Anda di halaman 1dari 12

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan kami panjatkan, karena hanya dengan rahmat dan karunia-NYA,
kami dapat menyelesaikan makalah Imunologi Sesuai dengan waktunya”.

Kami selaku mahasiswa sangat berterima kasih atas kontribusi para dosen dalam
menyampaikan materi-materi terlebih materi Imunologi sehingga mahasiswa dapat lebih
memahami dengan melakukan pengkajian melalui pembuatan makalah ini.

Dalam pembuatan makalah ini masih banyak kekurangan dan kelebihan oleh karena itu
penyusun sangat berterima kasih apabila ada kritik dan saran yang bersifat membangun untuk
perbaikan dimasa yang akan datang dan penyusun sangat berharap makalah ini dapat
bermanfaat bagi semua pihak khususnya bagi pembaca dan penyusun.

Bandung , April 2018

Penyusun
ABSTRAK

Kata kunci: imunologi, toleransi imun, toleransi sel t, toleransi sel b, mekanisme toleransi

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 latar belakang


Dasar dari mekanisme toleransi imunologi ditemukan sekitar tahun 1945 dimana, Owen
melakukan observasi terhadap kembar sapi non-identik (dizygotic) yang saling berbagi
sirkulasi plasental yang sama dan mengembangkan toleransi terhadap antigen dari sel darah
satu sama lain. Fenomena ini kemudian diteliti lebih lanjut oleh Burnet dan Fenner. Mereka
menduga bahwa suatu antigen yang mencapai sel limfoid, dimana perkembangan
imunitasnya belum matang, akan menekan respons terhadap antigen yang sama saat paparan
berikutnya dan hewan tersebut secara imunologi telah matang. Percobaan lebih lanjut
dilakukan oleh Medawar, Brent, dan Billingham menggunakan transplantasi kulit pada tikus.
Medawar dan rekannya menemukan prinsip penting bahwa toleransi imunologi dapat terjadi
karena adanya induksi dari suatu antigen pada suatu masa perkembangan limfosit dan proses
induksi tersebut dapat dilakukan secara buatan (artificial) (Roitt & Delves, 2001).

Proses induksi toleransi (induced tolerance) ini kemudian dijelaskan dalam dua tipe, yakni
toleransi sentral (central tolerance) dan toleransi peripheral (peripheral tolerance). Toleransi
sentral dijelaskan sebagai toleransi yang timbul selama perkembangan dari sel limfosit,
sementara toleransi peripheral dijelaskan sebagai toleransi yang timbul setelah sel limfosit
meninggalkan organ perkembangan primer (Shetty, 2005). Toleransi sentral (central
tolerance) terjadi pada organ primer/sentral dari perkembangan sel limfosit, yakni thymus
pada sel T dan sumsum tulang pada sel B. Selama perkembangan sel B dan sel T di sumsum
tulang dan thymus, kehadiran antigen yang terdapat pada organ tersebut umumnya hanya
berupa antigen sendiri (self-antigen). Hal ini dikarenakan antigen asing dari lingkungan luar,
tidak akan ditrasport ke dalam timus, melainkan ditangkap dan ditransportasikan menuju
organ limfoid perifer (Abbas, dkk 2007).

Paparan terhadap antigen sendiri dengan dosis tinggi akan memicu sel limfosit muda
(immature) mengalami beberapa kemungkinan selama toleransi sentral, yakni sel tersebut
akan apoptosis (disebut juga clonal deletion), beberapa sel B muda yang tidak mati akan
mengalami perubahan pada reseptor mereka sehingga tidak mengenali antigen sendiri (proses
ini disebut juga receptor editing), dan beberapa CD4+ akan berdeferensiasi menjadi sel T
regulator (biasa disebut sel T suppressor) yang kemudian bermigrasi ke organ perifer dan
mencegah respons terhadap antigen sendiri. Toleransi peripheral terjadi saat limfosit dewasa
yang mampu mengenal antigen sendiri akan kehilangan kemampuannya dalam memberikan
respons (disebut anergy), turunnya viability sel, dan terinduksi memicu apoptosis (Abbas,
dkk 2007).
Sel B dapat menjadi toleransi terhadap suatu antigen melalui empat tahapan peristiwa,
yaitu clonal abortion, clonal exnaustion, functional deletion, dan tahap terakhir adalah AFC
blockade. Clonal abortion adalah peristiwa ketika pertama kali sel B yang belum matang
bertemu dengan suatu antigen dalam jumlah yang kecil. Kondisi seperti ini diduga dapat
memicu pembatalan pematangan sel B untuk memicu respons imun, hal tersebut
mengakibatkan tidak terjadinya respons imun terhadap antigen tersebut. Peristiwa clonal
exhaustion terjadi jika terjadi paparan terhadap suatu antigen yang bersifat T-independent
dapat menyebabkan terjadinya clonal exhaustion. Hal tersebut mengakibatkan AFC dari sel B
yang terbentuk berusia pendek dan akhirnya tidak lagi tersedia sel yang dapat merespons
antigen. Peristiwa delesi fungsional disebabkan oleh keberadaan antigen yang dependent
terhadap sel T maupun yang bersifat independen. Terjadinya delesi fungsional disesbabkan
oleh tidak adanya bantuan dari sel T untuk melawan antigen tersebut sehingga sel B tidak
dapat merespons secara normal. Dosis antigen yang sangat besar dapat mengakibatkan
terjadinya penghambatan pembentukan sel AFC sehingga antibodi tidak terbentuk.

