Anda di halaman 1dari 37

(Tulisan Pertama dari Dua Tulisan tentang Misteri Tritunggal Mahakudus*)

*) Artikel ini dikutip dari Bab XIII buku “Togog Madeg Pandhito: Rasan-rasan Soal Tuhan di Jagad
Punakawan”, diterbitkan oleh ISCS

Malang, 2009.

1. BILUNG SI JAGO SILAT DAN METODE PERANG AYAT-AYAT

Pikiran Bilung sudah mulai tertata, namun sayang metode “perang ayat-ayat” masih sulit dilepaskan dari
otaknya. Maklum, Bilung sudah

mengalami “cuci otak” selama bertahun-tahun, karena itu sembuhnya memerlukan proses. Namun
Semar, punya “terapi” tersendiri menghadapi

berbagai penyakit pikiran, seperti yang kini dialami oleh Bilung.

† “Sorry lho, Semar”, kata Bilung meneruskan diskusinya di Padepokan Klampis Ireng, milik Kyai Semar.
“Sebenarnya, masih banyak sekali

ayat lain yang mengganjal pikiran saya”.

‡ “Ciaaat... silat Ayat-ayat lagi nih yé? Ayo, keluarkan jurusmu lagi, Bilung? Hééééé...”, Semar terkèkèh.

† “Saya, serius Kyai!”, Bilung protes. “Mat. 28:19 sampèyan tafsir Tritunggal? Kalau hanya Bapa, Putra
dan Roh Kudus disebut bersama-

sama sampèyan tafsir satu, gimana dengan ayat ini: “Di hadapan Allah, Kristus Yesus dan malaikat-
malaikat pilihan-Nya kupesankan …” (1

Tim. 5:21). Apakah para malaikat pilihan-Nya juga masuk dalam zat Ilahi, Kyai?”.
‡ “Ya jelas tidak sama to, Bilung!”, tegas pendiri Padepokan Klampis Ireng itu. “Dalam Mat. 28:19 Bapa,
Putra dan Roh Kudus itu jelas

satu, karena tidak disebut εἰς τὸ ὄνοματι. “Eis to onomati” (Dalam nama-nama), melainkan: εἰς τὸ
ὄνομα. “Eis to onoma” (Dalam Nama),

Jadi, Bapa, Putra, dan Roh Kudus itu “satu nama”. Karena itu, dalam liturgi gereja-gereja Timur formula
trinitaris itu dipertegas: ‫باسم‬

‫ امين‬،‫ اإلله الواحد‬،‫“ االب واالبن والروح القدس‬Dalam Nama Bapa, dan Putra, dan Roh Kudus, yaitu Allah Yang Esa,
Amin” (Bismil Abi wal Ibni war Ruhil Quddus, Al-

Ilahul Wâhid, Āmîn)”.

† “Lho...”, Bilung mlongo.

‡ “Kenapa heran?”, kata Semar sambil nyruput kopinya . “Jangan kamu pikir kalau Cakil, Togog, dan
Bilung berbaris, terus kamu samakan

saja dengan Tritunggal? Lha mana yang menekankwn aspek kesatuannya, Bilung? Huuuh… tobat tênan,
lha kok primitif sekali pola

pikirmu!”.

† “Mungkin saja, “dalam nama” itu cukup disebut satu kali, tetapi uraiannya lebih dari satu pribadi”,
bantah Bilung. “Inilah nama para

anak Israel yang datang ke Mesir…” (Kel. 1:1), contohnya. Nah, anak-anak Israel yang datang ke Mesir
kan banyak, tetapi hanya disebut:

“Inilah nama…” Itu alasan praktisnya, mungkin saja to?”.

‡ “Dalam bahasa Ibrani tetap disebut jamak: ‫ו ְאֵ ּלֶה ׁשְ מֹות ְּבנֵי י ִׂשְ ָראֵ ל‬, “We elleh syemot Bani Yisrael”.
Artinya: “Inilah nama-nama”, dalam
terjemahan Yunani (Septuaginta) juga bisa jamak: ταῦτα τὰ ὀνόματα τῶν υἱῶν Ισραηλ. “Tauta ta
onomata tón hión Israel …” Sekali lagi,

“nama-nama” dan bukan “nama”. Jadi, berbeda dengan Mat. 28:19, dimana Bapa, dan Putra, dan Roh
Kudus tersebut ditegaskan “satu nama”.

Jangan meraba-raba dalam gelap, Sarawita! Goblok kok ngotot? Héé…hééé…

† “Kamu ngomong apa, Semar? Please, silahkan kamu menggoblok-goblokan saya terus! Tapi awas kowé
ya, tunggu “tanggal main”-nya! Masih

banyak ayat-ayat lain, Badranaya! Saya ini jagoan silat lho, Juuèngkèl tênan aku”.

‡ “Laé-laé mbêgêgêg ugêg-ugêg sadulita, sadulita. Ya, ya, saya akui kamu jagoan “silat ayat-ayat,
Sarawita!”, Kyai Semar terkekeh

lagi.

† “Awas, kamu Semar!”, Bilung mulai naik darah.

‡ “Huuuu…Lha wong baca Kitab Suci kok kaya’ baca komik “Kho Ping Hoo”. Ayo, mana lagi senjata
pamungkasmu, Bilung!”, Semar terus

menggoda.

2. “UNA SUBSTANTIA TRES PERSONAE”

† “OK, saya coba mengerti penjelasanmu, Semar. Wahyu Tritunggal Jati sebenarnya menekankan
TUHAN yang selalu berkarya dengan Firman

dan Roh-Nya. Tapi mengapa harus disebut “pribadi-pribadi”? Itu yang tidak masuk akal, Kyai Semar!
‡ “Nggak masuk akal, atau nggak masuk di akalmu, Bilung?”, Semar masih mengejek. “Dahulu bapa-bapa
gereja mengenalkan banyak istilah,

antara lain “pribadi”. Dalam bahasa Yunani ὑπόστασις “hypostasis”, paralel dengan bahasa Aramaik
‫“ ܩܢܘܡܐ‬qnoma”, yang kemudian

diterjemahkan dalam bahasa Arab ‫“ اقنوم‬Uqnum”. Kemudian bapa-bapa Gereja Latin menerjemahkan
menjadi “persona”.

‡ & † “Ehmm....” Semar diam sejenak, Bilung terus menyimak.

‡ “Masalahnya”, lanjut Semar, “Ya, masalah mulai timbul setelah abad XIX M Sigmund Freud
mempopulerkan istilah “person” dalam teori

“psikoanalisis”-nya. Serapan dari bahasa Latin “persona” yang mula-mula bermakna “metaphysical
personality” (personalitas metafisik),

akhirnya dalam bahasa Inggris berubah makna menjadi “phsychological personality” (personalitas
psikologis). Padahal jelas bukan makna

seperti itu yang dimaksudkan oleh bapa-bapa gereja kuno dahulu, Bilung!”

† “Jadi, tepatnya apa makna “persona” yang dimaksud bapa-bapa gereja, Badranaya?”, tanya Bilung.
“Dan apa bedanya dengan makna kata

itu pada masa sekarang, Kyai Semar?”

‡ “Istilah kuno “persona” dalam makna metafisik, adalah “keseluruhan hakikat dengan hubungan-
hubungannya”. Sebaliknya, arti pribadi

dalam makna psikologi modern adalah pribadi yang terpisah dengan pribadi lain. Dalam makna
psikologis seperti ini, tidak bisa
dibayangkan bagaimana μία οὐσία “mia ousia” (satu Dzat) dapat secara serentak dan bersama-sama
memiliki τρεῖς ὑποστάσεις “treis

hypostaseis” (tiga pribadi)”, jelas Kyai Semar lugas.

† “Ooo...Kalau begitu, sekalipun Bapa, Putra, dan Roh Kudus itu disebut “pribadi” tetapi tidak terpisah
satu sama lain. begitu, Kyai

Semar?”

‡ “Tepat sekali, Sarawita. Kemarin saya sudah singgung Gregorius dari Nyssa (335-394 M) tentang
ketidakterpisahan persona-persona

Ilahi. Hal yang juga ditekankan oleh Tertulianus dari Kartago (169-220 M): “Una Substanstia, tres
personae. Distincti non divisi.

Discreti non Separate” (Satu substansi, tiga persona, beragam tak terbagi, berbeda tak terpisah). Tekan
apa ora utekmu, Bilung?”,

tanya Semar sambil menyodorkan kacang rebus kepada tamunya itu.

† “Matur suwun, Kyai”. Bilung jengkel, namun penasaran juga.

‡ “Keesaan Allah itu bukan bersifat statis, Sarawita! Keesaan Allah adalah realitas yang dinamis yang
selalu berproses dalam Diri-Nya

sendiri. Dari Wujud Allah Yang Esa yang disebut Bapa itu lahirlah Firman-Nya dan keluarlah Roh-Nya.
Firman dan Roh Allah itu berbeda,

namun tidak terbagi (distincti, non divisi), dibedakan, namun tidak terpisah (discreti, non separate).
Paralel dengan Theodor Abu

Qurrah (750-825 M). Sang Bapa adalah ‫“ رئاسة‬ri'asah” (Sumber, Sang Asal tanpa asal), Putra atau Firman
Allah ‫“ والدة‬wilādah” (dilahirkan)
secara kekal dari Sang Asal, dan Roh Allah ‫“ انبثاق‬Inbitsāq” (dipancarkan) dari Wujud yang esa dan sama,
bersifat azali, qadim, tanpa

permulaan dan tanpa akhir. Ing zaman kelanggengan, Bilung!”.

† “Jadi, kata “pribadi” itu telah menimbulkan salah paham ketika dipahami dalam makna modern, Kyai?”

