Anda di halaman 1dari 8

Mata Kuliah : Pancasila

PEMBUNUHAN ENGELINE
Pembunuhan Engeline Megawe merupakan peristiwa kekerasan terhadap anak
perempuan berusia delapan tahun yang terjadi di Kota Denpasar, Bali pada tanggal 16 Mei 2015.
Peristiwa ini menjadi populer dalam berbagai media di Indonesia diawali dengan pengumuman
kehilangan anak tersebut (semula disebut Engeline) dari keluarga angkatnya melalui sebuah
laman di facebook berjudul "Find Angeline-Bali's Missing Child".

Besarnya perhatian dari berbagai pihak membuat terungkapnya kenyataan bahwa


Engeline selama ini tinggal di rumah yang tidak layak huni dan mendapat pengasuhan yang
kurang baik dari orang tua angkatnya bahkan mendapatkan penyiksaan baik fisik maupun
mental. Akibat sikap yang sangat tertutup dan tidak kooperatif dari ibu angkatnya, Margriet
Christina Megawe (64 tahun), memunculkan dugaan bahwa Engeline hilang bukan karena
diculik melainkan karena dibunuh, bahkan sebelum jenazahnya ditemukan.

Jasad Engeline kemudian ditemukan terkubur di halaman belakang rumahnya di Jalan


Sedap Malam, Denpasar, Bali, pada hari Rabu tanggal 10 Juni 2015 dalam keadaan membusuk
tertutup sampah di bawah pohon pisang setelah polisi mencium bau menyengat dan melihat ada
gundukan tanah di sana. Selanjutnya polisi menyelidiki lebih mendalam dan menetapkan dua
orang tersangka pembunuh, yaitu Agus Tay Hamba May, pembantu rumah tangga, dan Margriet
Christina Megawe, ibu angkatnya.

PEMBUNUHAN ENGELINE
Di Kota Denpasar, Bali pada tanggal 16 Mei 2015 terdapat peristiwa kekerasan terhadap
anak perempuan berusia delapan tahun yang bernama Engeline Megawe dan Peristiwa ini telah
menyebar luas ke berbagai media di Indonesia. Terungkapnya pembunuhan Engeline Megawa
disebabkan oleh pengasuhan yang kurang baik dari orang tua angkatnya bahkan mendapatkan
penyiksaan baik fisik maupun mental. Engeline selama ini tinggal di rumah yang tidak layak
huni. Ibu angakatnya yang bernama Margriet Christina Megawe menutupi pembunuhan Engeline
dengan mengungkapkan bahwa Engeline hilang bukan karena diculik tetapi karena dibunuh.

Kemudian Jasad Engeline ditemukan terkubur di halaman belakang rumahnya pada hari
Rabu tanggal 10 Juni 2015, jasad Engeline ditemukan dalam keadaan membusuk yang tertutup
sampah di bawah pohon pisang yang diselidiki oleh polisi yang mencium bau menyengat dan
melihat terdapat gundukan tanah. Setelah itu, polisi menyelidiki lebih mendalam lagi dan
menemukan dua orang tersangka pembunuh, yaitu Agus Tay Hamba May merupakan pembantu
rumah tangga, dan Margriet Christina Megawe sebagai ibu angkatnya.

Solusi :
Jika mempunyai masalah jangan melampiaskan kepada orang terdekat, keluarga, teman
ataupun orang lain contohnya anak yang tidak tahu apa sebabnya dimarahin.bila ada masalah
harus bercerita dan meminta solusi ke teman dekat maupun keluarga.

Kasus tersebut diangkat pada sebuah film berjudul Untuk Angeline.


