Puji syukur kepada Tuhan kami panjatkan, karena hanya dengan rahmat dan karunia-NYA,
kami dapat menyelesaikan makalah Imunologi Sesuai dengan waktunya”.
Kami selaku mahasiswa sangat berterima kasih atas kontribusi para dosen dalam
menyampaikan materi-materi terlebih materi Imunologi sehingga mahasiswa dapat lebih
memahami dengan melakukan pengkajian melalui pembuatan makalah ini.
Dalam pembuatan makalah ini masih banyak kekurangan dan kelebihan oleh karena itu
penyusun sangat berterima kasih apabila ada kritik dan saran yang bersifat membangun untuk
perbaikan dimasa yang akan datang dan penyusun sangat berharap makalah ini dapat
bermanfaat bagi semua pihak khususnya bagi pembaca dan penyusun.
Penyusun
ABSTRAK
Kata kunci: imunologi, toleransi imun, toleransi sel t, toleransi sel b, mekanisme toleransi
BAB 1
PENDAHULUAN
Proses induksi toleransi (induced tolerance) ini kemudian dijelaskan dalam dua tipe, yakni
toleransi sentral (central tolerance) dan toleransi peripheral (peripheral tolerance). Toleransi
sentral dijelaskan sebagai toleransi yang timbul selama perkembangan dari sel limfosit,
sementara toleransi peripheral dijelaskan sebagai toleransi yang timbul setelah sel limfosit
meninggalkan organ perkembangan primer (Shetty, 2005). Toleransi sentral (central
tolerance) terjadi pada organ primer/sentral dari perkembangan sel limfosit, yakni thymus
pada sel T dan sumsum tulang pada sel B. Selama perkembangan sel B dan sel T di sumsum
tulang dan thymus, kehadiran antigen yang terdapat pada organ tersebut umumnya hanya
berupa antigen sendiri (self-antigen). Hal ini dikarenakan antigen asing dari lingkungan luar,
tidak akan ditrasport ke dalam timus, melainkan ditangkap dan ditransportasikan menuju
organ limfoid perifer (Abbas, dkk 2007).
Paparan terhadap antigen sendiri dengan dosis tinggi akan memicu sel limfosit muda
(immature) mengalami beberapa kemungkinan selama toleransi sentral, yakni sel tersebut
akan apoptosis (disebut juga clonal deletion), beberapa sel B muda yang tidak mati akan
mengalami perubahan pada reseptor mereka sehingga tidak mengenali antigen sendiri (proses
ini disebut juga receptor editing), dan beberapa CD4+ akan berdeferensiasi menjadi sel T
regulator (biasa disebut sel T suppressor) yang kemudian bermigrasi ke organ perifer dan
mencegah respons terhadap antigen sendiri. Toleransi peripheral terjadi saat limfosit dewasa
yang mampu mengenal antigen sendiri akan kehilangan kemampuannya dalam memberikan
respons (disebut anergy), turunnya viability sel, dan terinduksi memicu apoptosis (Abbas,
dkk 2007).
Sel B dapat menjadi toleransi terhadap suatu antigen melalui empat tahapan peristiwa,
yaitu clonal abortion, clonal exnaustion, functional deletion, dan tahap terakhir adalah AFC
blockade. Clonal abortion adalah peristiwa ketika pertama kali sel B yang belum matang
bertemu dengan suatu antigen dalam jumlah yang kecil. Kondisi seperti ini diduga dapat
memicu pembatalan pematangan sel B untuk memicu respons imun, hal tersebut
mengakibatkan tidak terjadinya respons imun terhadap antigen tersebut. Peristiwa clonal
exhaustion terjadi jika terjadi paparan terhadap suatu antigen yang bersifat T-independent
dapat menyebabkan terjadinya clonal exhaustion. Hal tersebut mengakibatkan AFC dari sel B
yang terbentuk berusia pendek dan akhirnya tidak lagi tersedia sel yang dapat merespons
antigen. Peristiwa delesi fungsional disebabkan oleh keberadaan antigen yang dependent
terhadap sel T maupun yang bersifat independen. Terjadinya delesi fungsional disesbabkan
oleh tidak adanya bantuan dari sel T untuk melawan antigen tersebut sehingga sel B tidak
dapat merespons secara normal. Dosis antigen yang sangat besar dapat mengakibatkan
terjadinya penghambatan pembentukan sel AFC sehingga antibodi tidak terbentuk.