‡ “Tepat sekali, Bilung. Sebab meskipun Bapa, Putra, dan Roh Kudus harus dibedakan dalam persona-
Nya, tetapi satu Allah. Sekali lagi,

Tertulianus menekankan perbedaan antara Allah, Firman, dan Roh-Nya, tetapi tidak menganggapnya
sebagai wujud-wujud yang terpisah,

melainkan ‫“ لشرح الثالوث في دات هللا‬li syaraha al-tsalût fî dzât Allah” (untuk menjelaskan hubungan
ketritunggalan dalam wujud Dzat Allah). Begitu

terjemahan bahasa Arabnya”, jelas Semar.

† “Jadi, para teolog harus terus menggali akar sejarahnya, agar tidak membuat kesalahan-kesalahan
baru?”

‡ “Ya, Betul. Penafsiran orang-orang modern itu mudah salah karena “tercabut dari akarnya”. Mereka
salah memahami kata “persona”

sebagai pribadi-pribadi saling terpisah. Inilah yang dipahami kaum Unitarian, Saksi-saksi Yehuwa,
termasuk ajaran Kakang Togog,

Junjunganmu itu, sehingga mereka menolak Tritunggal yang sebenarnya tak pernah mereka mengerti.
Joko Sembung naik becak, gak nyambung

bekas, Cak! Hééé…”

† “Yo, Yo, Semar....mesti lho”, Bilung cemberut, tapi terus penasaran. “Lalu lebih gamblang gimana para
teolog gereja purba memahami
ajaran Tritunggal, Semar? Selama ini saya pikir, Tritunggal itu memang “dewa berkepala tiga”, Hééé…

‡ “Kepala tiga? Endhasmu prothol kuwi, Bilung!”

† “Ngamuk, ngamuk....Lanjuuut...”, Bilung ganti mengejek, cengèngèsan.

3. TERANG DARI TERANG, ALLAH SEJATI DARI ALLAH SEJATI

‡ “Intinya, Sang Bapa adalah sumber ke-Allahan, sebagaimana ditegaskan dalam 1 Kor. 8:6 “… satu Allah
saja, yaitu Bapa, yang

daripada-Nya berasal segala sesuatu dan yang untuk Dia kita hidup”.

† “Sebentar, sebentar, Kyai”, potong Bilung. “. ..satu Allah, yaitu Bapa”, berarti Anak bukan Allah to?”.

‡ “Wééé.. Ladalah.....Nyang Bandung numpak becak, pikiranmu bingung ora nyandak....Haaa...”

† & ‡ “Semaaaaar.....”, Bilung berteriak emosi, Semar nyruput kopi. “Santai, santai...Yuk kita santai, agar
syaraf tidak tegang...”,

seperti Bang Haji Rhoma Irama, Semar berdendang riang.

‡ “....satu Allah, yaitu Bapa”, artinya hanya ada satu wujud Allah, yang dikiaskan Bapa, namun Anak juga
disebut: “Ya Allah” (Ibr.

1:8), Jangan berhenti di sini, Bilung. Sebab lanjutan ayat itu: “Yesus Kristus, yang oleh-Nya segala
sesuatu telah diciptakan”. Ini

menekankan Yesus sebagai Firman (Yoh. 1:1), yang dengan Firman-Nya itu Allah telah menciptakan
segala sesuatu (Maz. 33:6, Yoh. 1:3,

Rom. 4:27).
† “Jadi, karena Firman Allah itu tinggal kekal dalam Wujud-Nya yang Esa, dan wujud Allah yang dikiaskan
Bapa itu hanya satu, maka

dikatakan “satu Allah, yaitu Bapa” (1 Kor. 8:6). begitu, Kyai?”.

‡ “Bravo, Bravo, Bilung. Pikiranmu sudah mulai tercerahkan. Betul, betul sekali, Cah Bagus. Firman Allah
“keluar dan datang dari

Allah” (Yoh. 8:42), begitu juga dengan Roh Kudus-Nya “yang keluar dari Bapa” (Yoh. 15:26).

† “Jadi, itu yang disebutkan dalam Syahadat Nikea-Konstantinopel: “Terang dari Terang, Allah sejati dari
Allah sejati”. Benarkah

begitu, Kyai Lurah?”

‡ “Mabruk, Mabruk, ya Habibi. Karena Anak bukan wujud terpisah, melainkan berdiam kekal dalam
“satu Allah, yaitu Bapa”, maka Konsili

Nikaea (325 M) merumuskan: Θεον ἐκ Θεοῦ, “Theon ek Theou” (Allah yang keluar dari Allah).
Selanjutnya, Konsili Konstantiopel lebih

mempertegas lagi: Θεὸν ἀληθινὸν ἐκ Θεοῦ ἀληθινοῦ. “Theon alithinon ek Theou alithinon” (Allah yang
sejati yang keluar dari Allah

sejati)”, ujar Kyai Lurah Semar.

4. “ALLAH BESAR DAN ALLAH KECIL?”, MUSYRIK SAMPÈYAN!

† “Jadi, lebih tinggi mana Firman atau Allah, Sumber dari Firman Allah dan Roh-Nya? Ayo, jawab, Kyai!”

‡ “Hus, lancang kamu!”


† “Lancang gimana, Kyai? Yesus sendiri yang bersabda: “Bapa itu lebih besar dari Aku” (Yoh. 14:28)? Jadi,
kalaupun Anak disebut

“Allah” maksudnya “Allah kecil”, sebab hanya Bapa yang layak disebut “Allah Maha Besar”. Logikanya
kan begitu, Kyai Semar?”

‡ “Hus...”Allah besar”, “Allah kecil”, musyrik Sampèyan. Memang jumlah Allah itu berapa, Bilung?”

† “Astaga..?”, teriak Bilung, ada cicak jatuh di ubun-ubunnya.

‡ “Konteks ayat itu”, Kyai Semar terus melanjutkan, “merujuk kepada tabiat kemanusiaan Yesus, yang
bahkan “untuk waktu yang singkat

dibuat sedikit lebih rendah dari pada malaikat-malaikat” (Ibr. 2:9). Namun pada saat yang sama, ἴσα θεῷ
“isa theô” (kesetaraan dengan

Allah), seperti tertulis dalam Flp. 2:6, merujuk kepada tabiat ilahi Yesus sebagai Firman Allah. Itulah
sebabnya, dalam Credo Nikea

ditegaskan: ὁμοούσιον τῷ Πατρί, “Homousion tô Patri” (sehakikat dengan Bapa dalam wujud-Nya). Ayo,
tekan apa ora utekmu, Bilung?

Héééé...”, gurau sang Kyai lagi.

† “Jiangkrik...”, gumam Bilung, “mesti lho Kyainé ini!”.

‡ “Sor meja ana ulané, aja gela wis carané. Kembali ke substansi diskusi, konsili-konsili gereja ekumenik
purba hanya menjabarkan

berdasarkan Alkitab dan ajaran para rasul, sama sekali bukan ajaran yang baru. Jelas, Bilung!”

† “Wééé.. Ladalah...mendalam sekali yo ajaran ini, Kyai. Tapi...tapi...dijamin Allah itu Esa to?”, Bilung
seperti tidak percaya, namun
nalarnya mulai sedikit jalan.

‡ “Hong wilaheng sekaring bhawana langgeng”, Kyai Lurah Semar melantunkan suluk. “Bilung, Bilung!
Gusti. Allah kuwi mung siji, ora

loro, ora telu, nanging sijiné ora pada karo sijiné watu. Ngerti?”.

† “Wuuih....serius sekali Kyainé?”

‡ “Laé, Laé.....Pikiranmu itu baru sampai pada tahap menghitung angka, satu, dua tiga...”, kata Kyai
Semar menahan tawa melihat

pengikut setia Kyai Togog itu plonga-plongo. “Teologi andalanmu itu, Bilung, baru berkutat pada
pertanyaan “Berapa jumlah Allah?”.

Cuma tahu jumlah saja kok bangga to Cah Bagus? “Tauhid”-mu itu hanya reaksi terhadap kaum primitip
penyembah batu, belum sampai

menyentuh hakikat-Nya yang ada “diy sebalik segala sesuatu”. Ini perintah, jangan dibantah!
Renungkanlah itu lebih dahulu, Bilung!

† “Baik, Kyai Lurah”, kata Bilung seraya mengangguk takzim (Meskipun sebenarnya jengkel, Bilung tak
bisa berkutik ketika bertubi-tubi

Kyai Semar terus menggempur teologinya yang ngawur).

Oleh : Dr. Bambang Noorsena

ET’PATAH ISCS

Jum’at, 28 Desember 2018


1. KILAS BALIK

St. Demetrius I (Arab: ‫“ البابا ديمتري األول‬Albaba Dimitri al-Awwal”), adalah Patriarkh Gereja Alexandria dan
penerus yang ke-12 dari takhta suci

Rasul Markus, wafat pada tahun 232. Sedangkan St. Nikolas dari Myra (yang lebih populer dikenal Santo
Nikolas) seorang Uskup yang

terkenal dermawan, dan salah satu dari 318 peserta konsili ekumenis di Nikea tahun 325. Konsili
ekumenis ( ‫“ المجمع المسكونيه‬al-Majma' al-

Maskuniyyah” ) pertama ini, selain dengan tegas merumuskan posisi Kristus sebagai Putra (Firman) Allah
“dilahirkan tidak diciptakan” (

genitum non factum), juga mengakhiri kontroversi mengenai perayaan Paskah.

Karena perjuangan imannya, St. Nicolas pernah dipenjarakan di bawah pemerintahan Kaisar
Dioklesianus. Sebagai seorang peserta Konsili,

St Nicolas tentunya sangat paham pemikiran-pemikiran Patriarkh Demetrius I, yang akhirnya diterima
oleh konsili, khususnya

penyeragaman perayaan Paskah “kebangkitan Kristus”, sebab sebelum itu, sebagian gereja masih
mengikuti Paskah “ exodus dari tanah

Mesir” yang jatuh setiap 15 Nisan, warisan kalender Yahudi.