1. Orang tua kandung
Engeline lahir pada tanggal 19 Mei 2007[14] di sebuah klinik di daerah Canggu
sebagai puteri dari seorang ibu bernama Hamidah dan ayah bernama Achmad Rosyidi. Ia
adalah puteri kedua dari tiga bersaudara. Tetapi para anggota keluarga ini kemudian
tinggal terpencar karena orangtuanya bercerai setelah melahirkan puteri ketiga. Anak
sulungnya, Inna (14 tahun), tinggal bersama keluarga ayahnya di Rogojampi,
Banyuwangi. Sedangkan Aisyah (6 tahun), anak bungsu, tinggal bersama neneknya di
Desa Tulungrejo, Banyuwangi.[15] Sementara itu, Engeline bersama orang tua angkatnya
yang terakhir tinggal di Sanur, Denpasar tepatnya di Jalan Sedap Malam.
Ibu kandung Engeline, Hamidah (30 tahun), adalah wanita kelahiran Banyuwangi
namun sejak usia 15 tahun sudah merantau ke Bali untuk bekerja sebagai pembantu
rumah tangga. Di sana pula ia bertemu dengan suami pertamanya, ayah kandung
Engeline yang bernama Achmad Rosyidi (33 tahun), seorang pekerja buruh bangunan,
untuk kemudian menikah dan menetap di Bali. Namun kini mereka sudah bercerai.
Hamidah sudah menikah kembali dengan seorang pemuda Bali dan mereka sudah
memiliki satu orang putera. Sekarang Hamidah sudah tidak lagi bekerja sebagai
pembantu rumah tangga.
2. Proses adopsi
Ketika melahirkan Engeline, Hamidah tidak sanggup melunasi biaya
persalinannya ke klinik. Saat sedang mengalami kesulitan demikian, seseorang
mempertemukan dan memperkenalkannya dengan Margriet Christina Megawe yang
menawarkan bantuan untuk melunasi biaya tersebut sekaligus bermaksud untuk
mengadopsi bayinya. Waktu itu, Margriet datang ditemani suaminya yang bernama
Douglas Scarborough. Untuk keperluan tersebut, Margriet mengeluarkan biaya sebesar
Rp 1,8 juta, dengan rincian biaya persalinan Rp 800 ribu dan biaya perawatan Hamidah
Rp 1 juta. Maka tiga hari setelah lahir, Engeline langsung dibawa oleh Margriet dan tidak
pernah bertemu lagi dengan kedua orangtuanya. Saat itu, anak tersebut belum diberi
nama oleh Hamidah. Nama "Engeline" diberikan oleh Margriet, mengikuti nama depan
ibunya (nenek angkat Engeline),[16] Engelina Sumilat.[17] Dalam proses adopsi ini,
Douglas ternyata tidak ikut campur. Sehingga pihak yang tercantum dalam surat
perjanjian pengadopsian tersebut hanya Margriet saja.[18][19]
Pengadopsian tersebut sebetulnya belum disahkan melalui pengadilan. Mereka
hanya membuat perjanjian di notaris yang tertulis dalam Akta Pengakuan Pengangkatan
Anak Nomor 18 tertanggal 24 Mei 2007 di notaris Anne Wibowo. Proses adopsi yang
tidak sesuai dengan prosedur hukum tersebut membuat Komnas Perlindungan Anak
sempat hendak mengembalikan hak asuh Engeline kepada orang tua kandungnya.
Dalam akta perjanjian yang dibuat di notaris, sebenarnya telah ada klausul yang
menyatakan bahwa Margriet sebagai ibu angkat harus menyayangi Engeline sebagaimana
anak kandungnya sendiri. Namun kenyataan terakhir yang dialami Engeline jauh berbeda,
sehingga Rosyidi menyesal telah membuat perjanjian tersebut.
Bagian lain dari perjanjian tersebut menyatakan bahwa keluarga Margriet
Christina Megawe, akan menjadikan Engeline sebagai ahli warisnya di kemudian hari.
Sementara keluarga Hamidah, ibu kandung Angeline, melepaskan semua hak waris yang
melekat pada anak tersebut. Juga disebutkan jika Engeline meninggal maka hak waris
akan menjadi milik ahli waris Margriet.[20] Selain itu, mereka juga menyepakati agar
kedua orang tua kandung Engeline tidak menemui anak kandungnya tersebut sampai ia
berusia 18 tahun.

