Anda di halaman 1dari 35

LAPORAN DISKUSI KELOMPOK KECIL

BLOK 12 MODUL 1
OBAT BAHAN ALAM

KELOMPOK 2
DAFFAA FAIZAFAHRI ALLAM NIM. 1810015073
ROCHIMAH THUL ULYAH NIM. 1910016003
MUHAMMAD DANIEL NIM. 1910016004
TITIS MUKTI BIDADARI NIM. 1910016006
ANNIDA SABRINA NIM. 1910016011
IYNAAS YUMNA SALSABILA NIM. 1910016015
DEWA MADE RAMA NOVA NIM. 1910016016
ALIYYA HERWIDIA ZAMAN NIM. 1910016022
FITRIA RAHMAH NIM. 1910016029
RUDI SAPUTRA NIM. 1910016031
NABILAH AGIL SALSABILA SANDUAN NIM. 1910016090

Tutor :
Dra. Khemasili Kosala, Apt, SP. FRS

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MULAWARMAN
SAMARINDA
2021
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas
limpahan rahmat serta hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan laporan yang
berjudul “Obat Bahan Alam” tepat pada waktunya. Laporan ini kami susun dari
berbagai sumber ilmiah sebagai hasil dari proses tutorial/diskusi kelompok kecil
(DKK) kami.
Kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu
sehingga terselesaikannya laporan ini, antara lain :
1. Dra. Khemasili Kosala, Apt., Sp. FRS selaku tutor kelompok 2 yang
telah membimbing kami selama proses tutorial/diskusi kelompok kecil
(DKK) Blok 12.
2. Dr. dr. Sjarif Ismail, M. Kes selaku dosen penanggung jawab kuliah
Blok 12 Modul 1 yang telah membimbing kami.
3. Teman-teman kelompok 2 yang telah menyumbangkan pemikiran dan
tenaganya sehingga proses tutorial/diskusi kelompok kecil (DKK) 1
dan 2 dapat berjalan dengan baik, serta dapat menyelesaikan laporan
hasil tutorial/diskusi kelompok kecil (DKK).
4. Teman-teman mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas
Mulawarman angkatan 2019 dan pihak-pihak lain yang tidak dapat
kami sebutkan satu per satu.
Kami menyadari bahwa kemampuan kami dalam menyusun laporan ini
sangat terbatas. Oleh karena itu, kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang
bersifat membangun demi tercapainya kesempurnaan dari isi laporan hasil diskusi
kelompok kecil (DKK) ini.

Samarinda, 28 April 2021

Kelompok 2

i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ............................................................................................ i
DAFTAR ISI .......................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 3
1.1 Latar Belakang .......................................................................................... 3
1.2 Tujuan ....................................................................................................... 3
1.3 Manfaat ..................................................................................................... 3
BAB II ISI .............................................................................................................. 4
2.1 Skenario .................................................................................................... 4
2.2 Identifikasi Kata Sulit/Klarifikasi Istilah .................................................. 5
2.3 Identifikasi Masalah .................................................................................. 5
2.4 Analisis Masalah ....................................................................................... 6
2.5 Strukturisasi Konsep ................................................................................. 9
2.6 Learning Objectives .................................................................................. 9
2.7 Belajar Mandiri ....................................................................................... 10
2.8 Sintesis .................................................................................................... 10
2.8.1 LO 1 Uji Praklinik dan Klinik Dalam Pemenuhan Suatu
Persyaratan Izin Edar BPOM .................................................................. 10
2.8.2 LO 2 Syarat Izin Edar Obat Tradisional dan Alur Pengajuan BPOM
18
2.8.3 LO 3 Label atau Kemasan Primer Suatu Obat Tradisional Sesuai
dengan Persyaratan BPOM ..................................................................... 29
BAB III PENUTUP ............................................................................................. 33
3.1 Kesimpulan ............................................................................................. 33
3.2 Saran ....................................................................................................... 33
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 34

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Obat merupakan unsur yang sangat penting dalam upaya penyelenggaraan
kesehatan. Sebagian besar intervensi medik menggunakan obat, oleh karena itu
diperlukan obat tersedia pada saat diperlukan dalam jenis dan jumlah yang cukup,
berkhasiat nyata dan berkualitas baik.
Penggunaan obat tradisional sebagai alternatif pengobatan telah lama
dilakukan jauh sebelum ada pelayanan kesehatan formal dengan menggunakan
obat-obatan moderen. Namun, negara Indonesia yang terdiri dari banyak pulau
yang didiami oleh berbagai suku memungkinkan terjadinya perbedaan dalam
pemanfaatan tanaman sebagai obat tradisional. Hal ini disebabkan setiap suku
memiliki pengalaman empiris dan kebudayaan yang khas sesuai dengan
daerahnya masing-masing. Kehidupan nenek moyang yang menyatu dengan
alam menumbuhkan kesadaran bahwa alam adalah penyedia obat bagi dirinya
dan masyarakat. Mulai dari sinilah berkembang pengertian obat tradisional.
1.2 Tujuan
Tujuan umum kami adalah agar laporan ini berguna dalam pembelajaran
dan sebagai referensi bagi mahasiswa pada khususnya dan bagi pembaca pada
umumnya. Selain itu, tujuan khususnya adalah agar kami dapat mengerti
mengenai Obat Bahan Alam
1.3 Manfaat
Dengan mempelajari tentang Obat Bahan Alam, diharapkan kami dapat
mengetahui tentang berbagai tipe obat dan jenis obat.

3
BAB II
ISI

2.1 Skenario
Cerdas Memilih Obat Tradisional

Pada suatu acara reuni kecil teman SMA terjadi pembicaraan antara Ayu,
mahasiswa kedokteran Universitas Mulawarman dengan teman SMA bernama
Dara.
Dara:
“Ayu, ibu saya menderita asam urat darah nilainya selalu tinggi bosan konsumsi
allopurinol terus menerus dan sering kambuh, minggu lalu berhenti minum obat
dan kemarin kambuh lagi habis makan banyak seafood pas acara keluarga,
direkomendasikan temannya minum herbal Merek Jempol” [sambil memberikan
brosur yang dibawa kepada Ayu] “banyak testimoni puluhan orang asam urat
sembuh tapi ragu masa asam urat bisa sembuh hanya konsumsi herbal. Komposisi
tiap herbal ada uji toksisitas dan praklinik mengurangi nyeri dan komposisi ramuan
telah digunakan sebagai ramuan saintifikasi jamu menurunkan asam urat dan ada
uji klinik secara testimoni, pendapat Ayu bagaimana?”
Ayu:
“Setelah mencermati brosur yang ada kemasan produk, saya meragukan produk
ini, tidak mudah mendapatkan logo fitofarmaka yang lolos uji klinis, kita harus
cerdas memilih obat tradisional, nanti saya coba telusuri, sekarang mudah
pengecekan di BPOM dan mencari sumber informasi ada dimana saja, saya pinjam
brosurnya untuk dipelajari lebih lanjut.”