2. SINTERKLAS

Dari Yerusalem surgawi, dialog imajiner ini dimulai, ketika kedua pahlawan iman itu saling bertemu:

†: “ Shabah alkhair. Selamat pagi, Ya Qadasah albaba” (His Holines), sapa St. Nicolas dari Myra.
‡: “ Shabahan nuur. Selamat pagi juga, Saudaraku”, jawab Patriarkh Dimitri ramah.

“Bagaimana kisahnya sampai orang memanggilmu Sinterklas?”, tanya Patriarkh Alexandria, setelah
keduanya saling sapa dengan kabar

damai.

†: “Dulu”, jawab St. Nicolas rileks tetapi hormat kepada seniornya itu, “Saya sering berbagi berkat
dengan semua orang, khususnya

anak-anak”.

‡: “Emm”, Patriarkh Dimitri menyimak serius. Taman asri yang juga disebut ‫ “ بستان القديسين‬Bustān al-
Qiddīsīn” (Taman orang-orang kudus) di

Yerusalem surgawi, dalam diam menjadi saksi bisu dialog keduanya, kata demi kata, tema demi tema.

†: “Mereka menyebutku Saint Nicolas, wahai Qadasah Albaba”, lanjutnya, “lama-lama orang
mengejanya Sinterklas”.

‡: “Ya, ya. Lalu anak-anak kami di Mesir menyebutmu Baba Noel, karena engkau selalu hadir di pikiran
anak-anak di malam Natal”, kata

Sang Patriarkh.

†&‡: Keduanya lalu memandang dunia yang sedang merayakan Natal, dari Vatican pusat yurisdiksi
gereja St. Nicolas saat itu, Yerusalem,

Antiokia, Konstantinopel (sekarang Istanbul), hingga ke Katedral “Mar Marqus” di Abbasiya, pusat takhta
suci Alexandria sejak zaman

Rasul Markus, dilanjutkan sampai hari ini. Patriarkh Dimitri I mengenang Mesir, Gereja Ortodoks Koptik
yang digembalakannya antara

tahun 189 hingga wafatnya tahun 323.


†: “Banyak orang salah paham dengan Sinterklas”, kata St. Nicolas serius. “Kaum non-Kristiani
menganggap itu bagian akidah kita,

seolah-olah topi merah dan asesoris Natal yang sebenarnya budaya, dianggapnya ancaman bagi
kemurnian iman atau aqidah mereka”.

‡: Patriarkh Dimitri I santai saja, sabar, sabar dan sabar.

†: “Saya merasa salah, wahai Qadasah Albaba, sebab saya malah dituduh oleh kaum Kristen skripturalis
menggeser posisi Kristus yang

Natal-Nya kita rayakan”, lanjut St. Nicolas dari Myra.

‡: “Tidak usah merasa bersalah begitu, Baba Noel. Setiap agama itu selalu ada upaya kontekstualisasi
atau inkulturasi. Syukurlah di

gereja yang didirikan oleh para rasul Kristus sampai hari ini bisa dibedakan mana yang budaya, mana
yang urusan agama”, jelas

Patriarkh Gereja Koptik di Alexandria itu. St. Nicolas yang terus menyimak tausiah Sang Patriarkh,
menghela nafas panjang, lega

rasanya.

‡: “Tugas sejarah kita sudah selesai, Baba Noel. Justru kita harus terus berdoa untuk saudara-saudara
kita, gereja yang masih berjuang

dalam ziarah-nya di dunia”, kata-kata Baba Dimitri begitu sejuk, lebih dari tetes-tetes embun pagi di
dedaunan Yerusalem surgawi.

Sungguh benar yang dikatakannya. Sinterklas dan pohon Natal (apalagi yang bersalju, itu hanya budaya
Kristen Eropa), sama sekali bukan
bagian dari ritus gereja. Seperti kupatan, bedug dan baju koko yang di Indonesia dikenal sebagai “ copy
rights”-nya Islam, juga tidak

ada di Mekkah dan Madinah, tanah air Islam mula-mula. Jadi, Sinterklas yang bagi-bagi hadiah kepada
anak-anak adalah sekularisasi dari

sosok historis St. Nikolas dari Myra yang terkenal dermawan itu.

3. ASAL-USUL PERAYAAN NATAL 25 DESEMBER

†: “Lalu bagaimana asal-usul perayaan Natal 25 Desember, ya Qadasah Albaba?”, *St. Nicolas membuka
tema yang baru.

‡: “Itu berkaitan dengan tuduhan Natal sebagai penyembahan dewa Matahari, Baba Noel?”, sang
Patriarkh balik bertanya.

†: “Betul, betul, ya Qadasah Albaba!”, St. Nicolas mengangguk.

‡: “Harus ditekankan”, kata Patriarkh, “tidak ada secuilpun bukti historis bahwa 25 Desember sebagai
perayaan Natalis Sol Invictus

(Dewa Matahari Tak Terkalahkan) sebelum abad IV M”.

†: “Kapan kultus Dewa Matahari mulai di Roma?”, kejar St. Nicolas.

‡: “Rintisannya di mulai tahun 274, ketika Kaisar Aurelius mendirikan pergerakan politik dengan
mengangkat Sol Invictus, dan puncaknya

antara tahun 352-852 ketika Kaisar Julius yang pernah menjadi Kristen, kembali ke agama pagan.
Sebelum itu nama dewa ini tidak pernah

populer”, lanjut sang Patriarkh.


†: “Terus?”

‡: “Nama “Aurelian” berasal dari kata Latin ”aurora” , artinya “matahari terbit”. Penemuan koin logam
pada zamannya menunjukkan bahwa

Kaisar Aurelian menggelari dirinya sebagai Pontifex Solis (Pemimpin Matahari). Jadi, tahun 274 dapat
disebut sebagai “ terminus per

quem” (masa terdini) kultus Dewa matahari diperkenalkan”, Paus Alexandria mengurai simpang siur itu.

‡: “Seandainya benar 25 Desember mula-mula kelahiran Dewa Matahari”, tambahnya, “pasti ada jejak-
jejak catatan historisnya sebelum

tahun 274”.

†: “Justru sebelum tahun 274 semua bukti sejarah yang paling awal merujuk 25 Desember sebagai Natal
Kristus?”, tanya St. Nicolas

menegaskan lagi.

‡: “ Mumtaz, ya Baba Noel. 25 Desember di wilayah Barat, sejak zaman St. Telesphorus, Paus Roma
(126-137) sudah melaksanakan misa

tengah malam, 24 Desember. Begitu juga, Mar Teofilus dari Kaisarea (115-181) dan *Hypolitus *(170-
235) yang pada tahun 215 membuat

kompilasi Didascalia dalam bahasa Yunani”, ujar Paus Alexandria tersebut.

†: “Tapi mengapa Sol Invictus lebih terkenal dibandingkan dengan Natal Kristus, ya Patriarkh?”

‡: “Karena meskipun gereja-gereja sudah lebih dahulu merayakan Natal pada tanggal 25 Desember,
namun pada masa Kaisar Aurelius belum
ada kebebasan beragama. Edic Milan baru dikeluarkan pada zaman Konstantion tahun 313”, jawab sang
Patriarkh.

†: “Jadi, perayaan Natal 25 Desember sudah menyebar di Roma, Kaisarea, Alexandria dan wilayah-
wilayah yang lebih luas lagi, namun itu

hanya praktek Kekristenan sebagai agama rakyat?”, lagi tanya St. Nicolas dari Myra.

‡: “Betul”.

†: “Sebentar, Ya Qadasah Albaba, bagaimana yang terjadi di gereja Timur sebelum itu?”, tanya St.
Nicolas lagi.

‡: “Sejak saya dipilih sebagai Paus Alexandria pada tahun 189, kami hitung lagi lebih cermat, yang
kemudian dirumuskan dalam Pasal 18

Didascalia Koptik yang menemukan paralel tanggal kelahiran Juru Selamat kita, 25 bulan Ibrani Kislev
yang bertepatan dengan 29 bulan

Mesir Kyakh”, jelasnya.

†: Jadi, jauh sebelum tahun 274 sebagai jejak terawal penyembahan Dewa Matahari di Roma, kelahiran
Kristus yang tepat terjadi pada

perayaan Hanukkah 25 Kislev itu, kemudian dikonversikan dalam berbagai sistem kalender?”, tanya St.
Nicolas makin penasaran.

‡: “Betul, kami yang di Mesir memakai kalender ANNO MARTYRI (AM) merayakannya tanggal 29 bulan
keempat, dan saudara seiman di Roma

merayakan tanggal 25 Desember”, jelas Sang Patriarkh bersemangat.


†: “Tahun inilah yang nanti direvisi oleh Paus Gregorius, yang lebih dikenal dengan ANNO DOMINE
(Tahun Tuhan kita), yang kini berlaku

secara internasional, Wahai Patriarkh?”.

‡: “Tepat sekali, Baba Noel. Intinya, tidak secuilpun bukti dokumen kuno yang menyebut 25 Desember
sebagai kelahiran Sol Invictus”,

simpul Patriarkh. Memorinya semua perisitiwa kuno itu sangat baik, seperti kamus berjalan saja.

†: “Apakah Kaisar ini yang lebih dikenal dengan Julius the Apostate, karena ia murtad dari Kristen dan
kembali ke peganisme?”, tanya

St. Nicolas memastikan.

‡: “Betul, betul, ya Baba Noel. Pada tahun 354 ketika Kaisar Yulius menetapkan 25 Desember sebagai
hari libur, di kalangan non-Kristen

lebih populer sebagai “Natalis (Sol) Invicti”, padahal tidak ada nama “Sol” (Dewa Matahari) dalam
dokumen itu”, jawab Paus Alexandria

itu.

†: “Maksudnya seperti yang tercantum dalam dokumen Cronogram Anno 354, Patriarkh?”, tanya St.
Nicolas.

‡: “Benar, benar sekali, Cronogram Anno 354 adalah kalender Roma tahun 354. Jadi, masih pada
pemerintahan Kaisar Yulius. Dokumen ini

juga tidak ada kata Sol Invictus (Dewa Matahari yang tidak Terkalahkan)”, lanjut Sang Patriarkh.

