Anda di halaman 1dari 8

Prosiding Seminar Nasional Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Secara Terpadu 2017

DINAMIKA SOSIAL EKONOMI DAN KELEMBAGAAN DALAM


PENGELOLAAN TERPADU DAN BERKELANJUTAN DAS AESESA FLORES
PROPINSI NTT

Nicolaus Noywuli1), Asep Sapei2), Nora H. Pandjaitan3), dan Eriyatno4)


1
Mahasiswa Program Doktor Ilmu PSL, Institut Pertanian Bogor
email: nicolausnoywuli@gmail.com
2
Departemen Teknik Sipil dan Lingkungan, Institut Pertanian Bogor
email: asep_sapei@yahoo.com
3
Departemen Teknik Sipil dan Lingkungan, Institut Pertanian Bogor
email: norahp@apps.ipb.ac.id
4
Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan, Institut Pertanian Bogor
email: eriyatno@yahoo.com

Abstract
Watershed management is a planned effort to manage natural environmental factors that are
disrupted for river flow and resulting in a change or retention of the watershed resources. Therefore
watersheds management is very important in order to gain high productivity and sustainability.
Watershed management should be designed as an integrated and sustainable management model.
Watershed management should consider the social, economic and institutional aspects of society to
address the needs and minimize the conflict of interest among stakeholders, as well as damage
control in watershed area. This paper aim is to understand the socio-economic and institutional
dynamics in integrated and sustainable watershed management. The method used in this paper
presented is through a literature study. The results showed that ownership, pattern of agricultural
land use and development of Bajawa city contributed to social economic vulnerability of the
watershed. Institutions at the village, kabupaten and central levels have less role in integrated and
sustainable watershed management because the conservation activities, especially in the upper
watershed, are very low. Therefore, the strategic improvement for integrated and sustainable Aesesa
Flores watershed management strongly depend on the institutional aspects.

Keywords: Aesesa Flores watershed, Social economy institutional characteristics, watershed


management

optimal; 2) meningkatnya produktivitas lahan


1. PENDAHULUAN
yang diikuti oleh perbaikan kesejahteraan
Pengelolaan DAS pada hakekatnya masyarakat; 3) tertata dan berkembangnya
merupakan bentuk pemanfaatan dan kelembagaan formal dan informal masyarakat
konservasi sumberdaya DAS yang bersifat dalam penyelenggaraan pengelolaan DAS; 4)
komprehensif dan partisipatif dari berbagai meningkatnya kesadaran dan partisipasi
pihak yang berkepentingan dalam mayarakat dalam penyelenggaraan
memanfaatkan dan melakukan konservasi pengelolaan DAS secara berkelanjutan; dan 5)
sumberdaya alam pada tingkat DAS. terwujudnya pembangunan yang
Pengelolaan secara komprehensif dan berkelanjutan, berwawasan lingkungan dan
partisipatif ini mempersyaratkan adanya rasa berkeadilan (Kartodihardjo H. et al. 2004).
saling mempercayai, keterbukaan, rasa Namun demikian, diperkirakan 13% atau
tanggung jawab, dan mempunyai rasa 62 DAS dari 470 DAS di Indonesia berada
ketergantungan (interdependency) di antara dalam kondisi kritis, meskipun upaya
sesama stakeholder yang didukung dengan konservasi tanah dan air dalam pegelolaan
kebijakan yang memadai. Kebijakan yang DAS telah diimplementasikan (Alikodra H,
dimaksudkan, diharapkan mampu 2009). DAS Aesesa Flores merupakan salah
mewujudkan sasaran pengelolaan DAS yakni: satu dari enam DAS prioritas yang ada di
1) terciptanya kondisi hidrologis DAS yang
341
Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat
Universitas Riau
Prosiding Seminar Nasional Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Secara Terpadu 2017