4
2.2 Identifikasi Kata Sulit/Klarifikasi Istilah
1. Uji Toksisitas : suatu tes untuk mengetahui bahaya, efek toksik
pada manusia, mutagenik. Uji untuk mendeteksi efek toksis pada suatu
sistem biologi dan memperoleh data dosis-respon. Uji yang masuk ke
dalam uji pra-klinik, diujikan pada hewan coba atau zat biologis tertentu.
2. Fitofarmaka : obat yang bahan berasal dari alam serta khasiatnya
sudah teruji secara pra-klinik dan klinik sehingga setara dengan obat
modern, memiliki logo lingkaran dengan garis tepi hijau. Bahan bakunya
sudah terstandardisasi dan memerlukan waktu yang lama serta biaya yang
besar.
3. Allupurinol : obat yang digunakan untuk menurunkan kadar asam
urat dalam darah, menghambat zat setinoksidase, mencegah kadar asam
urat yang tinggi. Termasuk obat kategori C (pernah diujikan pada hewan
namun belum pernah diujikan pada manusia) dan efeknya buruk pada
janin) disediakan dalam bentuk tablet.
4. Uji Pra-klinik : suatu tes atau uji yang dilakukan pada hewan coba
atau bahan biologi lainnya (kultur jaringan) untuk mendapatkan khasiat
obat, toksisitas pada suatu obat. Dibagi menjadi 2, uji toksisitas dan
aktivitas.
5. Temuan Saintifikasi : pembuktian ilmiah berbasis pelayanan kesehatan,
obat diberikan ke pasien dan dilihat apakah ada manfaatnya.
6. Uji Klinik : pengujian khasiat obat baru pada manusia,
memastikan efektivitas, keamanan dan gambaran efek samping. Terdiri
dari 4 fase yang tiap fasenya makin bertambah jumlah pasien uji coba dan
makin panjang jangka waktunya.
2.3 Identifikasi Masalah
1. Apa pengertian dari obat tradisional?
2. Apakah obat herbal memiliki efek samping terhadap pemakainya?
3. Apakah ada efek samping dari Allupurinol?
4. Apakah perlu obat herbal atau obat alam memiliki garansi?
5. Bagaimana kita sebagai mahasiswa kesehatan menilai suatu kemasan
produk obat terpercaya dan aman untuk digunakan?

5
6. Mengapa tidak mudah mendapatkan logo Fitofarmaka yang lolos uji klinis
pada suatu kemasan produk obat?
7. Apakah komposisi dari obat herbal hanya menyebutkan bahan-bahan alam
seperti pada skenario?
8. Dilihat dari komposisi bahan alam yang terdapat di skenario, apakah
bahannya sudah tepat menangani asam urat?
2.4 Analisis Masalah
1. Obat-obatan yang diolah secara tradisional, turun-temurun, resep dari nenek
moyang dan biasanya berdasarkan adat setempat. Pemakaiannya
menggunakan bahan-bahan alami (tumbuhan, hewan, mineral, atau sediaan
sari (galenik). Jenis dari obat tradisional : (1) jamu, diolah secara tradisional
dalam bentuk serbuk, pil, dan lainnya (2) obat herbal terstandar, contohnya
Mastin (3) fitofarmaka, berasal dari bahasa Yunani fito = tanaman, farmaka
= kesehatan. Contohnya stimuno forte. Ketiga golongan ini mempunyai
simbol yang khas (lingkaran hijau) kemudian bagian dalamnya ada bentuk
daun (jamu), gambaran seperti bintang tiga biji (OHT), salju (FF). Khusus
jamu ada beberapa kriteria sehingga bisa disebut jamu : aman, terbukti
secara empiris (pengalaman), memenuhi persyaratan mutu yang berlaku.
OHT pembuktiannya secara ilmiah, dengan uji pre-klinik. Fitofarmaka
pembuktiannya dengan uji klinik.
2. Segala sesuatu yang dimasukkan ke dalam tubuh akan menimbulkan efek
samping apabila dikonsumsi secara berlebihan. Perbandingan dengan obat
kimia, obat herbal efek sampingnya sedikit berbeda tetapi tetap memiliki
efek samping apabila dikonsumsi secara terus menerus. Banyak masyarakat
menganggap obat tradisional lebih aman dibandingkan obat yang
diproduksi secara kimiawi padahal semua jenis obat memiliki efek samping
apabila dikonsumsi sembarangan.
3. Ada. Allupurinol adalah obat yang digunakan secara jangka panjang (2-3
bulan) kemudian dikontrol ke dokter. Apabila digunakan berbulan-bulan
dan tidak mengikuti anjuran dokter bisa memberikan efek samping ke
ginjal.

6
Efek samping umum: kemerahan, mual, ngantuk, sakit perut, diare, ruam
disertai gatal-gatal pada kulit, pusing, sakit kepala.
Efek samping lanjutan: komplikasi ke organ ginjal.
Efek samping bisa dijadikan indikasi bahwa obat bereaksi terhadap tubuh
kita, tetapi ada juga efek samping yang terjadi karena kelebihan dosis atau
salah dalam mengonsumsinya. Apabila allupurinol diberikan kepada pasien
yang ginjalnya menurun maka bisa menimbulkan efek hipersensitivitas,
memengaruhi produksi darah, dan komplikasi lain yang berhubungan
dengan hematologi.
4. Terkait obat tradisional dari BPOM sudah membuat aturan, seharusnya
tidak ada garansi. Aturan BPOM seperti nomor registrasi, logo, dan lainnya.
Apabila ada klaim garansi biasanya tidak diloloskan oleh BPOM.
5. Dilihat dari kemasan, label obat (dilihat apakah ada kata-kata manjur),
kadaluwarsa, dan cek izin edar.
Kemasan : keadaan baik/bersih, tidak bocor, tidak menggelembung
Label obat : nama dan alamat produsen, berat bersih/isi, komposisi, kode
produksi
Kedaluwasa
Cek Izin Edar : biasanya berbentuk POM TR/TI/TL/HT/FF ditambah 9 digit
angka.
6. Fitofarmaka merupakan level tertinggi dan kualitas teratas dari obat
tradisional, susah didapatkan karena harus melalui pengujian ilmiah yang
panjang. Fitofarmaka adalah obat tradisional yang setara dengan obat
standar lainnya, memiliki medical evidence sehingga bisa diresepkan oleh
dokter.
Syarat obat tradisional menjadi fitofarmaka:
i. Memenuhi persyaratan mutu yang berlaku
ii. Bahan baku sudah terstandardisasi
iii. Sudah melalui uji pra-klinik dan uji klinik
Uji klinis harus memenuhi dokumen seperti dokumen informed consent,
pengajuan permohonan, membayar penerimaan negara bukan pajak,

