Pertanyaannya adalah benarkan petani khususnya di Kabupaten Lebak belum siap menghadapi
era Industri 4.0? Jika kembali kepada “obrolan” tadi, sepertinya para petani sudah berada di era
industri 4.0. Namun, harus diakui sebagian besar petani kita masih bertani secara tradisional dan
masih memiliki lima persoalan krusial. Persoalan pertama, pemilikan lahan yang terbatas, rata-
rata hanya 0,2 hektare.
Kedua, kondisi tanah yang sudah rusak akibat penggunaan pupuk kimia dan pestisida yang
berlebihan. Ketiga, aspek kurangnya permodalan dan rendahnya kualitas manajemen. Keempat,
lemahnya penguasaan teknologi. Dan, kelima adalah kesulitan dalam penanganan pascapanen.
Maka, peran PPL seharusnya sangat dibutuhkan disini dengan memerankan diri sebagai bridging
institution dalam memecahkan persoalan petani tadi.
Pertanyaan berikutnya, siapkah para PPL mengejar langkah mengimbangi kecepatan informasi
dan teknologi di era industri 4.0? Karena, jika langkah PPL tertinggal dibelakang, maka peran
meraka akan “menghilang” ditelan jaman, sehingga mau tidak mau para penyuluh pertanian
harus segera mengikuti proses transformasi pertanian memasuki era industri 4.0. Dengan kata
lain, memasuki era modernisasi pertanian.
Para petani dan PPL harus segera menyesuaikan diri dengan proses transformasi pertanian yang
saat ini sudah berlangsung. Proses transformasi pertanian tersebut setidaknya harus
memperhatikan 4 komponen yang sangat penting dalam proses adopsi teknologi modern. Empat
komponen tersebut meliputi “Teknoware”, “Humanware”, “Organoware” dan “Infoware”.
Selama proses tranformasi tersebut, pemerintah harus berani menyiapkan regulasi yang
mendukung modernisasi pertanian di era industri 4.0, karena kemajuan teknologi tidak bisa
dibendung termasuk dukungan kelembagaannya.