3. Pengasuhan orang tua angkat


Engeline diterima di keluarga angkatnya dan diperlakukan sebagaimana anak
kandung Margriet lainnya.[21] Ia mempunyai dua kakak angkat yaitu Yvonne Caroline
Megawe (41 tahun) dan Christina Telly Megawe (32 tahun). Engeline tumbuh sebagai
anak ceria yang selalu berkomunikasi menggunakan bahasa Inggris dengan Margriet.[21]
Keluarga ini sempat berpindah-pindah tempat tinggal diantaranya ke Pekanbaru, Bekasi,
dan Bali. Ayah angkat Engeline, Douglas, dikabarkan sangat menyayangi anak angkatnya
tersebut.[20] Namun kemudian Douglas meninggal dunia pada tanggal 17 September
2008.[18] Margriet tampak terpukul dengan kematian suami keduanya tersebut.
Dalam pengasuhan Margriet sebagai orang tua tunggal, pada tahun-tahun
terakhirnya diduga Engeline mengalami banyak kekerasan baik secara fisik maupun
mental.[22] Diketahui bahwa ibu angkatnya tersebut menjadi seorang yang
temperamental. Dari foto-foto yang ada dan kesaksian dari guru di sekolahnya[23]
tampak bahwa pada tahun terakhir kehidupannya ia mengalami penurunan berat badan.
Engeline juga tinggal di rumah yang tidak layak huni, karena dikelilingi oleh kandang
ayam dan berbau tidak sedap walaupun mereka adalah keluarga yang secara ekonomi
berkecukupan.
Setiap hari Engeline diberi tugas untuk mencuci baju, mengepel lantai,
membersihkan rumah, serta memberi makan binatang-binatang peliharaan ibu angkatnya
berupa ayam, anjing, dan kucing.[23] Bila ia lupa melakukannya, maka ia pasti
mendapatkan perlakuan kasar dari ibu angkatnya.[24] Padahal jumlah ayam yang dimiliki
ibu angkatnya tersebut mencapai puluhan ekor. Akibat tugas tersebut, ia sering datang ke
sekolah dalam keadaan baju yang lusuh serta badan dan rambut yang bau.[25] Bahkan
pernah ia dilaporkan oleh teman-teman sekelas kepada guru kelasnya di kelas 2B, Putu
Sri Wijayanti, karena baunya. Ternyata saat itu di rambut Angeline banyak gumpalan
kotoran ayam[23] sehingga ia harus dimandikan dan dikeramasi rambutnya oleh
Wijayanti.
Di sekolahnya, SD 12 Sanur, Denpasar, khususnya setelah menginjak kelas 2,
Engeline terlihat sebagai anak yang memiliki sifat pendiam, pemurung, lusuh, berwajah
sendu, dan sering terlambat. Dia bersekolah pukul 12.00 WITA dan pulang pukul 17.00
WITA. Ia harus mempersiapkan bekal sekolahnya sendiri dan pergi ke sekolah dengan
berjalan kaki sejauh 2 km bila melaui jalan raya atau 1 km bila melalui pematang sawah.
Rutinitas pekerjaan yang tidak sewajarnya bagi seorang anak ini mengakibatkan Engeline
tampak kelelahan, tidak sehat, dan terganggu perkembangannya.[25] Namun Engeline
bersifat tertutup dan tidak mau bercerita tentang penderitaan yang ia alami kepada
gurunya. Hanya setelah didesak akhirnya ia mau mengatakan kepada gurunya bahwa ia
sering pusing di sekolah karena belum makan. Mengenai hal ini, Margriet membela diri
bahwa Engeline memang tidak suka makan dan cuma mau minum susu saja. Padahal
ketika diberi makan di sekolah oleh gurunya, ternyata Engeline bisa sampai
menghabiskan dua piring makanan yang disediakan.
Mengetahui keadaan yang dialami Engeline, Kepala Sekolahnya - I Ketut Ruta -
sempat berniat untuk mengadopsi anak tersebut. Ia meminta wali kelas Engeline untuk
menyampaikan niatnya kepada Margriet. Namun Margriet melarangnya dengan alasan
Engeline mempunyai tanggung jawab berupa berbagai tugas dan kewajiban yang harus
dilakukannya di rumah.
Walaupun Margriet adalah seorang yang temperamental tetapi ia membantah
sangkaan bahwa ia sebagai ibu angkat tidak mengasuh Engeline dengan baik apalagi
sampai melakukan kekerasan. Ia menyatakan bahwa ia menyayangi Engeline dan anak itu
pun menyayangi dia. Ia memberi berbagai tugas kepada Engeline semata hanya untuk
mendidiknya agar mandiri.[27] Ia mengaku tidak mau dipisahkan dengan Engeline,
sehingga ketika mendengar bahwa Komnas Perlindungan Anak akan mengambil hak
asuh anaknya, ia berang dan menyatakan akan membunuh siapapun yang akan
mengambil anak itu dari sisinya.[28] Kasih sayang Margriet kepada Engeline juga
diungkapkan oleh mantan tetangganya di Pekanbaru. Saat mereka berkunjung ke
Pekanbaru, ia melihat hubungan Margriet dengan anak angkatnya itu selayaknya
hubungan ibu dengan anak kandungnya.[21] Pengacara Margriet, Hotma Sitompul, juga
menyatakan bahwa salah satu bukti Margriet menyayangi anak angkatnya itu adalah
pemberian nama ibu kandung Margriet kepada anak tersebut.[29]