Provinsi NTT, yakni DAS Noelmina dan Kesulitan utama dalam pengelolaan DAS di
Benanain di Pulau Timor, DAS Kambaniru Indonesia adalah sulitnya memadukan
dan Wanokaka di Pulau Sumba, serta DAS kegiatan antar sektor. Dalam melaksanakan
Aesesa dan DAS Lembor di Pulau Flores. tugasnya masing-masing lembaga
Keberadaan DAS Aesesa di Tengah Pulau menggunakan pendekatan, metode dan
Flores (Aesesa Flores) Propinsi Nusa peritilahan sendiri-sendiri tergantung pada
Tenggara Timur (NTT) menjadi sangat kepentingan sektoralnya (Nugroho, 2003).
strategis, karena Flores menjadi daerah tujuan Setelah implementasi otonomi daerah maka
wisata dunia yang terkenal secara internasional pengelolaan sumberdaya alam (SDA) di dalam
dan nasional serta menjadi lumbung pangan DAS dilakukan secara terfragmentasi. Masing-
NTT. masing daerah mengelola sendiri sumberdaya
Tuntutan akan pentingnya perhatian dan alam yang ada di daerahnya. Pengelolaan SDA
pemahaman pengelolaan DAS Aesesa Flores ini sering tidak diimbangi dengan upaya
ini didasari pada beberapa fakta yang konservasi dan tidak menjadikan konservasi
menampilkan bahwa: 1) Di daerah hulu, sebagai kegiatan prioritas (Ekawati 2005).
terdapat kawasan cagar alam Watu Ata, Kondisi demikian jika dibiarkan terus maka
Bajawa sebagai ibukota kabupaten Ngada dan DAS akan semakin terdegradasi sehingga
keberadaan hutan bambu sebagai water dapat memberikan dampak negatif terhadap
catchment di Kabupaten Ngada dan di hilir ada kesejahteraan masyarakat (Suwarno, et.al,
Mbay sebagai ibukota Kabupaten Nagekeo 2011).
serta bendungan sutami; 2) data klimatologis Tulisan ini dimaksudkan untuk mereview
selama 30 tahun terakhir menunjukan telah berbagai dinamika dan kapasitas sosial
terjadi fenomena variabilitas iklim, dimana ekonomi dan kelembagaan dalam pengelolaan
terjadi kecenderungan kenaikan suhu udara di DAS Aesesa Flores sebagai dasar
hilir dan bagian tengah DAS, serta terjadi pengembangan kebijakan pengelolaan DAS
kerentanan tinggi akan sumber daya air yakni yang terpadu dan berkelanjutan.
54% wilayah DAS; 3) kondisi sosial ekonomi
masyarakat terutama di hulu DAS,
menunjukan bahwa kepadatan penduduk 92 2. METODE
jiwa/km2, 68% penduduk berpendidikan SD, Makalah ini disajikan melalui studi
bermata pencaharian petani, penduduk miskin pustaka untuk mendapatkan berbagai data dan
tinggi dan 50% penduduk berpendapatan informasi terkait dengan karateristik DAS
rendah yakni Rp. 300.000/bulan (Pujiono E, Aesesa Flores, dinamika social ekonomi dan
Setyowati R., 2015); 4) adanya konflik kelembagaan, serta mendapatkan berbagai
penggunaan lahan yang melibatkan berbagai pengetahuan mengenai model-model
kelompok etnik suku (Maan et.al, 2017); 5) isu pengelolaan DAS dan teknik-teknik mitigasi
deforestasi yang makin meluas, sebagai bukti, secara social ekonomi dan kelembagaan yang
luas hutan bamboo pun terus menurun sampai dilakukan sebagai alternative dalam upaya
saat ini tersisa seluas ± 13% dari luas DAS meningkatkan dan mempertahankan daya
Aesesa Flores (BPS Ngada, 2015; Koli, 2010); dukung DAS. Dinamika sosial ekonomi dan
6) belum adanya kelembagaan lokal dan kelembagaan yang ditelaah meliputi indicator
kebijakan khusus (otonomi) yang menangani social, ekonomi dan kelembagaan merujuk
pengelolaan DAS Aesesa secara terpadu dan pada Permenhut P.61/Menhut-II/2014.
berkelanjutan (Pujiono E, Setyowati R, 2015);
7) debit air salah satu mata air (mukufoka) di
hulu DAS Aesesa Flores yang digunakan oleh 3. HASIL DAN PEMBAHASAN
PDAM Bajawa terus menurun, dimana pada 3.1. Karakteristik DAS Aesesa Flores
tahun 2003 sebesar 26,7 lt/dt menjadi 22,3 DAS Aesesa Flores secara geografis
lt/dt pada tahun 2007; dan 8) menurunnya terletak pada posisi 120º56’48” – 121º22’42”
kualitas tanah dan meningkatnya erosi. Bujur Timur dan 8029’01 LS – 8049’41”
Salah satu faktor penyebab menurunnya Lintang Selatan. DAS Aesesa Flores ini masuk
fungsi DAS di Indonesia, termasuk DAS dalam dua wilayah administrasi kabupaten
Aesesa Flores adalah sistem pengelolaan yang Propinsi Nusa Tenggara Timur. Kabupaten
sangat sentralistik, tidak adanya keterpaduan Ngada yang masuk wilayah DAS Aesesa
diantara berbagai stakeholder lintas sektor.
342
Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat
Universitas Riau
Prosiding Seminar Nasional Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Secara Terpadu 2017