7
persetujuan, memasukkan dokumen ke BPOM. Selengkapnya di Pedoman
Cara Pembuatan Obat Tradisional yang Baik (CPOTB).
Syarat obat menjadi jamu adalah terbukti secara empiris (3 generasi) - OHT
(mencapai uji pre-klinik). Jamu ke OHT bisa memakan waktu 1 bulan - 1
tahun. Dari OHT ke FF bisa mencapai waktu 3 tahun - 20 tahun.
Uji Klinik memiliki 4 fase:
i. Uji Klinik Fase I : diuji ke relawan yang sehat
ii. Uji Klinik Fase II : diuji ke sekolompok kecil penderita
iii. Uji Klinik III : ada penggunaan plasebo serta skalanya semakin
besar
iv. Uji Klinik IV : penyebaran atau distribusi obat dan diamati
bagaimana khasiatnya.
7. Untuk jamu, biasanya ditulis bahan alam dengan kadarnya (persen atau
miligram) sedangkan untuk bahan-bahan lainnya hanya disebut tanpa
mencantumkan dosisnya.
Obat herbal adalah obat yang bahan/ramuannya berasal dari hewan, mineral,
tanaman. Obat herbal tradisional diturunkan secara turun-temurun. Jadi
didalam kemasan obat herbal hanya mencantumkan bahan alam (tidak boleh
ada obat sintetik di dalamnya) kemudian disebutkan dari spesies apa,
penyebutannya bisa dalam nama lokal dan dalam kurung bahasa latinnya
dan jumlah berat. Sedangkan di skenario, hanya menyebutkan nama lokal
saja bukan bahasa latin.
8. Kayu secang sudah ada penelitiannya secara uji in vitro bisa menghambat
enzim satinoksidase, kayu secang kaya akan antioksidan dan apabila direbus
dalam suhu tertentu bisa mendapatkan khasiatnya.
Daun sembung sudah ada penelitiannya terjadi penurunan asam urat yang
diujikan pada tikus.
Daun kepel
Kunyit, meniran, dan temulawak bukan obat utama, hanya obat pendukung
(efeknya untuk membugarkan tubuh dan lainnya). Kunyit diambil agen
inflamasinya sehingga agar tidak ada pengeroposan dari kartilago,

8
kandungan cuculuminoid bisa menghambat pengeroposan tersebut. Obat
tradisional ada obat utama (tujuan pengobatan) dan obat pendukung.
2.5 Strukturisasi Konsep

2.6 Learning Objectives


1. Mahasiswa mampu menjelaskan tahapan uji praklinik dan klinik dalam
pemenuhan suatu persyaratan izin edar BPOM.
2. Mahasiswa mampu menjelaskan syarat izin edar obat tradisional dan alur
pengajuan BPOM.
a. Sistem Registrasi Obat Tradisional.
b. Bahan yang dilarang dalam Obat Tradisional.
3. Mahasiswa mampu menjelaskan label atau kemasan primer suatu obat
tradisional sesuai dengan persyaratan BPOM.
a. Cara penyimpanan
b. Nomor registrasi
c. Penamaan merk
d. Komposisi produk

9
e. Produsen
f. Logo
g. Khasiat
h. Peringatan
i. Aturan kemasan dan periklanan
2.7 Belajar Mandiri
Dalam tahap belajar mandiri ini, setiap individu kelompok melakukan
kegiatan belajar baik mandiri maupun kelompok dengan mempelajai semua hal
yang berkaitan dengan learning objective dari berbagai sumber referensi yang bisa
didapat.
2.8 Sintesis
2.8.1 LO 1 Uji Praklinik dan Klinik Dalam Pemenuhan Suatu
Persyaratan Izin Edar BPOM
A. Uji Praklinik
Uji praklinis dan uji klinis merupakan tahapan yang penting
dalam penemuan dan pengembangan obat. Uji praklinik merupakan
persyaratan uji untuk kandidat obat, dari uji ini diperoleh informasi
tentang efek farmakologi, profil farmakokinetik dan toksisitas dari
kandidat obat. Pada mulanya yang dilakukan pada uji praklinik adalah
pengujian ikatan obat pada reseptor dengan kultur selterisolasi atau
organterisolasi (invitro), selanjutnya pengujian praklinis dilakukan
pada hewan utuh (invivo).
Hewan yang biasa digunakan adalah hewan dengan galur
tertentu dari mencit, tikus, kelinci, marmot, hamster,anjing, hewan-
hewan ini sangat berjasa bagi pengembangan obat. Hanya dengan
menggunakan hewa nutuh dapat diketahui apakah obat menimbulkan
efek toksik pada dosis pengobatan atau obat tersebut aman digunakan.
Untuk itu pengujian secara invitro dilakukan untuk
menentukan khasiat obat Pada pengujian invitro kita dapat
memprediksi afinitas dan selektifitas dari zat yang dimaksudkan untuk
bekerja dengan reseptor target, dapat juga terlihat mekanisme aksi dari

10
senyawa tersebut. Selanjutnya pengujian Invivo dilakukan
menggunakan hewan uji.
Tujuan utama dari eksperimen invivo adalah untuk
mendapatkan pengetahuan tentang sistem biologis dilihat dari perilaku
hewan uji. Uji toksisitas juga dapat terlihat pada saat pengujian
menggunakan hewan uji, untuk melihat adanya gambaran reaksi
biokimia, fisiologik dan patologik pada manusia terhadap suatu sediaan
uji.
Hasil uji toksisitas tidak dapat digunakan secara mutlak
untuk membuktikan keamanan suatu bahan/sediaan pada manusia,
namun dapat memberikan petunjuk adanya toksisitas relative dan
membantu identifikasi efektoksik bila terjadi pemaparan pada manusia.
Faktor-faktor yang menentukan hasil uji toksisitas secara invivo dapat
dipercaya adalah pemilihan spesies hewan uji, galur dan jumlah hewan,
cara pemberian sediaan uji, pemilihan dosis uji, efek samping sediaan
uji, teknik dan prosedur pengujian termasuk cara penanganan hewan
selama percobaan.
Setelah kandidat obat dinyatakan mempunyai kemanfaatan
dan aman pada hewan percobaan maka selanjutnya dilakukan uji klinik
(di uji pada manusia). Uji pada manusia harus di teliti dulu
kelayakannya oleh komite etik (BPOM, 2014).
B. Uji Klinik
Uji Klinik adalah kegiatan penelitian dengan
mengikutsertakan subjek manusia disertai adanya intervensi produk uji
untuk menemukan atau memastikan efek klinik, farmakologik dan/atau
farmakodinamik lainnya, dan/atau mengidentifikasi setiap reaksi yang
tidak diinginkan, dan/atau mempelajari absorbsi, distribusi,
metabolisme dan ekskresi dengan tujuan untuk memastikan keamanan
dan/atau efektivitas produk yang diteliti.
Dalam pelaksanaannya, menggunakan manusia sehat atau
sakit dalam eksperimen dibenarkan dalam ilmu kedokteran karena akan
bermanfaat bagi masyarakat banyak untuk memahami efek obat