†: “Lho?”, St. Nicolas heran.


‡: “Dokumen itu hanya tertulis: N INVICTI CM XXX. N artinya “natalis” (kelahiran), INVICTI artinya “yang
tak terkalahkan”. CM

singkatan dari kalimat “circenses missus” (permainan yang telah ditentukan), sedangkan XXX adalah
angka Latin untuk “tiga puluh”

(triginta)”.

†: “Jadi, makna seluruh kalimat itu: “30 jenis permainan yang ditetapkan untuk kelahiran Dia Yang tak
Terkalahkan. Benar begitu, Ya

Patriarkh?”.

‡: “Ya”.

†: “Tidak ada kata SOL (Dewa Matahari). Lalu siapakah INVICTI (Yang tak Terkalahkan) dalam
CRONOGRAM ANNO 354 itu, wahai Bapa suci?”

‡: “Faktanya, justru dokumen kuno itu secara pasti menyebut bahwa 25 Desember adalah “NATUS
CHRISTUS IN BETLEEM IUDEAE” (Kelahiran

Kristus di Betlehem, Yudea). Lalu bagaimana dikatakan INVICTI mengacu kepada Dewa Matahari, wahai
Baba Noel?”

4. CATATAN PENUTUP

Mitos Anti-X'mas benar-benar telah melenakan banyak orang Kristen, sejak teolog Jerman Ernst
Jablonski menyerang kelender perayaan-

perayaan liturgis, awal abad XIX silam.


‡: “Semua gerakan anti Natal itu diawali dari spirit anti Katolik”, kata Patriarkh setelah sejenak
merenung.

†: “ Kyrie eleison, Irhamni Ya Allah ... tak sangka dampaknya begitu luas...”, St. Nicolas heran.

Sementara kedua hamba Tuhan itu hanya diam terpaku, tiba-tiba diam mereka dibuyarkan oleh aneka
peristiwa di bumi. Jauh di bawah sana,

tapi terang sekali di mata mereka.

“Mana tanggalnya? Dalam Alkitab tak tercatat”, kata seorang pendeta Kristen madzab skripturalis.

“Keempat Injil juga tidak memuat info siapa yang nulis, kenapa kamu sebut Injil Matius, Markus, Lukas
dan Yohanes?”, kata pendeta lain

yag lebih paham sejarah gereja kuno.

“Kita tahu itu dari bapa-bapa gereja awal, seperti Papias dan Irenaeus”, jawab pendeta pertama tadi tak
mau kalah.

“Nah, lalu kenapa kita menolak keterangan bapa-bapa gereja awal soal kalender Natal, tetapi pada pihak
lain kita tanpa keberatan

menerima keterangannya tentang siapa para penulis Injil?”, orang Kristen lain lagi nimbrung bicara.

“Sudah, sudah, sudah... Mau Yesus langsung lompat dari langit ke Betlehem atau ke Surabaya, musim
dingin atau musim durian, nggak

penting...”, tambah orang itu lagi berapi-api.

†&‡: “ Lho...?”, kedua bapa gereja tersebut semakin tak mengerti jalan pikiran kaum “planet Holywood”
ini.
‡: “Aneh, jelas-jelas bapa-bapa gereja awal yang menyebut Yesus lahir 25 Kislev, sejajar dengan 25
Desember dan 29 Kyakh, tidak mereka

gubris...”

†: “Ééé.. mereka malah mengulang-ulang opini yang tanpa bukti sepotongpun dokumen bahwa 25
Desember Natalis Sol Invictus... Ya Rabb

irham ...”, kata St. Nicolas menimpalinya.

Sementara kedua pemimpin gereja itu tidak bisa menjelaskan fenomena aneh ini, saat banyak orang
Kristen saleh tetap merayakan Natal di

sebuah gereja (mungkin karena alasan kontekstualisasi), sekelompok orang di warung Indomie instant
lagi berdendang... dang... dang...

dangdut: “ masih terngiang di telingaku bisik cintamu.... terlena.... kuterlena ...” (Ikke Nurjanah).

†&‡: “Apakah mereka juga benar-benar telah terlena dengan bisik cinta Sol Invictus itu?”, kedua santo
itu membatin.

Tampak di bawah sana, seorang sedang nyruput kopi instant, sambil berdendang: “ Terlena...
Kuterlena .....”

‡: “Mereka benar-benar terlena, Baba Noel ...”, simpul Sang Patriarkh.

†&‡: “Ooo... Menu makanan dan minumannya instant, pemikirannya juga instant”, simpul keduanya
hampir berbarengan.

Setelah sejenak merenung, lonceng Yerusalem surgawi berdentang, memanggil mereka untuk sujud
sembahyang.
†: “ By the way ... Jangan lupa, wahai Qadasah Albaba, minggu depan kita masih membahas tema: “
Kabar dari Efesus: Ternyata Dajjal tak

suka Natalan”.

ET’PATAH ISCS
Jum’at, 4 Januari 2019

(Disarankan untuk membaca terlebih dulu tulisan Pertama di


link: http://bit.ly/2QUELmK)

1. PRAWACANA

Dari Yerusalem sampai ujung-ujung bumi, gemerlap kembang-kembang api


menyambut pergantian tahun di bumi, cahayanya tampak dari ketinggian ‫“ הַ ר צִּיֹון‬Har
Tsion”, Yerusalem Surgawi:

† : “Eda brika u-risheh d'shata brikta” (‫“ ܥܐܕܐ ܒܪܝܟܐ ܘܪܝܫܗ ܕܫܝܬܐ ܒܪܝܟܬܐ‬Selamat Natal
dan Tahun Baru”), ucap St. Nicolas dalam bahasa Aramaik.

‡ : “Selamat Natal dan Tahun Baru juga, ya Baba Noel”, jawab Sang Patriarkh.

Setelah saling bertukar khabar suka, dialog kedua santo ini mulai memecah sunyi.

2. DAJJAL, GNOSTIK DAN NATAL

† : “Sebenarnya penolakan natal itu sejak kapan dan dasarnya apa, Ya Qadasah Albaba”,
tanya St. Nicolas melanjutkan diskusi minggu lalu.

‡ : “Tidak ada dasar, mula-mula asal beda dengan Katolik saja”, ujar Paus Alexandria.
“25 Desember baru dimasalahkan pada 1743, Ernest Jablonsky yang pertama
menolaknya. Tapi tanpa sadar, akar penolakan itu spiritnya bisa dilacak dari zaman
rasuli sendiri”.

† : “Sejak zaman rasuli?”

‡ : “Ya, itulah yang harus dihadapi Rasul Yohanes pada hari-hari tuanya di Efesus. Bidat
Gnostik. Masih ingat mereka, ya Baba Noel?”, tanya Patriarkh Dimitri Al-Awwal lugas.
† : “Tentu semua orang ingat itu, Ya Patriarkh. Itulah Anti Kristus. Saudara-saudara
seiman kita di gereja-gereja Syria menyebutnya ‫“ ܡܫܝܚܐ ܕܓܐܠ‬Mshīḥa Dagalā”, yang
akhirnya diterjemahkan dalam bahasa Arab ‫الدجال‬
ّ ‫“ المسيح‬Al-Masīḥ ad-Dajjāl...”, jawab St.
Nicolas.

Tiba-tiba kedua orang suci itu mengingat Efesus, kota dimana Cerinthus, pentholan
sekte Gnostik itu berani terang-terangan melawan Rasul Yohanes, saksi mata dari
ajaran Yesus yang masih hidup saat itu, sampai tahun 96 M.

† : “Tapi apa hubungannya dengan Natal, Ya Qadasah Albaba?”.

‡ : “Inti ajaran Gnostik, Ya Baba Noel”, urai Sang Patriarkh, “menyangkal bahwa Yesus
benar-benar menjadi manusia. Sebab bagi mereka daging itu kotor, dunia ini terlaknat
dan harus dijauhi. Mengapa Al-Masih Kalimatullah harus  nuzul(turun) mengambil wujud
darah dan daging?”

† : “Padahal inti ajaran rasuli: “Dan Firman itu telah menjadi manusia, dan ber-
“shekinah” diantara kita” (Yohanes 1:14)”, tambah St. Nicolas dari Myra.

‡ : “Tepat sekali, Ya Baba Noel”, kata Paus Alexandria itu sambil beranjak dari tempat
duduknya, dan kembali lagi membawa Alkitab naskah Peshitta bahasa Aramaik,
bahasa Sang Kristus sendiri.

‡ : “Bacalah ayat ini, Ya Baba Noel”, pinta Sang Patriarkh, tangannya menunjuk ayat suci
dalam aksara Syro-Aramaik:

‫ܝܚܐ ܗܝ ݁ ܰܕ ݁ܳܓܐܳܠ‬
݈ ܺ
ܳ ‫ܡܫ‬ ‫ܳܗ ݂ ܶܕܐ ܶܡܢ‬ ‫ܐܐܳܠ‬
ܶ .‫ܐ ܳܠ ܳܗܐ‬ ܶ ݁ ‫ܐ ܳܬܐ ݁ ܰܒܒ ܰܣܪ ܰܠ‬
ܰ ‫ܝܬܝܗ ܶܡܢ‬ ݂ ݂ ܶ ‫ܘܕ ܳܝܐ ݁ܕ ܶܝ ܽܫܘܥ‬
݁ ‫ܰܡ‬ ܳ ‫ܘܟܠ ܽܪ‬
‫ܘܚܐ ݁ܕܐܳܠ‬ ݂ܽ .
“We kul rūḥā d'lā mawdyā d'Yeshua etā b'bsar laytih min Alahā ela hadā min Mšhīḥā
hū dagalā”.
Artinya: “Dan setiap roh yang tidak mengaku Yesus telah datang sebagai manusia, tidak
berasal dari Allah. Roh itu adalah roh Al-Masīḥ ad-Dajjāl...” (1Yoh. 4:2, Peshitta).