Jalur toleransi pada sel T secara umum memiliki kemiripan dengan sel B. Terdapat tiga
tahapan yaitu clonal abortion, functional deletion, dan suppression sel T. Clonal
abortion adalah tahapan dimana sel T yang belum matang dapat dihambat proses
pematangannya dengan cara yang mirip dengan sel B. Functional deletion terjadi saat sel T
yang matang fungsinya dihambat oleh paparan terhadap antibodi. Sel T suppression bekerja
dengan melepaskan materi penekan sel T sehingga dapat menghambat fungsi sel T yang telah
matang untuk mengenali antigen.

Sel T dan sel B memiliki karakteristik toleransi yang berbeda antar satu dengan yang lainnya.
Perbedaan-perbedaan karakteristik tersebut meliputi waktu induksi, dosis antigen, keberadaan
antigen, spesifisitas antigen, dan durasi antigen. Waktu induksi yang dimiliki oleh sel T
berbeda dengan sel B dan bergantung pada jenis antigennya. Pada antigen dependent sel T,
sel T dapat terinduksi dengan cepat sedangkan sel B terinduksi dalam waktu yang lebih lama,
yaitu sekitar empat hari. Sedangkan pada antigen yang independent terhadap sel T, antigen
tersebut lebih cepat menginduksi toleransi pada sel B.

Dosis antigen yang diberikan juga akan berpengaruh pada induksi terhadap toleransi. Dosis
antigen yang diperlukan untuk menginduksi toleransi sel B perlu lebih banyak dibandingkan
jumlah antigen yang diperlukan untuk menginduksi toleransi sel T. Diperkirakan perlu
antigen sejumlah 100-1000 kali lebih banyak untuk menginduksi sel B dibandingkan jumlah
antigen yang diperlukan untuk menginduksi sel T. Keberadaan suatu antigen juga dapat
sangat memengaruhi toleransi yang terbentuk sehingga akan berpengaruh juga terhadap
waktu lamanya paparan suatu antigen.

Spesifisitas suatu antigen juga berpengaruh terhadap respons toleransi yang terbentuk.
Diketahui bahwa suatu toleransi terbentuk secara spesifik untuk epitope tertentu, bukan
terhadap antigen tertentu. Hal tersebut dapat mengakibatkan timbulnya toleransi terhadap
berbagai jenis antigen yang memiliki kesamaan determinan.

1.2 identifikasi masalah

1.3 tujuan

1.4 kegunaan

Menambah pembendaharaan bacaan dan referensi informasi tentang toleransi imun pada
manusia.
BAB 2