11
tersebut sehingga dapat digunakan pada masyarakat luas dengan lebih
yakin tentang efektivitas dan keamanannya.
Berdasarkan tujuan, uji klinik obat dapat dibagi menjadi 4 fase yaitu:
1) Fase 1 meneliti keamanan serta toleransi pengobatan
2) Fase II menilai sistem atau dosis pengobatan yang paling efektif
3) Fase III melakukan evaluasi obat atau cara pengobatan baru
dibandingkan dengan pengobatan yang telah ada (pengobatan
standar). Fase ini merupakan fase yang banyak dilakukan dalam
Uji Klinik
4) Fase IV melakukan evaluasi obat baru yang telah banyak dipakai
dimasyarakat dalam jangka waktu yang relatif lama (minimal 5
tahun). Fase ini penting karena kemungkinan diperoleh efek
samping obat yang timbul setelah lebih banyak pemakai. Fase ini
disebut juga sebagai uji klinik paska pemasaran.
Pada dasarnya Uji Klinik fitofarmaka dan Uji Klinik obat
konvensional harus menerapkan prinsip Cara Uji Klinik Yang Baik
(CUKB) yang telah dijelaskan diatas, tidak ada perbedaan persyaratan
bagi kedua uji tersebut. Uji Klinik fitofarmaka dapat dilakukan pada:
1. Ramuan empiris
Ramuan empiris adalah ramuan bentuk tunggal ataupun
campuran berbasis kearifan lokal dan asli Indonesia yang telah
digunakan secara turun-temurun dan terdokumentasi dalam
pustaka ramuan empiris. Ramuan empiris dapat dibuktikan
melalui kajian etnobotani/etnomedisin oleh ahli antropologi dan
dituliskan dalam publikasi ilmiah. Ramuan empiris dapat juga
diperoleh melalui studi etnografi, survei masyarakat, observasi
dengan penerapan kaidah klinik terhadap praktik penyehat
tradisional (Hattra) terpilih atau kajian atas catatan pengobatan
Hattra, dan studi epidemiologi lainnya, misalnya Riset Tanaman
Obat dan Jamu (RISTOJA).
2. Ramuan non-empiris.

12
Ramuan non empiris adalah yang tidak terdokumentasi atau
bersifat verbal (dari mulut ke mulut/tersimpan pada diri
seseorang) atau ramuan dengan data hasil penelitian klinik
terbaru, menggunakan pendekatan kedokteran modern (evidence
based medicine). Ketentuan lain yang harus dipenuhi pada bahan
penyusun ramuan, cara pembuatan, bentuk sediaan, indikasi dan
cara penggunaan dan rasionalitas ramuan empiris, dapat dilihat
pada Buku Pedoman Ramuan Empiris.
Dengan mempertimbangkan karakteristik fitofarmaka
berbeda dengan obat konvensional dan Uji Klinik harus memenuhi
prinsip-prinsip CUKB, maka perlu memodifikasi Uji Klinik obat
konvensional untuk sediaan fitofarmaka. Hal yang mendasar, bahwa
kandungan dalam fitofarmaka tidak sebagai senyawa aktif tunggal
sehingga sulit dijelaskan mekanisme kerja dan profil farmakokinetik.
Oleh sebab itu protokol Uji Klinik fitofarmaka harus diajukan kepada
Badan POM untuk mendapatkan Clinical Trial Approval dan
dilaksanakan dengan Pengawasan Badan POM.
Pada prinsipnya tahapan Uji Klinik fitofarmaka sama dengan
Uji Klinik obat. Uji Klinik fitofarmaka yang berasal dari ramuan
empiris, dilakukan melalui Uji Pra klinik dan dilanjutkan langsung
dengan Uji Klinik fase II. Hal ini berdasarkan bukti empiris penggunaan
turun menurun di masyarakat yang dapat dianggap sebagai bukti bahwa
ramuan empiris aman digunakan. Sementara Uji Klinik fitofarmaka
ramuan non-empiris, dilakukan melalui Uji Klinik fase I, dan
dilanjutkan pada Uji Klinik fase II.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan, dalam Uji Klinik fitofarmaka
yaitu :
a. Interaksi antara fitofarmaka dan obat konvensional
b. Penerapan randomisasi, ketersamaran dan hal-hal yang
mempengaruhi.
c. Antisipasi hal-hal yang tidak diinginkan selama pengobatan
berjalan terkait dengan sifat dasar fitofarmaka.

13
d. Setiap desain Uji Klinik fitofarmaka akan berimplikasi pada
tingkatan pembuktian (level of evidence).
e. Informasi tentang sediaan fitofarmaka: cara penyiapan sediaan
baik dari simplisia atau ekstrak, posologi atau regimen
pengobatan yang digunakan harus dibuat tertulis dalam bentuk
brosur penelitian (investigator brochure).
f. Persiapan sediaan uji harus oleh apoteker independen, sesuai
prinsip cara pembuatan obat tradisional yang baik (CPOTB),
dengan prosedur operasional baku tertulis untuk menjamin mutu
tiap batch, termasuk dalam pengemasan, pelabelan dan
pengkodean produk yang diteliti.
g. Keamanan dan khasiat bahan uji sangat dipengaruhi oleh
kualitas bahan bakunya termasuk yang digunakan sebagai
sediaan Uji Klinik. Beberapa faktor yang mempengaruhi mutu
bahan baku, diklasifikasikan sebagai internal (genetik) dan
eksternal (lingkungan) antara lain metoda koleksi, budidaya,
panen, pasca panen, transportasi dan penyimpanan. Faktor-
faktor tersebut merupakan parameter fisika dan kimia,
sebagaimana yang tercantum pada Farmakope Herbal Indonesia
(FHI).