† : “Ooo... saya bisa menangkap benang merahnya. Jadi, bapa-bapa rasuli mengingat
kelahiran-Nya sebagai salah satu bukti bahwa Firman Allah benar-benar menjadi
manusia (Yohanes 1:14, 1 Yohanes 4:1-2) untuk menghadapi ajaran dajjalyang
menyangkal kemanusiaan-Nya. Apa benar begitu, Patriarkh?”

‡ : “Mumtaz, Ya Baba Noel. Seperti lumrahnya manusia, Yesus benar-benar lahir, mati,
bangkit dan naik ke surga. Itu yang lalu dihitung cermat dalam kalender gerejawi”,
tegas Patriarkh.
3. APAKAH ADA PERINTAH MERAYAKAN NATAL DALAM ALKITAB?

† : “Wahai Qadasah Albaba, apakah perintah merayakan Natal ada dalam Alkitab?”,
tanya St. Nicolas.

‡ : “Ada!”, jawab Patriarkh Dimitri seraya mengutip 2 Timotius 2 :8. “Ingatlah


ini: Yesus Kristus, yang telah bangkit dari antara orang mati, yang telah dilahirkan sebagai
keturunan Daud, itulah yang kuberitakan dalam Injil ku”.

† : “Ya, jelas ayatnya”.

‡ : “Bandingkan dengan Lukas 21:19 dan 1 Korintus 11:24, Ya Baba Noel!”, jelas Sang


Patriarkh. Kata “ingatlah” (Yunani: μνημονευε “mnêmoneue”) dalam ayat ini juga
digunakan dalam Injil ketika Yesus memerintahkan perayaan Paskah-Nya”.

† : “.... τοῦτο ποιεῖτε εἰς τὴν ἐμὴν ἀνάμνησιν. “touto poieite eis tên emên
anamnêsin”.
Artinya: “... perbuatlah ini menjadi peringatan akan  Aku!”, St. Nicolas membaca baris
terakhir kedua ayat yang dikutip Sang Patriarkh.

‡ : “Jadi jelas, perintah untuk mengingat kematian dan kebangkitan-Nya sama


mengikatnya dengan perintah untuk mengingat kelahiran-Nya”, kata Patriarkh
Dimitri Al-Awwal.

† : “Hadhir, ya Qadasah Albaba”, St. Nicolas mengangguk takzim.

‡ : “Itulah sebabnya sejak St. Telesphorus, Paus Roma (126-137) sudah melaksanakan
misa tengah malam 24 Desember. St. Teofilus dari Kaisarea (115-185) juga merayakan
Natal setiap 25 Desember”, jelas Paus Alexandria itu.

St. Nicolas diam menyimak, kagum dengan Sang Patriarkh yang menguraikan peristiwa
2.000 tahun yang lalu itu, seolah-olah baru terjadi minggu kemarin.

4. DARI MANAKAH SUMBER INFORMASI TANGGAL PERAYAAN NATAL?

† : “Ok, ok. Sangat jelas,  ya Qadasah Albaba. Namun sebelum gereja secara cermat
menghitungnya, dari mana sumber informasi mula-mula tanggal kelahiran-Nya?”,
tanya santo yang kini melegenda menjadi Sinterklas itu.
‡ : “Sayidatina Al-Adzra' (Bunda Perawan Maryam!)”, jawab Patriarkh tegas.

† : “Bunda Maria?”, St. Nicolas kaget.

‡ : “Ya, Bunda Maria. Kenapa? Ke mana dan bersama siapa sang bunda gereja tersebut
tinggal setelah penyaliban Putra-Nya semata wayang itu?”, Patriarkh balik bertanya.

† : “Tinggal bersama di rumah Rasul Yohanes, murid terkasih-Nya, seperti tertulis


dalam Injil Yohanes 19:26-27”.

‡ : “Betul. Dan sebelum wafatnya kira-kira tahun 48 M, Bunda Maria pernah menyertai
rasul Yohanes ke Efesus...”, Sang Patriarkh diam sejenak seolah mengingat-ingat
sesuatu.

‡ : “Logisnya”, lanjutnya lagi, “ketika kontroversi Gnostik itu muncul di Efesus, Yohanes
sebagai murid yang dipercaya menampung Bunda Maria di rumahnya, pasti mengingat
semua informasi tentang Yesus dari Sang Theotokos yang telah mengandung dan
melahirkan-Nya, layaknya seorang ibu yang selalu ingat kelahiran putranya”.

† : “Baik, baik, Ya Qadasah Albaba. Tetapi bagaimana menjawab para teolog modern
yang skeptis dengan tradisi gereja kuno? Bisa saja mereka menganggap kita hanya
mereka-reka”, lagi tanya St. Nicolas dari Myra.

‡ : “Saya tak meragukan kecerdasan para teolog modern itu. Tetapi hanya
mendasarkan Alkitab dan melepaskan dari konteks historisnya, justru akan
memancing roh-roh Dajjal itu gentayangan kembali ke gereja”, tegas sang
Patriarkh.

† : “Maksudnya, Ya Qadasah Albaba?”

‡ : “Ingat Markion, Baba Noel? Selama rasul Yohanes masih hidup, kaum Gnostik tidak
bisa leluasa menyebarkan ajaran-ajaran sesatnya. Tetapi begitu sang rasul meninggal,
Markion berani merevisi Alkitab. Ia menolak Injil Matius, Markus dan Yohanes”.

† : “Mengapa?”

‡ : “Karena Matius mengawali injilnya dengan silsilah Yesus dan kelahiran-Nya dari
seorang perawan. Mereka menganggap Yesus itu hanya semacam “intermediary
being” (entitas pengantara) yang bukan Allah dan bukan manusia. Jadi, karena Yesus
tidak benar-benar menjadi manusia, bagaimana mungkin ada silsilah dan kisah
kelahiran-Nya?”, urai Sang Patriarkh mengungkap alasan teologis di balik penyangkalan
kaum Gnostik itu.

† : “Khabarnya, Markion hanya menerima Lukas dan surat-surat Paulus. Padahal Lukas
juga mencatat kelahiran Yesus dan menulis silsilahnya?”, kejar St. Nicolas lagi.

‡ : “Very good question” , kata Sang Patriarkh. “Itulah sebabnya Markion membuang


Pasal 1-3 Injil Lukas, dan hanya memasukkan pasal 4-24 dalam Kanon abal-abalnya
itu”.

† : “Ck...ck..ck.. benar-benar kurang ajar kaum Gnostik itu!”.

‡ : “Sejak dulu, Baba Noel. .. Begitulah spirit mereka! Nah, sekarang ribuan denominasi
Kristen telah tumbuh ‘bak jamur di musim hujan. Padahal mereka membaca Alkitab
yang sama, bahkan sekte-sekte bodoh seperti Mormon dan Saksi-saksi Yehuwa juga.
Kenapa?”, tanya Patriarkh.

† : “Karena Alkitab dibaca lepas dari konteks sejarahnya, Ya Qadasah Albaba”.

‡ : “Benar, Ya Baba Noel”, lanjutnya. “Kalau dulu Markion harus menyeleksi kanon dan
membuang kitab-kitab yang menghalangi selera bidatnya, sekarang menerima
seluruh Alkitab pun, karena saksi-saksi rasuli tak kita hiraukan, tiap-tiap orang
memasukkan pahamnya sendiri ke dalam teks-teks suci tersebut”.

† : “Bukan exegese, tetapi eisegese. Bukan menggali makna teks, tetapi memasukkan


ide kita sendiri ke dalam teks”, simpul St. Nicolas.

Patriarkh Alexandria itu mengangguk, 100% setuju.

† : “Satu lagi pertanyaan dari kaum skeptis yang sering muncul, Ya Qadasah Albaba.
Apakah benar para bapa gereja mula-mula itu cermat menghitungnya?”

‡ : “Itu pertanyaan menghina, Baba Noel. Mereka pikir bapa-bapa rasuli itu begitu
sederhananya”, Sang Patriarkh bisa jengkel juga.

Patriarkh Dimitri sejenak diam, St. Nicolas menunggu wejangan selanjutnya.

‡ : “Kaum fundamentalis skripturalis itu yang sebenarnya aneh. Mereka mengkritik apa
yang tidak mereka ketahui. Coba, berapa sistem kalender kuno yang pernah mereka
pelajari?”

† : “Saya kira cuma sistem Gregorian. Itupun yang duduk di komisi liturgi. Selebihnya
cuma lihat di kalender dinding. Enak ya, nggak perlu sulit-sulit menghitung: Paskah,
Pentakosta, Adventus dan Natal... sudah ditandai dengan tanggal-tanggal warna
merah. Héééé ....”, kata St. Nicolas tergelak.

Sang Patriarkh pun menahan tawa, St. Nicolas bergumam sendiri, tapi suara cukup
keras terdengar.

† : “Pangkatmu opo to Dul, Dul... Ngritik tanpa data. Lek ora ngerti, takono! Lek ora
enthos, mingkemo cangkemmu!”, gerutu St. Nicolas dengan rasa sungkan.
(Red:  Bahasa Jawa ngoko/kasar, Pangkatmu apa? Kalau tidak mengerti, tanyalah! Kalau
tidak becus, tutup mulutmu! )

Kali ini Sang Patriarkh tak bisa menahan, pecah juga tawanya.

‡ “Haaaa... Haaaa.... Pantas saja anak-anak suka pada-Mu, Baba Noel. Lucu kamu...
Haaaa...”, sosok yang dikenal Sinterklas itu ikut tertawa lepas.

5. APAKAH BAPA-BAPA GEREJA PERDANA SUDAH CERMAT MENGHITUNGNYA?

Tawa renyah keduanya terhenti ketika dari langit Alexandria memancar kembang-
kembang api, dan suara terompet bersaut-sautan terdengar dari kejauhan. Setiap kota
di bumi silih berganti menandai pergantian tahun mereka.