PEMBAHASAN

Tahun 1900 Paul Ehlich menyadari bahwa sistem imun dapat menyerang antigen sel tubuh
sendiri. Kejadian tersebut disebutnya horror autotoxicus yang dapat menimbulkan sejumlah
penyakit akut dan kronis.
Tahun 1959, hasil eksperimen dari Jerne, Talmage dan Burnet (1950), mengubah istilah
horror autotoxicus kedalam teori clonal selection yang merupakan dasar toleransi.
Mekanisme proteksi yang kuat diperlukan untuk mencegah terjadinya penyakit autoimun,
melindungi individu dari limfosit yang potensial self-reaktif terhadap antigen sel tubuh
sendiri yang disebut toleransi. Mekanisme tersebut dapat primer terjadi pada organ limfoid
primer, seperti sumsum tulang dan timus, yang disebut toleransi sentral dan di perifer yang
disebut toleransi perifer. Toleransi terhadap antigen sendiri terjadi selama hidup fetal melalui
inaktivasi atau dihancurkan limfosit self-reaktif. Proses tersebut disebut clonal abortion,
clonal deletion atau seleksi negative.
Toleransi atau kegagalan membentuk antibodi atau mengembangkan respon imun
seluler pasca pajanan dengan imunogen atau antigen terjadi hanya terhadap antigen tertentu
saja dan tidak disertai gangguan terhadap respon antigen yang lain. Tubuh mempunyai
mekanisme kuat utuk mencegah terjadinya autoimunitas. Sel T terutama sel CD4+ memiliki
peran sentral dalam mengontrol hampir semua respon imun.oleh karena itu toleransi sel T
merupakan hal yang jauh lebih penting dibanding toleransi terhadap sel B. hampir semua sel
B self-reactive tidak akan dapat memproduksi autoantibodi kecuali mendapat bantuan yang
benar dari sel T.

2.1 DEFINISI TOLERANSI IMUN

Toleransi Imunologi (Immunological Tolerance) adalah ketidakmampuan dari sistem


imunitas untuk memberikan respons (unresponsiveness) terhadap suatu antigen dikarenakan
induksi dari antigen yang sama sebelumnya. Sel limfosit yang berhadapan dengan antigen
dapat menjadi aktif dan menghasilkan respons imun, ataupun dapat menjadi tidak aktif atau
tereliminasi dan menghasilkan toleransi. Antigen yang menyebabkan toleransi disebut
tolerogen (tolerogenic antigens). Toleransi terhadap antigen yang diproduksi tubuh (self-
antigen) disebut sebagai self-tolerance (Abbas, dkk 2007).

Sistem imun pada dasarnya dipegang oleh dua sel utama, yakni sel limfosit B (berperan
dalam respons humoral) dan sel limfosit T (berperan dalam respons seluler).
Ketidakmampuan kedua sel tersebut dalam memberikan respons terhadap antigen spesifiknya
dikenal dengan istilah anergy. Lymphocyte anergy (disebut clonal anergy) adalah kegagalan
dari klona sel B ataupun sel T untuk bereaksi terhadap antigen dan menjadi representasi
terhadap mekanisme untuk mempertahankan toleransi imunologi tubuh sendiri (Cruse &
Lewis, 2003).