Jalur toleransi pada sel T secara umum memiliki kemiripan dengan sel B. Terdapat tiga
tahapan yaitu clonal abortion, functional deletion, dan suppression sel T. Clonal
abortion adalah tahapan dimana sel T yang belum matang dapat dihambat proses
pematangannya dengan cara yang mirip dengan sel B. Functional deletion terjadi saat sel T
yang matang fungsinya dihambat oleh paparan terhadap antibodi. Sel T suppression bekerja
dengan melepaskan materi penekan sel T sehingga dapat menghambat fungsi sel T yang telah
matang untuk mengenali antigen.
Sel T dan sel B memiliki karakteristik toleransi yang berbeda antar satu dengan yang lainnya.
Perbedaan-perbedaan karakteristik tersebut meliputi waktu induksi, dosis antigen, keberadaan
antigen, spesifisitas antigen, dan durasi antigen. Waktu induksi yang dimiliki oleh sel T
berbeda dengan sel B dan bergantung pada jenis antigennya. Pada antigen dependent sel T,
sel T dapat terinduksi dengan cepat sedangkan sel B terinduksi dalam waktu yang lebih lama,
yaitu sekitar empat hari. Sedangkan pada antigen yang independent terhadap sel T, antigen
tersebut lebih cepat menginduksi toleransi pada sel B.
Dosis antigen yang diberikan juga akan berpengaruh pada induksi terhadap toleransi. Dosis
antigen yang diperlukan untuk menginduksi toleransi sel B perlu lebih banyak dibandingkan
jumlah antigen yang diperlukan untuk menginduksi toleransi sel T. Diperkirakan perlu
antigen sejumlah 100-1000 kali lebih banyak untuk menginduksi sel B dibandingkan jumlah
antigen yang diperlukan untuk menginduksi sel T. Keberadaan suatu antigen juga dapat
sangat memengaruhi toleransi yang terbentuk sehingga akan berpengaruh juga terhadap
waktu lamanya paparan suatu antigen.
Spesifisitas suatu antigen juga berpengaruh terhadap respons toleransi yang terbentuk.
Diketahui bahwa suatu toleransi terbentuk secara spesifik untuk epitope tertentu, bukan
terhadap antigen tertentu. Hal tersebut dapat mengakibatkan timbulnya toleransi terhadap
berbagai jenis antigen yang memiliki kesamaan determinan.
1.3 tujuan
1.4 kegunaan
Menambah pembendaharaan bacaan dan referensi informasi tentang toleransi imun pada
manusia.
BAB 2
PEMBAHASAN
Tahun 1900 Paul Ehlich menyadari bahwa sistem imun dapat menyerang antigen sel tubuh
sendiri. Kejadian tersebut disebutnya horror autotoxicus yang dapat menimbulkan sejumlah
penyakit akut dan kronis.
Tahun 1959, hasil eksperimen dari Jerne, Talmage dan Burnet (1950), mengubah istilah
horror autotoxicus kedalam teori clonal selection yang merupakan dasar toleransi.
Mekanisme proteksi yang kuat diperlukan untuk mencegah terjadinya penyakit autoimun,
melindungi individu dari limfosit yang potensial self-reaktif terhadap antigen sel tubuh
sendiri yang disebut toleransi. Mekanisme tersebut dapat primer terjadi pada organ limfoid
primer, seperti sumsum tulang dan timus, yang disebut toleransi sentral dan di perifer yang
disebut toleransi perifer. Toleransi terhadap antigen sendiri terjadi selama hidup fetal melalui
inaktivasi atau dihancurkan limfosit self-reaktif. Proses tersebut disebut clonal abortion,
clonal deletion atau seleksi negative.
Toleransi atau kegagalan membentuk antibodi atau mengembangkan respon imun
seluler pasca pajanan dengan imunogen atau antigen terjadi hanya terhadap antigen tertentu
saja dan tidak disertai gangguan terhadap respon antigen yang lain. Tubuh mempunyai
mekanisme kuat utuk mencegah terjadinya autoimunitas. Sel T terutama sel CD4+ memiliki
peran sentral dalam mengontrol hampir semua respon imun.oleh karena itu toleransi sel T
merupakan hal yang jauh lebih penting dibanding toleransi terhadap sel B. hampir semua sel
B self-reactive tidak akan dapat memproduksi autoantibodi kecuali mendapat bantuan yang
benar dari sel T.