‡ : “Ingat Alexandria, ingat Mar Markus. Di kota inilah pertama kali Injil diberitakan
hingga menyebar ke seluruh Mesir dan benua Afrika”, kata Patriarkh Alexandria dan
penerus ke-12 ‫“ الكرازة المرقسية‬Al-Karāzat al-Marqusiyya” (Tathta Suci St. Markus Sang
Rasul).

† : “Hadhir, hadhir, Ya Qadasah Albaba!”, jawab St. Nicolas takzim.

‡ : “Alexandria itu gudangnya para astronom sejak ratusan tahun sebelum Kristus.
Pada tahun 46 SM, ketika merevisi kalender Romawi sebelumnya yang dihitung
“setelah berdirinya kota Roma” (Ab Urbe Condita/AUC), yaitu 21 April 753 SM, Julius
Caesar dibantu oleh Sosigenes, astronom dari Alexandria”, Sang Patriarkh
menjelaskan.

† : “Tapi bagaimana tadi dengan kecermatan kalkulasi Natal, Ya Qadasah Albaba?”,


tanya St. Nikolas lagi.

‡ : “Masih ingat kisah St. Polikarpus uskup Smyrna, murid Rasul Yohanes, wahai Baba
Noel?”, Patriarkh balik bertanya.

† : “Ya, tentu. Bagaimana mungkin melupakan uskup saleh itu, ya Qadasah Albaba”.

‡ : “Suatu hari Markion menemui St. Polikarpus dan bertanya: “Masih mengenal saya?”
Jawab St. Policarpus: “Tentu saja aku mengenalmu, karena kamu anak sulung Iblis”, kisah
Sang Patriarkh.

† : “Ya, saya membaca kisah itu dari St. Irenaeus, murid St. Polikarpus, dalam
bukunya Adversus Haereses (Melawan Bidat-bidat), Vol. III, 3-4”, kata St. Nicolas.

‡ : “Tapi bukan hanya kesalehannya, Baba Noel. Pada zamannya ia juga debat dengan
Paus Roma tentang kalkulasi kalender Paskah. Jadi, jangan sekali-kali berpikir bahwa
para bapa gereja awal itu begitu sederhana, tak mungkin menghitung rumit hari-hari
perayaan menurut berbagai sistem kalender”, tegasnya.

† : “Tradisi intelektual ini yang dilanjutkan generasi sesudahnya, Ya Qadasah Albaba?”,


St. Nicolas menegaskan.

‡ : “Ya, tepat sekali. Pada tahun-tahun pertama kepatriarkhan saya, Sextus Yulius
Africanus mengunjungi saya di Alexandria, salah satu agendanya membahas kelender
perayaan gerejawi itu”.

† : “Sextus Yulius Africanus (160-240) dengan cermat mencatat kelahiran Yesus: “...


tanggal 25 Desember di Betlehem, sebuah kota di Yudea, pada tahun ke-43
pemerintahan Agustus, Kaisar yang berkuasa atas seluruh Roma, konsulat
Gulpicius, Marinus dan Gaus Pompeius, sesuai laporan naskah-naskah kuno yang
akurat”. Benar begitu, Ya Qadisah Albaba?”, kata St. Nicolas mengutip tulisan Sextus
Yulius Africanus.

‡ : “Tepat sekali, Baba Noel. Perhatikan bahasa Yulius Africanus, bukan bahasa dongeng


dari negeri “antah berantah” bukan? No, No, No, ini benar-benar bahasa seorang
sejarawan”, tegas Sang Patriarkh.

† : “Jadi, kalau AD ( Anno Domini, “Tahun Tuhan kita”) pada akhirnya diterima dan


dihitung sejak lahirnya Yesus, mengapa kelahiran-Nya tanggal 25 Desember, tetapi
tahunnya dimulai 1 Januari?”, tanya St. Nicolas.

‡ : “Hadza su'al muhim jiddan, jiddan, jiddan (Ini pertanyaan yang sangat, sangat, sangat
penting)”, jawab Sang Patriarkh. “Alasannya tahun baru dimulai dari hari ke
delapan setelah kelahiran-Nya. Karena apa, ya Baba Noel?”, tanya Patriarkh.
† : “Karena ‫ב ְִּרית מִ ילָ ה‬ “B'rit Milah” (perjanjian sunat), Ya Qadasah Albaba, “karena
Yesus di sunat pada hari kedelapan, seperti ketentuan syariat Taurat (Kejadian I7:12:
Lukas 2 :21)”, jawab St. Nicolas.

‡ : “Tepat sekali, Baba Noel. Karena alasan itu dokumen-dokumen kuno mencatat
tanggal Natal-Nya: πρὸ ὀκτὼ καλανδῶν ἰανουαρίων “pro okto kalandon
Ianuarion” (delapan hari sebelum Januari). Mari kita check and recheck
dokumennya!”, Sang Patriarkh lalu menunjuk bagian yang dimaksud.

‡&† : Kedua santo itu kemudian membaca penggalan tulisan St. Hypolitus dari Roma
(170-236) menurut teks aslinya dalam bahasa Yunani:

*‘Ἡ γὰρ πρώτη παρουσία τοῦ κυρίου ἡμῶν ἡ ἔνσαρκος, ἐν ᾗ γεγέννηται ἐν Βηθλεέμ,
ἐγένετο πρὸ ὀκτὼ καλανδῶν ἰανουαρίων, ἡμέρᾳ τετράδι, βασιλεύοντος Αὐγούστου
τεσσαρακοστὸν.
“He gar prote paraousia tou Kuriou hemon he ensarkos en he gegennetai en Bethlehem,
egeneto pro okto kalandon Ianouarion, hemera tetradi, basileountos Augoustou
tessarakoston”.
Artinya: “Untuk kedatangan Junjungan kita dalam keadaan-Nya sebagai manusia
dilahirkan di Bethlehem, delapan hari sebelum bulan Januari, hari keempat dalam minggu
itu (Rabu), pada tahun ke empat puluh dua pemerintahan Agustus”(Comm. on Dan. IV,
23).

‡ : “Sekali lagi, jauh sebelum Kaisar Roma pada tahun 274 memperkenalkan
kultus Sol Invictus (Dewa Matahari yang tidak Terkalahkan)”, simpul St. Nicolas.

6. REFLEKSI AKHIR

Dari Alexandria mata kedua janasuci itu tertuju ke Efesus, langit kota itu sudah merona
menyambut pagi. Namun tak lama ketika mereka menatap ujung barat negeri
khatulistiwa, langit kota itu tak begitu cerah, rupanya telah sebulan lelah berdebat soal
halal atau haramnya mengucapkan Selamat Natal. Pantas saja, tak terdengar “Malam
kudus”. Sepanjang jalan hingga lorong-lorong kecilnya yang terdengar hanya lagu
“Desember kelabu”.

Dan kini ketika menyambut malam Tahun Baru, banyak orang yang ngakunya ulama
sibuk berkhotbah dan mencerca: “Haram meniup terompet. Itu Yahudi!”, kata seorang
dari mereka. “Awas, hati-hati merayakan Tahun Baru 1 Januari sama dengan menyembah
Janus, dewa Roma bermuka dua!”, tuduh yang lain lagi.
Sayangnya, sebagian besar penduduk negeri yang suka damai dan rindu cinta itu
terlanjur hafal “tembang lawas” Andi Meriam Mattalatta: “... biarlah kujawab semua
dusta. Januari, Januari yang biru...” Berbareng dengan itu, seekor elang rajawali datang
membawa berita dari Efesus: “Tak usah heran, Bro. Sejak dulu Dajjal memang
nggak suka Natalan”. 

Oleh : Dr. Bambang Noorsena


2019 © ISCS All Rights Reserved

“De Museum Cafe”, di penghujung tahun 2018.

DIALOG IMAJINER

ET'FATAH ISCS, 11 Januari 2019

1. KILAS BALIK

Pada tahun 533 M St. DIonysius Exiguus Sang Rahib dari Roma (470-544), seorang
teolog, matematikawan dan ahli astonomi, menciptakan Kalender Masehi yang kini
menjadi kalender internasional. Tahun ini dikenal sebagai ANNO DOMINI/AD (Tahun
Tuhan), karena dihitung setelah kelahiran Yesus, sedangkan tahun-tahun sebelumnya
lebih dikenal "BEFORE CHRIST/BC (Sebelum Kristus).

Kyai Ibrahim Tunggal Wulung (1800-1885) diilahirkan dengan nama muda Raden
Tandakusuma. Sebagai "trahing kusuma" (keturunan priyayi) sang Kyai yang ternyata
cicit KGPAA. Mangkunegara I ini, pernah menjabat demang di wilayah Kediri dengan
nama Demang Padmadirdja. Pada tahun 1855 dalam pengejaran Belanda karena
keterlibatannya dalam Perang Diponegoro (1825-1830), sang demang memutuskan
menjadi pengikut Kristus berdasarkan wangsit yang diterimanya ketika bertapa di
gunung Kelud. Karena itu, Kyai yang diduga penulis Serat Darmogandul ini, dikenal
oleh para pengikutnya sebagai Ki Ajar Kelud.

2. PRA-SEJARAH KALENDER MASEHI 

† "Rahayu. Apa kabar, Rahib?", sapa Kyai Tunggul Wulung takzim. 


‡ "Shalom, kabar baik, Kyai. Apa panjenengan juga sehat?", balas rahib Dionysius.

† "Syukur kepada Gusti Allah, Rahib", kata Sang Kyai, "Cuma ada kontroversi soal Tahun
Baru. Kata seorang ustadz, Perayaan 1 Januari itu perayaan dewa Janus. Apa benar
begitu?".

‡ "Ah, sok tau saja... Hmm...", Sang Rahib tersenyum.

† "Maaf, Rahib. Mumpung ketemu dengan yang bikin Kalender Masehi, makanya saya
tanyakan kepada ahlinya langsung", pinta sang Kyai.

‡ "Sejujurnya saya katakan", jelas St. Dionysius, "saya cuma mereformasi sistem
kalender yang sudah ada ratusan tahun sebelum saya, meneruskan kalender Julian
yang ditetapkan Kaisar Julius (46 SM), yang juga merombak kalender sebelumnya".