2.2 Toleransi Sel T


Sel T yang diproduksi dalam sumsum tulang, memasuki timus, berkembang dalam timus
melalui berbagai fase : double negative, double positive, seleksi positive, dan seleksi negative
dan toleransi.
A. Toleransi Sentral
Timus mempunyai peran penting untuk menyingkirkan sel T yang mengenal peptida asal
protein sendiri. Sel T diproduksi dalam sumsum tulang, namun pematangan dan
perkembangannya terjadi dalam timus. Prekursor Sel T yang berasal dari sumsum tulang,
bermigrasi melalui darah ke korteks kelenjar timus. Sel T tersebut merupakan sel T prekursor
yang memiliki gen TCR yang tidak disusun dan tidak mengekspresikan CD4 atau CD8.
Timosit mula-mula ditemukan dibagian luar korteks. Gen TCR mulai disusun, CD3, CD4,
CD8 dan TCR diekspresikan. Selama pematangannya, sel melewati korteks ke medulla, CD4,
CD8 (negative berganda) berkembang melalui CD4 +¿¿ , CD8−¿¿ yang selanjutnya berkembang
menjadi CD4 −¿ ¿, CD8−¿¿ atau CD4 −¿ ¿, CD8+¿ ¿ (positif tunggal) yang disusul dengan
perkembangan TCRβ, kemudian TCRα.
Toleransi sentral adalah induksi toleransi saat limfosit berada dalam perkembangannya
ditimus. Proses seleksi terjadi untuk menyingkirkan timosit yang self-reaktif. Melalui proses
yang disebut seleksi positif, sel hidup melalui ikatan dengan kompleks MHC. Sel T dengan
TCR yang gagal berikatan dengan self-MHC dalam timus akan mati melalui apoptosis.
Ikatan sel T dengan reseptornya dengan afinitas rendah akan tetap hidup dan memiliki
potensi untuk mengikat komplek peptide-MHC dan memberikan awal respon imun protektif
kemudian. Namun sel T yang mengikat kompleks peptide-MHC dengan afinitas tinggi dalam
timus, akan memiliki potensi untuk mengenal self-antigen yang menimbulkan autoimunitas.
Oleh karena itu sel-sel tersebut disingkirkan, dan proses itu disebut seleksi negative atau
edukasi timus. Diduga 90% timosit mengalami proses seleksi negative, dihancurkan dan
gagal untuk berfungsi.
Proses edukasi timus itu hanya sebagian berhasil. Hal ini berarti bahwa sel T yang self-reaktif
masih dapat ditemukan pada individu sehat. Kegagalan edukasi timus tersebut disebabkan
oleh karena banyak self-peptida tidak diekspresikan dalam jumlah yang cukup dalam timus
untuk dapat menginduksi seleksi negative. Kebanyakan peptide yang ditemukan dan diikat
MHC dalam timus berasal dari bahan intraseluler yang ada dimana-mana dalam tubuh atau
protein yang diikat membrane atau dalam cairan ekstraseluler. Tidak semua self-antigen
ditemukan dalam timus. Beberapa antigen spesifik untuk jaringan, misalnya insulin masih
diekspresikan ditimus. Jadi toleransi timus hanya diinduksi terhadap beberapa protein
jaringan spesifik. Tidaklah mengherankan bila respon sel T terhadap protein jaringan spesifik
dapat ditemukan pada orang normal. Pada beberapa hal, sel T (juga sel B dalam sumsum
tulang) yang self-reaktif dapat lolos dari seleksi negative dalam timus dan muncul diperifer.
Toleransi perifer menginaktifkan sel-sel tersebut yang dapat diartikan sebagai inaktivasi sel T
(dan B) yang masih self-reaktif diperifer.
B. Toleransi Perifer
Regulasi fungi sel T terus menerus diperlukan meskipun sel T sudah meninggalkan timus.
Proses tersebut penting untuk mencegah putusnya toleransi bila sel T terpajan dengan self-
antigen yang tidak ditemukan dalam timus. Toleransi perifer merupakan mekanisme yang
diperlukan untuk mempertahankan toleransi terhadap antigen yang tidak ditemukan dalam
organ limfoid primer atau terjadi bila ada klon sel dengan reseptor afinitas rendah yang lolos
dari seleksi primer. Jadi tubuh masih memiliki sistem kontrol kedua terhadap sel yang
potensial autoreaktif yang dikenal sebagai toleransi perifer. Ada mekanisme yang dapat
mencegah toleransi perifer seperti ignorance,anergi dan kostimulasi dan mekanisme regulasi
oleh sel Treg.
1. Ignorance
Ignorance imunologis adalah keadaan bila antigen tidak dihiraukan/tidak kelihatan/dikenal
oleh sistem imun. Ignorance terjadi melalui berbagai mekanisme misalnya tidak adanya
cukup pemisahan anatomik atau kompertementasi atau sekuesterasi seperti sawar darah-otak,
lensa mata, testis, antigen dalam organ avascular seperti humor vitreus dimata, meskipun
jumlah antigen terbatas dapat terlepas dari tempat tersebut. Karena lokasinya tersebut,
antigen tertentu tidak ditemukan limfosit reaktif pada kondisi normal. Antigen tersebut tak
pernah dipajankan dengan sel imun hingga tidak akan terjadi reaksi imun. Namun akibat
infeksi atau cidera, antigen yang tidak pernah dikenal limfosit selama perkembangannya akan
terpajan dengan sistem imun yang akan memberikan respon.
2. Sel T autoreaktif yang dipisahkan
Self-antigen dan limfosit juga dipisahkan oleh jalur sirkulasi limfosit yang terbatas, sehingga
membatasi limfosit naïf yang tidak bebas bergerak ke jaringan limfoid sekunder dan darah.
Distribusi molekul MHC-II terbatas pada APC seperti SD, yang berarti bahwa molekul organ
spesifik tidak diekpresikan dengan kadar yang cukup untuk menginduksi aktivasi sel T. untuk
mencegah sejumlah besar self-antigen terpajan dengan APC yang memiliki banyak petanda
pengenal, sisa-sisa degradasi jaringan sendiri harus disingkirkan dan dihancurkan. Hal ini
terjadi melalui proses apoptosis, yang dapat mencegah tersebarnya isi sel serta sejumlah
mekanisme scavenger. Yang akhir melibatkan sistem komplemen, ACP dan sejumlah
reseptor pada fagosit.
3. Anergi dan kostimulasi
Anergi dan kostimulasi merupakan mekanisme toleransi perifer yang lebih aktif. Sel yang
self-reaktif disingkirkan melalui apoptosis atau induksi anergi/keadaan tidak reponsif. Untuk
mengawali respon imun, sel CD4 naif memerlukan dua sinyal untuk diaktifkan : sinyal
antigen spesifik melalui TCR dan sinyal kostimulator non-spesifik, biasanya sinyal dari CD8
yng mengikat family B7 (CD80 atau CD 86). Stimulasi sel T tanpa molekul kostimulator juga
menimbulkan kematian sel.