Sistem imun pada dasarnya dipegang oleh dua sel utama, yakni sel limfosit B (berperan
dalam respons humoral) dan sel limfosit T (berperan dalam respons seluler).
Ketidakmampuan kedua sel tersebut dalam memberikan respons terhadap antigen spesifiknya
dikenal dengan istilah anergy. Lymphocyte anergy (disebut clonal anergy) adalah kegagalan
dari klona sel B ataupun sel T untuk bereaksi terhadap antigen dan menjadi representasi
terhadap mekanisme untuk mempertahankan toleransi imunologi tubuh sendiri (Cruse &
Lewis, 2003).
E. Reseptor Sel T
Reseptor sel T hanya timbul bila diaktifkan atas pengaruh antigen spesifik yang larut. Bila sel
T dibiakkan tanpa serum sendiri terjadi bunuh diri yang menunjukkan adanya faktor blockade
dalam serum.
F. Jaring anti-idiotip
Seperti halnya dengan sel Ts/Tr, AAI ditemukan pada hewan dengan autoimunitas yang
nampaknya mengatur reaksi yang terjadi. AAI adalah antibodi terhadap region ikatan epitope
dari antibodi asli. AAI tersebut dapat menurunkan regulasi respon imun dan dapat mencegah
epitope yang merupakan pencetus efektif untuk proliferasi limfosit.
2.6 Induksi Toleransi
Tolerogen adalah antigen yang dapat menginduksi toleransi imunologik. Terjadinya toleransi
atau imunitas sebagai respon terhadap antigen tergantung dari berbagai variabel seperti
keadaan fisik antigen, rute pemberian, ambang maturasi sistem imun resipien atau
kompetensi imun. Pada umumnya toleransi lebih mudah diinduksi pada sel imatur dibanding
sel matang dan toleransi dapat diinduksi dengan antigen dosis lebih kecil. Menginduksi
toleransi sel T lebih mudah dan toleransinya lebih lama dibandingkan dengan sel B.
A. Antigen Larut
Antigen larut pada umumnya tidak begitu imunogenik dan lebih tolerogeni, oleh karena APC
tidak dapat mempresentasikannya. Mungkin pula oleh karena reseptor limfosit dan
rangsangan sel T dicegah.
B. Rute Fetal (neonatal)
Toleransi dapat diinduksi dengan inokulasi sel alogenik ke neonates atau janin in utero
sebelum sistem imun resipien menjadi matang.
C. Toleransi oral-rute oral
Tidak adanya respon oral merupakan kemampuan selektif sistem imun mukosa agar tidak
memberikan respon imun terhadap antigen dalam makanan dan mikroorganisme. Toleransi
oral diduga berkembang untuk memudahkan sistem imun saluran cerna terpajan dengan
protein eksternal tanpa menimbulkan sensitasi.
D. APC, Anti-MHC
Hal yang menghambat fungsi APC seperti bantuan antibodi untuk molekul MHC, akan
menurunkan imunogenitas dan membantu terjadinya toleransi. Intervensi presentasi antigen
dapat ditimbulkan sel T yang tidak memerlukan APC. Antibodi terhadap molekul MHC dapat
menerangkan efek transfuse darah dalam memperbaiki masa hidup transplan ginjal.
E. Dosis Tinggi Antigen
Antigen dosis tinggi biasanya lebih tolerogenik, meskipun pemberian dosis rendah yang
berulang-ulang dapat pula menimbulkan toleransi sel T.
F. Bunuh Diri
Antigen yang diikat oleh obat toksik, radioisotope dan lainnya dapat mencari sel T atau sel B
dan membunuhnya tanpa merusak sel-sel lain.
BAB 3
PENUTUP
KESIMPULAN
SARAN
Dengan dibuatnya makalah tentang toleransi imun ini diharapkan nantinya akan
memberi manfaat bagi para pembaca, terutama pemahaman dalam penerapan di kehidupan
sehari-hari. Namun penulis juga menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna,
oleh karena itu saran maupun kritik yang bersifat membangun sangat kami harapkan demi
kesempurnaan penulisan makalah ini, dengan demikian penulisan makalah ini bisa
bermanfaat bagi penulis atau pihak lain yang membutuhkannya.
DAFTAR PUSTAKA