaksa tersebut mengakhiri perikatan karena

tidak mungkin dapat dipenuhi. Dengan kata lain perikatan menjadi batal, keadaan

memaksa disini bersifat tetap.

Dikatakan subjektif dikarenakan menyangkut perbuatan debitur itu sendiri,

menyangkut kemampuan debitur sendiri, jadi terbatas pada perbuatan atau

kemampuan debitur. (2). Keadaan Memaksa yang Bersifat Subjektif Salah

seorang sarjana yang terkenal mengembangkan teori tentang keadaan memaksa

adalah houwing. Menurut pendapatnya dalam buku V (lima). Brakel keadaan

memaksa ada kalau debitur telah melakukan segala upaya yang menurut ukuran

yang berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan patut untuk dilakukan, sesuai

dengan perjanjian tersebut.

Debitur oleh houwing adalah debitur yang bersangkutan. Disini tidak

dipakai ukuran “debitur pada umumnya” (objektif), tetapi debitur tertentu, jadi

subjektif. Oleh karena yang dipakai sebagai ukuran adalah subjek debitur tertentu,

maka kita tidak bisa melepaskan diri dari pertimbangan debitur yang bersangkutan
90
Ibid.
96

dengan semua ciri-cirinya atau dengan perkataan lain kecakapan, tingkat sosial,

kemampuan ekonomis debitur yang bersangkutan turut diperhitungkan.

Dasar ajaran ini adalah kesulitan-kesulitan menurut ajaran ini debitur itu

masih mungkin memenuhi prestasi walaupun mengalami kesulitan atau

menghadapi bahaya. Vollmar menyebutnya dengan istilah “relatieve overmacht”.

Keadaan memaksa dalam hal ini bersifat sementara. Oleh karenanya perikatan

tidak otomatis batal melainkan hanya terjadi penundaan pelaksanaan prestasi oleh

debitur. Jika kesulitan yang menjadi hambatan pelaksanaan prestasi tersebut sudah

tidak ada lagi maka pemenuhan prestasi diteruskan.

Timbulnya ajaran mengenai keadaan memaksa seperti yang telah diuraikan

di atas dikarenakan keadaan memaksa tidak mendapatkan pengaturan secara

umum dalam Undang-Undang. Karena itu hakim berwenang meminta fakta yang

terjadi (wanprestasi) bahwa debitur sedang dalam keadaan memaksa (overmacht)

atau tidak, sehingga diketahui apakah debitur dapat dibebani kewajiban atas resiko

atau tidak atas wanprestasi tersebut.

Seorang debitur yang wanprestasi dapat membela diri dengan mengajukan

beberapa macam alasan untuk membebaskan dirinya dari hukuman itu. Pembelaan

tersebut ada tiga macam, yaitu:91

1. Mengajukan tuntutan adanya keadaan memaksa (overmacht atau force

majeur)

2. Mengajukan bahwa si berpiutang (kreditur) sendiri juga telah lalai

(exceptio non adimpleti contractus)

91
Ibid.
97

3. Mengajukan bahwa kreditur telah melepaskan haknya untuk menuntut

ganti rugi (pelepasan hak atau “rechtsverwerking”).

Salah satu hak kreditur ketika debitur melakukan wanprestasi adalah

menuntut ganti rugi kepada debitur untuk menutupi kerugian yang dialami oleh

kreditur. Berikut adalah hak-hak kreditur atas debitur yang melakukan

wanprestasi:92

1. Hak menuntut pemenuhan perikatan (nakomen);

2. Hak menuntut pemutusan perikatan atau apabila perikatan itu bersifat

timbal balik, menuntut pembatalan perikatan (outbinding) ;

3. Hak menuntut ganti rugi (schade vergoeding);

4. Hak menuntut pemenuhan perikatan dengan ganti rugi.

5. Hak menuntut pemutusan atau pembatalan perikatan dengan ganti rugi.

Menurut Pasal 1244, 1245, dan 1246 KUHPerdata, anasir-anasir dari ganti

rugi ialah biaya, rugi dan bunga. Ganti kerugian merupakan bagian pembahasan

dari hukum perdata oleh karenanya patut terlebih dahulu didefinisikan apakah itu

hukum perdata. Hukum Perdata merupakan peraturan hukum yang mengatur

hubungan hukum antar orang yang satu dengan orang yang lainya. Dalam

pengertian di atas terdapat beberapa unsur antara lain unsur peraturan hukum,

yang dimaksud dengan peraturan hukum adalah rangkaian ketentuan mengenai

ketertiban dan berbentuk tertulis dan tidak tertulis dan mempunyai sanksi yang

tegas. Unsur selanjutnya adalah unsur hubungan hukum, yang dimaksud dengan

hubungan hukum adalah hubungan yang diatur oleh hukum hubungan yang diatur

92
Mariam Darus Badrulzaman, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Buku III Tentang
Hukum Perikatan Dengan Penjelasan, (Bandung: Penerbit Alumni, 1983), hal. 26
98