2.3 Toleransi Sel B


A. Toleransi Sentral
Sel B imatur yang merupakan sel terdini dalam perkembangan sel, mengekspresikan BCR.
Seleksi terhadap sel B autoreaktif mulai terjadi pada stadium ini dan terjadi dalam sumsum
tulang. BCR berfungsi mengikat molekul ekstraseluler dan mengawali sinyal sitoplasmik
yang antigen spesifik. Bila BCR tidak berikatan dengan antigen spesifik, sinyal BCR tetap
ada pada ambang basal dan sel memasuki fase transisi untuk dilepas ke sirkulasi perifer. Sel
B imatur yang terpajan dengan antigen ekstraseluler akan meningkatkan sinyal melalui BCR
untuk berhenti berkembang.
Prinsip seleksi dan eliminasi sel yang self-reaktif (seleksi negative) pada toleransi sel T
berlaku juga untuk sel B. Sel B yang self-reaktif dihancurkan dalam sumsum tulang.
Toleransi sentral sel B terjadi bila sel B imatur terpajan dengan self-antigen yang multivalent
dalam sumsum tulang. Hal tersebut menimbulkan apoptosis atau spesifitas baru yang disebut
receptor editing.
B. Toleransi perifer
Seperti dengan sel T, sel B terus berfungsi dalam pengawasan perifer untuk mempertahankan
toleransi. Meskipun sel B terbanyak yang meninggalkan sumsum tulang adalah toleran
terhadap self-antigen. Namun, beberapa sel terlepas dari proses seleksi negative. Untuk
mencegah autoimunitas, ada proses pencegahan toleransi kedua diperifer. Setelah
meninggalkan sumsum tulang, sel B yang relative imatur, bermigrasi ke zona sel T luar
dalam limpa. Sel B dengan seleksi negative menempati limpa, diproses untuk induksi anergi,
dicegah bermigrasi sel ke folikel sel B dan apoptosis ditingkatkan. Siklus sel B self-reaktif
dalam limpa adalah 1-3 hari. namun beberapa sel B antigen dengan aviditas tinggi berperan
dalam respons terhadap antigen asing.
1. Inersia dan Anergi
Inersia adalah imunosupresi yang berhubungan dengan antigen histokompatibel yang terjadi
misalnya selama hamil, berupa supresi reaktivitas imun ibu terhadap antigen histokompatibel
janin.
Anergi adalah menurunnya atau menghilangnya fungsi sel B atau sel T (seperti terlihat pada
reaksi DTH-tes kulit dengan PPD, histo plasmin dan kandidin). Anergi diinduksi oleh
pengenalan antigen tanpa adanya kostimulator yang cukup dan dapat diinduksi oleh mutasi
antigen peptide.