Flores meliputi Kecamatan Bajawa, Soa, pencaharian penduduk sebagai petani dan
sebagian wilayah Kecamatan Bajawa Utara, penggembala skala kecil. Petani lokal masih
sebagian wilayah Kecamatan Golewa Barat mempraktikkan sistem pertanian ladang
dan Golewa, Riung Barat, dan Wolomeze. berpindah, 'memangkas dan membakar'.
Kabupaten Nagekeo yang masuk dalam Pertanian bersifat musiman, dengan tanaman
wilayah DAS Aesesa yaitu Kecamatan Aesesa, utama adalah padi, jagung, ubi jalar dan
Aesesa Selatan, Boawae, sebagian wilayah kacang-kacangan. Karena musim hujan yang
Kecamatan Nangaroro dan Wolowae. pendek hanya ada satu kali panen setahun, dan
DAS Aesesa Flores terletak di wilayah sering terjadi kekurangan pangan sepanjang
Pulau Flores bagian tengah mencakup wilayah tahun. Artinya, secara eksklusif penduduk
Kabupaten Ngada dan Kabupaten Nagekeo sangat bergantung pada sumber daya alam.
(gambar 1), serta memiliki panjang sekitar 50 Dinamika dan kapasitas social ekonomi
km. DAS Aesesa memiliki luas ± 130.000 ha berpengaruh terhadap kondisi Daerah Aliran
yaitu bagian hulu di Kecamatan Bajawa dan Sungai terutama daerah tangkapan airnya. Hal
sekitarnya wilayah Kabupaten Ngada seluas dari aspek demografi menunjukkan bahwa
46.915 ha dan bagian tengah-hilir berada di keragaan komposisi penduduk usia kerja yang
wilayah Kabupaten Nagekeo seluas 76.080 ha. tergolong sebagai “angkatan kerja” (berusia >
Curah hujan rata-rata berkisar antara 500 mm - 15 tahun) pada dua Kabupaten di wilayah
2500 mm, yang sebagian besar terjadi antara DAS Aesesa Flores sangat tinggi atau 60-70%
bulan Desember dan April, elevasi berkisar penduduk. Selain itu, komposisi penduduk
mulai dari 0 mdpl di daerah Mbay ibu kota yang bekerja ini lebih dari 70% diantaranya
Kabupaten Nagekeo hingga lebih dari 1300 m bekerja pada sector-sektor primer (pertanian)
di atas pemukaan laut (dpl) di wilayah sekitar disamping sector sekunder atau tersier lainnya.
ibu kota Kabupaten Ngada. Topografi DAS Jika dicermati dari laju pertumbuhan PDRB
Aesesa Flores cenderung curam pada bagian sebagai salah satu indicator ekonomi wilayah
hulu DAS, terdiri dari tanah vulkanis yang memperlihatkan meski mengalami fluktuasi
kaya, yang berasal dari letusan kawah-kawah dalam perkembangannya tetapi sector
gunung Wawomuda (Kabupaten Ngada) dan pertanian sebagai resources base masyarakat
gunung Ebulobo (Kabupaten Nagekeo) di DAS Aesesa tergolong cukup baik. Dengan
(BPDAS Benain Noelmina, 2013). demikian, maka terdapat sisi positif dari para
Topografi wilayah DAS Aesesa Flores pekerja yang menggantungkan hidupnya dari
ditandai dengan topografi bergelombang, sector pertanian. Hal menarik lain yang
dengan kemiringan rata-rata 18 persen. tercermin tentang kesejahteraan masyarakat
Tutupan lahan dalam bentuk vegetasi pohon yang sekaligus memperlihatkan kapasitas
sekarang hanya menyisakan sekitar 30 persen. terhadap bencana adalah melalui nilai Indeks
Oleh karena terjadi kekurangan tutupan pohon, Pembangunan Manusia (IPM) yakni sebagai
terjadi banjir dan pelarian lokal pada musim indeks komposit dari aspek pendidikan,
hujan, dan kekurangan air di musim kemarau. ekonomi dan kesehatan. Tampak bahwa terjadi
nilai IPM pada kedua wilayah Kabupaten ini
berkisar pada nilai 66 – 70. Kondisi
ketenagakerjaan, PDRB dan IPM
menunjukan bahwa tuntutan akan ketersediaan
lahan pertanian dan SDA lainnya sangat tinggi
yang kemudian akan berimplikasi dengan
daerah tangkapan air.
Dari aspek budaya dan agama sangat
memperlihatkan bahwa keinginan
Gbr. 1. Peta DAS Aesesa Flores. masyarakat yang berada pada DAS Aesesa
untuk melakukan upaya-upaya konservasi
3.2. Kondisi Sosial Ekonomi lingkungan juga tergolong tinggi. Sebagai
Sebagian besar (69%) komunitas yang contoh, beberapa program-program yang
tinggal di DAS Aesesa terletak di daerah berkaitan dengan konservasi lingkungan
pedesaan terpencil dengan akses yang terbatas seperti penanaman tanaman berumur panjang
terhadap layanan pemerintah. Mata cukup disambut baik yang ditandai dari