† "Ooo...itu kalender yang dihitung sejak 21 April 753 SM, yaitu berdirinya sejak kota
(Roma,), Ya Sayid?".

‡ "Betul, betul sekali, Kyai. Kita lazim menyebut AB URBE CONDITA (AUC), "sejak
berdirinya Kota" , jelasnya dalam bahasa Latin. 

† " Bisa dijelaskan lebih rinci sejarahnya, Rahib".

‡ "Mula-mula", Sang Rahib mulai berkisah. "Kalender pertama Roma kuno yang dibuat
oleh penguasa Roma pertama, yaitu Romulus, hanya terdiri dari 10 bulan, diawali
bulan Martius (Maret), bulan pertama setiap tahunnya".

† "Ooh... jadi sama dengan Nisanu, bulan pertama menurut kalender Babel yang juga
jatuh sekitar? Maret?", tanya Kyai Tunggul Wulung.

‡ "Tepat sekali, Kyai. Karena pengaruh kelender Babel, Israel selain merayakan ‫ר ֹאׁש‬
‫" הַ שָּׁ נָה‬Rosh HaSanah" (Tahun Baru) 1 Tishri, juga mengenal 1 Nisan sebagai Tahun Baru
khusus untuk perayaan liturgis mereka". 

† "Kalau nama-nama dari ke-10 bulan Roma purba itu apa saja? Benarkah nama-nama
itu mengabadikan dewa-dewa mereka, wahai Rahib?". 

‡ "Tadi sudah saya jelaskan, pertama Martius, lalu Aparailis, Maius, Junius, Quintilis,
Sextilis, September, October, November, dan December. Tidak semua merujuk nama
dewa-dewa... Lagian, kenapa takut sekali dengan dewa-dewa?", tanya Sang Rahib lalu
sejenak diam. 

†" Ada yang kurang berkenan, Rahib?", tanya Sang Kyai. 

‡ "No, No problem", jawabnya. "Di sini terlalu ramai saja Kyai!". 

Suara Rahib Dionysius kadang lirih terdengar, karena gemuruh sembah puja beribu-
ribu malaikat dan jemaat ‫ِين‬ ٍ ‫" أَرْ َواح أَب َْر‬Arwah Abrar Mukammalin" (Ibrani 12:22-23,
َ ‫ار ُم َك َّمل‬
"roh-roh orang-orang benar yang telah menjadi sempurna"), sedang bersyafaat bagi
saudara-saudari seiman mereka di Indonesia, khususnya memasuki tahun politik 2019.

ܳ ‫ܡܕܝܢ ݁ ܳܬܐ ݁ ܰܕ‬


Di sebuah pendopo Rumah Joglo gaya Jawa di ‫ܐܠ ܳܗܐ ܰܚ ܳܝܐ‬ ܺ
݈ ݂ "Mdinta d'Alaha Haya"
(Kota Allah yang hidup), keduanya melanjutkan diskusinya, cukup gayeng sembari
ngopi ditemani ubi rebus dari gunung Kawi:

‡ "Ada nama-nama dewa, ada juga yang tidak. Martius, dari nama Mars, dewa perang
Roma. Mei dari Maia, dewi Yunani, putri Atlas, dewa penyangga bumi. Maia adalah ibu
Hermes, dewa pembawa pesan langit. Dari "Hermes" muncul istilah "Hermeunetika".
Tidak berarti ketika menafsir Alkitab kita memuja "Hermes", bukan?", jelas Sang Rahib.

† "Lalu bulan Juni, Ya Rahib?".

‡ "Juni berasal dari nama dewa Yuno, ayahnya Mars, Kyai. Selebihnya netral aja, Kyai.
April (Aparailis) asalnya dari" aperiri", artinya cuaca nyaman di musim semi. Bulan
lainnya hanya hitungan angka 5 sampai 10", jawab St. Dionysius.

† "Bisa diuraikan lagi! Maaf, maaf...", pinta Kyai Tunggul Wulung.

‡ "Enam sisanya merujuk urutan bulan aslinya dalam sistem Romulus", lanjut sang
rahib. 'Quintilis, dari kata "quinque", bulan kelima. Nama bulan ini di kemudian hari
diganti Juli, untuk mengabadikan nama Julius Caesar. Sextilis, dari kata "sex", bulan
keenam, nantinya disebut Agustus untuk mengabadikan nama Kaisar Augustus. Lalu
September dari kata "septem", bulan ke tujuh, October dari "octo", bulan ke delapan,
November dari "novem", bulan kesembilan, dan terakhir December dari "decem",
bulan kesepuluh". 

3. MEMAKNAI TAHUN BARU


3.1. AB URBE CONDITA (AUC): SETELAH BERDIRINYA KOTA ROMA

† "Ooo... Lalu kapan mulai ditambahkan menjadi 12 bulan, Rahib? Dan bagaimana
dengan dewa Janus, "danyang"-nya bulan Januari yang akhir-akhir ini dicurigai kaum
bumi datar itu? ", lagi tanya Kyai Tunggul Wulung.

‡ "Sejak tahun 717 SM, penguasa Roma Pompillus yang menambahkan 2 bulan awal di
kalender Roma, yaitu Januarius dan Februarius, sehingga Martius geser menjadi bulan
ketiga", jawab St. Dionisyus. "Selanjutnya pada tahun 46 SM, Julius Caesar
menyempurnakannya lagi. Sehingga akhirnya populer dengan kalender Julian",
tambahnya.

† "Jadi benar?".

‡ "Benar, Kyai. Januari itu berasal dari nama Janus, dewa yang wajahnya menatap ke
belakang dan ke depan, simbol tentang masa lalu dan masa depan".

† "Lha kalau Februari itu mengenang dewa siapa, Rahib?". 

‡ "Tidak ada dewa Februari, kabeh-kabeh kok Dewa... Heeee.. Lho, lha kok aku melu
ketularan bahasamu, Kyai....?"

‡ & † "Haaa... Haaa...", keduanya terkekeh.

‡ "Februari dari kata "Februar", itu semacam syukuran untuk menyambut akan
datangnya musim semi pada bulan Maret", kata Sang Rahib. 

† "Ehm... Lalu bagaimana 1 Januari mulai menjadi perayaan Tahun Baru dan apa
maknanya?". 

‡ "1 Januari zaman siapa dulu, Kyai? Tak bisa dipukul rata begitu. Tak setiap Januari ada
Janus, bisa saja lakonnya ganti Janaka kalau tetanggamu menyambut Tahun Baru
nanggap wayang lakonnya "Parta Krama" (Janaka Menikah), Heeee..." St. Dionysius
tertawa lepas.

†" Ya, ya betul, Rahib. Ternyata Rahib ngerti wayang juga ya? Heee.... ", sang Kyai
terbahak. 

‡ " Nah, kita lanjutkan. Kalau 21 April hari penting apa, Kyai?".

† "AB URBE CONDITA (Sejak berdirinya Kota Roma), tanggal 21 April 753 SM", jawab
Kyai Tunggul Wulung.

‡ "Siapa bilang? Itu kan orang Roma. Lha kalau di negerimu sekarang, 21 April itu Hari
Kartini to Kyai.... Haa..", gurau Rahib Dionysius.
‡ & † "Haaaa... Haaa...", keduanya lalu terpingkal.

‡ "Sekali lagi, harus lihat konteksnya dulu, Kyai. Pada zaman Julius Caesar tanggal 1
Januari dirayakan oleh rakyat karena pergantian konsul Roma, tiap-tiap konsul masa
baktinya 12 bulan", tambah Sang Rahib.

† "Ya, ya, saya mengerti, Rahib. Tak setiap Januari yang jadi bintang adalah Janus. Bisa
saja Janaka, Jan Pieter Coen, Jan Ethes cucunya Pak Jokowi... tergantung lakonnya",
kelakar Sang Kyai tak kalah jenaka.

3.2. ANNO DOMINI (AD): ASAL-USUL TAHUN MASEHI

‡ "Berbeda latarbelakangnya, Kyai. Makna perayaan 1 Januari zaman Julius Caesar


tentu berbeda dengan perayaan di zaman Kekristenan". 

† "Matur sembah nuwun infonya yang penting. Kalau Tahun Masehi, nyuwun pirsa,
bagaimana sejarahnya?".

‡ "Pada tahun 525 St. Yohanes I, Paus Roma, menugaskan saya untuk membuat
kalender baru yang nama dan hitungannya sejak inkarnasi Gusti kita Yesus Kristus (AB
INCARNATIONE DOMINI NOSTRI JESU CHRISTI ANNORUM TEMPORA). Nah,
berdasarkan dokumen-dokumen kuno, Kristus dilahirkan 25 Desember. Tinggal
menghitung tahunnya, lalu saya temukan 753 AUC atau Tahun 1 SM", jelas Rahib
Dionysius. 

† "Lho kok tahun 1 SM, Rahib. Katanya tahun Masehi dihitung sejak kelahiran Yesus?".

‡ "Ya, tetapi awal Tahun Baru dihitung dari delapan hari setelah kelahiran-Nya, Kyai.
Kalau Yesus lahir 25 Desember 753 AUC, delapan hari setelah Natal adalah 1 Januari
754 AUC", ungkapnya.

† "La ilaha illallah, Sun angandel Allah sawiji, Kang nglangkungi kuwasa-Ne, La ilaha
illallah, Yesus Kristus Ya Rohullah..." (Tiada ilah selain Allah, Yang Kuasa-Nya tanpa
batas. Tiada ilah selain Allah, Yesus Kristus dan Roh Allah)", Sang Kyai berdecak kagum
mengulang "credo trinitaris" Eyang Coelen yang pernah didengarnya di Ngoro. "Ini
angka yang bagus, Rahib. 1-1-1, tanggal satu, bulan satu, tahun satu. Ini angkanya
Gusti, Tahunnya Gusti. ANNO DOMINI" , tambah Kyai Tunggul Wulung. 