Gambar. Uji klinik dari OHT menuju fitofarmaka


• Uji Klinik fase I

14
Pada fase ini pengujian suatu obat baru untuk pertama
kalinya pada manusia. Hal yang diteliti adalah keamanan obat pada
sukarelawan sehat. Tujuan pada fase ini adalah menentukan besarnya
dosis tunggal yang dapat diterima, artinya tidak menimbulkan efek
samping serius. Dosis oral yang diberikan pertama kali pada manusia
biasanya 1/50 x No Observed Adverse Effect Level (NOAEL) dari
hewan coba yang paling sensitif terhadap produk ujinya. Penentuan
dosis untuk Uji Klinik pada fase ini sumber datanya dirujuk dari brosur
penelitian. Berdasarkan dari data yang diperoleh pada hewan, dosis
berikutnya ditingkatkan bertahap atau dengan kelipatan dua sampai
diperoleh efek farmakologik atau sampai timbul efek yang tidak
diinginkan. Untuk mencari efek toksik yang mungkin terjadi, dilakukan
pemeriksaan hematologi, faal hati, urin rutin dan bila perlu pemeriksaan
lain yang lebih spesifik. Pada fase ini juga dievaluasi toleransi, sifat
farmakodinamika, farmakokinetika pada subjek yang diberi obat yang
diujikan. Jumlah subjek pada fase ini bervariasi antara 20 - 100 orang,
dengan harapan akan didapatkan standard deviattion (SD) yang tidak
terlalu besar. Bila SD sangat lebar maka dibutuhkan sampel yang lebih
besar lagi.
Hasil penelitian farmakokinetika ini digunakan untuk
menentukan pemilihan dosis pada penelitian selanjutnya. Selain itu,
hasil ini dibandingkan dengan hasil uji pada hewan coba sehingga
diketahui pada spesies hewan mana obat tersebut mengalami proses
farmakokinetika seperti pada manusia. Bila spesies ini dapat ditemukan
maka dilakukan penelitian toksisitas jangka panjang pada hewan
tersebut.
Pada pengujian obat baru, Uji Klinik fase I untuk obat yang
toksik atau obat kanker tidak dilakukan pada orang sehat, tapi pada
penderita kanker atau pasien penderita penyakit sesuai dengan obat
yang akan diujikan. Pada fase ini wajib didampingi oleh spesialis
farmakologi klinik, dan dokter yang kompeten sesuai dengan produk
yang diuji (misalnya cardiologist, oncologist). Informasi yang

15
diperoleh dari Uji Klinik fase I ini diperlukan sebagai dasar untuk
melakukan Uji Klinik fase berikutnya.

• Uji Klinik fase II


Pada Uji Klinik fase II obat diujikan pada kelompok yang
lebih besar (100 - 300 orang/subjek) untuk menilai bagaimana obat
tersebut bekerja dan menilai keamanannya. Pada fase II perlu
pengawasan yang ketat. Umumnya fase II ini dibagi dalam 2 tahap
yaitu: IIA dan IIB. Pada fase IIA tanpa pembanding, sedangkan pada
fase IIB perlu pembanding. Pada fase IIA dirancang untuk menilai dosis
yang diperlukan atau berapa dosis obat harus diberikan, sedangkan pada
fase IIB dirancang untuk menilai efikasi atau menilai kemampuan obat
tersebut bekerja sesuai dosis yang diresepkan. Pada pengembangan
obat baru, kegagalan umumnya terjadi pada fase II ini, yaitu didapatkan
obat bekerja tidak sesuai seperti yang direncanakan atau ditemukan efek
toksik. Pada fase II ini wajib didampingi oleh spesialis farmakologi
klinik, dan dokter spesialis yang terkait dengan penyakit yang diderita
responden /pasien.
• Uji Klinik fase III
Pada Uji Klinik fase III dilakukan evaluasi secara
keseluruhan dari pengobatan yang dilakukan dan dirancang untuk
membandingkan efikasi dari pengobatan baru dengan pengobatan
standar. Jadi fase III dilakukan untuk memastikan bahwa suatu obat
baru benar-benar berkhasiat (sama dengan Uji Klinik fase IIB) yaitu
dengan membandingkannya dengan obat standar yang sudah terbukti
kemanfaatannya (kontrol positif) dan/atau dengan placebo (kontrol
negatif).
Uji Klinik fase III ini dilakukan secara acak dan terkontrol
pada kelompok pasien yang besar jumlahnya (300 - 3000 orang) dan
dibandingkan untuk waktu yang lama, serta merupakan uji yang sulit
untuk merancang dan melaksanakannya, terutama pada pengobatan

16
penyakit kronik. Jumlah sampel yang dibutuhkan pada fase ini dapat
dilakukan dengan penghitungan statistik sesuai tujuan Uji Klinik.

• Uji Klinik fase IV


Uji Klinik fase IV dikenal juga “post marketing
surveillance” atau Uji Klinik paska pemasaran, karena uji ini dilakukan
sebagai pengamatan terhadap obat yang telah dipasarkan. Fase ini
bertujuan menentukan pola penggunaan obat di masyarakat serta pola
efektivitas dan keamanannya pada penggunaan yang sebenarnya.
Penelitian pada fase IV merupakan survei epidemiologi menyangkut
efek samping maupun efektivitas obat. Pada Uji Klinik fase ini dapat
menjaring efek samping yang belum terdeteksi pada fase III, sehingga
pada fase IV ini dapat melihat terjadinya efek samping yang timbul
setelah pemakaian jangka panjang. Pada fase IV dapat diamati : 1) Efek
samping yang frekuensinya rendah atau yang timbul setelah pemakaian
obat bertahun–tahun lamanya; 2) Efektivitas obat pada penderita
berpenyakit berat atau berpenyakit ganda, penderita anak atau usia
lanjut, atau setelah penggunaan berulangkali dalam jangka panjang; dan
3) Masalah penggunaan berlebihan, penyalahgunaan, dan lain-lain. Uji
fase IV dapat juga berupa Uji Klinik jangka panjang dalam skala besar
untuk menentukan efek obat terhadap morbiditas dan mortalitas
sehingga datanya menentukan status obat yang bersangkutan dalam
terapi. Tahapan Tata Laksana Persetujuan Uji Klinik berdasarkan
Keputusan dari Peraturan Kepala BPOM RI No. 21 tahun 2015 meliputi
tahap pertama dilakukan evaluasi dokumen, kemudian pada tahap
kedua Uji Klinik Prapemasaran dan tahap ketiga Uji Klinik
Pascapemasaran (Rahayu A, 2018; Pradono, 2019).