4. Hilangnya Engeline
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Yohana Yembise.
Kasus yang menimpa Engeline pertama kali mengemuka dengan beredarnya kabar
tentang hilangnya anak tersebut. Kabar tersebut tersebar luas antara lain akibat dibuatnya
sebuah laman di jejaring sosial facebook berjudul "Find Angeline-Bali's Missing Child".
Laman tersebut dibuat oleh salah satu kakak angkat Engeline yang sedang kuliah di
Amerika Serikat, yaitu Christine, pada tanggal 16 Mei 2015 sekitar pukul 17.00 WITA.
[30] Sementara Yvonne membuat selebaran mengenai hilangnya Engeline.
Keesokan harinya berbagai media massa turut memberitakan kehilangan tersebut.
[1][32] Berdasarkan informasi dari Yvonne, dikabarkan bahwa adiknya hilang saat
mereka bermain di depan rumah sekitar pukul 15.00 WITA.[1] Setelah tidak juga
ditemukan sampai pukul 18.00, maka kemudian Yvonne melaporkannya ke polisi. Tim
pencari anak hilang dari kepolisian lantas mencarinya dari Denpasar sampai ke
Banyuwangi, tampat lahir orang tua kandungnya. Berbagai upaya dilakukan oleh polisi,
seperti mengamati CCTV di sekitar lokasi, menganalisis telepon seluler orang tua
kandung dan orang tua angkatnya, serta menggunakan anjing pelacak. Namun anjing
tersebut tidak menemukan jejak Engeline dan hanya berputar-putar di sekitar rumah saja.
Keluarga Engeline yang berasal dari luar Bali pun berdatangan ke kediaman Engeline
untuk membantu mencari anak tersebut.
Kasus kehilangan anak ini juga menarik perhatian Komisi Nasional Perlindungan
Anak Indonesia (KPAI), sehingga ketuanya, Arist Merdeka Sirait, beserta dua anggota
timnya datang ke Bali untuk melakukan dialog dengan Polresta Denpasar dan Polda Bali.
Mereka juga kemudian berkunjung dan menemui Margriet di rumahnya. Saat itu,
Margriet memperkenankan mereka untuk melihat kamar dan ruangan dalam rumah. Dari
hasil kunjungan itu, Arist berkesimpulan bahwa selama ini Engeline tinggal di rumah
yang kondisinya sangat buruk dan tidak layak huni dengan halaman dipenuhi kandang
ayam berjumlah sekitar seratus ayam sehingga akan membuat anak tidak bisa
berkembang dengan baik.[4] KPAI juga menyatakan maksudnya akan mengambil alih
sementara hak asuh Margriet atas Engeline, sehingga membuat Margriet menangis
histeris. Dia mengaku tidak terima, bahkan mengancam akan membunuh siapa pun yang
akan mengambil anaknya itu karena dia menyayangi Engeline dan Engeline pun
menyayanginya.
Selain oleh KPAI, rumah Margriet juga didatangi oleh dua menteri Kabinet Kerja,
yaitu Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Yuddy
Chrisnandi, dan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Yohana
Yembise. Namun Margriet menolak menemui keduanya dan kedua menteri itu tidak
diperbolehkan memasuki rumahnya.
Hilangnya Engeline juga dibantu penanganannya oleh Pusat Pelayanan Terpadu
Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Kota Denpasar, yang merupakan
perpanjangan tangan Pemerintah Kota Denpasar yang menangani perempuan dan anak.
Mereka sudah memiliki kekhawatiran bahwa hilangnya Angeline bukan karena diculik
atau melarikan diri, tapi justru dibunuh. Hal ini dinyatakan oleh pendamping hukum
P2TP2A, Siti Sapurah tanpa mencurigai siapa pun termasuk ibu angkatnya.[9] Hal
tersebut didasari minimnya indikasi yang mereka temukan bahwa Engeline hilang di
sekitar rumah atau diambil seseorang. Sehingga mereka menduga bahwa Engeline
dihilangkan, dikubur atau dibunuh. Apalagi saat polisi melakukan pemeriksaan Margriet
tidak koperatif dan ada ruang di rumah Margriet yang tidak boleh dimasuki orang lain
kecuali orang terdekatnya dia. Ditambah lagi karena mantan pembantu Margriet, yaitu
Agus Tay Hamba May, pernah mengatakan bahwa satu hari sebelum dilaporkan hilang,
hidung Engeline berdarah karena dipukul ibunya.
Pencarian Engeline terhenti setelah ia ditemukan dalam keadaan tewas terkubur di
halaman belakang rumahnya pada hari Rabu, 10 Juni 2015. Jasadnya dalam kondisi
membusuk di bawah pohon pisang, ditutup sampah, terkubur bersama bonekanya. Otopsi
segera dilakukan di Instalasi Forensik di RSUP Sanglah pimpinan dr Ida Bagus Putu Alit,
DMF, SpF. Dari hasil otopsi, Engeline diketahui meninggal sejak tiga minggu
sebelumnya. Di tubuh jenazah ditemukan luka-luka kekerasan berupa memar pada wajah,
leher, serta anggota gerak atas dan bawah. Di punggung kanan jenazah ditemukan luka
sundutan rokok. Selain itu, ditemukan juga luka lilitan dari tali plastik sebanyak empat
lilitan. Sebab kematiannya dipastikan karena kekerasan benda tumpul pada wajah dan
kepala yang mengakibatkan pendarahan pada otak.[33] Jasad Engeline kemudian
dimakamkan di Dusun Wadung Pal, Desa Tulungrejo, Kecamatan Glenmore, Kabupaten
Banyuwangi yang merupakan kampung halaman dari ibu kandungnya.