oleh hukum itu adalah hak dan kewajiban orang perorang, sedangkan unsur yang

terakhir adalah unsur orang, yang dimaksud dengan orang adalah subyek hukum

yaitu pendukung hak dan kewajiban, pendukung hak dan kewajiban itu dapat

berupa manusia pribadi ataupun badan hukum.

Ganti rugi dalam hukum perdata dapat timbul dikarenakan wanprestasi

akibat dari suatu perjanjian atau dapat timbul dikarenakan oleh Perbuatan

Melawan Hukum. anti rugi yang muncul dari wanprestasi adalah jika ada pihak-

pihak dalam perjanjian yang tidak melaksanakan komitmennya yang sudah

dituangkan dalam perjanjian, maka menurut hukum dia dapat dimintakan

tanggung jawabnya, jika pihak lain dalam perjanjian tersebut menderita kerugian

karenanya.93

KUHPerdata memperincikan kerugian (yang harus diganti) dalam tiga

komponen sebagai berikut:94

1. Biaya

2. Rugi.

3. Bunga

Biaya adalah setiap uang (termasuk ongkos) yang harus dikeluarkan secara

nyata oleh pihak yang dirugikan, dalam hal ini sebagai akibat dari adanya

tindakan wanprestasi. Sedangkan yang dimaksud dengan “rugi” adalah keadaan

merosotnya (berkurangnya) nilai kekayaan kreditor sebagai akibat dari adanya

wanprestasi dari pihak debitur.sedangkan yang dimaksud dengan “bunga” adalah

93
Moegni Djojodirjo, Perbuatan Melawan Hukum, Cetakan Pertama, (Jakarta, Pradnya
Paramita, 1979), hal. 11
94
Munir Fuady, Konsep Hukum Perdata, Cetakan Pertama, (Jakarta, Raja Grafindo
Persada, 2014), hal. 1
99

keuntungan yang seharusnya diperoleh tetapi tidak jadi diperoleh oleh pihak

kreditur karena adanya tindakan wanprestasi dari pihak debitur.95

Pemberian suatu ganti rugi sebagai akibat dari tindakan wanprestasi dari

suatu perjanjian, dapat diberikan dengan berbagai kombinasi antara lain

pemberian ganti rugi (berupa rugi, biaya dan bunga), pelaksanaan perjanjian tanpa

ganti rugi, pelaksanaan perjanjian plus ganti rugi, pembatalan perjanjian timbal

balik tanpa ganti rugi, pembatalan perjanjian timbal balik plus ganti rugi.

Selanjutnya dalam literature dan yurisprudensi dikenal pula beberapa model ganti

rugi atas terjadinya wanprestasi, yaitu sebagai berikut:

1. Ganti rugi yang ditentukan dalam perjanjian.

Yang dimaksudkan dengan ganti rugi yang ditentukan dalam perjanjian

adalah suatu model ganti rugi karena wanprestasi dimana bentuk dan

besarnya ganti rugi tersebut sudah ditulis dan ditetapkan dengan pasti

dalam perjanjian ketika perjanjian ditanda tangani, walaupun pada saat

itu belum ada wanprestasi.

2. Ganti rugi ekspektasi.

Ganti rugi dalam bentuk ekspektasi adalah suatu bentuk ganti rugi

tentang hilangnya keuntungan yang diharapkan (di masa yang akan

datang), seandainya perjanjian tersebut tidak wanprestasi. jadi, dalam

hal ini, pihak yang dirugikan karena wanprestasi ditempatkan seolah

olah tidak terjadi wanprestasi dengan berbagai keuntungan yang akan

didapatkannya.