2. Regulasi Oleh Antigen dan Antibodi


a. Regulasi oleh antigen
Antigen diperlukan untuk mengawali respon imun yang derajatnya dipengaruhi faktor genetik
(gen MHC). Tidak semua suntikan antigen menimbulkan respons imun. Respon imun
dipengaruhi jenis antigen, larut atau berupa partikel, dosis, waktu pemberian, sifat dan
komposisi antigen (protein atau hidrat arang).
b. Regulasi oleh antibodi
Pembentukan antibodi berakhir dalam pencegahan umpan balik. Antibodi dapat
meningkatkan atau mencegah produksi immunoglobulin (IgG, umpan balik negative).
Timbulnya antibodi IgM berakhir dalam penghentian produksinya dan mulainya sintesis IgG.
Hal ini diduga terjadi oleh karena adanya kompetisi antigen dan reseptor untuk IgG pada
permukaan sel B. demikian pula bila kadar antibodi meningkat, kadar antigen akan menurun.
2.3 Terminasi Toleransi
A. Berbagai cara manipulasi
Beberapa jenis toleransi dapat diakhiri dengan manipulasi melalui beberapa cara sebagai
berikut :
1. Suntikan dengan sel T normal dapat mengakhiri toleransi terhadap γ globulin
heterolog.
2. Suntikan sel alogenik dapat mengakhiri atau mencegah toleransi. Mekanismenya tidak
spesifik dan melibatkan faktor efek alogenik dengan aktivasi populasi asal sel T yang
tidak responsive.
3. Suntikan LPS, yan g merupakan activator sel B poliklonal dapat mengakhiri toleransi
sel B kompeten dan tidak melibatkan sel T.
B. Komplek antigen-antibodi
Komplek antigen-antibodi kadang-kadang dapat menimbulkan toleransi melalui blockade
reseptor. Tetapi komplek imun dapat pula jadi sangat imunogenik, tergantung dari sifat dan
perbandingan antigen dan antibodi.
C. Molekul Pembawa Non-imunogenik
Molekul pembawa nonimunogenik seperti molekul sendiri atau molekul yang sulit dirusak
dapat mengubah tolerogenisitas hapten yang pada keadaan biasa antigenik.
D. Peran Sel-sel Asesori Pada Toleransi
APC dan makrofag merupakan sel-sel pertama yang bekerja dalam respon imun. Pada
umumnya bila antigen sampai dikenal makrofag, imunitas akan diperoleh. Bila makrofag
dilewati, beberapa jenis toleransi dapat terjadi. Rusaknya makrofag oleh berbagai bahan yang
terjadi sebelum antigen diberikan, dapat menimbulkan toleransi.
APC mempresentasikan antigen ke sel T naïf dan perkembangan sel T naïf selanjutnya
menjadi Th1, Th2, atau Th3 tergantung dari sitokin. Parasit intraseluler menginduksi
terutama produksi IL-12 dan Th1, sedangkan parasit ekstraseluler menginduksi produksi IL-4
atau IL-13. Sel Th1 memproduksi IFN-γ yang mengaktifkan makrofag dalam fase efektor.
Toleransi bersifat epitope spesifik, tidak ada respon terhadap semua atau hanya pada epitope
dari antigen tertentu. Deviasi imun (split tolerance) hanya mengenai respon humoral atau
seluler saja, tetapi tidak keduanya.
2.5 Pengamanan dan Pencegahan
A. Peran Sel Tr pada toleransi perifer
Sel Tr bekerja dijaringan limfoid dan tempat inflamasi. Sel Tr merupakan subset sel T
CD4 +¿¿ khusus, mengekpresikan rantai IL-2Rα (CD25) kadar tinggi. Sel T regulator atau Th3
memproduksi sitokin imunosupresif IL-10 yang berperan dalam toleransi, menghambat
fungsi APC dan aktivitas makrofag serta TGF-β yang menghambat profliferasi sel T dan juga
makrofag. Sel Tr dibentuk dari timosit selama seleksi negative ditimus. Sel Tr timbul dari
subset sel T yang mengekspresikan reseptor dengan afinitas sedang untuk self-antigen dalam
timus. Sel Tr terbentuk oleh pengenalan self-antigen dalam timus kadang disebut sel
regulator alamiah, mungkin sebagian kecil timbul oleh pengenalan antigen dijaringan limfoid
perifer (Tr Adaptif). Sel Ts/Tr menekan aktivitas sel Th. Mekanisme supresi oleh sel Tr
terjadi melalui sitokin yang diproduksinya oleh rangsangan antigen yaitu IL-10 dan TGF-β
yang merupakan supresor kuat aktivasi sel T. Bila sel Ts/Tr/Th3 dipindahkan pada resipien
normal, maka imunitas terhadap antigen spesifik tertentu akan tetap dicegah. Fenomena itu
disebut toleransi infektif.
B. Presentasi Antigen
Secara teoritis, APC dapat menolak untuk mempresentasikan antigen sendiri ke sel T, tetapi
dalam kenyataannya molekul MHC kadang mengikat dan mempresentasikan peptida sendiri.
C. Eliminasi Klon
Menurut Burnet dan Medawar (seleksi klon) interaksi antara antigen dan klon imatur limfosit
yang sudah mengekspresikan reseptor antigen akan menimbulkan toleransi. Hal ini dapat
terjadi pada sel T dalam timus dan sel B dalam sumsum tulang.
D. Reseptor Sel B
Reseptor sel B (Ig) dapat dipenuhi antigen yang tidak menimbulkan aktivasi sel. Sel B janin
dapat melepaskan Ig, tetapi tidak mampu untuk mengikat antigen.