5. Kasus hokum
Penyidikan
Setelah ditemukannya jasad Engeline pada tanggal 10 Juni 2015, Kepolisian
Resor Kota Denpasar segera mengadakan pemeriksaan terhadap tujuh orang, yaitu
Margriet (ibu angkat), Yvonne dan Christina (kakak angkat), Agus Tay (pembantu), dua
penghuni indekos (suami istri Rahmat Handono dan Susiani), dan petugas keamanan
(satpam, Dewa Ketut Raka), yang disewa khusus oleh Margriet untuk menjaga rumah itu
setelah ramainya pemberitaan terkait Angeline.[34] Dari hasil pemeriksaan awal tersebut,
polisi menetapkan Agus Tay Hamba May sebagai tersangka pembunuh Engeline[34]
yang mengakui telah membunuh dan memperkosa Engeline pada tanggal 16 Mei 2015
sekitar pukul 13.00 WITA, tepat pada hari hilangnya anak tersebut, dan kemudian
menguburkan jasadnya di belakang rumah majikannya itu pada pukul 20.00 WITA.
Pada tanggal 14 Juni 2015, Kepolisian Daerah Bali menetapkan ibu angkat
Angeline, Margriet Megawe, sebagai tersangka dalam kasus dugaan pelantaran anak [36]
dan menempatkannya di tahanan Mapolda Bali.
Pada tanggal 28 Juni 2015, Margriet ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus
pembunuhan berdasarkan tiga alat bukti, yaitu pengakuan Agus, bukti-bukti kedokteran
forensik RS Sanglah, dan hasil olah tempat kejadian perkara (TKP) oleh tim forensik
Polresta Denpasar, Inafis (Indonesia Automatic Finger Print Identification System) Polda
Bali, dengan bantuan Inafis Mabes Polri. Dari bukti-bukti tersebut Margriet diduga
menjadi otak pembunuhan, dan Agus hanya membantu menguburkan jasad Engeline.[13]
Namun tim pengacara tersangka Margriet mempermasalahkan penetapan tersangka
Margriet terkait kasus pembunuhan Engeline dan mendaftarkan gugatan praperadilan di
Pengadilan Negeri Denpasar pada tanggal 2 Juli 2015.[37]
Pada tanggal 6 Juli 2015, Polresta Denpasar menggelar rekonstruksi pembunuhan
Engeline di Tempat Kejadian Perkara di Jalan Sedap Malam 26 Denpasar dihadiri dua
tersangka.
Tanggal 29 Juli 2015, praperadilan yang diajukan Margriet ditolak oleh
Pengadilan Negeri Denpasar. Hakim tunggal Achmad Peten Sili menilai bahwa pihak
pemohon, Margriet, melalui kuasa hukumnya, Hotma Sitompoel & Associates, tidak bisa
membuktikan dalil-dalil permohonannya bahwa termohon (Polda Bali) dalam
menetapkan tersangka (Margriet) tidak didasari adanya alat bukti yang sah adalah
argumentasi yang tidak beralasan.
Pada tanggal 7 September 2015, berkas perkara tentang pembunuhan Engeline
dinyatakan sudah lengkap (P21) dan diserahkan ke Kejaksaan Negeri Denpasar bersama
dengan dua tersangkanya untuk segera dilimpahkan ke pengadilan.[40] Dalam berkas
tersebut, tertera sejumlah pasal yang disangkakan kepada Margriet yaitu pasal
pembunuhan berencana, pembunuhan, penganiayaan mengakibatkan korban meninggal,
dan penelantaran anak.[41]

