Anda di halaman 1dari 2

CT sudah rusak.

Benar sekali, ACT bahkan diplesetkan menjadi Aksi Cepat Tilep atau Aksi
Copet Terstruktur. Dengan kedok donasi untuk kemanusiaan, mereka memotong sebagian
jumlahnya untuk kepentingan pribadi yang jumlahnya melebihi batas yang ditoleransi.

Izinnya pun sudah dibekukan, karena pemotongan yang mereka lakukan sebesar 13,7 persen,
tidak sesuai dengan 10 persen yang ditetapkan pemerintah.

Dulu ada korban kecelakaan yang katanya terkumpul ratusan juta tapi hanya mendapat Rp 3 juta.
Tidak ada kejelasan dan transparansi. Kesedihan dan penderitaan mereka dimanfaatkan untuk
kenikmatan para petinggi ACT.

Bahkan ada lagi hal serupa terkait kejadian kecelakaan pesawat Lion Air Boeing JT 610 yang
terjadi pada 18 Oktober 2018 lalu.

Setelah ditelusuri, Mabes Polri mengatakan ACT mendapat rekomendasi dari 68 ahli waris
korban kecelakaan pesawat tersebut untuk mengelola dana sosial atau CSR sebesar Rp 138
miliar. Kasus ini masih dalam tahap penyelidikan.

Masing-masing ahli waris dari korban mendapat dana sebesar US$ 144.500 atau setara Rp
2.066.350.000. Ternyata dana tersebut tidak dapat dikelola langsung, melainkan harus
menggunakan lembaga atau yayasan. ACT ditunjuk mengelola dana tersebut.

“Dan pada saat permintaan persetujuan kepada pihak Boeing dari para ahli waris korban, pihak
ACT sudah membuatkan format berupa isi dan/atau tulisan pada email yang kemudian meminta
format tersebut dikirimkan oleh ahli waris korban kepada pihak Boeing sebagai persetujuan
pengelolaan dana sosial/CSR,” katanya.

Seperti yang sudah-sudah, ACT tidak beritahu berapa jumlah dana sosial/CSR yang diterima
mereka dari pihak Boeing kepada ahli waris korban, termasuk nilai, serta progres pekerjaan yang
dikelola oleh ACT.

“Diduga pihak ACT tidak merealisasikan/menggunakan seluruh dana sosial/CSR yang diperoleh
dari pihak Boeing, melainkan sebagian dana sosial/CSR tersebut dimanfaatkan untuk
pembayaran gaji ketua, pengurus, pembina, serta staff,” katanya.

Selain itu, dana tersebut diduga juga digunakan untuk mendukung fasilitas, serta kegiatan atau
kepentingan pribadi Ketua Pengurus atau Presiden ACT Ahyudin dan Wakil Ketua Pengurus
atau Vice President ACT Ibnu Hajar.

Bagian liciknya adalah, ternyata ACT pernah menghubungi para ahli waris korban untuk
memberikan rekomendasi kepada Boeing supaya pengelolaan dana CSR diberikan kepada ACT.

Ibarat ada gula ada semut, maka ada donasi besar di situ ada ACT. Mata ACT jadi hijau dan
ngences karena jumlahnya mencapai ratusan miliar. Kalau dipotong 10 persen saja, bisa kalian
bayangkan betapa menggiurkannya.
Syarat dari Boeing adalah agar sebuah lembaga meminta rekomendasi dari ahli waris korban.
Pada akhirnya, memang Boeing mempercayakan pengelolaan dana itu kepada ACT.

Licik, bukan?

Mereka tidak transparan, jadi bisa dikatakan mereka hanya ingin memperkaya diri sendiri.
Korban hanyalah batu loncatan yang bisa diakali dan diperdayai.

Bisa kalian bayangkan betapa besarnya ACT. Selain mengelola CSR dari pihak Boeing, mereka
juga mengelola beberapa CSR dari beberapa perusahaan dan donasi dari masyarakat. Donasi
Mayarakat Umum, Donasi Kemitraan Perusahaan Nasional dan Internasional, Donasi
Institusi/Kelembagaan Non Korporasi dalam Negeri maupun Internasional, dan Donasi dari
Komunitas dan Donasi dari anggota lembaga.

Setiap bulan saja, total donasi yang terkumpul bisa mencapai Rp 60 miliar, lalu dipotong oleh
ACT sekitar 10-20 persen atau Rp 6 - Rp 12 miliar untuk keperluan pembayaran gaji pengurus
dan seluruh karyawan, sedangkan pembina dan pengawas juga mendapatkan dana operasional
yang bersumber dari potongan donasi tersebut.

Sungguh hina sekali mereka ini. Petingginya jahat. Buzzernya juga jauh lebih hina. Karena ini
menyangkut sumbangan dari masyarakat dengan menjual agama. Agama dipermainkan untuk
menggugah nurani masyarakat. Kasus ini lebih parah dari investasi bodong.

Investasi bodong menjual mimpi menjadi kaya tanpa perlu kerja keras banting tulang jungkir
balik dari pagi hingga malam, maka ACT ini menjual air mata dan kesedihan korban untuk
memperkaya petingginya, dengan memakai agama. Pemuka agama mempermulus langkah ACT
untuk menikmati surga duniawi.

Sudah saatnya siapa pun yang terlibat dalam kebiadaban ini dijerat hukum berlapis. Jangan diberi
ampun apalagi pakai materai.

Bagaimana menurut Anda?

Anda mungkin juga menyukai