E. Reseptor Sel T
Reseptor sel T hanya timbul bila diaktifkan atas pengaruh antigen spesifik yang larut. Bila sel
T dibiakkan tanpa serum sendiri terjadi bunuh diri yang menunjukkan adanya faktor blockade
dalam serum.
F. Jaring anti-idiotip
Seperti halnya dengan sel Ts/Tr, AAI ditemukan pada hewan dengan autoimunitas yang
nampaknya mengatur reaksi yang terjadi. AAI adalah antibodi terhadap region ikatan epitope
dari antibodi asli. AAI tersebut dapat menurunkan regulasi respon imun dan dapat mencegah
epitope yang merupakan pencetus efektif untuk proliferasi limfosit.
2.6 Induksi Toleransi
Tolerogen adalah antigen yang dapat menginduksi toleransi imunologik. Terjadinya toleransi
atau imunitas sebagai respon terhadap antigen tergantung dari berbagai variabel seperti
keadaan fisik antigen, rute pemberian, ambang maturasi sistem imun resipien atau
kompetensi imun. Pada umumnya toleransi lebih mudah diinduksi pada sel imatur dibanding
sel matang dan toleransi dapat diinduksi dengan antigen dosis lebih kecil. Menginduksi
toleransi sel T lebih mudah dan toleransinya lebih lama dibandingkan dengan sel B.
A. Antigen Larut
Antigen larut pada umumnya tidak begitu imunogenik dan lebih tolerogeni, oleh karena APC
tidak dapat mempresentasikannya. Mungkin pula oleh karena reseptor limfosit dan
rangsangan sel T dicegah.
B. Rute Fetal (neonatal)
Toleransi dapat diinduksi dengan inokulasi sel alogenik ke neonates atau janin in utero
sebelum sistem imun resipien menjadi matang.
C. Toleransi oral-rute oral
Tidak adanya respon oral merupakan kemampuan selektif sistem imun mukosa agar tidak
memberikan respon imun terhadap antigen dalam makanan dan mikroorganisme. Toleransi
oral diduga berkembang untuk memudahkan sistem imun saluran cerna terpajan dengan
protein eksternal tanpa menimbulkan sensitasi.
D. APC, Anti-MHC
Hal yang menghambat fungsi APC seperti bantuan antibodi untuk molekul MHC, akan
menurunkan imunogenitas dan membantu terjadinya toleransi. Intervensi presentasi antigen
dapat ditimbulkan sel T yang tidak memerlukan APC. Antibodi terhadap molekul MHC dapat
menerangkan efek transfuse darah dalam memperbaiki masa hidup transplan ginjal.
E. Dosis Tinggi Antigen
Antigen dosis tinggi biasanya lebih tolerogenik, meskipun pemberian dosis rendah yang
berulang-ulang dapat pula menimbulkan toleransi sel T.
F. Bunuh Diri
Antigen yang diikat oleh obat toksik, radioisotope dan lainnya dapat mencari sel T atau sel B
dan membunuhnya tanpa merusak sel-sel lain.

BAB 3

PENUTUP

KESIMPULAN
SARAN

Dengan dibuatnya makalah tentang toleransi imun ini diharapkan nantinya akan
memberi manfaat bagi para pembaca, terutama pemahaman dalam penerapan di kehidupan
sehari-hari. Namun penulis juga menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna,
oleh karena itu saran maupun kritik yang bersifat membangun sangat kami harapkan demi
kesempurnaan penulisan makalah ini, dengan demikian penulisan makalah ini bisa
bermanfaat bagi penulis atau pihak lain yang membutuhkannya.

DAFTAR PUSTAKA

Abbas, A. K., dkk. 2007. Cellular and Molecular Immunology. 


Baratawidjaja, K.G dan Iris Rengganis. 2009. Imunologi Dasar ed. 8. Balai penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.
Cruse, J. M. & Lewis, R. E. 2003. Illustrated Dictionary of Immunology. 

Anda mungkin juga menyukai