6. Peradilan
Sidang perdana kasus pembuhunan Engeline digelar pada tanggal 22 Oktober
2015, pada sidang tersebut jaksa menyebutkan jika Margriet menyuruh Agus Tay untuk
menguburkan jasad Engeline dengan iming-iming uang, Margriet pula yang menyuruh
Agus untuk menyalakan rokok dan menyundutkannya ke tubuh Engeline, dan hal tersebut
sesuai dengan hasil visum RSUP Sanglah Denpasar.[42] Dalam persidangan tersebut
jaksa mengungkapkan bahwa tanggal 16 Mei 2015, Margriet memukuli Engeline berkali
kali pada bagian wajah dengan tangan kosong hingga hidung dan telinga Engeline
mengeluarkan darah. Pembunuhan Engeline kemudian direncanakan dengan maksud
untuk menghilangkan jejak.[43] Sementara dalam persidangan tersebut Margriet menolak
tuduhan jaksa yang menyatakan bahwa dirinya yang telah membunuh Engeline, Margriet
menyatakan bahwa dirinya menyayangi Engeline sebagaimana layaknya anaknya.
Atas kasus ini, jaksa penuntut umum menuntut Agus Tay dengan vonis 12 tahun
penjara dan denda 1 miliar Rupiah (subsider 6 bulan penjara) pada Selasa, 2 Februari
2016,[45]. Agustay tidak didakwa sebagai pembunuh Engeline, namun melakukan
pembiaran yang menyebabkan meninggalnya Engeline. Dua hari berselang, Margriet
dituntut dengan penjara seumur hidup.[46][47] Menanggapi tuntutan ini, kuasa hukum
Margriet menyatakan bahwa tuntutan ini adalah "imajinatif".[48] Pada 29 Februari 2016,
hakim mengabulkan tuntutan jaksa dengan menjatuhkan vonis seumur hidup kepada
Margriet, Pada hari yang sama, hakim menjatuhkan vonis 10 tahun penjara kepada Agus
Tay.[49][50] Ibu kandung Engeline, Hamidah menyatakan ketidakpusannya dengan
menyatakan bahwa seharusnya Margriet dijatuhi hukuman mati.
Baik Margriet dan Agus Tay mengajukan banding atas vonis majelis hakim PN
Denpasar. Dalam memori banding, Margriet menyatakan dalam video bahwa Agus Tay
merupakan pelaku pembunuhan Engeline. Namun demikian, pada Mei 2016, hakim PT
Bali menguatkan vonis yang dijatuhkan oleh PN Denpasar.[51][52][53] Kembali tidak
puas atas vonis hakim, keduanya mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Namun
demikian, vonis tetap tidak berubah setelah hakim agung menguatkan putusan
sebelumnya pada Februari 2017.[54]

Anda mungkin juga menyukai