343
Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat
Universitas Riau
Prosiding Seminar Nasional Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Secara Terpadu 2017

keterlibatan masyarakat yang cukup tinggi. Institusi juga sering diartikan sebagai
Meski demikian, dari sumber yang sama juga “organisasi” yang melaksanakan rules of the
menunjukkan bahwa tingkat ketergantungan game, atau sebagai player of the game atau
masyarakat terhadap proyek-proyek tersebut “aturan main yang telah mengalami
masih sangat tinggi. Hal ini berarti bahwa keseimbangan” (equilibrium rules of the
inisiatif masyarakat secara mandiri untuk game). Kelembagaan pada dasarnya
melakukan upaya konservasi tanpa melibatkan merupakan perangkat formal dan non formal
unsur pemerintahan atau SKPD terkait masih yang mengatur perilaku (behavioural rules)
rendah. Contoh yang eksplisit dapat terlihat dan dapat memfasilitasi terjadinya koordinasi
masih tetap terjadinya pembakaran lahan dan atau mengatur hubungan-hubungan interaksi
hutan terutama mencapai puncak pada Bulan antar individu-individu. Masyarakat membuat
Oktober yaitu pada akhir musim kemarau dan pengaturan perilaku kepada individual
sebelum memasuki musim hujan (late fire bertujuan agar individual tidak mengancam/
burning). Inilah yang perlu untuk diperbaiki merusak keberlanjutan kehidupan masyarakat
oleh seluruh stakeholder’s yang ada di DAS keseluruhan (Yustika, 2012). Contoh dari
Aesesa untuk dapat meningkatkan secara kelembagaan dalam pengelolaan sumberdaya
berbarengan antara keinginan dan upaya alam adalah Forum Pengelolaan DAS
mandiri masyarakat untuk melakukan (FORDAS), Kelompok tani maupun
kegiatan-kegiatan konservasi lingkungan LSM/NGO.
(BPDAS BN, 2012). Dinamika dan Kapasitas kelembagaan
Pengelolaan DAS Aesesa Flores saat ini yang berada di DAS Aesesa Flores terutama
belum dilakukan secara terpadu, partisipatif terkait dengan kelembagaan adat yang masih
dan berkelanjutan, namun masih dalam skala eksis hingga saat ini. Kelembagaan adat ini
terbatas yang difasilitasi oleh pemerintah dan telah hadir sejak dahulu kala, bahkan sebelum
juga LSM yang melibatkan seluruh komponen hadirnya system pemerintahan modern seperti
masyarakat desa wilayah DAS serta masih ini. Hal ini berimplikasi pada kelembagaan
bersifat parsial, sesuai wilayah administrasi adat merupakan lembaga yang dipandang lebih
dan kepentingan masyarakat setempat dekat dengan masyarakat dan masyarakat lebih
(Pujiono E, Setyowati R, 2015). Tidak memiliki preferensi yang lebih utama dengan
optimalnya kondisi DAS antara lain kelembagaan adat. Selain itu, kelembagaan
disebabkan tidak adanya ketidakterpaduan pemerintahan formal yang paling kecil
antar sektor dan antar wilayah dalam sekalipun seperti kecamatan dan kelurahan
pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan yang berada di semua desa pada wilayah DAS
DAS tersebut. Dengan kata lain, masing- Aesesa Flores merupakan kelembagaan yang
masing berjalan sendiri-sendiri dengan tujuan turut membantu. Selain itu, Maan, et al (2004)
yang kadangkala bertolak belakang. menyatakan bahwa tradisi local (adat)
Meskipun pemerintah setempat menyadari merupakan kekuatan tersendiri bagi
pentingnya perhatian terhadap lingkungan masyarakat. Meski tradisi yang kuat dapat
yang diberikan kepada masyarakat di daerah dilihat sebagai penyebab kemiskinan, tetapi
hulu, dan pentingnya rehabilitasi daerah dapat dilihat dari perspektif sebagai potensi
tersebut dalam perlindungan daerah aliran untuk dapat keluar dari berbagai permasalahan
sungai, hanya sedikit tindakan konkrit yang masyarakat. Sebagai contoh, kebiasaan untuk
dilakukan oleh pemerintah untuk mengubah gotong-royong masih sangat kuat dalam
kondisi lingkungan yang telah terdegradasi. masyarakat dalam DAS Aesesa Flores.
Fokus utama pemerintah daerah di Aesesa Dimana sifat volunteer dan solidaritas dalam
adalah pada produksi beras untuk dan antar desa masih tinggi yang dapat
menghasilkan pendapatan, dimana sebagian menjadi sumberdaya yang penting. Di sisi lain,
besar intervensi hanya difokuskan pada daerah lembaga-lembaga NGO seperti beberapa
hilir. Hal inilah yang menyebabkan konsorsium LSM-LSM merupakan
ketimpangsan kesejahteraan antara masyarakat stakeholder’s yang cukup penting terkait
di hulu dengan di hilir. kebencanaan. Tetapi, keterpaduan (integrated)
dan kesalingterpautan (linkage) semua
3.3. Kondisi Kelembagaan pemangku kepentingan menjadi permasalahan
Kelembagaan atau institusi dapat diartikan besar yang menghadang dalam pengelolaan
sebagai “aturan main” (rules of the game). kebencanaan. Informasi dari aspek analisis
344
Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat
Universitas Riau
Prosiding Seminar Nasional Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Secara Terpadu 2017

