Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang dilakukan terhadap kami (sopir dan kondektur) bus
sekolah di Pidie melalui Surat Bupati Pidie Nomor 551/1175/2018 perihal Penarikan, Pergantian
Sopir, dan Kondektur Bus Sekolah (Bukti P-1 terlampir), terindikasi dilakukan dengan
prosedur yang cacat, sehingga PHK tersebut ditengarai cacat yuridis pula. Dalam surat tersebut
juga tidak disertai alasan dan pertimbangan-pertimbangan pergantian sopir/kondektur.
Pertama, Penunjukkan kami sebagai sopir/kondektur bus sekolah dilakukan melalui Surat
Keputusan Kepala Dinas Perhubungan Kabupaten Pidie. Seharusnya, PHK yang dilakukan
tersebut melalui SK dan pertimbangan teknis Dinas Perhubungan Pidie.
Kedua, PHK yang tidak sesuai dengan prosedur merupakan sebuah pelanggaran. Tidak hanya itu,
seringkali PHK juga merupakan perbuatan yang mengikuti pelanggaran-pelanggaran lain.
Pasal 1 angka 25 UU No. 13 Tahun 2008 tentang Ketenagakerjaan menyebutkan, pemutusan
hubungan kerja adalah pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal tertentu yang
mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerja/buruh dan pengusaha.
Pasal 153 ayat (1) UU Ketenagakerjaan, disebutkan bahwa, pengusaha tidak boleh mem-PHK pekerja
karena alasan antara lain:
a. pekerja/buruh berhalangan masuk kerja karena sakit menurut keterangan dokter selama
waktu tidak melampaui 12 (dua belas) bulan secara terus-menerus;
b. pekerja/buruh berhalangan menjalankan pekerjaannya karena memenuhi kewajiban
terhadap negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
c. pekerja/buruh menjalankan ibadah yang diperintahkan agamanya;
d. pekerja/buruh menikah;
e. pekerja/buruh perempuan hamil, melahirkan, gugur kandungan, atau menyusui bayinya;
f. pekerja/buruh mempunyai pertalian darah dan/atau ikatan perkawinan dengan
pekerja/buruh lainnya di dalam satu perusahaan, kecuali telah diatur dalam perjanjian
kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama;
g. pekerja/buruh mendirikan, menjadi anggota dan/atau pengurus serikat pekerja/serikat
buruh, pekerja/buruh melakukan kegiatan serikat pekerja/serikat buruh di luar jam kerja,
atau di dalam jam kerja atas kesepakatan pengusaha, atau berdasarkan ketentuan yang
diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama;
h. pekerja/buruh yang mengadukan pengusaha kepada yang berwajib mengenai perbuatan
pengusaha yang melakukan tindak pidana kejahatan;
i. karena perbedaan paham, agama, aliran politik, suku, warna kulit, golongan, jenis
kelamin, kondisi fisik, atau status perkawinan;
j. pekerja/buruh dalam keadaan cacat tetap, sakit akibat kecelakaan kerja, atau sakit karena
hubungan kerja yang menurut surat keterangan dokter yang jangka waktu
penyembuhannya belum dapat dipastikan.
Jika pengusaha mem-PHK pekerja karena alasan-alasan yang tidak dibenarkan undang-undang,
maka PHK tersebut batal demi hukum dan pengusaha wajib mempekerjakan kembali pekerja
yang bersangkutan (Pasal 153 ayat [2] UU Ketenagakerjaan).
Berdasarkan dalil-dalil di atas, kami berkesimpulan, PHK yang dilakukan atas kami merupakan
bentuk pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang dilakukan oleh Negera (Pemkab Pidie)
dengan melibatakan sejumlah alat-alat Negara di dalamnya.
Padahal, Indonesia mengatur secara tegas mengenai hak atas pekerjaan warga negaranya. Pasal
27 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (UUD NRI 1945) mengatur
bahwa setiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi
kemanusiaan. Pasal 28D ayat (2) UUD NRI 1945 menambahkan bahwa setiap orang berhak
untuk bekerja serta mendapatkan imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan
kerja.Tidak hanya dalam konstitusi, pengaturan hak atas pekerjaan tersebut diturunkan dalam
berbagai peraturan perundang-undangan, termasuk meratifikasi Kovenan Internasional Hak-Hak
Ekonomi, Sosial, dan Budaya dengan Undang-Undang No. 11 Tahun 2005. Kedua, kami
menemukan adanya maladministrasi dalam proses pemutusan hubungan kerja.
2. Diberikannya hak kami pada Dinas Perhubungan Kabupaten Pidie dan Pemerintah
Kabupaten Pidie berupa Uang Pesangon (UP), Uang Penghargaan Masa Kerja (UPMK),
dan Uang Penggantian Hak (UPH). Lantaran pihak Dinas Perhubungan Kabupaten Pidie
tidak mau melanjutkan hubungan kerja, maka berlaku kompensasi 2 kali UP, 1 Kali
UPMK. Hal itu sebagaimana diatur dalam Pasal 163 ayat 2 UU Ketenagakerjaan.
Demikian pernyataan sikap dan tuntutan kami ini kami perbuat. Atas perhatiannya kami ucapkan
terima kasih.
Nailul Authar
Ketua
FSBP
Tembusan:
1. Pemkab Pidie,
2. DPRK Pidie,
3. Polres Pidie,
4. Kejari Pidie,
5. Ombudsman Perwakilan Aceh,
6. Ombudsman RI,
7. Komnas HAM Perwakilan Aceh,
8. Komnas HAM RI.