3. Pergantian biaya.
95
Ibid, hal. 224
100

Yang dimaksud dengan ganti rugi berupa pergantian biaya adalah ganti

rugi dalam bentuk pergantian seluruh biaya yang telah dikeluarkan

oleh salah satu pihak yang harus dibayar oleh pihak lain, yang telah

melakukan wanprestasi terhadap perjanjian tersebut. Karena

perhitungan biaya yang telah dikeluarkan tersebut umumnya dilakukan

dengan melihat kepada bukti-bukti pengeluaran berupa kwitansi-

kwitansi.

4. Restitusi.

Ganti rugi berupa restitusi adalah suatu model ganti rugi yang juga

menempatkan perjanjian pada posisi seolah-olah sama sekali tidak

terjadi perjanjian. Akan tetapi dalam hal ini, yang harus dilakukan

adalah mengembalikan seluruh nilai tambah dalam wujudnya semula

yang telah diterima oleh salah satu pihak atau kedua belah pihak dari

pihak yang satu ke pihak yang lainya. Nilai tambah yang dimaksud

disini suatu nilai lebih yang telah diterima oleh para pihak seabgai

akibat dari pelaksanaan perjanjian, nilai tambah tersebut harus

dikembalikan dalam bentuk semula sebagai salah satu wujud dari ganti

rugi.

5. Quantum meruit.

Quantum Meruit merupakan model ganti rugi yang hampir mirip

dengan model restitusi yang membedakan adalah nilai tambah yang


101

harus dikembalikan dalam model ini bukan nilai tambah dalam wujud

aslinya melainkan harga dari nilai tambah yang telah diterima, karena

bendanya dalam bentuk asli sudah tidak dalam posisi untuk

dikembalikan lagi. Misalnya semen yang telah diguanakan untuk

bangunan maka tidak mungkin dikembalikan dalam bentuk bangunan,

yang dapat dilakukan adalah nilai taksiran harga semen itu yang harus

dikembalikan.

6. Pelaksanaan perjanjian.

Pemberian ganti rugi berupa pelaksanaan perjanjian adlah kewajiban

melaksanakan perjanjian meskipun sudah terlambat, dengan atau tanpa

ganti rugi.

Selain kerugian yang timbul dari wanprestasi, kerugian juga dapat

ditimbulkan oleh Perbuatan melawan hukum, Perbuatan Melawan hukum diatur

dalam Pasal 1365 dan Pasal 1366 KUHPerdata, Pasal 1365 KUHPerdata

memberikan ketentuan tentang Perbuatan Melawan Hukum dengan “ tiap

perbuatan melawan hukum, yang mendatangkan kerugian pada seorang lain,

mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti

kerugian tersebut”. ketentuan lainya tertuang dalam Pasal 1366 KUHPerdata

adalah “ setiap orang bertanggung jawab, tidak saja untuk kerugian yang

disebabkan karena perbuatanya, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan

karena kelalaianya atau kurang hati hatianya”.96 Namun pada pembahasan kali ini,

96
Soesilo dan Pramudji R, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Cetakan Pertama,
(Surabaya, Rhedbook Publisher, 2008), hal. 306
102

hanya dibatasi pada ganti kerugian dalam perdata yang diakibatkan adanya

wanprestasi.

Berdasarkan uraian di atas, apabila kita analisa dengan berpedoman

terhadap Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2015 tentang Tata Cara

Penyelesaian Sengketa dengan Gugatan Sederhana, maka putusan hakim sudah

sesuai dengan peraturan tersebut. Seperti diketahui bahwa dalam Peraturan

mengenai gugatan sederhana tersebut, sengketa yang dapat diselesaikan melalui

gugatan sederhana adalah sengketa wanprestasi dengan nilai perkara tidak lebih

dari Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).

Pada sengketa dalam skripsi ini, sengketa yang terjadi adalah sengketa

wanprestasi yang telah dibuktikan selama proses peradilan gugatan sederhana.

Wanprestasi yang terjadi dalam sengketa tersebut tidak lebih dari nominal yang

ditentukan dalam gugatan sederhana, sehingga pilihan dalam menentukan gugatan

dianggap sudah tetap. Selain itu, putusan hakim dalam sengketa gugatan

sederhana ini didasarkan bukti- bukti yang dihadirkan dalam persidangan. Dalam

persidangan sendiri, Tergugat dianggap telah melakukan ingkar janji dalam

pembayaran utangnya terhadap Penggugat sehingga Tergugat harus melaksanakan

putusan pengadilan yaitu memenuhi perjanjian dengan pihak Penggugat.

Anda mungkin juga menyukai