‡ "Itulah makna Tahun Baru kita, Kyai. Tanggal 1 Januari adalah ‫بالجسد‬  ‫" عيد ختانة المسيح‬Ied
Khitanat Al-Masih bi al-Jasad" (Perayaan Khitan Kristus secara fisik), "Praepitim Iesu",
atau Holy Prepuce, sekaligus pemberian nama suci bagi-Nya: "Ketika genap delapan
hari dan Ia harus disunatkan, Ia diberi nama Yesus, yaitu nama yang disebut oleh
malaikat sebelum Ia dikandung ibu-Nya" (Lukas 2 :21), jelas St. Dionysius Exiguus. 

† "Ooo... Itu sebabnya selain dokumen kuno membuktikan Natal telah dirayakan
tanggal 25 Desember jauh sebelum kultus Dewa 
Matahari di Roma tahun 274 M, Sextus Julius Africanus (160-240 M) dan Hypolitus (170-
235 M) sudah menyebut tanggal kelahiran Yesus πρὸ ὀκτὼ καλανδῶν ἰανουαρίων "pro
okto kalandon Ianouarion" (delapan hari sebelum kalender Januari). Benarkah begitu,
Domine?". 

‡ "Mantul (mantap betul) jawabanmu, Kyai. Sejak tahun 126 Paus Telesporus di Roma
sudah merayakan misa Natal 24 Desember malam. Karena itu kita bisa menghitungnya
mulai tanggal 25, 26, 27, 28, 29, 30, 31 dan hari ke delapan jatuh tanggal 1 Januari.
Itulah Tahun Baru, yang tepat terjadi pada upacara ‫" ב ְִּרית מִ ילָה‬B'rit Milah", Perayaan
Khitan Yesus, untuk menggenapi Taurat Musa". 

† "Jelas, jelas sekarang, Rahib. Tapi dengar-dengar, ada kesalahan dalam kalkulasi
beberapa tahun?". 

‡ "Betul, saya lupa menghitung 4 tahun masa pemerintahan Herodes, lalu hilangnya 1
tahun lagi. Jadi, sebenarnya Yesus lahir 5 atau 4 tahun sebelum tahun 1 AD. Maaf,
Kyai...", kata St. Dionysius yang terkenal dengan julukan "Exiguus", Sang Rendah hati
itu.

4. REFLEKSI MULTIKULTURAL

† "Mengkritik memang mudah, Rahib. "Mereka pikir membuat sistem kalender dengan
hitungan cermat bulan, hari dan jam peredaran matahari itu semudah menghitung
bunga kredit KPR apa?", gerutu Ki Ageng Kelud sembari nyruput kopi panasnya. 

† "Harus diakui, Tahun Masehi adalah persembahan St. Dionysius Exiguus yang terbaik
bagi sejarah peradaban dunia", lanjutnya.

‡ "Terima kasih, Kyai", ucapnya datar tak mabuk pujian.

Di tengah-tengah gayengnya diskusi, sesekali keduanya melihat ke bawah matahari,


Bumi Ngarcapada. Kontroversi Natal sudah lewat, kini Tahun Baru mereka debat:
"Pokoknya Januari itu penyembahan dewa Janus!", suara itu lantang, diulang-ulang. 

† "Dengar, dengarlah, Rahib. Kaum kampret itu masih ngotot!", kata Kyai Tunggul
Wulung. 
Sang Rahib senyum-senyum mendengarnya, sambil ngicipi ketela rebus yang paling
enak di planet bumi.

‡ "Pernah dengar bulan Suro, Kyai?", tanya Sang Rahib.

† "Tentu saja, Rahib. Suro adalah tanggal kesepuluh Muharam, bulan pertama dalam
kalender Islam. Tetapi di negeri kami, Sultan Agung Hanyakrakusuma (1613-1645) telah
menjadikannya sebagai nama bulan pertama kalender Jawa", jawab Ki Ageng Kelud.

‡ "Terus?". 

† "Istilah Jawa "Suro" berasal dari bahasa Arab ‫ورا َء‬ ُ ‫' َعا‬Āshûrā', meskipun asalnya dari
َ ‫ش‬
kaum Yahudi, namun umat Islam disunnahkan untuk puasa: ‫ورا َء َف َقا َل‬ ُ ‫ص ْو ِم َي ْو ِم َعا‬
َ ‫ش‬ َ ْ‫َو ُس ِئ َل َعن‬
ِ ‫الس] َن َة ْال َم‬
‫اض] َي َة‬ َّ ‫" ُي َك ِّف ُر‬Wa su'ila 'an shaum 'āshûrā'a faqāla yakafiru al-ssanat al-mādhiyah".
Artinya: Dan ditanyakan tentang puasa 'Asyura, Nabi saw. menjawab: “Puasa itu bisa
menghapus dosa kecil pada tahun sebelumnya" (H.R. Muslim)", jelas Kyai Tunggul
Wulung.

‡ "Ehm", Sang Rahib menganggukkan kepalanya.

† "Hanya saja, umat Islam diperintahkan agar menyelisihi puasa Yahudi: ‫صُومُوهُ َوصُومُوا َق ْبلَ ُه‬
ْ ‫" أَ ْو َبعْ]] دَ هُ َي ْومًا َو الَ ُت َش]] ِّبه َُوا ِب‬Shûmûhu wa shûmû qablahu aw ba'dahu yauman wa lā
‫]]ال َيه ُْو ِد‬
tusyabbihû bi al-Yahudi" (Puasalah Asyura dan berpuasalah sehari sebelum dan
setelahnya, dan janganlah kamu menyerupai kaum Yahudi)", tambahnya.

‡ "Nah, dalam hal ini ada upaya reinterpretasi kan, Kyai? Maksud saya, kalau umat
Islam berpuasa sebelum atau sesudahnya, itu artinya tidak persis tanggal 10? Padahal
kata ‫ورا َء‬
َ ‫ش‬ُ ‫' َعا‬Āshura, seasal dengan kata Ibrani ‫' 'עָ ׂשֹור‬ashor, artinya "sepuluh", jelas Sang
Rahib.

† "Ya, ya. Betul, lebih gamblang sekarang, Rahib. Apakah tentang 'Ashura ini ada
dalilnya dalam Taurat?".

‡ "Ada. Itu yang dikenal Yom Kippur, tertulis dalam Imamat 23:27, bunyinya: ‫אַ ְך ּבֶעָ ׂשֹור‬
ִ ‫" לַח ֹדֶ ׁש הַ ּׁשְ בִיעִ י הַ ּזֶה יֹום הַ ּכ‬Ak be 'ashor lakhodesh hashevi'it hazzeh yom hakippurim"
‫ִּפֻרים‬
(Tetapi pada tanggal sepuluh bulan yang ketujuh itu Hari Penebusan)", tambah sang
Rahib.

† "Jadi, meskipun kata Suro itu akar katanya sama, tetapi dalam perjalanan sejarah
yang panjang, Yahudi, Islam dan Kejawen memaknainya berbeda-beda. Maknanya
semula ‫" יום כיפור‬Yom Kippur" (Hari Penebusan). Unsur "penebusan" (kaffarah) ini masih
ada dalam Islam Sunni, meskipun tidak menjadi titik sentral ajarannya... ", Sang Kyai
berhenti sejenak.

‡ "Bagi kaum Muslim Syiah bulan Ashura adalah bulan dukacita, itulah tanggal
gugurnya Husein, cucu Rasulullah", Sang Rahib menambahkan. 

† "Bulan Suro", giliran kata Sang Kyai, "bagi Kejawen adalah eru-eru akeh bilahi kang
teko" (bulan hura-hara banyak bencana yang datang)".

Sementara keduanya asyik berdiskusi, di bumi perdebatan tak kunjung selesai. "Mau
diputer-puter kemanapun, namanya Januari itu kan asalnya dari Janus, dewa pagan
Roma", kata seorang pengkhotbah melalui pengeras suara.

† "Gimana meluruskan logika seperti ini, Rahib?".

‡ "Itu sama saja kalau kita berkata, terlepas dari beragam pemaknaan Ashura, sebagai
hari penebusan dosa atau dukacita, bulan tirakat atau bulan bencana. Tak soal apakah
puasa Muslim dibedakan sebelum atau sesudah Ashura Yahudi, tetapi "the origin of
Ashura" tetap berkaitan dengan kata ‫" ׂשֹור‬asor", ‫" عشرة‬asyrah", artinya sepuluh", tandas
sang rahib. 

† "Tetapi tidak berarti setiap Muslim yang puasa Ashura harus kita simpulkan mereka
murtad jadi Yahudi to, Rahib?", tambah Kyai Tunggul Wulung. 

‡ "Lagi pula, tak semua yang memakai kalender AD menyebut bulan pertama selalu
Januari, Kyai".

† "Oh iya?".

‡ "Beda dengan orang Mesir menyebut ‫" يناير‬Yanair" (Januari), di Irak, Lebanon dan Syria
mereka menyebut  ‫الثان‬ ٍ ‫" كانون‬Kanun al- Tsani" (Kanon kedua), sebab Desember mereka
namakan ‫" ك]]]]انون األوّ ل‬Kanun al-Awwal" (Kanun pertama)", tambah sang Rahib.

Di bumi teriakan mengutuk Januari serba sayup mulai tak terdengar lagi, mungkin
kalah energiknya dengan lagu "EGP"-nya Maia Estianty:

"...Apa yang kau kata, apa yang dia kata,


ku tak pernah ambil pusing. Kau mau bilang apa, semua mau bilang apa, ku hanya bisa
berkata: EMANG GUA PIKIRIN!".
Berbareng dengan usainya diskusi di "Yerusalem Kaswargan" , di bawah langit sana,
yaitu di bumi Ngarcapada, sayap-sayap fajar merekah mengusir gelap malam, dan pagi
terus merangkak pasti menuju rembang siang.

"Bhumi Bung Karno", 7 Januari 2019

Anda mungkin juga menyukai