17
2.8.2 LO 2 Syarat Izin Edar Obat Tradisional dan Alur Pengajuan
BPOM
A. Sistem Registrasi Obat Tradisional
Alur registrasi produk sebagai berikut:
1. Registrasi Akun Perusahaan
2. Mengisi form registrasi akun perusahaan via online
3. Verifikasi
4. Melampirkan dokumen persyaratan untuk akun perusahaan
5. Verifikasi
6. Mendapatkan user id dan password
a. Regristasi produk
b. Pra registrasi
c. Registrasi
7. Persetujuan INE
A. Registrasi Akun Perusahaan
Dokumen yang diperlukan antara lain lokal dan impor
Dokumen lokal antara lain sebagai berikut:
1. Nomor Induk Berusaha (NIB)

18
2. Sertifikat CPOB / CPOTB / CPPOB / rekomendasi hasil
audit sarana produksi dari Direktorat Pengawasan Obat
Tradisional dan Suplemen Kesehatan atau Balai Besar /
Balai POM setempat
3. Akte notaris
4. Surat kuasa bermaterai sebagai penanggungj awab akun
perusahaan
Dokumen impor antara lain sebagai berikut:
1. Nomor Induk Berusaha (NIB)
2. Rekomendasi hasil audit sarana distribusi dari Direktorat
Pengawasan Obat Tradisional dan Suplemen Kesehatan
3. Sertifikat Good Manufacturing Practice (GMP) dari
produsen di luar negeri
4. Akta notaris
5. Surat kuasa bermaterai sebagai penanggung jawab akun
perusahaan

B. Registrasi Produk
Secara umum terbagi menjadi 3 jenis:

19
1. Registrasi baru adalah registrasi obat tradisional,
suplemen kesehatan dan obat kuasi yang belum
mendapat izin edar di Indonesia.
2. Registrasi ulang adalah registrasi perpanjangan
masa berlaku izin edar.
3. Registrasi variasi adalah registrasi perubahan data
administrasi dan/atau teknis yang dilakukan pada
obat tradisional, suplemen kesehatan dan obat
kuasi yang telah mendapat izin edar.
Registrasi baru sebagi berikut:

Dokumen Administratif Registrasi Baru Produk


Lokal/Kontrak:
a. Form identitas produk & perusahaan
b. Sertifikat cara pembuatan yang baik *)
c. Perjanjian kerjasama kontrak (jika ada)
d. Perjanjian kerjasama distribusi (jika mencantumkan
distributor pada penandaan/ kemasan)
Produk Impor / Lisensi:
a. Form identitas produk & perusahaan
b. Surat penunjukan keagenan/perjanjian kerjasama
lisensi dari industri di negara asal

20
c. CFS / CPP yang dilegalisir oleh KBRI / Konjen
d. Sertifikat GMP dari pemerintah negara asal
e. Sertifikat cara pembuatan yang baik untuk penerima
lisensi *)
f. Surat perjanjian kerjasama distribusi (jika mencan-
tumkan distributor pada penandaan/ kemasan)

Dokumen Teknis Registrasi Baru

a. Formula dan Cara Pembuatan


1. Formula lengkap dalam satuan metric
2. Jumlah masing-masing bahan tiap batch
3. Cara pembuatan

b. Cara Pemeriksaan Mutu Bahan Baku


1. Sertifikat analisa dan spesifikasi bahan baku
2. Identifikasi bahan baku

c. Cara Pemeriksaan Mutu Produk Jadi


1. Sertifikat analisa produk jadi yang memuat spesifikasi,
metode analisa, dan hasil
2. Protokol dan hasil uji stabilitas
3. Data stabilitas dari pabrik pengemas apabila produk
dikemas (repacking) di Indonesia

d. Uji Mutu dan Keamanan


1. Uji sifat fisika dan kimia
2. Uji kandungan senyawa penanda atau golongan untuk
kategori Obat Herbal Terstandar (OHT) dan
Fitofarmaka

21
3. Uji mikrobiologi (ALT, AKK, Escherichia coli,
Staphylococcus aureus, Pseudomonas aeruginosa,
Salmonella sp., Shigella sp.)
4. Uji logam berat (Pb, Hg, Cd, As)
5. Uji kadar alkohol untuk cairan obat dalam dengan batas
tidak lebih dari 1%
6. Uji benzyl piperazine untuk produk yang mengandung
Cayenne ekstrak
7. Uji kadar kafein untuk produk yang mengandung
kafein dan herbal-herbal yang mengandung kafein
seperti Yerba Mate, Guarana, Kopi
8. Uji toksisitas untuk
Ganoderma/Lingzhi/Maitake/Shitake dan bahan yang
belum diketahui keamanan dan kemanfaatannya
9. Uji kloramfenikol untuk produk mengandung madu
atau turunannya
10. Sertifikat analisis gelatin, asal perolehan gelatin,
sertifikat bebas Bovine Spongiform Encephalopathy
dan sertifikat halal dari lembaga yang berwenang
11. Uji kadar lovastatin untuk Monascus sp (Red Yeast)
dengan ketentuan tidak lebih dari 1 % dan bebas
citrinin 12.Asal dan proses perolehan bahan-bahan
tertentu sesuai ketentuan yang berlaku.

Registrasi ulang
Registrasi ulang dilakukan H-10 hingga H-60 sebelum
tanggal berakhirnya nomor izin edar.
Dokumen yang diperlukan antara lain:
Lokal
1. Formula produk dalam satuan metric
2. SK persetujuan serta semua jenis variasi yang pernah
disetujui

22
3. Desain kemasan terakhir yang disetujui
4. Surat pernyataan bahwa produk masih diedarkan
dengan disertai no bets terakhir
5. Desain kemasan berwarna yang terbaru
Impor
1. Formula produk dalam satuan metric
2. SK persetujuan serta semua jenis variasi yang pernah
disetujui
3. Desain kemasan terakhir yang disetujui
4. Surat pernyataan bahwa produk masih diedarkan
dengan mencantumkan SKI terakhir
5. Desain kemasan berwarna yang terbaru
6. Surat penunjukkan terbaru yang masih berlaku
Registrasi Variasi
Variasi Minor Dengan Notifikasi
1. Perubahan desain kemasan seperti namun tidak
terbatas pada warna desain kemasan, perubahan tata
letak gambar ataupun informasi produk, peru-bahan
jenis atau ukuran tulisan, logo perusahaan,
penghilangan bahasa asing dari penandaan, perubahan
bentuk dan/atau dimensi kemasan tanpa peru-bahan
spesifikasi kemasan dan ukuran
2. Perubahan sistem penomoran bets
3. Perubahan atau penambahan imprint bossing atau
tanda lain pada tablet atau perubahan atau penambahan
printing dan/atau tinta yang digunakan pada kapsul
4. Perubahan metode analisis bahan baku dan/atau produk
jadi yang tidak merubah spesifikasi dan mutu bahan
baku maupun produk jadi
5. Perubahan atau penambahan produsen bahan baku
yang tidak merubah spesifikasi dan mutu bahan baku
maupun produk jadi