stakeholders DAS Aesesa Flores terpadu yang telah di susun dan Forum DAS
menggambarkan bahwa tidak ada ketepaduan NTT tidak diterapkan dan berjalan maksimal.
dalam pengelolaan DAS Aesesa Flores. Hal ini kemudian berdampak pada
Kapasitas kelembagaan yang berada di melemahnya kinerja indicator kelembagaan
DAS Aesesa Flores terutama terkait dengan yakni KISS, keberdayaan lembaga local/adat,
kelembagaan adat yang masih eksis hingga kegiatan usaha bersama dan tingginya tingkat
saat ini. Kelembagaan adat ini telah hadir sejak ketergantungan masyarakat pada pemerintah.
dahulu kala, bahkan sebelum hadirnya system
pemerintahan modern seperti ini. Hal ini 3.4. Dinamika dan altenatif pengelolaan
berimplikasi pada kelembagaan adat Terpadu dan Berkelanjutan DAS Aesesa
merupakan lembaga yang dipandang lebih Flores.
dekat dengan masyarakat dan masyarakat lebih Dengan mempertimbangkan sasaran
memiliki preferensi yang lebih utama dengan pengelolaan DAS dan kondisi eksisting
kelembagaan adat. Selain itu, kelembagaan sumberdaya dan permasalahan DAS Aesesa
pemerintahan formal yang paling kecil Flores saat ini, maka diperlukan model
sekalipun seperti kecamatan dan kelurahan kebijakan pengelolaan berkelanjutan DAS
yang berada di semua desa pada wilayah DAS Aesesa Flores. Kebijakan dimaskud berupa
Aesesa merupakan kelembagaan yang turut perumusan program dan kegiatan pengelolaan
membantu. Selain itu, Maan, et al (2004) DAS Aesesa Flores yang mempertimbangkan
menyatakan bahwa tradisi local (adat) adanya pergeseran paradigma dalam
merupakan kekuatan tersendiri bagi pengelolaan DAS, kondisi daya dukung DAS,
masyarakat. Meski tradisi yang kuat dapat indeks keberlanjutan, dan kelembagaan serta
dilihat sebagai penyebab kemiskinan, tetapi prinsip-prinsip dasar pengelolaan DAS.
dapat dilihat dari perspektif sebagai potensi Dengan demikian dapat memberikan manfaat
untuk dapat keluar dari berbagai permasalahan bagi kesejahteraan masyarakat secara
masyarakat. Sebagai contoh, kebiasaan untuk berkelanjutan. Untuk menghasilkan sistem
gotong-royong masih sangat kuat dalam pengelolaan di DAS Aesesa Flores yang
masyarakat dalam DAS Aesesa. Dimana sifat berkelanjutan, maka aspek kondisi daya
volunteer dan solidaritas dalam dan antar desa dukung DAS, indeks keberlanjutan serta
masih tinggi yang dapat menjadi sumberdaya kerberadaan dan efektivitas kelembagaan
yang penting. Di sisi lain, lembaga-lembaga sangat diperlukan (gambar 2).
NGO seperti beberapa konsorsium LSM-LSM
merupakan stakeholder’s yang cukup penting
terkait kebencanaan. Tetapi, keterpaduan
(integrated) dan kesalingterpautan (linkage)
semua pemangku kepentingan menjadi
permasalahan besar yang menghadang dalam
pengelolaan kebencanaan. Informasi dari
aspek analisis stakeholders DAS Aesesa Flores
menggambarkan bahwa tidak ada ketepaduan
dalam pengelolaan DAS Aesesa Flores.
Terdapat beberapa peraturan dan dokumen
perencanaan yang dijadikan sebagai pedoman
pengelolaan DAS Aesesa Flores, sperti PP No.
37 Tahun 2012 Tentang Pengelolaan Daerah
Aliran Sungai, Perda Propinsi NTT No. 5
Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Daerah
Aliran Sungai Terpadu dan Rencana
Pengelolaan DAS DAS Aesesa Terpadu Tahun
2012. Disamping itu terdapat pula dokumen
perencanaan pembangunan daerah dan RTRW
dari Kabupaten Ngada dan Kabupaten
Nagekeo yang juga terkait dengan pengelolaan Gbr 2. Tahapan sistem pengelolaan di DAS
DAS Aesesa Flores. Faktanya kebijakan Aesesa Flores yang berkelanjutan
pengelolaan DAS berkelanjutan, RPDAS
345
Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat
Universitas Riau
Prosiding Seminar Nasional Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Secara Terpadu 2017

