Anda di halaman 1dari 2

Sebuah kapal nelayan 7 GT mendarat ke Kuala Pasi Ie Leubeue, Kembang Tanjong, Pidie, Sabtu 11 April

2020 pagi. Beberapa awak kapal melompat dari kapal tersebut. Mereka baru saja pulang melaut setelah
sebelumnya 10 jam berada di laut.

Kapal itu tak disandarkan pada darmaga Tempat Pendaratan Ikan (TPI) tapi pada jembatan bambu di
samping dermaga tersebut.

“Tidak bisa kita sandarkan kapal di TPI karena kalau air surut, lumbung kapal akan terkena material
bangunan dan akan hancur ketika air pasang,” kata seorang nelayan di sana, Sabtu, 11 April 2020.

Di dermaga TPI, beberapa nelayan sedang menjahit jaring pukat yang koyak sembari membicarakan
harga ikan yang murah akhir-akhir ini dan hasil tangkapan yang sedikit.

Duduk di antara nelayan yang sedang menjahit pukat, Muliadi, 42 tahun, warga Gampong Lancang,
Kecamatan Kembang Tanjong, Pidie menceritakan bagaimana para pekerja yang ingin bekerja di
Malaysia melalui jalur tikus .

Dia mengatakan para pekerja ilegal umumnya pulang dan pergi Malaysia dengan kapal nelayan melalui
Kuala Idi, Aceh Timur. Dari Sigli, misalnya, para pekerja akan menumpang bus.

“Setidaknya harus ada sekitar 50 orang dalam sekali berangkat. Sebelum ke Malaysia, biasa para pekerja
tinggal di rumah warga yang telah disediakan di sekitar Kuala Idi selama seminggu sampai jumlah yang
ingin berangkat mencapai 50 orang dari seluruh Aceh,” kata Muliadi. “Ongkosnya Rp 1,5 juta hingga Rp 5
juta per orang.”

Ketika kuota sudah mencapai 50 orang, setiap calon pekerja tersebut akan dijemput oleh tukang ojek
pada tengah malam. Mereka naik beberapa perahu dompeng untuk mencapai kapal nelayan 16 GT.

“Kita dimasukkan ke dalam kong (bawah lantai) selama dua hari. Satu hari di wilayah perairan Indonesia,
dan satu hari lagi di Pulau Batu Putih, perbatasan Indonesia dan Malaysia, karena kapal harus putar-
putar dulu di laut agar tidak ada kecurigaan dari tim patroli,“ ujarnya. “Hanya tiga nelayan yang bisa
berada di atas kapal. Mereka berpura-pura sedang menjaring ikan.”

Di perbatasan tersebut, sebelum memasuki wilayah perairan Malaysia, kapal tersebut mengganti
bendera Indonesia dengan bendera Malaysia.

Mereka diturunkan di Teluk Gong, di dekat pelabuhan Klang, Selangor dan di Malaka. “Jam lima pagi
dengan cara melompat dari kapal, tak terkecuali perempuan hamil dan perempuan yang membawa
bayi.

Kedalamannya, kata Muliadi, setinggi pinggang orang dewasa dan tempat mereka didaratkan tersebut
dikelilingi pohon mangrove.

“Begitupun sebaliknya jika hendak pulang dari sana. Kita harus mendaftar dulu. Ada orang yang dari
sana menelpon nelayan dari Aceh untuk menjemput mereka. Semua kegiatan dilakukan di malam hari.
Biasa kalau pulang dari sana kita bisa bebas mendarat di Pelabuhan Idi. Ada juga yang pulang dengan
kapal sayur dan kapal arang dari Pelabuhan Klang ke Pelabuhan Krueng Geukueh Aceh Utara,” kata
Muliadi menjelaskan.

Panglima Laot Kuala Tari Pasi Jeumerang M Jafar, 56 tahun mengatakan, jalur tikus ke Malaysia melalui
perairan Pidie sulit dilakukan karena Pidie agak jauh dari perbatasan Malaysia. “Perairan kita berbentuk
teluk, jauh dari negeri seberang, makanya tak ada kasus nelayan Pidie yang terdampar dan ditangkap
oleh tim patroli Malaysia,” kata M Jafar, Sabtu, 11 April 2020.

Anda mungkin juga menyukai