23
Variasi Minor Dengan Persetujuan
1. Perubahan nama produk
2. Perubahan desain kemasan seperti namun tidak
terbatas pada gambar, logo selain logo perusahaan,
penambahan informasi produk dalam bahasa inggris
atau bahasa lainnya, tag line yang tidak mempengaruhi
khasiat kegunaan produk
3. Perubahan atau penambahan kemasan sekunder dan
atau brosur / leaflet
4. Perubahan atau penambahan ukuran kemasan
5. Perubahan nama dan/atau alamat pendaftar, produsen
dan atau pemberi lisensi tanpa perubahan lokasi
6. Perubahan atau penambahan pabrik pengemas
sekunder
7. Permohonan kemasan paket atau kemasan khusus
Variasi Mayor
1. Perubahan spesifikasi bahan baku dan/ atau produk jadi
2. Perubahan komposisi produk yang tidak
mempengaruhi keamanan dan ke-manfaatan produk
3. Perubahan klaim kegunaan dan/atau posologi yang
mempengaruhi kemanfaatan
4. Perubahan jenis atau spesifikasi bahan pengemas
5. Perubahan stabilitas terkait batas kadaluwarsa
6. Perubahan teknologi produksi
7. Perubahan atau penambahan tempat produksi dan/atau
pengemasan pri-mer
8. Perubahan nama pendaftar dengan perubahan status
kepemilikan
Registrasi variasi sebagai berikut:

24
(BPOM Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia, n.d.)
B. Bahan yang Dilarang Dalam Obat Tradisional
Berdasarkan data Direktorat Registrasi Obat Tradisional,
Suplemen Kesehatan, dan Kosmetik (2019), terdapat beberapa
jenis bahan, baik tumbuhan, hewan, mineral, bahkan senyawa
alkohol yang dilarang digunakan dalam obat tradisional, sebagai
berikut:
A. Tumbuhan

25
26
Selain itu, terdapat beberapa tumbuhan yang dilarang untuk
digunakan dengan klaim tertentu, seperti:

B. Hewan
Bahan dari hewan yang dilarang, antara lain:
1. Bufo gargarizans Cantor, Bufo melanostictus Schneider,
Bufo vulgaris Lour (Samsu, Kodok Kerok);
2. Bagian dari organ hewan : Glandula parathyreoideae,
glandula suprarenalis, glandula thyreoideae, Glandula
pinealis (Pituitary gland), Glandula thyreoidea (Thymus
gland), hypophysis posterior, hypophysis anterior,
ovarium, pankreas, testis, plasenta, hormone;
3. Lytta vesicatoria (Cantharis);
4. Mylabris phalerata Pall;
5. Mylabris cichorii Linnaeus.

27
C. Mineral
Beberapa bahan mineral yang dilarang digunakan sebagai
bahan obat tradisional, sebagai berikut:
1. Senyawa Tembaga : Chalcanthite/blue stone/blue vitriol/Terusi/
Tembaga (II) sulfat pentahidrat
2. Senyawa Timbal
a. Litharge/Timbal oksida
b. Minium/ Timbal tetraoksida
3. Senyawa Arsen
a. Arsen trioksida
b. Arsen triklorida
c. Orpiment/Arsen Trisulfida
d. Realgar
4. Senyawa raksa
a. Kalomel/Merkuro klorida
b. Sublimat/Merkuri klorida
c. Cinnabaris/Sinabar/Merkuri sulfida
5. Sulfur (kecuali untuk obat luar)
D. Senyawa Alkohol
Kecuali etil alkohol kurang dari 1% (untuk membantu
kelarutan bahan baku) (Direktorat Registrasi Obat Tradisional,
Suplemen Kesehatan, dan Kosmetik. 2019).

28
2.8.3 LO 3 Label atau Kemasan Primer Suatu Obat Tradisional Sesuai
dengan Persyaratan BPOM

Aturan-aturan Desain Kemasan Obat Tradisional BPOM :


1. Merk
Sebuah produk obat tradisional harus memiliki merk/penamaan. Merk
dengan menggunakan salah satu nama bahan baku produk tetap bisa
didaftarkan ke BPOM. Namun akan menjadi masalah ketika merk tersebut
akan dipatenkan ke Dirjen Haki. Karena pematenan produk tidak boleh
menggunakan suatu nama generik (harus nama baru). (LPK-UKMI, 2014)
2. Ilustrasi
Ilustrasi digunakan sebagai pemanis. Umumnya BPOM mentolerir
penggunaan ilustrasi seperti gambar tumbuhan dan simbol-simbol yang
tidak dilarang dan tetap berkaitan dengan khasiat produk. Namun, BPOM
tidak mentolerir ilustrasi dengan menggunakan gambar-gambar seperti:
Bagian tubuh manusia, gambar virus atau bakteri, khasiat (preview–optional
dari produsen). Untuk mempermudah masyarakat melihat dan memahami
khasiat suatu produk, khasiat perlu dicantumkan di bagian depan kemasan.
(LPK-UKMI, 2014)
3. Nomor Registrasi

29
Nomor registrasi/pendaftaran untuk jenis obat tradisional jamu terdiri dari
9 digit dan diawali dengan POM TR. Badan POM mengeluarkan 1 nomor
registrasi untuk 1 item produk. (LPK-UKMI, 2014)

4. Logo Obat Tradisional / Jamu


BPOM membuat aturan logo harus dicantumkan di bagian kiri atas.
penggunaan warna logo juga tidak bisa diubah, standar yang digunakan
adalah warna hijau tua. BPOM memiliki buku panduan yang berisikan
gambar logo yang boleh digunakan. (LPK-UKMI, 2014)
Obat tradisional memiliki 3 tingkatan. Pertama adalah Jamu, kedua Obat
Herbal Terstandar (OHT), ketiga Fitofarmaka. OHT dan Fitofarmaka
memiliki logo yang berbeda dengan jamu. Kedua level ini adalah level
lanjutan di mana suatu produk obat tradisional harus memiliki kriteria-
kriteria tertentu. Fitofarmaka memiliki khasiat yang telah teruji klinis dan
bisa disejajarkan dengan obat farmasi. (LPK-UKMI, 2014)
5. Produsen
Produsen obat tradisional juga harus dicantumkan di suatu kemasan obat.
Hal ini untuk memudahkan konsumen mengenai reputasi suatu perusahaan
dalam memproduksi obat tradisional dan mencari info mengenai produsen
obat. Bagi produsen sendiri pencantuman ini penting untuk membangun
citra perusahaan dan produknya. (LPK-UKMI, 2014)
6. Komposisi Produk
Sebuah obat tradisional mengandung 1 atau beberapa racikan bahan obat.
Aturan penulisannya menggunakan nama latin bahan dan mencantumkan
jumlah berat masing-masing bahan. (LPK-UKMI, 2014)
7. Peringatan / Perhatian (optional dari BPOM)
Pencantuman peringatan/perhatian hanya perlu dicantumkan di beberapa
jenis produk seperti produk penurun tekanan darah, pelangsing, diabetes,
dan lainnya. (LPK-UKMI, 2014)
8. Netto / Isi
Pencantuman netto diperlukan untuk memberikan info yang berkaitan
dengan dosis pemakaian. (LPK-UKMI, 2014)