Salah satu permasalahan kependudukan di pestisida organik; b) mengembangkan


DAS Aesesa adalah tekanan penduduk tanaman tahunan dan hortikultura; c)
terhadap sumber daya alam. Makin besar pemanfaatan pekarangan rumah dengan
jumlah penduduk, makin besar pula kebutuhan tanaman sayuran; d) usaha ternak sapi-
akan sumber daya sehingga tekanan terhadap penggemukan dan pembiakan.
sumber daya alam juga meningkat. Mayoritas 2. Mengembangkan usaha ekonomi,
tingkat pendidikan masyarakat di DAS Aesesa melalui: a) pembentukan koperasi kredit /
adalah pada tingkat Sekolah Dasar (sekitar Pusat Layanan untuk Kaum Miskin
68% dari masyarakat di DAS Aesesa). (UBSPs) dengan program pelatihan dan
Kondisi ini berakibat pada lemahnya atau bantuan pembukuan, administrasi dan
lambatnya adopsi teknologi dan pengetahuan kelembagaan; b) industri rumah tangga
dalam pengelolaan DAS. dengan jenis produk hasil olahan.
Beberapa rencana strategi yang terkait 3. Penguatan kelembagaan kelompok tani,
dengan sumber daya air adalah adanya upaya Pusat Layanan untuk masyarakat miskin
konservasi dan rehabilitasi mata air, (UBSPs), dengan pelatihan dan
khususnya di daerah hulu (dilaksanakan oleh pengembangan manajemen organisasi,
Kementerian Kehutanan dan Dinas Kehutanan moneter, advokasi
setempat) dan optimalisasi pemanfaatan 4. Advokasi kebijakan (pengembangan
sumber daya air (Kementerian PU, kebijakan pemerintah dan pengendalian
Kementerian Pertanian). BMKG Provinsi praktek, memfasilitasi pembentukan
NTT, selaku stakeholder pemerintah yang kebijakan daerah terkait pengelolaan
berhubungan dengan iklim dan cuaca, telah DAS)
menganalisis data iklim dan cuaca serta 5. Memfasilitasi pembelajaran partisipatif
memberikan informasi tentang perkiraan dalam bidang land tenure, GIS,
datangnya musim hujan dan musim kemarau manajemen kebakaran
untuk mengantisipasi bencana banjir, tanah Beberapa badan usaha yang bergerak
longsor dan kekeringan. Balai Penelitian dalam usaha yang terkait sumber daya air juga
Teknologi Pertanian (BPTP) Pertanian NTT sudah dilibatkan dalam upaya kelestarian
bekerjasama dengan Universitas Nusa sumber daya air. Perusahaan Daerah Air
Cendana Kupang telah melakukan penelitian Minum (PDAM) Bajawa (Kabupaten Ngada)
tentang varietas tanaman yang tahan dan Mbay (Kabupaten Nagekeo) yang
kekeringan, sebagai antisipasi kemarau merupakan badan usaha milik daerah yang
panjang dan minimnya curah hujan di NTT. memberikan jasa penyediaan air bersih di
Selain pemerintah, beberapa lembaga perkotaan memiliki program pelestarian
swadaya masyarakat (LSM) juga berkontribusi sumber air baku demi menjamin ketersediaan
dalam upaya penanganan dampak variabilitas air bagi masyarakat. Perusahaan PT Kharisma
iklim pada sektor sumber daya air. Beberapa di Bajawa, produsen air mineral kemasan,
LSM di wilayah DAS Aesesa yang bekerjasama dengan BLHD dan Dinas
teridentifikasi memiliki program terkait Kehutanan juga terlibat dalam kegiatan
konservasi dan optimalisasi sumber daya air konservasi dan optimalisasi pemanfaatan
adalah Plan International dan Yayasan Mitra sumber mata air.
Tani Mandiri (YMTM). Plan International Dapat dinyatakan bahwa para pemangku
memiliki program penyediaan sarana dan kepentingan di sekitar DAS Aesesa sudah
prasarana air bersih, sedangkan YMTM melakukan beberapa upaya untuk
dengan program konservasi mata air (Maan meminimalisir terjadinya bencana/cuaca
dan Nai, 2007). Untuk mengatasi ekstrem dan menanggulangi kekritisan sumber
permasalahan pengelolaan DAS, YMTM telah daya air sebagai dampak dari variabilitas
mengembangkan program sejak tahun 1997 iklim. BP DAS Benain Noelmina tahun 2011
dengan menggunakan pendekatan program melakukan monitoring dan evaluasi sampai
terintegrasi, antara lain: sejauh mana tingkat koordinasi dan sinergitas
1. Mengembangkan sistem pertanian lembaga-lembaga terkait. Hasilnya
berkelanjutan melalui: a) pengembangan menyatakan bahwa tingkat konflik antar
konservasi lahan - menerapkan pupuk lembaga pengelola DAS Aesesa tergolong
cair, menambahkan zat organik ke dalam sedang. Persoalan yang masih dijumpai adalah
tanah, menggunakan kompos dan belum adanya keterpaduan kegiatan, terjadi
346
Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat
Universitas Riau
Prosiding Seminar Nasional Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Secara Terpadu 2017

overlapping program dan pendekatan pemasok air tidak lagi berfungsi optimal,
keproyekan dalam pelaksanaan program. terjadi kelebihan air pada musim penghujan
Selain itu dasar pelaksanaan proyek yang dan kekurangan air pada musim kemarau
menggunakan unit wilayah administrasi (Alikodra, 2009) sebagian besar air menjadi
terkadang menjadi permasalahan tersendiri aliran permukaan (run-off). Hal ini
pada pengelolaan DAS Aesesa yang terletak di menyebabkan kerusakan dan tidak
dua wilayah administrasi (kabupaten). berfungsinya DAS sebagai sarana menjaga
Permasalahan-permasalahan diatas diharapkan keseimbangan ketersediaan dan penggunaan
bisa teratasi dengan terbentuknya Forum DAS air. Di musim kemarau debit air berkurang,
NTT, menyusun dan pelaksanaan Rencana tetapi pada musim penghujan aliran air tidak
Pengelolaan DAS (RPDAS) Terpadu pada terkendali dan menimbulkan petaka yang
beberapa DAS Prioritas di NTT, termasuk merugikan manusia secara ekonomi dan sosial
DAS Aesesa Flores. Forum DAS NTT, yang (Bunasor, 2009).
merupakan forum gabungan antara Untuk menangani permasalahan perlu
pemerintah, LSM dan masyarakat, diharapkan adanya perencanaan yang baik dalam
bisa mengakomodir semua kepentingan (lintas pengelolaan DAS Aesesa Flores melalui
sektoral). Sementara RP DAS Terpadu yang beberapa upaya :
disusun pada tahun 2012, yang didalamnya 1. Penyusunan rencana secara terpadu dan
berisi tentang pembagian peran para menyeluruh.
pemangku kepentingan dalam mengelola DAS 2. Menerapkan perencanaan partisipatif
dan sumber daya air diharapkan bisa dalam setiap kegiatan.
memadukan kegiatan dan meminimalisir 3. Meningkatkan kapasitas dan kapabilitas
program terkait overlapping pengelolaan kelembagaan, baik kelembagaan
sumber daya air. pemerintah maupun masyarakat termasuk
Namun demikian, terbentuk Forum DAS peningkatan kualitas sumberdaya
NTT yang beranggotakan berbagai stakeholder manusianya.
pemerintah, swasta dan lembaga swadaya 4. Menciptakan peraturan perundangan dan
masyarakat masih menghadapi kendala- pranata sosial yang berkeadilan sehingga
kendala yang menghambat keberhasilan mampu menciptakan insentif bagi
program. Menurut Maan dan Nai (2007), masyarakat untuk terlibat dalam program-
teridentifikasi empat permasalahan dan program pengelolaan DAS berkelanjutan.
hambatan yang mempengaruhi program 5. Meningkatkan akses masyarakat terhadap
pengeloaan DAS berbasis kolaborasi di NTT, teknologi, permodalan dan pasar
yaitu: berkaitan dengan pemanfaatan
1. Masih adanya ego sektoral, dan sumberdaya DAS dalam rangka
terbatasnya kapasitas komite forum yang meningkatkan keberdayaan masyarakat
menyebabkan lemahnya posisi tawar untuk berpartisipasi, melalui penyuluhan,
2. Petani yang merupakan motivator pendampingan, perkreditan dan informasi
program memiliki kapasitas terbatas pasar berbasis produk.
untuk mempengaruhi komunitas lain 6. Membangun kerjasama (networking)
(pengaruhnya terbatas pada kelompok dan dengan berbagai pihak yang
kelompok antar kelompok di dalam desa berkepentingan, organisasi pemerintah
mereka sendiri). maupun nonpemerintah (Masyarakat,
3. Akses masyarakat terhadap program LSM, Perguruan Tinggi, Lembaga
pemberdayaan masih terbatas Penelitian).
4. Realisasi program yang telah
direncanakan sangat tergantung dari pihak
eksternal, karena kurangnya dana 4. KESIMPULAN
masyarakat dan pemerintah.
Pengelolaan DAS Aesesa Flores
Konflik kepentingan dan pengelolaan
sampai saat ini masih dihadapkan pada
sumberdaya alam yang tidak bertanggung
jawab telah mengakibatkan kerusakan DAS. sejumlah permasalahan, diantaranya: 1)
Kondisi DAS semakin kritis, sehingga kekeringan dan banjir; 2) erosi dan
kemampuannya sebagai penyimpan dan sedimen; 3) perngelolaan tidak terpadu dan
347
Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat
Universitas Riau
Prosiding Seminar Nasional Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Secara Terpadu 2017

berkelanjutan; 4) kapasitas dan koordinasi Lapmas Ngada, dan Veco Indonesia.