30
9. Khasiat Produk (Inti)
Khasiat yang dicantumkan pada suatu kemasan obat tradisional harus sama
dengan sertifikat yang diberikan oleh BPOM. Khasiat tidak boleh dilebih-
lebihkan/dramatis. Umumnya, BPOM menggunakan kalimat “membantu
mengatasi…”, “secara tradisional digunakan untuk…”, dan lainnya. Bila
ditemukan pencantuman khasiat yang berlebihan pada suatu merk obat
tradisional, maka produk tersebut patut diselidiki. (LPK-UKMI, 2014)
10. Cara Penyimpanan
Obat tradisional memiliki standar tertentu dalam hal penyimpanan.
Umumnya kalimat yang ditulis adalah, “simpan di tempat sejuk dan kering
serta terhindar dari cahaya matahari langsung”. Hal ini bertujuan agar
kandungan produk tidak mudah kadaluwarsa. (LPK-UKMI, 2014)
11. Dosis
Seperti obat dokter, obat tradisional juga memiliki aturan dosis yang
dianjurkan. Dosis untuk pengobatan berbeda dengan pencegahan. Dosis
yang berlebihan dalam mengkonsumsi obat tradisional juga akan
menimbulkan efek samping. (LPK-UKMI, 2014)
12. Nomor Produksi & Expired Date
Pencantuman kode produksi diperlukan baik oleh produsen maupun
konsumen guna mempermudah mengecek tanggal produksi, ataupun hal
lain seperti pengajuan komplain dari konsumen atas ketidakpuasan isi
produk. (LPK-UKMI, 2014)
Tanggal kadaluwarsa harus dicantumkan guna mempermudah konsumen
dalam menentukan pilihan produk yang akan dikonsumsi. (LPK-UKMI,
2014)
13. Logo Halal
Bagi beberapa produsen, logo halal berikut nomornya sangat dipentingkan.
Sikap masyarakat Indonesia yang begitu mementingkan kehalalan suatu
produk menjadikan logo halal penting untuk dicantumkan. (LPK-UKMI,
2014)

31
Menurut peraturan Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia
Nomor 33 Pasal 19 Tahun 2018, Pelaku Usaha Obat Tradisional dan Suplemen
Kesehatan pemilik Izin Edar wajib mencantumkan 2D Barcode pada Kemasan
Primer yang diterbitkan badan POM atau pelaku usaha secara mandiri dengan
syarat huruf berupa QR Code atau 2D Barcode yang dapat dibaca oleh Aplikasi
Track and Trace Badan POM. (BPOM, 2018)
Kewajiban mencantumkan 2D Barcode pada Kemasan Primer dikecualikan
untuk Obat Tradisional dan Suplemen Kesehatan dengan mencantumkan pada
Kemasan Sekunder ketentuan sebagai berikut (BPOM, 2018):
a. Volume di bawah 5 (lima) mililiter;
b. Kemasan Primer blister;
c. Kemasan Primer strip;
d. Kemasan ampul;
e. Kemasan tube yang memiliki berat bersih di bawah 5 (lima) gram;
f. Stick pack;
g. Suppositoria;
h. Memiliki luas permukaan label kurang dari atau sama dengan 10 cm2.

32
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Uji praklinik, atau disebut juga studi pengembangan atau uji non-klinik,atau
uji efek farmakologik, adalah tahap penelitian yang terjadi sebelum uji klinik atau
pengujian pada manusia. Uji praklinik memiliki satu tujuan utama yaitu
mengevaluasi keamanan suatu produk yang baru, sedangkan ujiklinik adalah
pengujian khasiat dan keamanan obat pada manusia yang dapat “menjamin” apakah
hasil in vitro atau hasil pada hewan coba sama dengan pada manusia.
Dengan telah dilakukannya uji praklinik dan uji klinik pada obat dan sudah
bersertifikasi BPOM masyarakat yang akan membeli dan menggunakan obat tidak
lagi merasa kurang percaya atas kasiat dan manfaat obat yang akan digunakan.
3.2 Saran
Mengingat masih banyaknya kekurangan dari kelompok kami, baik dari
segi diskusi kelompok, penulisan tugas tertulis dan sebagainya, untuk itu kami
mengharapkan kritik dan saran dari dosen-dosen yang mengajar baik sebagai tutor
maupun dosen yang memberikan kuliah, dari rekan-rekan angkatan 2019, serta
dari berbagai pihak termasuk kakak tingkat di FK UNMUL ini.

33
DAFTAR PUSTAKA
Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia (BPOM RI). 2018.
Peraturan Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor 33 Tahun 2018 tentang
Penerapan 2D Barcode dalam Pengawasan Obat dan Makanan. Jakarta:
Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia.
BPOM Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia. (n.d.). Buku
Panduan Registrasi Obat Tradisional & Suplemen Kesehatan. Jakarta.
BPOM R. Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat Dan Makanan Republik
Indonesia Nomor 7 Tahun 2014 Tentang Pedoman Uji Toksisitas Non Klinik
Secara Invivo. In:2014:561-565.
Direktorat Registrasi Obat Tradisional, Suplemen Kesehatan, dan Kosmetik. 2019.
Bahan yang Dilarang untuk Digunakan dalam Obat Tradisional. Jakarta:
Direktorat Registrasi Obat Tradisional, Suplemen Kesehatan, dan Kosmetik.
Lembaga Pengembangan Kemasan UKM Indonesia (LPK-UKMI). 2014. Aturan
Desain Obat Tradisional.
https://www.kemasanukm.co.id/?s=aturan+desain+kemasan. Tanggal
akses 27 April 2021.
Oktabia Rahayu A. Uji pre-klinik dan uji klinik obat tradisional. 2018.
Pradono, J., dkk. 2019. Bunga Rampai Uji Klinik. Jakarta: Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan
Wulansari AN. Alternatif Cantigi Ungu (Vaccinium varingiae folium) Sebagai
Antioksidan Alami : Review. 2018;16:222-230.

34

Anda mungkin juga menyukai