pemerintah lemah; 5) kesadaran dan Bajawa.
partisipasi masyarakat lemah; 6) dana [7] Nugroho. S.P., 2003, Pergeseran Kebijakan
pemerintah terbatas; 7) institusi belum Dan Paradigma Baru Dalam Pengelolaan
mantap; 8) lemah penegakan aturan serta Daerah Aliran Sungai Di Indonesia.
J.Tek.Ling. P3TL-BPPT.4(3): 136-142.
tumpang tindih peraturan; 9) ego dan [8] Ekawati, S., Syahrul Donie, S. Andy
konflik antar pihak, sketor/kegiatan; 10) Cahyono dan Nana Haryanti. 2005.
hulu-hilir belum serasi pengelolaannya; Kelembagaan rehabilitasi lahan dan
dan 11) pengelolaan SDA belum searah konservasi tanah pada tingkat mikro
konservasi dan berkelanjutan. DAS, kabupaten dan propinsi di era
Dampak dari sejumlah permsalahan ini, otonomi daerah. Jurnal Penelitian Sosial
menghasilkan kondisi social ekonomi dan & Ekonomi Kehutanan. Vol.2, No.2,
kelembagaan yang lemah, tingkat [9] Suwarno. J, H. Kartodihardjo, B.
kesejahteraan masyarakat yang rendah. Pramudya, S. Rachman., 2011, Policy
Sehingga diperlukan upaya: 1) peningkatan Development of Sustainable Watershed
kapasitas social ekonomi dan kelembagaan Management of Upper Ciliwung, Bogor
pengelolaan DAS; dan 2) peningkatan daya Regency. Jurnal Analisis Kebijakan
dukung dan daya tampung DAS. Kedua upaya Kehutanan Vol. 8 No. 2.
ini dapat diwujudkan melalui kebijakan [10] Peraturan Menteri Kehutanan RI Nomor
pengelolaan DAS Aesesa Flores yang terpadu P.61/Menhut-II/2014 tentang Monitoring
dan berkelanjutan. dan Evaluasi Pengelolaan Daerah Aliran
Sungai.
[11] BPDAS Benain Noelmina., 2013,
5. REFERENSI Rencana pengelolaan DAS terpadu DAS
[1] Kartodihardjo H, Murtilaksono K dan Aesesa provinsi NTT. Kupang BPDAS
Sudadi U., 2004, Institusi Pengelolaan Benain Noelmina.
Daerah Aliran Sungai: Konsep dan [12] Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai
Pengantar Analisis Kebijakan. Fakultas Benain Noemina., 2012, Laporan Akhir
Kehutanan IPB. Bogor. Karakteristik DAS Aesesa. Kupang.
[2] Alikodra H., 2009, Krisis, Konflik dan BPDAS Benain Noelmina.
Degradasi Pengelolaan SDA dan [13] Yustika AE., 2013, Ekonomi
Lingkungan. Makalah disampaikan pada Kelembagaan: Paradigma, Teori, dan
Lokakarya Penyusunan RPJM Kebijakan. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Kementerian Lingkungan Hidup Tahun [14] Maan. J., dan P. Nai, 2007, Pengalaman
2010-2014. Bogor. pendampingan masyarakat di sub das
[3] Pujiono. E., dan R. Setyowati., 2015, Aemau-das Aesesa, Ngada Flores.
Vulnerability Assessment of Water Integrated rural development in East Nusa
Resources to Climate Variability in Tenggara, Indonesia. Proceedings of a
Aesesa Watershed, Flores Island, Nusa workshop to identify sustainable rural
Tenggara Timur. Jurnal Penelitian Sosial livelihoods, held in Kupang, Indonesia,
Ekonomi Kehutanan dan Vol. 12 No. 3. 5–7 April 2006. ACIAR Proceedings No.
[4] Maan. J, B. Polomaing, P. Suardika, P. 126.
Asmoro, Mae-Ann M., P. Joicey., 2017, [15] Bunasor S.. 2009, Kebijakan Nasional
Collaborative Community-Based Pengelolaan Sumberdaya Alam dan
Management of the Aesesa Watershed, Lingkungan di Daerah Aliran Sungai.
Indonesia. Makalah Pembahas pada Lokakarya
[5] Badan Pusat Statistik Kabupaten Ngada. Penyusunan RPJM Kementerian
2015, Ngada Dalam Angka 2014, Bajawa. Lingkungan Hidup Tahun 2010-2014.
BPS Kabupaten Ngada. Bogor.
[6] Koli Y., 2010, Mengubah Cagar Alam
Watu Ata, Sebuah Pengalaman Advokasi
Kebijakan Publik. Perbit: Sloka Institute,

348
Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat
Universitas Riau

Anda mungkin juga menyukai